Dampak beberapa Fungisida terhadap Pertumbuhan Koloni Jamur Metarhizium Anisopliae (Metch) Sorokin di Laboratorium

  Pemanfaatan entomopatogen M. anisopliae dalam pengendalian hama mempunyai kelebihan yaitu kapasitas reproduksi yang tinggi, siklus hidupnya pendek, dapat membentuk spora yang tahan lama di alam maupun dalam kondisi yang tidak menguntungkan, relatif aman, bersifat selektif, relatif mudah diproduksi, dan sangat kecil kemungkinan terjadi resistensi (Rustama dkk., 2008).

  Biologi M. anisopliae

  Dalam Alexopoulus dan Mims (1979), klasifikasi M. anisopliae adalah sebagai berikut : Kingdom : Mycetae; Divisio : Mycota; Class : Deuteromycotina; Ordo : Moniliales; Family : Moniliaceae; Genus : Metarhizium; Species : M. anisopliae (Metch) Sorokin.

  Pada awal pertumbuhan koloni jamur ini berwarna putih, kemudian akan berubah menjadi warna hijau gelap saat konidia matang (Gambar 1).

  a. b.

  Gambar 1 : Biakan M. anisopliae (a) Pertumbuhan awal (b) Pertumbuhan lanjut Kemudian dilanjutkan dengan pembentukan spora berwarna hijau (Tanada dan Kaya, 1993 dalam Rustama dkk., 2008).

  Miselium M. anisopliae bersekat, konidiofor bersusun tegak, berlapis dan bercabang yang dipenuhi konidia (Gambar 2).

  Gambar 2 : Fotomikrograf M. anisopliae Sumber : www.bcrc.firdi.org.tw. Konidia bersel satu dan berbentuk bulat silinder atau lonjong.

  Faktor Yang Mempengaruhi o

  Temperatur optimum untuk pertumbuhan M. anisopliae berkisar 22

  C-

  o

  27 C. Konidia akan membentuk kecambah pada kelembapan di atas 90% namun akan berkecambah dengan baik dan patogenisitasnya meningkat bila kelembaban udara sangat tinggi hingga 100%. Akan tetapi patogenisitasnya akan menurun apabila kelembaban udara di bawah 86% (Prayogo dkk., 2005).

  o

  Temperatur diatas 35 C akan menghambat pertumbuhan jamur entomopatogen, jamur dapat bertahan namun akan sulit untuk berkembang.

  o

  Konidia jamur akan mati pada suhu 40 C selama 15 menit namun dapat mentoleransi kisaran yang luas dari konsenterasi ion hidrogen antara pH 5-10 dengan pH optimum sekitar 7 (McCoy dkk., 2005) .

  Keefektifan cendawan entomopatogen juga ditentukan oleh kondisi lingkungan, seperti curah hujan dan sinar matahari khususnya sinar ultra violet yang dapat merusak konidia cendawan. Konidia merupakan salah satu organ infektif (propagule) cendawan yang menyebabkan infeksi pada integumen serangga yang diakhiri dengan kematian. Oleh karena itu, konidia cendawan tersebut perlu dilindungi waktu diaplikasikan, baik dengan bahan perekat maupun bahan pembawa sehingga pengaruh buruk tersebut dapat dieliminir. Keefektifan cendawan entomopatogen di lapangan juga ditentukan oleh stadia inang pada saat cendawan diaplikasikan. Perubahan stadia instar serangga akan mempengaruhi perilaku serangga tersebut yang akhirnya akan menentukan keefektifan cendawan. Faktor lain yang dapat mempengaruhi kemampuan jamur dalam mengendalikan hama di lapangan adalah senyawa kimia (Prayogo, 2006).

  Media Tumbuh

  Dalam usaha memperbanyak Metarhizium dapat dilakukan dengan menggunakan berbagai asal isolat dan media tumbuh. Isolat Metarhizium spp. dapat diambil dari tanah sekitar perakaran tanaman kubis, bawang merah, bawang daun dan cabai. Hasil penelitian menunjukkan bahwa semua isolat yang diuji bersifat patogen terhadap telur S. litura (Trizelia dkk., 2011). Jamur M.

  

anisopliae dapat dibiakkan pada media tumbuh berbahan sintetik (senyawa kimia)

  atau bahan alami (jagung, kentang, ketela rambat) dengan teknik pembiakan dalam medium cair (Heriyanto dan Suharno, 2008).

  Cendawan entomopatogen memerlukan media dengan kandungan gula/ glukosa dan protein yang tinggi. Selain unsur logam, air, carbon, dan nitrogen untuk pertumbuhannya, jamur juga memerlukan faktor tumbuh yaitu komponen esensial yang tidak dapat disintesis sendiri dari sumber carbon dan nitrogen.

  Faktor tumbuh diperlukan dalam jumlah sedikit, berupa asam-asam amino atau vitamin, dan medium sintetik. Media tumbuh yang mengandung komponen nitrogen dan senyawa organik banyak digunakan untuk menumbuhkan

  M. anisopliae , dan sebagai bahan pembawa spora seperti agar dapat menyediakan hara yang dibutuhkan untuk sporulasi (Heriyanto dan Suharno, 2008).

  Selain itu tepung, abu atau tanah liat dapat juga digunakan sebagai bahan pembawa formulasi bioinsektisida untuk meningktkan efektifitasnya.

  M. anisopliae berbahan pembawa tepung dedak + glukosa dan tepung jagung +

  glukosa dapat mempertahankan viabilitas konidia sampai 65,1% (Effendy, 2010).

  Mekanisme Infeksi

  Jamur patogen masuk ke tubuh serangga melalui berbagai cara seperti luka, lubang alami seperti mulut, kulit, dan hidatoda, dan dengan langsung menembus permukaan tubuh. Beberapa jamur patogen hanya dapat masuk dengan satu cara sedang yang lainnya dapat masuk melalui 2 cara atau lebih (Semangun, 1996). Dalam Prayogo dkk. (2005) mekanisme infeksi M. anisopliae dapat terjadi melalui 4 tahap yaitu :

  Propagul cendawan M. anisopliae berupa konidia karena merupakan cendawan yang berkembang biak secara tidak sempurna.

  2. Penempelan dan perkecambahan propagul cendawan pada integumen serangga. Pada tahap ini, cendawan dapat memanfaatkan senyawa-senyawa yang terdapat pada integumen.

  3. Penetrasi dan invasi, dalam melakukan penetrasi menembus integumen, cendawan membentuk tabung kecambah. Penembusan dilakukan secara mekanis atau kimiawi dengan mengeluarkan enzim dan toksin.

  4. Destruksi pada titik penetrasi dan terbentuknya blastospora yang kemudian beredar ke dalam hemolimfa dan membentuk hifa sekunder untuk menyerang jaringan lainnya (Gambar 3).

  Gambar 3 : Mekanisme infeksi M. anisopliae Sumber : http://www.disease-picture.com/metarhizium-anisopliae-life-cycle.html

  Metabolit sekunder yang dihasilkan jamur ini adalah mikotoksin yang disebut destruksin, yang merupakan siklo depsipeptide dengan lima asam amino.

  Kelompok depsipeptide ini disebut destruksin A, B, C, D, dan E. Destruksin berpengaruh terhadap organel sel target (mitokondria, retikulum endoplasma dan membran nukleus), menyebabkan paralysis sel. Selain itu juga berpengaruh terhadap kelainan fungsi lambung tengah, tubulus malfigi, hemosit dan jaringan otot larva (Tanada dan Kaya, 1993 dalam Rustama dkk., 2008).

  Enam senyawa enzim dikeluarkan oleh M. anisopliae untuk menginfeksi, yaitu lipase, khitinase, amilase, protease, pospatase, dan esterase

  

Protease merupakan enzim pendegradasi kutikul

(Prayogo dkk., 2005).

  a paling utama dan aktivitas enzim ini merangsang kehadiran enzim kitinase. Aktivitas enzim kitinase berlangsung umumnya pada awal pertumbuhan jamur, pembentukkan konidia dan sporulasi konidiospora. Tingkat virulensi strain jamur dapat menghasilkan enzim ekstraseluler dalam jumlah besar seperti lipase, estererase, protease, dan α-glukanase (Tanada dan Kaya, 1993 dalam Rustama dkk., 2008).

  Gejala Serangan Pada stadiu

  m awal infeksi oleh jamur, gejala yang terlihat hanya tampak beberapa titik nekrotik pada lokasi penetrasi hifa. Pada fase selanjutnya, larva menunjukkan gejala terserang infeksi. Gejala tersebut antara lain larva menjadi gelisah, kurang aktif, aktivitas makan menurun dan kehilangan kemampuan koordinasi. Di lapangan, serangga yang telah terinfeksi seringkali bergerak ke tempat yang lebih tinggi menjauhi permukaan tanah. Perilaku seperti ini diduga untuk melindungi kelompoknya agar tidak terserang jamur. Larva dari lepidoptera yang terinfeksi oleh jamur menjadi lunak karena mengandung air dan memiliki integumen yang rapuh (Tanada dan Kaya, 1993 dalam Rustama dkk., 2008).

  Serangga yang terinfeksi jamur entomopatogen ditandai dengan pertumbuhan hifa berwarna putih pada permukaan kutikula tubuh, dan memasuki hemocoel (Gambar 4).

  Gambar 4 : Gejala serangan M. anisopliae Sumber : http://www.issg.org.

  Di dalam hemocoel, hifa akan membentuk “yeastlike hyphal bodies” (blastopora), yang memperbanyak diri dengan cara pembentukkan tunas. Blastopora tumbuh dan berkembang di dalam hemocoel dengan menyerap cairan hemolimp. Selain itu infeksi jamur ini menghasilkan enzim dekstruksin yang bersifat toksik dan menimbulkan kerusakan pada jaringan serangga (Tanada dan Kaya, 1993 dalam Rustama dkk., 2008).

  Pada umumnya, semua jaringan dan cairan tubuh serangga habis digunakan oleh jamur, sehingga serangga mati dengan tubuh yang mengeras seperti mumi. Pertumbuhan jamur diikuti dengan pengeluaran pigmen atau toksin yang dapat melindungi serangga dari serangan mikroorganisme lain, terutama bakteri. Apabila keadaan kurang mendukung perkembangan saprofit maka pertumbuhan hanya berlangsung di dalam tubuh serangga (Prayogo dkk., 2005).

  Fungisida

  Fungisida adalah senyawa kimia untuk mengendalikan cendawan atau fungi. Menurut efeknya terhadap cendawan sasaran terdiri atas 2 macam, yaitu :

  1. Senyawa-senyawa yang mempunyai efek fungistatik yakni senyawa yang hanya mampu menghentikan perkembangan cendawan. Cendawan akan berkembang lagi jika senyawa tersebut hilang.

  2. Senyawa-senyawa yang mempunyai efek fungitoksik yakni senyawa yang mampu membunuh cendawan. Cendawan tidak akan berkembang lagi meski senyawa tersebut hilang, kecuali ada infeksi baru. Adapun keuntungan yang diperoleh dari penggunaan fungisida adalah :

  Mudah diaplikasikan

  • Memerlukan sedikit tenaga kerja
  • Penggunaannya praktis
  • Jenis dan ragamnya bervariasi
  • Hasil pengendalian tuntas (Djojosumarto, 2000).
  • Menurut cara kerjanya didalam tubuh tanaman sasaran yang diaplikasi, fungisida terdiri atas : 1.

   Fungisida non-sistemik, yakni hanya membentuk lapisan penghalang di

  permukaan tanaman (umumnya daun) tempat fungisida disemprotkan, fungisida ini mencegah infeksi cendawan dengan menghambat perkecambahan spora atau miselia jamur yang menempel di permukaan daun.

  2. Fungisida sistemik, yaitu fungisida yang diabsorbsi oleh organ-organ tanaman dan ditranslokasikan ke bagian tanaman lainnya lewat aliran cairan tanaman.

  3. Fungisida sistemik lokal, yaitu fungisida yang diabsorbsi oleh jaringan tanaman, tetapi tidak ditransfomasikan ke bagian tanaman lainnya.

  (Djojosumarto, 2000).

  Fungisida mengendalikan atau mematikan cendawan dengan beberapa cara, antara lain dengan merusak dinding sel, mengganggu pembelahan sel, mempengaruhi permeabilitas membran sel, dan menghambat kerja enzim tertentu yang menghambat proses metabolisme cendawan (Djojosumarto, 2000). Dalam penelitian ini yang akan digunakan adalah jenis bahan aktif fungisida yang sering digunakan yaitu fungisida yang bersifat non-sistemik (Propineb dan Mankozeb) dan sistemik (Difenokonazol dan Tebukonazol). 1)

  Propineb Propineb tergolong kedalam fungisida non-sistemik, dengan rumus molekul (C

  5 H

  8 N

  2 S 4 Zn) x (Gambar 5).

  Gambar 5 : Gambar rumus bangun Propineb Sumber : http://www.alanwood.net/pesticides/propineb.html

  Fungisida ini mengandung bahan pembasah tipe deterjen yaitu bahan yang berfungsi untuk meningkatkan tepung pembawa pestisida untuk didespersikan dalam air agar tidak mengambang pada permukaan. Selain itu juga ditambahkan bahan perata dan perekat agar permukaan tanaman yang berlilin mampu ditempeli fungisida ini (Wudianto, 2001). 2)

Mankozeb

  Mankozeb pertama kali terdaftar di Amerika Serikat pada tahun 1948 sebagai fungisida berspektrum luas untuk digunakan pada bidang pertanian, pengelolaan rumput profesional, dan hortikultura (Edward, 2005)

  Fungisida ini termasuk kedalam fungisida non-sistemik, dengan rumus molekul (C

  4 H

  6 N

  2 S 4 Mn)x(Zn)y (Gambar 6).

  Gambar 6 : Gambar rumus bangun Mankozeb Sumber : http://hzweiyuan.en./Mancozeb.html

  Cara kerja fungisida ini adalah dengan menghambat kerja enzim yang ada pada jamur dengan menghasilkan lapisan enzim yang mengandung unsur logam yang berperan dalam pembentukan ATP. Mancozeb digunakan untuk melindungi tanaman dari jamur patogen yang dapat menyebabkan kerugian secara ekonomi (Thomson, 1992) 3)

  Difenokonazol Difenokonazol tergolong kedalam fungisida sistemik, dengan rumus molekul C

  19 H

  17 Cl

  2 N 3 O (Gambar 7).

  Gambar 7 : Gambar rumus bangun Difenokonazol Sumber : http://traderscity.com/difenoconazole.html Fungisida ini berbentuk cairan pekat yang terdiri dari campuran bahan aktif dengan perantara emulsi. Dalam penggunaannya biasanya dicampur dengan bahan pelarut berupa air, hasil pengenceran cairan semprotnya disebut emulsi (Wudianto, 2001).

  4) Tebukonazol

  Tebukonazol tergolong kedalam fungisida sistemik, dengan rumus molekul C H ClN O (Gambar 8).

  16

  22

  3 Gambar 8 : Gambar rumus bangun Tebukonazol

  Sumber : http://hardware-wholesale.com/tebuconazole.html Fungisida berbentuk tepung kering ini belum dapat secara langsung digunakan untuk mengendalikan jamur patogen, tetapi harus terlebih dahulu dicampur dengan air. hasil pencampuran fungisida ini dengan air disebut suspensi. Fungisida ini tidak tercampur dengan air, melainkan hanya tercampur saja. Oleh karena itu, sewaktu fungisida ini disemprotkan tangki penyemprot harus sering diaduk (Wudianto, 2001).

Dokumen yang terkait

Efikasi Beberapa Formulasi Metarhizium Anisopliae Terhadap Mortalitas Larva Oryctes Rhinoceros L. (Coleoptera: Scarabaeidae) Di Insektarium

2 76 70

Dampak beberapa Fungisida terhadap Pertumbuhan Koloni Jamur Metarhizium Anisopliae (Metch) Sorokin di Laboratorium

2 66 101

Uji Efektifitas Jamur Entomopatogen Beauveria bassiana (Balsamo) dan Metarrhizium anisopliae (Metch) Sorokin Terhadap Chilo sacchariphagus Boj. (Lepidoptera:Pyralidae) di Laboratorium

4 89 58

Uji Patogenitas Jamur Metarhizium anisopliae dan Jamur Cordyceps militaris terhadap Larva Penggerek Pucuk Kelapa Sawit (Oryctes rhinoceros) (Coleoptera; Scarabaeidae) di Laboratorium

1 93 61

Uji Efikasi Jamur Entomopatogen Beauveria bassiana Balsamo Dan Metarrhizium anisopliae (Metch.) Sorokin Terhadap Mortalitas Larva Phragmatoecia castanae Hubner Di Laboratorium

0 39 68

Uji Efektivitas Trichodermin dan Fungisida Heksakonazol dalam Menghambat Pertumbuhan Ganoderma boninense Pat. pada Tanaman Kelapa Sawit di Laboratorium

10 52 61

Uji Efektivitas Trichodermin dan Fungisida Triadimefon dalam Menghambat Pertumbuhan Jamur Akar Putih Rigidoporus lignosus

4 66 76

PENGARUH BEBERAPA ISOLAT Metarhizium anisopliae (Metch.) Sorokin TERHADAP MORTALITAS KEPIK PENGISAP BUAH KAKAO (Helopeltis theivora Waterhouse)

0 9 47

Uji Patogenitas Jamur Metarhizium anisopliae terhadap Mortalitas Larva Oryctes rhinoceros L

0 5 16

Efikasi Beberapa Formulasi Metarhizium Anisopliae Terhadap Mortalitas Larva Oryctes Rhinoceros L. (Coleoptera: Scarabaeidae) Di Insektarium

0 0 16