BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Paradigma - Makna Tato pada Anggota Komunitas Tato (Studi Fenomenologi Makna Tato Pada Anggota Komunitas Black Cat Tattoo)

BAB II KAJIAN PUSTAKA

2.1 Paradigma

  berangkat dari konsep khusus ke umum, konseptualisasi, kategorisasi dan deskripsi yang dikembangkan berdasarkan masalah yang terjadi di lokasi penelitian. Dalam penelitian kualitatif, pengumpulan data dapat dilakukan secara simultan dengan analisis data selama penelitian berlangsung. Selanjutnya, Patton mendefenisikan paradigma sebagai berikut (Patton dalam Ghony, 2012: 73):

  “A paradigm is a world view, a general perspective, a way of breaking down the complexity of the real world. As much paradigms are deeply embedded in the socialization of adherents and practicioners telling them what is important, what is legitimate, what is reasonable. Paradigms are normative; they tell the practicioner what to do with out the necessity of long existencial or epistemological consideration. But it is this aspect of a paradigms that constitutes both its strength and its weakness-its strength in that it make action possible, its weakness in that very reason for action is hidden in the unquestioned assumptions of the paradigm.”

  Jadi, menurut Patton yang dimaksud dengan paradigma dalam penelitian adalah suatu perspektif umum atau cara untuk memisah-misahkan dunia nyata yang kompleks, kemudian memberikan arti atau makna dan penafsiran-penafsiran. Paradigma itu lebih dari sekadar orientasi metodologi.

  Paradigma bukan saja memungkinkan suatu disiplin ilmu dapat menjadikan berbagai fenomena menjadi masuk akal, melainkan juga memberikan suatu kerangka di mana fenomena tersebut dapat ditunjukkan sebagai sesuatu yang memang ada. Dalam arti yang paling nyata, untuk memahami paradigma, kita harus memahami proses bagaimana paradigma itu ditemukan. Artinya, bagaimana paradigma itu menjadi cara untuk melihat fenomena tertentu.

  Paradigma kualitatif mencanangkan pendekatan humanistik untuk memahami realitas sosial para idealis, yang memberikan suatu tekanan pada pandangan yang terbuka tentang kehidupan sosial. Paradigma kualitatif memandang kehidupan sosial sebagai kreativitas bersama individu-individu. Kebersamaan inilah yang menghasilkan suatu realitas yang dipandang secara objektif dan dapat diketahui oleh semua peserta yang melakukan interaksi sosial. Dasar dalam paradigma kualitatif dalam mengonseptualisasikan dunia sosial adalah pengembangan konsep-konsep dan teori-teori grounded dalam data.

  Artinya, konsep dan teori dibentuk berdasarkan data sehingga data merupakan sumber sekaligus verifikasi teori atau konsep tersebut. Konsep-konsep itu disebut

  

order concepts, yaitu konsep-konsep yang muncul pada saat mencoba

  menerangkan fenomena sosial. Fokus pada makna-makna sosial dan penekanan bahwa makna-makna sosial tersebut hanya dapat dipahami dalam konteks interaksi antarindividu sehingga hal tersebut membedakan paradigma sosial ini dengan model ilmu pengetahuan alam.

  Pendekatan kualitatif mempunyai asumsi bahwa pemahaman tingkah laku manusia itu tidak cukup diperoleh hanya dari surface behaviour, tetapi tidak kalah pentingnya adalah inner perspective of human behaviour, sebab dari sini akan diperoleh gambaran yang utuh tentang manusia dan dunianya. Secara singkat, paradigma kualitatif memiliki ciri-ciri fenomenologis, induktif, inner behaviour dan holistik.

  Penelitian kualitatif yang baik menyediakan pemerhatian deskriptif yang sistematis dan berdasarkan konteks. Pendekatan ini memberikan ruang bagi peneliti untuk mempelajari suatu sistem serta hubungan semua aktivitas dalam sistem tersebut yang dapat dilihat secara total dan bukan secara bagian saja. Paradigma penelitian kualitatif adalah pendekatan sistematis dan subjektif dalam menjelaskan pengalaman hidup berdasarkan kenyataan lapangan (empiris), bahkan terus berkembang di dunia sains dan pendidikan. Proses penelitian ini dijalankan melalui pemahaman tentang pengalaman manusia dalam aneka bentuk.

  Penelitian kualitatif lebih berorientasi pada upaya memahami fenomena secara menyeluruh. Pendekatan semacam ini lebih konsisten dengan filosofi holistik di bidang sains sosial dan pendidikan. Penelitian kualitatif berangkat dari ilmu perilaku manusia dan ilmu sosial, hakikat dari holistik bagi manusia melalu penelahaannya terhadap orang-orang dalam interaksinya dengan latar sosial.

  Menurut pendapat Maxwell (1996), kelebihan paradigma kualitatif antara lain (Ghony, 2012: 77): a.

  Pemahaman makna, makna merujuk pada kognisi, afeksi, intensi dan apa saja yang berada di bawah payung participant’s perspectives (perspektif partisipan). Perspektif para informan tidak terbatas pada laporan mereka ihwal satu kejadian/fenomena, tetapi juga pada apa yang ada di balik perspektif itu. Peneliti bukan saja tertarik pada satu aspek fisik dari bagaimana makna itu mempengaruhi tingkah laku informan. Fokus pada makna seperti itu sangatlah mendasar bagi mazhab interpretatif dalam studi ilmu sosial.

  b.

  Pemahaman konteks tertentu, dalam penelitian kualitatif perilaku informan dilihat dalam konteks tertentu dan pengaruh konteks terhadap tingkah laku. Peneliti kualitatif lazimnya berkonsentrasi pada sejumlah orang atau situasi yang relatif sedikit dan perhatiannya terkuras habis-habisan pada analisis kekhasan kelompok atau situasi itu saja. Pengumpulan data dari banyak informan atau situasi tidaklah menarik bagi peneliti kualitatif. Justru dengan pisau kualitatif para peneliti mampu membedah kejadian, situasi, perilaku dan bagaimana semua itu dipengaruhi oleh sang situasi yang perkasa.

  c.

  Identifikasi fenomena dan pengaruh yang tidak terduga. Bagi peneliti kualitatif, setiap informasi, kejadian, perilaku, suasana dan pengaruh baru adalah terhormat dan berpotensi sebagai data untuk menyokong hipotesis kerja.

  d.

  Kemunculan teori berbasis data (grounded theory). Teori yang sudah jadi, pesanan atau apriori tidak mengesankan kaum naturalis karena teori ini akan kewalahan apabila disergap oleh informasi, kejadian, perilaku, suasana dan pengaruh baru dalam konteks baru.

  e.

  Pemahaman proses, para peneliti naturalis berupaya untuk lebih memahami proses daripada produk kejadian atau kegiatan yang sedang diamati. Proses yang membantu perwujudan fenomena itulah yang paling berkesan, bukan fenomena itu sendiri.

2.1.1 Paradigma Konstruktivisme

  Pemikiran konstruktivis bukan sesuatu yang baru. Ada yang merunutnya sampai pada Glambatista Vico (1710), seorang epistemolog dari Italia yang meyakini bahwa manusia adalah pencipta makna. Ia mengatakan “mengetahui berarti mengetahui bagaimana membuat sesuatu.” Hal ini bermakna bahwa konstruktivis karena meyakini pengetahuan manusia adalah hasil olah rasio memanfaatkan bahan mentah dari indra. Manusialah yang secara aktif membangun dan merumuskan pengetahuan. Pemikiran ini dilanjutkan oleh Piaget dalam teori perkembangan kognitif. Ini tidak mengherankan karena Piaget adalah penganut NeoKanianisme. Psikologi Rusia, Vygotsky menajamkan konstruktivisme ini menjadi konstruktivisme sosial karena meyakini pemikiran dan perilaku anak turut ditentukan oleh relasi-relasi sosial di mana ia dibesarkan dan peran bahasa sangat penting di sini (Putra, 2013: 48))

  Paradigma ini hampir merupakan antitesis terhadap paham yang menempatkan pentingnya pengamatan dan objektivitas dalam menemukan suatu realitas atas ilmu pengetahuan. Secara tegas paham ini menyatakan bahwa positivisme dan post-postivisme keliru dalam mengungkapkan realitas dunia dan harus ditinggalkan serta digantikan oleh paham yang bersifat konstruktif. Secara ontologis, aliran ini menyatakan bahwa realitas itu ada dalam beragam bentuk konstruksi mental yang didasarkan pada pengalaman sosial, bersifat lokal dan spesifik, serta tergantung pada sikap yang melakukannya. Karena itu, realitas yang diamati oleh seseorang tidak bisa digeneralisasikan kepada semua orang sebagaimana yang biasa dilakukan di kalangan positivis atau post-positivis. Atas dasar filosofis ini, aliran ini menyatakan bahwa hubungan epistemologis antara pengamat dan objek merupakan satu kesatuan, subjektif dan merupakan hasil perpaduan di antar keduanya (Salim, 2006: 71).

  Secara metodologis, aliran ini menerapkan metode hermenautika dan dialektika dalam proses mencapai kebenaran. Metode pertama dilakukan melalui identifikasi kebenaran atau konstruksi pendapat orang per orang yang diperoleh melalui metode pertama, untuk memperoleh suatu konsensus kebenaran yang disepakati bersama. Dengan demikian, hasil akhir dari suatu kebenaran merupakan perpaduan pendapat yang bersifat relatif, subjektif dan spesifik mengenai hal-hal tertentu.

Tabel 1.1 TIGA PARADIGMA ILMU SOSIAL Positivisme dan Post- positivisme Konstruktivisme (Interpretif) Teori Kritis

  Contoh Teori Contoh Teori Contoh Teori

  (Sumber: Salim, 2006: 72)

  Struktualisme Ekonomi Politik (Schudson). Instrumentalisme Ekonomi Politik (Chomsky, Gramsci, dan Adorno). Teori Tindakan Komunikasi (Jurgen Habermas).

  construction of reality Peter L. Berger).

  Fenomenologi, Etnometodologi. Interaksi Simbolik (Chicago School). Konstruksionisme (Social

  Konstruktivisme Ekonomi Politik (Golding dan Murdock).

  Interaksionisme simbolik (Iowa School). Agenda Setting, Teori Fungsi Media.

  Ekonomi Politik Liberal Teori Modernisasi, teori pembangunan negara.

  kebutuhan palsu yang ditampakkan dunia materi, guna mengembangkan kesadaran sosial untuk memperbaiki kondisi kehidupan subjek penelitian.

  Menempatkan ilmu sosial seperti ilmu alam, yaitu metode terorganisir untuk mengkombinasikan

  structure’ di balik ilusi dan

  Mentakrifkan ilmu sosial sebagai proses kritis mengungkap ‘the real

  langsung terhadap aktor sosial dalam setting yang alamiah, agar dapat memahami dan menafsirkan bagaimana aktor sosial mencipta dan memelihara dunia sosial.

  action” melalui pengamatan

  Memandang ilmu sosial sebagai analisis sistematis atas “socially meaningfull

  pengamatan empiris, agar mendapatkan konfirmasi tentang hukum kausalitas yang dapat digunakan memprediksi pola umum gejala sosial tertentu.

  ‘deductive logic’ melalui

  Pada tradisi ilmu sosial interpretivisme, manusia lebih dipandang sebagai makhluk rohaniah. Dalam pandangan ini, manusia selaku makhluk sosial, sehari- hari bukanlah “berperilaku” melainkan “bertindak”. Sebab istilah “perilaku” berkonotasi mekanistik alias bersifat otomatis. Padahal, “tingkah laku sosial” manusia senantiasa melibatkan niat tertentu, pertimbangan tertentu atau alasan- alasan tertentu. Dengan kata lain “tingkah laku sosial” manusia melibatkan kesadaran sosial tertentu. Itulah sebabnya (mengapa) Weber memunculkan istilah Manusia itu bertindak, bukan berperilaku. Istilah bertindak (action) mempunyai konotasi tidak otomatis/mekanistik, melainkan melibatkan niat, kesadaran dan alasan-alasan tertentu. Ia bersifat intensional. Ia melibatkan makna dan interpretasi yang tersimpan di dalam diri sang manusia pelaku sesuatu tindakan (Bungin, 2003: 27)

2.1.2 Studi Fenomenologi

  Sebuah penelitian fenomenologi adalah penelitian yang mencoba memahami persepsi masyarakat, perspekstif dan pemahaman dari situasi tertentu (atau fenomena). Dengan kata lain, sebuah penelitian fenomenologi mencoba untuk menjawab pertanyaan “Bagaimana rasanya mengalami hal ini dan itu?”. Dengan melihat berbagai perspektif dari situasi yang sama, peneliti dapat memulai membuat beberapa generalisasi atas sebuah pengalaman dari perspektif

  insider.

  Fenomenologi sebagai metode penelitian dapat dipandang sebagai studi tentang fenomena, studi tentang sifat dan makna. Penelitian semacam ini terfokus pada cara bagaimana kita mempersepsi realitas yang tampak melalui pengalaman atau kesadaran. Jadi, tugas peneliti fenomenologi bertujuan menggambarkan tekstur pengalaman sehingga pengalaman itu sendiri makin kaya. Penelitian fenomenologi murni lebih menekankan pada penggambaran (deskripsi) daripada penjelasan atas semua hal, tetapi tetap memperhatikan sudut pandang yang bebas dari hipotesis atau praduga (Fouche dalam Sobur, 2013: 11).

  Menurut Scheglof dan Sacks, dalam melakukan penelitian fenomenologi tugas peneliti adalah merekam kondisi sosial, sehingga memungkinkan untuk pendemonstrasian cara-cara yang dilakukan informan. Pada saat inilah peneliti membuat interpretasi tentang makna perbuatan dan pikiran mereka akan struktur keadaan. Analisis terhadap tindakan informan ini merupakan teknik yang sering digunakan fenomenologi untuk menggambarkan bagaimana manusia berpikir tentang dirinya sendiri melalui pembicaraan. Selain itu juga untuk mengetahui bagaimana manusia berpikir tentang pembicaraan mereka berdasarkan pengetahuan yang dimiliki. Dengan demikian analisis fenomenologi mempunyai

  Berikut akan dikemukakan tahapan-tahapan penelitian fenomenologi transedental dari Husserl: a.

  Epoche Epoche berasal dari bahasa Yunani yang berarti “menjauh dari” dan “tidak memberikan suara”. Husserl menggunakan epoche untuk term bebas dari prasangka. Dengan epoche, kita menyampingkan penilaian, bias dan pertimbangan awal yang kita miliki terhadap suatu objek. Dengan kata lain, epoche adalah pemutusan hubungan dengan pengalaman dan pengetahuan, yang kita miliki sebelumnya.

  Dalam penelitian fenomenologi, epoche ini harus mutlak ada. Terutama ketika menempatkan fenomena dalam tanda kurung (bracketing method). Memisahkan fenomena dari keseharian dan dari unsur-unsur fisiknya dan ketika mengeluarkan “kemurnian” yang ada padanya. Jadi epoche adalah cara untuk melihat dan menjadi, sebuah sikap mental yang bebas.

  Oleh karena epoche memberikan cara pandang yang sama sekali baru terhadap objek, maka dengan epoche kita dapat menciptakan ide, perasaan, kesadaran dan pemahaman yang baru. Epoche membuat kita masuk ke dalam dunia internal yang murni, sehingga memudahkan untuk pemahaman akan diri dan orang lain. Dengan demikian tantangan terbesar ketika melakukan epoche ini adalah terbuka atau jujur dengan diri sendiri. Terutama ketika membiarkan objek yang ada di depan kesadaran memasuki area kesadaran kita dan membuka dirinya sehingga kita dapat melihat kemurnian yang ada padanya. Tanpa dipengaruhi oleh segala hal yang ada dalam diri kita.

  Segala sesuatu yang berhubungan dengan orang lain, seperti persepsi, pilihan, penilaian dan perasaan orang lain harus dikesampingkan juga dalam epoche ini. Hanya persepsi dan tindakan sadar kitalah yang menjadi titik untuk menemukan makna, pengetahuan dan kebenaran. Sehingga pada praktiknya, epoche memerlukan kehadiran, perhatian dan konsentrasi, demi mencapai cara pandang yang radikal.

  b.

  Reduksi Fenomenologi pengalaman dan prasangka awal, maka tugas dari reduksi fenomenologi adalah menjelaskan dalam susunan bahasa bagaimana objek itu terlihat. Tidak hanya dalam term objek eksternal, namun juga kesadaran dalam tindakan internal, pengalaman, sedangkan tantangan ada pada pemenuhan sifat-sifat alamiah dan makna dari pengalaman.

  Reduksi akan membawa kita kembali kepada bagaimana kita mengalami sesuatu. Memunculkan kembali sifat-sifat alamiahnya. Reduksi fenomenologi tidak hanya sebagai cara untuk melihat, namun juga cara untuk mendengar suatu fenomena dengan kesadaran hati-hati. Singkatnya reduksi adalah cara untuk melihat dan mendengar fenomena dalam tekstur dan makna aslinya.

  c.

  Variasi Imajinasi Tugas dari variasi imajinasi adalah mencari makna-makna yang mungkin dengan memanfaatkan imajinasi, kerangka rujukan, pemisahan dan pembalikan, serta pendekatan terhadap fenomena dari perspektif, posisi, peranan dan fungsi yang berbeda. Tujuannya tiada lain untuk mencapai deskripsi struktural dari sebuah pengalaman.

  Target dari fase ini adalah makna dan bergantung dari intuisi sebagai jalan untuk mengintegrasikan struktur ke dalam esensi fenomena. Dalam berpikir imajinatif, kita dapat menemukan makna-makna potensial yang dapat membuat sesuatu yang asalnya tidak terlihat menjadi terlihat jelas. Membongkar hakikat fenomena dengan memfokuskannya pada kemungkinan-kemungkinan yang murni adalah inti dari variasi imajinatif.

  Pada tahap ini, dunia dihilangkan, segala sesuatu menjadi mungkin. Segala pendukung dijauhkan dari fakta dan entitas yang dapat diukur dan diletakkan pada makna dan hakikatnya. Dalam kondisi seperti ini, intuisi tidak lagi empiris namun murni imajinatif.

  d.

  Sintetis Makna dan Esensi Merupakan tahap akhir dalam penelitian fenomenologi. Fase ini adalah pernyataan yang menggambarkan hakikat fenomena secara keseluruhan.

  Husserl mendefinisikan esensi sebagai sesuatu yang umum dan berlaku universal, kondisi atau kualitas menjadi sesuatu tersebut. Esensi tidak pernah terungkap secara sempurna. Sintesis struktur tekstural yang fundamental akan mewakili esensi ini dalam waktu dan tempat tertentu dan sudut pandang imajinatif dan studi reflektif seseorang terhadap fenomena.

2.2 Uraian Teoritis

2.2.1 Fenomenologi

  Fenomenologi berasal dari bahasa Yunani phainomai yang berarti “menampak”. Phainomenon merujuk pada “yang menampak”. Fenomena tiada lain adalah fakta yang disadari, dan masuk ke dalam pemahaman manusia. Jadi suatu objek itu ada dalam relasi dengan kesadaran. Fenomena bukanlah dirinya seperti tampak secara kasat mata, melainkan justru ada di depan kesadaran, dan disajikan dengan kesadaran pula. Berkaitan dengan hal ini, maka fenomenologi merefleksikan pengalaman langsung manusia, sejauh pengalaman itu secara intensif berhubungan dengan suatu objek (Kuswarno, 2013: 1).

  Menurut The Oxford English Dictionary, yang dimaksud dengan fenomenologi adalah (a) the science which describes and classifies as distinct for

  being (ontology), dan (b) division of any science which describes and classifies its

phenomena. Jadi, fenomenologi adalah ilmu mengenai fenomena yang dibedakan

  dari sesuatu yang sudah menjadi, atau disiplin ilmu yang menjelaskan dan mengklasifikasikan fenomena atau studi tentang fenomena. Dengan kata lain, fenomenologi mempelajari fenomena yang tampak di depan kita dan bagaimana penampakannya.

  Dewasa ini fenomenologi dikenal sebagai aliran filsafat sekaligus metode berpikir, yang mempelajari fenomena manusiawi (human phenomena) tanpa mempertanyakan penyebab dari fenomena itu, relitas objektifnya dan penampakannya. Fenomenologi tidak beranjak dari kebenaran fenomena seperti yang tampak apa adanya, namun sangat meyakini bahwa fenomena yang tampak mendapatkan hakikat kebenaran, maka harus menerobos melampaui fenomena yang tampak itu.

  Tujuan utama fenomenologi adalah mempelajari bagaimana fenomena dialami kesadaran, pikiran dan dalam tindakan, seperti bagaimana fenomena tersebut bernilai atau diterima secara estetis. Fenomenologi mencoba mencari pemahaman bagaimana manusia mengkonstruksi makna dan konsep-konsep penting, dalam kerangka intersubjektivitas. Intersubjektivitas karena pemahaman kita mengenai dunia dibentuk oleh hubungan kita dengan orang lain. Walaupun makna yang kita ciptakan dapat ditelusuri dalam tindakan, karya dan aktivitas yang kita lakukan, tetap saja ada peran orang lain di dalamnya (Kuswarno, 2013: 2).

2.2.2 Sejarah Fenomenologi

  Dewasa ini, fenomenologi dikenal sebagai aliran filsafat sekaligus metode berpikir yang mempelajari fenomena manusiawi (human phenomena) tanpa mempertanyakan penyebab dari fenomena tersebut serta realitas objektif dan penampakannya.

  Fenomenologi sebagai salah satu cabang filsafat pertama kali dikembangkan di universitas-universitas Jerman sebelum Perang Dunia I, khususnya oleh Edmund Husserl, yang kemudian dilanjutkan oleh Martin Heidegger dan yang lainnya, seperti Jean Paul Sartre. Selanjutnya Sartre memasukkan ide-ide dasar fenomenologi dalam pandangan eksistensialisme. Adapun yang menjadi fokus eksistensialisme adalah eksplorasi kehidupan dunia makhluk sadar atau jalan kehidupan subjek-subjek sadar (Kuswarno, 2009: 3).

  Fenomenologi tidak dikenal setidaknya sampai menjelang abad 20. Abad ke-18 menjadi awal digunakannya istilah fenomenologi sebagai nama teori tentang penampakan yang menjadi dasar pengetahuan empiris atau penampakan yang diterima secara inderawi. Istilah tersebut diperkenalkan oleh Johan Heinrich Lambert. Sesudah itu, filosofi Immanuel Kant mulai sesekali menggunakan istilah fenomenologi dalam tulisannya. Pada tahun 1889, Franz Brentano menggunakan fenomenologi untuk psikologi deskriptif, di mana menjadi awalnya Edmund “kesengajaan”.

  Sebelum abad ke-18, pemikiran filsafat terbagi menjadi dua aliran yang saling bertentangan. Adalah aliran empiris yang percaya bahwa pengetahuan muncul dari penginderaan. Dengan demikian kita mengalami dunia dan melihat apa yang sedang terjadi. Bagi penganut empiris, sumber pengetahuan yang memadai itu adalah pengalaman. Akal yang dimiliki manusia bertugas untuk mengatur dan mengolah bahan-bahan yang diterima oleh panca indera. Sedangkan di sisi lain terdapat aliran rasionalisme yang percaya bahwa pengetahuan timbul dari kekuatan pikiran manusia atau rasio. Hanya pengetahuan yang dipeoleh melalui akal lah yang memenuhi syarat untuk diakui sebagai pengetahuan ilmiah. Aliran ini juga mempercayai pengalaman hanya dapat dipakai untuk mengukuhkan kebenaran yang telah diperoleh oleh rasio. Akal tidak memerlukan pengalaman dalam memperoleh pengetahuan yang benar sebab akal dapat menurunkaan kebenaran tersebut dari dirinya sendiri (Kuswarno, 2009: 3-4).

  Dari dua pemikiran yang berbeda tersebut, Immanuel Kant muncul untuk menjembatani keduanya. Menurutnya, pengetahuan adalah apa yang tampak kepada kita atau fenomena. Sedangkan fenomena sendirinya dan merupakan hasil sintesis antara penginderaan dan bentuk konsep dari objek. Sejak pemikiran tersebut menyebar luas, fenomena menjadi titik awal pembahasan para filsuf pada abad ke-18 dan 19 terutama tentang bagaimana sebuah pengetahuan dibangun.

  Fenomenologi bagi seorang Husserl adalah gabungan antara psikologi dan logika. Fenomenologi membangun penjelasan dan analisis psikologi tentang tipe- tipe aktivitas mentalsubjektif, pengalaman dan tindakan sadar. Namun, pemikiran Husserl tersebut masih membutuhkan penjelasan yang lebih lanjut khususnya mengenai “model kesengajaan”. Pada awalnya, Husserl mencoba untuk mengembangkan filsafat radikal atau aliran filsafat yang menggali akar-akar pengetahuan dan pengalaman. Hal ini didorong oleh ketidakpercayaan terhadap aliran positivistik yang dinilai gagal memanfaatkan peluang membuat hidup lebih bermakna karena tidak mampu mempertimbangkan masalah nilai dan makna. Fenomenologi berangkat dari pola pikir subjektivisme yang tidak hanya memandang dari suatu objek yang tampaknamun berusaha menggali makna di

  Pada tahun-tahun berikutnya, pembahasan fenomenologi berkembang tidak hanya pada tataran “kesengajaan”, namun juga meluas kepada kesadaran sementara, intersubjektivitas, kesengajaan praktis dan konteks sosial dari tindakan manusia. Tulisan-tulisan Husserl memainkan peran yang amat besar dalam hal ini.

  Saat ini fenomenologi dikenal sebagai suatu disiplin ilmu yang kompleks, karena memiliki metode dan dasar filsafat yang komprehensif dan mandiri. Fenomenologi juga dikenal sebagai pelopor pemisah antara ilmu sosial dari ilmu alam, yang mempelajari struktur tipe-tipe kesadaran dalam pengalaman pada akhirnya membuat makna dan menentukan isi dari penampakannya.

2.2.3 Perkembangan Fenomenologi saat ini

  Saat ini fenomenologi lebih dikenal sebagai suatu disiplin ilmu yang kompleks, karena memiliki metode dan dasar filsafat yang komprehensif dan mandiri. Fenomenologi juga dikenal sebagai pelopor pemisahan ilmu sosial dan ilmu alam. Harus diakui, fenomenologi telah menjadi tonggak awal dan sandaran bagi perkembangan ilmu sosial hingga saat ini. Tanpanya, ilmu sosial masih berada di bawah cengkraman positivistik yang menyesatkan tentang pemahaman manusia dan realitas.

  Sebagai disiplin ilmu, fenomenologi adalah studi yang mempelajari fenomena, seperti penampakan segala hal yang muncul dalam pengalaman kita, cara kita mengalami sesuatu dan makna yang kita miliki dalam pengalaman kita. Kenyataannya, fokus perhatian fenomenologi lebih luas dari sekedar fenomena yakni pengalaman sadar dari sudut pandang orang pertama (yang mengalaminya secara langsung).

  Pada dasarnya fenomenologi mempelajari struktur tipe-tipe kesadaran, yang terentang dari persepsi, gagasan, memori, imajinasi, emosi, hasrat, kemauan sampai tindakan, baik itu tindakan sosial maupun dalam bentuk bahasa. Struktur dalam bentuk-bentuk kesadaran inilah yang oleh Husserl dinamakan dengan “kesengajaan” yang terhubung langsung dengan sesuatu. Struktur kesadaran dalam pengalaman ini yang pada akhirnya membuat makna dan menentukan isi dari pengalaman (content of experience). “Isi” ini sama sekali padanya. Adapun dasar struktur kesadaran yang disengaja, dapat ditemukan dalam analisis refleksi, termasuk menemukan bentuk-bentuk yang lebih jauh dari pengalaman (Kuswarno, 2013: 22).

  Berikut adalah bentuk-bentuk laporan yang dapat dibangun melalui pendekatan fenomenologi:

  1. Kesadaran temporal 2.

  Ruang kesadaran (persepsi) 3. Perhatian (misalnya kegiatan memfokuskan sesuatu dari hal kecil atau hal umum yang ada di sekelilingnya)

  4. Kesadaran dari seseorang 5.

  Pengalaman sadar seseorang 6. “Diri” dalam peranan yang berbeda-beda (ketika berpikir atau bertindak)

  7. Kesadaran akan gerakan dan kehadiran orang lain 8.

  Tujuan dan kesengajaan dari tindakan 9. Kesadaran akan orang lain (dalam bentuk empati, intersubjektif dan kolektivitas).

  10. Aktivitas berbahasa (memahami makna orang lain dan komunikasi).

  11. Interaksi sosial dan aktivitas sehari-hari dalam lingkungan budaya tertentu.

  Berkaitan dengan “kesengajaan”, diperlukan suatu kondisi atau latar belakang, yang memungkinkan bekerjanya struktur kesadaran dalam pengalaman. Kondisi tersebut mencakup perwujudan, keterampilan jasmani, konteks budaya, bahasa, praktek sosial dan aspek-aspek demografis dari sebuah aktivitas yang disengaja.

  Fenomenologi akan membawa pemahaman dari pengalaman sadar, pada kondisi yang akan membantu memberi pengalaman “kesengajaan” tersebut. Dengan demikian, fenomenologi tradisional telah memfokuskan pada pengalaman subjektif, pengalaman praktis dan kondisi-kondisi sosial dari pengalaman tersebut. Fokus fenomenologi ini berbeda dengan Philosophy of Mind, yang bagaimana cara kerja pengalaman sadar, representasi mental atau kesengajaan dalam otak manusia. Oleh karena itu banyak juga kajian Philosophy of Mind yang justru adalah kajian dari fenomenologi. Misalnya saja kondisi kultural yang sepertinya lebih dekat dengan pengalaman dan merupakan konsep yang tidak asing dalam pemahaman diri, ketimbang kerja elektro kimia otak (Kuswarno, 2013: 23).

  Walau demikian banyak sedikitnya ketergantungan manusia pada mekanika kuantum, ditentukan oleh kondisi fisik seseorang. Simpulan yang dapat diambil, sebagai sebuah disiplin ilmu, fenomenologi mempelajari struktur pengalaman sadar (dari sudut pandang orang pertama). Bersama dengan kondisi- kondisi yang relevan. Sehingga fenomenologi akan memimpin kita semua pada latar belakang dan kondisi-kondisi di balik sebuah pengalaman. Pusat dari struktur kesadaran adalah “kesengajaan”, yakni bagaimana makna dan isi pengalaman terhubung langsung dengan objek.

  Berkenaan dengan sangat luasnya bidang kajian fenomenologi ini, maka kemudian tipe-tipe fenomenologi didefinisikan berdasarkan bidang kajian utama, metode dan hasilnya. Pengalaman sadar itu memiliki ciri-ciri yang istimewa, seperti harus mengalaminya sendiri, hidup bersama mereka dan memainkannya. Jadi tidak semua hal yang ada di dunia ini termasuk ke dalam pengalaman sadar. Hanya hal-hal yang kita alami dan kita kerjakan saja yang menjadi pengalaman sadar kita.

  Fenomenologi tidak membuat karakteristik dari pengalaman, ketika pengalaman itu sedang dialami. Karena ketika sebuah pengalaman sedang dialami, maka ia akan menyita seluruh perhatian pada saat itu dan membuat bias kondisi-kondisi yang melatarbelakanginya. Pada hakikatnya kita mengklasifikasikan pengalaman berdasarkan aspek-aspek kesamaannya. Misalnya ketika mendengar suatu lagu dan melihat matahari terbenam, kita langsung ingat dengan pengalaman-pengalaman romantis bersama dengan orang yang kita sayangi. Dengan demikian pada prakteknya, fenomenologi mengasumsikan “kesamaan” sebagai unsur utama dalam membuat klasifikasi pengalaman. Jadi fenomenologi lebih mencari kesamaan-kesamaan pengalaman yang bertahan, 24).

  Untuk menemukan berbagai kesamaan pengalaman itu, tentu saja memerlukan alat pengamatan yang khusus. Tidak bisa dengan pendekatan positivistik. Inilah awal mulanya fenomenologi berkembang, tidak hanya sebuah pemikiran filsafat, namun juga metode berpikir dan sebagai metode penelitian. Pada awalnya, fenomenologi klasik menggunakan tiga metode yang berbeda antara satu dengan yang lainnya. Ketiga metode tersebut adalah:

  1. Mendeskripsikan tipe-tipe pengalaman di masa lampau. Hal ini oleh Husserl dan Merleau-Ponty dinamakan dengan deskripsi murni dari pengalaman yang hidup (pure description of lived experience).

  2. Menginterpretasikan tipe-tipe pengalaman tersebut, dengan menghubungkannya dengan aspek-aspek istimewa dari konteks yang melatarbelakanginya. Heidegger dan pengikutnya menyebut metode ini sebagai hermeneutik (seni memahami konteks, terutama konteks sosial dan bahasa).

  3. Menganalisis bentuk dari setiap tipe pengalaman, untuk dielaborasi lebih lanjut.

  Pada perkembangan fenomenologi selanjutnya, ketiga metode yang sudah disebutkan di atas pun mengalami penambahan, yakni:

  4. Model logika semantik fenomenologi (logico sematinc model of

  phenomenology). Yaitu metode membuat spesifikasi kondisi-kondisi benar

  dari tipe-tipe berpikir (misalnya ketika mengatakan anjing mengejar kucing, bukan sebaliknya), atau kepuasan dari tipe-tipe kesengajaan (misalnya ketika berniat atau bermaksud untuk melompat).

  5. Paradigma eksperimental syaraf kognitif (experimental paradigm of

  cognitive neuroscience). Yakni pembuatan desain percobaan empiris untuk

  6. mengkonfirmasikan atau menyangkal aspek-aspek dalam pengalaman.

  Misalnya dengan percobaan khusus, otak bisa menghasilkan gelombang elektromagnetis tertentu bila disentuh pada area tertentu. Area-area dalam otak itulah yang langsung berhubungan dengan emosi dan pengalaman. Dengan demikian neurofenomenologi ini mengasumsikan bahwa menghasilkan tindakan dalam situasi yang tepat. Jadi, neurofenomenologi ini adalah gabungan fenomenologi murni, biologi dan ilmu fisika.

2.2.4 Pendekatan Kualitatif Penelitian Fenomenologis

  Pada dasarnya fenomenologi cenderung untuk menggunakan paradigma penelitian kualitatif sebagai landasan metodologisnya. Berikut ini perlu diuraikan sifat-sifat dasar penelitian kualitatif yang relevan menggambarkan posisi metodologis fenomenologi dan membedakannya dari penelitian kuantitatif (Kuswarno, 2013: 36):

  (1) Menggali nilai-nilai dalam pengalaman dan kehidupan manusia. (2)

  Fokus penelitian adalah pada keseluruhannya, bukan pada perbagian yang membentuk keseluruhan itu. (3)

  Tujuan penelitian adalah menemukan makna-makna dan hakikat dari pengalaman, bukan sekedar mencari penjelasan atau mencari ukuran- ukuran dari realitas. (4)

  Memperoleh gambaran kehidupan dari sudut pandang orang pertama, melalui wawancara formal dan nonformal. (5)

  Data yang diperoleh adalah dasar dari pengetahuan ilmiah untuk memahami perilaku manusia. (6)

  Pertanyaan yang dibuat merefleksikan kepentingan, keterlibatan dan komitmen pribadi dari peneliti. (7)

  Melihat pengalaman dan perilaku sebagai satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan, baik itu kesatuan antara subjek dan objek, maupun antara bagian dan keseluruhannya. Sifat-sifat penelitian kualitatif tersebut, akan sejalan dengan ciri-ciri penelitian fenomenologi berikut ini: (1)

  Fokus pada suatu yang nampak, kembali kepada yang sebenarnya (esensi), keluar dari rutinitas dan keluar dari apa yang diyakini sebagai kebenaran dan kebiasaan dalam kehidupan sehari-hari,

  Fenomenologi tertarik dengan keseluruhan, dengan mengamati entitas dari berbagai sudut pandang dan perspektif, sampai didapat pandangan esensi dari pengalaman atau fenomena yang diamati. (3)

  Fenomenologi mencari makna dan hakikat dari penampakan, dengan intuisi dan refleksi dalam tindakan sadar melalui pengalaman. Makna ini yang pada akhirnya membawa kepada ide, konsep, penilaian dan pemahaman yang hakiki. (4)

  Fenomenologi mendeskripsikan pengalaman, bukan menjelaskan atau menganalisisnya. Sebuah deskripsi fenomenologi akan sangat dekat dengan kealamiahan (tekstur, kualitas dan sifat-sifat penunjang) dari sesuatu. Sehingga deskripsi akan mempertahankan fenomena itu seperti apa adanya dan menonjolkan sifat alamiah dan makna di baliknya. Selain itu, deskripsi juga akan membuat fenomena “hidup” dalam term yang akurat dan lengkap dengan kata lain sama “hidup”-nya antara yang tampak dalam kesadaran dengan yang terlihat oleh panca indra. (5)

  Fenomenologi berakar pada pertanyaan-pertanyaan yang langsung berhubungan dengan makna dari fenomena yang diamati. Dengan demikian penelitian fenomenologi akan sangat dekat dengan fenomena yang diamati. Analoginya penelitian itu menjadi salah satu bagian puzzle dari sebuah kisah biografi. (6)

  Integrasi dari subjek dan objek. Persepsi penelitian akan sebanding/sama dengan apa yang dilihatnya/didengarnya.

  Pengalaman akan suatu tindakan akan membuat objek menjadi subjek dan subjek menjadi objek. (7)

  Investigasi yang dilakukan dalam kerangka intersubjektif, realitas adalah salah satu bagian dari proses secara keseluruhan.

  (8) Data yang diperoleh (melalui berpikir, intuisi, refleksi dan penilaian) menjadi bukti-bukti utama dalam pengetahuan ilmiah.

  (9) Pertanyaan-pertanyaan penelitian harus dirumuskan dengan sangat hati-hati. Setiap kata harus dipilih, di mana kata yang terpilih adalah kata yang paling utama, sehingga dapat menunjukkan Dengan demikian, fenomenologi sangat relevan menggunakan penelitian kualitatif ketimbang penelitian kuantitatif, dalam mengungkapkan realitas.

2.2.5 Teori Interaksi Simbolik

  Paham mengenai interaksi simbolik (symbolic interactionism) adalah suatu cara berpikir mengenai pikiran (mind), diri dan masyarakat yang telah memberikan banyak kontribusi kepada tradisi sosiokultural dalam membangun teori komunikasi. Dengan menggunakan sosiologi sebagai fondasi, paham ini mengajarkan bahwa ketika manusia berinteraksi satu sama lainnya, mereka saling membagi makna untuk jangka waktu tertentu dan untuk tindakan tertentu (Morissan, 2013: 110).

  Konsep teori interaksi simbolik ini diperkenalkan oleh Herbert Blumer sekitar tahun 1939. Dalam lingkup sosiologi, ide ini sebenarnya sudah lebih dahulu dikemukakan George Herbert Mead, tetapi kemudian dimodifikasi oleh Blumer guna mencapai tujuan tertentu. Teori ini memiliki ide yang baik, tetapi tidak terlalu dalam sebagaimana yang diajukan G.H.Mead. Karakteristik dasar teori ini adalah suatu hubungan yang terjadi secara alami antara manusia dalam masyarakat dan hubungan masyarakat dengan individu. Interaksi yang terjadi antar-individu berkembang melalui simbol-simbol yang mereka ciptakan (Wirawan, 2012: 109).

  Realitas sosial merupakan rangkaian sosial yang terjadi pada beberapa individu dalam masyarakat. Interaksi yang dilakukan antar-individu itu berlangsung secara sadar. Interaksi simbolik juga berkaitan dengan gerak tubuh, antara lain suara atau vokal, gerakan fisik, ekspresi tubuh yang semuanya itu mempunyai maksud dan disebut dengan “simbol”. Teori interaksi simbolik sering disebut juga sebagai teori sosiologi interpretatif. Selain itu teori ini ternyata sangat dipengaruhi oleh ilmu psikologi, khususnya psikologi sosial. Teori ini juga didasarkan pada persoalan konsep diri.

  Pada awal perkembangannya, interaksi simbolik lebih menekankan studinya tentang perilaku manusia pada hubungan interpersonal, bukan pada simbolik adalah perilaku dan interaksi manusia itu dapat dibedakan, karena ditampilkan lewat simbol dan maknanya. Mencari makna di balik yang sensual menjadi penting di dalam interaksi simbolik (Wirawan, 2012: 114).

  Menurut paham interaksi simbolik, individu berinteraksi dengan individu lainnya sehingga menghasilkan suatu ide tertentu mengenai diri yang berupaya menjawab pertanyaan siapakah Anda sebagai manusia? Manford Kuhn menempatkan peran diri sebagai pusat kehidupan sosial. Menurutnya, rasa diri seseorang merupakan jantung komunikasi. Diri merupakan hal yang penting dalam interaksi. Misalnya seorang anak bersosialisasi melalui interaksi dengan orang tua, saudara dan masyarakat sekitarnya. Orang memahami dan berhubungan dengan berbagai hal atau objek melalui interaksi sosial (Morissan, 2013:111).

  Suatu objek dapat berupa aspek tertentu dari realitas individu apakah itu suatu benda, kualitas, peristiwa, situasi atau keadaan. Satu-satunya syarat agar sesuatu menjadi objek adalah dengan cara memberikannya nama dan menunjukkannya secara simbolis. Dengan demikian suatu objek memiliki nilai sosial sehingga merupakan objek sosial (social object). Menurut pandangan ini, realitas adalah totalitas dari objek sosial dari seorang individu. Bagi Khun, penamaan objek adalah penting guna menyampaikan makna suatu objek.

  Menurut Khun, komunikator melakukan percakapan dengan dirinya sendiri sebagai bagian dari proses interaksi. Dengan kata lain, kita berbicara dengan diri kita sendiri di dalam pikiran kita guna membuat perbedaan di antara benda-benda dan orang. Ketika seseorang membuat keputusan bagaimana bertingkah laku terhadap suatu objek sosial maka orang itu menciptakan apa yang disebut Kuhn “suatu rencana tindakan” (a plan of action) yang dipandu dengan sikap atau pernyataan verbal yang menunjukkan nilai-nilai terhadap mana tindakan itu akan diarahkan. Misalnya seorang mahasiswa yang ingin melanjutkan kuliah harus terlebih dahulu membuat rencana tindakan yang dipandu oleh seperangkat-seperangkat nilai-nilai (sikap) positif dan negatif terhadap kuliah. Jika nilai positif lebih kuat maka ia akan melanjutkan kuliah, namun jika nilai- nilai negatif yang lebih dominan maka ia tidak akan melanjutkan kuliah (Morissan, 2013: 111-112). sikap dan rencana tindakan tidak merupakan sesuatu yang terisolasi satu sama lain. Makna muncul melalui interaksi manusia satu dengan yang lain. Orang- orang terdekat memberikan pengaruh besar dalam kehidupan kita. Mereka adalah orang-orang dengan siapa kita memiliki hubungan dan ikatan emosional seperti orang tua atau saudara. Mereka memperkenalkan kita dengan kata-kata baru, konsep-konsep tertentu atau kategori-kategori tertentu yang kesemuanya memberikan pengaruh kepada kita dalam melihat realitas. Orang terdekat membantu kita belajar membedakan antara diri kita dan orang lain sehingga kita terus memiliki sense of self.

  Secara umum, ada enam proporsi yang dipakai dalam konsep interaksi simbolik, yaitu: (1) perilaku manusia mempunyai makna di balik yang menggejala; (2) pemaknaan kemanusiaan perlu dicari sumber pada interaksi sosial manusia; (3) masyarakat merupakan proses yang berkembang holistik, tak terpisah, tidak linier dan tidak terduga; (4) perilaku manusia itu berlaku berdasar penafsiran fenomenologik, yaitu berlangsung atas maksud, pemaknaan dan tujuan, bukan didasarkan atas proses mekanik dan otomatis; (5) konsep mental manusia berkembang; (6) perilaku manusia itu wajar dan konstruktif reaktif (Wirawan, 2012: 114).

  Menurut Blumer, pokok pikiran interaksi simbolik ada tiga: (1) bahwa manusia bertindak (act) terhadap sesuatu (thing) atas dasar makna (meaning); (2) makna itu berasal dari interaksi sosial seseorang dengan sesamanya; (3) makna itu diperlakukan atau diubah melalui suatu proses penafsiran (interpretative process), yang digunakan orang dalam menghadapi sesuatu yang dijumpainya. Intinya, Blumer hendak mengatakan bahwa makna yang muncul dari interaksi tersebut tidak begitu saja diterima seseorang, kecuali setelah individu itu menafsirkan terlebih dahulu. Seseorang tidak serta merta memberikan reaksi manakala ia mendapat rangsangan dari luar. Seseorang itu semestinya melakukan penilaian dan pertimbangan terlebih dahulu; rangsangan dari luar diseleksi melalui proses yang ia sebut dengan definisi atau penafsiran situasi. Definisi situasi ada dua macam yaitu: (1) definisi situasi yang dibuat secara spontan oleh individu; (2) definisi situasi yang dibuat oleh masyarakat (Wirawan, 2012: 115-116). mengatur interaksi antarmanusia. Ada tiga jenis aturan yang mengatur perilaku manusia ketika mereka berinteraksi dengan orang lain, yang disebutkan oleh David A. Karp dan W.C. Yoels dalam bukunya Symbols, Selves, and Society:

  

Understanding Interaction (1979), yaitu: (1) aturan mengenai ruang; (2) aturan

  mengenai waktu; (3) aturan mengeni gerak dan sikap tubuh. Hall dan Hall (1971) mengemukakan bahwa komunikasi non verbal atau bahasa tubuh, yang menurutnya ada sebelum bahasa lisan, merupakan bentuk komunikasi yang pertama yang dipelajari manusia. Karp dan Yoels menyebutkan faktor-faktor yang memengaruhi interaksi, yaitu: (1) ciri yang dibawa sejak lahir, misalnya jenis kelamin, usia dan ras; (2) penampilan; (3) bentuk tubuh yang dipengaruhi oleh pakaian; dan (4) apa yang diucapkan oleh aktor (pelaku) (Wirawan, 2012: 116).

2.2.6 Teori Konstruksi Sosial Diri

  Teori konstruksi sosial diri realitas merupakan ide atau prinsip utama dalam tradisi sosiokultural. Ide menyatakan bahwa dunia sosial kita tercipta karena adanya interaksi antara manusia. Cara bagaimana kita berkomunikasi sepanjang waktu mewujudkan pengertian kita mengenai pengalaman, termasuk ide kita mengenai diri kita sebagai manusia dan sebagai komunikator. Dengan demikian, setiap orang pada dasarnya memiliki teorinya masing-masing mengenal kehidupan. Teori itu menjadi model bagi manusia untuk memahami pengalaman hidupnya. Teori berkembang dan diperbaiki terus-menerus sepanjang waktu kehidupan manusia melalui berbagai interaksi (Morissan, 2013: 113-114).

  Di antara para ahli sosial kontemporer yang membuat banyak asumsi mengenai konstruksi sosial adalah Rom Harre. Ia mengakui bahwa manusia memiliki aspek individual dan sosial dan seperti pengalaman lainnya, diri manusia dibentuk oleh teori pribadinya. Orang pada dasarnya mencoba untuk memahami dirinya dengan menggunakan ide atau teori mengenai manusia (personhood) dan teori mengenai diri (selfhood).

  Menurut Harre, manusia adalah makhluk yang terlihat atau diketahui secara publik serta memiliki sejumlah atribut dan sifat yang terbentuk di dalam kelompok budaya dan sosial. Misalnya masyarakat berkebudayaan barat (Eropa yang membuat pilihannya sendiri untuk mencapai tujuannya. Adapun diri adalah ide atau pandangan pribadi yang bersangkutan sebagai manusia. Dengan demikian, terdapat dua ide dalam hal ini, yaitu ide “saya sebagai manusia” yang bersifat publik dan ide mengenai “diri” yang bersifat pribadi atau privat (Morissan, 2013: 114).

  Menurut pandangan ini, sifat manusia diatur oleh kebudayaan sedangkan sifat diri diatur oleh teori yang dimiliki orang bersangkutan mengenai dirinya sendiri sebagai salah satu anggota kebudayaan. Dengan demikian manusia sebagai makhluk pribadi (personal being), memiliki dua sisi yaitu sisi sebagai makhluk sosial dan sisi lainnya sebagai makhluk pribadi (diri).

  Banyak masyarakat di dunia dengan kebudayaan tradisionalnya memiliki konsep tersendiri mengenai manusia yang dipandang sebagai perwujudan dari perannya dalam masyarakat seperti ibu, ayah, pendeta, petani dan dukun. Manusia secara umum dipandang sebagai manifestasi dari peran-peran tersebut. Sedangkan setiap orang akan memberi sifat, perasaan dan karakter tertentu terhadap dirinya, sebagai individu, sebagai individu di dalam suatu peran: “Saya bapaknya Yusuf, saya adalah seorang petani. Saya bapak yang baik dan petani yang baik.”

  Teori mengenai diri dipelajari melalui pengalaman berinteraksi dengan orang lain. Seluruh pemikiran, keinginan dan emosi dipelajari melalui interaksi sosial. Namun teori mengenai diri ini berbeda-beda antara satu masyarakat dengan masyarakat lainnya yang disebabkan kondisi sosial dan kebudayaan yang juga berbeda. Misalnya pada budaya masyarakat barat terdapat teori mengenai diri yang menekankan pada keseluruhan, tidak terbagi serta independen. Sebaliknya orang Jawa melihat diri mereka menjadi dua bagian yang independen yaitu perasaan yang berada dalam diri serta tingkah laku luar yang dapat diamati. Orang Maroko di Afrika Utara memiliki teori berbeda mengenai diri yaitu perwujudan dari tempat dan situasi. Dengan demikian, identitas mereka selalu terikat kepada situasi di mana mereka berada .

  Menurut teori ini, “diri” terdiri atas seperangkat elemen yang dapat ditinjau ke dalam tiga dimensi. Dimensi yang pertama adalah “dimensi penunjukan” (display) yaitu, apakah aspek dari diri itu dapat ditunjukkan kepada dapat menganggap emosinya sebagai sesuatu yang pribadi sementara kepribadiannya (personality) adalah berdimensi publik. Pada kebudayaan lain, emosi dapat dinilai sebagai memiliki dimensi publik (Morissan, 2013: 115).

  Dimensi kedua adalah realisasi atau sumber, yaitu tingkatan atau derajat pada bagian atau wilayah tertentu dari “diri” yang dipercaya berasal dari dalam individu sendiri atau berasal dari luar. Dengan demikian terdapat elemen pada diri yang berasal dari internal ataupun eksternal. Elemen diri yang dipercaya berasal dari internal disebut dengan istilah individually realized atau “disadari sendiri” sedangkan elemen diri yang dipercaya berasal dari hubungan orang itu dengan kelompoknya disebut collectivelly realized atau “disadari bersama”. Misalnya, kata “tujuan” dapat dianggap sebagai sesuatu yang disadari sendiri karena merupakan sesuatu yang dimiliki individu. Sebaliknya kata “kerja sama” dapat dianggap sebagai sesuatu yang disadari bersama karena merupakan sesuatu yang hanya dapat dilakukan sebagai anggota dari suatu kelompok.