Lengan Politik Masyarakat Sipil docx

“Lengan Politik Masyarakat Sipil”: Pengalaman dan Ikhtiar Partai Hijau Indonesia

“Lengan Politik Masyarakat Sipil”: Pengalaman dan Ikhtiar Partai Hijau Indonesia
5 October 2016

John Muhammad dan Dian Abraham

Harian Indoprogress
hijau
Print Friendly Version of this pagePrint Get a PDF version of this webpagePDF

Ada hantu berkeliaran dalam masyarakat sipil Indonesia: “prasangka” namanya.Tapi maaf,
ini bukan manifesto. Ini hanya pengalaman dan refleksi kami sebagai pengurus Partai Hijau Indonesia
dalam merekrut anggota pendiri.

SEJAK Partai Hijau Indonesia (PHI) dideklarasikan pada 5 Juni 2012 lalu, ada satu pertanyaan klasik yang
kerap terdengar. Partai ini berbasis kader atau berbasis massa? Jika kader, siapa? Dan jika massa, siapa?
Aktivis lingkungan sajakah, atau dapat diperluas lebih jauh lagi? Jika ya, kepada siapa atau kelompok
mana? Kalau pakai pendekatan kelas, kelas mana itu?

Saat itu, kami tidak punya jawaban yang cukup baik. Apalagi di kepala kami cuma ada tekad bahwa PHI

harus menjadi partainya gerakan sosial Indonesia. Kami harus menjadi perpanjangan tangan dari gerakan
masyarakat sipil. Mulai dari gerakan lingkungan, antinuklir, masyarakat adat, mahasiswa, perempuan,
kaum urban, HAM, antikorupsi, buruh, kaum marjinal, hingga kelas-kelas petani, nelayan, dan
seterusnya.

Alasannya sederhana, yakni keyakinan bahwa gerakan lingkungan dapat menjadi perekat bagi yang
selama ini tidak punya wakil untuk memperjuangkan kepentingan mereka di pusat-pusat pembuatan
kebijakan dan pengambilan keputusan. Jika pun ada aktivis yang menjadi wakil rakyat atau penguasa
melalui partai-partai yang ada, nyaris semuanya gagal atau rentan dibajak oleh partai-partai
konvensional.

Non-Divisif, “Real Proletar”, Partai Gerakan dan Bukan Single Issue Party

Beberapa tahun sebelum PHI dideklarasikan, Fransiskus Borgias M. pernah menulis keunikan
fundamental dari politik hijau. Menurutnya, politik hijau memiliki sifat nondivisif (non-divisive) alias tidak
membeda-bedakan. Politik hijau mampu melampaui segala perbedaan yang ada. Alasannya, karena isu
lingkungan dan penghancuran ekologi mengancam semua manusia, terlepas dari bentuk perbedaan
sosial manusia (kelas, ras, warna kulit, jender dan lain-lain).

Sifat non-divisif ini amat terasa buktinya dalam gerakan antinuklir. Baik dalam hal senjata nuklir maupun

sebagai energi. Dalam isu senjata nuklir, kehancurannya pasti bersifat timbal-balik (mutually assured
destruction), baik pelaku maupun korbannya. Dan uniknya, para pendukung nuklir itu berasal dari nyaris
semua spektrum ideologi di dunia, mulai dari kiri hingga kanan. Isu nuklir sesungguhnya pemersatu dari
gambaran kehancuran alam yang diakibatkan oleh teknologi buatan manusia. Karena itu, keberpihakan
Partai Hijau terhadap ekologi di isu nuklir betul-betul melampaui semua perbedaan manusia, baik secara
ideologi maupun sosial. Fritjof Capra dan Charlene Spretnak menyimpulkan sifat ini dengan semboyan:
“Neither left nor right. We are in front.”

Dalam satu kesempatan, Rocky Gerung juga mengamini bahwa di antara semua kelas yang tertindas,
yang paling tertindas adalah lingkungan hidup. Penyebabnya karena semua kelas tersebut ikut serta
dalam merusak lingkungan. Meski tidak menyimpulkannya sebagai “real proletar”, Rocky secara lugas
menyatakan, “proletarnya proletar dari proletar-proletar yang ada adalah lingkungan atau alam”. Dengan
mengutip pemikiran Chistopher D. Stone yang menulis makalah “Should Trees Have Standing? Toward
Legal Rights for Natural Objects”, Rocky menyimpulkan bahwa secara filsafati, dan provokatif, anggota
PHI seharusnya adalah seluruh obyek alam di dunia ini.

Keterkaitan isu lingkungan dengan gerakan sosial lainnya itu membuat potensi isu lingkungan sebagai
perekat gerakan sosial nampak sangat jelas. Tak satu pun gerakan sosial yang tidak bersentuhan dengan
isu lingkungan hidup. Begitu pula peran PHI yang kami bayangkan.


Hal itu didukung oleh Ivan Hadar dengan tulisan yang berjudul “Partai Hijau, Partai LSM”, dua minggu
setelah deklarasi PHI. Gagasannya adalah menyinergikan masyarakat sipil dengan gerak langkah PHI.
Istilah LSM dipakai bukan dalam pengertian mengecilkan ruang lingkup masyarakat sipil, melainkan
sebagai motor dari partai tersebut. Dan yang tak kalah penting, di dalam tulisan itu, Ivan dengan tepat
menyebutkan berbagai isu atau LSM ‒ tak hanya isu lingkungan saja ‒ sebagai ranah perjuangan PHI.
Persis gagasan Partai Hijau di Jerman yang dikenal Ivan ‒ yang awalnya dimaksudkan sebagai sayap
politik praktis (political arms of the movement) dari gerakan sosial baru yang muncul pasca koalisi besar
partai politik di sana. Jadi bukan gerakan sosial yang disubordinasi oleh Partai Hijau, namun sebaliknya,
Partai Hijau-lah yang menjadi perpanjangan tangan dari koalisi gerakan masyarakat sipil yang
terpinggirkan tadi.

Tapi bagaimana dengan penerimaan masyarakat sipil terhadap PHI? Terhadap parpol baru yang
didedikasikan untuk kepentingan mereka?

Masyarakat Sipil: Kontradiksi Anti-Parpol, Activist Boom dan Comfort Zone

Membela gerakan masyarakat sipil tidaklah sulit. Mengajaknya berpolitik pun mudah. Namun,
mengajaknya untuk berjuang membangun parpol sendiri adalah tantangan saat ini.

Seluruh pegiat masyarakat sipil sepenuhnya sadar bahwa problem politik di Indonesia adalah parpol.

Setiap perjuangan agenda masyarakat sipil pada akhirnya ditentukan oleh lembaga legislatif – yang
berarti berhulu pada parpol. Ketiadaan parpol yang setia memperjuangkan agenda masyarakat sipil
membuat gerakannya selalu terhenti secara tragis.

Inilah kontradiksinya. Kita anti parpol, tapi kita sadar membutuhkan parpol untuk menentukan
kemenangan agenda publik.

Sayangnya, kesadaran ini tidak melecut mereka untuk membangun parpol sendiri. Ketimbang melakukan
pekerjaan yang substansial itu, mereka memilih untuk mengabaikan atau bahkan menyerang gagasan
parpol dengan membangun alasan-alasan seperti ini: undang-undang politik yang tidak demokratis,
fragmentasi di basis-basis massa, ketiadaan figur atau pemimpin yang kuat, dana yang sangat besar,
perbedaan ideologi dan lain-lainnya.

Namun, pada saat yang sama, krisis yang terbengkalai ini terus menggerogoti. Semakin lama mereka
menunda-menunda pembangunan parpol independen, semakin lama pula populasi aktivis terus
menggunung. Ini yang kami istilahkan sebagai ledakan aktivis (Activist Boom), yakni suatu fenomena
yang membuat para aktivis, pada masa puncaknya, tidak dapat dipanen.

Setelah paripurna dalam satu organisasi, mereka kemudian berpindah organisasi dan begitu seterusnya.
Jika tidak berpindah organisasi, mereka biasanya beralih menjadi akademisi, kelompok profesional

(advokat, penulis, konsultan dan lainnya) atau bahkan berbisnis. Singkatnya, transformasi dari aktivis
sosial menjadi politisi tidak terjadi. Yang ada, para aktivis ini terus memadati masyarakat sipil. Proses
kaderisasi di organisasi menjadi terhambat.

Bagaimana dengan aktivis yang kemudian bergabung ke parpol yang ada?

Dengan berbaik sangka, kita tentu berharap mereka bisa mengubah keadaan. Sayangnya, itu tidak
terjadi. Organisasi parpol yang ada saat ini, membuat ruang gerak mereka menjadi terbatas. Mereka
memang tidak kompatibel dengan praktik despotisme dan nepotisme. Mereka bahkan tidak sanggup
bersaing dengan orang-orang yang memiliki kapital besar ‒ yang jauh lebih dihitung.

Karena mereka bukan darah biru (atau memiliki kedekatan dengan penguasa parpol) dan tidak memiliki
dana yang berlimpah (pemodal partai), maka mereka harus memilih pilihan pragmatis: loyalitas yang
kuat. Pilihan pragmatis ini yang membuat mereka mulai membenar-benarkan kebijakan penguasa atau
patron politiknya. Bahkan meninggalkan nilai-nilai yang mereka perjuangkan dulu. Yang berarti
membunuh seluruh karir aktivismenya.

Orang-orang yang sudah mengorbankan karir aktivismenya ini biasanya berharap bisa memiliki peluang
untuk membalikkan situasi dengan perubahan jabatan. Sayangnya, oligarki di parpol yang ada, membuat
mereka mengantre begitu lama.


Mereka biasanya terus-menerus menunggu posisi yang pas untuk mengembalikan keberpihakan mereka
semula pada agenda-agenda publik. Misalnya, saat sudah menjadi anggota parpol dan ditagih untuk
bersikap dan berpihak, mereka akan berkata, “Aku ini apalah di partai, bukan pula di struktur nasional
dan bukan pula anggota DPR.” Tapi, begitu sudah menjadi anggota DPR atau menjabat sesuatu di
struktur nasional, mereka tetap berkata, “Aku ini apalah di partai, bukan Ketua dan bukan Dewan
Pembina.”

Dengan kondisi semacam ini, sebenarnya yang membuat para aktivis tidak bernafsu untuk
memperjuangkan agenda-agenda rakyat melalui parpol bukanlah alasan-alasan yang mulia dan etis yang
sering kita dengar seperti: berjuang tanpa pamrih kekuasaan politik, ingin menjadi intelektual organik
dan lain sebagainya. Mereka menghindar dari agenda membangun parpol sendiri karena memang
bersama dengan masyarakat sipil adalah zona nyaman bagi aktivis.

Zona nyaman tersebut membuat mereka kokoh secara sosial dan politik. Zona nyaman itu yang membuat
mereka selalu “politically correct.” Media pun menyokong posisi politik ini. Seringkali kita temui,
pendapat anggota parpol (yang diposisikan kurang baik) dibenturkan dengan pendapat aktivis non
parpol (yang diposisikan baik). Dalam berbagai ruang dan kegiatan masyarakat sipil, aktivis non parpol
memiliki ruang politik yang lebih luas dan kedudukan politik yang lebih mulia (karena tidak memiliki
motif mengejar kekuasaan).


Tidak ada yang salah dengan semua tantangan ini. Kita tidak perlu mengutuki persoalan ini. Tapi, dari
kondisi ini, kita harus memberi solusi.

Upaya Menjahit Masyarakat Sipil

Berdasar pengalaman PHI, sebenarnya dalam setiap hati kecil para aktivis selalu ada ruang untuk
menerima, mendukung dan bahkan menjadi bagian dari partai politik baru. Masyarakat sipil hanya butuh

penjelasan dan solusi alternatif yang ditawarkan mengenai sejumlah masalah yang menyelimuti parpolparpol pada umumnya. Jika kita bisa menjelaskan dengan baik, biasanya hanya soal waktu bagi mereka
untuk bergabung.

Berikut ini beberapa catatan PHI dalam upaya menjadikan dirinya sebagai “lengan politik bagi gerakan
masyarakat sipil.” Catatan ini disusun berdasarkan sejumlah pertanyaan yang sering dikemukakan para
calon anggota.

Pertama, soal basis massa. Soal ini sudah dijelaskan di awal tulisan hingga akhirnya PHI mulai
memfokuskan pada upaya menjahit masyarakat sipil. Tapi, bagaimana sebenarnya bentuk sinergi yang
pas? Di sinilah kelebihan utama jika parpol membasiskan diri pada gerakan sosial. Dengan menjadi
lengan politik bagi masyarakat sipil, PHI tidak perlu lagi membangun sayap-sayap politik atau membagi

konsentrasinya dengan pekerjaan advokasi (dan bahkan kampanye). PHI cukup tunduk pada agendaagenda politik masyarakat sipil dan tidak perlu masuk pada wilayah kerja advokasi. Sebaliknya, PHI cukup
fokus pada upaya merumuskan kebijakan politik (policy making) dan mempromosikan pemimpinpemimpin masyarakat sipil (talent scouting).

Kedua, soal tokoh dan kepemimpinan. Tidak dapat dibantah bahwa soal kepemimpinan seringkali
membuat kita tidak dapat disatukan. Tiap orang memiliki jejaring dan pendukungnya sendiri-sendiri. Di
sisi lain, kepemimpinan juga bisa menjadi faktor yang melemahkan organisasi. Pemimpin A dengan
kelompoknya tidak akur dengan pemimpin B. Tokoh A hebat dalam mengartikulasikan gagasan, tapi
tokoh B kuat dalam pengorganisasian. Intinya, hari ini sulit bagi kita mencari sosok tokoh yang memiliki
kepemimpinan sempurna ‒ yang hebat dalam segala bidang.

Ketiga, soal struktur dan model organisasinya. Tidak jarang, para aktivis mengeluhkan struktur parpol
yang berjenjang-jenjang dan model organisasi yang sentralistis. Jika didalami lebih jauh, sebenarnya
mereka sedang merisaukan posisi politiknya di parpol. Bagi yang merasa popularitas atau bahkan
kapabilitasnya sudah mumpuni, tentu akan keberatan jika ditaruh hanya sekelas Kepala Bidang atau
Departemen. Begitu pula, pengurus daerah akan selalu mengeluh dengan berbelit-belitnya rantai
komando atau masalah perbedaan sikap dengan pusat (nasional).

Untuk mengatasi poin kedua dan ketiga, PHI secara radikal menihilkan figur sentral dalam organisasinya.
PHI secara tegas menolak mengultuskan individu. Sebaliknya, PHI menawarkan gagasan kepemimpinan
kolektif dalam segala hal. Hal ini diterjemahkan PHI dalam struktur dan bentuk organisasinya sesuai


dengan prinsip yang dianutnya: demokrasi akar-rumput atau demokrasi partisipatoris atau biasa disebut
sebagai “kuasa penuh anggota.”

Struktur PHI kalau dilihat secara horisontal segaris atau setara. Tidak ada jenjang atau birokrasi dalam
organisasi. Tapi, kalau dilihat dari atas akan nampak jejaring-jejaring Kelompok Kerja berikut Juru
Bicaranya. Fungsi Ketua dipreteli menjadi sekadar fasilitator dan koordinator, kita menyebutnya:
Konvenor. Konvenor pun dipaksa berbagi “kekuasaan”-nya, ada konvenor perempuan dan konvenor lakilaki. Dengan model hampir structure-less semacam ini, setiap anggota bisa membentuk Pokja sesuai
dengan minatnya. Setiap anggota bisa menjadi pemimpin dari apa yang menjadi fokus perhatiannya.

Keempat, soal platform. Apabila sudah dijelaskan soal model kepemimpinan, struktur dan organisasi,
biasanya para aktivis kemudian menyergah, “Kalau begitu siapa pun bisa masuk dong?” Di mana kontrol
organisasinya? Di sinilah konsep “platform driven activities” bekerja. PHI memiliki nilai-nilai yang harus
dipenuhi dan ditaati oleh anggotanya. Yakni 6 (enam) Prinsip Hijau: Keadilan Sosial, Demokrasi AkarRumput, Keberlanjutan, Tanpa Kekerasan, Kearifan Ekologis dan Menghormati Perbedaan. Penjaga nilainilai ini adalah Majelis Kehormatan yang bekerja secara ad-hoc dan dipilih oleh anggota.

Kelima, soal pendanaan. Hampir semua calon anggota yang mau masuk ke PHI selalu bertanya,
bagaimana pendanaan kita? Siapa yang mendanai kerja-kerja partai? Pertanyaan ini sebenarnya
menunjukkan bagaimana budaya beriuran sebagai fundamental kerja masyarakat sipil belum terbentuk
dengan baik. Kerapkali, kita meremehkan iuran sebagai sumber utama pendanaan. Padahal, untuk
menjadi parpol yang mandiri dan benar-benar dimiliki oleh anggota hanya dapat ditunjukkan melalui

iuran. Melalui iuran, kita akan dipaksa untuk mengajak anggota lebih banyak. Melalui iuran, kita dapat
memeriksa sejauh mana sense of belonging anggota. Iuran menunjukkan kesetaraan anggota, baik hak
maupun kewajibannya.

Di luar kelima pertanyaan tersebut, sebenarnya salah satu faktor kunci ada pada pendekatan.
Pendekatan personal sangat efektif walaupun agak melelahkan dan dirasakan lamban. Namun, dari
pendekatan personal, melalui dialog yang saling mengisi, justru seringkali muncul solusi dan dukungan
yang mengejutkan.

Walau begitu, sejumlah penjelasan ini belum cukup meyakinkan pegiat masyarakat sipil untuk bergabung
dengan PHI. Padahal, kita sudah membuktikan diri dengan menunjukkan keterlibatan anggota berbagai
kelompok masyarakat sipil. Kita juga telah menunjukkan upaya yang sungguh-sungguh dengan
mengumpulkan 1.200-an KTP anggota pendiri dari 33 provinsi (tinggal satu provinsi lagi).

Penutup: Stop Prasangka!

Sebenarnya amat wajar jika penolakan didasarkan pada ketidaksesuaian laku-prinsip pribadi dengan PHI.
Tidak semua aktor gerakan masyarakat sipil menyukai dan familiar dengan perubahan radikal. Masih
banyak aktivis yang berbeda prinsip dengan PHI. Masih banyak aktivis yang meyakini praktik parpol yang
konvensional.


Tetapi, yang utama dari tulisan ini adalah berhentilah berprasangka bahwa masyarakat sipil tidak
memerlukan parpolnya sendiri. Berhentilah berprasangka bahwa masyarakat sipil tidak dapat
berkonsolidasi untuk membangun parpol. Berhentilah berprasangka bahwa Partai Hijau Indonesia adalah
partainya WALHI tok atau partainya tokoh-tokoh lingkungan.

Berhentilah meragukan keseriusan kita membela masyarakat sipil. Terlebih untuk Indonesia yang bersih.
Yang adil. Yang lestari.***

John Muhammad adalah Arsitek, Eksponen 98, Manchunian dan Sekretaris Jenderal PHI. Dian Abraham
adalah Aktivis Antinuklir, Liverpudlian dan Juru Bicara Nasional PHI untuk Energi Terbarukan.

Kepustakaan:
Borgias M., Fransiskus (n.d.), “Memperhitungkan Dimensi Ekologis dalam Politik,” Sinar Harapan.

Capra, Fritjof & Charlene Spretnak (1984), Green Politics (New York: E.P. Dutton Inc)

Hadar, Ivan A. (2012, 18 Juni), “Partai Hijau, Partai LSM”, Kompas)

Sarkar, Saral (1994), Green-Alternative Politics in West Germany: Volume II The Greens (Tokyo: United
Nations University Press).

Stone, Christopher D. (1972), Should Trees Have Standing? Toward Legal Rights for Natural Objects.

Catatan: untuk bergabung dengan PHI silakan mendaftarkan diri dan mengirimkan foto KTP anda ke
www.hijau.org atau [email protected]