BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Anatomi Saluran Pernafasan - Pengaruh Pola Pernafasan Normal Dan Pernafasan Melalui Mulut Pada Maloklusi Klas II Divisi 1

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi Saluran Pernafasan

  Saluran pernafasan merupakan suatu sistem yang terdiri dari beberapa komponen yang saling berhubungan. Pada bagian anterior saluran pernafasan terdapat

  10,11

  hidung. Hidung mempunyai komponen-komponen seperti tulang hidung, vomer, dan dasar perpendikular tulang etmoidalis dengan spina nasalis anterior. Tulang

  11,12 hidung berhubungan dengan prosesus frontal yang disebut sutura frontonasalis.

  Pada hidung terdapat rongga yang disebut rongga hidung. Rongga hidung memiliki dasar, dua dinding lateral dan pemisah garis tengah yang disebut septum nasi. Septum nasi membagi rongga hidung menjadi kiri dan kanan. Dasar rongga hidung berupa palatum durum yang merupakan pemisah antara rongga mulut dengan rongga hidung. Di belakang rongga hidung terdapat nasopharynx, dan

  11,12 oropharynx .

  

Nasopharynx membentuk bagian teratas dari sistem perrnafasan, terdapat di

10,11.

  belakang lubang nasal dan di atas palatum lunak. Di bagian anterior, nasopharynx berhubungan dengan rongga hidung dan di bagian inferior nasopharynx berhubungan dengan oropharynx. Oropharynx disebut juga mesopharynx dengan batas atasnya palatum mole, batas bawah dengan tepi atas epigloti, ke depan dengan

  11,13

  rongga mulut sedangkan ke belakang dengan vertebra servikalis. (Gambar 1)

  14 Gambar 1. Anatomi hidung

2.2 Pola Pernafasan Normal

  Pola pernafasan normal adalah bernafas melalui hidung. Pada saat menarik nafas udara masuk melalui nares anterior lalu naik ke atas setinggi konka media dan kemudian turun ke bawah ke arah nasopharynx sehingga aliran udara membentuk lengkungan atau arkus. Pada saat menghembuskan nafas udara masuk melalui konka dan kemudian mengikuti jalan yang sama seperti menghirup udara. Tetapi di bagian depan aliran udara memecah, sebagian lain kembali ke belakang membentuk pusaran

  8,11

  dan bergabung dengan aliran dari nasopharynx. (Gambar 2 dan 3)

  

Gambar 2. Pandangan sagital bernafas normal melalui hidung. Pada kondisi normal udara dihirup

melalui hidung dan sangat jarang yang melalui kavitas oral serta terdapat penutupan bibir yang rapat. 8 Gambar 3. Pandangan koronal bernafas normal melalui hidung. Pada kondisi normal lidah berada di cekungan palatal. Ini menetralkan mekanisme buksinator dan gigi ditahan di daerah netral antara lidah dan pipi, sehingga gigi tetap stabil. 8

2.3 Pola Pernafasan Abnormal

  Pola pernafasan abnormal adalah pola bernafas tidak melalui hidung melainkan bernafas melalui mulut. Pola bernafas melalui mulut bisa total atau hanya sebahagian, terus menerus atau intermiten. Bila jalan nafas tersumbat sebahagian maka bernafas melalui hidung akan diikuti dengan bernafas melalui mulut juga. Pernafasan total

  5,11,14 melalui mulut terjadi jika jalan nafas benar-benar tersumbat.

  Bernafas melalui mulut dapat disebabkan karena kebiasaan atau adanya gangguan fungsi hidung. Gangguan fungsi hidung antara lain adanya polip, atau pembesaran adenoid dan tonsil. Untuk mencegah iritasi dari adenoid dan tonsil, lidah menempati posisi anterior dan inferior. Posisi ini mempermudah pertukaran udara

  16

  melalui kavitas oral, sehingga pasien terpaksa bernafas melalui mulut. (Gambar 4) Gambar 4 Pandangan sagital dan koronal bernafas melalui mulut.

  Gambar 4 :

A. Lidah yang ke anterior mendorong gigi-gigi atas dan bawah ke labial sehingga menimbulkan

  

overjet dan diastema pada gigi-gigi anterior atas dan bawah. Mandibula berotasi ke belakang

dan ke bawah untuk menyediakan tempat bagi posisi lidah yang baru. Sebagai akibatnya

8 tinggi wajah bawah meningkat.

B. Lidah terletak di bawah dan tercakup dalam mandibula. Aksi buksinator tidak

  8 diimbangi oleh lidah sehingga palatal kontriksi dan mengakibatkan crossbite posterior

2.4 Efek Bernafas Melalui Mulut Terhadap Dentokraniofasial

  Telah dipercaya bahwa penyimpangan pertumbuhan gigi dan rahang adalah hasil dari faktor keturunan dan faktor lingkungan. Faktor lingkungan yang mengakibatkan seseorang bernafas melalui mulut akan menghasilkan perubahan

  15 postural dan merubah pertumbuhan gigi dan rahang.

  Pada pola pernafasan mulut udara masuk melalui mulut sehingga menyebabkan posisi lidah di anterior dan inferior. Posisi lidah yang anterior mendorong gigi-gigi atas dan bawah ke labial dan mandibula berotasi ke belakang dan ke bawah berakibat

  5,8,16 tinggi wajah meningkat.

  Menurut Kusnoto mekanisme terjadinya kelainan dentokraniofasial adalah karena hambatan saluran nafas yang mengakibatkan ketidakaktifan fungsi saluran pernafasan. Karena ketidakaktifan fungsi tersebut akan terjadi kurangnya perkembangan dari rongga hidung dan maksila, sehingga lengkung maksila menjadi sempit, palatum dalam. Dapat dijumpai adanya crossbite posterior dan gigi anterior yang protrusi. Dengan adanya hambatan maka untuk mencukupi udara, pasien harus menghirup udara melalui mulut, sehingga mulut menganga dan kepala mendongak. Keadaan ini akan mengakibatkan gigitan terbuka dan mandibula rotasi ke bawah dan berotasi searah jarum jam, dan lidah terletak di bawah merupakan penyebab

  5 maloklusi Klas II.

  Kebiasaan bernafas melaui mulut juga menyebabkan hilangnya keseimbangan antara tekanan otot genioglossus, hyoid dan eksternal pterigoideus yang akan menekan prosessus alveolaris di daerah premolar dan molar ke arah medial, sehingga mandibula menggantung ke bawah . Rotasi mandibula ke posterior akan menyebabkan posisi maksila lebih prognatik terhadap mandibula. Rotasi mandibula ini juga diikuti dengan turunnya posisi tulang hyoid yang mengakibatkan posisi lidah

  6

  turun dan lebih ke anterior. Posisi lidah yang turun akan mempengaruhi pertumbuhan maksila karena lidah berperan penting dalam tumbuh kembang maksila.

  Pada keadaan normal tekanan lidah ke palatum berfungsi sebagai penyeimbang stimulasi dari muskulus buksinator, sehingga menstimulasi tumbuh kembang maksila secara normal. Apabila posisi lidah turun maka penyeimbang stimulasi muskulus buksinator tidak ada sehingga menyebabkan lengkung maksila menjadi kurang berkembang , sempit dan palatum menjadi tinggi yang menyebabkan maloklusi

5 Klas II.

  Maksila yang kurang berkembang berdampak buruk pada tumbuh kembang struktur dentokraniofasial. Lengkung maksila baik dari segi ukuran maupun

  6 bentuknya menjadi tidak harmonis dengan ukuran gigi- gigi permanen.

  Menurut Mc. Coy pada keadaan bernafas melalui mulut, udara diterima secara langsung ke paru-paru tanpa dibersihkan, dihangatkan dan dilembabkan. Keadaan ini cenderung akan mendorong palatum ke atas. Mulut akan terbuka secara terus menerus dan akibatnya otot yang menekan mandibula menghasilkan tarikan otot ke belakang terhadap mandibula di setiap tarikan nafas. Lama kelamaan ini dapat mempengaruhi tulang untuk memodifikasi dan membawa gigi bawah ke distal dari normal. Setelah hubungan distal molar ini terbentuk, gigi permanen juga akan mengikuti malrelasi yang serupa, dan mekanika maloklusi tersebut bekerja secara konstan. Lidah tidak terletak di palatum akibat depresi mandibula sehingga gigi atas kehilangan dukungan otot dan tekanan lateral darinya. Karena ketidakseimbangan hubungan antara gaya otot eksternal dan internal dalam mulut ini, otot buksinator menghasilkan tekanan lateral pada lengkung maksila dan mengakibatkan

  4 penyempitannya.

2.5 Maloklusi Klas II Divisi 1

  Maloklusi Klas II atau disto oklusi adalah suatu keadaan mandibula dengan lengkung giginya terletak lebih ke distal terhadap maksila sebesar minimal setengah

  1,15

  lebar premolar atau satu tonjol molar pertama permanen. Angle memperkenalkan

  1,15 dua tipe maloklusi Klas II berdasarkan inklinasi insisivus sentralis maksila.

  Maloklusi Klas II divisi 1 didefinisikan memiliki insisivus maksila yang berinklinasi ke labial, peningkatan overjet dengan atau tanpa lengkung maksila yang relatif sempit. Overlap vertikal insisivus dapat bervariasi dari deep overbite hingga

  1,17,18 openbite .

  Maloklusi Klas II divisi 1 dapat ditandai dari skeletal pada saat oklusi mandibula terletak lebih ke posterior dalam hubungannya dengan maksila, dental dari hubungan molar pertama permanen, skeletodental dari hubungan skeletal dan dental. Maloklusi Klass II divisi 1 sering dihubungkan dengan kelainan

  1,17,18 skeletodental.

  Gambaran Klinis

  Maloklusi Klas II divisi 1 ditandai dengan hubungan molar Klas II Angle dan insisivus maksila protrusi atau proklinasi. Dapat dijumpai diastema pada gigi-gigi anterior maksila yang protrusi disertai lengkung gigi yang sempit. Kelainan-kelainan yang sering timbul pada maloklusi ini adalah :

  19,20 a.

  Mandibula berada pada posisi distal sehingga terdapat overjet yang mencolok b. Gigi-gigi insisivus maksila protrusi c. Lengkung gigi maksila yang sempit d. Diastema di antara gigi-gigi anterior yang protrusi e. Gigi insisivus mandibula supraversi, jika dalam oklusi sentrik akan terlihat gigi insisivus mandibula mengenai gingiva di bagian palatinal dari gigi insisivus maksila.

  f.

  Adanya gigitan dalam g.

  Kedudukan bibir atas terangkat.

  Etiologi Maloklusi Klas II Divisi 1

  Etiologi maloklusi merupakan ilmu yang mempelajari tentang faktor-faktor penyebab terjadinya kelainan oklusi. Pengelompokan faktor-faktor etiologi maloklusi dimaksudkan untuk mempermudah identifikasi kelainan oklusi yang ada.

  7 Graber

  membagi faktor etiologi maloklusi menjadi 2 yaitu: 1.

  Faktor Ekstrinsik Faktor Ekstrinsik meliputi : herediter, kelainan bawaan, malnutrisi, kebiasaan buruk, dan malfungsi, postur tubuh dan trauma.

  1,7,12,18,19 2.

  Faktor Instrinsik Faktor Instrinsik meliputi : Kelainan jumlah, bentuk dan ukuran gigi, premature loss , dan karies gigi.

  1,7,18,19

  2.6 Kerangka Teori Pernafasan

  Hidung Mulut Posisi lidah Postur kepala

  Posisi lidah Postur kepala

  3 normal / di palatum normal lebih ke bawah mendongak

  Tidak terjadi rotasi

  • Rotasi mandibula mandibula

  Lengkung maksila sempit searah jarum jam

  • Klas II

  Palataum dalam

2.7 Kerangka Konsep

  Maloklusi Klas II divisi 1 Perbedaan : Bernafas normal / melalui

  • Tinggi palatum hidung
  • Panjang lengkung anterior maksila dan mandibula
  • Lebar interkaninus Uji statistik Maloklusi Klas II divisi 1

  t berpasangan