Analisis Time Series Produksi Dan Konsumsi Pangan Ubi Kayu Dan Ubi Jalar Di Sumatera Utara

(1)

ANALISIS TIME SERIES PRODUKSI DAN KONSUMSI

PANGAN UBI KAYU DAN UBI JALAR DI SUMATERA

UTARA

SKRIPSI

OLEH:

MIMI HERI KARNI

090304103

PROGRAM STUDI AGRIBISNIS

FAKULTAS PERTANIAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

M E D A N


(2)

ANALISIS TIME SERIES PRODUKSI DAN KONSUMSI

PANGAN UBI KAYU DAN UBI JALAR DI SUMATERA

UTARA

SKRIPSI

OLEH:

MIMI HERI KARNI

090304103

Skripsi Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana di Fakultas Pertanian, Universitas Sumatera Utara, Medan

KOMISI PEMBIMBING

Ketua Anggota

( Dr. Ir. Satia Negara Lubis M.Ec ) ( Sri Fajar Ayu, SP,MM, DBA NIP. 19630204199703 1 001 NIP. 19700827200812 2 001

)

PROGRAM STUDI AGRIBISNIS

FAKULTAS PERTANIAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

M E D A N


(3)

ABSTRAK

Mimi Heri Karni “Analisis Time Series Konsumsi Pangan Ubi kayu dan Ubi Jalar di Sumatera Utara” yang dilakukan pada tahun 2013 dibawah bimbingan Bapak Dr.Ir. Satia Negara Lubis, M.Ec serta Ibu Sri Fajar Ayu SP, MM, DBA.

Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis produksi serta produktivitas ubi kayu dan ubi jalar di Sumatera Utara (1996-2010), menganalisis konsumsi ubi kayu dan ubi jalar di Sumatera Utara (1996-2010), meramalkan produksi dan konsumsi ubi kayu dan ubi jalar di Sumatera Utara (2015-2025), dan menentukan alternatif kebijakan pangan dalam upaya meningkatkan diversifikasi pangan berbasis umbi-umbian di Sumatera Utara.

Penentuan daerah penelitian dilakukan secara purposive (sengaja) dengan pertimbangan bahwa wilayah penelitian ini termasuk sebagai sentra produksi pangan yang diteliti serta memiliki populasi penduduk yang cukup besar. Berdasarkan analisis yang telah dilakukan diporeh hipotesi I dapat diterima dimana produksi dan konsumsi ubi kayu di Sumatera Utara mengalami trend yang menaik sedangkan untuk hipotesi II tidak diterima karena walaupun produksi ubi jalar di Sumatera Utara mengalami trend yang menaik, namun untuk konsumsi ubi jalar menalami trend yang menurun.


(4)

CURRICULUM VITAE

MIMI HERI KARNI, dilahirkan di Padangsidimpuan pada tanggal 21 November 1990 dari pasangan Bapak H. Muhammad Hendrik dan Ibu Hj. Roswita Karni Pulungan. Penulis merupakan anak kedua dari 4 bersaudara.

Pendidikan yang pernah ditempuh penulis adalah :

1. Tahun 2002 lulus dari SD Negeri 200117 Padangsidimpuan 2. Tahun 2006 lulus dari SMP Negeri 4 Padangsidimpuan 3. Tahun 2009 lulus dari SMA Negeri 1 Padangsidimpuan

4. Tahun 2009 diterima sebagai mahasiswa pada Program Studi Agribisnis Departemen Agribisnis Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara melalui jalur SMPTN

5. Bulan Juli-Agustus melaksanakan Praktek Kerja Lapangan (PKL) di Desa Rawang Panca Pasar VI Kecamatan Rawang Panca Arga Kabupaten Asahan

6. Bulan Januari-Maret 2013 melaksanakan penelitian untuk skripsi di Kotamadya Medan


(5)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena berkat Rahmat dan KaruniaNya sehingga penulis dapat menyusun skripsi ini dengan baik. Adapun judul skripsi ini adalah Analisis Time Series Produksi dan Konsumsi Pangan Ubi Kayu dan Ubi Jalar di Sumatera Utara. Penelitian dilakukan di Kotamadya Medan.

Skripsi ini selesai berkat bantuan dan dukungan dari berbagai pihak. Untuk itu penulis mengucapkan terima kasih kepada pihak-pihak yang telah mendukung penulis baik dari segi moril maupun materil, yakni:

1. Bapak Dr. Ir. Satia Negara Lubis, M.Ec selaku Ketua Komisi Pembimbing skripsi penulis.

2. Ibu Sri Fajar Ayu, SP, MM, DBA selaku Anggota Komisi Pembimbing skripsi penulis.

3. Ibu Dr. Ir. Salmiah, MS selaku Ketua Departemen SEP FP- USU dan Dosen Wali Penulis selama kuliah di FP-USU.

4. Seluruh Dosen dan Pegawai Departemen SEP FP-USU.

5. Seluruh Instansi terkait yang telah membantu penulis dalam memperoleh data-data selama penelitian.

Pada kesempatan ini, dengan hati yang tulus, penulis mengucapkan terima kasih yang tak terhingga kepada ayahanda H. Mhd. Hendrik dan Ibunda Hj. Roswita Karni Pulungan, serta kakak penulis drg. Riri Heny


(6)

Karni dan adik penulis Loly Heny Karni, Putri Syawalani Heny Karni dan seluruh keluarga yang telah memberikan dorongan semangat dan curahan perhatian yang tidak ternilai.

Selanjutnya, penulis juga ingin menyampaikan terima kasih kepada teman – teman penulis stambuk 2009, senior dan junior lainnya yang telah membantu dan memberikan motivasi dalam menyelesaikan skripsi ini.

Akhirnya penulis mengharapkan semoga hasil karya atau skripsi ini dapat memberikan sumbangan pikiran yang berguna bagi fakultas, pengembangan ilmu dan masyarakat.

Medan, Agustus 2013


(7)

DAFTAR ISI

RINGKASAN ... i

RIWAYAT HIDUP……… ii

KATA PENGANTAR ………... iii

DAFTAR ISI ………. iv

DAFTAR TABEL ………. v

DAFTAR GAMBAR ………. vi

DAFTAR LAMPIRAN……….. vii

BAB I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ……….. 1

1.2 Identifikasi Masalah ……….. 6

1.3 Tujuan Penelitian ……….. 7

1.4 Kegunaan Penelitian ………. 7

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI DAN KERANGKA PEMIKIRAN 2.1 Tinjauan Pustaka ………. 8

2.1.1 Ubi Kayu ………. 12

2.1.2 Ubi Jalar ………. 15

2.1.3 Konsumsi dan Produksi ………. 19

2.2 Landasan Teori ……… 19

2.3 Kerangka Pemikiran ……… 23

2.4 Hipotesis Penelitian ……….. 27

BAB III. METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Metode Penentuan Daerah Penelitian ..……….. 28

3.2 Metode Pengumpulan Data ………. 28

3.3 Metode Analisis Data ………... 28

3.4 Defenisi dan Batasan Operasional ………. 31

3.4.1 Defenisi Operasional ……….. 31

3.4.2 Batasan Operasional ……….. 32

BAB IV. DESKRIPSI DAERAH PENELITIAN 4.1 Letak dan Keadaan Geografis Sumatera Utara ………... 42


(8)

4.3 Keadaan Penduduk Sumatera Utara ………. 43

BAB V. HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1 Produksi serta Produktivitas Ubi Kayu dan Ubi Jalar

di Sumatera Utara (1996-2010) ……….. 45 5.2 Konsumsi Ubi Kayu dan Ubi Jalar di Sumatera Utara

(1996-2010) ……… 56 5.3 Peramalan Produksi serta Konsumsi Ubi Kayu dan Ubi Jalar

di Sumatera Utara (2015-2025) ………... 62 5.3.1 Peramalan Produksi dan Konsumsi Ubi Kayu ……… 62 5.3.2 Peramalan Produksi dan Konsumsi Ubi Jalar ………. 65 5.4 Alternatif Kebijakan untuk Meningkatkan Diversifikasi

Pangan Berbasis Umbi-umbian ……….. 70 BAB VI. KESIMPULAN DAN SARAN

6.1 Kesimpulan ……….. 77 6.2 Saran ………. 78 DAFTAR PUSTAKA


(9)

DAFTAR TABEL

No Keterangan Halaman

1. Tingkat Konsumsi Beras di Sumatera

Utara………

4

2. Kelompok Bahan Pangan

Nasional………..

12

3. Kandungan Gizi Ubi kayu per 100 gr

bahan………

16 4. Kandungan Gizi Tepung Ubi kayu per 100 gr

bahan………...

17

5. Kandungan Gizi Ubi jalar per 100 gr

bahan……….

20 6. Kandungan Gizi Tepung Ubi jalar dibandingkan

Tepung

Terigu………..

22

7. Jumlah Penduduk Indonesia Tahun

2010……….

28 8. Luas Wilayah, Jumlah Penduduk dan Kepadatan

Penduduk Menurut Kabupaten/Kota tahun 2010………

36 9. Produksi Ubi Kayu di Sumatera Utara

(1996-2010)…………

37 10. Produktivitas Ubi Kayu di Sumatera Utara

(1996-2010)…….

39 11. Produksi Ubi Jalar di Sumatera Utara

(1996-2010)………….

43 12. Produktivitas Ubi Jalar di Sumatera Utara

(1996-2010)……..

45 13.

14. 15.

Konsumsi Ubi Kayu di Sumatera Utara (1996-2010)………..

Konsumsi Ubi Jalar di Sumatera Utara (1996-2010)………...

49 51


(10)

16.

Angka Ramalan Produksi dan Konsumsi Ubi Kayu di Sumatera Utara (2015-2025)………

Angka Ramalan Produksi dan Konsumsi Ubi Jalar di Sumatera Utara (2015-2025)………

55


(11)

DAFTAR GAMBAR

No Keterangan Halaman

1. Garis Trend Deret

Waktu………

21

2. Komponen-komponen Data Deret

Waktu………

22

3. Skema Kerangka

Pemikiran……….

26 4. Produksi Ubi Kayu di Sumatera Utara

(1996-2010)…………

38 5. Produktivitas Ubi Kayu di Sumatera Utara

(1996-2010)…….

39 6. Produksi Ubi Jalar di Sumatera Utara

(1996-2010)………….

44 7. Produktivitas Ubi Jalar di Sumatera Utara

(1996-2010)……..

45 8. Konsumsi Ubi Kayu di Sumatera Utara

(1996-2010)………..

49 9. Konsumsi Ubi Jalar di Sumatera Utara

(1996-2010)………...

52 10 Ramalan Produksi dan Konsumsi Ubi Kayu di

Sumatera Utara (2015-2025)………

56

11. Ramalan Produksi dan Konsumsi Ubi Jalar di Sumatera Utara (2015-2025)………


(12)

DAFTAR LAMPIRAN

No. Keterangan

1. Jumlah Penduduk Sumatera Utara (1996-2010)

2. Luas Panen, Produktivitas dan Produksi Ubi Kayu (1996-2010) 3. Luas Panen, Produktivitas dan Produksi Ubi Jalar (1996-2010) 4. Konsumsi Ubi Kayu Penduduk Sumatera Utara (1996-2010) 5. Konsumsi Ubi Jalar Penduduk Sumatera Utara (1996-2010) 6. Trend Produksi Ubi Kayu dengan Metode Least Square 7. Trend Produksi Ubi Jalar dengan Metode Least Square 8. Trend Konsumsi Ubi Kayu dengan Metode Least Square 9. Trend Konsumsi Ubi Jalar dengan Metode Least Square 10. Peramalan Produksi dan Konsumsi Ubi Kayu Sumatera Utara

(2015-2025)

11. Peramalan Produksi dan Konsumsi Ubi Jalar Sumatera Utara (2015-2025)


(13)

ABSTRAK

Mimi Heri Karni “Analisis Time Series Konsumsi Pangan Ubi kayu dan Ubi Jalar di Sumatera Utara” yang dilakukan pada tahun 2013 dibawah bimbingan Bapak Dr.Ir. Satia Negara Lubis, M.Ec serta Ibu Sri Fajar Ayu SP, MM, DBA.

Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis produksi serta produktivitas ubi kayu dan ubi jalar di Sumatera Utara (1996-2010), menganalisis konsumsi ubi kayu dan ubi jalar di Sumatera Utara (1996-2010), meramalkan produksi dan konsumsi ubi kayu dan ubi jalar di Sumatera Utara (2015-2025), dan menentukan alternatif kebijakan pangan dalam upaya meningkatkan diversifikasi pangan berbasis umbi-umbian di Sumatera Utara.

Penentuan daerah penelitian dilakukan secara purposive (sengaja) dengan pertimbangan bahwa wilayah penelitian ini termasuk sebagai sentra produksi pangan yang diteliti serta memiliki populasi penduduk yang cukup besar. Berdasarkan analisis yang telah dilakukan diporeh hipotesi I dapat diterima dimana produksi dan konsumsi ubi kayu di Sumatera Utara mengalami trend yang menaik sedangkan untuk hipotesi II tidak diterima karena walaupun produksi ubi jalar di Sumatera Utara mengalami trend yang menaik, namun untuk konsumsi ubi jalar menalami trend yang menurun.


(14)

BAB I PENDAHULUAN 1.1Latar Belakang

Kelangkaan pangan telah menjadi ancaman setiap negara, semenjak meledaknya pertumbuhan penduduk dunia dan pengaruh perubahan iklim global yang makin sulit diprediksi. Fluktuasi harga bahan bakar fosil yang mencapai nilai US$ 150/barel, spekulasi harga bahan pangan dan fluktuasi pendapatan rumah tangga turut memicu terjadinya krisis pangan. Pangan bukan hanya sekedar menjadi komoditas ekonomi tetapi telah menjadi komoditas politik yang memiliki dimensi sosial yang meluas. Di beberapa negara, seperti Maroko, Senegal, Meksiko, Uzbekistan, Etiopia, Pantai Gading, Papua Nugini, Mauritania, Yaman, Filipina dan Korea Utara, krisis pangan telah menyulut gejolak sosial. Di dalam World Food Summit pada tahun 1996, para pemimpin dunia bertekad untuk melawan kelaparan dengan agenda menghapus 400 juta warga miskin dan lapar, tetapi hingga tahun 2002, kecepatan pengentasan kemiskinan dan kelaparan hanya mencapai 6 juta/tahun dari target 22 juta/tahun (Wiroto, 2003).

Di Indonesia, isu kelangkaan pangan dan malnutrisi di beberapa daerah telah banyak diberitakan dan sangat ironi sekali bahwa daerah rawan pangan dan terancam rawan pangan sebenarnya memiliki potensi sumber pangan dengan kandungan gizi yang cukup. Melihat kondisi pangan dunia


(15)

saat ini, sudah barang tentu bahwa setiap negara akan mencukupi kebutuhan negaranya masing-masing. Negara dengan surplus pangan pun tidak akan serta merta untuk melakukan eksport, karena surplus akan disimpan sebagai cadangan pangannya. Berbagai upaya dilakukan untuk mempersiapkan diri menghadapi ancaman krisis global pangan.

Hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) tahun 2005 menunjukkan bahwa sepertiga kecamatan di Indonesia yaitu berjumlah 5.570 kecamatan mengalami masalah gizi serius. Sedangkan dari hasil pemetaan status nutrisi terkini yang dilakukan Badan Pusat Statistik (BPS) bekerjasama dengan Badan Pangan Dunia (World Food Programme/WFP) dan AUSAID di 30 provinsi di Indonesia, diketahui bahwa persentase gizi buruk masih lebih dari 30%. Tingkat relevansi malnutrisi tertinggi di kecamatan-kecamatan yang berada di wilayah Sumatera Utara, Sumatera Barat, Sumatera Selatan, Jambi, Jawa Timur, NTB, NTT dan Kalimantan Barat. Tingkat konsumsi kalori penduduk juga masih kurang yaitu 1.700 kkal/kapita/hari, jauh lebih rendah dari standar internasional kebutuhan kalori minimun orang dewasa yakni sebesar 2.100 kkal/kapita/hari.

Pada tahun 2004, peta rawan pangan (Food Insecurity Atlas) dikelompokkan pada tiga dimensi ketahanan pangan yaitu ketersediaan pangan, akses terhadap pangan dan penyerapan pangan. Hasil penyusunan tersebut adalah: 1) Kondisi sangat tahan pangan: Bali ; 2) Kondisi cukup


(16)

tahan pangan hingga sangat tahan pangan: Jawa; 3) Kondisi agak rawan pangan: NTB, NTT, sebagian kecil Kalimantan Timur dan Kalimantan Tengah; 4) Kondisi cukup rawan pangan hingga rawan pangan: Sumatera Utara; 5) Kondisi rawan pangan: sebagian besar Kalimantan Barat; 6) Kondisi agak rawan pangan hingga rawan pangan: sebagian besar Sulawesi Tenggara dan Gorontalo; 7) Kondisi agak rawan pangan hingga sangat rawan pangan : Maluku, Maluku Utara dan Papua (BKP, 2005). Undang-undang Nomor 7 Tahun 1996 tentang pangan menyebutkan bahwa ketahanan pangan adalah kondisi terpenuhinya pangan bagi setiap rumah tangga yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutu, aman, merata dan terjangkau. Pembangunan pangan ini bertujuan untuk meningkatkan kualitas dan produktivitas sumberdaya manusia sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari pembangunan nasional. Konsumsi pangan penduduk Indonesia masih belum memenuhi kecukupan gizi. Kuantitas, kualitas dan keragaman pangan belum memenuhi kaedah berimbang, karena masih didominasi oleh serealia khususnya beras, sebaliknya kontribusi jagung, umbi-umbian, kacang-kacangan, pangan hewani, sayur-sayuran dan buah-buahan masih sangat kurang. Ketergantungan terhadap beras dapat diperlonggar dengan penganekaragaman pangan melalui perubahan citra bahan pangan pokok berbasis umbi-umbian yang diperkaya nutrisinya oleh kacang-kacangan.


(17)

Program peningkatan ketahanan pangan dimaksudkan sebagai upaya untuk menjaga ketersediaan pangan nasional (beras dan sumber bahan pangan lain), agar dapat dipenuhi dan diproduksi domestik sehingga mampu mengurangi ketergantungan akan impor. Sumatera Utara sebagai daerah agraris yang memprioritaskan pertanian sebagai sektor andalan pembangunan daerahnya, juga mengalami permasalahan kekurangan pangan khususnya beras setiap tahunnya.

Maka untuk mengatasi hal tersebut pemerintah melakukan diversifikasi pangan. Dengan dilakukannya program diversifikasi pangan di Sumatera Utara membuat konsumsi beras di Sumatera Utara sejak beberapa tahun terakhir mengalami penurunan. Penurunan konsumsi beras rata-rata 1,89% per tahun diharapkan bisa meningkatkan ketahanan pangan di Sumatera Utara. Data konsumsi beras dapat dilihat pada tabel 1. Penurunan konsumsi beras ini dikarenakan pemerintah melakukan sosialisasi peningkatan konsumsi bahan pangan nonberas seperti umbi-umbian, kentang, sayuran dan bahan pangan lainnya (BKP, 2012).

Tabel 1. Tingkat Konsumsi Beras di Sumatera Utara

Tahun Konsumsi Beras (Kg/kapita)

2009 139,50

2010 136,85

2011 134,24


(18)

Satu diantaranya yaitu dengan membangkitkan kearifan lokal di Sumatera Utara, yakni mengkonsumsi ubi sebelum makan nasi terutama ubi jalar, dengan sebutan Manggadong (memakan ubi). Manggadong merupakan program dari Badan Ketahanan Pangan Sumatera Utara untuk mempercepat diversifikasi pangan berbasis sumber daya dan budaya lokal. Program manggadong merupakan budaya leluhur yang sudah ada sejak zaman orde baru dan merupakan kearifan lokal yang terdapat di daerah Tapanuli. Umbi-umbian merupakan sumber karbohidrat yang mempunyai potensi untuk dikembangkan sebagai bahan pangan alternatif (pengganti beras dan tepung terigu). Tanaman umbi-umbian yang dimaksud dalam kajian ini adalah ubi kayu dan ubi jalar.

Ubi kayu dan ubi jalar merupakan tanaman yang sudah lama dikenal dan dibudidayakan oleh masyarakat di Indonesia. Hal tersebut tercermin dari daerah penyebaran komoditas tersebut di hampir seluruh provinsi di Indonesia. Sebagai bahan sumber karbohidrat, ubi kayu dan ubi jalar banyak dimanfaatkan untuk bahan pangan, bahan pakan serta bahan baku industri (pangan dan kimia).

Di Indonesia luas panen ubi kayu pada tahun 1999 mencapai 1,34 juta hektar dan ubi jalar mencapai 0,167 juta hektar. Produksi ubi kayu dan ubi jalar segar masing-masing sebesar 16,3 juta ton dan 1,627 ton, bahkan produksi ubi kayu segar telah meningkat menjadi 20.313.082 juta ton pada


(19)

tahun 2008. Produksi umbi-umbian di Sumatera Utara hingga oktober 2011 meningkat. Peningkatan terjadi pada produksi ubi kayu yang telah mencapai 811.517 ton dan ubi jalar sebanyak 109.883 ton. Berdasarkan data produksi ubi kayu yang mencapai 811.517 ton ini diperoleh dari luas tanam 31.849 hektar dan panen 28.814 hektar. Sedangkan produksi ubi jalar sebanyak 109.833 ton dari luas tanam 10.351 hektar dan panen 9.009 hektar (BPS, 2012).

Jumlah penduduk Sumatera Utara pada tahun 2010 yaitu 12.985.075 juta jiwa (BPS, 2011) dengan pertumbuhan yang masih tinggi mendorong Pemerintah untuk terus meningkatkan produksi ubi kayu sebagai bahan pangan alternatif mendukung ketahanan pangan Nasional. Ubi kayu banyak digunakan sebagai bahan pangan untuk dikonsumsi langsung maupun digunakan sebagai bahan baku industri yang diolah menjadi beranekaragam makanan dan maupun olahan setengah jadi yaitu tepung Mocaf yang saat ini diharapkan mampu menjadi barang subsitusi pengganti tepung terigu. Komoditi umbi-umbian sudah banyak dikembangkankan oleh petani. Ini didukung dengan tingginya harga jual dan permintaan pasar. Untuk peningkatan produksi ubi kayu, dibantu dari beberapa perusahaan seperti PT Perkebunan Nusantara (PTPN) II yang menyewakan lahannya hingga ribuan hektar ke petani di Kabupaten Deli Serdang dan Serdang Bedagai.


(20)

Seperti halnya ubi kayu, sebagian besar ubi jalar juga dimanfaatkan sebagai bahan pangan, baik secara langsung (direbus, digoreng, dioven) atau setelah melalui proses pengolahan (kue basah, kue kering, roti, mie, selai). Hanya sebagian yang digunakan untuk bahan pakan dan baku industri. Sejalan dengan Program Diversifikasi Pangan, ubi jalar yang banyak mengandung karbohidrat, mineral dan vitamin ubi jalar juga berpeluang dimanfaatkan sebagai sumber pangan alternatif (non beras), bahkan dengan beberapa keunggulannya yaitu mengandung betakaroten, antosianin, senyawa fenol dan serat pangan, ubi jalar juga dapat dijadikan sebagai makanan untuk kesehatan.

Dengan keunggulan dan pemenuhan kebutuhan gizi yang cukup, pengadaan ubi kayu dan ubi jalar sebagai pangan lokal alternatif yang bersumber daya lokal cukup menjanjikan. Sehingga sebagai sumber pangan alternatif yang digunakan oleh pemerintah Sumatera Utara untuk mendukung ketahanan pangan nasional maka peneliti tertarik untuk melihat bagaimana prospek produksi dan konsumsi ubi kayu dan ubi jalar dimasa mendatang agar dapat digunakan sebagai input dalam menyusun perencanaan dalam hal mendukung ketahanan pangan nasional.

1.2Identifikasi Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan diatas, maka permasalahan yang didapat antara lain:


(21)

1. Bagaimana perkembangan produksi dan produktivitas ubi kayu dan ubi jalar di Sumatera Utara Tahun 1996-2010?

2. Bagaimana perkembangan konsumsi pangan ubi kayu dan ubi jalar di Sumatera Utara Tahun 1996-2010?

3. Bagaimana produksi dan konsumsi ubi kayu dan ubi jalar di Sumatera Utara dari Tahun 2015 - 2025?

4. Apakah alternatif kebijakan pangan yang dapat diambil pemerintah dalam upaya meningkatkan diversifikasi pangan berbasis umbi-umbian di Sumatera Utara?

1.3Tujuan Penelitian

Berdasarkan identifikasi masalah, maka tujuan penelitian adalah sebagai berikut:

1. Untuk menganalisis produksi serta produktivitas ubi kayu dan ubi jalar di Sumatera Utara 1996-2010.

2. Untuk menganalisis perkembangan konsumsi pangan ubi kayu dan ubi jalar di Sumatera Utara tahun 1996-2010.

3. Untuk meramalkan produksi serta konsumsi ubi kayu dan ubi jalar di Sumatera Utara Tahun 2015-2025.

4. Untuk dapat mengetahui alternatif kebijakan pangan dalam upaya meningkatkan diversifikasi pangan berbasis umbi-umbian di Sumatera Utara.


(22)

1.4Kegunaan Penelitian

Berdasarkan tujuan penelitian, maka kegunaan penelitian adalah sebagai berikut:

1. Sebagai sumbangan pemikiran dalam kajian produksi dan konsumsi pangan terkait dengan upaya ketahanan pangan.

2. Sebagai bahan masukan dan pertimbangan bagi policy maker dalam proyeksi kebutuhan pangan di masa mendatang serta dalam penyusunan kebijakan pemantapan dan diversifikasi pangan.

3. Sebagai bahan referensi dan studi bagi pihak-pihak yang membutuhkan.


(23)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS PENELITIAN 2.1 Tinjauan Pusataka

Pangan merupakan elemen penting dalam siklus kehidupan dan menjadi hak azasi manusia untuk mendapatkannya dalam jumlah dan mutu yang diinginkan. Peran pangan yang sangat strategis tersebut mewajibkan Pemerintah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) untuk mewujudkan ketahanan pangan yang sangat menentukan bagi keberlanjutan kehidupan berbangsa dan bertanah air. Kewajiban tersebut tercakup dalam amanat Undang-Undang No.7 Tahun 1996 tentang pangan (Broto, 2008).

UU No. 7 Tahun 1996 ditindaklanjuti dengan Peraturan Pemerintah No. 68 Tahun 2002 tentang Ketahanan Pangan. Di Peraturan Pemerintah tersebut disebutkan bahwa dalam rangka pemerataan ketersediaan pangan ke seluruh wilayah dilakukan distribusi pangan melalui upaya pengembangan sistem distribusi pangan secara efisien, dapat mempertahankan keamanan, mutu dan gizi pangan serta menjamin keamanan distribusi pangan. Disamping itu, untuk meningkatkan ketahanan pangan dilakukan diversifikasi pangan dengan memperhatikan sumberdaya, kelembagaan dan budaya lokal melalui peningkatan


(24)

teknologi pengolahan dan produk pangan dan peningkatan kesadaran masyarakat untuk mengkonsumsi aneka ragam pangan dengan gizi seimbang (Anonim, 2002).

Kegiatan diversifikasi pangan telah dirintis sejak awal tahun 60-an. Saat itu pemerintah mulai menganjurkan konsumsi bahan-bahan pangan pokok selain beras. Di akhir Pelita I (1974), secara eksplisit pemerintah mencanangkan kebijakan diversifikasi pangan melalui Inpres No. 14 Tahun 1974 tentang Perbaikan Menu Makanan Rakyat dan disempurnakan melalui Inpres No. 20 Tahun 1979 tentang Diversifikasi Pangan. Pada era 2000-an, pemerintah membentuk kelembagaan Badan Bimas Ketahanan Pangan (yang kemudian menjadi Badan Ketahanan Pangan) dan dibentuk pula Lembaga Fungsional Dewan Ketahanan Pangan (DKP) yang langsung dipimpin oleh Presiden. Pada tahun 2004, 2005 dan 2006 dibuat kesepakatan Gubernur, Walikota dan Bupati tentang perlunya upaya diversifikasi pangan yang bertujuan untuk meningkatkan keanekaragaman produksi bahan pangan segar maupun olahan, mengembangkan kelembagaan pangan yang menjamin peningkatan produksi dan konsumsi yang lebih beragam, mengembangkan bisnis pangan dan menjamin ketersediaan gizi dan pangan bagi masyarakat (Marianto dan Baliwati, 2007).


(25)

Sebagian besar masyarakat Indonesia selama ini memenuhi kebutuhan pangan sebagai sumber karbohidrat berupa beras. Ketergantungan Indonesia terhadap beras yang tinggi, membuat ketahanan pangan nasional sangat rapuh. Dari aspek kebijakan pembangunan makro, kondisi tersebut mengandung resiko (rawan), yang juga terkait dengan stabilitas ekonomi, sosial, dan politik. Salah satu kebijakan pembangunan pangan dalam mencapai ketahanan pangan adalah melalui diversifikasi pangan, yang dimaksudkan untuk memberikan alternatif bahan pangan sehingga mengurangi ketergantungan terhadap beras (Husodo dan Muchtadi, 2004).

Penganekaragaman pangan, juga diharapkan akan memperbaiki kualitas konsumsi pangan masyarakat, karena semakin beragam konsumsi pangan maka suplai zat gizi lebih lengkap daripada jika didominasi oleh satu jenis bahan saja. Pengertian penganekaragaman pangan mencakup peningkatan jenis dan ragam pangan, baik dalam bentuk komoditas (bahan pangan), pangan semi olahan dan olahan, maupun bentuk pangan yang siap saji. Pendekatan penganekaragaman tersebut dalam program pembangunan nasional dikenal dengan istilah diversifikasi horisontal dan vertikal. Melalui pengembangan anekaragam budidaya pertanian (diversifikasi horisontal) akan dihasilkan beragam pangan pokok seperti singkong, ubi, jagung, garut, sukun, sagu, ganyong dan sebagainya. Sedangkan dengan


(26)

pengembangan aneka produk pangan olahan akan dihasilkan produk seperti tepung instan, kue, sereal, biskuit, bolu, dan sebagainya (diversifikasi vertikal) (Briawan, dkk, 2004).

Bahan pangan yang dapat dikonsumsi sehari-hari dapat dikelompokkan menjadi 9 (sembilan) kelompok besar. Jenis pangan pada masing-masing kelompok dapat berbeda pada setiap daerah/kota sesuai sumberdaya pangan yang tersedia. Secara Nasional bahan pangan dikelompokkan sebagai berikut (Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi, 1998) :

Tabel 2. Kelompok Bahan Pangan Nasional

No. Kelompok Bahan Pangan Komoditi

1. Padi-padian Beras, jagung, sorghum dan terigu

2. Umbi-umbian Ubi kayu, ubi jalar, kentang, talas dan sagu. 3. Pangan Hewani Ikan, daging, susu dan telur

4. Minyak dan Lemak Minyak Kelapa, minyak sawit 5. Buah/biji berminyak Kelapa daging

6. Kacang-kacangan Kedelai, kacang tanah, kacang hijau 7. Gula Gula pasir, gula merah

8. Sayur dan buah Semua jenis sayuran dan buah-buahan yang biasa dikonsumsi

9. Lain-lain Teh, kopi, coklat, sirup, bumbu-bumbuan, makanan dan minuman jadi

Sumber : Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi

Salah satu faktor penting yang mempengaruhi konsumsi pangan adalah kebiasaan pangan. Kebiasaan pangan merupakan cara individu memilih makanannya dan kemudian mengkonsumsinya sebagai respon terhadap kebutuhan fisiologi, psikologi, sosial dan budaya. Ragam kebiasaan makan di kalangan bangsa Indonesia tidak terlepas dari perbedaan sosial dan budayanya. Suku Madura dulu dikenal sebagai pemakan jagung,


(27)

orang Maluku mengkonsumsi sagu, orang Papua menyukai umbi-umbian, sebagian penduduk Jawa ada yang makan tiwul dan sebagian besar bangsa Indonesia mengkonsumsi nasi (Nikmawati, 1999).

Terdapat hubungan yang erat antara faktor budaya dan kebiasaan makan. Menurut den Hartog dan Van Staveren (1983), pangan selain untuk memenuhi kebutuhan gizi tubuh, juga berperan dalam konteks budaya, religi dan bahkan mistik. Preferensi pangan seseorang dapat berbeda antar suku atau antar etnis dalam suatu bangsa. Konsumsi pangan, sesungguhnya juga dipengaruhi aspek ketersediaan, daya beli masyarakat dan pengetahuan gizi konsumen. Produksi pangan harus tersedia dengan cukup agar dapat mencukupi kebutuhan akan pangan.

Menurut Kasno dkk (2006), tanaman umbi-umbian merupakan penghasil protein nabati dan karbohidrat yang efisien, murah dan dapat digunakan sebagai suplemen bahan pangan pokok beras dan terigu. Bahan pangan dari umbi-umbian yaitu ubi kayu dan ubi jalar dalam bentuk segar memiliki kandungan kalori dan protein yang rendah. Untuk memperoleh kalori yang sama dengan beras, harus dikonsumsi ubi sebanyak 2–3 kali beras. Sedangkan untuk memperoleh protein setara beras perlu dikonsumsi ubi segar tujuh kali konsumsi beras.


(28)

Menurut Kasno dkk (2006), karakteristik rendah kalori ubi segar dapat dihilangkan dengan memprosesnya menjadi bahan kering berupa irisan atau tepung dengan kadar air setara beras dan aman simpan. Dengan bobot yang sama ubi dalam bentuk kering atau tepung dapat memberikan kalori yang sama dengan beras. Kelebihan dari tepung umbi itu sendiri adalah ketahanan terhadap dehidrasi yang tinggi, sehingga produk pangan yang dihasilkan dapat lebih lama di simpan, tanpa perubahan tekstur yang berarti. Di samping itu tekstur yang halus, tidak berbau atau tidak apek, lebih putih dari tepung sejenisnya mampu menghasilkan produk pangan lebih enak, tekstur halus, namun renyah (utuk olahan kue-kue kering atau makanan ringan biskuit, bolu, kue-kue basah, mie, dan sebagainya) kelebihan lainnya adalah harga lebih murah dibandingkan tepung-tepung lain yang berbasis impor.

2.1.1 Ubi Kayu

Menurut Sutrisno dan Edris (2009), ubi kayu (Manihot esculenta Crantz.) merupakan salah satu pangan sumber karbohidrat pengganti beras karena memiliki kandungan gizi yang mendekati beras. Konsumsi ubi kayu sebagai pangan alternatif cukup penting dalam mewujudkan penganekaragaman pangan karena ketersediaannya cukup banyak dan mudah dibudidayakan pada lahan subur maupun kurang subur sampai


(29)

lahan marjinal. Kandungan gizi yang terkandung dalam ubi kayu dapat dilihat pada tabel berikut.

Tabel 3. Kandungan gizi ubi kayu per 100 gram bahan

Zat Gizi Ubi Kayu Satuan

Energi 157 Kalori

Protein 0.8 Gram

Lemak 0.3 Gram

Karbohidrat 34.9 Gram

Kalsium Fosfor 33 40 Miligram Miligram

Besi 0.7 Miligram

Vitamin A 48 RE

Vitamin C 30 Miligram

Vitamin B Air BBD 0.06 60 75 Miligram Gram Persen Sumber : BKP, 2009

Ubi kayu merupakan penghasil karbohidrat yang efisien, murah dan dapat digunakan sebagai bahan industri pembuatan tepung. Umumnya ubi kayu diolah menjadi tepung tapioka dan gaplek. Namun saat ini telah dilakukan pengembangan ubi kayu menjadi produk yang lebih bernilai tambah dan dilaksanakan dengan menggunakan prinsip-prinsip bioteknologi. Produk yang telah dihasilkan dari ubi kayu adalah Modified Cassava Flour (biasa disebut Mocaf) yang menggunakan teknik fermentasi dengan mikroba bakteri asam laktat (BAL). Teknologi ini terinspirasi oleh teknologi pada pembuatan gatot makanan Indonesia dari ubi kayu dan cassava flour sour starch dari Brazil. Adapun kandungan gizi tepung yang berbahan baku ubi


(30)

kayu yaitu tepung tapioka, tepung gaplek dan tepung mocaf dapat dilihat pada Tabel 4 (Rofiq dan Subagio, 2009).

Tabel 4. Kandungan gizi dari tepung ubi kayu per 100 gram bahan

Komposisi Tepung

Tapioka

Tepung Gaplek

Tepung Mocaf

Energi 363,0 kal 363 kal -

Protein 1,10 g 1,50 g 1,0 g

Lemak 0,10 g 0,50 g 0,4-0,8 g

Karbohidrat 83,20 g 88,20 g 85-87 g

Kalsium 89,00 mg 84,0 mg -

Fosfor 125 mg 125 mg -

Besi 1,0 mg 1,90 mg -

Vit.A - 1,0 SI -

Vit. B1 0 0,04 -

Vit. C 0 0 -

Sumber : Depkes Gizi RI, 2000

Mocaf adalah produk produk dari ubi kayu yang diproses menggunakan prinsip memodifikasi sel ubi kayu secara fermentasi. Mikrobia yang tumbuh menyebabkan perubahan karakteristik tepung yang dihasilkan berupa naiknya viskositas, kemampuan gelatinasasi, daya rehidrasi dan kemudahan melarut. Mikroba juga menghasilkan asam-asam organik, terutama asam laktat yang akan terimbibisi dalam bahan. Ketika bahan tersebut diolah akan dapat menghasilkan aroma dan citarasa khas yang dapat menutupi aroma dan citarasa ubi kayu yang cenderung tidak menyenangkan konsumen. Selain proses fermentasi terjadi pula kehilangan komponen penimbul warna, dan protein yang dapat menyebabkan warna coklat ketika pengeringan. Dampaknya adalah warna tepung yang dihasilkan lebih putih jika dibandingkan dengan warna


(31)

tepung ubi kayu biasa. Perbaikan kualitas tepung dipengaruhi oleh reaksi biokimia selama fermentasi dengan bakteri asam laktat (BAL) (Suismono dan Misgiarta, 2009).

Karakteristik ini membuat Mocaf sangat ideal digunakan sebagai komposisi makanan dari produk-produk kering dan semi basah. Mocaf cocok sekali untuk biskuit, kue, donat, campuran roti, campuran mie, bakso, empek-empek dan kue-kue basah dan sebagainya. Sehingga sangat berpotensi sebagai produk modern penyanding tepung terigu dan komplemen tepung beras dan tepung gandum (Rofiq dan Subagio, 2009). Mocaf juga mempunyai aspek kesehatan yang cukup menonjol, seperti bebas gluten, kaya serat dan mudah difortifikasi. Ketiadaan gluten menjadikan produk ini baik untuk penderita autis dan tidak menyebabkan alergi yang terkadang muncul sebagai akibat mengkonsumsi gluten. Mocaf juga kaya akan serat sehingga mempunyai efek sebagai prebiotik yang membantu pertumbuhan mikroba menguntungkan dalam perut dan cocok untuk penderita diabetes. Bentuknya yang tepung dengan kandungan pati yang tinggi menjadikan Mocaf mudah untuk difortifikasi dengan zat-zat gizi yang lain, sesuai dengan kebutuhan dari produk (Rofiq dan Subagio, 2009).


(32)

2.1.2 Ubi Jalar

Ubi jalar (Ipomea batatas L.) berasal dari benua Amerika. Nikolai Ivanovich Vavilov, seorang ahli botani Soviet, memastikan daerah sentrum primer asal tanaman ubi jalar adalah Amerika Tengah. Ubi jalar mulai menyebar ke seluruh dunia terutama Negara-negara beriklim tropis pada abad ke-16. Orang-orang Spanyol menyebarkan ubi jalar ke kawasan Asia terutama Filipina, Jepang, Indonesia. Pada tahun 1960-an penanaman ubi jalar sudah meluas ke seluruh provinsi di Indonesia. Pada tahun 1968 Indonesia merupakan negara penghasil ubi jalar nomor empat di dunia (Sri, 1997).

Ubi jalar merupakan komoditas sumber karbohidrat utama, setelah padi, jagung dan ubi kayu, dan mempunyai peranan penting dalam penyediaan bahan pangan, bahan baku industri maupun pangan ternak. Ubi jalar dikonsumsi sebagai makanan tambahan atau sampingan, kecuali di Irian Jaya dan Maluku, ubi jalar digunakan sebagai makanan pokok. Ubi jalar di kawasan dataran tinggi Jayawijaya merupakan sumber utama karbohidrat dan memenuhi hampir 90% kebutuhan kalori penduduk (Wanamarta, 1981).

Menurut Lingga (1984), ubi jalar dapat dimanfaatkan sebagai pengganti makanan pokok karena merupakan sumber kalori yang efisien. Selain itu, ubi jalar juga mengandung vitamain A dalam jumlah yang cukup, niasin,


(33)

fosfor, besi dan kalsium. Di samping sumbangan vitamin dan mineral, kadar karotin pada ubi jalar sebagai bahan utama pembentukan vitamin A setaraf dengan karotin pada wortel. Kandungan vitamin A yang dicirikan oleh umbi yang berwarna kuning kemerah-merahan. Kadar vitamin C yang terdapat di dalam umbinya memberikan peran yang tidak sedikit bagi penyediaan dan kecukupan gizi dan dapati dijangkau oleh masyarakat di pedesaan. Dari kandungan gizinya, maka ubi jalar memiliki kesetaraan dengan sumber pangan lain dan pada beberapa hal kandungan gizinya lebih baik. Kandungan gizi ubi jalar disajikan pada Tabel 5.

Tabel 5. Kandungan gizi Ubi Jalar di dalam 100 gram bahan

Komponen Gizi Umbi Putih Umbi Merah/Orange Umbi Kuning

Energi (kal) 123,0 123,0 136,0

Protein (g) 1,8 1.81,8 1,1

Lemak (g) 0,7 0.70,7 0,4

Karbohidrat (g) 27,9 27.927,9 32,3

Serat (g) - - 0,7

Abu (g) - - 1,2

Air (g) 68,5 68,5 68,5

Kalium (mg) 30,0 30,0 57,0

Fosfor (mg) 49,0 49,0 52,0

Natrium (mg) - - 5,0

Calcium (gram) - - 393,0

Niacin (mg) - - 0,6

Vitamin A (IU) 60,0 7.700 900,0

Vitamin B 1 (mg) 0,9 0,9 0,1

Vitamin B2 (mg) - - 0,04

Vitamin C (mg) 22,0 22,0 35,0

Sumber : Depkes RI 1981 dalam Ditjen Bina Produksi Tanaman Pangan (2002). Sebagai sumber karbohidrat, ubi jalar memiliki peluang sebagai subsitusi bahan pangan utama, sehingga bila diterapkan mempunyai peran penting dalam upaya penganekaragaman pangan dan dapat mengurangi konsumsi


(34)

beras. Pada saat krisis pangan akibat kegagalan panen maupun krisis ekonomi, beras menjadi barang langka dan mahal karena harnganya melonjak tinggi, sehingga tidak terjangkau oleh masyarakat miskin. Sementara itu, kebutuhan pangan tidak bisa ditunda, maka masyarakat baik di pedesaan maupun di perkotaan memerlukan alternatif pangan nonberas. Ubi jalar sebagai makanan tambahan maupun makan selingan, selain cocok dengan selera masyarakat, harganya jauh lebih murah dibandingkan dengan harga beras. Meskipun konsumsi beras tidak semuanya dapat disubsitusi oleh ubi jalar, namun dalam saat krisis pangan pemanfaatan ubi jalar sebagai alternatif sumber karbohidrat untuk mengatasi kelangkaan pangan sangat kompetitif dibandingkan dengan bahan pangan lainnya (Zuraida dan Supriati, 2001).

Menurut Damardjati dan Widowati (1994), dalam pengembangan program diversifikasi pangan untuk mendukung pelestarian swasembada pangan, ubi jalar merupakan komoditas pangan yang mempunyai keunggulan sebagai penunjang program tersebut. Ubi jalar mempunyai potensi yang cukup besar untuk ditingkatkan produksinya dan umbinya dapat diproses menjadi aneka ragam produk yang mampu mendorong pengembangan agroindustri dalam diversifikasi pangan. Alternatif produk yang dapat dikembangkan dari ubi jalar menurut Damardjati dan Widowati, 1994 ada empat kelompok yaitu : (1) produk olahan dari ubi jalar segar, contohnya


(35)

ubi rebus, ubi goreng, kolak, nagosari, geruk dan pie; (2) produk ubi jalar siap santap, seperti kremes, saos, selai; (3) produk ubi jalar siap masak, umunya berbentuk produk instan seperti sarapan chips, mie atau bihun; (4) produk ubi jalar bahan baku, bentuk produk ini umumnya bersifat kering, merupakan produk setengah jadi untuk bahan baku, awet dan tahan disimpan lama, antara lain irisan ubi kering (gaplek), tepung dan pati. Menurut Antarlina dalam Zuraida dan Supriati (1998), penggunaan ubi jalar yang masih terbatas pada pengolahan ubi segar menjadi penganan secara tradisional perlu diusahakan menjadi suatu produk untuk bahan baku dalam industri makanan. Tepung ubi jalar merupakan produk ubi jalar setengah jadi yang dapat digunakan sebagai bahan baku dalam industri makanan dan juga mempunyai daya simpan yang lebih lama. Kandungan gizi tepung ubi jalar jika dibandingkan dengan tepung terigu pada kadar air 7% menunjukkan bahwa kadar protein dan lemak tepung ubi jalar lebih rendah daripada tepung terigu, tetapi mempunyai kadar abu dan serat lebih tinggi serta kandungan karbohidrat hampir setara, yaitu dapat dilihat pada tabel 6. Kandungan serat yang lebih tinggi pada tepung ubi jalar menyebabkan warna tepung tidak putih. Nilai kalori pada tepung ubi jalar lebih rendah daripada tepung terigu. Ternyata campuran 50% tepung ubi jalar dan 50% tepung terigu dianjurkan untuk pembuatan kue


(36)

karena lebih disukai, rasa enak, warna menarik, dan mempunyai tingkat kemanisan sedang.

Tabel 6. Kandungan Gizi Tepung Ubi Jalar dibandingkan dengan Tepung Terigu

Kandungan gizi Tepung ubi jalar Tepung terigu

Air (%) 7,00 7,00

Protein (%) 5,12 13,13

Lemak (%) 0,50 1,29

Abu (%) 2,13 0,54

Karbohidrat (%) 85,26 85,04

Serat (%) 1,95 0,62

Kalori (cal/100 g) 366,89 375,79

Sumber : Antarlina, 1998

Ubi jalar merupakan salah satu umbi-umbian yang mudah dibudidayakan di berbagai wilayah di Indonesia. Badan Ketahanan Pangan bekerjasama dengan Yayasan Gizi Kuliner selama ini telah mengembangkan aneka resep berbahan baku tepung ubi jalar menjadi aneka kudapan dan cemilan modern dengan cita rasa yang lezat, diantaranya adalah kue lumpur ubi keju, bakpau ubi ungu, tape ubi jalar, keripik dan gaplek ubi jalar (BKP, 2009).

2.1.3 Konsumsi dan Produksi

Konsumsi adalah setiap kegiatan memanfaatkan, menghabiskan kegunaan barang maupun jasa untuk memenuhi kebutuhan demi menjaga kelangsungan hidup. Sedangkan menurut Dumairy (2004) konsumsi adalah pembelanjaan atas barang dan jasa yang dilakukan oleh rumah tangga dengan tujuan untuk memenuhi kebutuhan dari orang yang melakukan pembelanjaan tersebut. Pembelanjaan atas makanan, pakaian


(37)

dan barang-barang kebutuhan lain digolongkan pembelanjaan atau konsumsi. Barang-barang yang diproduksi untuk digunakan memenuhi kebutuhan dinamakan barang konsumsi.

Produksi merupakan suatu kegiatan yang dikerjakan untuk menambah nilai guna suatu benda atau menciptakan benda baru sehingga lebih bermanfaat dalam memenuhi kebutuhan. Kegiatan menambah daya guna benda tanpa mengubah bentuknya dinamakan produksi jasa sedangkan kegiatan menambah daya guna suatu benda dengan mengubah sifat dan bentuknya dinamakan produksi barang. Produksi bertujuan untuk memenuhi kebutuhan manusia untuk mencapai kemakmuran. Kemakmuran dapat tercapai jika tersedia barang dan jasa dalam jumlah yang mencukupi (Soeharno, 2006).

2.2 Landasan Teori

Time Series (Data Berkala atau Data Deret Waktu) adalah data yang dikumpulkan dari waktu ke waktu untuk menggambarkan perkembangan suatu kegiatan atau sekumpulan hasil observasi yang diatur dan didapat menurut aturan kronologis waktu, misalnya perkembangan produksi, harga barang, hasil penjualan, jumlah penduduk, dan lainnya. Ada dua tujuan dari analisis data berkala (Syukri, 2012):

a. Mengidentifikasi sifat dari fenomena diwakili oleh urutan pengamatan. b. Peramalan (memprediksi nilai masa depan dari variabel time series).


(38)

Kedua tujuan mengharuskan pola data berkala yang diamati diidentifikasi terlebih dahulu. Dengan plot data ke dalam bentuk grafik dan melihat pola yang terbentuk kita dapat menafsirkan dan kemudian menerapkan model analisis yang sesuai untuk pola data tersebut untuk memprediksi kejadian masa depan.

Analisis data deret waktu pada dasarnya digunakan untuk melakukan analisis data yang mempertimbangkan pengaruh waktu. Data-data yang dikumpulkan secara periodik berdasarkan urutan waktu, bisa dalam jam, hari, minggu, bulan, kuartal dan tahun, bisa dilakukan analisis menggunakan metode analisis data deret waktu. Analisis data deret waktu tidak hanya bisa dilakukan untuk satu variabel (Univariate) tetapi juga bisa untuk banyak variabel (Multivariate). Selain itu pada analisis data deret waktu bisa dilakukan peramalan data beberapa periode ke depan yang sangat membantu dalam menyusun perencanaan ke depan (Syukri, 2012).

Analisis data berkala memungkinkan kita untuk mengetahui perkembangan suatu atau beberapa kejadian serta pengaruhnya atau hubungannya terhadap kejadian lain dan dapat pula membuat ramalan berdasarkan garis regresi atau garis trend. Metode yang digunakan dalam analisis data berkala adalah metode kuantitatif sehingga perlu diperhatikan beberapa syarat (Syukri, 2012) :


(39)

1. Ketersediaan informasi tentang masa lalu.

2. Informasi tersebut dapat dikuantitatifkan dalam bentuk data numerik. 3. Dapat diasumsikan bahwa beberapa aspek pola masa lalu akan terus

berlanjut di masa mendatang.

Menurut Supranto (2008), ada empat komponen pola gerakan atau variasi data deret waktu adalah sebagai berikut:

1. Gerakan trend jangka panjang (long term movement or secular trend), yaitu suatu gerakan yang menunjukkan arah perkembangan secara umum (kecenderungan menaik/menurun). Perlu diketahui bahwa garis trend sangat berguna untuk membuat peramalan yang sangat diperlukan bagi perencanaan.

2. Gerakan siklus (cyclical movements), adalah gerakan jangka panjang di sekitar garis trend (berlaku untuk data tahunan). Gerakan siklus ini bisa terulang setelah jangka waktu tertentu (setiap 3 tahun, 5 tahun atau lebih) dan bisa juga terulang dalam waktu yang sama.

3. Gerakan musiman (seasonal movements), adalah gerakan yang mempunyai pola tetap dari waktu ke waktu. Walaupun pada umumnya gerakan musiman terjadi pada data bulanan yang dikumpulkan dari tahun ke tahun, gerakan musiman juga berlaku bagi data harian, mingguan atau satuan waktu yang lebih kecil lagi.


(40)

4. Gerakan yang tidak teratur atau acak (irregular or random movements), adalah gerakan yang hanya terjadi sekali-kali dan tidak mengikuti aturan tertentu dan karenanya tidak dapat diramalkan terlebih dahulu.

Trend Turun

Gambat 1. Garis Trend Deret Waktu Y=f(X)

Trend Naik X

Waktu

X Waktu

Y=f(X)

Y=f(X Y=f(X)

(a) Trend Jangka Panjang

X X

(b) Trend Jangka Panjang dan Gerakan Siklis


(41)

Gambar 2. Komponen-komponen Data Deret Waktu

Trend melukiskan gerak data berkala selama jangka waktu yang panjang atau cukup lama. Gerak ini mencerminkan sifat kontinuitas atau keadaan yang serba terus dari waktu ke waktu selama jangka waktu tersebut. Karena sifat kontinuitas ini, maka trend dianggap sebagai gerak stabil dan menunjukkan arah perkembangan secara umum (kecenderungan menaik/menurun). Trend sangat berguna untuk membuat peramalanan (forecasting) yang merupakan perkiraan untuk masa depan yang diperlukan bagi perencanaan. Trend dibedakan menjadi dua jenis, yakni Trend Linier dan Trend Non Linier (Syukri, 2012).

Trend linier adalah merupakan model persamaan garis lurus yang terbentuk berdasarkan titik-titik diagram pencar dari data selama kurun waktu tertentu. Pada model trend ini garis vertikal (tegak) dinyatakan sebagai jumlah perkembangan data yang akan dianalisis (y), dan untuk

X X

(c) Trend Jangka Panjang, Gerakan Siklis dan Musiman

(d) Trend Jangka Panjang, Gerakan Siklis, Musiman dan Random (acak)

Y=f(X


(42)

garis horizontal (mendatar) dinyatakan sebagai waktu (x) (Supangat, 2007).

Analis trend linier dapat dilakukan dengan Metode Least Square (Metode Kuadrat Terkecil). Trend dengan metode kuadrat terkecil diperoleh dengan menentukan garis trend yang mempunyai jumlah terkecil dari kuadrat selisih data asli dengan data pada garis trend. Dalam hal menentukan nilai a dan b dengan menggunakan metode kuadrat terkecil pada prinsipnya adalah membentuk persamaan normal Hesse, kemudian perhatikan data yang tersedia, apakah jumlah data yang ada ganjil atau genap, karena hal ini akan berpengaruh pada model penyelesaian (Supangat, 2007).

Perhatian berikutnya adalah kapan waktu dasar ditetapkan, keberadaan waktu dasar sangat berperan dalam menentukan nilai-nilai a dan b model trend linier tersebut. Jika datanya ganjil atau genap, dan waktu dasar yang ditetapkan berada pada posisi tertentu (tidak berada di tengah-tengah data selama kurun waktu yang ditentukan), maka penyelesaiannya dikatakan sebagai model penyelesaian dengan cara panjang (∑ � ≠0), namun demikian jika waktu dasar ditetapkan berada pada posisi di tengah-tengah data selama kurun waktu yang ditentukan, maka model penyelesaian dikatakan sebagai model penyelesaian cara pendek (∑ � = 0), dengan demikian cara untuk mendapatkan nilai-nilai a dan b (Supangat, 2007).


(43)

2.3 Kerangka Pemikiran

Pangan merupakan kebutuhan dasar bagi setiap individu untuk mempertahankan hidup dan kehidupannya. Ketersediaan akan pangan tersebut sangat tergantung oleh jumlah produksi dan jumlah konsumsi. Pada masa sekarang ini kita tidak bisa lagi terus mengandalkan beras sebagai konsumsi utama pangan karena ketersediaan pangan beras yang semakin menurun, ditambah lagi jumlah penduduk yang semakin meningkat.

Salah satu upaya alternatif yang ditempuh agar ketergantungan beras bisa dikurangi serta pencapaian pola pangan yang memenuhi persyaratan nutrisi adalah dikembangkannya diversifikasi pangan. Penanaman dan pemanfaatan sumber pangan lokal terutama pangan non-beras selayaknya menjadi bagian integral dari upaya memperkokoh ketahanan pangan melalui kemandirian pangan. Salah satu pangan lokal yang dapat digunakan untuk menjalankan program diversifikasi pangan tersebut adalah umbi-umbian.

Program diversifikasi pangan di Sumatera Utara dengan mengkonsumsi umbi-umbian disebut Manggadong. Umbian yang dimaksud dalam kajian ini adalah ubi kayu dan ubi jalar. Ubi kayu dan ubi jalar merupakan bahan pangan alternatif dan makanan pendamping nasi menuju ketahanan pangan. Mengkonsumsi umbi-umbian tidak hanya bertujuan sebagai


(44)

makanan pendamping nasi tetapi juga diharapkan dapat dijadikan sebagai menu makanan sehari-hari sehingga dapat terciptanya menu makanan yang beragam dan berimbang yang tidak hanya mengkonsumsi beras sebagai pangan pokok tunggal.

Ubi kayu dan Ubi jalar merupakan bahan pangan bersumber karbohidrat tinggi setelah beras dan jagung. Ubi kayu dapat dikonsumsi langsung ataupun diolah terlebih dahulu. Dari olahan ubi kayu dapat dibuat beberapa aneka makanan yang enak dan baik untuk dikonsumsi. Sekarang ini ubi kayu dapat dijadikan sebagai bahan baku pembuat tepung termodifikasi atau yang lebih dikenal dengan sebutan Tepung Mocaf sebagai pengganti tepung terigu sehingga dari ubi kayu dapat dibuat berbagai macam makanan seperti roti, kue dan lainnya.

Ubi jalar sangat membantu dalam diversifikasi pangan. Ubi jalar dapat dikonsumsi langsung dan rasanya yang lebih enak dan gurih. Olahan makanan dari ubi jalar tidak kalah banyak dengan olahan ubi kayu. Banyak aneka makanan yang dibuat dengan bahan baku ubi jalar yaitu keripik, kue, bolu dan makanan lainnya. Sehingga ubi kayu dan ubi jalar banyak digunakan sebagai bahan baku industri makanan.

Langkah awal yang dilakukan dalam penelitian ini adalah mengidentifikasi pola data produksi dan konsumsi ubi kayu dan ubi jalar. Data yang diidentifikasi untuk produksi dan konsumsi yaitu data lima


(45)

belas tahun yaitu dari tahun 1996-2010. Dari data yang diperoleh pola data yang digunakan adalah gerak trend (kecenderungan). Kemudian penentuan metode peralamalan yang digunakan yaitu metode gerak trend yang linier. Setelah metode sudah ditentukan, kemudian dilakukan peramalan untuk produksi dan konsumsi ubi kayu dan ubi jalar untuk tahun 2015-2025.

Setelah hasil ramalan diperoleh maka dapat dilihat bagaimana pencapaian produksi dan konsumsi ubi kayu dan ubi jalar. Hasil ramalan tersebut dapat digunakan oleh pemerintah untuk membuat suatu kebijakan dalam pengadaan ubi kayu dan ubi jalar sebagi bahan pangan alternatif untuk meningkatkan diversifikasi pangan berbasis umbi-umbian dalam mendukung ketahanan pangan di Sumatera Utara.


(46)

Gambar 3. Skema Kerangka Pemikiran Keterangan :

: Menyatakan Hubungan : Menyatakan Pengaruh Ubi Kayu

Peramalan Produksi Ubi kayu dan Ubi Jalar

2015-2025 Produksi Ubi Kayu dan Ubi Jalar

(1996-2010)

Ubi Jalar

Konsumsi Ubi Kayu dan Ubi

Jalar (1996-2010)

Peramalan Konsumsi Ubi Kayu dan Ubi Jalar 2015-2025

Hasil Peramalan Produksi dan Konsumsi Ubi Kayu

dan Ubi jalar Pangan

Alternatif kebijakan Pangan untuk meningkatkan diversifikasi pangan berbasis


(47)

2.4 Hipotesis Penelitian

Berdasarkan identifikasi masalah dan landasan teori yang dibuat, maka hipotesis dari penelitian ini adalah

1. Produksi dan konsumsi ubi kayu Sumatera Utara (2015-2025) akan mengalami trend yang menaik.

2. Produksi dan konsumsi ubi jalar Sumatera Utara (2015-2025) akan mengalami trend yang menaik.


(48)

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN 3.1Metode Penentuan Daerah Penelitian

Daerah penelitian ditentukan secara teritorial atau wilayah yaitu di wilayah Provinsi Sumatera Utara yang terdiri dari 33 Kabupatan/Kota dan ditentukan secara purposive (sengaja) dengan mempertimbangkan bahwa wilayah tersebut sebagai sentra produksi pangan yang diteliti serta memiliki populasi penduduk yang cukup besar yaitu pada tahun 2010 jumlah penduduk Sumatera Utara sebesar 12.985.075 juta jiwa.

3.2Metode Pengumpulan Data

Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini adalah berupa data sekunder. Data sekunder yang diperlukan dalam penelitian ini adalah produksi dan produktivitas pangan ubi kayu dan ubi jalar; konsumsi pangan ubi kayu dan ubi jalar dan jumlah penduduk. Data sekunder diperoleh dari instansi-instansi terkait yaitu Badan Ketahanan Pangan Sumatera Utara dan Badan Pusat Statistik Sumatera Utara. Data sekunder adalah data yang diperoleh atau dikumpulkan oleh orang yang melakukan penelitian dari sumber-sumber yang telah ada. Data ini, biasanya diperoleh dari perpustakaan atau dari laporan-laporan peneliti terlebih dahulu. Data sekunder disebut juga data tersedia (Hasan, 2002).


(49)

3.3Metode Analisis Data

Untuk menjawab identifikasi masalah pada point 1,2 dan 4, digunakan analisis deskriptif yakni berupa penyajian data time series dengan grafik/gambar dan penjelasan terhadap data yang diperoleh sesuai dengan kondisi yang sebenarnya. Untuk menganalisis permasalahan pada point 1 dan 2 digunakan data lima belas tahun terakhir yaitu dari tahun 1996 sampai dengan tahun 2010.

Penelitian deskriptif adalah suatu metode dalam meneliti status kelompok manusia, suatu objek, suatu set kondisi, suatu sistem pemikiran, ataupun suatu kelas peristiwa pada masa sekarang. Tujuan penelitian deskriptif adalah untuk membuat deskripsi, gambaran atau lukisan secara sistematis, faktual dan akurat mengenai fakta-fakta, sifat-sifat serta hubungan antar fenomena yang diselidiki (Nazir, 2005).

Untuk menjawab hipotesis yang merupakan identifikasi masalah pada point 3 akan digunakan analisis Time Series, yakni Trend (Gerak Jangka Panjang) dengan menggunakan cara Least Squares yang menggunakan persamaan garis trend yang linier. Penggunaan metode ini didasarkan karena data yang digunakan bersifat linier. Analisis Trend merupakan suatu metode analisis yang ditujukan untuk melakukan suatu estimasi atau peramalan pada masa yang akan datang. Metode ini dipilih dikarenakan bahwa dalam melakukan peramalan yang baik tentu adalah sebuah angka


(50)

yang mampu untuk memperkirakan data setepat mungkin, atau perkiraan yang mempunyai kesalahan sekecil mungkin. Kesalahan minimal tersebut bisa diantisipasi dengan menggunakan cara Least Squares (kuadrat minimum), yakni upaya untuk meminimumkan hasil kuadrat antara data asli dengan data prediksi agar diperoleh ramalan yang lebih akurat. Menurut Pasaribu (1981) persamaan nilai trend linier dapat di rumuskan sebagai berikut :

y = a + bx

Dimana, nilai-nilai a dan b dapat dihitung dengan menggunakan rumus-rumus berikut:

a = y – b x Dimana :

y’ = Produksi Ubi Kayu dan Ubi Jalar, Konsumsi Ubi Kayu dan Ubi Jalar

a = Koefisien Intercep b = Koefisien Regresi dari x

x = Tahun (dinotasikan dengan angka) n = Jumlah data time series

b = � ∑ �� −(∑ �) (∑ �)


(51)

Dimana : Model penyelesaian yang digunakan adalah Model penyelesaian dengan cara pendek, yaitu : ∑ � = 0 (x = -7,-6, -5, -4, -3, -2, -1, 0, 1, 2, 3, 4, 5, 6, 7 sehingga ∑ � =0)

Maka rumus untuk mencari a dan b dapat dirubah menjadi :

dan

Setelah persamaan garis trend linier tersusun. Kemudian dapat diramalkan garis trend linier untuk masa mendatang, maka nilai a dan b yang diramalkan itu :

Dimana :

y* = produksi ubi kayu dan ubi jalar, konsumsi ubi kayu dan ubi jalar untuk tahun yang diramalkan

a = Koefisien Intercep b = Koefisien regresi dari x

x* = Tahun yang diramalkan (dinotasikan dengan angka) 3.4Defenisi dan Batasan Operasional

Untuk memperjelas dan menghindari kesalah pahaman dalam penelitian ini, maka dibuat Defenisi dan Batasan Operasional :

b = ∑ ��

∑ �² a = y


(52)

Defenisi :

1. Pangan adalah segala sesuatu yang berasal dari sumber hayati dan air baik yang diolah maupun tidak, yang diperuntukan sebagai makanan atau minuman bagi konsumsi manusia; termasuk didalamnya bahan tambahan pangan, bahan baku pangan dan bahan lain yang digunakan dalam proses penyiapan, pengolahan dan atau pembuatan makanan atau minuman.

2. Konsumsi Pangan adalah sejumlah makanan dan minuman yang dimakan atau diminum penduduk atau seseorang dalam rangka memenuhi kebutuhan hayati.

3. Produksi Pangan adalah kapasitas/kuantitas pangan yang dapat disediakan pada suatu wilayah.

4. Pangan Pokok adalah pangan sumber karbohidrat yang sering dikonsumsi secara teratur sebagai makan utama, selingan, sebagai sarapan atau sebagai makan pembuka atau penutup.

5. Pangan Lokal adalah pangan yang diproduksi setempat (satu wilayah atau daerah) untuk tujuan ekonomi dan atau konsumsi. Pangan lokal tersebut berupa bahan pangan baik komoditas primer maupun sekunder.

6. Ketersediaan Pangan adalah kondisi penyediaan pangan bagi penduduk suatu wilayah dalam kurun waktu tertentu.


(53)

7. Diversifikasi pangan adalah usaha untuk menyediakan berbagai ragam produk pangan baik dalam jenis maupun bentuk, sehingga tersedia banyak pilihan bagi konsumen untuk menu makanan harian. 8. Kebijakan pangan berbasis umbi-umbian adalah kebijakan yang

diambil pemerintah untuk dapat meningkatkan ketahanan pangan dengan mengkonsumsi umbi-umbian sebagai makanan pendamping. 9. Peramalan adalah suatu kegiatan yang memperkirakan apa yang akan

terjadi pada masa mendatang dengan menggunakan data masa lalu dari sebuah variable atau kumpulan variabel dan dapat dijadikan sebagai perencanaan untuk jangka waktu panjang.

Batasan Operasional :

1. Penelitian merupakan pengamatan, analisis serta peramalan terhadap data time series produksi dan konsumsi ubi kayu serta ubi jalar di Sumatera Utara.

2. Waktu penelitian dilakukan pada Tahun 2013.


(54)

BAB IV

DESKRIPSI DAERAH PENELITIAN 4.1Letak dan Keadaan Geografis Sumatera Utara

Provinsi Sumatera Utara berada di bagian Barat Indonesia, terletak pada garis 1°-4° Lintang Utara dan 98°-100° Bujur Timur. Adapun batasan wilayah Sumatera Utara adalah sebagai berikut :

- Sebelah Utara berbatasan dengan Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.

- Sebelah Timur berbatasan dengan Negara Malaysia di Selat Malaka.

- Sebelah Selatan berbasan dengan Provinsi Riau dan Sumatera Barat.

- Sebelah Barat berbatasan dengan Samudra Hindia.

Luas daratan Provinsi Sumatera Utara adalah 71.680,68 Km2, sebagian besar berasa di Daratan Pulau Sumatera dan sebagian kecil berada di Pulau Nias. Berdasarkan luas daerah menurut Kabupaten/Kota di Sumatera Utara, luas daerah terbesar adalah Kabupaten Mandailing Natal dengan luas 6.620,70 Km2 atau 9,24 % diikuti Kabupaten Langkat dengan luas 6.263,29 atau 8,74 % kemudian diikuti Kabupaten Simalungun dengan luas 4.368,60 atau 6,09 %. Sedangkan luas daerah terkecil adalah


(55)

Kota Sibolga dengan luas 10,77 Km2 atau sekitar 0,02 % dari total luas wilayah Sumatera Utara.

4.2Gambaran Umum Tanaman Pangan Sumatera Utara

Di daerah Sumatera Utara, terdapat beragam jenis tanaman bahan pangan yang dibudidayakan. Diantaranya yaitu tanaman pangan ubi kayu dan ubi jalar. Ubi kayu dan ubi jalar banyak dibudidayakan di daerah Kabupaten Simalungun, Kabupaten Serdang Bedagai, Kabupaten Deli Serdang, Kabupaten Nias Selatan, Kabupaten Tapanuli Utara, Kabupatan Dairi dan Kabupaten Karo.

Produksi ubi kayu tertinggi pada tahun 2010 yaitu terdapat di daerah Kabupaten Simalungun sebesar 353.950 Ton, kemudian Kabupaten Serdang Bedagai sebesar 149.144 Ton, Kabupaten Deli Serdang sebesar 79.551 Ton, Kabupaten Nias Selatan sebesar 51.866 Ton dan Kabupaten Tapanuli Utara sebesar 38.426 Ton. Kabupaten Simalungun merupakan sentra produksi ubi kayu di Sumatera Utara yang dapat dilihat pada tahun 2010 dimana produksi ubi kayu sebesar 39,08 % dari total produksi Sumatera Utara.

Sedangkan produksi ubi jalar pada tahun 2010 di Kabupaten Simalungun 50.736 Ton, kemudian di Kabupaten Nias Selatan sebesar 29.029 Ton, Kabupaten Dairi sebesar 22.266 Ton, Kabupaten Tapanuli Utara sebesar 14.405 Ton dan Kabupaten Karo sebesar 12.809 Ton. Dapat dilihat bahwa


(56)

Kabupatan Simalungun bukan hanya sebagai sentra produksi ubi kayu namun juga merupakan daerah yang menghasilkan produksi ubi jalar tertinggi yaitu 28,28 % dari total produksi ubi jalar.

4.3Keadaan Penduduk Sumatera Utara

Menurut data dari Badan Pusat Statistik Sumatera Utara jumlah penduduk Sumatera Utara pada tahun 2000 sebesar 11.513.973 jiwa. Laju pertumbuhan penduduk Sumatera Utara tahun 1990-2000 adalah 1,32 % per tahun, kemudian pada tahun selanjutnya yaitu 2000-2005 menjadi 1,35 % per tahun. Namun pada tahun 2005-2010 laju pertumbuhan penduduk Sumatera Utara turun menjadi 1,2 % per tahun.

Kepadatan penduduk adalah perbandingan jumlah penduduk terhadap luas lahan atau luas daerah. Kepadatan penduduk dinyatakan dengan satuan Jiwa/Km. Sebagai catatan 1 Km2=100 Ha.

Jumlah penduduk Sumatera Utara tahun 2010 sebanyak 12.985.075 jiwa, jika dibandingkan dengan lahan seluas 71.680,92 Km2 dapat digambarkan kepadatan penduduk Provinsi Sumatera Utara adalah sebanyak 181 jiwa/Km2. Angka ini menggambarkan bahwa setiap 1 Km2 terdapat 181 jiwa. Secara rinci, jumlah penduduk dengan kepadatannya masing-masing wilayah di Sumatera Utara beserta luas dari setiap wilayah tersebut dapat dilihat pada tabel berikut ini.


(57)

Tabel 7. Luas Wilayah, Jumlah Penduduk dan Kepadatan Penduduk Menurut Kabupaten/Kota Tahun 2010

No. Kabupaten/Kota Luas Wilayah

(Km2) Penduduk(Jiwa) Kepadatan Penduduk (Km2/Jiwa)

1. Nias 980,32 132.329 135

2. Mandailing Natal 6.620,70 403.894 61

3. Tapanuli Selatan 4.352,86 264.108 61

4. Tapanuli Tengah 2.158,00 310.962 144

5. Tapanuli Utara 3.764,65 278.897 74

6. Toba Samosir 2.352,35 172.933 74

7. Labuhan Batu 2.561,61 414.417 162

8. Asahan 3.675,79 667.563 182

9. Simalungun 4.368,60 818.104 187

10. Dairi 1.927,80 269.848 140

11. Karo 2.127,25 350.479 165

12. Deli Serdang 2.486,14 1.789.243 720

13. Langkat 6.263,29 966.133 154

14. Nias Selatan 1.625,91 289.876 178

15. Humbang Hasundutan 2.297,20 171.687 75

16. Pakpak Barat 1.218,30 40.481 33

17. Samosir 2.433,50 119.650 49

18 Serdang Bedagai 1.913,33 592.922 310

19. Batu Bara 904,96 374.535 414

20. Padang Lawas Utara 3.918,05 223.049 57

21. Padang Lawas 3.892,74 223.480 57

22. Labuhan Batu Selatan 3.116,00 277.549 89

23. Labuhan Batu Utara 3.545.80 331.660 94

24. Nias Utara 1.501,63 127.530 85

25. Nias Barat 544,09 81.461 150

KOTA

26. Sibolga 10,77 89.444 7.841

27. Tanjung Balai 61,52 154.426 2.510

28. Pematang Siantar 79,97 234.885 2.937

29. Tebing Tinggi 38,44 145.180 3.777

30. Medan 265,10 2.109.339 7.957

31. Binjai 90,24 246.010 2.726

32. Padang Sidempuan 114,65 191.554 1.671

33. Gunung Sitoli 469,36 125.566 268

TOTAL 71.680,92 12.985.075 181


(58)

BAB V

HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1 Produksi serta Produktivitas Ubi Kayu dan Ubi Jalar di Sumatera Utara

Berdasarkan data yang telah dikumpulkan, maka dapat dilihat besarnya produksi serta produktivitas ubi kayu dan ubi jalar untuk wilayah Sumatera Utara (1996-2010) pada tabel-tabel dan grafik-grafik dibawah ini. Untuk produksi ubi kayu di Sumatera Utara (1996-2010) dapat dilihat pada tabel berikut ini.

Tabel 8. Produksi Ubi Kayu di Sumatera Utara (1996-2010)

Tahun Produksi Ubi Kayu (Ton)

1996 421.460

1997 449.026

1998 488.149

1999 490.601

2000 480.128

2001 507.519

2002 441.819

2003 411.990

2004 464.960

2005 509.796

2006 452.450

2007 438.573

2008 736.771

2009 1.007.284

2010 905.571

Total 7.198,81

Rataan 479,92

Sumber : Lampiran 2

Dari Tabel 8 diatas, terlihat bahwa jumlah produksi ubi kayu Sumatera Utara terbesar di sepanjang tahun 1996-2010 terjadi pada tahun 2009


(59)

sebesar 1.007.284 Ton dengan jumlah produksi terendah di tahun 2003 sebesar 411.990 Ton. Total produksi ubi kayu di sepanjang tahun 1996-2010 adalah sebesar 7.198,81 Ton dengan rata-rata produksi sebesar 479,92 Ton per tahun.

Kondisi produksi ubi kayu Sumatera Utara diatas untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Gambar 5 berikut ini.

Gambar 5. Produksi Ubi Kayu di Sumatera Utara (1996-2010) Pada Gambar 5, dapat dilihat bahwa perkembangan produksi ubi kayu Sumatera Utara (1996-2010) mengalami keadaan yang fluktuatif, dimana pada tahun 2003 terjadi penurunan produksi ubi kayu dan kemudian terjadi lagi penurunan di tahun 2007 yang sebelumnya sempat mengalami kenaikan pada tahun 2005 yaitu sebesar 509.796 Ton. Kemudian produksi ubi kayu mengalami kenaikan dengan puncak produksi yakni pada tahun 2009. Meskipun kenaikan produksi ubi kayu dapat meningkat dengan

0 200000 400000 600000 800000 1000000 1200000

1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010

Produksi Ubi Kayu (Ton)


(60)

kenaikan yang sangat besar, namun pada tahun berikutnya produksi kembali menurun. Sedangkan kondisi produktivitas ubi kayu di Sumatera Utara tahun 1996-2010 dapat dilihat pada tabel berikut ini.

Tabel 9. Produktivitas Ubi Kayu di Sumatera Utara (1996-2010) Tahun Produktivitas Ubi Kayu (Kw/Ha)

1996 120

1997 120

1998 119

1999 119

2000 119

2001 123

2002 122

2003 123

2004 125

2005 125

2006 126

2007 125,98

2008 194,19

2009 260,88

2010 279,48

Sumber : Lampiran 2

Dari Tabel 9 dapat dilihat bahwa produktivitas ubi kayu tertinggi di Sumatera Utara di sepanjang tahun 1996-2010 terjadi pada tahun 2010 yakni sebesar 279,51 Kw/Ha. Dari data tersebut dapat dilihat bahwa dari tahun 2008-2010 terjadi kenaikan produktivitas. Kenaikan ini tentunya disebabkan oleh campur tangan pemerintah yang melakukan intensifikasi tanaman dengan luas lahan yang berkurang namun produktivitas dapat ditingkatkan. Sedangkan produktivitas terendah terjadi pada tahun 1998 sampai tahun 2000 yakni sebesar 119 Kw/Ha.


(61)

Gambar 6. Produktivitas Ubi Kayu di Sumatera Utara (1996-2010) Dari Gambar 6, tampak bahwa produktivitas ubi kayu sepanjang tahun 1996-2010 mengalami kondisi yang fluktuatif. Dimana, pertumbuhan produksi ubi kayu yang terjadi dapat dikatakan meningkat, yakni dapat dilihat dengan pergeseran angka produktivitas yang meningkat per tahunnya. Berdasarkan kondisi produksi ubi kayu dapat dilihat bahwa disepanjang tahun 1996-2010 produksi ubi kayu di Sumatera Utara tetap mengalami peningkatan, hanya saja pada tahun 1996-2007 angka produktivitas cenderung stabil dengan produksi yang rendah apabila dibandingkan dengan tahun berikutnya. Dimana pada tahun 2008-2010 produksi meningkat sejalan dengan meningkatnya produktivitas ubi kayu. Produksi ubi kayu pada tahun 2003 paling rendah dikarenakan luas panen pada tahun tersebut berkurang dari tahun-tahun sebelumnya dimana luas panen ubi kayu pada tahun 2003 sebesar 33.452 Ha (Lampiran 2). Namun jika dilihat pada tahun 2010 dimana luas panen ubi kayu lebih rendah

0 50 100 150 200 250 300

1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010

Produktivitas Ubi Kayu (kw/Ha)


(62)

dibanding tahun 2003 yaitu sebesar 32.402 Ha (Lampiran 2) mampu menghasilkan produksi yang jauh lebih besar.

Produksi ubi kayu dari tahun 1996-2001 mengalami peningkatan sebesar 86.059 Ton atau 20,42%. Peningkatan tersebut berbanding lurus dengan luas panen, dimana luas panen dari tahun 1996-2001 mengalami peningkatan sebesar 5.987 Ha atau 16,98%. Produktivitasnya juga mengalami peningkatan sebesar 3 Kw/Ha atau 2,5%.

Selanjutnya produksi di tahun 2002-2005 mengalami penurunan dimana pada tahun 2003 terjadi penurunan sebesar 95.529 Ton atau 18,82% dari tahun 2001 dan merupakan produksi terendah disepanjang tahun 1996-2010. Penurunan produksi disebabkan luas panen yang berkurang sebesar 7.781 Ha atau 18,87% dari tahun 2001. Namun produksi kembali meningkat di tahun 2005 sebesar 2.277 Ton atau 0,45% dari tahun 2001. Adapun volume ekspor ubi kayu di tahun 2002, 2003 dan 2004 masing-masing sebesar 7.313,856 Ton, 6.508,744 Ton dan 11.409,803 Ton. Pada tahun 2004 terjadi kenaikan ekspor ubi kayu dimana pada tahun tersebut produksi ubi kayu meningkat yang diikuti peningkatan luas panen.

Produksi dari tahun 2006-2010 mengalami peningkatan. Namun peningkatan produksi baru terjadi di tahun 2008, karena sebelumnya yaitu tahun 2006 dan 2007 produksi menurun, dimana masing-masing 57.346 Ton dan 71.223 Ton atau 11,25% dan 13,97% dari tahun 2005. Penurunan


(63)

produktivitas dikarenakan luas panen pada tahun tersebut berkurang sebesar 4.721 Ha dan 5.905 Ha atau sebesar 11,59% dan 14,50% dari tahun 2005.

Untuk produksi tahun 2008 dan 2009 produksi meningkat sangat besar yaitu 226.975 Ton dan 497.488 Ton atau sebesar 44,49% dan 97,59% dari tahun 2005. Namun dapat dilihat bahwa jika dibandingkan dengan tahun 2001 dan 2005 dimana masing-masing luas panennya sebesar 41.233 Ha dan 40.717 Ha sedangkan di tahun 2008 dan 2009 luas panen ubi kayu hanya 37.941 Ha dan 38.611 Ha, mampu menghasilkan produksi yang jauh lebih besar dengan produktivitas 194,19 Kw/Ha dan 260.88 Kw/Ha. Sedangkan untuk produksi ditahun 2010 yang berkurang sebesar 101.713 Ton dari tahun 2009 dikarenakan luas panen yang berkurang sangat besar dan merupakan luas panen terendah disepanjang tahun 1996-2010. Jika dibandingkan tahun 2009, luas panen tahun 2010 berkurang sebesar 6.209 Ha atau 16,08%. Namun produktivitas di tahun 2010 lebih besar jika dibanding 2009 yaitu sebesar 279,48%.

Dari analisis data-data tersebut dapat dilihat bahwa pada tahun 1996 produksi dan produktivitas ubi kayu masing-masing 421.460 Ton dan 120 Kw/Ha dan untuk tahun 2010 masing-masing sebesar 905.571 Ton dan 279,48 Kw/Ha. Ini menunjukkan adanya pertumbuhan atau peningkatan


(64)

produksi dan produktivitas ubi kayu disepanjang tahun 1996-2010 sebesar 8,75% dan7,18 Kw/Ha.

Ubi kayu merupakan bahan pangan potensial bagi masa depan dalam tatanan pengembangan agribisnis dan agroindustri. Sejak awal PELITA I sampai sekarang, makanan pokok nomor tiga penghasil karbohidrat di Indonesia ini setelah padi dan jagung, mempunyai peranan yang cukup besar dalam mencukupi bahan pangan nasional dan dibutuhkan sebagai bahan pakan ternak serta bahan baku industri makanan.

Produksi dan produktivitas ubi kayu yang rendah dikarenakan varietas unggul belum banyak digunakan petani dan teknik budidaya yang masih tradisional. Namun langkah yang dapat ditempuh untuk dapat mengatasi hal tersebut adalah dengan menumbuhkan pola agribisnis di daerah-daerah sentra produksi. Disamping itu, untuk memacu penganekaragaman produksi dan stabilitas harga (pasar) perlu ditumbuh kembangkan industri-industri pengolahan hasil yang berwawasan agroindustri-industri berbahan baku ubi kayu.

Berdasarkan informasi yang diperoleh dari Dinas Perindustrian dan Perdagangan tentang komoditi hasil olahan ubi kayu andalan Kabupaten Serdang Bedagai yang telah mampu menopang dan memberikan kontribusi produk dari industri pengolahan skala kecil dan menengah terhadap perekonomian di kabupaten tersebut. Tepung tapioka merupakan


(65)

hasil olahan dari ubi kayu yang paling banyak diusahakan di Kabupaten Serdang Bedagai baik dalam segi unit usaha, jumlah tenaga kerja, nilai investasi, kapasitas produksi, maupun dari segi nilai produksi. Hal ini dikarenakan tepung tapioka merupakan salah satu bahan baku yang paling banyak digunakakan di Indonesia.

Peluang pasar untuk tepung tapioka cukup potensial baik pasar dalam negeri maupun luar negeri. Permintaan dalam negeri terutama berasal dari wilayah Pulau Jawa seperti Bogor, Tasikmalaya, Indramayu. Sementara permintaan pasar luar negeri berasal dari beberapa negara ASEAN dan Eropa.

Sedangkan untuk kondisi produksi ubi jalar di Sumatera Utara tahun 1996-2010 dapat dilihat pada tabel berikut ini.

Tabel 10. Produksi Ubi Jalar di Sumatera Utara (1996-2010)

Tahun Produksi Ubi Jalar (Ton)

1996 118.348

1997 111.156

1998 106.618

1999 134.642

2000 126.961

2001 118.183

2002 118.170

2003 135.661

2004 117.295

2005 115.728

2006 102.712

2007 117.641

2008 114.186

2009 140.138


(66)

Total 1.856.83

Rataan 123.79

Sumber : Lampiran 3

Dari Tabel 10 terlihat bahwa di sepanjang tahun 1996-2010, jumlah produksi ubi jalar terbesar di Sumatera Utara terjadi pada tahun 2010 sebesar 179.338 Ton. Sedangkan produksi ubi jalar terkecil terjadi pada tahun 2006 sebesar 102.712 Ton. Dimana Total Produksi Ubi Jalar Sumatera Utara tahun 1996-2010 adalah sebesar 1.856.83 Ton dengan Rataan Total Produksi Ubi Jalar yakni 123,79 Ton per tahunnya. Kemudian dapat dilihat pula grafik kondisi produksi ubi jalar di Sumatera Utara tahun 1996-2010 dari gambar berikut.

Gambar 7. Produksi Ubi Jalar di Sumatera Utara (1996-2010) Pada Gambar 7, tampak bahwa produksi ubi jalar di Sumatera Utara tahun 1996-2010 juga mengalami kondisi yang fluktuatif. Dimana pada tahun

0 20000 40000 60000 80000 100000 120000 140000 160000 180000 200000

1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010

Produksi Ubi Jalar (Ton)


(67)

1998 produksi ubi jalar menurun jika dibandingkan dari tahun sebelumnya. Namun pada tahun 1999 produksi ubi jalar meningkat tetapi peningkatan tersebut tidak berlangsung lama karena pada tahun berikutnya produksi kembali menurun hingga tahun 2002. Produksi kembali meningkat pada tahun 2003 namun kondisi ini juga tidak berlangsung lama karena produksi kembali menurun hingga produksi terendah dicapai pada tahun 2006 sedangkan puncak produksi diperoleh pada tahun 2010. Besarnya produktivitas ubi jalar di Sumatera Utara tahun 1996-2010 dapat dilihat pada tabel berikut.

Tabel 11. Produktivitas Ubi Jalar di Sumatera Utara (1996-2010)

Tahun Produktivitas Ubi Jalar (Kw/Ha)

1996 88

1997 89

1998 89

1999 94

2000 93

2001 95

2002 95

2003 95

2004 95,93

2005 96,33

2006 96,62

2007 96,99

2008 110,69

2009 113,39

2010 120,61

Sumber : Lampiran 3

Dari Tabel 11 tampak bahwa produktivitas ubi jalar di Sumatera Utara disepanjang tahun 1996-2010 mengalami peningkatan. Produktivitas ubi


(68)

jalar tertinggi terjadi pada tahun 2010 yakni sebesar 120,61 Kw/Ha. Sedangkan produktivitas ubi jalar terendah terjadi pada tahun 1996 yakni sebesar 88 Kw/Ha.

Gambar 8. Produktivitas Ubi Jalar di Sumatera Utara (1996-2010) Dari Gambar 8 tampak bahwa produktivitas ubi jalar sepanjang tahun 1996-2010 terus menunjukkan angka peningkatan. Namun jika dibandingkan dengan produksi yang dicapai maka sangat jauh dari harapan. Produksi ubi jalar pada tahun 1996-1998 mengalami penurunan sebesar 11.730 Ton atau 9,9%. Penurunan ini disebabkan berkurangnya luas panen ubi jalar sebesar 1.423 Ha atau 10,59% (Lampiran 3). Namun di tahun berikutnya yaitu tahun 1999 produksi mengalami peningkatan sebesar 16.924 Ton atau 13,77% dari tahun 1996. Peningkatan ubi jalar ini disebabkan bertambahnya luas panen sebesar 866 Ha atau 6,44% dan juga peningkatan produktivitas sebesar 6,8% dari tahun 1996.

0 50 100 150

1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010

Produktivitas Ubi Jalar (kw/Ha)


(69)

Pada tahun 2000-2002 produksi kembali menurun, dimana pada tahun 2000 produksi turun sebesar 7.681 Ton atau 5,7% dari tahun 1999. Penurunan ini disebabkan berkurangnya luas panen sebesar 673 Ha atau 4,7% dan produktivitas 1 Kw/ha atau 1,06%. Begitu juga untuk tahun 2001 dan 2002, produksi menurun masing-masing 16.459 Ton dan 16.472 Ton atau 12,22% dan 12,23% dari tahun 1999. Penurunan disebabkan luas panen berkurang masing-masing 1.840 Ha dan 1.899 Ha atau 12,86% dan 13,28%, sedangkan produktivitas malah meningkat, dimana masing-masing naik 1 Kw/Ha atau 1% dari tahun 1999. Produksi kembali meningkat sebesar 1.019 Ton atau 0,76% pada tahun 2003 jika dibandingkan dengan produksi pada tahun 1999 dengan luas panen yang hampir sama yaitu hanya selisih 24 Ha atau 0,17%, namun dengan produktivitas yang lebih besar yaitu 1 Kw/Ha dari tahun 1999.

Pada tahun 2004-2008 produksi kembali menurun. Dimana pada tahun 2004 menurun sebesar 18.366 Ton atau 13,53% dari tahun 2003. Pada tahun 2006 produksi juga menurun dengan penurunan yang jauh lebih besar yaitu 32.949 Ton atau 24,29% dari tahun 2003. Penurunan ini disebabkan berkurangnya luas panen pada tahun 2004 dan 2006 masing-masing 2.053 Ha dan 3.650 Ha atau 14,38% dan 25,56% dari tahun 2003. Namun produktivitas pada tahun tersebut malah meningkat, dimana masing-masing naik 1,33 Kw/Ha dan 1,62 Kw/Ha atau 1,4% dan 1,7%.


(70)

Pada tahun 2007 produksi kembali meningkat dengan jumlah produksi yang tidak jauh beda dengan produksi pada tahun 2004, karena hanya meningkat sebesar 346 Ton atau 0,29% sedangkan luas panen malah berkurang sebesar 98 Ha atau 0,8% dan produktivitas naik sebesar 1,06 Kw/Ha atau 1,1%. Sedangkan produksi di tahun 2008 kembali menurun yaitu sebesar 3.455 Ton atau 2,94% dari tahun 2007, dikarenakan luas panen berkurang sebesar 1.813 Ha atau 14,94% sedangkan produktivitas meningkat sebesar 13,7 Kw/Ha atau 14,12% dari tahun 2007. Penurunan luas panen ubi jalar antara lain disebabkan adanya perbaikan irigasi dan persaingan dengan komoditas lain yang mempunyai nilai ekonomi lebih baik. Dengan tersedianya fasilitas pengairan, pada musim kemarau lahan sawah yang biasanya ditanamai ubi jalar berubah ditanami padi.

Sedangkan untuk tahun 2009 dan 2010 produksi meningkat, dimana masing-masing bertambah sebesar 4.477 Ton dan 43.727 Ton atau 3,3% dan 32,23% dari tahun 2003. Luas panen dan produktivitas maing-masing jika dibanding dengan tahun 2003 yaitu untuk tahun 2009 luas panen berkurang 1.921 Ha atau 13,45% dan untuk tahun 2010 meningkat sebesar 594 Ha atau 4,16%. Dan untuk produktivitas tahun 2009 dan 2010 masing-masing meningkat sebesar 18,39 Kw/Ha dan 25,61 Kw/Ha atau 19,36% dan 26,96% dari tahun 2003.


(71)

Dari analisis data tersebut dapat dilihat bahwa produksi dan produktivitas ubi jalar dari tahun 1996-2010 mengalami pertumbuhan dimana masing-masing sebesar 3,87% dan 2,34%. Pada tahun 2004 produktivitas meningkat dengan luas panen yang berkurang sedangkan pada tahun 2010 walaupun luas panen meningkat, namun bersamaan dengan peningkatan produktivitas yang jauh lebih besar jika dibanding pada tahun 1999 dan 2003 dimana luas panen pada tahun tersebut tidak jauh berbeda tetapi produksinya rendah.

Meskipun produktivitas ubi jalar meningkat dari tahun 2004-2010, namun sebenarnya peluang untuk meningkatkan produktivitas ubi jalar di Sumatera Utara masih besar. Produktivitas yang meningkat di tahun 2004-2010 disebabkan petani telah menggunakan bibit unggul dan melakukan pemupukan pada tanaman ubi jalar. Namun belum menyebarnya penggunaan varietas unggul dan belum tepatnya teknologi budidaya seperti pemupukan yang menyebabkan bahwa produktivitas masih dapat ditingkatkan lagi. Varietas unggul yang sudah digunakan oleh petani di Sumatera Utara adalah Varietas Sari yang memiliki daya hasil 30-35 Ton/Ha yang dilepas pada tahun 2001 tetapi belum banyak ditanam oleh petani di Sumatera Utara.


(72)

5.2 Konsumsi Ubi Kayu dan Ubi Jalar di Sumatera Utara

Berdasarkan data yang telah dikumpulkan, maka dapat dilihat besarnya konsumsi ubi kayu dan ubi jalar untuk wilayah Sumatera Utara tahun 1996-2010 pada tabel-tabel beserta grafik dibawah ini. Untuk konsumsi ubi kayu di Sumatera Utara tahun 1996-2010 dapat dilihat pada tabel berikut ini.

Tabel 12. Konsumsi Ubi Kayu di Sumatera Utara (1996-2010)

Tahun Total Konsumsi Ubi Kayu (Ton)

1996 87.736,88

1997 88.955,98

1998 91.211,82

1999 92.773,90

2000 89.348,43

2001 90.966,97

2002 187.183,78

2003 187.868,30

2004 191.549,09

2005 239.137,55

2006 245.283,78

2007 141.178,08

2008 112.424,77

2009 99.192,96

2010 228.616,61

Total 2.173.428,94

Rataan 144.895,26

Sumber : Lampiran 4

Dari Tabel 12 terlihat bahwa jumlah konsumsi ubi kayu di Sumatera Utara terbesar di sepanjang tahun 1996-2010 terjadi pada tahun 2006 sebesar 245.283,784 Ton dengan jumlah konsumsi terendah di tahun 1996 yakni sebesar 87.736,88 Ton. Total konsumsi ubi kayu di sepanjang tahun 1996-2010 adalah sebesar 2.173.428,94 Ton dengan rata-rata konsumsi sebesar


(73)

144.895,26 Ton per tahunnya. Kondisi konsumsi ubi kayu di Sumatera Utara diatas untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada gambar berikut ini.

Gambar 9. Konsumsi Ubi Kayu di Sumatera Utara (1996-2010) Pada Gambar 9 tampak bahwa perkembangan konsumsi ubi kayu penduduk Sumatera Utara tahun 1996-2010 mengalami keadaan yang fluktuatif, dimana terjadi lonjakan pertama di tahun 2002 kemudian mengalami kenaikan lagi pada tahun 2006. Namun ditahun berikutnya konsumsi ubi kayu mengalami penurunan hingga tahun 2010 konsumsi dapat meningkat lagi. Dari tahun 1996 sampai dengan tahun 2001 keadaan konsumsi ubi kayu Sumatera Utara cenderung dalam kondisi yang stabil, sedangkan konsumsi dari tahun 2002 sampai dengan tahun 2010 mengalami kondisi yang naik turun.

Pada tahun 1996-1999 terjadi peningkatan konsumsi walaupun peningkatannya relatif kecil. Dimana kenaikan konsumsi disebabkan karena jumlah penduduk yang juga meningkat yaitu sebesar 7,26%.

0 50000 100000 150000 200000 250000 300000

1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010

Total Konsumsi Ubi Kayu (Ton)


(74)

Sedangkan pada tahun 2000 konsumsi ubi kayu menurun dimana penurunan tersebut dikarenakan jumlah penduduk juga ikut menurun sebesar 3,69% dari tahun 1999. Krisis ekonomi yang terjadi pada tahun 1997-1998 menyebabkan konsumsi terhadap beras berkurang sehingga masyarakat melakukan subsitusi untuk memenuhi kebutuhannya ke bahan pangan lainnya, salah satunya ubi kayu, sehingga dapat kita lihat pada tahun tersebut konsumsi ubi kayu meningkat.

Konsumsi kembali meningkat di tahun 2001-2006, dimana kenaikan konsumsi lebih besar dari 100% yaitu sebesar 164,38% dari tahun 1999. Kenaikan konsumsi juga dibarengi dengan bertambahnya jumlah penduduk sebesar 5,75% dari tahun 1999. Namun di tahun 2007-2009 konsumsi ubi kayu mengalami penurunan. Dimana masing-masing penurunannya sebesar 42,44%, 54,16% dan 59,56% dari tahun 2006. Penurunan konsumsi ini tidak dibarengi dengan penurunan jumlah penduduk. Jumlah penduduk malah bertambah yaitu sebesar 4,74% dari tahun 2006. Konsumsi ubi kayu menurun pada tahun 2007-2009 diakibatkan karena terjadinya surplus produksi beras yang cukup tinggi pada tahun 2007 dan 2008. Kondisi ini menyebabkan permintaan impor beras mengalami penurunan sehingga harga beras berangsur-angsur menjadi turun dan cenderung stabil dengan keadaan itu masyarakat kembali beralih untuk mengkonsumsi beras sebagai bahan pangan pokok.


(75)

Sedangkan pada tahun 2010 konsumsi meningkat, namun tidak sebesar konsumsi di tahun 2005 dan 2006. Kenaikan konsumsi pada tahun 2010 ditandai dengan berkurangnya jumlah penduduk sekitar 1,97% dari tahun 2009.

Untuk konsumsi ubi jalar di Sumatera Utara tahun 1996-2010 dapat dilihat pada tabel berikut.

Tabel 13. Konsumsi Ubi Jalar di Sumatera Utara (1996-2010) Tahun Total Konsumsi Ubi Jalar (Ton)

1996 33.127,46

1997 33.587,76

1998 34.439,51

1999 35.029,32

2000 33.735,94

2001 34.347,07

2002 40.280,05

2003 40.427,36

2004 41.219,42

2005 23.420,69

2006 24.022,64

2007 20.534,99

2008 17.085,43

2009 10.462,27

2010 16.617,22

Total 438.337,15

Rataan 29.222,48

Sumber : Lampiran 5

Dari Tabel 13 terlihat bahwa jumlah konsumsi ubi jalar Sumatera Utara terbesar di sepanjang tahun 1996-2010 terjadi pada tahun 2004 sebesar 41.219,42 Ton dengan jumlah konsumsi terendah di tahun 2010 sebesar 16.617,22 Ton. Total konsumsi ubi jalar di Sumatera Utara di sepanjang tahun 1996-2010 adalah sebesar 438.337,14986 Ton dengan rata-rata


(1)

Coefficientsa

Model

Unstandardized Coefficients

Standardized Coefficients

t Sig.

95% Co

B Std. Error Beta Lower B

1 (Constant) 123788.333 4523.197 27.367 .000 1140

Tahun 1758.893 1046.917 .422 1.680 .117 -5

a. Dependent Variable: Produksi Ubi Jalar b. Dependent Variable: Produksi Ubi Jalar


(2)

Charts


(3)

(4)

Konsumsi Ubi Jalar

Regression

[DataSet0]

Descriptive Statistics

Mean Std. Deviation N

Konsumsi Ubi Jalar 2.9222E4 9739.23307 15

Tahun .00000 4.472136 15

Model Summaryb

Model R R Square

Adjusted R Square

Std. Error of the Estimate

Change S

R Square Change F Change df1

1 .737a .543 .507 6836.16437 .543 15.415

a. Predictors: (Constant), Tahun

Variables Entered/Rem

Model Variables Entered

Var Re

1 Tahuna

a. All requested variables entered. b. Dependent Variable: Konsumsi U

ANOVAb

Model Sum of Squares df Mean Square F Sig.

1 Regression 7.204E8 1 7.204E8 15.415 .002a

Residual 6.075E8 13 4.673E7

Total 1.328E9 14

a. Predictors: (Constant), Tahun


(5)

Coefficientsa

Model

Unstandardized Coefficients

Standardized Coefficients

t Sig.

95% Co

B Std. Error Beta Lower B

1 (Constant) 29222.477 1765.090 16.556 .000 254

Tahun -1604.020 408.539 -.737 -3.926 .002 -248

a. Dependent Variable: Konsumsi Ubi Jalar b. Dependent Variable: Konsumsi Ubi Jalar


(6)

Charts