BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang - Perilaku Politik Pemilih Pemula Pada Pemilihan Gubernur Sumatera Utara Tahun 2013 (Studi Kasus di Kecamatan Tigabinanga Kabupaten Karo)
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Indonesia merupakan negara yang terletak di Asia Tenggara dan terdiri dari beragam etnik yang hidup dan berkembang dengan tradisi serta keyakinan religious yang berbeda-beda sehingga lahir corak budaya berbeda satu sama lain. Negara Indonesia diperkirakan di huni tidak kurang dari 200 suku bangsa yang mengembangkan budaya dan tradisi masing-masing secara mandiri.
Kemajemukan dikenal dengan istilah multikulturalisme.
Dengan beragamnya suku bangsa, adat serta agama yang dimiliki oleh Indonesia yang masing-masing budaya memiliki khasnya masing-masing, telah memunculkan perilaku politik yang berbeda-beda. Artinya, tingkah laku politik merupakan pencerminan dari budaya politik suatu masyarakat yang penuh dengan
1
aneka bentuk kelompok dengan berbagai macam tingkah lakunya Struktur masyarakat Indonesia ditandai oleh dua ciri yang bersifat unik.
Secara horizontal, hal itu ditandai dengan adanya perbedaan suku bangsa, agama, adat istiadat, dan kedaerahan. Secara vertikal, struktur masyarakat Indonesia ditandai oleh adanya perbedaan antara lapisan atas dan lapisan bawah yang cukup tajam. Secara horizontal, masyarakat Indonesia dalam hubungan politik dalam perbedaan perspektif agama, adat, istiadat, dan kedaerahan akan senantiasa melahirkan perbedaan kepentingan yang merucing dan menuju konflik serta perbedaan kepentingan politis antara masyarakat lapisan atas dan masyarakat lapisan bawah memicu terjadinya penguasaan lapisan masyarakat bawah oleh lapisan masyarakat atas. Dimana masyarakat lapisan bawah dituntut loyalitasnya terhadap masyarakat lapisan atas, sehingga memicu terjadinya kontrake pentingan antara masyarakat lapisan bawah dengan masyarakat lapisan atas sehingga terjadilah konflik vertikal antara masyarakat lapisan atas dengan masyarakat
2 lapisan bawah.
Dengan beragamnya suku bangsa, adat serta agama yang dimiliki oleh Indonesia yang masing-masing memiliki khasnya masing-masing, telah memunculkan perilaku politik yang berbeda-beda. Artinya, tingkah laku politik merupakan pencerminan dari budaya politik suatu masyarakat yang penuh dengan
3 aneka bentuk kelompok dengan berbagai macam tingkah lakunya.
Etnisitas dan politik identitas kelihatan mendapatkan perhatian penting dari kalangan. Dalam kalangan partai politik dan elit politik, keberadaan politik etnisitas dan politik identitas masih dipandang penting sebagai salah satu medium dalam acara mobilisasi politik, membangun jaringan politik membangun koalisi- koalisi partai dan membangun jaringan lobi politik. Sedangkan di kalangan birokrasi dan jajaran eksekutif, politik etnisitas dan politik identitas juga nampak
4 terus mewarnai birokrasi nasional dan lokal.
Etnisitas adalah kelompok sosial dalam sistem sosial atau kebudayaan yang mempunyai arti atau kedudukan tertentu karena keturunan adat, agama, dan bahasa. Berbicara tentang etnisitas kota medan adalah salah satu kota di Indonesia 2 yang penduduknya terdiri dari berbagai macam etnis/suku. Suku-suku tersebut 3 Nasikun, 1984, Sistem Sosial Indonesia, Jakarta : Rajawali, hal.30 4 Sudijono Sastroadmodjo, Op.Cit, hal 59
Abdillah, Ubed. 2002. Politik Identitas Etnis : Pergulatan Tanda Tanpa Identitas. Magelang : Indonesiatera,
seperti melayu, minang, tiongha, aceh dan batak. Suku batak terdiri dari Batak Toba, Batak Mandailing, Batak Karo, Batak Simalungun, dan Pakpak.
Dari antara suku batak yang ada di Sumatera Utara ini seperti yang disebutkan diatas yang menjadi fokus pada penelitian ini adalah suku batak karo.
Suku karo adalah suku yang mendiami Kabupaten Karo (dataran tinggi Karo), Kabupaten Deli Serdang, Kota Binjai, Kabupaten Langkat, Kabupaten Dairi, Kota Medan, dan Kabupaten Aceh Tenggara. Namun mayoritas suku Karo asli bermukim di daerah Kabupaten Karo yang letaknya di dataran tinggi Karo. Suku ini memiliki bahasa sendiri yang disebut Bahasa Karo.
Masyarakat Karo berdasarkan etnis mereka membagi wilayah budayanya ke dalam 2 (dua) jenis :
1. Karo Gugung, yaitu masyarakat Karo yang pada umumnya berada di wilayah pegunungan terutama mereka yang berada di kawasan Kabupaten Karo.
2. Karo Jahe, yaitu masyarakat karo yang pada umumnya yang berada di kawasan Kabupaten Deli Serdang, Langkat dan Kota Medan.
Sebenarnya istilah Karo Gugung dan Karo Jahe ini bukan menunjukkan suatu etnis tersendiri, melainkan menunjukkan perbedaan geografis antara dua kelompok masyarakat karo itu dimana, masyarakat karo gugung tinggal di daerah dataran tinggi bukit barisan dan masyarakat Karo Jahe bermukim di dataran rendah. Secara adat istiadat dan budaya tidak ada perbedaan antara dua kelompok masyarakat karo ini. Hanya saja masyarakat Karo Gugung dianggap lebih murni menerapkan kebudayaan Karo sedangkan Karo Jahe lebih banyak mengalami
5
adaptasi dengan kebudayaan sekitarnya. Walaupun terjadi perbedaan dialek, komunikasi diantara dua kelompok masyarakat ini, tetapi bisa saling menyayangi dengan baik. Bahasa dan dialek masyarakat karo gugung dianggap lebih lembut intonasinya dibandingkan bahasa Karo Jahe.
Masyarakat karo gugung dibagi lagi menjadi beberapa kelompok kecil seperti karo julu, karo gerneh, karo singalorlau dan karo baluren. Pembagian ini sebenarnya hanya berdasarkan wilayah pemukiman saja. Suku karo memiliki sistem kemasyarakatan atau adat yang dikenal dengan nama merga silima, tutur siwaluh, dan rakut sitelu. Marga atau dalam bahasa karo disebut merga tersebut disebut untuk anak laki-laki, sendangkan untuk perempuan yang disebut beru.
Merga tau beru ini disandang di belakang nama seseorang. merga dalam masyarakat karo terdiri dari lima kelompok, yang disebut dengan merga silima, yang berarti marga yang lima.
Kelima marga tersebut adalah : 1.
Karo-karo 2. Tarigan 3. Ginting 4. Sembiring 5. Perangin-angin
Kelima marga ini masih mempunyai submarga masing-masing. Setiap orang karo mempunyai salah satu dari marga tersebut. Marga diperoleh secara otomatis dari ayah. Marga ayah juga marga anak. Orang yang mempunyai marga atau beru yang sama, dianggap bersaudara dalam arti mempunyai nenek moyang yang sama. Kalau laki-laki bermarga sama, maka mereka disebut ersenina, demikian juga antara perempuan dengan perempuan yang mempunyai beru sama, maka mereka disebut juga ersenina. Namun antara seorang laki-laki dengan perempuan yang bermerga sama, mereka disebut erturang, sehingga dilarang melakukan perkawinan, kecuali pada merga Sembiring dan Perangin-angin ada yang dapat menikah diantara mereka.
Penelitian ini lebih menekankan kepada pemilihan gubernur Sumatera Utara hal ini dikarenakan pemilihan kepala daerah ini baru berlangsung tanggal 7 Maret 2013 lalu dan etnis karo di Kota Medan menjadi objek penelitiannya.
Karena etnis karo adalah suku pendatang yang datang dari luar Kota Medan atau lebih tepatnya dari dataran tinggi karo/tanah karo dan merupakan suku yang membuka Kota Medan, dan sekarang telah menetap dan berkembang di Kota Medan. Berdasarkan data dari BPS Kota Medan jumlah suku karo yang menetap di Kota Medan adalah 78.129 jiwa. Pada tabel 1.1 berikut ini akan dipaparkan beberapa etnis atau suku yang tinggal di Kota Medan.
Tabel 1.1 Etnis / Suku Di Kota Medan
No Etnis / Suku Jumlah Penduduk
1 Jawa 828.989
2 Toba 365.758
3 Cina 202.839
4 Mandailing 178.308
5 Minang 163.774
6 Melayu 125.557
7 Karo 87.129
8 Aceh 53.011
9 Nias 13.159
10 Simalungun 13.078
11 Pakpak 6.509
No Etnis / Suku Jumlah Penduduk
6. Kecamatan Medan Sunggal 4.350 jiwa
12. Kecamatan Medan Petisah 1.175 jiwa
11. Kecamatan Medan Polonia 1.163 jiwa
10. Kecamatan Medan Timur 1.251 jiwa
9. Kecamatan Medan Tembung 1.357 jiwa
8. Kecamatan Medan Belawan 1.376 jiwa
7. Kecamaatan Medan Amplas 2.512 jiwa
5. Kecamatan Medan Helvetia 5.237 jiwa
12 Lainnya 75.253 Sumber : BPS Kota Medan Tahun 2012 Meskipun di Kota Medan ini suku karo memiliki jumlah penduduk yang minoritas, namun pilihan mereka dalam Pemilu Gubernur tahun 2013 dapat dijadikan indikator dalam kemenangan suatu calon. Adapun yang melatarbelakangi masyarakat karo dalam menentukan pilihannya dapat dilihat dari berbagai pendekatan-pendekatan perilaku politik, antara lain pendekatan secara sosiologis, psikologis, dan rasional. Pada tabel 1.2 berikut adalah jumlah masyarakat Karo pada 21 kecamatan yang berada di Kota Medan berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik Kota Medan.
4. Kecamatan Medan Baru 7.985 jiwa
3. Kecamatan Medan Johor 11.315 jiwa
2. Kecamatan Medan Selayang 28.111 jiwa
1. Kecamatan Medan Tuntungan 31.942 jiwa
No Nama Kecamatan Jumlah Jiwa
Tabel 1.2 Jumlah Masyarakat Karo Di Kota Medan13. Kecamaatan Medan Perjuangan 1.063 jiwa
No Nama Kecamatan Jumlah Jiwa
Tabel 1.3 Persentase Masyarakat Karo Per Kelurahan Di Kecamatan Medan5. Sempakata 84,3%
4. PB. Selayang II 79,8%
3. PB. Selayang I 63,7%
2. Beringin 58,2%
1. Asam Kumbang 73,4%
No Nama Kelurahan Persentase (%)
Selayang
Untuk lebih memfokuskan penelitian ini, maka konsentrasi masyarakat karo yang akan diteliti berada pada daerah Kecamatan Medan Selayang. Dimana berdasarkan data BPS jumlah masyarakat karo pada kecamatan Medan Selayang adalah 28.111 jiwa. Berdasarkan data BPS Kecamatan Medan Selayang adalah kecamatan yang jumlah masyarakat karonya terbanyak kedua setelah Medan Tuntungan yang jumlahnya 31.942 jiwa. Pada tabel 1.3 berikut ini adalah besar persentase masyarakat karo yang ada di Kecamatan Medan Selayang.
15. Kecamatan Medan Barat 799 jiwa
Sumber : BPS Kota Medan
21. Kecamatan Medan Marelan 111 jiwa
20. Kecamatan Medan Maimun 481 jiwa
19. Kecamatan Medan Area 607 jiwa
18. Kecamatan Medan Kota 623 jiwa
17. Kecamatan Medan Denai 658 jiwa
16. Kecamatan Medan Deli 781 jiwa
6. Tanjung Sari 53,5% Sumber : Data Kantor Kecamatan Medan Selayang
Dari data yang tertera pada tabel 1.3 di atas dapat dilihat bahwa persentase masyarakat karo yang ada di tiap kelurahan di Kecamatan Medan Selayang adalah sangat besar. Artinya bahwa masyarakat yang beretnis atau Suku Karo lebih dominan dari pada suku lainnya yang ada di Kecamatan Medan Selayang seperti suku Batak Mandailing, Jawa, Toba, dan lain-lain yang tidak ditunjukan persentasenya karena pada skripsi ini hanya membahas tentang etnis/suku karo.
Menurut pandangan Bapak Sedia Kembaren selaku Pertua GBKP Pasar II Padang Bulan Medan bahwa sesuai dengan pandangan dari segi kultural ini maka orang Karo mendukung semua etnis terutama etnis-etnis minoritas negeri ini untuk berbuat yang sama, artinya dedikasikanlah semua kekuatan etnis itu untuk kemajuan dan perkembangan etnis dan daerahnya. Karo akan mendukung semua usaha tiap etnis negeri ini, seperti dikatakan dalam jargon lama
’pesikap kuta kemulehenta’. Marilah kita saling mendukung penuh sesama etnis dalam
pelestarian kultur/budaya masing-masing dan pembangkitan Sumatera Utara.
Sementara pandangan dari Lawit Ginting selaku tokoh muslim karo di daerah Padang Bulan Kecamatan Medan Selayang disebutkan bahwa diantara calon gubernur ataupun calon wakil gubernur tidak ada dari suku Karo, maka sama saja siapa pun terpilih tidak masalah. Tapi kalau ada calon mau teken kontrak/surat pernyataan jika terpilih mau benarin jalan Kabanjahe Tigabinanga Lau Pakam maka pantas dipilih. Yang mana calon tidak akan import jagung, jeruk serta mencari mencari pasar ekspor sayur mayur, coklat boleh juga dipilih.
Artinya bukan karena sukunya maka calon gubernur itu terpilih tapi karena kinerjanya saat menjabat.
Pada dasarnya tujuan dari penelitian ini adalah ingin melihat bagaimana pendekatan perilaku politik dari masyarakat karo pada pemilihan Gubernur Sumatera Utara 2013. Berangkat dari fakta objektif yang diuraikan diatas, maka peneliti tertarik untuk melakukan penelitian ini dengan mengangkat judul “Perilaku Masyarakat Karo Pada Pemilu Gubernur Sumatera Utara 2013 (Studi Kasus Masyarakat Karo Di Kecamatan Medan Selayang).
1.2 Perumusan Masalah
Agar penelitian ini dapat dilaksanakan dengan terarah dan tepat sasaran maka, hal-hal yang menjadi pokok permasalahan harus diuraikan dengan jelas.
Berdasarkan dari gambaran latar belakang dan perumusan yang telah diuraikan, maka penelitian ini akan meli hat “Bagaimana Politik Perilaku Masyarakat Karo di
Kecamatan Medan Selayang Pada Pemilihan Gubernur Sumatera Utara tahun 2013 ”.
1.3. Batasan Masalah 1.
Pendekatan perilaku politik yang bagaimana yang digunakan masyarakat Karo Kecamatan Medan Selayang pada Pemilihan Gubernur Sumatera Utara tahun 2013? 2. Apa penilaian masyarakat karo terhadap calon gubernur dan wakil gubernur?
3. Adakah pengaruh marga silima terhadap perilaku politik masyarakat Karo dalam menentukan pilihan?
1.4. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1.4.1. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan dalam penelitian ini adalah : 1. Untuk mengetahui Pendekatan perilaku politik yang digunakan masyarakat
Karo Kecamatan Medan Selayang pada Pemilihan Gubernur Sumatera Utara tahun 2013.
2. Untuk mengetahui penilaian masyarakat karo terhadap calon gubernur dan wakil gubernur.
3. Untuk mengetahui pengaruh faktor marga silima terhadap perilaku politik masyarakat Karo dalam menentukan pilihan.
1.4.2. Manfaat Penelitian 1.
Secara akademis penelitian ini bermanfaat bagi penulis, yaitu untuk mengasah kemampuan dan melatih penulis dalam hal membuat karya ilmiah. Penelitian ini juga dapat menambah pengetahuan penulis mengenai masalah yang diteliti.
2. Memperkaya khasanah ilmu pengetahuan mahasiswa tentang ilmu politik, terutama dalam menganalisis perkembangan politik yang ada dalam masyarakat.
3. Bagi lembaga-lembaga pemerintahan dalam kaitannya dengan Pilgubsu dapat dijadikan sebagai sumber untuk melihat tingkat partisipasi masyarakat dalam Pilgubsu yang lalu.
1.5 Kerangka Teoritis
1.5.1 Etnisitas
Istilah etnis dalam kehidupan bermasyarakat berarti kelompok sosial dalam sistem sosial atau kebudayaan yang mempunyai arti atau kedudukan tertentu karena keturunan, adat, agama, bahasa, dan sebagainya. Anggota- anggota suatu kelompok etnik memiliki kesamaan dalam hal sejarah (keturunan), bahasa
6 (baik yang digunakan ataupun tidak), sistem nilai, serta adat-istiadat dan tradisi.
Menurut Frederik Barth istilah etnik adalah suatu kelompok tertentu yang karena ras, agama, asal-usul bangsa, ataupun kombinasi dari kategori tersebut terikat pada sistem nilai kebudayaannya. Kelompok etnis adalah kelompok orang-
7
orang sebagai suatu populasi yang: a.
Secara biologis mampu berkembangbiak dan bertahan b. Mempunyai nilai-nilai budaya yang sama, dan sadar akan rasa kebersamaannya dalam bentuk budaya c.
Membentuk jaringan komunikasi dan interaksi sendiri d. Menentukan cirri kelompoknya sendiri yang diterima oleh kelompok lain dan dapat dibedakan dari kelompok populasi lain.
Kajian tentang etnik sebagai sekelompok manusia yang mempunyai kebudayaan sama, berkembang dari ranah biologis menuju ranah kebudayaan dan akhirnya bermuara pada ranah politik. Di dalam bangsa atau wilayah yang multi- etnik akan terjadi pola hubungan etnik ketika mereka saling kontak atau 6 berinteraksi. Etnisitas merupakan fenomena tersendiri yang muncul dalam 7 Goodenough, U. 1988. Genetika. Edisi ke tiga. Jilid I. Jakarta : Erlangga, hal. 49
Fredik Barth, 1988, Kelompok Etnik dan Batasannya, Jakarta : Penerbit Universitas Indonesia interaksi sosial. Etnisitas juga beraneka ragam, tergantung pada jenis hubungan yang saling mempengaruhi antara individu dan kelompok dengan lingkungan
8 sosial maupun alam mereka.
Menurut Schermerhorn (dalam Tilaar, 2007) suatu kelompok etnis adalah suatu masyarakat kolektif yang mempunyai atau digambarkan memiliki kesatuan nenek moyang, mempunyai pengalaman sejarah yang sama di masa lalu, serta mempunyai fokus budaya di dalam satu atau beberapa elemen-elemen simbolik yang menyatakan akan keanggotaannya, seperti pola-pola keluarga, ciri-ciri fisik, aliansi agama dan kepercayaan, bentuk-bentuk dialek atau bahasa, afiliasi kesukuan, nasionalitas, atau kombinasi dari sifat-sifat tersebut yang pada dasarnya
9 terdapat ikatan antar anggotanya sebagai suatu kelompok.
Sedangkan menurut Koentjaraningrat, konsep yang tercakup dalam istilah etnis adalah suatu golongan manusia yang terikat oleh kesadaran dan kesatuan kebudayaan, sedangkan kesadaran dan identitas seringkali dikuatkan oleh
10
kesatuan bahasa pula. Tidak hanya itu, etnisitas juga dipandang sebagai sebuah proses kesadaran yang kemudian dapat membedakan antara seseorang dengan individu lainnya. Banyak kalangan dan ahli mengelompokkan Karo sebagai bagian dari sub etnis batak. Pendapat ini bisa saja bila ditinjau dari aspek kesamaan atau kemiripan dari berbagai unsur kebudayaan yang dimiliki, seperti adanya kesamaan struktur sosial bahasa dan sistem kekerabatan. Secara geografis 8 pun sub etnis Karo berbatasan langsung dengan sub etnis batak lainnya. Bahkan
Fredik Barth, 1988, Kelompok Etnik dan Batasannya, Jakarta : Penerbit Universitas Indonesia 9 (UI Press), hal 15
Tilaar. 2007. Mengindonesiakan Etnisitas dan Identitas Bangsa Indonesia. Jakarta : Rineka Cipta, 10 hal. 5
Koentjarningrat (ed), 1982, Manusia dan Kebudayaan di Indonesia, Jakarta : Penerbit beberapa nama marga masing-masing sub etnis hampir sama sebutannya dan diakui berasal dari nenek moyang yang sama.
Menurut Antropolog Kroeber dan Kluckohn dalam bukunya Culture, mereka telah mengklasifikasikan definisi kebudayaan atau etnisitas dalam
11
beberapa jenis yaitu : 1.
Definisi Enumeratif Kebudayaan adalah peradaban yang dilihat dari pemikiran etnografik dengan cara keseluruhan, yang meliputi pengetahuan, kepercayaan, seni, moral, hukum, adat-istiadat, serta kebiasaan lainnya yang dilakukan manusia sebagai anggota masyarakat.
2. Definisi Historis Kebudayaan dari satu peradaban akan selalu diturunkan dan disampaikan dari generasi ke generasi lainnya.
3. Definisi Normatif Kebudayaan merupakan rumusan yang menekankan pada aturan-aturan masyarakat atau pola-pola tingkah laku sosial.
Beberapa teori tentang etnisitas menjelaskan bahwa manusia adalah makhluk hidup yang sangat berbeda dengan makhluk hidup lainnya yang dilahirkan dengan berbagai pola tingkah laku yang siap pakai, yang kemungkinan
12
untuk mempertahankan hidupnya. Akan tetapi manusia sebagai makhluk sosial tidak membawa kemampuan tersebut sejak lahir, melainkan didapat dari interaksi 11 sosial. Manusia harus belajar, bekerja, dan menyusuaikan dirinya pada berbagai
Barton M. Schwartz, et al. CULTURE AND SOCIETY, 1968, An Introduction To Cultural
12 Antropology , The Ronald, hal 41Bambang S. Binatargo, 2000, Tinjauan Manusia dan Nilai Budaya, Jakarta : Universitas
situasi yang berbeda. Pola hidup seperti ini akan terus dilakukan dan dihadapi oleh setiap manusia secara terus menerus dan mengalami perubahan seiring perkembangan zaman.
Indentitas etnik ini yang menggambarkan dan membedakan antara individu atau kelompok dengan individu dan kelompok yang lain, baik secara fisik, karakter, bahasa serta pemikiran. Indentitas ini juga yang menyatukan individu dalam sebuah komunitas etnik. sehingga relasi etnik dalam kaitannya dengan pemilihan kepala daerah di suatu tempat akan melahirkan berbagai pola hubungan diantaranya adalah konflik. Dalam hubungan etnik, konflik lebih ditekankan pada konflik yang berlangsung ketika kelompok-kelompok etnik saling kontak. Pandangan bahwa etnisitas secara substansi, bukan suatu hal yang ada dengan sendirinya melainkan suatu hal yang keberadaanya bertahap. Basis sebuah etnisitas adalah ciri budaya tertentu yang mirip atau sama, seperti bahasa, adat, akar keturunan/hirearki, dan sebagainya.
1.5.2 Perilaku Politik
Perilaku politik adalah sebagai kegiatan yang berkenaan dengan proses
13
pembuatan dan pelaksanaan keputusan politik. Seorang individu/kelompok diwajibkan oleh negara untuk melakukan hak dan kewajibannya guna melakukan perilaku politik.
Adapun yang dimaksud dengan perilaku politik contohnya adalah: a. Melakukan pemilihan untuk memilih wakil rakyat / pemimpin b.
Mengikuti dan berhak menjadi insan politik yang mengikuti suatu partai politik atau parpol, mengikuti ormas atau organisasi masyarakat atau lsm lembaga swadaya masyarakat c. Ikut serta dalam pesta politik d. Ikut mengkritik atau menurunkan para pelaku politik yang berotoritas e. Berhak untuk menjadi pimpinan politik f. Berkewajiban untuk melakukan hak dan kewajibannya sebagai insan politik guna melakukan perilaku politik yang telah disusun secara baik oleh undang-undang dasar dan perundangan hukum yang berlaku.
14 Sedangkan Perilaku warga Negara dalam bentuk partisipasi politik
menurut Milbrath dijelaskan dalam kaitannya dengan empat faktor utama
15
: 1. Sejauh mana orang menerima perangsang politik, 2.
Karateristik Pribadi seseorang, 3. Karateristik Sosial seseorang, 4. Keadaan politik atau lingkungan politik tempat seseorang dapat menemukan dirinya sendiri.
Dalam berinteraksi antara pemerintah dengan masyarakat, antara lembaga- lembaga pemerintahan dengan kelompok masyarakat dalam rangka proses pembuatan kebijakan pelaksanaan keputusan politik, hal ini pada dasarnya merupakan salah satu bentuk perilaku politik. Kegiatan yang dilakukan pada dasarnya dibagi atas dua bagian yaitu, fungsi-fungsi pemerintahan yang dipegang oleh pemerintah. Serta fungsi-fungsi politik yang dipegang oleh masyarakat. 14
diakses 27 Juni 2013
15 Milbrath, Political Participation dalam Rush, Michael dan Althoff, 1989, Pengantar SosiologiNamun fungsi pemerintah dan fungsi politik biasanya dilaksanakan oleh struktur tersendiri. Terdapat empat faktor yang mempengaruhi perilaku politik
16
seseorang: 1.
Lingkungan sosial politik tidak langsung Seperti sistem politik, sistem hukum, sistem ekonomi, sistem budaya dan sistem media massa.
2. Lingkungan sosial politik langsung Mempengaruhi dan membentuk kepribadian aktor seperti; keluarga, agama, kelompok pergaulan dan sekolah. Dari lingkungan sosial politik langsung seorang aktor akan mengalami sosialisasi dan internalisasi nilai-nilai dan norma-norma masyarakat termasuk nilai dan norma kehidupan bernegara, dan pengalaman hidup pada umumnya.
3. Struktur kepribadian yang tercermin dari setiap individu Penilaian orang terhadap suatu objek tersebut yang dipengaruhi oleh keinginan untuk mengatasi konflik batin atau tekanan psikis yang mungkin terwujud dalam mekanisme pertahanan diri dan eksternalisasi diri.
4. Faktor lingkungan sosial politik langsung berupa situasi Keadaan yang memberikan pengaruh kepada aktor secara langsung ketika hendak melakukan semua kegiatan seperti; cuaca, keadaan keluarga, keadaan ruangan, kehadiran orang lain, suasana kelompok dan ancaman dalam segala bentuk.
Penulis menggunakan beberapa pendekatan dalam perilaku politik yang biasa digunakan untuk melihat bagaimana pilihan-pilihan politik terbangun, yaitu pendekatan sosiologis, pendekatan psikologis dan pendekatan rasional.
A. Pendekatan Sosiologis
Pendekatan ini pada dasarnya menjelaskan bahwa karateristik sosial dan pengelompokan sosial, usia, jenis kelamin, agama, pekerjaan, latar belakang keluarga, kegiatan-kegiatan dalam kelompok formal dan informal dan lainnya memberikan pengaruh yang signifikan terhadap pembentukan pilihan-pilihan
17.
politik. Interaksi yang terjadi di dalam kelompok-kelompok sosial seperti usia, jenis kelamin, agama, dan pekerjaan dan sebagainya akan menjadi susunan bangunan pengetahuan yang akan mempengaruhi preferensi politik dan perilaku pemilih seseorang hingga kemudian akan mempengaruhi bentuk-bentuk pilihan politiknya. Setiap orang akan mengidentifikasi diri sebagai anggota dari kelompok sosial dimana dia berada. Hal itu akan membuat seseorang menjatuhkan pilihannya berdasarkan orientasi berdasarkan konteks kelompok sosialnya.
Bonney dan Ranney membagi tiga tipe utama pengelompokkan sosial : 1. Kelompok Kategorial
Kelompok kategorial terdiri dari orang-orang yang memiliki satu atau beberapa karakter khas, tetapi tidak menyadari indentifikasi dan tujuan kelompoknya. Pengelompokkan kategorial terbentuk berdasarkan perbedaan jenis kelamin, perbedaan usia, perbedaan pendidikan.
2. 17 Kelompok Sekunder
Adnan Nursal, 2004, Political Marketing : Strategi Memenangkan Pemilu Jakarta : PT. Gramedia
Kelompok Sekunder terdiri dari orang-orang yang memiliki ciri yang sama yang menyadari tujuan indentifikasi kelompoknya, dan bahkan sebagian membentuk organisasi untuk memajukan kepentingan kelompoknya. Kelompok sekunder mempunyai pengaruh yang lebih besar dibandingkan kelompok kategorial. Kelompok sekunder dapat diklasifikasikan seperti: pekerjaan, status ekonomi, dan kelas sosial, dan kelompok-kelompok etnis yang mempunyai ras, agama dan daerah asal.
3. Kelompok Primer
Kelompok primer terdiri dari orang-orang yang sering dan secara teratur melakukan kontak dan interaksi langsung. Kelompok primer memiliki pengaruh yang paling kuat dan langsung terhadap perilaku politik seseorang. Yang termasuk dalam kelompok primer adalah pasangan- pasangan suami istri, orang tua dan anak-anak, dan kelompok bermain. Pendekatan sosiologis ini melihat bahwa kelompok-kelompok sosial, terdapat kognisi sosial tertentu yang pada akhirnya bermuara pada perilaku dan pilihan tertentu. Dalam kelompok-kelompok sosial, berlangsung pada proses sosialisasi. Lingkungan sosial memberikan bentuk-bentuk sosialisasi dan internalisasi nilai-nilai dan norma dalam masyarakat, serta memberikan
18 pengalaman hidup.
B. Pendekatan Psikologis
Munculnya pendekatan ini merupakan reaksi atas ketidakpuasaan terhadap pendekatan sosiologis. Pendekatan sosiologis dianggap sulit diukur, tidak jelasnya indikator kelas soial, tingkat pendidikan, agama dan sebagainya merupakan suatu hal yang sulit diukur. Disamping itu secara materi, diungkapkan bahwa variabel- variabel sosiologis seperti kelompok primer dan sekunder, memberi pengaruh pada perilaku pemilih dan pilihan politik jika ada proses sosialisasi. Oleh karena itu dalam pendekatan ini sosialisasilah yang menentukan perilaku pemilih dan
19 orientasi pada pilihan-pilihan politik seseorang bukan karakteristik sosiologis.
Pendekatan psikologis mensyaratkan adanya “kecerdasan” dan rasionalitas pemilih dalam menentukan pilihannya. Pada pendekatan psikologis penekanan lebih kepada individu itu sendiri. Menurut psikologis, ada tiga faktor yang berpengaruh terhadap perilaku pemilih. Tiga faktor tersebut adalah identifikasi partai, orientasi isu dan tema dan orientasi kandidat. Identifikasi partai yang dimaksud disini adalah bukan secara partai apa yang dipilih tetapi juga tingkat identifikasi individu terhadap partai tersebut.
Philip converse dalam Affan Gaffar, identifikasi partai diartikan sebagai keyakinan yang diperoleh dari orang tua dimasa muda dan dalam banyak kasus, keyakinan tersebut tetap membekas sepanjang hidup, walaupun semakin kuat atau memudar selama dewasa. Kemudian yang dimaksud dengan orientasi isu atau tema adalah tema atau isu-isu apa saja yang diangkat oleh partai politik tersebut. Sedangkan yang dimaksud dengan orientasi kandidat adalah siapa saja yang
20 mewakili partai politik tersebut.
Perilaku politik juga dipengaruhi oleh sistem kultural yang melekat dan berlaku dalam masyarakat. Perilaku patrennalistik dalam masyarakat memiliki pengaruh dalam perilaku politik antara pimpinan dan anak buah. Tingkat juga pendidikan memiliki peran penting dalam meningkatkan kesadaran politik. Makin tinggi pendidikan masyarakat menjadi makin tinggi kesadaran politiknya. Demikian sebalik, makin rendah tingkat pendidikannya, makin rendah pula tingkat kesadaran politiknya.
Selain lingkungan sosial politik tersebut, beberapa lingkungan sosial politik yang mempengaruhi perilaku politik ialah keluarga, lingkungan pendidikan/sekolah, agama dan kelompok permainan. Lingkungan-lingkungan sosial itu merupakan lingkungan yang memberikan sumbangan bagi perkembangan pemikiran-pemikiran, norma-norma, nilai-nilai dan etika pergaulaan. Di dalam keluarga terjadi pembiasaan menurut sikap dan prinsip- prinsip yang dikembangkan dalam keluarga tersebut. Pandangan-pandangan itu memiliki pengaruh dalam kehidupan tingkah laku politik masyarakat.
C. Pendekatan Rasional
Sebenarnya Teori Pilihan Rasional diadopsi oleh ilmuwan politik dari ilmu ekonomi. Karena di dalam ilmu ekonomi menekankan modal sekecil-kecilnya untuk mendapatkan keuntungan yang sebesar-besarnya. Hal ini senada dengan 20 perilaku politik yaitu seseorang memutuskan memilih kandidat tertentu setelah
Afan Gaffar, Javaness Voters ; A Case Study Of Election Under A Hegemonic Party System, mempertimbangkan untung ruginya sejauh mana program-program yang disodorkan oleh kandidat tersebut akan menguntungkan dirinya atau sebaliknya malah merugikan.
Sementara itu Ramlan Surbakti dan Denis Kavanaagh menyatakan bahwa pilihan rasional melihat kegiatan perilaku memilih sebagai produk kalkulasi antara
21
untung dan rugi. Pemilih di dalam pendekatan ini diasumsikan memiliki motivasi, prinsip, pendidikan, pengetahuan, dan informasi yang cukup. Pilihan politik yang mereka ambil dalam pemilu bukanlah karena faktor kebetulan atau kebiasaan melainkan menurut pemikiran dan pertimbangan yang logis. Sehingga pada kenyataannya, terdapat sebagian pemilih yang mengubah pilihan politiknya dari satu pemilu ke pemilu lainnya. fenomena tersebut menunjukkan bahwa terdapat variabel-variabel lain yaitu faktor situasional yang juga turut mempengaruhi pemilih ketika menentukan pilihan poitiknya pada pemilu.
Pendapat Ramlan Surbakti dan Him Melweit tersebut senada dengan apa yang
22
dikemukakan oleh Dan Nimmo dalam bukunya Komunikasi Politik: Khalayak dan Efek yang mengatakan bahwa : Pemberi suara yang rasional pada hakikatnya aksional diri, yaitu sifat yang intrinsic pada setiap karakter personal pemberi suara yang turut memutuskan pemberian suara pada kebanyakan warganegara. Orang yang rasional : 1.
Selalu dapat mengambil keputusan bila dihadapkan pada alternatif 2. Memilih alternatif-alternatif sehingga masing-masing apakah lebih disukai, sama saja atau lebih rendah bila dibandingkan dengan alternatif yang lain.
21 Ramlan Surbakti, Op.Cit, hal.146
3. Menyusun alternatif-alternatif dengan cara yang transitif; jika A lebih disukai daripada B, dan B daripada C, maka A lebih disukai daripada C.
4. Selalu memilih alternatif yang peringkat preferensi paling tinggi dan 5.
Selalu mengambil putusan yang sama bila dihadapkan pada alternatif- alternatif yang sama, dan bahwa pemberi suara rasional selalu dapat mengambil keputusan apabila dihadapkan pada alternatif dengan memilah alternatif itu, yang lebih disukai, sama atau lebih rendah dari alternatif yang lain, menyusunnya dan kemudian memilih dari alternatif-alternatif tersebut yang peringkat preferensinya paling tinggi dan selalu mengambil keputusan yang sama apabila dihadapkan pada alternatif-alternatif yang sama.
1.5.3 Pemilihan Umum Kepala Daerah
Wilayah kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah provinsi, dan daerah provinsi dibagi lagi atas daerah kabupaten dan kota, yang masing-masing sebagai daerah otonomi. Sebagai daerah otonomi, daerah provinsi, kabupaten/kota memiliki pemerintahan daerah yang melaksanakan, fungsi-fungsi pemerintahan daerah, yakni Pemerintahan Daerah dan DPRD. Kepala Daerah adalah Kepala Pemerintahan Daerah baik didaerah provinsi, maupun kabupaten/kota yang merupakan lembaga eksekutif di daerah, sedangkan DPRD, merupakan lembaga legislatif di daerah baik di provinsi, maupun kabupaten/kota. Kedua-duanya dinyatakan sebagai unsur penyelenggaraan pemerintahan di daerah.
saat ini pemilihan kepala daerah dilakukan secara langsung oleh penduduk daerah setempat yang memenuhi syarat. Pemilihan kepala daerah dilakukan satu paket bersama dengan wakil kepala daerah. Kepala daerah dan wakil kepala daerah yang dimaksud mencakup, dan wakil wali
Sebelum tahun 2004, kepala daerah dan wakil kepala daerah dipilih oleh (DPRD). Sejak berlakunya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentangkepala daerah dipilih secara langsung oleh rakyat melalui Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah atau disingkat Pilkada. Sejalan dengan semangat desentralisasi pilkada pertama kali diselenggarakan pada bulan Jun Melalui pilkada, masyarakat sebagai pemilih berhak untuk memberikan suaranya secara langsung sesuai dengan kehendak hati nuraninya, tanpa perantara, dalam memilih kepala daerah. Sesuai dengan pasal 18 ayat 4 UUD 1945, kepala daerah dipilih secara demokratis. Semangat dilaksakannya pemilukada adalah koreksi terhadap sistem demokrasi tidak langsung, dimana kepala daerah dan kepala derah dipilih oleh DPRD. Dan pada Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilihan Umum, pilkada dimasukkan dalam rezim pemilu, sehingga secara resmi bernama Pemilihan umum Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah atau disingkat Pemilukada.
Sedangkan didalam perubahan UU No.32 Tahun 2004, yakni UU No.12 Tahun 2008, Pasal 59 ayat 1b, calon kepala daerah dapat juga diajukan dari calon perseorangan yang didukung oleh sejumlah orang. Secara ideal tujuan dari dilakukannya pilkada adalah untuk mempercepat konsolidasi demokrasi di Republik ini. Selain itu juga untuk mempercepat terjadinya pemerintahan yang baik karena rakyat bisa terlibat langsung dalam proses pembuatan kebijakan. Hal ini merupakan salah satu bukti dari telah berjalannya program desentralisasi dimana daerah telah memiliki otonomi untuk mengatur dirinya sendiri.
Selain semangat tersebut, sejumlah argumentasi dan asumsi yang memperkuat pentingnya pilkada adalah Pertama, dengan Pilkada dimungkinkan untuk mendapatkan kepala daerah yang memiliki kualitas dan akuntabilitas. Kedua, Pilkada perlu dilakukan untuk menciptakan stabilitas politik dan efektivitas pemerintahan di tingkat lokal. Ketiga, dengan Pilkada terbuka kemungkinan untuk meningkatkan kualitas kepemimpinan nasional karena makin terbuka peluang bagi munculnya pemimpin-pemimpin nasional yang berasal dari bawah dan/atau daerah.
Good Pilkada Governance adalah pilkada yang dilakasanakan secara
demokratik, dengan memberi peluang kepada para calon kepala daerah untuk
23
berkompetisi secara jujur dan adil, bebas dari segala bentuk kecurangan. Good
24 Pilkada Governance setidaknya akan menghasilkan 6 (enam) manfaat penting : a.
Sebagai solusi terbaik atas segala kelemahan proses maupun hasil pemilihan kepala daerah secara tidak langsung lewat DPRD sebagaimana diatur dalam UU Otonomi daerah No.22 tahun 1999. Pilkada menjadi kebutuhan mendesak guna menutupi segala kelemahan dalam pemilihan kepala daerah masa lalu.
Pilkada bermanfaat untuk memperdalam dan memperkuat demokrasi lokal, baik pada lingkungan pemerintah maupun lingkungan masyarakat.
b.
Pilkada akan menjadi penyeimbang arogansi antara lembaga DPRD yang 23 selama ini sering kali mengklaim dirinya sebagai satu-satunya institusi
Syamsul H. Tubani, Pilkada Bima 2005, Era Baru Demokratisasi Lokal di Indonesia, Jawa Timur : Bina Swagiri-Fitra Tuban, hal 9 pemegang mandat rakyat yang representatif. Dengan Pilkada akan memposisikan Kepala daerah juga sebagai pemegang langsung mandat rakyat, yaitu untuk memerintah (eksekutif). Lembaga DPRD lebih dikhususkan pada fungsi legislasi, anggaran dan pengawasan kebijakan.
c.
Pilkada akan menghasilkan kepada pemerintah daerah memiliki legitimasi dan justifikasi yang kuat di mata rakyat. Kepala daerah hasil pilkada memiliki akuntabilitas publik langsung kepada masyarakat daerah selaku konsituennya, bukan seperti yang selama ini berlangsung yaitu kepada DPRD. Dengan begitu manuver politik anggota dewan akan berkurang, termasuk segala perilaku bad politiknya d.
Pilkada berpotensi menghasilkan kepala daerah yang lebih bermutu, karena pemilihan langsung berpeluang mendorong majunya calon dan menangya calon kepala daerah yang kredibel dimata masyarakat daerah, menguatkan derajat legitimasi dan posisi politik Kepala Daerah sebagai konsekuensi dari sistem pemilihan secara langsung oleh masyarakat.
e.
Pilkada berpotensi menghasilkan pemerintahan suatu daerah yang lebih stabil, produktif dan efektif. Tidak gampang digoyah oleh ulah politisi lokal, terhindar dari campur tangan berlebihan atau intervensi pemerintahan yang pusat, tidak mudah dilanda krisis kepercayaan publik, dan berpeluang melayani masyarakat secara lebih baik.
f.
Pilkada berpotensi mengurangi praktek politik uang yang merajalela dalam proses pemilihan kepala daerah tidak langsung.
Sementara itu apabila ditinjau dari lingkungan kemasyarakatan (civil
society), sesungguhnya pilkada bakal memiliki implikasi yang tidak kecil pula terhadap penguatan kehidupan politik masyarakat politik lokal kita. Paling tidak pilkada akan memajukan lembaga kemasyarakatan dan menyehatkan perilaku
25
politik masyarakat daerah kita dalam 5 (lima) hal sebagai berikut, yaitu: a.
Pilkada bakal meningkatkan kesadaran polititk masyarakat daerah dalam segenap proses pemilihan, mulai dari pendaftaran, pencalonan, kampanye, pemungutan suara, dan penetapan serta pelantikan calon terpilih. pemahaman dan pengetahuan mereka terhadap realitas politik si daerahnya kian meningkat seiring dengan keterlibatan, keaktifan, dan pengalaman mereka dalam berpemilu. pendek kata, pemilihan kepala daerah menjadi suatu mekanisme perubahan politik yang teratur, tertib, dan periodik, tidak menyeramkan bahkan ditunggu-tunggu kedatangannya.
b.
Pilkada bakal memicu aktivitas politik masyarakat di arah lokal yang memberi kesempatan yang lebih besar pada setiap orang untuk berpartisipasi dan mengembangkan organisasi madani. Pengorganisasian masyarakat lewat berbagai macam bentuk LSM dan ormas (civil society organization), pendidikan anggota masyarakat menjadi pemilih yang cerdas, dan keterlibatan warga dalam segenap tahapan pemilihan merupakan latihan demokrasi yang bernilai tinggi. Dengan begitu proses pemilihan pemimpin daerah tidak hanya dilepaskan ke tangan segelintir elite di DPRD yang mengatasnamakan rakyat, tetapi dengan melibatkan masyarakat sebagai stakeholder .
c.
Pilkada bakal memperluas akses masyarakat lokal untuk mempengaruhi proses pengambilan keputusan yang menyangkut kepentingan mereka, misalnya dengan turut langsung menentukan siapa yang akan menjadi pemimpin pemerintahan daerah yang akan menjadi pemimpin pemerintah daerah yang akan membawa mereka menggapai hidup sejahtera dan bahagia serta tetap terus terlibat sebagai active-citizens dalam mempengaruhi pembuatan kebijakan publik yang dilakukan oleh kepala daerah terpilih sebagai mana janji-janjinya pada waktu kampanye dulu, bahkan mengawasi sang kepala daerah jika menyalagunakan kekuasaan ketika memangku jabatan. Jadi, pilkada memaksa kepala daerah untuk tetap memperhatikan aspirasi masyarakat dalam menjalankan roda pemerintahan atau dia akan terjungkal dalam pilkada berikutnya.
d.
Pilkada bakal memotivasi media lokal untuk lebih aktif terlibat dalam segenap tahapan pemilihan mulai dari pendaftaran pemilih hingga pelantikan kepala daerah terpilih. Tidak hanya itu, media juga akan aktif mengkritisi dan mengawal segenap proses penyelenggaraan pilkada dari berbagai kelalaian dan penyimpangan yang merugikan masyarakat pemilih, baik dilakukan oleh petugas pelaksana pemilihan maupun oleh pasangan calon serta partai politik.
Dengan demikian, the power of media akan memberi kontribusi cukup besar bagi kelancaran jalannya pilkada.
Pilkada bakal mendorong berkembangnya semangat kemandirian di dalam tubuh partai politik di daerah dan sekaligus menguransi intervensi pengurus pusat partai politik, karena pasangan calon yang ditampilkan agar dapat memenangi pemilihan tidak mestilah yang mempunyai nilai jual tinggi di mata pemilih daerah itu. Pilkada juga berpotensi juga untuk menumbuhkan demokrasi dikalangan internal partai politik di daerah. Selain itu lewat pilkada mesin partai politik di daerah akan berputar, sehingga menyehatkan tubuh partai. Jadi kehadian pilkada bisa menyuburkan kehidupan partai politik daerah. Hal ini dikarenakan Pilkada merupakan suatu rangkaian rel demokrasi yang hendak diwujudkan dalam rangka meningkatkan nilai demokrasi pada tingkat daerah. Selain itu Pilkada juga merupakan wujud nyata dari pembentukan demokratisasi di daerah.
1.6 Metodologi Penelitian
1.6.1. Metode Penelitian
Penjelasan tujuan penelitian maupun kerangka dasar teori di atas menggunakan metode penelitian kuanlitatif dengan format deskriptif, deskriptif yaitu melukiskan, penelitian deskripif adalah suatu cara yang digunakan untuk memecahkan masalah berdasarkan fakta dan data yang ada. Penelitian ini bertujuan untuk memberikan gambaran yang detail mengenai suatu gejala atau fenomena. Penelitian deskriptif meliputi pengumpulan data untuk uji hipotesis atau menjawab pertanyaan mengenai status terakhir dari subjek penelitian. Tipe dari penelitian ini adalah penilaian sikap atau pendapat individu, organisasi, keadaan, ataupun prosedur yang dikumpulkan melalui daftar pertanyaan dalam survey, wawancara maupun observasi. Tujuan penelitian deskriptif ini adalah membuat deskriptif, gambaran atau lukisan secara sistematis, faktual dan akurat mengenai fakta, sifat dan hubungan antara fenomena yang diselidiki.
1.6.2. Lokasi Penelitian Penelitian ini dilakukan di Kecamatan Medan Selayang Kota Medan.
1.6.3. Defenisi Konsep dan Defenisi Operasional
1. Defenisi Konsep
Defenisi konsep adalah hal terpenting dalam penelitian yang dipakai untuk menggambarkan secara abstrak keadaan kelompok atau individu yang menjadi pusat perhatian fenomena sosial. Defenisi konsep pada penelitian ini adalah : a.
Etnisitas Istilah etnis dalam kehidupan bermasyarakat berarti kelompok sosial dalam sistem sosial atau kebudayaan yang mempunyai arti atau kedudukan tertentu karena keturunan, adat, agama, bahasa, dsb. Dan anggota dalam etnik memiliki kesamaan dalam hal-hal sejarah (keturunan).
b.
Perilaku Politik Perilaku Politik adalah interaksi antara pemerintah dengan masyarakat, antara lembaga pemerintahan dengan kelompok masyarakat, dalam rangka proses pembuatan kebijakan pelaksanaan keputusan politik
2. Defenisi Operasional
Defenisi operasional dijelaskan sebagai spesifikasi kegiatan peneliti dalam mengukur variabel. Defenisi operasional merupakan rincian dari indikator pengukur variabel. Defenisi operasional pada penelitian ini adalah : a.
Etnisitas Mengklarifikasikan defenisi etnisitas dalam beberapa jenis.
1) Secara Biologis
Masyarakat karo cenderung memilih sesama suku agar dapat berkembang biak dan bertahan.
2) Nilai Budaya