BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Perilaku - Analisis Faktor yang Memengaruhi Partisipasi Pria dalam Keluarga Berencana di Desa Celawan Kecamatan Pantai Cermin Kabupaten Serdang Bedagai

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Perilaku

  Notoatmodjo (2012) menyatakan bahwa perilaku adalah tindakan atau perbuatan suatu organisme yang dapat diamati bahkan dapat dipelajari. Perilaku ini tidak sama dengan sikap. Sikap adalah suatu kecenderungan untuk mengadakan tindakan terhadap suatu objek, dengan suatu cara yang menyatakan adanya tanda- tanda untuk menyenangi atau tidak menyenangi obyek tersebut. Sikap hanyalah sebagian dari perilaku manusia.

  Perilaku manusia sangatlah kompleks dan mempunyai ruang lingkup yang sangat luas, Bloom dalam Notoatmodjo (2012), membagi perilaku ke dalam tiga domain, yaitu 1) kognitif, 2) afektif, dan 3) psikomotor. Untuk memudahkan pengukuran, maka tiga domain ini diukur dari; pengetahuan, sikap dan tindakan/ praktek.

2.1.1 Pengetahuan

  Pengetahuan adalah hasil „tahu‟, dan ini terjadi setelah orang melakukan penginderaan terhadap suatu objek tertentu. Penginderaan terjadi melalui pancaindra manusia, yakni: indra penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa, dan raba. Sebagian besar pengetahuan manusia diperoleh melalui mata dan telinga (Notoatmodjo, 2012).

  Pengetahuan atau kognitif merupakan domain yang sangat penting untuk terbentuknya tindakan seseorang (over behaviour). Karena dari pengalaman dan

  10 penelitian ternyata perilaku yang didasarkan oleh pengetahuan akan lebih langgeng daripada perilaku yang tidak didasari oleh pengetahuan. Penelitian Rogers (1974) dalam Notoatmodjo (2012), mengungkapkan bahwa sebelum orang mengadopsi perilaku baru, dalam diri orang tersebut terjadi proses yang berurutan, yakni: a.

  Awareness (kesadaran), di mana orang tersebut menyadari dalam arti mengetahui terlebih dahulu terhadap stimulus (objek).

  b.

  Interest (merasa tertarik) terhadap stimulus atau objek tersebut. Di sini sikap subjek sudah mulai timbul.

  c.

  Evaluation (menimbang-nimbang) terhadap baik dan tidaknya stimulus tersebut bagi dirinya. Hal ini berarti sikap responden sudah lebih baik lagi.

  d.

  Trial, di mana subjek mulai mencoba melakukan sesuatu sesuai dengan apa yang dikehendaki oleh stimulus.

  e.

  Adoption, di mana subjek telah berperilaku baru sesuai dengan pengetahuan, kesadaran, dan sikapnya terhadap stimulus.

  Namun demikian, dari penelitian selanjutnya Rogers menyimpulkan bahwa perubahan perilaku tidak selalu melewati tahap-tahap tersebut. Apabila penerimaan perilaku baru atau adopsi perilaku melalui proses seperti ini, di mana didasari oleh pengetahuan, kesadaran dan sikap yang positif maka perilaku tersebut akan bersifat langgeng. Sebaliknya apabila perilaku itu tidak didasari oleh pengetahuan dan kesadaran akan tidak berlangsung lama.

  Pengetahuan yang dicakup dalam domain kognitif mempunyai 6 tingkat, yakni (Notoatmodjo, 2012):

  1. Tahu (Know) Tahu diartikan sebagai mengingat suatu materi yang telah dipelajari sebelumnya.

  Termasuk ke dalam pengetahuan tingkat ini adalah mengingat kembali (recall) terhadap suatu yang spesifik dari seluruh bahan yang dipelajari atau rangsangan yang telah diterima. Oleh sebab itu, „tahu‟ ini merupakan tingkat pengetahuan yang paling rendah. Kata kerja untuk mengukur bahwa orang tahu tentang apa yang dipelajari antara lain : menyebutkan, menguraikan, mendefinisikan, menyatakan, dan sebagainya.

  2. Memahami (Comprehension) Memahami diartikan sebagai suatu kemampuan menjelaskan secara benar tentang objek yang diketahui, dan dapat menginterpretasikan materi tersebut secara benar.

  Orang yang telah paham terhadap objek atau materi harus dapat menjelaskan, menyebutkan contoh, menyimpulkan, meramalkan, dan sebagainya terhadap objek yang dipelajari.

  3. Aplikasi (Application) Aplikasi diartikan sebagai kemampuan untuk menggunakan materi yang telah dipelajari pada situasi atau kondisi riil (sebenarnya). Aplikasi di sini dapat diartikan aplikasi atau penggunaan hukum-hukum, rumus, metode, prinsip, dan sebagainya dalam konteks atau situasi yang lain.

  4. Analisis (Analysis) Analisis adalah suatu kemampuan untuk menjabarkan materi atau suatu objek ke dalam komponen-komponen tetapi masih dalam suatu struktur organisasi tersebut, dan masih ada kaitannya satu sama lain. Kemampuan analisis dapat dilihat dari penggunaan kata-kata kerja: dapat menggambarkan, membedakan, memisahkan, mengelompokkan, dan sebagainya.

  5. Sintesis (Synthesis) Sintesis menunjukkan pada suatu kemampuan untuk meletakkan atau menghubungkan bagian-bagian dalam suatu bentuk keseluruhan yang baru.

  Dengan kata lain sintesis itu suatu kemampuan untuk menyusun formulasi baru dari formulasi-formulasi yang ada.

  6. Evaluasi (Evaluation) Evaluasi ini berkaitan dengan kemampuan untuk melakukan justifikasi atau penilaian terhadap suatu materi atau objek. Penilaian-penilaian itu berdasarkan suatu kriteria yang ditentukan sendiri, atau menggunakan kriteria-kriteria yang telah ada.

2.1.2 Sikap

  Menurut Berkowitz dalam Azwar (2011) pernah mendaftarkan lebih dari tiga puluh definisi tentang sikap, namun secara garis besarnya dapat dibagi menjadi tiga kelompok pemikiran, yaitu: 1). Kelompok pertama yang diwakili oleh Louis Thurstone (1928), Rensis Likert

  (1932), Charles Osgood (1975), mengatakan bahwa “sikap adalah suatu bentuk evaluasi atau reaksi perasaan, baik perasaan mendukung atau memihak (favorable) maupun perasaan tidak mendukung dan tidak memihak (unfavorable) terhadap objek sikap tertentu”.

  2). Kelompok kedua yang diwakili oleh Chave (1928), Bogardus (1931), LaPiere (1934), Mead (1934) dan Girdon Allport (1935), mengatakan bahwa “sikap adalah semacam kesiapan untuk bereaksi terhadap suatu objek dengan cara-cara tertentu, apabila individu dihadapkan pada suatu stimulus yang menghendaki adanya respons”.

  3). Kelompok ketiga adalah yang mengatakan bahwa “sikap merupakan konstalasi komponen- komponen kognitif, afektif dan konatif”. Termasuk dalam kelompok ini Secord dan Backman (1964) mengatakan bahwa sikap adalah sebagai keteraturan tertentu dalam hal perasaan (afeksi), pemikiran (kognisi) dan predisposisi tindakan (konasi) seseorang terhadap suatu aspek di lingkungan sekitarnya.

  Menurut Fishbein dalam Azwar (2011) Sikap terjadi karena adanya rangsangan sebagai objek sikap yang harus diberi respon, baik responnya positif atau pun negatif, suka atau tidak suka, setuju atau tidak setuju, dan sebagainya. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa sikap mempunyai dua kemungkinan, yaitu sikap positif dan sikap negatif terhadap suatu objek sikap. Sikap akan menunjukkan apakah seseorang menyetujui, mendukung, memihak (favorable) atau tidak menyetujui, tidak mendukung atau tidak memihak (unfavorable) suatu objek sikap. Bila seseorang mempunyai sikap mendukung objek sikap, berarti mempunyai sikap positif terhadap objek tersebut. Sebaliknya jika seseorang tidak mendukung terhadap objek sikap, berarti mempunyai sikap yang arahnya negatif terhadap objek yang bersangkutan.

  2.1.3 Tindakan

  Tindakan merupakan aturan yang dilakukan, melakukan/mengadakan aturan atau mengatasi sesuatu atau perbuatan. Adanya hubungan yang erat antara sikap dan tindakan didukung oleh pengetahuan. Sikap yang menyatakan bahwa sikap merupakan kecendrungan untuk bertindak dan nampak jadi lebih konsisten, serasi, sesuai dengan sikap. Bila sikap individu sama dengan sikap sekelompok dimana ia berada adalah bagian atau anggotanya (Notoatmodjo, 2012).

  Setelah seseorang mengetahui stimulus atau objek kesehatan, kemudian mengadakan penilaian atau pendapat terhadap apa yang diketahui, proses selanjutnya diharapkan dia akan melaksanakan atau mempraktekkan apa yang diketahui atau disikapinnya (dinilai baik). Oleh sebab itu indikator praktek kesehatan ini juga mencakup hal

  • – hal tersebut di atas, yakni : a.

  Tindakan sehubungan dengan penyakit b. Tindakan pemeliharaan dan peningkatan kesehatan c. Tindakan kesehatan lingkungan

  2.1.4 Faktor-Faktor yang Memengaruhi Perilaku

  Green (1980), menjelaskan berdasarkan penelitian kumulatif mengenai perilaku kesehatan, telah diidentifikasi tiga kelas faktor yang mempunyai potensi dalam mempengaruhi kesehatan. Tiga faktor tersebut adalah faktor predisposisi (predisposing factors), faktor-faktor yang mendukung (enabling factors) dan faktor- faktor yang memperkuat atau mendorong (reinforcing factors). Masing-masing faktor ini mempunyai pengaruh yang berbeda atas perilaku. Model ini dikembangkan untuk keperluan diagnosis, perencanaan dan intervensi pendidikan kesehatan, dan dikenal sebagai kerangka kerja PRECEDE yang merupakan singkatan dari “Predisposing,

  Reinforcing and Enabling Causes of Educational Diagnosis and Evaluation ”.

  a.

  Faktor Predisposisi Setiap karakteristik konsumen atau komuniti yang memotivasi perilaku yang berkaitan dengan kesehatan. Yang termasuk dalam faktor ini adalah pengetahuan, sikap, keyakinan, nilai dan persepsi berkenaan dengan motivasi seseorang atau kelompok, dapat memudahkan atau merintangi tindakan, faktor sosio demografis juga termasuk umur, jenis kelamin, pendidikan.

  b.

  Faktor Pemungkin Setiap karakteristik lingkungan yang memudahkan perilaku dan setiap keterampilan atau sumber daya diperlukan untuk melaksanakan perilaku. Tidak adanya karakteristik atau keterampilan tersebut menghambat perilaku kesehatan. Hal ini terwujud dalam bentuk lingkungan fisik, tersedianya fasilitas atau sarana dan prasarana untuk berperilaku, serta keterampilan yang berhubungan dengan kesehatan. Keterampilan sendiri berarti kemampuan seseorang melakukan upaya yang menyangkut perilaku yang diharapkan.

  c.

  Faktor Penguat Setiap ganjaran, insentif atau hukuman yang mengikuti atau diperkirakan sebagai akibat dari suatu perilaku kesehatan dan berperan bagi menetap atau lenyapnya perilaku itu. Hal ini terwujud dalam sikap dan perilaku seseorang yang merupakan kelompok referensi dari perilaku masyarakat. Referensi ini dapat berasal dari guru, dosen, famili, tokoh masyarakat, supervisior, majikan, teman sebaya dan lain sebagainya.

2.2 Partisipasi Pria dalam Keluarga Berencana

  Partisipasi pria dalam KB merupakan manifestasi kesetaraan gender, ketidaksetaraan gender dalam bidang KB dan Kesehatan Reproduksi yang sangat berpengaruh pada keberhasilan program. Sebagian besar masyarakat dan provider Serta penentu kebijakan masih mengganggap bahwa penggunaan kontrasepsi adalah urusan perempuan. Oleh karena itu, peserta KB pria di Indonesia masih sangat rendah yaitu masih di bawah 2 persen, disamping masih relatif rendahnya kepedulian pria terhadap proses reproduksi keluarganya terutama dalam hal kehamilan dan kelahiran. Dimasa lalu, persoalan pengaturan kelahiran lebih banyak difokuskan kepada perempuan, sehingga terkesan bahwa keluarga berencana adalah urusan perempuan saja. Data berbagai survei menunjukkan bahwa prevalensi pengguna kontrasepsi pria masih dibawah 2 persen. Meskipun rendahnya pengguna kontrasepsi berkaitan dengan pula dengan keterbatasan teknik kontrasepsi yang tersedia bagi pria, angka ini menunjukkan bahwa kepedulian pria terhadap keluarga berencana masih rendah (BkkbN, 2009a).

  Keterlibatan pria didefinisikan sebagai partisipasi dalam proses pengambilan keputusan KB, pengetahuan pria tentang KB dan penggunaan kontrasepsi pria.

  Keterlibatan pria dalam KB diwujudkan melalui perannya berupa dukungan terhadap

  KB dan penggunaan alat kontrasepsi serta merencanakan jumlah keluarga. Untuk merealisasikan tujuan terciptanya Norma Keluarga Kecil Bahagia Sejahtera.

  Partisipasi pria dalam Keluarga Berencana adalah tanggung jawab pria dalam kesertaan ber-KB, Serta berperilaku seksual yang sehat dan aman bagi dirinya, pasangan atau keluarganya. Keterlibatan pria dalam program KB dapat terjadi secara langsung atau tidak langsung. Penggunaan metode kontrasepsi pria merupakan satu bentuk partisipasi pria secara langsung, sedangkan keterlibatan pria secara tidak langsung misalnya pria memiliki sikap yang lebih positif dan membuat keputusan yang lebih baik berdasarkan sikap dan persepsi, serta pengetahuan yang dimilikinya.

2.2.1 Tanggung Jawab Pria dalam KB dan Kesehatan Reproduksi

  Tanggung jawab pria dalam KB yaitu: 1. Bersama isteri merencanakan jumlah dan jarak anak 2. Bersama isteri berupaya memperoleh informasi tentang KB 3.

  Bersama isteri memilih/menggunakan salah satu alat/metode kontrasepsi yang cocok

4. Bersama istri mengatasi kegagalan dan komplikasi akibat KB (BkkbN, 2009a)

  Dalam upaya pengembangan kesehatan reproduksi dan hak

  • –hak reproduksi perhatian program KB bukan hanya ditujukan kaum perempuan, tetapi kaum pria juga diberikan perhatian sehingga dapat ikut berperan dalam program KB. Peran serta pria dalam program Keluarga Berencana yaitu:

  1. Sebagai Peserta KB Partisipasi suami dalam program KB dapat bersifat langsung atau tidak langsung.

  Secara langsung adalah menggunakan salah satu cara atau metode kontrasepsi. Sedangkan partisipasi tidak langsung dengan menganjurkan, mendukung dan memberi kebebasan kepada isteri untuk menggunakan kontrasepsi.

  2. Mendukung istri dalam ber KB Apabila telah disepakati istri yang akan berKB, peranan suami adalah mendukung dan memberikan kebebasan kepada istri untuk menggunakan kontrasepsi atau cara/metode KB yang diawali sejak menikah dengan istri dalam merencanakan masa reproduksi

  3. Merencanakan jarak anak Merencanakan jarak anak dalam keluarga perlu dibicarakan antar suami dan istri dengan mempertimbangkan berbagai aspek antara lain kesehatan reproduksi istri, perencanaan keluarga yang berkualitas, perlu memperhatikan usia reproduksi istri (BkkbN, 2012b).

2.2.2 Metode Keluarga Berencana Pria

  Pria sebagai kepala keluarga dapat mengambil bagian aktif dalam pelaksanaan KB sehingga dapat dicapai norma keluarga kecil bahagia dan sejahtera. Metode KB pria yang dapat dipakai adalah memakai kondom, koitus interuptus, pantang berkala, dan vasektomi sebagai kontap pria (MOP) (Manuaba, 2009)

2.2.3 Faktor yang Memengaruhi Pemakaian Kontrasepsi

  Menurut Affandi dalam Mutiara (1998), faktor-faktor yang memengaruhi pemakaian kontrasepsi adalah :

  1. Faktor pola perencanaan keluarga. Adalah mengenai penentuan besarnya jumlah keluarga yang menyangkut waktu yang tepat untuk mengakhiri kesuburan. Dalam perencanaan keluarga harus diketahui kapan kurun waktu reproduksi sehat, berapa sebaiknya jumlah anak sesuai kondisi, berapa jarak umur antar anak.

  Seorang wanita secara biologik memasuki usia reproduksi nya beberapa tahun sebelum mencapai umur dimana kehamilan dan persalinan dapat berlangsung dengan aman. Kurun waktu yang paling aman adalah umur 20-35 tahun dengan pengaturan : a)

  Anak pertama lahir sesudah ibunya berumur 20 tahun

  b) Anak kedua lahir sebelum ibunya berumur 30 tahun

  c) Jarak antara anak pertama dan kedua sekurang - kurangnya 2 tahun atau diusahakan jangan ada 2 anak balita dalam kesempatan yang sama. Kemudian menyelesaikan besarnya keluarga sewaktu istri berusia 30 - 35 tahun dengan kontrasepsi mantap.

  2. Faktor subyektif. Bagaimanapun baiknya suatu alat kontrasepsi baik dipandang dari sudut kesehatan maupun rasionalitas nya namun belumlah tentu dirasakan cocok dan dipilih oleh akseptor/calon akseptor. Pilihan ini sangat pula tergantung pada pengetahuannya tentang alat kontrasepsi tersebut, baik yang didapat dari keluarga/kerabat maupun yang didapat dari petugas kesehatan atau tokoh masyarakat.

  3. Faktor obyektif. Pemilihan kontrasepsi yang digunakan disesuaikan dengan keadaan wanita (kondisi fisik dan umur) serta disesuaikan dengan fase-fase menurut kurun waktu reproduksinya. Biasanya pemilihan jenis kontrasepsi juga disesuaikan dengan maksud Penggunaan kontrasepsi tersebut.

  4. Faktor motivasi. Kelangsungan pemakaian kontrasepsi sangat tergantung dari motivasi dan penerimaan pasangan suami istri. Motivasi akseptor KB untuk terus menggunakan kontrasepsi yang lama, akan merubah metode, atau menghentikan sama sekali penggunaan kontrasepsi, dipengaruhi oleh berbagai faktor. Mereka yang menggunakan kontrasepsi dengan tujuan untuk membatasi kelahiran mempunyai tingkat kemantapan yang lebih tinggi dibandingkan mereka yang bertujuan untuk menunda kehamilan.

2.2.4 Faktor-Faktor yang Memengaruhi Partisipasi Pria dalam Keluarga Berencana

  Menurut BKKBN (2007) faktor-faktor yang memengaruhi rendahnya partisipasi pria dalam KB antara lain : terbatasnya sosialisasi dan promosi KB pria, adanya persepsi bahwa wanita yang menjadi target program KB, terbatasnya akses pelayanan KB pria, tingginya harga yang harus dibayar untuk MOP, ketidaknyamanan dalam penggunaan KB pria (kondom), terbatasnya metode kontrasepsi pria, rendahnya pengetahuan pria terhadap KB, kualitas pelayanan KB pria belum memadai, istri tidak mendukung suami ber-KB, adanya stigmatisasi tentang KB pria di masyarakat, kondisi Politik, Sosial, Budaya Masyarakat, Agama, dan komitmen pemerintah masih belum optimal dalam mendukung KB pria.

  Banyak faktor yang menyebabkan rendah nya partisipasi pria dalam keluarga berencana yang dilihat dari berbagai aspek, yaitu dari sisi klien pria itu sendiri (pengetahuan, sikap dan praktik serta kebutuhan yang ia inginkan), faktor lingkungan yaitu sosial budaya, dukungan istri, tokoh masyarakat dan keluarga/istri, keterbatasan informasi dari tenaga kesehatan dan aksesibilitas terhadap pelayanan keluarga berencana pria, keterbatasan jenis kontrasepsi pria disertai masih adanya persepsi dimasyarakat mengenai keluarga berencana pria (BkkbN, 2010).

  Penyebab masalah kesehatan menurut Green (1980) dalam Notoatmodjo (2012) membedakan adanya dua determinan masalah kesehatan, yaitu behavioral

  factor (faktor perilaku) dan non behavioral factor (faktor non perilaku). Faktor

  perilaku kesehatan dipengaruhi oleh tiga faktor utama yaitu, faktor predisposisi yaitu faktor yang mempermudah atau mempredisposisi terjadinya prilaku seseorang antara lain pengetahuan, sikap, keyakinan, kepercayaan, nilai

  • – nilai tradisi. Faktor pemungkin yaitu faktor yang memungkinkan atau yang memfasilitasi prilaku atau tindakan yaitu sarana dan prasarana atau fasilitas untuk terjadinya prilaku kesehatan, dan faktor penguat yaitu faktor yang mendorong atau memperkuat terjadinya prilaku antara lain tokoh masyarakat, peraturan undang
  • – undang, keputusan dari para pejabat pemerintah pusat dan daerah.

  2.2.5 Pengaruh Faktor Pendukung terhadap Partisipasi Pria dalam Keluarga Berencana

  Faktor pemungkin yaitu faktor yang memungkinkan atau yang memfasilitasi prilaku atau tindakan yaitu sarana dan prasarana atau fasilitas untuk terjadinya prilaku kesehatan, untuk berprilaku sehat masyarakat memerlukan sarana dan prasarana pendukung (Notoatmodjo, 2012).

  Menurut Wibowo dalam Budisantoso (2008) adanya kemudahan dan ketersediaan sarana pelayanan berdampak positif terhadap penggunaan suatu alat kontrasepsi. Menurut suami pelayanan KB pria yang paling disukai adalah dekat dengan rumah atau dekat dari tempat mereka bekerja (48,85%), sebanyak 12,8% menginginkan tempat pelayanan dengan trasportasi yang mudah, biaya terjangkau (9,9%), fasilitas lengkap (9,3%), dilayani, dengan tenaga ahli yang ramah (9%) dan dapat menjaga privacy (2,2%). Sedangkan tempat memperoleh pelayanan KB pria adalah rumah sakit pemerintah 36,1%, Puskesmas 29,1%, dan rumah sakit swasta 8,6%. Belum semua pelayanan kesehatan mampu memberikan pelayanan vasektomi.

  Hanya 5 - 81 persen pelayanan kesehatan yang menyediakan pelayanan vasektomi dengan rata-rata 41 persen pelayanan kesehatan pemerintah.

  2.2.6 Pengaruh Faktor Penguat terhadap Partisipasi Pria dalam Keluarga Berencana

  Faktor penguat yaitu faktor yang mendorong atau memperkuat terjadinya prilaku antara lain tokoh masyarakat, peraturan undang

  • – undang, keputusan dari para pejabat pemerintah pusat dan daerah (Notoatmodjo, 2012).
Kesertaan dalam KB Pria juga di pengaruhi oleh adanya diskusi antara suami isteri tentang KB, walaupun sebenarnya pembicaraan antara suami isteri mengenai KB tidak selalu menjadi prasyarat dalam penerimaan KB, namun demikian, tidak adanya diskusi dapat menjadi penghalang terhadap pemakaian kontrasepsi.

  Komunikasi yang baik antara suami isteri merupakan suatu jembatan dalam proses penerimaan dan kelangsungan pemakaian kontrasepsi. Bagi suami yang akan mengikuti KB, apapun metodenya, Kondom atau Vasektomi, perlu dibicarakan dulu dengan isterinya, apalagi jika akan mengikuti vasektomi yang memerlukan pertimbangan dan persyaratan suami isteri. Persetujuan isteri sangat diperlukan untuk memutuskan dilakukannya vasektomi (BkkbN, 2009a).

  Petugas dan pengelola KB di lapangan umumnya merespon positif dan mendukung pelaksanaan peningkatan partisipasi pria dalam KB, namun demikian karena keterbatasan sumber dana, daya dan tenaga program ini masih belum menjadi prioritas utama . Masih adanya keragu-raguan dari pihak pengelola, petugas, provider maupun tokoh agama dan tokoh masyarakat bahkan sebagian dari klien terhadap pelayanan vasektomi. Karena vasektomi sampai saat ini masih menjadi bahan perbincangan dan perdebatan dikalangan tokoh masyarakat dan tokoh agama. Belum optimalnya dukungan Pengambil Keputusan, tokoh masyarakat dan tokoh agama disebabkan: (a) kurangnya advokasi (b) budaya masyarakat yang patriarkat (c) rendahnya pengetahuan Keluarga tentang pentingnya partisipasi pria dalam KKG (kesetaran dan keadilan gender) (d) kurang mantapnya pelaksanaan mekanisme operasional dalam penggarapan KB pria oleh para pengelola.

  Menurut BKKBN (2007) faktor-faktor yang memengaruhi rendahnya partisipasi pria dalam KB antara lain : terbatasnya sosialisasi dan promosi KB pria, adanya persepsi bahwa wanita yang menjadi target program KB, terbatasnya akses pelayanan KB pria, tingginya harga yang harus dibayar untuk MOP, ketidaknyamanan dalam penggunaan KB pria (kondom), terbatasnya metode kontrasepsi pria, rendahnya pengetahuan pria terhadap KB, kualitas pelayanan KB pria belum memadai, istri tidak mendukung suami ber-KB, adanya stigmatisasi tentang KB pria di masyarakat, kondisi Politik, Sosial, Budaya Masyarakat, Agama, dan komitmen pemerintah masih belum optimal dalam mendukung KB pria.

2.3 Analisis Faktor

2.3.1 Definisi Analisis Faktor

  Analisis faktor adalah suatu teknik interdependensi (interdependence

  technique ), dimana tidak ada pembagian variabel menjadi variabel bebas dan variabel

  tergantung dengan tujuan utama, yaitu mendefinisikan struktur yang terletak di antara varaibel-variabel dalam analisis. Analisis ini menyediakan alat-alat untuk menganalisis struktur dari hubungan interen atau korelasi diantara sejumlah besar variabel dengan menerangkan korelasi yang baik antar variabel, yang diasumsikan untuk merepresentasikan dimensi-dimensi dalam data (Hair, 2010).

  Analisis faktor merupakan suatu teknik untuk menganalisis tentang saling ketergantungan dari beberapa variabel secara simultan dengan tujuan untuk menyederhanakan dari bentuk hubungan antara beberapa variabel yang diteliti menjadi sejumlah faktor yang lebih sedikit dari pada variabel yang diteliti. Hal ini berarti, analisis faktor dapat juga menggambarkan tentang struktur data dari suatu penelitian (Suliyanto, 2005).

  Berdasarkan pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa pada prinsipnya analisis faktor mencoba menemukan hubungan antar sejumlah variabel-variabel yang saling bebas satu sama lain, sehingga dapat dibuat satu atau beberapa set variabel yang lebih sedikit dari jumlah variabel awal. Dalam hal ini variabel yang memiliki korelasi terbesar akan berkelompok membentuk suatu set variabel (membentuk faktor).

2.3.2 Tujuan Analisis Faktor

  Tujuan analisis faktor adalah:

  1. Data Sumarization, yakni mengidentifikasi adanya hubungan antar variabel dengan melakukan uji korelasi.

  2. Data Reduction, yakni setelah melakukan korelasi, maka dilanjutkan dengan proses membuat sebuah variabel set baru yang dinamakan faktor untuk menggantikan sejumlah variabel tertentu.

  Tujuan umum dari teknik analisis faktor adalah menemukan suatu cara untuk mereduksi informasi yang terkandung di dalam sejumlah variabel-variabel original ke dalam set variabel yang lebih kecil dari dimensi-dimensi gabungan dan baru. Untuk menemukan tujuan tersebut, ada 4 hal yang mendukung, yaitu mengkhususkan unit analisis, mencapai ringkasan data atau pengurangan data, pemilihan variabel, dan menggunakan hasil analisis faktor dengan teknik-teknik multivariat yang lain (Hair, 2010).

  2.3.3 Fungsi Analisis Faktor

  Terdapat 3 fungsi analisis faktor menurut Suliyanto (2005), diantaranya adalah sebagai berikut:

  1. Mengidentifikasi dimensi-dimensi mendasar yang dapat menjelaskan korelasi dari serangkaian variabel.

  2. Mengidentifikasi variabel-variabel baru yang lebih kecil, untuk menggantikan variabel tidak berkorelasi dari serangkaian variabel asli yang berkorelasi

  3. Mengidentifikasi beberapa variabel kecil dari sejumlah variabel yang banyak untuk dianalisis multivariat lainnya.

  2.3.4 Langkah-langkah Analisis Faktor

  Menurut Suliyanto (2005), langkah-langkah dalam analisis faktor adalah sebagai berikut: a. Merumuskan masalah

  b. Membuat matriks korelasi Proses analisis faktor didasarkan pada matriks korelasi antara variabel yang satu dengan variabel-variabel lain, untuk memperoleh analisis faktor yang semua variabel-variabelnya harus berkorelasi. Untuk menguji ketepatan dalam model faktor, uji statistik yang digunakan adalah Barletts test sphericity dan Kaiser-Mayer-Olkin (KMO) untuk mengetahui kecukupan sampelnya.

  1. Nilai KMO sebesar 0,9 adalah baik sekali

  2. Nilai KMO sebesar 0,8 adalah baik

  3. Nilai KMO sebesar 0,7 adalah sedang/agak baik

  4. Nilai KMO sebesar 0,6 adalah cukup

  5. Nilai KMO sebesar 0,5 adalah kurang

  6. Nilai KMO sebesar < 0,5 adalah ditolak

  c. Model Fit (ketepatan model) Mengetahui ketepatan dalam memilih teknik analisis faktor antara principal

  component analysis dan maximum likelihood dengan melihat jumlah residual

  (perbedaan) antara korelasi yang diamati dengan korelasi yang diproduksi. Semakin kecil persentase nilai residual (dalam hal ini adalah nilai root mean square error = RMSE), maka semakin tepat penentuan teknik tersebut.

  d. Penentuan jumlah faktor Penentuan jumlah faktor yang ditentukan untuk mewakili variabel-variabel yang akan dianalisis didasarkan pada besarnya eigen value serta persentase total variannya. Hanya faktor yang memiliki eigen value sama atau lebih besar dari satu yang dipertahankan dalam model analisis faktor, sedangkan yang lainnya dikeluarkan dari model.

  e. Rotasi faktor Hasil dari ekstraksi faktor dalam matriks faktor mengidentifikasikan hubungan antar faktor dan variabel individual, namun dalam faktor-faktor tersebut banyak variabel yang berkorelasi sehingga sulit diinterpretasikan. Melalui rotasi faktor matriks, faktor matriks ditransformasikan ke dalam matriks yang lebih sederhana sehingga mudah diinterpretasikan. Rotasi faktor menggunakan prosedur varimax.

  f. Interpretasi faktor Interpretasi faktor dilakukan dengan mengklasifikasikan variabel yang mempunyai factor loading minimum 0,4 sedangkan variabel dengan factor loading kurang dari 0,4 dikeluarkan dari model.

  g. Penyeleksian surrogate variable Mencari salah satu variabel dalam setiap faktor sebagai wakil dari masing- masing faktor. Pemilihan ini didasarkan pada nilai faktor loading tertinggi.

2.3.5 Asumsi Analisis Faktor

  Prinsip utama dalam analisis faktor adalah korelasi, artinya variabel yang memiliki korelasi erat akan membentuk suatu faktor. Karena prinsip utama analisis faktor adalah korelasi, maka asumsi dalam analisis faktor berkaitan erat dengan korelasi berikut: a. Korelasi antar variabel bebas harus kuat.

  Hal ini dapat diidentifikasi dari nilai determinannya yang mendekati nol. Nilai determinan dari matriks korelasi yang elemen-elemennya menyerupai matriks identitas akan memiliki nilai determinan sebesar satu. Artinya, jika nilai determinan mendekati satu, maka matriks korelasi menyerupai matriks identitas, dimana antar item/variabel tidak saling terkait karena matriks identitas memiliki elemen pada diagonal bernilai satu, sedangkan lainnya bernilai nol. b. Koefisien korelasi parsial (antar 2 variabel) harus kecil Hal ini dapat diidentifikasi dengan nilai Kaiser Meyer Olkin measure of

  sampling adequency (KMO). KMO merupakan sebuah indeks perbandingan jarak

  antara koefisien korelasi dengan koefisien parsialnya secara keseluruhan. Jika jumlah kuadrat koefisien korelasi parsial diantara seluruh pasangan variabel bernilai kecil dibandingkan dengan jumlah kuadrat koefisien korelasi, maka akan menghasilkan nilai KMO yang mendekati satu. Nilai KMO yang kecil menunjukkan bahwa analisis faktor bukan merupakan pilihan yang tepat. Untuk dapat dilakukan analisis faktor, nilai KMO dianggap cukup apabila nilai KMO > 0,5.

  c. Koefisien korelasi antar variabel harus kecil Hal ini dapat diidentifikasi dengan nilai Measure of Sampling Adequency

  (MSA). MSA adalah sebuah indeks perbandingan jarak antara koefisien korelasi dengan koefisien korelasi parsialnya secara parsial setiap item/variabel. Untuk dapat dilakukan analisis faktor, nilai MSA dianggap cukup apabila nilai MSA > 0,5. Apabila ada item/variabel yang tidak memiliki nilai MSA > 0,5, variabel tersebut harus dikeluarkan dari analisis faktor secara bertahap satu persatu.

  d.

  Dalam beberapa kasus, setiap variabel yang akan dianalisis dengan menggunakan analisis faktor harus menyebar secara normal.

2.3.6 Penamaan Faktor yang terbentuk

  Untuk menamai faktor yang telah dibentuk dalam analisis faktor, dapat dilakukan dengan cara berikut.

  1. Memberikan nama faktor yang dapat mewakili nama-nama variabel yang membentuk faktor tersebut.

  2. Memberikan nama faktor berdasarkan variabel yang memiliki nilai faktor loading tertinggi. Hal ini dilakukan apabila tidak dimungkinkan untuk memberikan nama faktor yang dapat mewakili semua variabel yang membentuk faktor tersebut.

2.3.7 Metode Pendugaan Parameter PCA (Principal Component Analysis)

  Secara sederhana, sebuah variabel akan mengelompok ke suatu faktor (yang terdiri atas variabel-variabel yang lainnya pula) jika variabel tersebut berkorelasi dengan sejumlah variabel lain yang masuk dalam kelompok faktor tertentu. Ketika sebuah variabel berkorelasi dengan variabel lain, variabel tersebut berbagi varians dengan variabel lain tersebut, dengan jumlah varians yang dibagikan adalah besar

  2

  korelasi pangkat dua (R ). Varians adalah akar dari standar deviasi, yakni jumlah penyimpangan data dari rata-ratanya (Santoso, 2012).

  Dengan demikian, varians total pada sebuah variabel dapat dibagi menjadi tiga bagian:

  1. Common variance, yakni varians yang dibagi dengan varians lainnya atau jumlah varians yang dapat diekstrak dengan proses factoring.

  2. Specific variance, yakni varians yang berkaitan dengan variabel tertentu saja. Jenis varians ini tidak dapat dijelaskan dengan korelasi hingga menjadi bagian dari variabel lain. Namun varians ini masih berkaitan secara unik dengan satu variabel.

  3. Error variance, yakni varians yang tidak dapat dijelaskan lewat korelasi. Jenis ini muncul karena proses pengambilan data yang salah, pengukuran variabel yang tidak tepat dan sebagainya.

  Berdasarkan penjelasan tersebut di atas, dapat dikatakan jika sebuat variabel berkorelasi dengan variabel lain, maka common variance (disebut juga communality) akan meningkat. Proses common analysis hanya berhubungan dengan common

  variance , sedangkan proses principal component analysis akan mengaitkan semua

  varians tersebut. Pada umumnya, principal component analysis akan digunakan jika tujuan utama analisis faktor adalah data reduction, dan beranggapan bahwa sejumlah

  specific variance dan error variance berjumlah kecil.

  PCA menggunakan total varians dalam analisisnya. Metode ini menghasilkan faktor yang memiliki specific variance dan error variance yang lebih kecil. Kalau ada beberapa faktor yang dihasilkan, faktor yang duluan dihasilkan adalah yang memiliki

  common variance terbesar, sekaligus specific dan error variance terkecil (Simamora, 2004).

2.4 Landasan Teori

  Landasan teori yang diambil adalah menurut Green (1980) yang dikutip oleh Notoatmodjo (2012), prilaku dipengaruhi oleh 3 faktor utama, yakni: 1.

  Faktor predisposisi (Predisposing factor) Faktor ini mencakup pengetahuan dan sikap masyarakat terhadap kesehatan, tradisi dan kepercayaan masyarakat terhadap hal-hal yang berkaitan dengan kesehatan, sistem nilai yang dianut masyarakat, tingkat pendidikan, tingkat sosial ekonomi, dan sebagainya.

  2. Faktor pendukung (Enabling factors) Faktor ini mencakup ketersediaan sarana dan prasarana atau fasilitas kesehatan bagi masyarakat, misalnya air bersih, tempat pembuangan sampah, tempat pembuangan tinja, ketersediaan makanan yang bergizi, dan sebagainya. Termasuk juga fasilitas pelayanan kesehatan seperti puskesmas, rumah sakit, poliklinik, posyandu, polindes, pos obat desa, dokter atau bidan praktik swasta, dan sebagainya. Untuk berperilaku sehat, masyarakat memerlukan sarana dan prasarana pendukung. Fasilitas ini pada hakikatnya mendukung atau memungkinkan terwujudnya perilaku kesehatan, maka faktor-faktor ini disebut faktor pendukung, atau faktor pemungkin.

  3. Faktor penguat (Reinforcing factors) Faktor ini meliputi faktor sikap dan perilaku tokoh masyarakat (toma), tokoh agama (toga), sikap dan perilaku para petugas termasuk petugas kesehatan.

  Termasuk juga di sini undang-undang, peraturan-peraturan, baik dari pusat maupun pemerintah daerah, yang terkait dengan kesehatan. Untuk berperilaku sehat, masyarakat kadang-kadang bukan hanya perlu pengetahuan dan sikap positif dan dukungan fasilitas saja, melainkan diperlukan perilaku contoh (acuan) dari para tokoh masyarakat, tokoh agama, dan para petugas, lebih-lebih para petugas kesehatan.

  Sebagai landasan teori disajikan pada Gambar 2.1.

  Faktor Predisposisi a.

  Pengetahuan b.

  Sikap c. Kepercayaan d.

  Persepsi e. Nila-nilai

  Faktor Pendorong

  a.Lingkungan fisik Perilaku b.Fasilitas/sarana

  Kesehatan pelayanan kesehatan

  Faktor Penguat

  a. Sikap dan perilaku petugas kesehatan atau petugas lain

  b. Dukungan keluarga

Gambar 2.1 Landasan Teori Green (1980)

2.5 Kerangka Konsep Penelitian

  Berdasarkan uraian di atas, maka dapat disusun kerangka konsep penelitian yang menjelaskan arah atau alur penelitian. Beberapa faktor yang diduga berpengaruh terhadap Partisipasi Pria dalam KB di Desa Celawan Kecamatan Pantai Cermin Kabupaten Serdang Bedagai Tahun 2014.

  Faktor Predisposisi a.Pengetahuan b.Sikap

  Analisis faktor- faktor yang

  Faktor ke 1

  memengaruhi partisipasi pria

  Faktor Pendukung

  dalam Keluarga

  Analisis Faktor ke 2

  a. Akses Pelayanan Faktor

  Berencana di Desa

  b. Fasilitas

  Celawan

  Faktor ke 3

  Kecamatan Pantai Cermin Kabupaten

  Faktor ke n

  Serdang Bedagai

  Faktor Penguat

  a. Dukungan Istri

  b. Dukungan Keluarga

  c. Dukungan Teman

Dokumen yang terkait

Analisis Kelayakan Finansial Usahatani Kepiting (Scilla Serrata) Studi Kasus : Desa Pantai Cermin Kiri, Kecamatan Pantai Cermin. Kabupaten Serdang Bedagai

5 75 79

Analisis Faktor yang Memengaruhi Partisipasi Pria dalam Keluarga Berencana di Desa Celawan Kecamatan Pantai Cermin Kabupaten Serdang Bedagai

1 50 142

Partisipasi Masyarakat dalam Pengembangan Potensi Wisata Bahari Pantai Cermin Kabupaten Serdang Bedagai

15 202 142

I. Identitas Responden - Analisis Kunjungan Wisatawan di Kawasan Kecamatan Pantai Cermin Kabupaten Serdang Bedagai

0 0 19

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Permintaan - Analisis Kunjungan Wisatawan di Kawasan Kecamatan Pantai Cermin Kabupaten Serdang Bedagai

0 0 34

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang - Analisis Kunjungan Wisatawan di Kawasan Kecamatan Pantai Cermin Kabupaten Serdang Bedagai

0 0 7

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Sejarah Keluarga Berencana - Implementasi Program Keluarga Berencana di Puskesmas Tanjung Beringin Kecamatan Hinai Kabupaten Langkat Tahun 2015

0 0 36

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Umum - Analisis Variasi Sedimen Pada Pantai Berlumpur(Studi Kasus Lokasi Pantai Cermin Deli Serdang Sumatera Utara)

0 0 25

BAB II TINJAUAN PUSTAKA - Analisis Kelayakan Finansial Usahatani Kepiting (Scilla Serrata) Studi Kasus : Desa Pantai Cermin Kiri, Kecamatan Pantai Cermin. Kabupaten Serdang Bedagai

0 1 11

Analisis Kelayakan Finansial Usahatani Kepiting (Scilla Serrata) Studi Kasus : Desa Pantai Cermin Kiri, Kecamatan Pantai Cermin. Kabupaten Serdang Bedagai

0 0 12