PERKEMBANGAN GAGASAN TENTANG PERGAULAN P

PERKEMBANGAN GAGASAN TENTANG PERGAULAN
PRIYAYI DALAM NOVEL AWAL SASTRA JAWA
MODERN
OfehDarni

Kupasan mengenai priyayi dalam sastra Jawa modern diawali oleh George Quinn
melalui disertasinya yang berjudul The Novel in Javanese (1992). Quinn antara lain
mengemukakan bahwa novel-novel Jawa pada awal pertnmbuhannya menyuarakan
ideologi priyayi. Novel yang dibicarakan Quinn tersebut banyak sekali, mulai
kemuncul-annya sampai tahun 1980-an. Penelitiah Quinn tersebut dapat dijadikan
landasan bagi penelitian lebih lanjut, dengan mempersempit cakupan bahannya dan
memperdalam kajiannya.
Pembicaraan tersebut disusul oleh Sapardi Djoko Damono juga dalam disertasi
dengan judul Novel Jawa Tahun 1950-an: Telaah Fungsi, Isi, dan Struktur. Disertasi tersebut
selanjutnya diterbitkan oleh Pusat Bahasa (1993). Penelitian tersebut merupakan tindak
lanjut atau bentuk pengembangan penelitian Quinn. Dapat dilihat dari judulnya,
penelitian Sapardi Djoko Damono ini cakupan bahannya lebih sempil. Karena itu,
kajiannya juga lebih mendalam. Berkaitan dengan pembicaraan tentang priyayi, antara
lain diungkapkan bahwa nilai-nilai dan gayahidup priyayi masih dipcrtahankan oleh
tokoh-tokoh novel tahun 1950-an, bahkan sudah disebarkan kepada wong citik, rakyat
jelata.

Ada pula pembicaraan mengenai priyayi dalam bentuk makalah yang kemudjan
disunting oleh Poer Adhi Prawoto dan diterbitkan bersama artikel-ariikeJ yang lain
dengan judul Keterlibatan Sosial Sastra Jawa Modern (1991). Makalah tersebut berjudul Sastra
Priyayi sebagai Sebuah Jenis Sastra Jawa karya Kuntowijoyo.
Tulisan-tulisan tentang priyayi yang ditunjuk dalam tulisan ini terbatas pada bukubuku yang sudah tcrbit. Tentu saja, masih ada tulisan yang berbentuk skripsi dan
makalah yang tidak diterbitkan yang tidak dapat disebut di sini.
Penelitian keduatokoh di atas mendorong penulis untuk mengadakan penelitian
lebih lanjut, khususnya mengenai priyayi pada novel-novel yang terbit lebih awal.
Yang dimaksudkan dengan novel awal dalam tulisan ini yaitu novel-novel yang
muncul pada awal periode sastra Jawa modern. Menurut pendapat para pakar sastra
Jawa

1

PERKEMBANGAN PERGAULAN PRIYAYI DALAM SASTRA JA WA MODERN

sepeti Prof. Dr. Suripan Sadi Hutomo (1975:55) dan J. J. Rass (1979:10-13),
rnunculnya novel Jawa modem ditandai oleh rnunculnya SeratRiyanta (1920)karangan R.
B. Sulardi.
Tidak semua novel yang muncul pada awal periode sastra Jawa modern

dibicarakan dalam tulisan ini. Pembicaraan akan dibatasi pada tiga novel, yaitu Serat
Riyanta, Kirti Njunjung Drajat, dan Ngukmdara. Dasar pemiliban ketiga novel tersebul ialah
bahwa ada sesuatu yang mengikat ketiga novel tersebul, yaitu perkembangan.
Perkembangan apa dan bagaimana perkembangan itu merupakan pertanyaan yang
menuntut jawaban dan akan dijelaskan melalui tulisan ini.
Ketiga novel tersebut akan didekati melalui pendekatan sosiologi sastra,
pendekatan yang mempertimbangkan segi-segi kemasyarakatan (Damono, 1979:5).
Swingewood (1972:13-22) mengelompokkan telaah sosiologi sastra menjadi dua.
Telaah pertama menekankan aspek dokumenter sastra, yang menyatakan bahwa sastra
mencerminkan norma-norma dan nilai-nilai. Telaah kedua bergeser dari penekanan
pada karya sastra itu sendiri kepada segi produksi dan khususnya pada situasi sosial
penulis. Dari kedua pendekatan tersebul pendekatan pertamalah yang akan digunakan.
Cara kerja yang digu-nakan ialah cara kerja yang memandang teks sastra sebagai teks
utama atau bah an telaah. Sedangkan analisis teks sastra dalam rangkaanalisis
sosiologis dalam tulisan iniperhatian utama akan ditujukan kepada tokoh, latar, dan
alur. Adapun konsep-konsep yang digunakan adalah konsep-konsep yang dikemukakan
oleh Norman Friedman (1975:63-65).

2. Pembahasan
Ada tiga gagasan yang berkaitan dengan priyayi yang menonjol dalam tiga novel

awal sastra Jawa modern yang akan dibicarakan ini, yaitu gagasan tentang pergaulan,
pekerjaan, dan perkawinan.
Dalam tulisan ini akan dibahas satu di antara ketiga gagasan tersebut, yaitu
gagasan tentang pergaulan. Sebelum menginjak analisis, lebih dahulu akan disajikan
fakta sosial mengenai pergaulan khususnya pergaulan priyayi dalam masyarakat Jawa
yang dapat memberikan arah terhadap analisis yang akan dilakukan.
2.1. Pergaulan dalam Masyarakat Jawa
Sebelum menginjak pembicaraan tentang pergaulan priyayi, lebih dahulu akan
diberikan penjelasan sedikit tentang siapakah priyayi dan bagaimanakah
kedudukan priyayi dalam masyarakat Jawa.
Masyarakat Jawa mengenai dua tingkatan, yaitu priyayi dan rakyat jelata.
Kelompok

2

PRASASTf 'NO. 29' TAHUN Vft 'JANUAR11998

pettama, priyayi, merupakan elit yang berkedudukan di atas rakyat jelata (van
Niel, 19^4:30). Selaku kelompok yang berkedudukan di atas, priyayi bertugas
memimpin, memberikan pengaruh, dan menjadi anutan bagi kelompok rakyat

jelata yang terdiri atas para petani, pedagang, tukang, buruh, dan yang lain.
Dahulu, pada zaman kolonial Bel and a, priyayi itu mereka yang bekerja sebagai
pegawai di kantor-kantor pemerintah, seperti k an tor kabupaten, kawedanan,
kecamatan, pengadilah, dan para guru seltofah (Kartodirdjo, 1993:10-11). Menurut
Geertz, priyayi yang menduduki jabatan penting seperti bupati diambil dari kerabat
raja-raja di Jawa dan disebut priyayi atas. Sedangkan mereka yang berasal bukan
dari kerabat raja disebut priyayi rendah dan tidak dapat menduduki jabatan penting.
Di lingkungan kerajaan, Surakarta dan Yogyakarta, terdapat priyayi luhur dan priyayi
cilik. Yang disebut pertama ialah para kerabat raja, sedangkan yang kedua ialah para
pegawai yang mengabdi kepada raja (Kartodirdjo, 1993:11).
Priyayi memiliki sifat-sifat kepriyayian sebagai ciri khas kelompoknya, yang juga
dicita-citakan oleh kelompok kelas di bawahnya. Sifat-sifat kepriyayian yang
merupakan pancaran kebudayaan keraton, yang melekat dalam diri seorang priyayi
menurut Sapardi Djoko Damono (1993:205) antara lain ialah tindak-tanduk dan
penggunaan bahasa yang halus, sikap men ah an diri, rendah hati, berbudi luhur,
selalu menjaga harga dan kesucian diri, suka berk orb an untuk orang lain, suka
prihatin, dan tawakal (lihat juga Ardani, 1995:174).
Menurut pengamatan Geertz (1989:326), perbedaan priyayi dan orang ke ban yak
an terletak pada tataran halus dan kasar. Sebagian besar sifat-sifat hahis priyayi
tersebut berkaitan erat dengan etiket. Menurut All (1986:19), etiket memegang

peranan penting dalam pergaulan priyayi. Etiket menuntut seorang priyayi untuk
menyem-bunyikan perasaan sebenamya dari orang lain, etiket juga mengatur
tingkah laku diri sen diri dan orang lain sehingga tidak terjadi peristiwa yang roe
ma] uk an yang tidak menyenangkan.
Pergaulan dalam pembicaraan ini meliputi pergaulan dalam keluarga priyayi, pergaulan antarsesama keluarga priyayi pergaulan antara priyayi dan bukan priyayi,
dan pergaulan muda-mudi
Hasil penelitian Kartodirdjo (1993:100) meminjukkan bahwa priyayi bergaul
dengan sesama priyayi. Meskipun jumlah priyayi dalam suatu.kota sedikit, mereka
tidak merasa terasing karena mereka menjalin suatu suasana kekeluargaan.
Mengenai pergaulan anak priyayi, menurut Koeotjarardngrat (1984:243), anak
priyayi juga bergaul dengan sesama anak priyayi. Anak-anak priyayi tidak bebas
bermain di luar rumah, mereka lebih banyak tinggal di rumah. Pergaulan dengan
anak petani dihin-darkan karena dianggap akan mengakibatkan tumbuhnya sifat-sifat
yang buruk dan

3

PRASASW 'NO.29' TAHUN VII 'JANUAR11998

kasar. Ditambahkan oleh Kartodirdjo (1993:63) bahwa isolasi pergaulan priyayi

ini jugaberlangsung antara abdi dan majikan. Adanya jarak tersebut akan
memperlancar terselesaikannya semua pekerjaan. Tidak ada hubungan yang akrab
antara abdi dan priyayi. Seorang abdi harus patuh dan tunduk sepenuhnya kepada
tuannya. Apa pun kehendak tuannya harus diturut seperti bayangan dalam cermin
yang setia mengikuti gerak orang yang becermin. Sampai titik yang paling tinggi
para abdi harus rela mempertaruhkan jiwa dan raganya demi keselamatan
majikannya.
Pergaulan muda-mudi sangat terbatas. Menurut pengamatan Kartodirdjo (1993: J
94), perkumpulanmasih terpisah antarapriadan wanita. Di luar lingkungan
keluarga, para pemudi juga belum dapat bergaul dengan leluasa, meskipun mereka
sudah dapal belajar di sekolah. Anak wanita masih diikuti inang pengasuh waktu
bersekolah. Banyak sekolah yang menyelenggarakan pendidikan secara terpisah
antara pria dan wanita.
Per an an wanita dalam keluarga juga sangat terbatas. Menurut Kartodirdjo
(1993:195), rjeranan dalam keluarga dkiom
yang menyangkut pemerintahan dan komunikasi dengan lingkungan dan orang
asing menjadi tugas pria.
Keempat pokok pembicaraan tersebut, pergaulan dalam keluarga priyayi,
pergaulan antara keluarga priyayi, pergaulan antara priyayi dan orang kebanyakan.
dan pergaulan muda-mudi memiliki corak yang berbeda-beda dalam ketiga novel

yang dibicarakan ini.
2.2 Pergaulan dalam Novel Awal Sastra Jawa Modern
2J2.1 Pergaulan dalam Serai Riyanta
Ada jarak yang membatasi hubungan antaranggota keluarga dalam Serat
Riyanta. Komunikasi antara anak dan orang tua, yaitu R. "M. Riyanta dan
ibunya, tidak terjadi secara langsung. Kita perfiatikan kutipan berikut ini.
"... yen mangkono luwih becik saiki kowe nusula menyang ing pasanggrahan, api-apia
yen mentas daksrengeni, aja pisan tutur yen dakkongkon, mungguh perlune: sepisan
kowe dakkongkon..." (R. M. Sulardi, 1920:7)
"... ora liwat kabeh tuturku mau aturna panjenengane ibu, kajaba iku
matura,yenibudakaturi supayangicalakesanggarunggi..."(R.M. Sulardi, 1920:17)

"... kaiau begitu lebih baik kamu menyusul kakakmu ke pesanggrahan,
berpura-puralah habis kumarahi, jangan sekali-kali mengatakan kalau
kusuruh..."

PRASASW 'NO.29' TAHUN VII 'JANUAR11998

"... tidak Jupa semua perkataanku tadi sampaikan kepada Ibu, selain itu
sampaikan juga bahwa aku berharap agar Fbu menghilangkan

kecurigaan..."
Pemecahan mengenai persoalan yang penting seperti di atas tidak dilakukan
secara langsung. Ada seorang perantara yang bertugas menyampaikan keinginan mereka. Adanya jarak tersebut, selain mengakibatkan tidak
akrabnya hubungan antara orang tua dan anak, juga mengakibatkan
persoalan menjadi berlarut-larut karena terjadi salah paham.
Pergaulan an tars es am a keluarga priyayi, kehiarga priyayi yang
berpangkat rendah sangat menaruh hormat kepada priyayi yang berpangkat
tinggi. Hal itu dapat dilihat dari bahasa yang mereka gunakan (R. M.
Sulardi, 1920:54-5). Kutipan berikut menggambarkan bahwa budi luhur
menjadi dasar pergaulan.
n

Kyai Dipati gedheg-gedheg kalayansangei gumun:Hem,ayaknaanteng, alus, tansah
nglungguhi tata krama, ora getem nyamah kowe, Ina wong ndara Riyanta, Hanging
aku gumun banget, dene dhek taken ilangmu teka orakersa blakayen slirane sing
nemu..." (R. M. Sulardi, 1920:90)

Kyai Dipati menggeleng-gelengkan kepala karena merasa heran, dan
berkata: "Makanya diam, halus, selalu menjaga tata krama, tidak mau
menyentuhmu, ternyata R. M. Riyanta. Tetapi, saya heran sekali, waktu

bertanya tentang hilangmu, ia tidak mau berterus-terang bahwa ia yang
menemukan..."
Sikap-sikap seperti di atas: pendiam, halus, selalu menjaga tata krama,
hormat kepada wanita merupakan bagian budi luhur.
Mengenai pergaulan antara priyayi dan bukan priyayi dalam Serat Riyanta*
tampak adanya jarak yang jelas. Meskipun keluarga R. A.
Natasewayamem-punyai beberapa abdi, mereka tidak pern ah dimunculkan
dalam pembicaraan keluarga. Adasuatu peristiwa yang dapat memberikan
kejelasan adanya jarak tersebut, yaitu peristiwa perjamuan kunjungan Kyai
Pramayoga bersama isterinya. Dalam perjamuan tersebut yang bertindak
melayani mereka adalah R. A. Mars am, anak angkat R.X. Natasewaya
(him. 54). Sedangkan pergaulan antara priyayi dan orang asing belum
disebut dalam novel ini.
Pergaulan muda-mudi masih sangat ketat. Mereka sangat berhali-hali dan
menjaga sopan santun dalam bertutur kata. Dalam tingkah laku mereka
saling diam, gugup, malu-malu, takut, dan menutupi keinginan yang
sebenamya (him. 25.78,97). Berduaan merupakan peristiwa yang harus
dihindari, seperti dalam kutipan berikut ini.

PRASASW 'NO.29' TAHUN VII 'JANUAR11998


"... temah ginugah rudhatosipun mar go badhe kondhur piyambak ajrih, nangin yen
kelampahan numpak kreta kaliyan R. M. Riyanta nyipta badhe kadospundi
kedadosanipun." (film. 28)

"... lalu muncul kesedihannya, karena akan pulang sendiri takut, tetapi
ia membayangkan apa yang akan terjadi kalau sampai pulang dengan
diantar R. M. Riyanta".
R. A. Srini membayangkan bahwa ia akan mendapat main dan dimarahi
apabila diantar oleh lelaki yang tak dikenal. Ia akan disebut sebagai wanita
tak bermoral dan keluarganya akan ikut menanggung malu.
2.2 J, Pergaulan dalam KirW Njunjung Drajat
Suasana pergaulan keluarga yang akrab ditunjukkan dalam Kirti Njunjung
Drajat, melalui keluarga Nayapada, seorang priyayi kecil di lingkungan
keraton Surakarta. Terjadi dialog langsung antara anak dan orang tua Orang
tua sangat memperhatikan kelakuan anaknya dan berusaha memberikan
nasihat. Sebaliknya, anak tidak tampak sangat takut kepada orang tua
(Jasawidagda, 1934:15).
Di samping tercipta suasana yang akrab dalam keluarga, juga terbina iklim
musyawarah dalam keluarga. Orang tua mau memperhatikan pendapat

anak, sebaliknya anak juga berani mengemukakan pendapat (him. 34).
Digambarkan masih adanya ketidakakraban pergaulan antara kelompok
priyayi dan bukan priyayi. Perbedaan pangkat dan kedudukan tidak hanya
berlaku pada tempat kerja. Para priyayi terlalu menganggap rendah rakyat
jelata (him. 4).
Dalam latar suasana pergaulan yang berjarak antarsesama priyayi maupun
antara priyayi dan bukan priyayi, dan anggapan yang rendah terhadap
kelompok bukan priyayi seperti itu, ditunjukkan keberhasilan terciplanya
pergaulan yang akrab antara priyayi dan bukan priyayi melalui tokoh
Darba. Darba adalah anak Nayapada, seorang priyayi kecil, yang bekerja
sebagai tukang dan penjual sepeda. Kita perhatikan kutipan ini.
Darba saweg ingandikan dhateng para ageng, inggih punika priyagung Bupati
pangarsaning pang Budi Utomo, saha kanjeng pangeran sawatawis,... sab en-sab en
griyanipun dipun datengipara sag ed saha para ageng,... (him. 54).

Darba sedang bercakap-cakap dengan para pembesar, yaitu para Bupati,
pemimpin cabang Budi Utomo, dan beberapa orang Pangeran,... sering
mmahnya didatangi oleh orang-orang pin tar dan pembesar..."

PRASASTt 'NO.29' TAHUN W *JANUARt 1998

Darba, pedagang sepeda yang tergolong bukan priyayi, dapat bergaul akrab
dengan priyayi. Selain itu Darba juga dapat menjadi anggota organisasi
Budi Utomo, organisasi priyayi.
Darba sebagai pedagang juga dapat bergaul akrab dengan orang-orang
Belan-da yang berk u as a di Jawa Pergaulan mereka tidak terbatas pada
hubungan dagang, mereka juga berhubungan dalam bidang organisasi, yaitu
Budi Utomo (him. 55).
Keberhasilan menjalin hubungan yang akrab dengan priyayi dan orang
Belan-da di atas tidak bisa dilakukan oleh sembarang orang dengan mudah,
tetapi diperlukan bekal yang tidak ringan. Darba telah membekali diri
dengan sopan santun dalam bertutur, bertindak, penampilan, dan
berpakaian, keramah-tamahan. percaya diri, dan pendidikan yang cukup
(him. 49-50).
Gagasan dan tindakan Darba untuk menciptakan suasana pergaulan yang
akrab antara priyayi dan bukan priyayi tersebut dapat diterima. Buktinya
Darba dapat diterima dan dihargai di tengah pergaulan priyayi (him. 55).
Pergaulan muda-mudi tidak dibicarakan dengan jelas dan panjang lebar.
Namun dapat dilihat bahwa pergaulan muda-mudi sudah tidak melalui
.saluran orang tua. Suasana tersebut terbukti pada perkawinan Darba yang
tidak dijodohkan oleh orang tua maupun siapapun (him. 49).
'.23 Pergauian dalam Ngulaadra
Suasana akrab dalam keluarga juga terjalin dalam Ngulandara. Suasana
akrab tersebut dapat dilihat pada dialog antara anak dan orang tua di bawah
ini.
"Yah Ibu kit Punapa inggih oto menika namung mwrugaken kesisahan thoh? Wong
lagi sepisan we dingendikakake akehl" "Ingkang risak menika menapanipun ia Pak?
Mengke gek dipunpaeka ing sopir ingkang mcntas medal menika?' (Margono

Djajaatmadja, 1936:4)
"Wah, Ibu ini! Apa benar bahwa mobil hanya mendatangkan kesusahan
saja? Baru sekali saja dikatakan berulang kali"!
"Apanya yang rusak, Pak? Jangan-jangan memang sengaja dirusak oleh
sopir yang baru saja keluar?"
R. A. Supartinah mernpunyai keberanian untuk menegur dan menentang
pendapat ibunya yang dianggap kurang bijaksana. Ia juga berani
mengingatkan ayahnya yang kurang tanggap terhadap sebab kerusakan
mobilnya. Bila dilihat dari nada bicaranya, tampak bahwa kalimat-kalimat
tersebut mengan-dung keakraban, tetapi juga keberanian. Namun keakraban
anak terhadap orang tua tersebut tidak mengurangi sopan s an tunny a Nada
bicara R.A.

PERKEMBANGAN PERGAULAN PRIYAYI DALAM SASTRA JAWA MODERN

Supartinah agak keras, namun bernada humor. Bahasa yang digunakan
R.A. Supartinah, yang kadang-kadang menggunakan bahasa ngoko juga
menam-bah keakraban mereka. Hubungan yang akrab antara orang tua dan
anak tersebut didasari oleh keakraban yang lerjalin antara suami isteri
dalam keluarga priyayi. Isteri menggunakan bahasa ngoko terhadap suami
dan isteri tidak mendapat marah ketika terlanjur membuat keputusan dalam
jual beli mendahului suami (him. 15).
Pergaulan antarsesama keluarga priyayi lerjalin akrab. Mereka saling mengunjungi. Kunjungan mereka tidak hanya karena adanya suatu keperluan
yang penting atau mencari sesuatu atau kebuluhan tertentu, tctapi juga
karena sekedar bersantai dan melepaskan rasa rindu (him. 45). Suasana
pergaulan antarsesama priyayi berlangsung sangat akrab. Mereka tidak
memheda-bedakan pangkat dan kedudukan (him. 98).
Hubungan yang akrab dalam keluarga ikut memberikan corak antara
hubungan priyayi, selaku majikan, dan abdi, selaku kelompok bukan
priyayi. Hubungan antara priyayi dan abdi dalam novel ini dekat. Majikan
memperhatikan kesehatan dan keselamatan abdi (him. 27). Kedekatan
tersebut sampai padalitik yang paling tinggi, yaitu adanya anggapan dari
pihak priyayi bahwa meskipun abdi, ia pan las dihargai karena memil iki
sopan santun dan keluhuran budi, seperti dalam kutipan berikut ini.
"Isin la dumeh sopir/ Empun ngoten nak Rap. Ajining wong niku boten mung
dumunung teng pangkat mawon. Tandang tanduk ion luhuring budi niku sagel
njunjung aji" (him. 47)

"MaJu ya, karena hanya seorang sopir! Jangan mempunyai anggapan
seperti itu nak Rap! Martabat manusia tidak hanya lerletak pada
pangkat saja. Tingkah laku dan keluhuran budi juga dapat mengangkat
martabat seseorang".
Keluarga priyayi memperluas pergaulannya dengan menjalin hubungan dengan orang asing. Orang asing yang ditampilkan sebagai kawan bergaul
keluarga priyayi di sini adalah orang Cina. Mereka saling mengunjungi.
Keakraban mereka bergaul tecermin pada bahasa dan canda ria mereka
yang hangat (him. 77). Hubungan mereka tidak hanya dalam pergaulan
sehari-hari dan jual beli, tetapi juga dalam bidang pendidikan. R.A.
Supartinah, putra Asisten Wedana menjadi guru di HCS, sebuah sekolah
yang diperuntukkan bagi orang Cina
Putra priyayi juga tidak hanya bergaul dengan putra priyayi. Mereka juga
bergaul dengan teman-teman sekolah yang bukan putra priyayi. R.A. Supar

8

PRASASTI ' N O . 29* TAHUN V f l ' JANUARt 1998

tinah sering dipinjami buku oleh temannya yang hernama Harjono (him.
60), yang dilihat dari namanya jelas bukan seorang priyayi luhur.
Muda-mudi sudah dapat bergau] leluasa tanpa perantara dan campur tangan
orangtua. Pergaulan mereka berlangsung lewat pendidikan di sekolah.
Namun pergaulan mereka tetap berpijak pada tata pergaulan Jawa seperti
daiam kutipan berikut ini.
"Sesrawunganku karo kowe rak ya ora mlangkah saka kasussilan Jawa ta? Upama
anggonku sesrawungan karo kowe kuwi aku niru cara Eropah..." (him. 60)

"Bukankah pergaulan kita tidak melangkah keluar dari lata pergaulan
Jawa? Seandainya pergaulan kita meniru pergaulan caraEropa..."
Dengan tegas R.A. Tien menyatakan bahwa tata pergaulan yang dijadikan
panutan adalah tata pergaulan Jawa, bukan Eropa
Pergaulan muda-mudi yang mehgarah kepada cinta asmara sudah tampak
dalam novel ini. Dalam hubungan cinta asmara muda-mudi sudah tampak
keberanian wanita untuk menolak cinta seorang pria dengan tegas (hlm.60).

3. Penutup
Ada perkembangan yang jelas mengenai gagasan pergaulan dalam Serai Riyanta, Kirti
Drajat, dan Ngulandara. Perkembangan itu mencakup keempat pokok
permasalahan yang dibicarakan, yaitu pergaulan dalam keluarga priyayi, antara sesama
keluarga priyayi, antara priyayi dan bukan priyayi, dan pergaulan muda-mudi. Perkembangan tersebut terjadi dari novel satu kc novel yang lain. Perkembangan tersebut
berjalan dari pergaulan yang ketat menuju pergaulan yang agak longgar.
Njunjung

Pergaulan angataranggota keluarga dalam Serat Riyanta tidak akrab, ada jarak. Jarak
yang mewamaj pergaulan antaranggota keluarga tersebut dihilangkan dalam kedua
novel yang lain. Masing-masing anggotakeluarga, baik antara anak dan orang tua
maupun suami dan isteri sudah dapat bergaul dengan ak*rab dan leluasa.
Pergaulan antarsesama keluarga priyayi tersebut akrab padaNgulandara. Sedangkan
dalam Kirti Njunjung Dro/of terdapat jarak yang jelas antara priyayi berpangkat tinggi dan
rendah.
Pergaulan antara priyayi dan bukan priyayi belum terjalin dalam Serat Riyanta,
priyayi masih mengisolasi diri. Dalam kedua novel yang lain priyayi berbaur dengan
kelompok bukan priyayi seperti: pedagang, buruh pabrik, sopir, abdi, orang Belanda,
dan

9

PERKEMBANGAN PERGAULAN PRIYA Yi DALAM SASTRA JA WA MODERN

orang Cina. Ditampilkannya orang Cina memperluas gcrak pergaulan priyayi,
mengingat pergaulan dengan orang asing selain Belanda pada saat penjajahan Belanda
memang cenderung dihalang-halangi untuk menjaga agar tidak ada golongan elit
menengah lain.
Pergaulan muda-mudi sangat ketat dalam Serat Riyanta. Sedangkan dalam Kirti
Njunjung Drajat meskipun tidak dijelaskan secara rinci, muda-mudi sudah bebas
memilih pasangannya tanpa campur tangan orang tua. Selanjutnya dalam Ngulandara
pergaulan muda-mudi menjadi longgar. Muda-mudi dapat bergaul tanpa melalui saiuran
orang tua. Pergaulan muda-mudi yang mcngarah kepada cinta asmara juga sudah
tampak.
Apabilakitabandingkan dengan fakta sosial tentang pergaulan dari hasil
pengamatan dan penelitian para ahli sosiologi, juga tampak adanya suatu
perkembangan. Pergaulan priyayi tidak lagi terjsolasi. Hal itu tampak jelas pada novel
Kirti Njunjung Drajat dan Ngulandara.
Meskipun pergaulan sudah menjadi sedemikian longgar, apabila kita perhatikan,
masih ada suatu nilai yang tetap dipertahankan, yaitu budi luhur. DaJam Ngulandara,
meskipun antara priyayi dan abdi sudah dapat menjaiin hubungan yang akrab, budi
luhur tetap dipegang teguh.

DAFTAR PUSTAKA
Ardani, Moh.
1995
At Qur'an dan Sufisme Mangkunegara IV (Studi Serat-serat Piwulang). Yogyakarta:
Dana Bakti Wakaf.
Damono, Sapardi Djoko
1979
Sosblogi Sastra Sebuah Pengantar Ringkas. Jakarta: Pusat Bahasa.
1993
Novel Jawa Tahun 1950-an: Telaah Fungsi, Isi, dan Struktur. Jakarta: Pusat Bahasa.
Djajaatmadja, Margana
1936
Ngulandara. Jakarta: Balai Pustaka.
Friedman, Norman
1975
Clifford
1989

From and Meaning in Fiction. Athens: The University of Giorgia Press. Geertz,

Abangan, Santri, Priyayi dalam Masyarakat Jawa. Jakarta: Puslaka Jaya.

Hadjowirogo, Marbangun
1964
Manuaia Jawa. Jakarta: Yayasan fdayu.
Hutomo, Suripan Sadi
1975
Telaah Kesusastraan Jawa Modem. Jakarta: Pusat Bahasa.
JasawkJagda
1934
Kirti Njunjung Drajat Jakarta: Balai Pustaka.

10

PERKEMBANGAN PERGAULAN PRIYA Yi DALAM SASTRA JA WA MODERN

Kartodirdjo, Sartono
1993
Perkembangan Peradaban Priyayi. Yogyakarta: Gajah Mada Universfty Press.
Koentajaraningrat
1964
Kabudayaan Jawa. Jakarta: Balai Pustaka
Kurtlowijoyo
1991

"Sastra Priyayi Sebagai Sebuah Jenis Sastra Jawa" dalam Poer Adhi Prawoto. Keteriibaian Sastra Jawa
Modem. Solo: Tri Tunggal Tata Fajar.

Mulder, Niels
1981
Kebatman dan Hidup Sehari-hari Orang Jawa: Ketangsungan dan Perubahan Kuffurit. Jakarta: Gramedia.
1985
Pribadi dan Masyarakat di Jawa: Penjeiajahan mengenai Hubungannya. Jakarta: Sinar Harapan.
Quinn, George
1992
The Novel in Javanese. Leiden: KITLV Press.
Rass, J. J.
1979
1920

Javanese Literature Since Independence. The Hague: Martin us Ntjhoff. Sulardi
Serat Riyanta. Jakarta: Balai Pustaka.

Swingewood, Alan dan Diana Laurenson
1972
Sociology o f Literature. London: Paladin.
van Niel, Robert
1984
Munculnya Elrt Modem Indonesia. Jakarta: Pustaka Java.

11

Dokumen yang terkait

EFEKTIVITAS PENDIDIKAN KESEHATAN TENTANG PERTOLONGAN PERTAMA PADA KECELAKAAN (P3K) TERHADAP SIKAP MASYARAKAT DALAM PENANGANAN KORBAN KECELAKAAN LALU LINTAS (Studi Di Wilayah RT 05 RW 04 Kelurahan Sukun Kota Malang)

45 393 31

HUBUNGAN IMPLEMENTASI PERAWAT TENTANG PATIENT SAFETY DENGAN RESIKO CEDERA PADA INFANT DAN TODDLER

38 264 22

PENILAIAN MASYARAKAT TENTANG FILM LASKAR PELANGI Studi Pada Penonton Film Laskar Pelangi Di Studio 21 Malang Town Squere

17 165 2

PENERIMAAN ATLET SILAT TENTANG ADEGAN PENCAK SILAT INDONESIA PADA FILM THE RAID REDEMPTION (STUDI RESEPSI PADA IKATAN PENCAK SILAT INDONESIA MALANG)

43 322 21

PEMAKNAAN MAHASISWA TENTANG DAKWAH USTADZ FELIX SIAUW MELALUI TWITTER ( Studi Resepsi Pada Mahasiswa Jurusan Tarbiyah Universitas Muhammadiyah Malang Angkatan 2011)

59 326 21

KONSTRUKSI MEDIA TENTANG KETERLIBATAN POLITISI PARTAI DEMOKRAT ANAS URBANINGRUM PADA KASUS KORUPSI PROYEK PEMBANGUNAN KOMPLEK OLAHRAGA DI BUKIT HAMBALANG (Analisis Wacana Koran Harian Pagi Surya edisi 9-12, 16, 18 dan 23 Februari 2013 )

64 565 20

PEMAKNAAN BERITA PERKEMBANGAN KOMODITI BERJANGKA PADA PROGRAM ACARA KABAR PASAR DI TV ONE (Analisis Resepsi Pada Karyawan PT Victory International Futures Malang)

18 209 45

PENGARUH BIG FIVE PERSONALITY TERHADAP SIKAP TENTANG KORUPSI PADA MAHASISWA

11 131 124

HUBUNGAN ANTARA PERSEPSI TENTANG DESAIN KEMASAN PRODUK DENGAN INTENSI MEMBELI

9 123 22

ANALISIS YURIDIS TENTANG PENYELESAIAN SENGKETA MEREK AIR MINUM MINERAL "AQUA-versus-INDOQUALITY" (Studi Putusan Mahkamah Agung RI No. 04.PK/N/HaKI/2004)

2 65 91