BAB II MENGENAL LEBIH DEKAT - Transparansi dalam Ruang

  keberadaan sungai Deli, namun bagi beberapa pihak sungai ini telah menjadi bagian dari hidup mereka.

  2.1. Sungai Deli ---- Parit Raksasa

  Keadaan aliran sungai Deli sangat jauh dari kriteria baik. Beberapa media cetak bahkan menyebutnya sebagai parit buruk raksasa. Ada banyak faktor yang mempengaruhi hal ini. Pertama, kondisi hutan di hulu Sungai Deli, yakni di daerah Sibolangit memang sudah semakin rusak dan luasnya semakin berkurang setiap tahun. Kemudian kondisi sungai dibagian tengah tidak lebih baik dari itu. Limbah industri dan rumah tangga sudah menjadi pemandangan umum di sepanjang aliran sungai. Sampah-sampah tersebut menumpuk di dasar sungai dan menyebabkan pendangkalan setiap tahunnya. Saat meninjau lokasi proyek kami mendapati ketinggian air sungai di dalam tapak hanya sekitar 30 cm. Warga yang tinggal di bantaran sungai itu menjelaskan bahwa ketinggian air sungai biasanya hanya mencapai 30 cm- 50 cm saat tidak ada hujan. Debit air Sungai Deli mengalami penurunan dari tahun ke tahun. Penyebab utama hal ini adalah berkurangnya luas hutan di daerah hulu sungai. Berdasarkan hasil pengukuran dalam dokumen Bapedalda 2006, debit air Sungai Deli relatif tinggi setiap bulannya, dan mencapai debit terbesar pada bulan September hingga Oktober. Hal ini memang tampak secara nyata sebab musim hujan berlangsung dari bulan September hingga Desember dan seringkali mendatangkan banjir di Kota Medan.

Gambar 2.1. Grafik debit bulanan air Sungai Deli Sumber : dokumen Bapedalda 2006

  Pengukuran debit air di Titi Gg. Sejarah dari tahun 1990

  • –2004 menunjukkan penurunan dari tahun ke tahun. Pada tahun 1990 debit air Sungai Deli hampir mencapai 20 m3/s sedangkan pada tahun 2004 debit air sungai hanya mencapai 5 m3/s.

Gambar 2.2. Grafik debit bulanan air Sungai Deli di Titi Gg. Sejarah tahun 1990-2004 Sumber : dokumen Bapedalda 2006

  Selain itu keadaan ini diperburuk dengan pemukiman liar di sepanjang pinggir sungai. Ada sekitar dua ratus kepala keluarga yang bermukim di sepanjang daerah aliran sungai Deli di Kelurahan Hamdan. Rumah-rumah warga telah mengambil alih lahan yang seharusnya menjadi daerah resapan sungai. Kawasan muka sungai ini menjadi tempat bagi mereka untuk beraktivitas. Anak-anak umumnya mandi di sana. Sebagian besar warga juga menggunakan air sungai untuk mencuci pakaian di sana. Mereka bahkan membuat sebuah tempat bersama yang digunakan saat mencuci dan bagi anak-anak yang berkumpul di sana.

Gambar 2.3. Data kondisi sungai Sumber : laporan Perancangan Arsitektur 6Gambar 2.4. Kondisi di pinggir Sungai Deli yang diisi dengan pemukiman liar Sumber : dokumen pribadiGambar 2.5. Aktivitas warga di pinggir sungai Deli Sumber : dokumen pribadi

  Buruknya kondisi kawasan aliran sungai Deli sebagai salah satu sungai utama yang mengaliri Kota Medan telah membawa pengaruh buruk bagi kawasan sekitarnya, bahkan Kota Medan sendiri. Bencana banjir adalah salah satu dampak paling nyata yang ditimbulkan oleh kondisi ini. Kejadian banjir di Kota Medan rata-rata 10-12 kali/tahun. Kawasan bantaran sungai kerap kali terkena dampak banjir ini. Saat banjir sedang rumah-rumah di bantaran ini bisa terendam hingga 1,20 meter dari lantai. Sedangkan pada saat banjir besar, yang ditimbulkan oleh banjir kiriman dari hulu sungai, rumah-rumah warga ini bisa terendam sampai empat meter (mencapai atap). Kondisi ini tentu tidak nyaman bagi para warga tersebut, dan menunjukkan bahwa sudah selayaknya pemukiman mereka direlokasi sebab daerah aliran sungai itu tidak layak untuk dihuni.

  

Aktivitas dalam Tapak--- pertimbangan terhadap proyek

  Aktivitas di dalam tapak adalah hunian, perkantoran dan pertokoan. Oleh karena perancangan apartemen ditujukan untuk golongan menengah ke atas, maka masyarakat ekonomi bawah yang tinggal tidak menjadi pertimbangan. Namun sebagai bagian dari perancangan, usaha relokasi masyarakat bantaran sungai Deli perlu direncanakan dengan baik, termasuk bagaimana proses dan sosialisasinya. Warga yang tinggal di bantaran sungai sebenarnya adalah warga ilegal yang tidak tercatat dalam statistik kelurahan. Berdasarkan Kerangka Acuan Kerja, pihak penghuni lama yang tidak memiliki legalitas kepemilikan lahan dan bangunan akan mendapat ganti rugi sepadan dengan kondisi bangunan. Selain relokasi warga, upaya normalisasi sungai juga perlu direncanakan dengan baik, menyangkut bagaimana sistemnya. Dalam sebuah wacana di media cetak disebutkan bahwa pihak Pemko Medan sendiri sudah merencanakan upaya normalisasi sungai ini dengan perbaikan kondisi hutan di hulu sungai dan penanggulangan limbah di sungai. Dengan demikian, keberadaan sungai Deli, selain memberi sejumlah permasalahan di atas juga selayaknya bisa menyediakan ruang positif bagi warga. Jika upaya normalisasi sungai direncanakan dan dilaksanakan dengan baik, daerah aliran sungai bisa dimanfaatkan sebagai ruang komunal bagi penghuni apartemen, bahkan juga bagi masyarakat sekitar.

  Lingkungan sekitar----- dari permukiman yang lengang hingga kompleks pertokoan yang sibuk

Gambar 2.6. Data bangunan di sekitar tapak Sumber : Laporan Perancangan Arsitektur 6

  Kondisi Sungai Deli yang buruk dan tak terurus itu sama sekali tidak menarik bangunan sekitar untuk berorientasi kepadanya. Selain rumah-rumah kumuh di bantaran sungai, bangunan lainnya lebih memilih untuk menghadap jalan atau gang kecil. Hampir tak ada bangunan layak huni yang menghadap ke sungai.

  Di Jalan Badur, bangunan umumnya adalah pemukiman warga dan kantor dengan tinggi satu sampai dua lantai. Rumah-rumah ini tampak sudah lama dibangun, bahkan beberapa rumah sudah tidak dihuni dan ditinggalkan tak terawat. Meski daerah ini padat penduduk, namun saat siang hari daerah ini tampak lengang karena warga sekitar beraktivitas di luar rumah. Pada saat kami meninjau kondisi tapak, tidak ada aktivitas sosial yang terjadi di sana, hanya beberapa kendaraan roda dua dan roda empat melintasi jalan ini sesekali meskipun kondisi jalannya yang sempit dan banyak berlubang. Tidak tampak adanya pengawasan terhadap akses keluar masuk permukiman ini. Bagi saya, lorong sempit dan gelap, rumah-rumah tertutup rapat, dan ketiadaan aktivitas manusia di dalam tapak ini memberikan pengalaman yang tidak nyaman berada dalam tapak. Meskipun bangunan di jalan ini jauh lebih layak dari rumah-rumah di bantaran sungai, namun saya merasa lebih aman saat masuk ke dalam lingkungan bantaran itu, sebab masyarakat di sana lebih terbuka dan bersosialisasi.

  Kondisi utilitas di sepanjang jalan ini pun belum memadai. Kondisi parit yang terbuka dan pada beberapa titik tampak dipenuhi sampah membuat pemandangan tapak yang buruk bahkan dapat berpengaruh negatif terhadap kesehatan warga sekitar. Penerangan buatan tidak terpenuhi dengan baik. Lampu jalan hanya terletak di beberapa titik dan tidak mampu menjangkau seluruh jalan. Lebar jalan ini beragam namun tidak cukup lebar untuk menampung sirkulasi kendaraan dengan baik. Jalan ini hanya muat untuk satu lajur kendaraan, dan semakin dipersempit oleh adanya kendaraan becak yang diparkirkan di pinggir jalan. Bahkan jalan ini tidak dilengkapi dengan trotoar sebagai sarana bagi pejalan kaki.

Gambar 2.7. Analisa sistem utilitas dalam tapak Sumber : Laporan Perancangan Arsitektur 6Gambar 2.8. Bangunan di Jalan Badur Sumber : dokumen pribadi

  Dibandingkan dengan tapak di Jalan Badur, daerah di Jalan Mangkubumi cukup ramai, karena terdapat berbagai aktivitas pendukung di dalamnya, seperti swalayan dan toko-toko kecil. Di jalan ini bangunan komersial (rumah toko) dengan tinggi bangunan satu sampai tiga lantai lebih mendominasi. Selain itu terdapat juga rumah warga, perkantoran, serta kios-kios kecil di pinggir jalan. Fungsi-fungsi ini mendorong orang untuk datang ke sana sehingga cukup banyak yang melintasi daerah ini. Namun di ujung tapak terdapat sebuah lahan kosong yang daerah luarnya dijadikan warga sebagai tempat pembuangan sampah. Hal ini menunjukkan kesadaran penduduk sekitar akan kebersihan lingkungan masih kurang, dan ketersediaan sarana lingkungan pun tidak memadai.

  Kondisi utilitas di jalan ini tidak banyak berbeda dari Jalan Badur. Lampu jalan yang minim, kabel listrik yang semerawut, ketiadaan trotoar dan lebar jalan yang tidak memadai membuat sirkulasi di jalan ini masih kurang nyaman.

Gambar 2.9. Bangunan di Jalan Mangkubumi Sumber : dokumen pribadi

  Di koridor Jalan Suprapto, bangunan umumnya adalah perkantoran dan institusi pemerintahan. Namun demikian sirkulasi di jalan ini cukup nyaman.

  Jalan yang lebar dan didukung oleh ketersediaan vegetasi membuat koridor ini cukup teduh. Keberadaan jembatan Suprapto juga memberi sebuah penanda bagi lokasi tapak. Masih ada beberapa titik dimana trotoar terputus. Namun dari fakta di lapangan memang tidak banyak pejalan kaki yang melintasi daerah ini. Hal ini karena umumnya kendaraan yang melintasi jalan ini adalah kendaraan pribadi, yakni mobil, sepeda motor dan becak. Tidak ada angkutan umum yang melewati jalan ini, sehingga para pengguna kendaraan umum cenderung tidak melewati koridor ini.

  Di koridor lainnya, yakni Jalan Palang Merah, lalu lalang kendaraan dan manusia adalah hal yang sangat sering dijumpai. Koridor ini merupakan koridor yang sibuk dengan berbagai aktivitas pendukung di sepanjang jalan, seperti toko, cafe dan sarana rekreasi lainnya. Jalan Palang Merah dan Jalan Brigjen Katamso adalah pusat aktivitas bisnis menengah dengan deretan toko dan perkantoran. Di lingkungan lain di sekitar kawasan adalah koridor Zainul Arifin yang diisi oleh aktivitas bisnis besar dengan perkantoran, retail dan fungsi komersial. Aktivitas pendukung ini memungkinkan intensitas pengunjung ke dalam tapak menjadi tinggi, bahkan mendorong masyarakat luar untuk bermukim di apartemen untuk mendapat akses yang cepat dan mudah ke tempat kerja mereka.

  Design is not really a way for me to express myself. Design is a product that we produce for a client.

  Paleg Top Manusia kapan pun dan dimana pun akan selalu menjadi pertimbangan utama dalam arsitektur. Pendataan terhadap manusia di sekitar tapak menjadi sangat perlu dilakukan dalam perancangan ini, sebab akan mempengaruhi rencana ruang yang dihasilkan. Usia, jenis kelamin, pekerjaan, keadaan ekonomi dan budaya yang berbeda-beda akan mendorong kebutuhan ruang yang berbeda pula.

  Nuraini (2010) menyatakan bahwa proses perancangan bertujuan untuk menafsirkan dan menjawab kebutuhan manusia, lewat fungsi dan bentuk ruang yang sesuai dengan kebutuhan dan kebudayaan manusia. Sebuah karya arsitektur hendaknya merupakan konfigurasi ruang dan lingkungan yang menjadi tempat manusia hidup tenang dan bahagia.

  Proses pengumpulan data penduduk merupakan salah satu tahap yang sulit dan panjang, sebab melibatkan banyak pihak dan instansi. Di sini keadaan birokrasi berpengaruh besar terhadap jalannya proyek. Instansi-instansi yang berpengaruh dalam proses ini adalah Departemen Arsitektur USU, Badan Pembangunan Daerah Kota Medan, dan kantor kelurahan terkait. Untuk bisa mendapatkan data dari pihak kelurahan diperlukan langkah-langkah administrasi seperti pengajuan surat izin lewat Badan Pembangunan Daerah kepada kantor Kelurahan Aur dan Kelurahan Hamdan. Selain itu karakter orang-orang yang dijumpai dalam setiap instansi juga cukup beragam dan turut berpengaruh terhadap kuantitas dan kualitas data yang didapat.

  Dari data yang kami dapat tentang kedua kelurahan di atas, nampak perbedaan kondisi birokrasi. Di Kelurahan Hamdan, data mengenai penduduk sangat kurang. Data yang ada di kantor kelurahan lebih banyak mencatat tentang sarana fisik, sedangkan kondisi manusianya kurang terdata. Hal ini tampak pada jumlah penduduk yang tercatat berdasarkan etnis sangat jauh lebih sedikit dibandingkan dengan jumlah penduduk. Selain itu pihak kelurahan juga mengakui kekacauan data sebab banyak masyarakat yang bermukim secara ilegal di dalam tapak, terutama daerah di pinggir sungai. Sementara itu di Kelurahan Aur data penduduk lebih baik daripada data sarana fisik.

Data penduduk berdasarkan suku dan etnis

  Kedua kelurahan, baik Aur maupun Hamdan merupakan daerah dengan kepadatan relatif tinggi dan etnis masyarakat yang beragam. Meski data yang didapat masih belum lengkap, namun bisa dilihat bahwa penduduk yang bermukim di daerah ini berasal dari berbagai etnis berbeda seperti Jawa, Aceh, Batak, Nias, Minang, Melayu, dan Tionghoa.

Tabel 2.1. Jumlah Penduduk Berdasarkan Suku dan Etnis

  Kelurahan Jumlah Penduduk Jawa Minang Melayu Aceh Batak Cina Total

  Aur 290 2503 210 65 160 362 3590

  Kelurahan Aceh Batak Nias Total LK 128 118 107 353

  Hamdan PR 133 121 112 246

  Sumber : Data Kelurahan Aur dan Hamdan

Data Penduduk berdasarkan mata pencaharian

  Di Kelurahan Aur, sebagian besar warga bekerja sebagai pedagang. Hal ini jelas terlihat lewat bangunan-bangunan rumah toko yang mendominasi daerah ini.

  Sementara di Kelurahan Hamdan umumnya warga bekerja sebagai pegawai negeri sipil dan pensiunan TNI.

Tabel 2.2. Jumlah Penduduk Berdasarkan Mata Pencaharian

  Kelur Jumlah Penduduk ahan

  

PEGAWAI

PNS ABRI POLRI PEDAGANG BURUH Total

SWASTA

  Aur 352 122 118 1981 2110 1586 6269 Kelurahan PNS Pedagang Dokter Bidan Pensiun swasta swasta TNI

  LK 147 6 - 2 115 270 Hamdan

  52

  3 - PR

  3

  4

  62 Sumber : Data Kelurahan Aur dan Hamdan

Data penduduk berdasarkan agama/ aliran kepercayaan

  Sebagian besar warga di daerah ini, yakni sekitar 60 % memeluk agama Islam. Warga lainnya merupakan pemeluk agama Protestan, Katolik, Hindu, serta Budha yang tidak terdata. Berikut ini merupakan data penduduk di kelurahan Aur berdasarkan agama/ aliran kepercayaan.

Tabel 2.3. Jumlah penduduk berdasarkan agama/ aliran kepercayaan

  No. Agama Jenis Kelamin

  LK (orang) PR (orang)

  1. Islam 2300 1320

  2. Protestan 415 530

  3. Katolik 115 150

  4. Hindu 103 107

  5. Budha

  6. Khonghucu

  7. Kepercayaan kpd Tuhan YME

  8. Aliran kepercayaan lainnya Jumlah

  2933 3107 Sumber : Data Kelurahan Aur dan Hamdan Data penduduk berdasarkan Pendidikan Berikut ini merupakan tabel data penduduk di Kelurahan Aur. Warga kelurahan ini umumnya merupakan tamatan SMA/sederajat.

Tabel 2.4. Jumlah penduduk berdasarkan tingkat pendidikan

  Jenis Kelamin No. Tingkat Pendidikan LK (orang) PR (orang)

  1. Usia 3-6 tahun yang belum masuk TK

  42

  47

  2. Usia 3-6 tahun yang sedang TK/ play group

  86

  99

  3. Usia 7-18 tahun yang tidak pernah sekolah

  4. Usia 7-18 tahun yang sedang sekolah 307 328

  5. Usia 18-56 tahun yang tidak pernah sekolah

  6. Usia 18-56 tahun yang tidak tamat SD 208 215

  Usia 18-56 tahun yang tidak tamat SLTP 283 297 7. Usia 18-56 tahun yang tidak tamat SLTA 202 696 8.

  9. Tamat SD/ sederajat 364 391

  10. Tamat SMP/ sederajat 178 489

  11. Tamat SMA/ sederajat 514 589

  12. Tamat D-1/ sederajat

  31

  26

  13. Tamat D-2/ sederajat

  19

  17

  14. Tamat D-3/ sederajat

  15

  7

  15. Tamat S-1/ sederajat

  23

  29

  16. Tamat S-2/ sederajat

  9

  7

  2

  17. Tamat S-3/ sederajat

  18. Tamat SLB A

  19. Tamat SLB B

  20. Tamat SLB C Jumlah 3266 3266

  Sumber : Data Kelurahan Aur dan Hamdan Data-data di atas sangat menunjukkan keragaman penduduk, baik dari sisi sosial, ekonomi, dan budaya. Hal seperti ini memang tidak dapat dihindari dalam lingkungan kota. Wirth (1897-1952) mendifinisikan kota sebagai pemukiman yang relatif besar, padat dan permanen, dihuni oleh orang-orang yang heterogen kedudukan sosialnya. Akibatnya hubungan sosialnya menjadi longgar acuh dan

  1 tidak pribadi (impersonal relation ). Sementara itu ahli Geografi Indonesia, Prof.

  Bintarto (1983) mengartikan kota sebagai suatu sistem jaringan kehidupan manusia yang ditandai dengan strata sosial ekonomi yang heterogen dan coraknya yang materialistis, atau dapat pula diartikan sebagai benteng budaya yang ditimbulkan oleh unsur-unsur alami dan non alami dengan gejala-gejala pemutusan penduduk yang cukup besar dengan corak kehidupan yang bersifat heterogen dan materialistis dibandingkan dengan daerah belakangnya. 1 Heterogenitas dalam ciri-ciri sosial, budaya dan ekonomi seringkali menimbulkan

  Impersonal relation diartikan sebagai relasi atau hubungan yang sifatnya formal atau sekadarnya saja, sehingga tidak terjalin hubungan yang dekat atau akrab. interseksi sosial, mobilitas sosial, dan dinamika sosial dalam masyarakat perkotaan. Hal ini mungkin muncul akibat proses urbanisasi dan migrasi masyarakat dari berbagai daerah ke lingkungan kota.

  Dampak dari perbedaan sosial ini adalah interaksi sosial yang cenderung sedikit. Dalam beberapa kali peninjauan ke tapak proyek, saya mendapati bahwa masyarakat di sekitar tapak tidak banyak berinteraksi satu sama lain. Lingkungan ini relatif sepi, tidak ada aktivitas bersama di luar rumah. Hal ini bisa berpengaruh buruk terhaadap sistem pengawasan sosial. Kondisi seperti ini mungkin terjadi karena sebagian besar warga memiliki jam kerja yang padat dan hanya menghabiskan sedikit waktu di rumah. Selain itu faktor penerangan yang kurang baik di ruang luar seperti jalan juga menghambat keinginan warga untuk beraktivitas di luar.

  Dalam kehidupan masyarakat kota yang heterogenis, interaksi yang terjalin cenderung terbatas pada kelompok-kelompok tertentu saja, dimana ada hubungan timbal-balik yang orientasinya adalah keuntungan atau pamrih. Hal ini membuat hubungan yang terjadi hanya seperlunya saja. Contohnya, persahabatan tidak lagi lahir karena adanya kesamaan latar belakang, tempat tinggal, norma, tradisi, dan sejenisnya. Hubungan persahabatan lahir dari kebutuhan dan kepentingan yang sama di dalam kehidupan kota yang kompleks. Emile Durkheim (1858

  • – 1917) menyatakan bahwa dalam masyarakat yang lebih kompleks dan modern seperti perkotaan, orang-orang yang ada di dalamnya berbeda satu dengan
yang lainnya dalam hal agama, politik, etnik, dan latar belakang. Solidaritas sosial

  2

  di perkotaan modern, menurut Durkheim, adalah solidaritas organik , tidak didasarkan atas kesamaan-kesamaan melainkan oleh ketergantungan pada posisi sosial dan okupasional masing-masing. Selain itu masyarakatnya yang heterogen dan kurang saling mengenal satu sama lain membuat sistem pengawasan sosial perilaku antar anggota masyarakatnya makin sulit terkontrol.

  

Sistem Organisasi dan Kepemimpinan

  Selain masyarakat sebagai calon penghuni bangunan, sistem organisasi stakeholder (instansi terkait) juga perlu diperhatikan untuk menjamin kemudahan administrasi penghuni. Setiap penghuni apartemen harus tercatat dalam data kependudukan kelurahan. Salah satu hal yang belum bisa dipastikan adalah wilayah administrasi tapak, sebab kondisi tapak yang terbagi dua oleh aliran sungai dan memang keduanya saat ini merupakan bagian dari dua kelurahan berbeda. Tapak di Jalan Mangkubumi merupakan wilayah Kelurahan Aur, sedangkan tapak di Jalan Badur merupakan wilayah Kelurahan Hamdan.

  Sistem kepengurusan kelurahan ditangani oleh lurah dan sekretaris lurah, serta dibantu oleh beberapa kepala seksi, di antaranya bagian pemerintahan, pembangunan, dan trantib. Selain itu wilayah dalam satu kecamatan terbagi atas 2 beberapa lingkungan yang dipimpin oleh Kepling. Kelurahan Hamdan dan

  Solidaritas organik adalah sebuah konsep yang dinyatakan oleh Durkheim (1858-1917) yang terjadi pada masyarakat yang sudah kompleks (masyarakat perkotaan) karena adanya pembagian kerja (profesi) yang menimbulkan ketergantungan antar individu. Kelurahan Aur masing-masing terbagi atas sepuluh lingkungan. Dalam satu lingkungan terdapat 86-550 kepala keluarga (110-2.967 jiwa), dengan rata-rata 247 kepala keluarga setiap lingkungan.

  Sistem organisasi dan pendataan penghuni dalam apartemen direncanakan akan mengikuti bentuk yang telah ada, yaitu dengan pengelompokan, sehingga penawasan dan pelayanan bisa terlaksanana secara lebih mudah dan teratur.

  Peran proyek terhadap lingkungan sekitarnya

  Menurut saya interaksi terjalin lewat lingkungan yang terbuka. Kondisi masyarakat di sekitar tapak memang sangat beragam, mulai dari kalangan atas sampai bawah. Sebagian orang mungkin melihatnya sebagai hal yang harus dihindari, sebab seringkali menimbulkan kekacauan dan pemandangan yang buruk. Hal ini tampak pada proyek-proyek permukiman yang menutup diri terhadap lingkungannya dengan pagar tinggi yang selalu diawasi dengan petugas keamanan yang terlihat menakutkan sehingga tak sembarang orang bisa masuk. Mereka berusaha mengukuhkan diri sebagai komplek eksklusif yang tak mudah didekati apalagi dimasuki.

  Dilatarbelakangi oleh isu-isu di atas, proyek berusaha untuk mengurangi kecenderungan diferensiasi penduduk. Ruang yang transparan adalah sebuah konsep dimana pagar-pagar tinggi itu diruntuhkan. Meski kehidupan apartemen tidak bisa dipisahkan dari kehidupan mewah dan ekslusif, namun tak seharusnya permukiman menjadi terisolasi dari lingkungannya. Interaksi sosial harus tetap terjaga demi kenyamanan manusia. Seperti yang telah saya nyatakan sebelumnya dalam analisa kondisi tapak, keberadaan Sungai Deli mampu membentuk sebuah ruang komunal yang menarik banyak orang untuk bertemu dan berinteraksi di dalamnya. Ruang yang transparan memungkinkan setiap orang mampu mengawasi keadaan sekelilingnya.