BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Paradigma Kajian - Distorsi Komunikasi Komunitas Film Sumatera Utara (Kofi Sumut) (Studi Deskriptif Kualitatif Gangguan Komunikasi Organisasi Pada Komunitas Film Sumatera Utara Selama Produksi Sampai Dengan Pemutaran Perdana Film

BAB II KAJIAN PUSTAKA

2.1 Paradigma Kajian Riset adalah sebuah kegiatan menggambarkan sebuah objek.

  Menggambarkan sebuah objek terkadang menyulitkan. Becker mendefinisikan perspektif sebagai seperangkat gagasan yang melukiskan karakter situasi yang memungkinkan pengambilan tindakan, suatu spesifikasi jenis-jenis tindakan yang secara layak dan masuk akal dilakukan orang, standar nilai yang memungkinkan orang dapat dinilai (Mulyana, 2001: 5). Sedangkan Wimmer & Domininck dalam (Kriyantono, 2006: 48) menyebut pendekatan dengan paradigma, yaitu seperangkat teori, prosedur, dan asumsi yang diyakini tentang bagaimana peneliti melihat dunia. Perspektif tercipta berdasarkan komunikasi antar anggota suatu kelompok selama seseorang menjadi bagian kelompok tersebut.

  Menurut Mulyana, jenis perspektif atau pendekatan yang disampaikan oleh teoretisi bergantung pada bagaimana teoretisi itu memandang manusia yang menjadi objek kajian mereka. Adapun metodologi yang digunakan peneliti dalam pembahasannya adalah metode deskriptif kualitatif dengan paradigma konstruktivisme. Asumsi ontologis pada paradigma konstruktivisme menganggap realitas merupakan konstruksi sosial, kebenaran suatu realitas bersifat relatif, berlaku sesuai konteks spesifik yang dinilai relevan oleh pelaku sosial. Selain itu realita juga dianggap sebagai hasil konstruksi mental dari individu pelaku sosial, sehingga realitas dipahami secara beragam dan dipengaruhi oleh pengalaman, konteks dan waktu (Kriyantono, 2006: 51).

  Secara epistemologis, pemahaman tentang suatu realitas atau temuan suatu penelitian merupakan produk interaksi antara peneliti dengan yang diteliti. Didalam paradigma ini, peneliti dan objek atau realitas yang diteliti merupakan kesatuan realitas yang tidak terpisahkan. Peneliti merupakan fasilitator yang menjembatani keragaman subyektivitas pelaku sosial dalam rangka merekonstruksi realitas sosial. Dari sisi aksiologis, peneliti akan memperlakukan nilai, etika dan pilihan moral sebagai bagian integral dari penelitian dengan tujuan merekonstruksi realitas sosial secara dialektis antara peneliti dengan pelaku sosial yang diteliti.

2.1.1 Konstruktivisme

  Menurut Matthews (1994) kontruktivisme adalah suatu filsafat pengetahuan yang menekankan bahwa pengetahuan menusia merupakan hasil kontruksi dari manusia itu sendiri (Suparno, 1997: 18). Realitas bagi konstruktivis tidak pernah terpisah dari pengamat. Kebenaran dalam pemikiran ini dipandang dalam kerangka kemampuan beroprasinya suatu konsep atau pengetahuan. Artinya sebuah pengetahuan dipandang benar apabila pengetahuan ini dapat digunakan untuk menghadapi berbagai fenomena atau persoalan yang terkait dengan pengetahuan tersebut.

  Sebagai sebuah pemikiran, konstruktivis sudah dimulai sejak Giambatista Vico, seorang epistemology Itali pada tahun 1710. Vico mengungkapkan bahwa “mengetahui” berarti mengetahui bagaimana mengkontruksi sesuatu. Bagi Vico, pengetahuan akan memacu pada struktur konsep yang dibentuk. Pengetahuan juga tak dapat dipisahkan dari subjek yang memiliki pengetahuan itu (Suparno, 1997: 24). Suatu ilmu pengetahuan setelah mengalami proses yang cukup lama menjadi sebuah ilmu pengetahuan yang lazim bagi manusia untuk dijadikan landasan dalam menjalani dalam kehidupan keseharian. Sebelum dilazimkan oleh manusia, sebuah pengetahuan mengalami penyempurnaan akibat bertambahnya pengalaman baru manusia yang disebut proses reorganisasi ilmu pengetahuan yang berupa pendefinisian kembali, pemantapan konsen dan ilmu pengetahuan yang relatif baku.

  Van Peursen membagi konstruktivisme dalam beberapa kelompok. Kelompok pertama dinyatakannya sebagai kelompok yang paling dekat dengan positivisme logis sebab sangat mementingkan logis ilmu. Kelompok ini disebut juga sebagai tesis “Duhem-Quine” mengacu pada pendapat WVO Quine yang disebut sebagai bentuk holisme atau bertolak pada keseluruhan. Sedangkan P.

  Duhem mengajarkan bahwa suatu sistem ilmiah terdiri atas lambang-lambang (simbol), atas konstruksi simbolik melalui kaidah logis seakan-akan menyajikan suatu “terjemahan” mengenai data empiris. Oleh karenanya ilmu harus mengadakan kontak dengan pengalaman. Apabila terjadi konflik antara ilmu dengan pengalaman maka hal itu menyangkut sistem sebagai keseluruhan. Namun demikian ini tidak berarti bahwa seluruh sistem harus dihapus, biasanya cukup mempengaruhi terjemah dengan mengganti lambang-lambang tertentu. Quine melawan pendapat yang dogmatis dalam empirisme.

  Kelompok kedua diberi nama “filsafat ilmu baru”. Para tokoh dalam kelompok ini diantaranya P.K Feyeabend, N.R Hansen, Thomas Kuhn, M. Polanyi, S. Toulmin. Kelompok ini melangkah lebih jauh lagi di mana sistem dan kenyataan empiris saling serap-menyerapi. Perkembangan ilmu terjadi melalui aturan di luar ilmu lebih berperan, seperti misalnya anggapan susila dan sosial. Kelompok ini menaruh perhatian besar terhadap upaya menyusun suatu teori ilmiah, sehingga heuristic juga diperhatikan. Setiap analisis ilmiah bertolak dari organisasi bahan yang mendahuluinya, bertitik tolak pada gambaran menyeluruh menentukan terbentuknya sistem ilmu. Kuhn berpendapat bahwa pembenaran suatu teori bergantung pada struktur menyeluruh yang baru (paradigma). Verifikasi dan falsifikasi bukanlah hal yang menentukan. Heuristik mulai memegang peranan penting bagi metode suatu ilmu, khususnya bagi pembaharuannya.

  Kelompok ketiga yang menganut paham konstruktivisme disebut aliran “genetis”. Kelompok ini berpendapat bahwa terjadinya sistem, genesis sistem, merupakan bagian dari sifat khas sistem semacam itu. Proses terjadinya (genesis) dan hasilnya tidak dapat dipisahkan. Aliran ini dipengaruhi oleh pragmatisme dan instrumentalisme dari Charles S. Pierce dan J. Dewey. Titik pangkalnya dari anggapan Pierce dengan ajarannya tentang abduksi. Selain deduksi dan induksi, Pierce menyampaikan metode abduksi (http://ilmubagi.blogspot.com).

  Terdapat dua cabang konstruktivisme psikologis, yaitu konstruktivisme psikologi personal yang dikembangkan Piaget dan konstruktivisme sosiokultural dari Vigotsky. Sementara konstruktivisme sosiologi berdiri sendiri. Berdasarkan pembedaan tersebut dapat dikelompokkan konstruktivisme psikologis personal, konstruktivisme sosiokultural, dan konstruktivisme sosiologis.

  Konstruktivisme psikologis personal menekankan aktivitas individual dalam pembentukan pengetahuan. Konstruktivisme sosiokultural berfokus pada hubungan dialektik individu dengan masyarakat dalam membentuk pengetahuan. Sementara itu, konstruktivisme sosiologis merupakan konstruktivisme yang tergolong personal sekaligus sosial. Dalam pandangan ini, realitas dikonstruksi dan ditentukan secara sosial (Suparno, 1997: 43).

  Paradigma konstruktivisme dalam ilmu sosial merupakan kritik terhadap paradigma positivis. Menurut paradigma konstruktivisme realitas sosial yang diamati oleh seseorang tidak dapat digeneralisasikan pada semua orang yang biasa dilakukan oleh kaum positivis. Paradigma konstruktivisme yang ditelusuri dari pemikiran Weber, menilai perilaku manusia secara fundamental berbeda dengan perilaku alam karena manusia bertindak sebagai agen yang mengontruksi dalam realitas sosial mereka, baik melalui pemberian makna maupun pemahaman perilaku di kalangan mereka sendiri.

  Paradigma konstruktivisme menolak pandangan positivisme yang memisahkan subjek dengan objek komunikasi. Dalam pandangan konstruktivisme, bahasa tidak lagi hanya dilihat sebagai alat untuk memahami realitas objektif belaka dan dipisahkan dari subjek sebagai penyampai pesan. Konstruktivisme justru menganggap subjek (komunikan/decoder) sebagai faktor sentral dalam kegiatan komunikasi serta hubungan-hubungan sosial (http://terinspirasikomunikasi.blogspot.com).

  Paradigma konstruktivisme adalah dapat ditelusuri dari pemikiran Weber yang menjadi ciri khas bahwa prilaku manusia secara fundamental berbeda dengan prilaku alam. Manusia bertindak sebagai agen dalam bertindak mengkonstruksi realitas sosial. Cara konstruksi yang dilakukan kepada cara memahami atau memberikan makna terhadap prilaku mereka sendiri. Weber melihat bahwa individu yang memberikan pengaruh pada masyarakat dengan beberapa catatan, bahwa tindakan sosial individu berhubungan dengan rasionalitas. Tindakan sosial yang dimaksudkan oleh Weber berupa tindakan yang nyata-nyata diarahkan kepada orang lain. Juga dapat berupa tindakan yang bersifat membatin, atau bersifat subjektif yang mengklaim terjadi karena pengaruh positif dari situasi tertentu (http://www.scribd.com).

  Kajian paradigma konstruktivisme ini menempatkan posisi peneliti setara dan sebisa mungkin masuk dengan subjeknya, dan berusaha memahami dan mengontruksikan sesuatu yang menjadi pemahaman subjek yang akan diteliti. Dalam suatu kelompok setiap individu pasti berinteraksi dan menjalin komunikasi dalam kelompok. Ada yang menjadi komunikator dan komunikan dalam pertukaran informasi, namun masing-masing individu menerima informasi tersebut dan mengkonstruksinya. Setiap individu mendapatkan pengetahuan dengan konstruksi pikirannya dan konstruksi dari individu lain serta lingkungan yang ada disekitarnya sehingga menciptakan suatu realitas sosial yang dibentuk oleh manusia itu sendiri.

2.2 Kajian Pustaka

  Sebelum melakukan penelitian, peneliti memerlukan kejelasan berpikir mengenai teori sebagai landasan atau dasar dari penelitian. Untuk itu perlu disusun kerangka teori yang memuat pokok - pokok pikiran yang menggambarkan dari sudut mana masalah penelitian yang akan diteliti. Berdasarkan alasan itu, maka peneliti melaksanakan penelitian menggunakan teori–teori yang relevan dengan topik permasalahan yaitu:

2.2.1 Komunikasi

  Istilah komunikasi secara etimologis dalam bahasa latin yaitu communis yang artinya sama, sama yang dimaksud yaitu suatu usaha yang memiliki tujuan untuk kebersamaan atau kesamaan makna. Selain itu komunikasi secara terminologis merujuk kepada adanya proses penyampaian suatu pernyataan antar manusia yang bersifat umum melalui simbol-simbol yang berarti, simbol-simbol yang dimaksud adalah verbal dan nonverbal.

  Menurut Book, komunikasi adalah suatu transaksi, proses simbolik yang mengatur lingkungannya dengan membangun hubungan antarsesama manusia melalui pertukaran informasi untuk menguatkan sikap dan tingkah laku orang lain serta berusaha mengubah sikap dan tingkah laku komunikator tersebut (Cangara, 2006: 18-19). Komunikasi sebagai suatu transaksi maksudnya adalah komunikasi sebagai proses yang dinamis dan kesinambungan mengubah pihak-pihak yang berkomunikasi. Berdasarkan pandangan ini, maka orang-orang yang berkomunikasi dianggap sebagai komunikator yang secara aktif mengirim dan menafsirkan pesan. Setiap saat mereka bertukar pesan verbal dan nonverbal (Mulyana, 2005: 61-69). Tujuan dari komunikasi itu sendiri adalah mengubah sikap (to change the attitude), mengubah opini pendapat/ pandangan (to change

  the opinion ), mengubah perilaku (to change the behaviour) dan mengubah masyarakat (to change the society) (Fajar, 2009: 39).

  Hal yang paling penting dalam tujuan komunikasi ini adalah bagaimana seorang komunikator dapat merubah sikap dari komunikan pada saat proses komunikasi berlangsung. Berlangsungnya proses komunikasi ini ditentukan oleh komunikator (who), komunikator memiliki fungsi utama sebagai pengirim pesan. Informasi apa (says what) yang ingin disampaikan, kemudian pesan tersebut akan dikonstruksikan sesuai yang diinginkan komunikator yang kemudian akan diteruskan melalui suatu saluran (medium) kepada penerima pesan (to whom). Setelah pesan diterima dan dipahami, penerima pesan akan memberikan efek terhadap pesan yang diterimanya kepada pengirim pesan. Komunikasi dapat dikatakan sukses apabila penerima informasi memperoleh pemahaman yang cermat atas pesan yang disampaikan. Komunikasi yang baik dan benar perlu dihayati dan digunakan agar ide, gagasan, keinginan, harapan serta perintah yang dapat terealisasikan oleh satu individu dengan individu lain dapat dimengerti, dipahami, dihayati serta dilaksanakan demi kepentingan baik itu individu, kelompok atau organisasi.

2.2.2 Pengertian Organisasi

  Ada bermacam-macam pendapat mengenai apa yang dimaksud dengan organisasi. Schein (dalam Muhammad, 2009: 23) mengatakan bahwa organisasi adalah suatu koordinasi rasional kegiatan sejumlah orang untuk mencapai beberapa tujuan umum melalui pembagian pekerjaan dan fungsi melalui hierarki otoritas dan tanggung jawab. Schein juga menyatakan bahwa organisasi mempunyai karakteristik tertentu yaitu mempunyai struktur, tujuan, saling berhubungan satu bagian dengan bagian yang lain dan tergantung kepada komunikasi manusia untuk mengkoordinasikan aktivitas dalam organisasi tersebut. Sifat tergantung antara satu bagian dengan bagian yang lain menandakan bahwa organisasi yang dimaksud oleh Schein ini adalah suatu sistem.

  Selanjutnya Kochler (dalam Muhammad, 2009: 23-24) mengatakan bahwa organisasi adalah sistem hubungan yang tersetruktur yang mengkoordinasi suaha suatu kelompok orang untuk mencapai tujuan tertentu. Lain lagi dengan pendapat Wright (dalam Muhammad, 2009: 24) dia menyatakan bahwa organisasi adalah suatu sistem terbuka dari aktivitas yang dikoordinasi oleh dua orang atau lebih untuk mencapai suatu tujuan bersama.

  Walaupun ketiga pendapat mengenai organisasi tersebut kelihatan berbeda-beda perumusannya tapi ada tiga hal yang sama-sama dikemukakan, yaitu: organisasi merupakan suatu sistem, mengkoordinasi aktivitas dan mencapai tujuan bersama atau tujuan umum. Dikatakan merupakan suatu sistem karena organisasi itu terdiri dari berbagai bagian yang saling bergantung satu sama lainnya. bila satu bagian terganggu maka akan ikut berpengaruh pada bagian yang lainnya. setiap organisasi memerlukan koordinasi supaya masing-masing bagian dari organisasi bekerja menurut semestinya dan tidak mengganggu bagian lainnya. tanpa koordinasi sulitlah organisasi itu berfungsi dengan baik. Selain itu organisasi juga memiliki aktivitasnya masing-masing sesuai dengan jenis organisasi (Muhammad, 2009: 24).

  Organisasi merupakan suatu struktur hubungan manusia. Struktur ini didesain oleh manusia dan karena itu tidak sempurna. Organisasi bertumbuh dan bertambah matang sebagian melalui suatu skema yang didesain dan sebagian lagi melalui keadaan yang tidak diatur. Elemen pertumbuhan yang didesain adalah suatu respons rasional terhadap tekanan dari dalam untuk memperluas atau untuk membentuk hubungan kembali karena diperlukan secara fungsional. Sebaliknya perubahan yang tidak terstruktur terjadi sebagai hasil ketidakteraturan, terjadi sebagai respons secara tidak rasional terhadap bermacam-macam kebudayaan, dan kekuatan yang bersifat psikologis pada orang-orang dalam organisasi (Muhammad, 2009: 24).

2.2.3 Komunikasi Organisasi

  Kata komunikasi berasal dari perkataan communication, dan perkataan ini berasal dari bahasa Latin Communis yang artinya sama, dalam arti kata sama makna mengenai suatu hal. Jadi komunikasi berlangsung antar orang-orang yang terlibat terdapat kesamaan makna mengenai suatu hal yang dikomunikasikan secara jelas (Effendy, 1993: 30).

  Komunikasi organisasi adalah pengiriman dan penerimaan berbagai pesan di dalam kelompok formal maupun informal dari suatu organisasi (Wiryanto, 2005: 54). Komunikasi formal adalah komunikasi yang disetujui oleh organisasi itu sendiri dan sifatnya berorientasi kepentingan organisasi. Berupa cara kerja organisasi, produktivitas dan berbagai kegiatan yang harus dilakukan dalam organisasi.

  Komunikasi organisasi merupakan sebuah proses penyampaian pesan, ide- ide atau sikap dalam suatu organisasi, seperti institusi pemerintahan, swasta maupun pendidikan. Proses penyebaran atau penyampaian pesan, ide-ide atau sikap ini terjadi antara pimpinan, pegawai dan teman sejawat yang juga dapat menggunakan media informasi. Adapun pembagian atau pertukaran pesan-pesan tersebut melalui proses dua arah agar makna pesan yang disampaikan dapat dan diterima dengan baik, sebagaimana yang dimaksudkan oleh pengirim pesan.

  Menurut Redding dan Sanborn komunikasi organisasi adalah pengiriman dan penerimaan informasi dalam organisasi yang kompleks. Yang termasuk di dalamnya antara lain: komunikasi downward, komunikasi upward, komunikasi horizontal atau komunikasi dari orang-orang yang sama tingkatannya dalam organisasi. Keterampilan berkomunikasi dan berbicara, mendengarkan, menulis dan mengevaluasi program (Muhammad, 2009: 65).

  Komunikasi organisasi menurut Wayne adalah suatu pertunjukan dan penafsiran pesan di antara unit-unit komunikasi yang merupakan bagian dari suatu organisasi tertentu. Suatu organisasi terdiri dari unit-unit komunikasi dalam hubungan-hubungan hierarkis antara yang satu dan lainnya dan berfungsi dalam suatu lingkungan (Umar, 2002: 8-9).

  Korelasi antara ilmu komunikasi dengan organisasi terletak pada peninjauannya yang terfokus kepada orang-orang yang terlibat dalam mencapai tujuan organisasi tersebut. Ilmu komunikasi mempertanyakan bentuk komunikasi apa yang berlangsung dalam organisasi, metode dan teknik apa yang dipergunakan, media apa yang dipakai, bagaimana prosesnya, faktor-faktor apa yang menjadi penghambat dan sebagainya. Jawaban-jawaban bagi pertanyaan- pertanyaan tersebut adalah untuk bahan telaah untuk selanjutnya menyajikan suatu konsepsi komunikasi bagi suatu organisasi tertentu berdasarkan jenis organisasi, sifat organisasi, dan lingkup organisasi dengan memperhitungkan situasi tertentu pada saat komunikasi dilancarkan.

  Arus komunikasi dalam organisasi meliputi komunikasi vertikal dan komunikasi horizontal. Masing-masing dari arus komunikasi tersebut mempunyai perbedaan fungsi yang sangat tegas. Ronald Adler dan George Rodman dalam buku Understanding Human Communication mencoba menguraikan masing- masing fungsi dari kedua arus komunikasi dalam organisasi tersebut. Pertama adalah downward communication. Komunikasi ini berlangsung ketika orang- orang yang berada pada tataran manajemen mengirimkan pesan kepada bawahannya. Fungsi arus komunikasi dari atas ke bawah ini adalah (dalam Sendjaja, 1994: 133-134): 1.

  Pemberian atau penyampaian instruksi kerja (job instruction).

  2. Penjelasan dari pimpinan tentang mengapa suatu tugas perlu untuk dilaksanakan (job rationale).

  3. Penyampaian informasi mengenai peraturan-peraturan yang berlaku (procedures and practices).

  4. Pemberian motivasi kepada karyawan untuk bekerja lebih baik.

  Sedangkan upward communication terjadi ketika bawahan mengirim pesan kepada atasannya. Fungsi arus komunikasi dari bawah ke atas ini adalah:

  1. Penyampaian informasi tentang pekerjaan ataupun tugas yang sudah dilaksanakan.

  2. Penyampaian informasi mengenai persoalan-persoalan pekerjaan ataupun tugas yang tidak dapat diselesaikan oleh bawahan.

  3. Penyampaian saran-saran perbaikan dari bawahan.

  4. Penyampaian keluhan dari bawahan mengenai dirinya sendiri maupun pekerjaannya.

  Arus komunikasi berikutnya adalah horizontal communication. Tindakan komunikasi ini berlangsung di antara para karyawan ataupun bagian yang memiliki kedudukan yang setara. Fungsi arus komunikasi horizontal ini adalah: 1.

  Memperbaiki koordinasi tugas.

  2. Upaya pemecahan masalah.

  3. Saling berbagi informasi.

  4. Upaya memecahkan konflik.

  5. Membina hubungan melalui kegiatan bersama. Pentingnya komunikasi bagi manusia tidaklah dapat dipungkiri, begitu juga halnya bagi suatu organisasi. Dengan adanya komunikasi yang baik, suatu organisasi dapat berjalan dengan lancar dan berhasil begitu pula sebaliknya, kurangnya atau tidak adanya komunikasi, organisasi dapat macet atau berantakan. Pengkajian mengenai peranan komunikasi dalam organisasi oleh para ahli semakin berkembang, karena pengaruh dari komunikasi dalam organisasi dipandang dapat meningkatkan sumber daya manusia dan produktivitas dalam organisasi dengan terciptanya hubungan antar individu dalam organisasi tersebut (Kholil, 2011: 86). Komunikasi yang efektif dalam organisasi dapat ditingkatkan dengan suatu pengetahuan mengenai dasar-dasar yang paling mendasar mengenai hubungan manusia.

2.2.4 Elemen Organisasi

  Organisasi sangat bervariasi ada yang sangat sederhana dan ada pula yang sangat kompleks. Maka untuk membantu kita memahami organisasi tersebut perhatikan model berikut yang menggambarkan elemen dasar dari organisasi dan saling keterkaitan satu elemen dengan elemen yang lainnya.

Gambar 2.1 Lingkungan (Environment)

  Struktur Sosial Teknologi

  Tujuan Partisipan

  Sumber: Model Elemen Organisasi Scott (dalam Muhammad, 2009: 25)

2.2.5 Peranan Komunikasi dalam Organisasi

  Kalau orang-orang yang belum memiliki bahasa yang umum, mereka akan kehilangan kemampuan untuk berkomunikasi dengan seseorang dan yang lainnya. Mereka tidak dapat melakukan kerja secara bersama. Organisasi disusun untuk melakukan tugas untuk mencapai tujuan. Dalam susunan ini para manajer, para bawahan, rekan-rekan setaraf, serta lingkungan eksternal perlu dihubungkan oleh proses-proses komunikasi yang teratur. Lebih lanjut untuk pencapai tujuan, organisasi meminta agar kepemimpinan agar digunakan, orang-orang mendorongnya, berbagai keputusan dibuat, usaha-usaha terkoordinasi serta pelaksanaan terkendali. Masing-masing dari fungsi ini melibatkan interaksi di antara setiap orang jadi dengan demikian mereka membutuhkan komunikasi. Walaupun keunggulannya demikian besar, komunikasi mempunyai beberapa pembatasan. Hal tersebut merupakan cara para manajer berfungsi dank arena itu seharusnya tidak dipandang sebagai dasar manajemen yang baik. Jika seorang manajer telah membuat rencana yang kurang baik, komunikasi yang baik tidak akan mengimbangi kekeliruan perencanaan. Semua manajer, memerlukan penempatan komunikasi dalam perspektif yang tepat sebagai proses yang penting, yang tidak mengganti tujuan manajemen yang baik melainkan memungkinkannya membawa tujuan-tujuan apa yang baik yang dapat mereka hasilkan (Hicks, 1975: 523-524).

  2.2.5.1 Keektifan Komunikasi Organisasi

  Sejumlah waktu yang besar yang disediakan dalam organisasi hanya untuk melakukan komunikasi, maka para anggota organisasi sebenarnya telah menjadi komunikator yang cakap. Sayangnya hal ini bukan keadaan yang perlu. Suatu organisasi mungkin menekankan latihan dan mengembangkan pengetahuan- pengetahuan pengelolaan yang lainnya, tetapi biasanya komunikasi akan selalu dianggap benar. Bahwa kelihatannya jika seorang individu dapat berbicara, membaca dan menulis organisasi menganggap bahwa ia dapat berkomunikasi. Akan tetapi komunikasi bukanlah hanya sekedar membaca, menulis dan berbicara melainkan pemindahan informasi dan pengertian dari seorang kepada yang lainnya.

  Pengaruh komunikasi terhadap produktivitas organisasi telah ditegaskan oleh sejumlah penelitian. Misalnya, suatu penelitian terhadap 27 cabang dari suatu organisasi pengepakan dan pengiriman diadakan untuk menentukan mengapa cabang-cabang telah mengalami suatu variasi yang luas di bidang produktivitas. Untuk maksud ini, data komunikasi dikumpulkan oleh suatu survey terhadap 975 karyawan pada berbagai cabang perusahaan tersebut. Tatkala data produktivitas dan komunikasi dibandingkan hal tersebut dapat disimpulkan bahwa prestasi yang tinggi pada berbagai cabang korelasinya cenderung positif dengan keterbukaan jalur-jalur komunikasi diantara atasan dan bawahan (Hicks, 1975: 525-526).

  2.2.5.2 Jaringan-Jaringan Komunikasi Dalam Organisasi

  Suatu sudut penganalisaan suatu organisasi adalah untuk meninjaunya sebagai suatu jaringan komunikasi. Dalam pengertian ini, suatu peta organisasi merupakan suatu diagram arus komunikasi formal dalam organisasi. Arus informasi yang menurun dari atasan sampai bawahan dengan melalui tingkatan yang bermacam-macam dalam organisasi dan arus-arusnya yang baik dengan melalui jaringan yang sama. Informasi akan mengalir dari manager yang memimpin pada sebuah perusahaan kepada kepala bagian, dari kepala bagian kepada para mendor, dan dari mandor kepada para pekerja. Tambahan pula komunikasi yang menurun akan memanfaatkan rangkaian yang sama dalam kebalikannya (Hicks, 1975: 526).

2.2.6 Tujuan dan Fungsi Komunikasi Organisasi

  Menurut Liliweri ada 3 tujuan utama dari komunikasi organisasi yang terdiri atas tindakan koordinasi, membagi informasi (information sharing) dan komunikasi bertujuan untuk menampilkan perasaan dan emosi. Secara garis besar ketiga tujuan tersebut adalah sebagai berikut:

  Pertama, sebagai tindakan koordinasi komunikasi dalam organisasi bertujuan untuk mengkoordinasi sebagian atau keseluruhan tugas yang telah ditetapkan perunit dalam organisasi itu dan fungsi masing-masing yang melaksanakan aktivitas mereka tanpa keterkaitan satu sama lainnya (tanpa sinkronisasi dan harmonisasi). Organisasi tanpa koordinasi, organisasi tanpa komunikasi artinya organisasi itu menampilkan suatu aspek individual dan bukan menggambarkan aspek administrasi yang didalamnya terdapat kerjasama.

  Kedua, membagi informasi (information sharing) salah satu tujuan komunikasi yang penting adalah menghubungkan seluruh aparatur organisasi dengan tujuan organisasi. Komunikasi mengarahkan manusia dan aktivitas mereka dalam organisasi. Sebuah informasi yang dipertukarkan mempunyai fungsi untuk membagi kemudian mengartikan informasi itu sendiri tentang tujuan organisasi, arah dari suatu tugas yang diberikan, bagaimana usaha untuk mencapai hasil dan pengambilan keputusan.

  Ketiga, komunikasi bertujuan untuk menampilkan perasaan dan emosi, di dalam organisasi terdapat beberapa manusia yang bekerja sendiri maupun bekerja dengan orang lain. Mereka mempunyai kebutuhan, keinginan, perasaan, emosi dan kepuasan yang harus diungkapkan kepada individu lainnya. Mereka mempunyai keinginan bahkan kebutuhan untuk menyatakan kepuasan atas pekerjaan dan prestasi yang mereka telah mereka lakukan. Begitu juga sebaliknya mereka akan mengungkapkan hasrat marah ketika mereka telah gagal dalam menyelesaikan pekerjaannya, mereka juga dapat mengungkapkan kekhawatiran dan kecemasan yang akan dihadapi baik dari diri sendiri, kelompok maupun di unit kerja. Selain itu mereka juga akan mengungkapkan bagaimana rasa kepercayaan mereka mengenai apa yang dikerjakannya (Liliweri, 2004: 64-65).

  Menurut Sendjaja (1994: 136-137) dalam suatu organisasi yang berorientasi komersial maupun sosial terdapat beberapa fungsi komunikasi dalam organisasi diantaranya adalah fungsi informatif, fungsi regulatif, fungsi persuasif dan fungsi integratif. Berikut akan dipaparkan masing-masing fungsi sebagai berikut:

  1. Fungsi informatif Organisasi dipandang sebagai fungsi untuk menceritakan informasi yang terjadi terhadap orang yang terlibat didalam Organisasi. Dan dapat dipandang sebagai suatu sistem pemrosesan informasi, yang artinya seluruh anggota dalam organisasi itu mampu mempertukarkan informasi mengenai pekerjaan, diantaranya informasi tentang jaminan keamanan, jaminan sosial, asuransi kesehatan, izin cuti dan sebagainya.

  2. Fungsi regulatif Fungsi regulatif ini berkaitan dengan peraturan-peraturan yang berlaku dalam suatu organisasi. Orang-orang didalamnya mempunyai gagasan, ide, pendapat, fakta serta menjual sikap organisasi yang mana sikap tentang sesuatu itu merupakan subjek layanan. Misalnya sikap bawahan untuk menjalankan ketetapan dari organisasi itu sendiri.

  3. Fungsi persuasif Fungsi persuasif ini berkaitan dengan kekuasaan dan kewenangan tidak akan selalu membawa hasil sesuai yang diharapkan. Pimpinan biasanya lebih suka mempersuasikan bawahannya dari pada memberi perintah, gunanya agar lebih meningkatkan kemampuan karyawan untuk mencapai tujuan bersama lebih besar dibandingkan jika pimpinan sering memperlihatkan kekuasan dan kewenangan.

  4. Fungsi integratif Setiap organisasi berusaha untuk menyediakan saluran yang memungkinkan karyawan dapat melaksanakan tugas dan pekerjaan dengan baik

  (Sendjaja, 1994: 136-137).

  Condrad (1985) menyatakan bahwa terdapat fungsi khusus dalam komunikasi organisasi yaitu :

  1. Membuat para karyawan melibatkan dirinya ke dalam isu-isu organisasi lalu menerjemahkannya ke dalam tindakan tertentu di bawah sebuah “komando”. Ada dua tipe fungsi komando yang dimaksud yaitu pengarahan dan feedback.

  2. Membuat para karyawan menciptakan dan menangani relasi antara sesama bagi peningkatan produk organisasi. Tujuan menciptakan relasi di dalam komunikasi organisasi itu adalah untuk meningkatkan produksi organisasi.

3. Membuat para karyawan memiliki kemampuan untuk menangani atau mengambil keputusan-keputusan dalam suasana yang tidak pasti.

  Komunikasi organisasi memilih keputusan yang komplikatif dalam organisasi (Liliweri, 2004: 68).

2.3 Kegagalan Penggunaan Komunikasi

  Dalam hal ini ada beberapa yang cenderung menyebabkan kegagalan dalam penggunaan komunikasi (Hicks, 1975: 541-542), yaitu:

  1. Dogmatis Kita telah memperhatikan bahwa pengertian seseorang untuk melekatkan persepsinya adalah ditentukan oleh apa yang diketahuinya. Meskipun seseorang itu selalu berusaha menambah pengetahuannya, memiliki berbagai pendapat, sikap dan kepercayaannya. Dengan kata lain seseorang menarik kesimpulan dan menentukan posisinya mengenai pokok masalah tertentu dalam lingkungannya. Ironisnya pada saat pendapat, sikap dan kepercayaan ini diwujudkan, hal-hal tersebut dapat menghambat seseorang dari penerimaan komunikasi yang akurat.

  Hal ini dikarenakan kita cenderung untuk tidak memperdulikan atau menolak dalam hal penerimaan informasi tambahan yang bertentangan dengan posisi kita yang pertama. Sebagai contoh, seorang manager yang telah membentuk dan mempromosikan dengan kuat secara seksama kedudukan pabriknya yang baru mungkin menolak untuk mempertimbangkan sekalipun saran-saran untuk mengadakan perubahan.

  2. Stereotip Factor lain yang menyebabkan kegagalan komunikasi adalah stereotip, dalam ekspektasi menentukan isi komunikasi. Dalam hal ini pertimbangan dibuat secara kategori dan dengan demikian maka jasa-jasa yang tidak memadai dapat diadakan di antara proyek-proyek atau kejadian-kejadian mengenai hal apa yang telah dikomunikasikan. Sebagai contoh, seorang warga kota senior dapat pengetahui adanya sekelompok mahasiswa yang dilibatkan dalam suatu masalah yang menyulitkan, dari kejadian ini disimpulkannya bahwa kaum muda masa sekarang adalah kurang disiplin dan suka menentang. Atau kita dapat menjadi dewasa dengan meniru ketaatan sekitar kelompok kebudayaan tertentu yang mencegah kita bertindak untuk mengetahui seorang anggota dari kelompok kebudayaan tersebut dengan cara apapun. Dalam salah satu peristiwa, peniruan ini benar-benar mencampuri atau mengganggu komunikasi yang baik.

3. Pengaruh Lingkaran

  Pengaruh lingkaran adalah akibat dari dua pemikiran yang bernilai. Dalam situasi ini, kita melihat sesuatu hanya sebagai bagian dari dua belahan yang baik dan yang buruk, salah atau benar, putih atau hitam dan selanjutknya. Jadi kalau kita mendengarkan seseorang yang kita kagumi dan kita percaya kita akan dipengaruhi atau cenderung menyetujui apa saja yang dikatakannya. Sebaliknya, kita secara langsung akan cenderung menolak atau tidak menyetujui dengan apa yang kita tidak sukai dari orang-orang tersebut. Bahayanya di sini yaitu pada umumnya situasi tidak sama terbagi dua dan karenannya, pemikiran yang demikian pada umumnya dapat menyederhanakan secara berlebih-lebihan situasi- situasi yang riil.

2.4 Distorsi Komunikasi Organisasi

  Sering kali kita jumpai dalam suatu organisasi terjadi salah pengertian antara satu anggota dengan anggota yang lainnya atau antara atasan dengan bawahannya mengenai pesan yang mereka sampaikan dalam berkomunikasi. Hal ini disebabkan oleh berbagai hal diantaranya berasal dari cara orang memproses pesan yang mereka kirimkan atau terima, dan dari fungsi sistem organisasi itu sendiri (Muhammad, 2009: 206).

  Ada sejumlah prinsip yang merefleksikan faktor-faktor personal yang ikut memberikan kontribusi pada distorsi pesan. Faktor-faktor ini biasanya berasal dari konsep kita mengenai komunikasi sebagai tingkah laku dan proses untuk memperlihatkan arti yang ditentukan. Suatu tingkah laku komunikasi mengaktifkan alat-alat indera kita seperti penglihatan, pendengaran, penciuman, pengecap dan perasa. Pada saat kita dibombardir oleh bermacam-macam keterbatasan kita dalam proses berkomunikasi baik yang datang dari luar maupun yang datang dari dalam diri kita sendiri. Faktor yang utama yang memberikan kontribusi pada distorsi pesan dalam proses komunikasi, adalah persepsi kita mengenai pemberian komunikasi tersebut (Muhammad, 2009: 207). Menurut Katz dan Kahn organisasi adalah sebagai suatu sistem terbuka yang menerima energi dari lingkungannya dan mengubah energi ini menjadi produk atau jasa dari sistem dan dan mengeluarkan produk atau jasa ini kepada lingkungan. (Muhammad, 2009: 65).

  Komunikasi dalam organisasi tidak selamanya berjalan dengan mulus seperti yang diharapkan. Seringkali dijumpai dalam suatu organisasi terjadi salah pengertian antara satu anggota dengan anggota lainnya atau antara atasan dengan bawahannya mengenai pesan yang mereka sampaikan dalam berkomunikasi. Robbins (dalam Masmuh, 2010: 80-82) meringkaskan beberapa hambatan komunikasi sebagai berikut: 1) Penyaringan (filtering).

  Hambatan ini merupakan komunikasi yang dimanipulasikan oleh si pengirim sehingga nampak lebih bersifat menyenangkan si penerima. Komunikasi semacam ini dapat berakibat buruk bagi organisasi, karena jika informasinya dijadikan dasar pengambilan keputusan, maka keputusan yang kelak akan dihasilkan berkualitas rendah. 2) Perspektif selektif.

  Hambatan ini merupakan keadaan di mana penerima pesan di dalam proses komunikasi melihat dan mendengar atas dasar keperluan, motivasi, latar belakang pengalaman, dan ciri-ciri pribadi lainnya. Jadi, boleh jadi tidak sama dengan apa yang dilihat dan didengar oleh orang lain. Hal ini disebut juga adanya perbedaan persepsi sehingga dapat menjadi penghambat bagi komunikasi yang efektif. 3) Perasaan

  Hambatan ini merupakan bagaimana perasaan penerima pada saat dia menerima pesan komunikasi akan mempengaruhi cara dia menginterpretasikan pesan. Pesan yang sama yang diterima oleh seseorang di saat sedang marah akan berbeda penafsirannya jika ia menerima pesan itu dalam keadaan normal. 4) Bahasa

  Kata-kata memiliki makna yang berbeda antara seseorang dengan orang lain. Kadang-kadang, arti dari sebuah kata tidak berada pada kata itu sendiri tetapi pada kita. Umur, pendidikan, lingkungan kerja dan budaya adalah hal-hal yang secara nyata dapat mempengaruhi bahasa yang dipakai oleh seseorang, atau definisi yang dilekatkan pada suatu kata.

2.4.1 Faktor Personal Yang Mempengaruhi Distorsi

  Faktor persepsi memegang peranan penting dalam proses komunikasi maka perlulah diketahui apa yang dimaksud persepsi. Menurut Lewis bahwa persepsi adalah proses pengamatan, pemilihan, pengorganisasian stimulus yang sedang diamati dan membuat interpretasi mengenai pengamatan itu. Persepsi berkenaan dengan penerimaan dan penginterpretasian informasi.

  Hal-hal yang berkenaan dengan persepsi yang ikut mempengaruhi proses komunikasi menurut Lewis (dalam Muhammad, 2009: 207-214) adalah sebagai berikut: 1.

  Orang Mengamati Sesuatu Secara Seleksi Pancaindera secara fisik sangat terbatas sehingga hanya dapat merespon terhadap pendriaan yang demikian dapat melalui halangan-halangan yang biasa, atau melalui keterbatasan yang kelihatan sangat berhubungan dengan situasi kita dan konsistensi dengan pilihan dan perspektif personal. Ketepatan dan ketelitian dari informasi dibatasi oleh persepsi pilihan yang dibuat. Karena adanya kecendrungan manusia untuk menyeleksi pesan, menjadikan pesan yang seharusnya sampai kepada seseorang tidak diterimanya. Hal ini tentu juga terjadi dalam organisasi.

2. Orang Melihat Sesuatu Konsisten Dengan Apa Yang Mereka Percayai

  Persepsi kita mengenai sesuatu, dipengaruhi oleh cara bicara tentang seseorang, benda-benda dan kejadian-kejadian. Apa yang kita percaya dapat mengubah persepsi kita. Seperti karakteristik ramah tamah, menarik, suka membantu, setia adalah pendapat atau penilaian yang dapat diproyeksi pada orang lain. Pendapat atau penilaian terhadap seseorang mungkin merupakan fungsi dari konsep pendahuluan atau kepercayaan yang telah dipercaya, yang mungkin mendorong kita dalam mengamati hal-hal tertentu secara selektif.

  3. Bahasa Itu Sendiri Kadang-Kadang Kurang Tepat Dalam komunikasi bahasa digunakan untuk menyampaikan persepsi.

  Melalui bahasa kita membuat persepsi secara umum sehingga orang lain mungkin mendapatkan beberapa ide tentang apa yang dimaksudkan. Di samping itu yang bukan bahasa juga penting seperti tanda-tanda nonverbal yang dapat dijadikan petunjuk dari apa yang dimaksud dalam berkomunikasi. Namun demikian kita tidak perlu mengurangi perhatian kita terhadap prinsip-prinsip dasar bahasa simbol kenapa tidak memberikan secara tepat kepada seseorang yang dimaksudkan.

  4. Arti Suatu Pesan Terjadi Pada Level Isi Dan Hubungan Suatu pesan berisi bahasa verbal dan nonverbal. Apa yang orang katakan dengan bagaimana orang bertingkah laku berkombinasi untuk mempertunjukan pesan yang dimaksudkan. Tiap pesan dapat dianalisis menurut tanda atau pesan dan menurut level relasi dan interpretasi.

  Relasi atau interpretasi adalah level arti yang berkenaan bagaimana pesan itu di ambil apakah dalam keadaan serius, santai, tersenyum, menangis dan sebagainya. Kekurang tepatan, gangguan dan salah mengartikan pesan sering merupakan kegelapan mengenal informasi dan relasi serta membedakan dari isi dan interpretasi.

  5. Distorsi Diperkuat Oleh Tidak Adanya konsistensi Bahasa Verbal Dan Nonverbal

  Dalam kenyataan sehari-hari sering dijumpai tidak ada konsistensi antara pesan verbal dan nonverbal. Misalnya pesan verbal mengatakan ya akan tetapi dari pesan nonverbal dapat disimpulkan tidak. Bila hal yang semacam ini terjadi, orang cenderung percaya pada pesan nonverbal. Pesan mungkin salah dimengerti, terganggu, atau kurang tepat jika tingkah laku nonverbal gagal mendukung apa yang dikatakan pesan verbal.

  6. Pesan Yang Meragukan Sering Mengarahkan Pada Gangguan Keraguan dapat dibatasi sebagai beberapa tingkat ketidakpastian berhubungan dengan informasi atau tindakan. Jika suatu pernyataan seseorang meragukan itu berarti bahwa kita tidak pasti apa yang dikatakan pada orang tersebut. Makin besar keraguan makin sulit pula pesan tersebut dipahami.

  Seseorang mungkin gagal memahami suatu pesan atau pendapat gangguan dalam mengartikannya karena tidak sanggup menentukan apa arti yang dimaksud oleh pengirim, mengapa pesan itu dikirimkan pada apa konsekuensi dari pemahaman pesan tersebut.

  7. Kecenderungan Memori Ke arah Penajaman Dan Penyamarataan Detail Halzman dan Gardner menemukan bahwa individu yang mempunyai pola memori penyamarataan, mempunyai lebih sedikit memori kejadian atau cerita yang cenderung memperlihatkan kehilangan dan memodifikasi keseluruhan struktur dari cerita, daripada orang yang mempunyai pola memori penajaman.

  Orang yang suka menyamaratakan kehilangan tema, kehilangan cerita secara menyeluruh dan memperhatikan penambahan pesan yang bersifat bagian-bagian daripada orang yang tajam memorinya.

  8. Motivasi Mungkin Membangkitkan Distorsi Pesan Haney mengemukakan ada tiga motif yang menimbulkan distorsi pada pesan yaitu: a)

  Keinginan menyampaikan pesan dengan sederhana. Komunikasi informasi yang kompleks adalah sulit dan secara psikologis agak mengganggu individu.

  b) Keinginan menyampaikan suatu pesan yang pantas. Bila seseorang menerima pesan yang kelihatannya kurang dapat dimengerti, orang tersebut ingin memperbaikinya pesan tersebut sebelum dia lanjutkan untuk mengirimnya.

  c) Keinginan untuk membuat pengirim pesan menyenangkan bagi penerimannya. d) Sikap dari penerima yang dimaksudkan. Ada bukti yang mendukung ide, bahwa pencipta satu pesan akan cenderung mengganggu pesan, dalam pengarahan sikap yang diberikan mengenai siapa yang menerima pesan.

2.4.2 Faktor Organisasi Yang Mempengaruhi Distorsi

  Ada beberapa hal dari lingkungan organisasi yang ikut memberikan

  Muhammad, 2009: 214-220

  kontribusi terhadap distorsi pesan dalam komunikasi ( ), di antaranya adalah sebagai berikut:

  1. Kedudukan atau Posisi dalam Organisasi Kedudukan atau posisi dalam organisasi mempengaruhi cara berkomunikasi. Anggota-anggota fungsional organisasi yang menduduki posisi dengan tugas dan otoritas yang ditetapkan untuk itu akan mempunyai pandangan dan sistem nilai yang berbeda dengan orang lain yang mempunyai kedudukan yang berbeda. Dalam kenyataan dapat dilihat, bahwa orang yang bekerja dalam organisasi melihat pekerjaan mereka dengan cara berbeda dengan orang yang di luar organisasi. Tiap-tiap posisi dalam organisasi menuntut bahwa orang yang menduduki posisi itu harus mempersepsi dan berkomunikasi dari pandangan posisi.

  2. Hierarki dalam Organisasi Susunan posisi dalam bentuk hierarki menggambarkan bahwa ada orang yang menduduki posisi yang superior dan yang lainnya bawahan. Hierarki hubungan atasan bawahan ini mempengaruhi cara seseorang berkomunikasi. Di antara mereka terdapat perbedaan dalam persepsi status. Orang menduduki tempat yang lebih tinggi dalam hierarki, mempunyai kontrol yang lebih banyak dari pada orang yang ditempatkan pada bagian bawah. Informasi mungkin terganggu ke atas karena bawahan harus hati-hati untuk membicarakan sesuatu yang menarik bagi atasannya untuk didengarkan dan mendiskusikan hal-hal yang cenderung tidak mengurangi posisi mereka dalam organisasi dengan refleksi negatif dari kemampuan mereka dalam pembentukan keputusan dan kompetensi mereka.

  Bahkan di antara teman hubungan yang bersifat hierarki ini mempengaruhi cara- cara mereka mendiskusikan sesuatu.

  3. Keterbatasan Berkomunikasi Keterbatasan yang ditentukan oleh organisasi di mana seseorang boleh berkomunikasi dengan yang lain dan ketentuan siapa yang boleh membuat keputusan, mempengaruhi cara anggota organisasi berkomunikasi. Koordinasi aktivitas dan arus informasi dalam organisasi menghendaki beberapa perbuatan keputusan secara sentralisasi. Untuk menghindari anggota organisasi tidak begitu banyak berbeda-beda arah dan membuat keputusan yang mungkin bertentangan dengan tidak seimbangnya beban kerja, maka organisasi distruktur sehingga keputusan-keputusan dibuat oleh anggota yang teratas dari organisasi.

  4. Hubungan yang Tidak Personal Hubungan yang tidak personal dalam organisasi mempengaruhi cara orang berkomunikasi. Salah satu dari karakteristik organisasi formal adalah hubungan yang bersifat formal dan tidak personal. Hubungan-hubungan yang bersifat personal ini mengarahkan kepada tekanan-tekanan yang bersifat emosional. Untuk menyembunyikan atau memungkiri ekspresi emosional kepada orang lain orang mengembangkan cara-cara menyimpan ekspresi emosional tersebut. Organisasi bahkan mungkin menolak mempertimbangkan ide-ide yang menuju pada pembuktian pernyataan perasaan. Akibatnya lambat laun berkurang kehati-hatian pada perasaan pribadi yang lain dan tidak mampu memperkirakan secara tepat reaksi emosional yang lain. Akhirnya organisasi terdiri dari individu yang tidak dapat mengkomunikasikan perasaan mereka dan siapakah yang mengatur pemecahan masalah mereka ini? 5.

  Sistem Aturan dan Kebijaksanaan Sistem aturan, kebijaksanaan, dan aturan-aturan yang berkenaan dengan pemikiran, perbuatan dan cara-cara orang berkomunikasi. Pemakaian aturan dan kebijaksanaan yang kaku mengarahkan ketidakmampuan membuat persetujuan dan mengarahkan pada hubungan yang tidak personal dan kurangnya komunikasi yang bersifat emosional. Aturan mengarahkan kepada pola komunikasi tradisional yang kaku dan rutin. Akibatnya komunikasi dalam organisasi berkurang terutama sekali komunikasi interpersonal. Informasi dan pesan mengalami distorsi karena terikat dengan aturan yang terlalu formal.

  6. Spesialisasi Tugas Spesialisasi tugas mempersempit persepsi seseorang dan mempengaruhi cara orang berkomunikasi. Meskipun spesialisasi telah memberikan sumbangan terhadap produktivitas nasional dan peningkatan efisiensi, tetapi dibalik itu juga merupakan sumber masalah komunikasi. Individu mengenali bidang keahlian mereka masing-masing dan gagal mengintegrasikan tugasnya dengan bagian yang lain. Akibatnya sering kali terjadi penundaan arus komunikasi atau mengelakkan penyampaian informasi dari orang ke orang lain. Akibat lain spesialisasi tugas adalah timbulnya sikap untuk pemilikan informasi. Spesialisasi juga mendorong terjadinya kompetisi dan konflik di antara sumber-sumber untuk melengkapi tujuan yang baru. Spesialisasi mungkin merupakan sumber distorsi pesan yang terjadi dalam organisasi.

  7. Ketidakpedulian Pemimpin Pimpinan sering gagal mengirim pesan yang dibutuhkan karyawan karena mereka mengira bahwa orang telah mengetahuinya, mereka malas, menangguhkan dan cenderung menahan informasi. Kebanyakan organisasi pada dasarnya tidak menginginkan komunikasi dua arah sebagai pengiriman perintah ke bawah dan pengiriman laporan dari bawah ke atas. Karena itu mereka membatasi diri untuk berkomunikasi sesuai dengan persepsi mereka tersebut. Kondisi yang menghalangi komunikasi efektif dan dihubungkan dengan tidak ambil pusing yang mendalam. Keasyikan mungkin terjadi karena orang terlalu terpusat pada dirinya sendiri sehingga mereka tidak mendengarkan orang lain secara efektif atau bersikap tidak memperdulikan yang lain. Keragu-raguan dan daya tahan perhatian yang sebentar merupakan hambatan bagi komunikasi yang efektif. Halangan dan keragu-raguan atau kebingungan, dalam banyak hal sama seperti halangan kerena keasyikan. Kedua proses itu tidak membiarkan informasi baru menembus pikiran si penerima. Tetapi dengan pikiran yang ragu seseorang tidak dapat memusatkan perhatiannya pada satu topik lebih dari beberapa menit. Karena itu pembicara haruslah belajar menyesuaikan pembicaraan dengan daya tahan perhatian si pendengar ini.

  8. Prestise Salah satu halangan yang mendasar dalam organisasi adalah berkenaan dengan prestise. Prestise tersebut merupakan penghalang bagi komunikasi yang efektif antara orang yang berbeda levelnya dalam sebuah organisasi. Prestise menjadikan hubungan komunikasi antara orang yang mempunyai prestise yang lebih tinggi dengan orang yang lebih rendah menjadi kurang lancar atau tidak bebas. Jika prestise dan ego terlibat dalam pesan yang dikirimkan masalah komunikasi menjadi bertambah berat dapat menimbulkan pertentangan dan percekokan. Percekokan ini akan menimbulkan gangguan dan kemacetan dalam organisasi. Meskipun hubungan prestise pada kenyataannya diberikan dalam organisasi namun iklim organisasi dapat dikembangkan sehingga pesan antara atasan dan bawahan tidak tetap bersaing. Masalah organisasi yang lain berkenaan dengan kurangnya pengetahuan tentang apa yang dilakukan dalam bagian-bagian organisasi.

  9. Jaringan Komunikasi Hambatan yang lain juga dapat disebabkan oleh karena banyaknya tingkatan atau mata rantai yang harus dilalui oleh suatu pesan dalam komunikasi.

  Pesan yang dikirim secara seri atau berantai banyak cenderung diubah oleh penerima sebelum dilanjutkan pengirimannya. Makin banyak mata rantai yang dilalu oleh pesan makin memungkinkan pesan tersebut akan salah diartikan. Pesan itu akan berubah detail-detailnya yang asli dibuang dan ditambahkan detail yang baru. Kecenderungannya penyampai pesan itu akan membuat interpretasi sendiri terhadap pesan tersebut.

2.4.3 Usaha-Usaha Mengurangi Hambatan Komunikasi Organisasi

Dokumen yang terkait

Distorsi Komunikasi Komunitas Film Sumatera Utara (Kofi Sumut) (Studi Deskriptif Kualitatif Gangguan Komunikasi Organisasi Pada Komunitas Film Sumatera Utara Selama Produksi Sampai Dengan Pemutaran Perdana Film “Omnibus Bohong”)

5 122 134

Komunikasi Organisasi Pada Fakultas Ekonomi Universitas Sumatera Utara

0 30 79

Pola Komunikasi Organisasi Komunitas The Panasdalam (Studi Deskriptif Pola Komunikasi Organisasi Komunitas The Panasdalam Melalui Program Trembesi Dalam Membangun Solidaritas Anggotanya)

0 3 1

Pola Komunikasi Organisasi Pada Komunitas Oi (Penggemar Iwan Fals) (Studi Deskriptif tentang Pola Komunikasi Organisasi pada Komunitas Oi (Penggemar Iwan Fals) di Kota Bandung)

2 11 1

BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Komunitas - Solidaritas Sosial Dalam Komunitas Punk Dengan Studi Deskriptif Pada Komunitas Punk Simpang Aksara Medan

0 0 14

BAB II KAJIAN PUSTAKA II.1 Paradigma Penelitian - Komunikasi Antarpribadi Penarik Becak Wanita (Studi Deskriptif Kualitatif Komunikasi Antarpribadi Penarik Becak Wanita Di Kampus Universitas Sumatera Utara)

0 0 24

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Film 2.1.1 Pengertian Film - Pengaruh Pemutaran Film Kb Terhadap Perilaku Partisipasi Masyarakat Ber-Kb Di Kabupaten Aceh Singkil Tahun 2014

0 6 36

BAB II KAJIAN PUSTAKA - Komunikasi Nonverbal Pada Lesbian (Studi Deskriptif Pada Organisasi Cangkang Queer Medan

0 0 21

BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Paradigma - Makna Tato pada Anggota Komunitas Tato (Studi Fenomenologi Makna Tato Pada Anggota Komunitas Black Cat Tattoo)

0 2 33

Distorsi Komunikasi Komunitas Film Sumatera Utara (Kofi Sumut) (Studi Deskriptif Kualitatif Gangguan Komunikasi Organisasi Pada Komunitas Film Sumatera Utara Selama Produksi Sampai Dengan Pemutaran Perdana Film “Omnibus Bohong”)

0 0 36