BAB II TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS PENELITIAN 2.1 Tinjauan Pusataka - Analisis Time Series Produksi Dan Konsumsi Pangan Ubi Kayu Dan Ubi Jalar Di Sumatera Utara

BAB II TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS PENELITIAN

2.1 Tinjauan Pusataka

  Pangan merupakan elemen penting dalam siklus kehidupan dan menjadi hak azasi manusia untuk mendapatkannya dalam jumlah dan mutu yang diinginkan. Peran pangan yang sangat strategis tersebut mewajibkan Pemerintah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) untuk mewujudkan ketahanan pangan yang sangat menentukan bagi keberlanjutan kehidupan berbangsa dan bertanah air. Kewajiban tersebut tercakup dalam amanat Undang-Undang No.7 Tahun 1996 tentang pangan (Broto, 2008). UU No. 7 Tahun 1996 ditindaklanjuti dengan Peraturan Pemerintah No.

  68 Tahun 2002 tentang Ketahanan Pangan. Di Peraturan Pemerintah tersebut disebutkan bahwa dalam rangka pemerataan ketersediaan pangan ke seluruh wilayah dilakukan distribusi pangan melalui upaya pengembangan sistem distribusi pangan secara efisien, dapat mempertahankan keamanan, mutu dan gizi pangan serta menjamin keamanan distribusi pangan. Disamping itu, untuk meningkatkan ketahanan pangan dilakukan diversifikasi pangan dengan memperhatikan sumberdaya, kelembagaan dan budaya lokal melalui peningkatan teknologi pengolahan dan produk pangan dan peningkatan kesadaran masyarakat untuk mengkonsumsi aneka ragam pangan dengan gizi seimbang (Anonim, 2002).

  Kegiatan diversifikasi pangan telah dirintis sejak awal tahun 60-an. Saat itu pemerintah mulai menganjurkan konsumsi bahan-bahan pangan pokok selain beras. Di akhir Pelita I (1974), secara eksplisit pemerintah mencanangkan kebijakan diversifikasi pangan melalui Inpres No. 14 Tahun 1974 tentang Perbaikan Menu Makanan Rakyat dan disempurnakan melalui Inpres No. 20 Tahun 1979 tentang Diversifikasi Pangan. Pada era 2000-an, pemerintah membentuk kelembagaan Badan Bimas Ketahanan Pangan (yang kemudian menjadi Badan Ketahanan Pangan) dan dibentuk pula Lembaga Fungsional Dewan Ketahanan Pangan (DKP) yang langsung dipimpin oleh Presiden. Pada tahun 2004, 2005 dan 2006 dibuat kesepakatan Gubernur, Walikota dan Bupati tentang perlunya upaya diversifikasi pangan yang bertujuan untuk meningkatkan keanekaragaman produksi bahan pangan segar maupun olahan, mengembangkan kelembagaan pangan yang menjamin peningkatan produksi dan konsumsi yang lebih beragam, mengembangkan bisnis pangan dan menjamin ketersediaan gizi dan pangan bagi masyarakat (Marianto dan Baliwati, 2007).

  Sebagian besar masyarakat Indonesia selama ini memenuhi kebutuhan pangan sebagai sumber karbohidrat berupa beras. Ketergantungan Indonesia terhadap beras yang tinggi, membuat ketahanan pangan nasional sangat rapuh. Dari aspek kebijakan pembangunan makro, kondisi tersebut mengandung resiko (rawan), yang juga terkait dengan stabilitas ekonomi, sosial, dan politik. Salah satu kebijakan pembangunan pangan dalam mencapai ketahanan pangan adalah melalui diversifikasi pangan, yang dimaksudkan untuk memberikan alternatif bahan pangan sehingga mengurangi ketergantungan terhadap beras (Husodo dan Muchtadi, 2004).

  Penganekaragaman pangan, juga diharapkan akan memperbaiki kualitas konsumsi pangan masyarakat, karena semakin beragam konsumsi pangan maka suplai zat gizi lebih lengkap daripada jika didominasi oleh satu jenis bahan saja. Pengertian penganekaragaman pangan mencakup peningkatan jenis dan ragam pangan, baik dalam bentuk komoditas (bahan pangan), pangan semi olahan dan olahan, maupun bentuk pangan yang siap saji.

  Pendekatan penganekaragaman tersebut dalam program pembangunan nasional dikenal dengan istilah diversifikasi horisontal dan vertikal.

  Melalui pengembangan anekaragam budidaya pertanian (diversifikasi horisontal) akan dihasilkan beragam pangan pokok seperti singkong, ubi, jagung, garut, sukun, sagu, ganyong dan sebagainya. Sedangkan dengan pengembangan aneka produk pangan olahan akan dihasilkan produk seperti tepung instan, kue, sereal, biskuit, bolu, dan sebagainya (diversifikasi vertikal) (Briawan, dkk, 2004). Bahan pangan yang dapat dikonsumsi sehari-hari dapat dikelompokkan menjadi 9 (sembilan) kelompok besar. Jenis pangan pada masing-masing kelompok dapat berbeda pada setiap daerah/kota sesuai sumberdaya pangan yang tersedia. Secara Nasional bahan pangan dikelompokkan sebagai berikut (Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi, 1998) :

  Tabel 2. Kelompok Bahan Pangan Nasional No. Kelompok Bahan Pangan Komoditi

  1. Padi-padian Beras, jagung, sorghum dan terigu 2. Umbi-umbian Ubi kayu, ubi jalar, kentang, talas dan sagu.

  3. Pangan Hewani Ikan, daging, susu dan telur

  4. Minyak dan Lemak Minyak Kelapa, minyak sawit

  5. Buah/biji berminyak Kelapa daging

  6. Kacang-kacangan Kedelai, kacang tanah, kacang hijau

  7. Gula Gula pasir, gula merah

  8. Sayur dan buah Semua jenis sayuran dan buah-buahan yang

biasa dikonsumsi

  9. Lain-lain Teh, kopi, coklat, sirup, bumbu-bumbuan, makanan dan minuman jadi Sumber : Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi

  Salah satu faktor penting yang mempengaruhi konsumsi pangan adalah kebiasaan pangan. Kebiasaan pangan merupakan cara individu memilih makanannya dan kemudian mengkonsumsinya sebagai respon terhadap kebutuhan fisiologi, psikologi, sosial dan budaya. Ragam kebiasaan makan di kalangan bangsa Indonesia tidak terlepas dari perbedaan sosial dan budayanya. Suku Madura dulu dikenal sebagai pemakan jagung, orang Maluku mengkonsumsi sagu, orang Papua menyukai umbi-umbian, sebagian penduduk Jawa ada yang makan tiwul dan sebagian besar bangsa Indonesia mengkonsumsi nasi (Nikmawati, 1999). Terdapat hubungan yang erat antara faktor budaya dan kebiasaan makan. Menurut den Hartog dan Van Staveren (1983), pangan selain untuk memenuhi kebutuhan gizi tubuh, juga berperan dalam konteks budaya, religi dan bahkan mistik. Preferensi pangan seseorang dapat berbeda antar suku atau antar etnis dalam suatu bangsa. Konsumsi pangan, sesungguhnya juga dipengaruhi aspek ketersediaan, daya beli masyarakat dan pengetahuan gizi konsumen. Produksi pangan harus tersedia dengan cukup agar dapat mencukupi kebutuhan akan pangan. Menurut Kasno dkk (2006), tanaman umbi-umbian merupakan penghasil protein nabati dan karbohidrat yang efisien, murah dan dapat digunakan sebagai suplemen bahan pangan pokok beras dan terigu. Bahan pangan dari umbi-umbian yaitu ubi kayu dan ubi jalar dalam bentuk segar memiliki kandungan kalori dan protein yang rendah. Untuk memperoleh kalori yang sama dengan beras, harus dikonsumsi ubi sebanyak 2–3 kali beras. Sedangkan untuk memperoleh protein setara beras perlu dikonsumsi ubi segar tujuh kali konsumsi beras.

  Menurut Kasno dkk (2006), karakteristik rendah kalori ubi segar dapat dihilangkan dengan memprosesnya menjadi bahan kering berupa irisan atau tepung dengan kadar air setara beras dan aman simpan. Dengan bobot yang sama ubi dalam bentuk kering atau tepung dapat memberikan kalori yang sama dengan beras. Kelebihan dari tepung umbi itu sendiri adalah ketahanan terhadap dehidrasi yang tinggi, sehingga produk pangan yang dihasilkan dapat lebih lama di simpan, tanpa perubahan tekstur yang berarti. Di samping itu tekstur yang halus, tidak berbau atau tidak apek, lebih putih dari tepung sejenisnya mampu menghasilkan produk pangan lebih enak, tekstur halus, namun renyah (utuk olahan kue-kue kering atau makanan ringan biskuit, bolu, kue-kue basah, mie, dan sebagainya) kelebihan lainnya adalah harga lebih murah dibandingkan tepung-tepung lain yang berbasis impor.

2.1.1 Ubi Kayu

  Menurut Sutrisno dan Edris (2009), ubi kayu (Manihot esculenta Crantz.) merupakan salah satu pangan sumber karbohidrat pengganti beras karena memiliki kandungan gizi yang mendekati beras. Konsumsi ubi kayu sebagai pangan alternatif cukup penting dalam mewujudkan penganekaragaman pangan karena ketersediaannya cukup banyak dan mudah dibudidayakan pada lahan subur maupun kurang subur sampai lahan marjinal. Kandungan gizi yang terkandung dalam ubi kayu dapat dilihat pada tabel berikut.

  Tabel 3. Kandungan gizi ubi kayu per 100 gram bahan Zat Gizi Ubi Kayu Satuan Energi 157 Kalori Protein

  0.8 Gram Lemak

  0.3 Gram Karbohidrat

  34.9 Gram Kalsium Fosfor

  33

  40 Miligram Miligram Besi

  0.7 Miligram Vitamin A

  48 RE Vitamin C

  30 Miligram Vitamin B Air BBD

  

0.06

  60

  75 Miligram Gram Persen

  Sumber : BKP, 2009

  Ubi kayu merupakan penghasil karbohidrat yang efisien, murah dan dapat digunakan sebagai bahan industri pembuatan tepung. Umumnya ubi kayu diolah menjadi tepung tapioka dan gaplek. Namun saat ini telah dilakukan pengembangan ubi kayu menjadi produk yang lebih bernilai tambah dan dilaksanakan dengan menggunakan prinsip-prinsip bioteknologi. Produk yang telah dihasilkan dari ubi kayu adalah Modified Cassava Flour (biasa disebut Mocaf) yang menggunakan teknik fermentasi dengan mikroba bakteri asam laktat (BAL). Teknologi ini terinspirasi oleh teknologi pada pembuatan gatot makanan Indonesia dari ubi kayu dan cassava flour sour

  starch dari Brazil. Adapun kandungan gizi tepung yang berbahan baku ubi kayu yaitu tepung tapioka, tepung gaplek dan tepung mocaf dapat dilihat pada Tabel 4 (Rofiq dan Subagio, 2009).

  Tabel 4. Kandungan gizi dari tepung ubi kayu per 100 gram bahan Komposisi Tepung Tepung Tepung Tapioka Gaplek Mocaf

  • Energi 363,0 kal 363 kal Protein 1,10 g 1,50 g 1,0 g Lemak 0,10 g 0,50 g 0,4-0,8 g Karbohidrat 83,20 g 88,20 g 85-87 g
  • Kalsium 89,00 mg 84,0 mg Fosfor
  • 125 mg 125 mg
  • Besi 1,0 mg 1,90 mg
  • Vit.A 1,0 SI
  • Vit. B1 0,04 Vit. C
  • Sumber : Depkes Gizi RI, 2000

  Mocaf adalah produk produk dari ubi kayu yang diproses menggunakan prinsip memodifikasi sel ubi kayu secara fermentasi. Mikrobia yang tumbuh menyebabkan perubahan karakteristik tepung yang dihasilkan berupa naiknya viskositas, kemampuan gelatinasasi, daya rehidrasi dan kemudahan melarut. Mikroba juga menghasilkan asam-asam organik, terutama asam laktat yang akan terimbibisi dalam bahan. Ketika bahan tersebut diolah akan dapat menghasilkan aroma dan citarasa khas yang dapat menutupi aroma dan citarasa ubi kayu yang cenderung tidak menyenangkan konsumen. Selain proses fermentasi terjadi pula kehilangan komponen penimbul warna, dan protein yang dapat menyebabkan warna coklat ketika pengeringan. Dampaknya adalah warna tepung yang dihasilkan lebih putih jika dibandingkan dengan warna tepung ubi kayu biasa. Perbaikan kualitas tepung dipengaruhi oleh reaksi biokimia selama fermentasi dengan bakteri asam laktat (BAL) (Suismono dan Misgiarta, 2009). Karakteristik ini membuat Mocaf sangat ideal digunakan sebagai komposisi makanan dari produk-produk kering dan semi basah. Mocaf cocok sekali untuk biskuit, kue, donat, campuran roti, campuran mie, bakso, empek-empek dan kue-kue basah dan sebagainya. Sehingga sangat berpotensi sebagai produk modern penyanding tepung terigu dan komplemen tepung beras dan tepung gandum (Rofiq dan Subagio, 2009).

  Mocaf juga mempunyai aspek kesehatan yang cukup menonjol, seperti bebas gluten, kaya serat dan mudah difortifikasi. Ketiadaan gluten menjadikan produk ini baik untuk penderita autis dan tidak menyebabkan alergi yang terkadang muncul sebagai akibat mengkonsumsi gluten.

  Mocaf juga kaya akan serat sehingga mempunyai efek sebagai prebiotik yang membantu pertumbuhan mikroba menguntungkan dalam perut dan cocok untuk penderita diabetes. Bentuknya yang tepung dengan kandungan pati yang tinggi menjadikan Mocaf mudah untuk difortifikasi dengan zat-zat gizi yang lain, sesuai dengan kebutuhan dari produk (Rofiq dan Subagio, 2009).

2.1.2 Ubi Jalar

  Ubi jalar (Ipomea batatas L.) berasal dari benua Amerika. Nikolai Ivanovich Vavilov, seorang ahli botani Soviet, memastikan daerah sentrum primer asal tanaman ubi jalar adalah Amerika Tengah. Ubi jalar mulai menyebar ke seluruh dunia terutama Negara-negara beriklim tropis pada abad ke-16. Orang-orang Spanyol menyebarkan ubi jalar ke kawasan Asia terutama Filipina, Jepang, Indonesia. Pada tahun 1960-an penanaman ubi jalar sudah meluas ke seluruh provinsi di Indonesia. Pada tahun 1968 Indonesia merupakan negara penghasil ubi jalar nomor empat di dunia (Sri, 1997).

  Ubi jalar merupakan komoditas sumber karbohidrat utama, setelah padi, jagung dan ubi kayu, dan mempunyai peranan penting dalam penyediaan bahan pangan, bahan baku industri maupun pangan ternak. Ubi jalar dikonsumsi sebagai makanan tambahan atau sampingan, kecuali di Irian Jaya dan Maluku, ubi jalar digunakan sebagai makanan pokok. Ubi jalar di kawasan dataran tinggi Jayawijaya merupakan sumber utama karbohidrat dan memenuhi hampir 90% kebutuhan kalori penduduk (Wanamarta, 1981).

  Menurut Lingga (1984), ubi jalar dapat dimanfaatkan sebagai pengganti makanan pokok karena merupakan sumber kalori yang efisien. Selain itu, ubi jalar juga mengandung vitamain A dalam jumlah yang cukup, niasin, fosfor, besi dan kalsium. Di samping sumbangan vitamin dan mineral, kadar karotin pada ubi jalar sebagai bahan utama pembentukan vitamin A setaraf dengan karotin pada wortel. Kandungan vitamin A yang dicirikan oleh umbi yang berwarna kuning kemerah-merahan. Kadar vitamin C yang terdapat di dalam umbinya memberikan peran yang tidak sedikit bagi penyediaan dan kecukupan gizi dan dapati dijangkau oleh masyarakat di pedesaan. Dari kandungan gizinya, maka ubi jalar memiliki kesetaraan dengan sumber pangan lain dan pada beberapa hal kandungan gizinya lebih baik. Kandungan gizi ubi jalar disajikan pada Tabel 5.

  Tabel 5. Kandungan gizi Ubi Jalar di dalam 100 gram bahan

Komponen Gizi Umbi Putih Umbi Merah/Orange Umbi Kuning

Energi (kal) 123,0 123,0 136,0 Protein (g) 1,8 1.81,8 1,1 Lemak (g) 0,7 0.70,7 0,4 Karbohidrat (g) 27,9 27.927,9 32,3 Serat (g) - - 0,7 Abu (g) - - 1,2 Air (g) 68,5 68,5 68,5 Kalium (mg) 30,0 30,0 57,0 Fosfor (mg) 49,0 49,0 52,0 Natrium (mg) - - 5,0 Calcium (gram) - - 393,0 Niacin (mg) - - 0,6 Vitamin A (IU) 60,0 7.700 900,0 Vitamin B 1 (mg) 0,9 0,9 0,1 Vitamin B2 (mg) - - 0,04 Vitamin C (mg) 22,0 22,0 35,0

  Sumber : Depkes RI 1981 dalam Ditjen Bina Produksi Tanaman Pangan (2002).

  Sebagai sumber karbohidrat, ubi jalar memiliki peluang sebagai subsitusi bahan pangan utama, sehingga bila diterapkan mempunyai peran penting dalam upaya penganekaragaman pangan dan dapat mengurangi konsumsi beras. Pada saat krisis pangan akibat kegagalan panen maupun krisis ekonomi, beras menjadi barang langka dan mahal karena harnganya melonjak tinggi, sehingga tidak terjangkau oleh masyarakat miskin. Sementara itu, kebutuhan pangan tidak bisa ditunda, maka masyarakat baik di pedesaan maupun di perkotaan memerlukan alternatif pangan nonberas. Ubi jalar sebagai makanan tambahan maupun makan selingan, selain cocok dengan selera masyarakat, harganya jauh lebih murah dibandingkan dengan harga beras. Meskipun konsumsi beras tidak semuanya dapat disubsitusi oleh ubi jalar, namun dalam saat krisis pangan pemanfaatan ubi jalar sebagai alternatif sumber karbohidrat untuk mengatasi kelangkaan pangan sangat kompetitif dibandingkan dengan bahan pangan lainnya (Zuraida dan Supriati, 2001). Menurut Damardjati dan Widowati (1994), dalam pengembangan program diversifikasi pangan untuk mendukung pelestarian swasembada pangan, ubi jalar merupakan komoditas pangan yang mempunyai keunggulan sebagai penunjang program tersebut. Ubi jalar mempunyai potensi yang cukup besar untuk ditingkatkan produksinya dan umbinya dapat diproses menjadi aneka ragam produk yang mampu mendorong pengembangan agroindustri dalam diversifikasi pangan. Alternatif produk yang dapat dikembangkan dari ubi jalar menurut Damardjati dan Widowati, 1994 ada empat kelompok yaitu : (1) produk olahan dari ubi jalar segar, contohnya

ubi rebus, ubi goreng, kolak, nagosari, geruk dan pie; (2) produk ubi jalar siap santap, seperti kremes, saos, selai; (3) produk ubi jalar siap masak, umunya berbentuk produk instan seperti sarapan chips, mie atau bihun; (4) produk ubi jalar bahan baku, bentuk produk ini umumnya bersifat kering, merupakan produk setengah jadi untuk bahan baku, awet dan tahan disimpan lama, antara lain irisan ubi kering (gaplek), tepung dan pati. Menurut Antarlina dalam Zuraida dan Supriati (1998), penggunaan ubi jalar yang masih terbatas pada pengolahan ubi segar menjadi penganan secara tradisional perlu diusahakan menjadi suatu produk untuk bahan baku dalam industri makanan. Tepung ubi jalar merupakan produk ubi jalar setengah jadi yang dapat digunakan sebagai bahan baku dalam industri makanan dan juga mempunyai daya simpan yang lebih lama.

  Kandungan gizi tepung ubi jalar jika dibandingkan dengan tepung terigu pada kadar air 7% menunjukkan bahwa kadar protein dan lemak tepung ubi jalar lebih rendah daripada tepung terigu, tetapi mempunyai kadar abu dan serat lebih tinggi serta kandungan karbohidrat hampir setara, yaitu dapat dilihat pada tabel 6. Kandungan serat yang lebih tinggi pada tepung ubi jalar menyebabkan warna tepung tidak putih. Nilai kalori pada tepung ubi jalar lebih rendah daripada tepung terigu. Ternyata campuran 50% tepung ubi jalar dan 50% tepung terigu dianjurkan untuk pembuatan kue karena lebih disukai, rasa enak, warna menarik, dan mempunyai tingkat kemanisan sedang.

  Tabel 6. Kandungan Gizi Tepung Ubi Jalar dibandingkan dengan Tepung Terigu Kandungan gizi Tepung ubi jalar Tepung terigu

  Air (%) 7,00 7,00 Protein (%) 5,12 13,13 Lemak (%) 0,50 1,29 Abu (%) 2,13 0,54

  85,26 85,04 Karbohidrat (%)

  Serat (%) 1,95 0,62 Kalori (cal/100 g) 366,89 375,79 Sumber : Antarlina, 1998

  Ubi jalar merupakan salah satu umbi-umbian yang mudah dibudidayakan di berbagai wilayah di Indonesia. Badan Ketahanan Pangan bekerjasama dengan Yayasan Gizi Kuliner selama ini telah mengembangkan aneka resep berbahan baku tepung ubi jalar menjadi aneka kudapan dan cemilan modern dengan cita rasa yang lezat, diantaranya adalah kue lumpur ubi keju, bakpau ubi ungu, tape ubi jalar, keripik dan gaplek ubi jalar (BKP, 2009).

2.1.3 Konsumsi dan Produksi

  Konsumsi adalah setiap kegiatan memanfaatkan, menghabiskan kegunaan barang maupun jasa untuk memenuhi kebutuhan demi menjaga kelangsungan hidup. Sedangkan menurut Dumairy (2004) konsumsi adalah pembelanjaan atas barang dan jasa yang dilakukan oleh rumah tangga dengan tujuan untuk memenuhi kebutuhan dari orang yang melakukan pembelanjaan tersebut. Pembelanjaan atas makanan, pakaian dan barang-barang kebutuhan lain digolongkan pembelanjaan atau konsumsi. Barang-barang yang diproduksi untuk digunakan memenuhi kebutuhan dinamakan barang konsumsi. Produksi merupakan suatu kegiatan yang dikerjakan untuk menambah nilai guna suatu benda atau menciptakan benda baru sehingga lebih bermanfaat dalam memenuhi kebutuhan. Kegiatan menambah daya guna benda tanpa mengubah bentuknya dinamakan produksi jasa sedangkan kegiatan menambah daya guna suatu benda dengan mengubah sifat dan bentuknya dinamakan produksi barang. Produksi bertujuan untuk memenuhi kebutuhan manusia untuk mencapai kemakmuran. Kemakmuran dapat tercapai jika tersedia barang dan jasa dalam jumlah yang mencukupi (Soeharno, 2006).

2.2 Landasan Teori

  Time Series (Data Berkala atau Data Deret Waktu) adalah data yang

  dikumpulkan dari waktu ke waktu untuk menggambarkan perkembangan suatu kegiatan atau sekumpulan hasil observasi yang diatur dan didapat menurut aturan kronologis waktu, misalnya perkembangan produksi, harga barang, hasil penjualan, jumlah penduduk, dan lainnya. Ada dua tujuan dari analisis data berkala (Syukri, 2012): a.

  Mengidentifikasi sifat dari fenomena diwakili oleh urutan pengamatan.

  b.

  Peramalan (memprediksi nilai masa depan dari variabel time series). Kedua tujuan mengharuskan pola data berkala yang diamati diidentifikasi terlebih dahulu. Dengan plot data ke dalam bentuk grafik dan melihat pola yang terbentuk kita dapat menafsirkan dan kemudian menerapkan model analisis yang sesuai untuk pola data tersebut untuk memprediksi kejadian masa depan. Analisis data deret waktu pada dasarnya digunakan untuk melakukan analisis data yang mempertimbangkan pengaruh waktu. Data-data yang dikumpulkan secara periodik berdasarkan urutan waktu, bisa dalam jam, hari, minggu, bulan, kuartal dan tahun, bisa dilakukan analisis menggunakan metode analisis data deret waktu. Analisis data deret waktu tidak hanya bisa dilakukan untuk satu variabel (Univariate) tetapi juga bisa untuk banyak variabel (Multivariate). Selain itu pada analisis data deret waktu bisa dilakukan peramalan data beberapa periode ke depan yang sangat membantu dalam menyusun perencanaan ke depan (Syukri, 2012).

  Analisis data berkala memungkinkan kita untuk mengetahui perkembangan suatu atau beberapa kejadian serta pengaruhnya atau hubungannya terhadap kejadian lain dan dapat pula membuat ramalan berdasarkan garis regresi atau garis trend. Metode yang digunakan dalam analisis data berkala adalah metode kuantitatif sehingga perlu diperhatikan beberapa syarat (Syukri, 2012) :

  1. Ketersediaan informasi tentang masa lalu.

  2. Informasi tersebut dapat dikuantitatifkan dalam bentuk data numerik.

  3. Dapat diasumsikan bahwa beberapa aspek pola masa lalu akan terus berlanjut di masa mendatang.

  Menurut Supranto (2008), ada empat komponen pola gerakan atau variasi data deret waktu adalah sebagai berikut:

  1. Gerakan trend jangka panjang (long term movement or secular trend), yaitu suatu gerakan yang menunjukkan arah perkembangan secara umum (kecenderungan menaik/menurun). Perlu diketahui bahwa garis trend sangat berguna untuk membuat peramalan yang sangat diperlukan bagi perencanaan.

  2. Gerakan siklus (cyclical movements), adalah gerakan jangka panjang di sekitar garis trend (berlaku untuk data tahunan). Gerakan siklus ini bisa terulang setelah jangka waktu tertentu (setiap 3 tahun, 5 tahun atau lebih) dan bisa juga terulang dalam waktu yang sama.

  3. Gerakan musiman (seasonal movements), adalah gerakan yang mempunyai pola tetap dari waktu ke waktu. Walaupun pada umumnya gerakan musiman terjadi pada data bulanan yang dikumpulkan dari tahun ke tahun, gerakan musiman juga berlaku bagi data harian, mingguan atau satuan waktu yang lebih kecil lagi.

4. Gerakan yang tidak teratur atau acak (irregular or random

  

movements ), adalah gerakan yang hanya terjadi sekali-kali dan tidak

  mengikuti aturan tertentu dan karenanya tidak dapat diramalkan terlebih dahulu.

  Y=f(X) Y=f(X)

  Trend Turun Trend Naik

  X X Waktu Waktu

  Gambat 1. Garis Trend Deret Waktu

  Y=f(X Y=f(X)

  X X

  (a) (b) Trend Jangka Panjang dan Trend Jangka Panjang Gerakan Siklis Y=f(X Y=f(X)

  X X

  (d) Trend Jangka Panjang, (c) Trend Jangka Panjang, Gerakan Gerakan Siklis, Musiman dan Siklis dan Musiman Random (acak)

  Gambar 2. Komponen-komponen Data Deret Waktu Trend melukiskan gerak data berkala selama jangka waktu yang panjang

  atau cukup lama. Gerak ini mencerminkan sifat kontinuitas atau keadaan yang serba terus dari waktu ke waktu selama jangka waktu tersebut.

  Karena sifat kontinuitas ini, maka trend dianggap sebagai gerak stabil dan menunjukkan arah perkembangan secara umum (kecenderungan menaik/menurun). Trend sangat berguna untuk membuat peramalanan (forecasting) yang merupakan perkiraan untuk masa depan yang diperlukan bagi perencanaan. Trend dibedakan menjadi dua jenis, yakni

  Trend Linier dan Trend Non Linier (Syukri, 2012). Trend linier adalah merupakan model persamaan garis lurus yang

  terbentuk berdasarkan titik-titik diagram pencar dari data selama kurun waktu tertentu. Pada model trend ini garis vertikal (tegak) dinyatakan sebagai jumlah perkembangan data yang akan dianalisis (y), dan untuk garis horizontal (mendatar) dinyatakan sebagai waktu (x) (Supangat, 2007).

  Analis trend linier dapat dilakukan dengan Metode Least Square (Metode Kuadrat Terkecil). Trend dengan metode kuadrat terkecil diperoleh dengan menentukan garis trend yang mempunyai jumlah terkecil dari kuadrat selisih data asli dengan data pada garis trend. Dalam hal menentukan nilai a dan b dengan menggunakan metode kuadrat terkecil pada prinsipnya adalah membentuk persamaan normal Hesse, kemudian perhatikan data yang tersedia, apakah jumlah data yang ada ganjil atau genap, karena hal ini akan berpengaruh pada model penyelesaian (Supangat, 2007).

  Perhatian berikutnya adalah kapan waktu dasar ditetapkan, keberadaan waktu dasar sangat berperan dalam menentukan nilai-nilai a dan b model trend linier tersebut. Jika datanya ganjil atau genap, dan waktu dasar yang ditetapkan berada pada posisi tertentu (tidak berada di tengah-tengah data selama kurun waktu yang ditentukan), maka penyelesaiannya dikatakan sebagai model penyelesaian dengan cara panjang (

  ∑ ≠ 0), namun demikian jika waktu dasar ditetapkan berada pada posisi di tengah-tengah data selama kurun waktu yang ditentukan, maka model penyelesaian dikatakan sebagai model penyelesaian cara pendek (

  ∑ = 0), dengan demikian cara untuk mendapatkan nilai-nilai a dan b (Supangat, 2007).

2.3 Kerangka Pemikiran

  Pangan merupakan kebutuhan dasar bagi setiap individu untuk mempertahankan hidup dan kehidupannya. Ketersediaan akan pangan tersebut sangat tergantung oleh jumlah produksi dan jumlah konsumsi. Pada masa sekarang ini kita tidak bisa lagi terus mengandalkan beras sebagai konsumsi utama pangan karena ketersediaan pangan beras yang semakin menurun, ditambah lagi jumlah penduduk yang semakin meningkat.

  Salah satu upaya alternatif yang ditempuh agar ketergantungan beras bisa dikurangi serta pencapaian pola pangan yang memenuhi persyaratan nutrisi adalah dikembangkannya diversifikasi pangan. Penanaman dan pemanfaatan sumber pangan lokal terutama pangan non-beras selayaknya menjadi bagian integral dari upaya memperkokoh ketahanan pangan melalui kemandirian pangan. Salah satu pangan lokal yang dapat digunakan untuk menjalankan program diversifikasi pangan tersebut adalah umbi-umbian.

  Program diversifikasi pangan di Sumatera Utara dengan mengkonsumsi umbi-umbian disebut Manggadong. Umbian yang dimaksud dalam kajian ini adalah ubi kayu dan ubi jalar. Ubi kayu dan ubi jalar merupakan bahan pangan alternatif dan makanan pendamping nasi menuju ketahanan pangan. Mengkonsumsi umbi-umbian tidak hanya bertujuan sebagai makanan pendamping nasi tetapi juga diharapkan dapat dijadikan sebagai menu makanan sehari-hari sehingga dapat terciptanya menu makanan yang beragam dan berimbang yang tidak hanya mengkonsumsi beras sebagai pangan pokok tunggal.

  Ubi kayu dan Ubi jalar merupakan bahan pangan bersumber karbohidrat tinggi setelah beras dan jagung. Ubi kayu dapat dikonsumsi langsung ataupun diolah terlebih dahulu. Dari olahan ubi kayu dapat dibuat beberapa aneka makanan yang enak dan baik untuk dikonsumsi. Sekarang ini ubi kayu dapat dijadikan sebagai bahan baku pembuat tepung termodifikasi atau yang lebih dikenal dengan sebutan Tepung Mocaf sebagai pengganti tepung terigu sehingga dari ubi kayu dapat dibuat berbagai macam makanan seperti roti, kue dan lainnya.

  Ubi jalar sangat membantu dalam diversifikasi pangan. Ubi jalar dapat dikonsumsi langsung dan rasanya yang lebih enak dan gurih. Olahan makanan dari ubi jalar tidak kalah banyak dengan olahan ubi kayu. Banyak aneka makanan yang dibuat dengan bahan baku ubi jalar yaitu keripik, kue, bolu dan makanan lainnya. Sehingga ubi kayu dan ubi jalar banyak digunakan sebagai bahan baku industri makanan. Langkah awal yang dilakukan dalam penelitian ini adalah mengidentifikasi pola data produksi dan konsumsi ubi kayu dan ubi jalar.

  Data yang diidentifikasi untuk produksi dan konsumsi yaitu data lima belas tahun yaitu dari tahun 1996-2010. Dari data yang diperoleh pola data yang digunakan adalah gerak trend (kecenderungan). Kemudian penentuan metode peralamalan yang digunakan yaitu metode gerak trend yang linier. Setelah metode sudah ditentukan, kemudian dilakukan peramalan untuk produksi dan konsumsi ubi kayu dan ubi jalar untuk tahun 2015-2025.

  Setelah hasil ramalan diperoleh maka dapat dilihat bagaimana pencapaian produksi dan konsumsi ubi kayu dan ubi jalar. Hasil ramalan tersebut dapat digunakan oleh pemerintah untuk membuat suatu kebijakan dalam pengadaan ubi kayu dan ubi jalar sebagi bahan pangan alternatif untuk meningkatkan diversifikasi pangan berbasis umbi-umbian dalam mendukung ketahanan pangan di Sumatera Utara.

  Pangan Ubi Jalar

  Ubi Kayu Produksi Ubi Konsumsi

  Kayu dan Ubi Jalar Ubi Kayu dan Ubi (1996-2010) Jalar (1996-2010)

  Peramalan Produksi Ubi kayu dan Peramalan Konsumsi Ubi Kayu Ubi Jalar dan Ubi Jalar 2015-2025

  2015-2025 Hasil Peramalan Produksi dan Konsumsi Ubi Kayu dan Ubi jalar

  Alternatif kebijakan Pangan untuk meningkatkan diversifikasi pangan berbasis umbi - umbian

  Gambar 3. Skema Kerangka Pemikiran

  Keterangan : : Menyatakan Hubungan : Menyatakan Pengaruh

2.4 Hipotesis Penelitian

  Berdasarkan identifikasi masalah dan landasan teori yang dibuat, maka hipotesis dari penelitian ini adalah

  1. Produksi dan konsumsi ubi kayu Sumatera Utara (2015-2025) akan mengalami trend yang menaik.

  2. Produksi dan konsumsi ubi jalar Sumatera Utara (2015-2025) akan mengalami trend yang menaik.