Pandangan Orang Muda Katolik Paroki Sant

Revisi

PANDANGAN ORANG MUDA KATOLIK
PAROKI SANTO FRANSISKUS XAVERIUS DAYEUHKOLOT BANDUNG
TERHADAP PENGGUNAAN MANTILLA DALAM GEREJA KATOLIK

MAKALAH
Diajukan untuk memenuhi tugas mata kuliah Seminar Pendidikan Agama Katolik
yang diampu oleh Prof. Dr. Fransisca Sudargo, M.Pd.

Oleh
Fransisca Melia Manik
NIM. 1504650

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AKUNTANSI
FAKULTAS PENDIDIKAN EKONOMI DAN BISNIS
UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA
2018

KATA PENGANTAR


Ucapan syukur kepada Tuhan yang Mahakuasa berkat rahmat dan
karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “Pandangan
Orang Muda Katolik Paroki Dayeuhkolot Bandung terhadap Penggunaan Mantilla
dalam Gereja Katolik” dengan tepat waktu.
Penulis mengalami berbagai macam kesulitan dan hambatan dalam
penulisan makalah ini. Namun hal tersebut dapat diselesaikan berkat bantuan
moral maupun materi dari berbagai pihak. Penulis mengucapkan terima kasih
kepada semua pihak yang telah membantu penulisan makalah ini.
Penulis juga menyadari masih terdapat kekurangan dalam penulisan
makalah ini. Oleh karena itu, penulis mengharapkan saran dan kritik dari berbagai
pihak untuk perbaikan di waktu yang akan datang. Sekian dan terima kasih.

Bandung, 28 Februari 2018

Penulis

2

DAFTAR ISI


KATA PENGANTAR...........................................................................................................................ii
DAFTAR ISI........................................................................................................................................iii
BAB I
PENDAHULUAN................................................................................................................................1
A.

Latar Belakang...........................................................................................................................1

B.

Rumusan Masalah......................................................................................................................2

C.

Tujuan Penulisan.......................................................................................................................2

BAB II
PEMBAHASAN...................................................................................................................................2
A.


Sejarah Singkat Mantilla dalam Gereja Katolik.........................................................................2

B.

Pandangan Orang Muda Katolik Paroki Santo Fransiskus Xaverius Dayeuhkolot
Bandung terhadap Penggunaan Mantilla dalam Gereja Katolik................................................6

BAB III
PENUTUP..........................................................................................................................................10
Kesimpulan......................................................................................................................................10
DAFTAR PUSTAKA.........................................................................................................................12
LAMPIRAN.......................................................................................................................................13

3

Revisi
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Gereja Katolik mengenal kerudung Misa yang dikenakan saat seorang
perempuan berjumpa dengan Sakramen Maha Kudus. Kerudung Misa tersebut dapat
berbentuk syal, bandana besar, maupun mantilla. Salah satu kerudung Misa yang
paling sering digunakan adalah mantilla. Mantilla merupakan kerudung berbahan
brokat atau renda yang biasa dipakai oleh umat perempuan Katolik saat perayaan
Ekaristi atau upacara liturgi lain. Tradisi ini sudah begitu lama dilakukan di Gereja
Katolik, bahkan sudah ada sejak zaman Rasul Paulus. Pemakaian mantilla pernah
diwajibkan oleh Gereja Katolik. Namun setelah Konsili Vatikan II, Gereja Katolik
tidak lagi mewajibkan penggunaan mantilla, tetapi juga tidak melarang umat yang
ingin menggunakannya.
Mantilla merupakan salah satu kekayaan tradisi Gereja Katolik. Kini di
Indonesia mulai banyak umat mengenal dan mengenakan kembali mantilla. Selain
sebagai bagian dari tradisi, mantilla juga diterima sebagai bentuk devosi Ekaristi
pribadi. Hal ini nampaknya tidak lepas dari kebangkitan secara umum dari tradisi
Gereja yang sejati, seperti penggunaan bahasa Latin dan lagu-lagu Gregorian dalam
Misa Kudus, serta hadirnya Misa Latin Tradisional di Tanah Air. Fenomena ini
didukung pula dengan meningkatnya toko-toko online yang menjual mantilla di media
sosial. Informasi mengenai mantilla juga semakin banyak ditemukan melalui media
sosial seperti instagram, facebook, dan blogspot.
Orang Muda Katolik (OMK) merupakan harapan dan masa depan Gereja serta

masyarakat. OMK memiliki peran penting dalam mempertahankan keberlangsungan
Gereja, salah satunya dalam menjaga tradisi turun-temurun. Oleh karena itu, sudah
sepantasnya OMK berperan aktif dalam mempertahanka kekayaan tradisi Gereja
Katolik dalam hal apapun, salah satunya dalam penggunaan mantilla.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana sejarah singkat mantilla dalam Gereja Katolik?

2. Bagaimana pandangan Orang Muda Katolik Paroki Santo Fransiskus Xaverius
Dayeuhkolot Bandung terhadap penggunaan mantilla dalam Gereja Katolik?

C. Tujuan Penulisan
1. Untuk menjelaskan sejarah singkat mantilla dalam Gereja Katolik.
2. Untuk menjelaskan pandangan Orang Muda Katolik Paroki Santo Fransiskus
Xaverius Dayeuhkolot Bandung terhadap penggunaan mantilla dalam Gereja
Katolik.

2

BAB II

PANDANGAN ORANG MUDA KATOLIK
PAROKI SANTO FRANSISKUS XAVERIUS
DAYEUHKOLOT BANDUNG
TERHADAP PENGGUNAAN MANTILLA DALAM GEREJA KATOLIK

A. Sejarah Singkat Mantilla dalam Gereja Katolik
Selama 2.000 tahun, wanita Katolik telah berkerudung sebelum
memasuki gereja atau saat mereka berada di hadapan Sakramen
Mahakudus (misalnya, selama panggilan sakit). Hal tersebut ditulis pada
Kitab Hukum Kanonik tahun 1917, Kanon 1262, bahwa perempuan harus
menutupi kepala mereka. Tertulis demikian, “Mulieres autem, capite
cooperto et modeste vestitae, Maxime mensam ad cum Dominicam
accedunt”, yang artinya “Sekarang perempuan, kepala mereka harus
ditutupi dan menggunakan pakaian sederhana, terutama ketika mereka
mendekati meja yang kudus.”
Mantilla merupakan salah satu kerudung Misa berbahan brokat
atau renda yang sering digunakan oleh perempuan Katolik saat perayaan
Ekaristi atau upacara liturgi lain. Kata mantilla berasal dari bahasa Spanyol
yang berarti cadar atau kerudung. Penggunaan mantilla pernah diwajibkan
dalam Gereja Katolik. Namun seiring perkembangan zaman dan semangat

pembaruan Gereja, penggunaan mantilla tidak lagi menjadi suatu
kewajiban. Perubahan tersebut dilakukan setelah Konsili Vatikan II.
Peraturan mengenai kewajiban memakai kerudung dalam Misa ditiadakan
dalam Kitab Hukum Kanonik. Meskipun tidak ada kewajiban kanonik bagi
perempuan untuk mengenakan mantilla, namun Gereja tidak melarang
apabila terdapat umat yang ingin menggunakan mantilla dalam perayaan
Ekaristi.
Penggunaan mantilla awalnya adalah wujud kesederhanaan dan
rendah hati para perempuan pada saat beribadah, seperti yang dikatakan

Santo Paulus dalam 1 Timotius 2:9, “Demikian juga hendaknya
perempuan. Hendaklah ia berdandan dengan pantas, dengan sopan dan
sederhana, rambutnya jangan berkepang-kepang, jangan memakai emas
atau mutiara ataupun pakaian yang mahal-mahal.”
Alasan utama penggunaan mantilla bagi perempuan pada zaman
dahulu didasarkan pada Kitab Rasul Paulus dalam 1 Korintus 11:2-16.
“4Tiap-tiap laki-laki yang berdoa atau bernubuat dengan kepala
yang bertudung, menghina kepalanya. 5Tetapi tiap-tiap perempuan
yang berdoa atau bernubuat dengan kepala yang tidak bertudung,
menghina kepalanya, sebab ia sama dengan perempuan yang

dicukur rambutnya. 6Sebab jika perempuan tidak mau menudungi
kepalanya, maka haruslah ia juga menggunting rambutnya. Tetapi
jika bagi perempuan adalah penghinaan, bahwa rambutnya
digunting atau dicukur, maka haruslah ia menudungi kepalanya.
7
Sebab laki-laki tidak perlu menudungi kepalanya: ia menyinarkan
gambaran dan kemuliaan Allah. Tetapi perempuan menyinarkan
kemuliaan laki-laki. 8Sebab laki-laki tidak berasal dari perempuan,
tetapi perempuan berasal dari laki-laki. 9Dan laki-laki tidak
diciptakan karena perempuan, tetapi perempuan diciptakan karena
laki-laki. 10Sebab itu, perempuan harus memakai tanda wibawa di
kepalanya oleh karena para malaikat.”
Dalam perikop tersebut dijelaskan bahwa dalam hal berdoa dan
upacara liturgi, umat hendaknya berpakaian sesuai dengan budaya yang
baik dan berlaku pada masa itu, dimana perempuan hendaknya
menggunakan tudung kepala sebagai tanda ketaatan kepada Sang Kepala,
yakni Kristus. Budaya pemakaian tudung bagi perempuan pada masa itu
adalah tanda ketaatannya kepada suaminya dan ayahnya jika belum
bersuami. Surat Rasul Paulus ini dilatarbelakangi pertikaian umat di
Korintus tentang penentuan pakaian umat dalam upacara liturgi. Rasul

Paulus mengkritik pertengkaran itu dengan nasihat secara kultural, yaitu
melalui budaya setempat yakni kebiasaan menggunakan kerudung bagi
perempuan. Sehingga ajarannya dapat diterima dan dicerna bagi mereka.
Banyak masalah yang terjadi di antara jemaat Korintus yang muncul
karena sikap kurang peduli terhadap hal-hal fisik dan kelakuan baik. Rasul
Paulus juga menganjurkan kepada laki-laki dan perempuan untuk
berpakaian

yang

pantas

dalam

perayaan

mempersembahkan diri yang layak kepada Allah.

liturgi


agar

dapat

Seiring perkembangan zaman, Magisterium Gereja Katolik,
melalui pernyataan CDF (Kongregasi Doktrin Iman) yang berjudul Inter
Insigniores, pada tanggal 15 Oktober 1976, antara lain menyatakan bahwa
ketentuan pemakaian kerudung pada wanita dalam ibadah tidak lagi
menjadi ketentuan normative. Dokumen tersebut menyatakan demikian:
“Another objection is based upon the transitory character that one
claims to see today in some of the prescriptions of Saint Paul
concerning women, and upon the difficulties that some aspects of
his teaching raise in this regard. But it must be noted that these
ordinances, probably inspired by the customs of the period,
concern scarcely more than disciplinary practices of minor
importance, such as the obligation imposed upon women to wear a
veil on their head (1 Cor 11:2-16); such requirements no longer
have a normative value….“
Umat Katolik berpegang kepada ketentuan dari Magisterium
Gereja dalam menginterpretasikan teks Kitab Suci dan tulisan Bapa

Gereja. Para Bapa Gereja dapat saja menuliskan sesuatu ajaran ataupun
penjelasan akan teks Kitab Suci, namun pada akhirnya interpretasi yang
benar ditentukan oleh Magisterium Gereja yang telah diberi kuasa
mengajar oleh Kristus sendirI dan oleh karena itu dijamin kebenarannya.
Dengan cara inilah Gereja memperoleh pengertian yang benar dan
kontekstual terhadap suatu ajaran dalam Kitab Suci.
Maka hal cara berpakaian pada masa Rasul Paulus (pria
menggunakan peci bundar dan wanita menggunakan tudung) pada
dasarnya adalah penerapan cara berpakaian yang sopan sesuai dengan
tradisi atau kebiasaan saat itu. Hanya Magiterium yang berkompeten untuk
menentukan kebiasaan-kebiasaan mana yang dapat dilaksanakan dengan
sah dan yang dapat ditinggalkan. Kita akan selalu aman pada saat
mengikuti ajaran Gereja daripada menuruti pertimbangan sendiri.

Stefanus dan Ingrid dalam katolisitas.org (2017) menyatakan
beberapa alasan yang memungkinkan perubahan peraturan penggunaan
mantilla sebagai berikut:
1. Hilangnya makna penting dalam mantilla

Tanda-tanda adalah kekhususan suatu budaya. Cara
berpakaian dianggap sebagai ekspresi dalam menyampaikan
arti yang dipahami oleh orang-orang pada budaya tertentu.
Ketika budaya tidak lagi melihat pentingnya suatu tanda
tertentu, maka tanda tersebut kehilangan makna, kecuali
bagi mereka yang tetap mempertahankan pemahaman
tersebut.

Gereja

harus

mengajarkan

makna

tanda

sacramental. Maka ketika pemakaian tudung itu sudah
kehilangan makna, hal itu tidak bisa dipraktikkan lagi.
2. Konflik arti
Meskipun suatu tanda memiliki arti yang tetap berlaku,
namun dapat memberikan arti yang menjadi penghalang
bagi orang-orang pada budaya tertentu. dalam kasus
penutup kepala ini, walau artinya tetap valid, namun dapat
dengan mudah disalah artikan ketundukan semena-mena
sang istri kepada suaminya, atau bahkan semua wanita
kepada semua pria. Dalam dunia modern, di mana
persamaan martabat antara pria dan wanita sebagai pribadipribadi yang setara ditekankan, maka alasan ini merupakan
alasan yang perlu dipertimbangkan.
3. Teologi liturgis
Salah satu dari antara kebenenaran-kebenaran doktrin yang
dinyatakan dalam Misa adalah kodrat hirarki Gereja. Gereja
sebagai Tubuh Mistik Kristus terdiri dari Kristus Sang
Kepala dan mereka yang telah dibaptis dalam Kristus
sebagai anggota-anggota-Nya. Perbedaan tingkatan yang
terlihat di dalam liturgi, antara imamat jabatan dan imamat
bersama (pada umat) adalah tanda sacramental dari Kristus
Sang Kepala dan anggota-anggota-Nya. Dalam liturgi dan
keteraturan sacramental, kecuali bahwa mereka yang
mewakili atau menghadirkan Kristus Sang Kepala harus
laki-laki, pembedaan antara jenis kelamin tidaklah penting.

Di dalam Pembaptisan “tidak ada laki-laki atau perempuan”
(lih. Galatia 3:28). Oleh karena itu, dalam kehidupan Gereja
tidak mensyaratkan pembedaan jenis kelamin, artinya lakilaki dan perempuan dapat berpartisipasi setara dalam Gereja
sebagai orang-orang yang sudah dibaptis.

B. Pandangan Orang Muda Katolik Paroki Santo Fransiskus Xaverius
Dayeuhkolot Bandung terhadap Penggunaan Mantilla dalam Gereja
Katolik
Orang Muda Katolik Paroki (OMK) Santo Fransiskus Xaverius
Dayeuhkolot Bandung merupakan seluruh kaum muda beragama Katolik
yang berdomisili di wilayah Dayeuhkolot dan berusia 13-35 tahun. OMK
Santo Fransiskus Xaverius Dayeuhkolot Bandung (selanjutnya akan
disebut OMK Dayeuhkolot) sering mengadakan kegiatan-kegiatan untuk
menumbuhkan persaudaraan dan iman dalam Kristus. OMK Dayeuhkolot
juga menunjukkan kekompakkan dalam menggunakan mantilla di
beberapa kegiatan. Hal ini terlihat dalam akun media sosial instagram
mereka. OMK Dayeuhkolot berusaha menjaga tradisi Gereja Katolik
dalam hal penggunaan mantilla. Tentunya setiap individu dalam OMK
Dayeuhkolot memiliki pandangan mengenai penggunaan mantilla dalam
Gereja Katolik.
Penulis telah melakukan wawancara kepada lima orang narasumber
yang merupakan anggota OMK Dayeuhkolot untuk mengetahui pandangan
mereka terhadap penggunaan mantilla dalam Gereja Katolik. Berdasarkan
hasil wawancara dengan para narasumber, maka diperoleh informasi
sebagai berikut.
Semua narasumber telah mengetahui mantilla sejak beberapa tahun
yang lalu. Sebagian besar narasumber mengetahui mantilla dari temanteman OMK Dayeuholot. Artinya, sebagian besar anggota OMK
Dayeuhkolot telah mengenal mantilla lebih dahulu dan kemudian

memperkenalkan mantilla kepada anggota-anggota baru. Sedangkan dua
narasumber mencari tahu informasi mengenai mantilla sendiri, yaitu
bertanya kepada keluarga dan mempelajari katekese.
Empat dari lima narasumber pernah mengenakan mantilla dalam
perayaan Ekaristi, bahkan salah satunya selalu mengenakan mantilla dalam
perayaan Ekaristi. Bagi narasumber yang mengenakan mantilla, mereka
termotivasi karena mantilla mampu mempengaruhi diri mereka untuk bisa
lebih fokus, khusyuk, dan mengarahkan diri sepenuh hati dalam mengikuti
perayaan Ekaristi. Ketika mengenakan mantilla, mereka

merasa tidak

mudah tergoda untuk bermain gadget dan mengobrol saat Misa
berlangsung. Penggunaan mantilla juga mampu menumbuhkan iman
mereka kepada Kristus. Sedangkan bagi narasumber yang belum pernah
mengenakan mantilla, baginya penggunaan mantilla tidak diwajibkan dan
tidak akan mempengaruhi imannya.
Semua narasumber mengetahui sejarah singkat tentang mantilla.
Semua narasumber mengetahui bahwa mantilla adalah kerudung kepala
yang digunakan oleh perempuan Katolik pada saat menigkuti perayaan
Ekaristi dan pada zaman dahulu diwajibkan oleh Gereja Katolik. Setelah
Konsili Vatikan II terjadi perubahan bahwa mantilla sudah tidak
diwajibkan lagi. Narasumber juga mengetahui bahwa penggunaan mantilla
berasal dari kebudayaan pada zaman dahulu, dimana perempuan harus
menutupi kepalanya dengan tudung atau kerudung.
Masing-masing narasumber memiliki pendapat berbeda mengenai
simbol dalam mantilla. Bagi para narasumber, mantilla merupakan simbol
dari kesederhanaan, kerendahan hati, kesucian, kesiapan hati untuk
bertemu dengan Allah, ketaatan kepada Allah, dan kebudayaan yang masih
dipegang hingga saat ini.
Sebagian besar narasumber menilai penggunaan mantilla dalam
Gereja Katolik sangat baik. Lebih baik lagi apabila pada zaman sekarang

mantilla diperkenalkan kembali kepada umat terutama Orang Muda
Katolik karena mantilla adalah kekayaan tradisi Gereja Katolik yang perlu
diketahui, dijaga, dan dilestarikan. Pengetahuan tentang mantilla perlu
disampaikan melalui katekese yang mudah dijangkau OMK, misalnya
media sosial. Hal ini diperlukan agar OMK sungguh mengetahui seluk
beluk tentang mantilla. Namun tidak ada satupun narasumber yang
berpendapat bahwa mantilla perlu diwajibkan kembali. Penggunaan
mantilla merupakan hak bebas masing-masing individu sesuai dengan
keinginan dan kesiapan hatinya.
Hampir semua narasumber berpendapat bahwa penggunaan
mantilla tidak boleh menjadi sebuah tren mode belaka. Sebab penggunaan
mantilla harus dihayati sebagai sebuah lambang ketaatan dan kesiapan hati
kita untuk mempersembahkan diri kepada Sakramen Mahakudus. Orang
yang mengenakan mantilla seharusnya menjadi cerminan diri bahwa ia
telah siap menjadi pengantin Allah. Namun salah satu narasumber
berpendapat bahwa bisa jadi penggunaan mantilla ini akan menjadi sebuah
tren mode. Narasumber merasa bahwa penggunaan mantilla dapat
dipengaruhi

oleh

keinginan

untuk

mengikuti

tren

yang

sedang

berkembang. Selain itu merupakan akibat ‘sindiran’ dari umat non-Katolik
mengenai kewajiban berkerudung yang tercantum dalam Surat Rasul
Paulus.
Hampir semua narasumber setuju dengan ayat 1 Korintus 11:5-6
dan menyatakan bahwa ayat tersebut merupakan ajaran bagi perempuan
Katolik untuk menutupi kepala dengan kerudung, khususnya yang terjadi
pada zaman Rasul Paulus. Narasumber menyatakan bahwa apabila kita
melaksanakan ajaran tersebut, artinya kita telah mewartakan kuasa Allah.
Selain itu, narasumber juga berpendapat bahwa apabila seorang
perempuan merasa belum siap untuk mengenakan mantilla, maka
setidaknya ia harus berpakaian rapi dan sopan ketika mengikuti perayaan
Ekaristi. Di samping itu, salah satu narasumber menyatakan bahwa tidak

setuju dengan ayat tersebut. Narasumber berpendapat bahwa penggunaan
mantilla yang dikatakan wajib oleh Rasul Paulus hanyalah suatu
kebudayaan masyarakat Yahudi pada zaman dahulu. Apabila kewajiban
tersebut diterapkan di Indonesia, maka akan menimbulkan pro dan kontra.
Sehingga lebih baik tidak ada aturan untuk mewajibkan penggunaan
kerudung Misa dalam Gereja Katolik.

BAB III
PENUTUP

Kesimpulan
Mantilla merupakan salah satu kerudung Misa berbahan brokat
atau renda yang sering digunakan oleh perempuan Katolik saat perayaan
Ekaristi atau upacara liturgi lain. Penggunaan mantilla pernah diwajibkan
dalam Kitab Hukum Kanonik (KHK) 1262. Namun seiring perkembangan
zaman dan semangat pembaruan Gereja, penggunaan mantilla tidak lagi
menjadi suatu kewajiban. Perubahan tersebut dilakukan setelah Konsili
Vatikan II. Peraturan mengenai kewajiban memakai kerudung dalam Misa
ditiadakan dalam Kitab Hukum Kanonik. Meskipun tidak ada kewajiban
kanonik bagi perempuan untuk mengenakan mantilla, namun Gereja tidak
melarang apabila terdapat umat yang ingin menggunakan mantilla dalam
perayaan Ekaristi.
Orang Muda Katolik (OMK) sebagai generasi masa depan Gereja
memiliki peran penting dalam menjaga kekayaan tradisi Gereja Katolik,
salah satunya dalam penggunaan mantilla. OMK Dayeuhkolot memiliki
pandangan dan penilaian mengenai penggunaan mantilla. Penggunaan
mantilla adalah suatu kebudayaan dari zaman Rasul Paulus yang masih
dilakukan hingga saat ini. Mantilla merupakan simbol dari kesederhanaan,
kerendahan hati, kesucian, kesiapan hati untuk bertemu dengan Allah,
ketaatan kepada Allah, dan kebudayaan yang masih dipegang hingga saat
ini. Penggunaan mantilla dianggap baik karena merupakan salah satu
bentuk usaha untuk menjaga tradisi Gereja Katolik. Penggunaan mantilla
juga dipengaruhi oleh kesiapan hati masing-masing individu, tidak dapat
dipaksakan. Penggunaan mantilla dipandang bukan sebagai tren mode
belaka, melainkan sungguh-sungguh merupakan penghayatan umat
terhadap simbol ketaatan Allah. Ayat Kitab Suci 1 Korintus 11:5-6
merupakan ajaran bagi perempuan Katolik untuk menutupi kepala dengan

kerudung, khususnya yang terjadi pada zaman Rasul Paulus. Melakukan
ajaran Kitab Suci merupakan bentuk pewartaan kuasa Allah. Meskipun
begitu, masih terdapat kontra terhadap penggunaan mantilla. Hal ini
dianggap sebagai kebudayaan lama yang masih diikuti hingga saat ini.

DAFTAR PUSTAKA

Klemens, Saverinus. (2011). Mengapa Wanita Sebaiknya Menggunakan
Kerudung
Misa
di
Kepalanya?.
Diakses
dari:
http://www.indonesianpapist.com/2011/07/mengapa-wanita-sebaiknyamenggunakan.html.
Prayogo, Y. (2017). Apakah Maksud dan Tujuan Pemakaian Mantilla
Sebenarnya?.
Diakses
dari:
http://majalah.hidupkatolik.com/2017/08/18/6670/apakah-maksud-dantujuan-pemakaian-mantilla-sebenarnya/.
Stefanus dan Ingrid. (2017). Wanita Harus Memakai Tutup Kepala Saat Ibadah?
(1 Kor 11:3-15). Diakses dari: http://www.katolisitas.org/wanita-harusmemakai-tutup-kepala-saat-ibadah-1-kor-113-15/.
Tucciarone,
Tracy.
(Tanpa
Tahun).
https://www.fisheaters.com/theveil.html.

The

Veil.

Diakses

dari:

LAMPIRAN

Lampiran 1 : Pedoman Wawancara
Tujuan

: Mengumpulkan informasi mengenai pandangan Orang Muda
Katolik Santo Fransiskus Xaverius Dayeuhkolot Bandung terhadap
penggunaan mantilla dalam Gereja Katolik

Pertanyaan :
1. Bagaimana saudara/saudari mengetahui mantilla?
2. Apakah saudara/saudari selalu mengenakan mantilla dalam perayaan
Ekaristi?
3. Apa yang memotivasi saudara/saudari untuk mengenakan mantilla?
4. Apa yang saudara/saudari ketahui tentang sejarah mantilla dalam Gereja
Katolik?
5. Menurut saudara/saudari, mantilla itu simbol apa?
6. Bagaimana pandangan saudara/saudari tentang umat Katolik (dewasa maupun
OMK) yang mengenakan mantilla?
7. Menurut saudara/saudari, apakah penggunaan mantilla bisa menjadi sekedar
tren mode belaka?
8. Bagaimana pandangan saudara/saudari terhadap ayat Alkitab 1 Korintus 11:56?

Narasumber : Santi Hot Simanjorang (27 tahun)
Saya telah mengenal mantilla sejak tahun 2015 melalui pembelajaran
katekese yang saya lakukan. Saya selalu mengenakan mantilla dalam perayaan
Ekaristi. Saya termotivasi menggunakan mantilla karena merasa bahwa mantilla
membantu diri saya untuk mendisiplinkan tubuh dalam perayaan Ekaristi.
Mantilla mampu mempengaruhi diri sendiri untuk berpakaian pantas dan layak
saat menghadap Sakramen Mahakudus. Penggunaan mantilla juga mendorong
saya untuk tidak mudah tergoda bermain gadget dan mengobrol dengan teman
saat Misa.

Saya tahu bahwa pada zaman dahulu wanita Katolik perlu berkerudung,
terutama pada saat perayaan Sakramen. Hal itu dikarenakan demi menghormati
para malaikat surgawi yang turut hadir bersama umat. Mantilla merupakan simbol
kesederhanaan dan kerendahan hati. Umat Katolik yang menggunakan mantilla
sangat baik dalam menjaga tradisi Gereja Katolik. Memang sudah seharusnya kita
menjaga tradisi ini, tidak dihilangkan begitu saja, meskipun Gereja Katolik tidak
mewajibkan lagi. Pemakaian mantilla tidak bisa menjadi sekedar tren mode
belaka. Sebab mantilla harus menjadi lambang fisik dari pakaian pesta rohani
yang bersih. Saya setuju dengan ayat Alkitab tersebut sebab sesuai dengan
lambang mantilla yang telah disampaikan. Menggunakan mantilla sama saja
dengan mewartakan kuasa Allah atas seluruh ciptaannya dan kita harus tunduk
kepada-Nya.

Narasumber : Agnes Pricilla (21 tahun)
Saya telah mengetahui mantilla sejak tahun 2015. Saya pernah melihat
beberapa perempuan Katolik menggunakan mantilla pada saat Misa, kemudian
mencari tahu nama kerudung tersebut kepada keluarga saya. Saya tidak pernah
mengenakan mantilla dan belum memiliki keinginan untuk mengenakan mantilla
karena hal itu bukan sesuatu yang wajib dan tidak akan mempengaruhi iman
saya. Saya hanya tau sedikit sejarah tentang mantilla. Saya hanya mengetahui
bahwa tudung kepala tersebut termasuk kebudayaan orang Yahudi pada zaman
dahulu, lalu menjadi kebiasaan atau budaya ketika berdoa. Maaf jika saya salah.
Bagi saya mantilla sebatas kebudayaan yang kebetulan digunakan sampai saat ini.
Tidak lebih dari itu karena yang saya tahu penggunaan mantilla berasal dari suatu
budaya. Saya juga memandang bahwa penggunaan mantilla tidak dilarang dan
tidak diwajibkan, sehingga tidak ada sesuatu yang spesial dari penggunaan
mantilla yang mulai marak saat ini.
Bisa jadi mantilla ini hanya sebuah tren mode. Dulu saya hanya melihat
segelintir orang menggunakan mantilla. Namun sejak banyaknya umat non-

Katolik menyindir bahwa di Alkitab tertulis bahwa Rasul Paulus mewajibkan
umat Katolik menggunakan kerudung kepala, saya memperhatikan semakin
banyak orang menggunakan mantilla pada peraayaan Ekaristi ataupun sekedar
berdoa di dalam gereja, misalnya di depan patung Bunda Maria ataupun Yesus.
Saya merasa bahwa orang hanya mengikuti tren yang sedang berkembang saja.
Itulah yang saya perhatikan dan saya berharap itu hanya perasaan saya saja.
Semoga mereka yang mengenakan mantilla itu memang termotivasi dari hatinya.
Meskipun di ayat tersebut disebutkan wajib, tapi menurut saya tidak. Rasul Paulus
dinilai sebagai seseorang yang gak kolot. Menurut Rasul Paulus, kerudung kepala
itu wajib dan bagian dari iman. Gereja sendiri kemudian menilai bahwa
penggunaan kerudung kepala itu sebatas kebudayaan orang-orang Yahudi pada
zaman dahulu. Sehingga apabila kerudung tersebut diwajibkan di negara-negara
yang tidak mengenal budaya menutup kepala dengan kerudung, contohnya
Indonesia, maka hal tersebut akan menimbulkan pro dan kontra. Bukan berarti
tidak boleh, tentu hal itu boleh dilakukan. Sama halnya dengan seseorang
menggunakan kalung salib. Hal tersebut tidak mempengaruhi iman atau
konsentrasi kita dalam berdoa, hanya sebagai sebuah identitas.

Narasumber : Elly Romito Dwi Putri Sitanggang (17 tahun)
Saya telah mengetahui mantilla sejak beberapa tahun yang lalu, saya lupa
persisnya. Saya mengenal mantilla dari teman-teman OMK Dayeuhkolot. Saya
tidak selalu menggunakan mantilla dalam perayaan Ekaristi, hal itu tergantung
pada kesiapan hati saya dan pakaian yang dikenakan. Saya masih belajar
beradaptasi dan belum terbiasa untuk selalu mengenakan mantilla dalam perayaan
Ekaristi. Tapi saya berharap bisa mengenakan mantilla setiap Misa. Saya
termotivasi untuk mengenakan mantilla karena ingin lebih berkembang. Tidak
hanya dalam kegiatan akademik dan prestasi, namun juga berkembang dalam
iman Kristus.

Saya tahu kalau mantilla adalah tudung atau kerudung yang biasa dipakai
oleh perempuan Katolik saat perayaan Ekaristi ataupun liturgi lain. Tradisi
mengenakan mantilla sudah berlangsung lama. Pemakaian mantilla itu pernah
diwajibkan, namun setelah Konsili Vatikan II tidak diwajibkan lagi. Menurut saya,
mantilla merupakan simbol kesucian dan kesiapan hati kita untuk bertemu dan
melayani Allah. Melihat umat khususnya OMK mengenakan mantilla, membuat
saya semakin tersanjung dan memotivasi dirinya untuk lebih siap dalam
mengenakan mantilla dalam setiap perayaan Ekaristi. Menurut saya, mantilla
bukanlah sekedar tren mode belaka dan jangan sampai terjadi. Orang yang
mengenakan mantilla seharusnya menunjukkan bahwa ia siap menjadi pengantinNya dan menunjukkan bahwa ia adalah seorang Katolik. Dari ayat tersebut,
menurut saya memang seharusnya perempuan Katolik menutupi kepalanya
dengan tudung pada saat perayaan Ekaristi. Namun jika memang hatinya tidak
tergerak untuk memakai tudung maka setidaknya mengenakan pakaian yang rapi
dan sopan, terutama pada saat perayaan Ekaristi.

Narasumber : Dea Sulastri (19 tahun)
Saya telah mengenal mantilla sejak tahun 2017. OMK Dayeuhkolot yang
memperkenalkannya kepada saya. Saya tidak selalu mengenakan mantilla dalam
perayaan Ekaristi, hanya sesekali saja. Saya termotivasi mengenakan mantilla
karena ingin menunjukkan rasa hormat dan rendah diri selama mengikuti
perayaan Ekaristi. Saya tahu bahwa mantilla adalah sebuah kerudung putih yang
dulu wajib dipakai oleh para wanita saat mengikuti perayaan Ekaristi. Mantilla
merupakan wujud dari kesederhaan atau rendah diri dan merupakan tradisi lama
sejak zaman Rasul Paulus.
Bagi saya, mantilla adalah simbol ketaaan kita terhadap Allah. Meskipun
ketaatan tidak hanya diukur dengan penggunaan mantilla, namun dengan
mengenakan mantilla saya merasa lebih mampu mempersiapkan hati untuk
mempersembahkan diri kepada Allah, terutama dalam perayaan Ekaristi. Umat

Katolik yang mengenakan mantilla artinya menerapkan kembali tradisi lama
Gereja Katolik. Penggunaan mantilla bagus untuk ditanamkan kembali. Bunda
Maria saja memberikan contoh kepada kita untuk mengenakan kerudung putih.
Mantilla tidak dapat dikatakan sebuah tren mode belaka, sebab pada hakikatnya
mantilla digunakan karena kesiapan hati dan untuk menunjukkan kerendahan diri
kita kepada Allah. Melalui ayat tersebut dapat dikatakan bahwa rambut wanita
adalah mahkota. Maka dari itu rambut harus ditutupi sebagai tanda ketataan dan
penghormatan kepada Kristus.

Narasumber : Melisa Juita Nainggolan (16 tahun)
Saya telah mengetahui mantilla sejak tahun 2015 melalui media sosial.
Namun saya belum mengenal mantilla lebih dalam. Kemudian saya bergabung
dengan OMK Dayeuhkolot dan diperkenalkan dengan mantilla lebih dalam. Saya
kadang-kadang mengenakan mantilla pada saat perayaan Ekaristi. Motivasi awal
menggunakan mantilla berasal dari ajakan teman-teman OMK. Kemudian lamakelamaan motivasi mengenakan mantilla muncul dari dalam diri saya sendiri. Saat
mengenakan mantilla, saya merasa lebih fokus dalam mengikuti perayaan Ekaristi
dan mampu mengarahkan hati serta pikiran untuk betemu dengan Tuhan.
Saya tahu dahulu mantilla wajib digunakan oleh wanita pada saat perayaan
Ekaristi. Namun setelah Konsili Vatikan II wanita yang mengikuti perayaan
Ekaristi tidak lagi diwajibkan menggunakan mantilla, namun tidak juga dilarang.
Bagi saya, mantilla merupakan simbol bahwa kita sebagai perempuan memiliki
kepala yang disimbolkan sebagai mantilla dan perlu memfokuskan diri pada
tujuan yaitu mengikuti perayaan Ekaristi untuk bertemu dengan-Nya. Saya
melihat bahwa penggunaan mantilla adalah hal baru yang harus dicoba karena
OMK zaman sekarang terlihat kurang fokus pada perayaan Ekaristi, seperti
menggunakan gadget atau mengobrol. Otomatis tergerak untuk fokus bertemu
dengan Maha Pencipta. Penggunaan mantilla mampu membangun rasa kerinduan
pada saat perayaan Ekaristi. Menurut saya penggunaan mantilla tidak boleh

dijadikan suatu tren mode. Fungsi penggunaannya harus tetap pada hakikatnya
dan dilakukan karena kesiapan hati. Menggunakan mantilla sebaiknya karena
menghayati makna penggunaan tersebut, bukan karena ikut-ikutan atau mengikuti
tren saja. Ayat tersebut baik karena mengajarkan penggunaan mantilla pada zaman
dahulu.