Mahasiswa dan Panoptikon di Dunia Kampus

Mahasiswa, Sejarah Pergerakan Mahasiswa, dan Panoptikon di Dunia Kampus
MAHASISWA.
Mahasiswa adalah orang yang terdaftar dan belajar di Perguruan Tinggi, Universitas, dan
Institut. Apabila merujuk pada Peraturan Akademik Universitas Hasanuddin Bab I Ketentuan
Umum, Pasal 1 Ketentuan Umum, Ayat 22 maka pengertian mahasiswa adalah peserta didik
yang telah terdaftar dan memenuhi persyaratan lain yang telah ditetapkan universitas. Tapi
pengertian mahasiswa tidak sesempit itu, pengertian mahasiswa diatas hanyalah ditinjau secara
administratif. Menurut saya mahasiswa adalah seseorang yang belajar di Perguruan Tinggi,
Universitas, dan Institut yang mampu memanisfestasikan 5 fungsi mahasiswa dan tri dharma
Perguruan Tinggi.
5 fungsi mahasiswa yaitu:


agent of change (agen perubahan). Sebagai agen perubahan, mahasiswa harus mampu
menjadi sumber pembangunan dan perubahan sosial dengan ide-ide kreatifnya dan harus



mampu memecah stagnasi yang terjadi di masyarakat dengan ilmunya.
agent of social control ( agen penyampai kebenaran). Sebagai penyampai kebenaran,
mahasiswa harus memiliki independesi etis dan independensi organisatoris sehingga

mampu mandiri dalam menentukan pilihan, sehingga kemandiriannya itu mampu



melahirkan keberpihakan dalam menyampaikan kebenaran.
iron stock (generasi penerus), sebagai generasi penerus dan pembaharuan, mahasiswa
harus menyiapkan bekal pengetahuan dan bekal mental agar dapat menjadi penerus
bangsa. Mahasiswa dengan keilmuannya diharapkan mampu untuk merekonstruksi



kondisi bangsa agar bangsa ini mengalami gerak menuju kemajuan.
moral force (kekuatan moral), sebagai kekuatan moral,mahasiswa harus mampu
memberikan semangat kepada masyarakat ketika masyarakat berada keapatisan membela
Negara. Mahasiswa harus pula menjadi suri tauladan bagi masyarakat dimulai dengan



cara berbahasa, cara berperilaku dan cara berpakaian.
guardian of value (penjaga nilai-nilai). Sebagai penjaga nilai-nilai, mahasiswa harus

mampu menjaga nilai-nilai yang baik, kearifan lokal bangsa secara umum dan daerah
secara khusus, serta mencari nilai-nilai kebaikan yang lain. Nilai-nilai kebaikan secara

universal ada tiga, yaitu: kemanusiaan,keadilan, dan kebenaran. Nilai-nilai ini yang harus
dijaga oleh mahasiswa.
Ada pun Tri Dharma Perguruan Tinggi, adalah:


pendidikan, pendidikan menjadi pilar utama dari Tri Dharma PT dikarenakan dengan
pendidikan berkualitas maka akan melahirkan generasi penerus yang berkualitas pula.
Kondisi realitas sekarang, pendidikan masih berada dijalur yang salah. Konsep Student
Center Learning (SCL) yang yang merupakan perubahan dari konsep terdahulu yaitu
Teacher Center Learning (TCL, mengalami perubahan alur. SCL yang merupakan
manifestasi dari paradigma andragogy dalam dunia dunia pendidikan pun belum
diterapkan secara benar, masih adanya nafas-nafas TCL atau pedagogy dan masih
banyaknya dosen yang atas nama SCL hanya menjadi penonton tanpa memberikan
pencerahan bagi mahasiswa. Hal-hal tersebut yang harus mahasiswa rekonstruksi ulang
di masa depan agar dunia pendidikan yang melahirkan peserta didik yang berkualitas bisa




tercipta.
Penelitian. Penelitian menjadi sentrum dari terciptanya teori-teori baru yang lebih
realistis

melihat

kondisi

masyarakat

kontemporer.

Penelitian

adalah

bentuk

pengembangan dari pendidikan yang diperoleh dikelas-kelas perkuliahan. Selain itu,

penelitian merupakan landasan dari gerak-gerak advokasi mahasiswa. Dengan melakukan


penelitian, mahasiswa akan mempunyai data yang factual mengenai kondisi masyarakat.
Pengabdian. Pengabdian merupakan manifestasi nyata dari pendidikan dan penelitian
yang dilakukan oleh mahasiswa. Mahasiswa harus mampu mengaktualkan pengetahuan
mereka kepada masyarakat.

Apakah mahasiswa telah menjadi mahasiswa? Dan untuk siapakah sebenarnya mahasiswa
ini?
SEJARAH PERGERAKAN MAHASISWA
Dalam sejarah perjuangan bangsa, mahasiswa selalu mengambil peran penting dalam
membangun bangsa. Ada banyak momen dimana mahasiswa harus vis-à-vis dengan pemerintah.
Momen-momen tersebut dinamakan sejarah pergerakan mahasiswa. Sejarah pergerakan
mahasiswa yang populis antara lain:

1908. Awal mula pergerakan mahasiswa di Tahun 1908, dimana mahasiswa-mahasiswa
dari lembaga pendidikan STOVIA mendirikan wadah pergerakan pertama bernama Boedi
Oetomo. Momentum pada 1908 telah memercikkan api perjuangan dikalangan mahasiswa untuk
melawan penjajahan dan menjadi cikal bakal dari banyaknya organisasi yang terbentuk

dikemudian hari.
1928. tahun dimana terciptanya “Sumpah Mahasiswa” yang sangat bersejarah. Latar
belakang terciptanya “Sumpah Mahasiswa” di Kongres Pemuda II, berawal pada terbentuknya
Perhimpunan Pelajar-Pelajar Indonesia (PPPI) tahun 1926. PPPI terbentuk karena makin mandul
pergerakan politik mahasiswa pada saat itu sehingga diperlukan sebuah organisasi yang mampu
menghimpun seluruh pelajar di Indonesia dan lebih menyuarakan wawasan kebangsaan dalam
diri Indonesia.
1945, di tahun kemerdekaan ini, pemuda dalam hal ini mahasiswa membuat sejarah yang
dikenal dengan nama Peristiwa Rengasdengklok. Sebuah gerakan mahasiswa dalam memberikan
tekanan pada tokoh Proklamator agar sesegera mungkin mengumumkan kemerdekaan Indonesia
setelah mendengar kabar bahwa telah terjadi insiden Bom Atom di Jepang. Kondisi pergerakan
pada mahasiswa saat itu tidaklah semudah periode-periode sebelumnya. Di bawah penjajahan
Jepang, segala bentuk organisasi kemahasiswaan dibubarkan dan segala kegiatan politik
mahasiswa pun dilarang. Hal ini membuat pergerakan mahasiswa mengalami kemunduran,
mahasiswa lebih banyak berdiskusi di asrama-asrama mereka.
1966 dimana mahasiswa menumbangkan Orde Lama dengan membawa wacana bahaya
komunis. Pergantian Orde pun terjadi dan dinamakan Orde Baru. Rentang tahun 1945-1966
banyak melahirkan organisasi mahasiswa yang menjadi barometer pergerakan saat itu, misalnya:
Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia (GMKI),
Perserikatan Perhimpunan Mahasiswa Indonesia (PPMI), Gerakan Mahasiswa Nasional

Indonesia (GMNI), Gerakan Mahasiswa Sosialis Indonesia (GAMSOS), Concentrasi Gerakan
Mahasiswa Indonesia (CGMI), Ikatan Pers Mahasiswa Indonesia, Persatuan Mahasiswa Islam
Indonesia (PMII), dan masih banyak lainnya. Keberhasilan mahasiswa dalam menumpas PKI
dan menumbangkan Orde Lama membuat pemerintah menghadiahkan kursi DPR dan MPR
kepada mahasiswa. Idealisme pun tergadaikan dengan posisi pemerintahan. Tapi banyak aktivis

yang tidak tergoda akan godaan tersebut, salah satunya aktivis yang terkenal secara nasional
yaitu Soe Hok Gie.
1974, pada masa ini pergerakan mahasiswa melahirkan sebuah istilah yang terkenal yaitu
MALARI (Malapetaka LimaBelas Januari). MALARI merupakan bentuk protes mahasiswa
kepada kebijakan pembangunan pemerintah yang membuka kerja sama dengan pihak asing.
Mahasiswa saat itu menggangap bahwa ini adalah awal dari liberalisme di Indonesia. Upayaupaya yang ingin merebut kembali kedaulatan Indonesia. Puncak dari MALARI ketika
kedatangan Perdana Menteri Jepang Tanaka Kakuei. Adanya “serigala” didalam tubuh
mahasiswa menyebabkan skenario aksi mahasiswa berubah menjadi penjarahan. Imbasnya
adalah salah satu tokoh mahasiswa, Hariman Siregar pun dianggap sebagai biang keladi dari
masalah penjarahan ini. selain MALARI, peristiwa yang terkenal di medio 1970-1990 adalah
periode NKK/BKK. Normalisasi Kehidupan Kampus/ Badan Koordinasi Kampus (NKK/BKK)
adalah upaya-upaya pemerintahan Orde Baru untuk meredam sikap kritis mahasiswa terhadap
pemerintah dan upaya untuk mempertahankan status quo pemerintah. gerakan-gerakan
mahasiswa dimatikan dengan menerbitkan SK No. 0156/U/1978. Isi SK tersebut pada intinya

berusaha mengarahkan mahasiswa ke “jalan lurus”, cukup dengan kuliah (akademik) dan
berhentilah menjadi seorang organisatoris. Hal ini membuat beberapa Dewan Mahasiswa di
beberapa Perguruan Tinggi dibekukan yang kenudian diganti dengan membentuk organisasi baru
yang disebut Badan Koordinasi Kampus (BKK). Berdasarkan SK Menteri P&K No.
O37/U/1979, kebijakan ini membahas tentang bentuk Susunan Lembaga Organisasi
Kemahasiswaan di Lingkup Perguruan Tinggi. Yang menjadi point penting dari SK tersebut
adalah pemberian wewenang kekuasaan kepada Rektor dan pembantu Rektor untuk menentukan
kegiatan mahasiswa. Bahkan aturan paling lucu dari NKK/BKK ini adalah mahasiswa dilarang
gondrong, dikarenakan gondrong dianggap sebagai budaya pemberontakan mahasiswa, sehingga
pihak rektorat dalam hal ini membentuk tim yang bertugas untuk mencukur habis rambut para
mahasiswa yang gondrong tersebut. Praktis pergerakan mahasiswa secara internal pun mulai
tumpul, sehingga mahasiswa banyak lari pada organisasi eksternal untuk membangun
pergerakan.
1998, masa ini terkenal dengan sebutan masa Reformasi adalah masa dimana pergerakan
mahasiswa mencapai titik akumulasi tertinggi dari upaya represif pemerintah dengan NKK/BKK

dan kebijakan-kebijakan yang kontra rakyat. Pada saat itu Krisis Moneter yang ditandai dengan
makin melambungnya harga-harga bahan pokok membuat seluruh mahasiswa dari berbagai
pelosok Indonesia berkumpul di Ibu Kota RI, DKI Jakarta. Mahasiswa menuntut Presiden
Soeharto dengan Orde Baru-nya untuk turun dari pucuk Presiden RI.


Hal ini membuat

mahasiswa harus terlibat bentrok dengan militer yang saat itu Jenderal atau pimpinan tertinggi
TNI dipimpin oleh Jenderal Wiranto yang menyebabkan banyak mahasiswa yang gugur dan
hilang secara misterius. Puncak dari gerakan ini adalah ketika mahasiswa menduduki gedung
DPR/MPR RI. Banyak pertanyaan yang timbul dari gerakan ini, seperti apakah gerakan ini
ditunggangi oleh elit-elit tertentu? Apakah Presiden Soeharto betul-betul mundur karena desakan
rakyat ataukah karena terdesak oleh “pihak asing”? Siapakah yang memberikan komando kepada
militer saat mahasiswa bentrok dengan militer? Apakah yang akan mahasiswa lakukan setelah
reformasi? Jangan –jangan reformasi adalah sebuah lonceng kematian bagi pergerakan
mahasiswa atau kita sebut dengan meminjam istilah dari Francis Fukuyama bahwa Reformasi
adalah akhir dari sejarah pergerakan mahasiswa (Reform is the end of the history of the student
movement). Hal yang masih harus dikaji secara serius.
Panoptikon di Dunia Kampus
Panoptikon adalah sebuah konsep arsitektur yang dicetuskan oleh Jeremy Bentham di
akhir abad ke-18. Panoptikon tersusun atas dua kata, yaitu pan yang berarti semua dan optikon
yang berarti mengamati. Jadi Panoptikon adalah desain gedung yang memungkinkan satu pihak
mengawasi seluruh gedung tanpa yang diawasinya merasa diawasi.
Desain arsitektur Jeremy Bentham termanifestasikan dalam bentuk penjara. Contoh

terbaiknya adalah di bangunan penjara Presidio Modelo di Kuba. Dimana ada menara di tengahtengah sel para napi dan menara itu berputar sehingga napi pun terawasi. Apabila dibawa ke
ranah sosial konsep panoptikon tergambarkan secara jelas di kamera CCTV yang ada di pusatpusat perkantoran, pusat-pusat perbelanjaan, bahkan akan telah diberlakukan di institut
pendidikan. Inti dari konsep panoptikon adalah bagaimana struktur kesadaran manusia
direkonstruksi agar selalu merasa diawasi, dikuasai, dan tidak punya daya untuk melawan atau
melarikan diri. Salah satu tokoh sosial (berhubung beliau tidak ingin dikatakan tokoh
postmodern) Michael Foucoult kemudian membawa konsep panoktikon ini dalam kritiknya
mengenai realitas sosial yang ia sebut sebagai "metode disiplin modernitas". Konsep panoptikon

ini yang diadaptasikan oleh Foucault untuk menggambarkan dunia pasca moderen, ia
menyebutnya panoptikon sebagai sebuah model dari penerapan teknologi disiplin, baik metode
maupun saran-sarannya. Panoptikon dapat disadari ataupun tidak oleh warganya. Dalam buku
Diciplin and Punishment, Foucoult mengamati suatu kota yang terjangkit oleh penyakit kusta.
Kota yang terjangkit kusta mesti memberlakukan pengisolasian dan pembagian ruang bagi
penderita untuk memasuki dan meninggalkan kota tersebut, dengan ancaman hukuman bagi yang
melanggarnya. Setiap penderita kusta diisolasi untuk mencegah penularan penyakit ini. Para
petugas menjadi pengawas yang mengawasi setiap gerak-gerik dari penderita kusta di setiap
penjuru kota, Setiap hari sindico atau pengawas berkeliling ke setiap rumah kusta. Mencatat
nama, jenis kelamin, dan kesehatannya. Data dari tiap catatan ini diserahkan ke dokter ataupun
para hakim yang akan mengunjungi mereka. Identitas orang-orang ini dicatat dengan permanen
dan digunakan untuk menciptakan ketertiban bagi setiap penderita kusta dan pes, dan hal ini

dilegitimasi oleh masyarakat oleh moralitas baru yaitu moralitas penyakit. Pada dasarnya
Panoptikon adalah penerapan sebuah mode aturan dan artsitektur yang dapat mengontrol
masyarakatnya baik itu oleh institusi sosial, pemerintah dll.
Konsep panoptikon telah membuat manusia tidak mempunyai kemerdekaan, akan selalu
merasa diawasi oleh “Sang Kuasa”. “Sang Kuasa” yang telah menciptakan ketakutan psikologis
(apabila tidak ingin dikatakan penjara psikologis) di dalam kesadaran manusia dengan kekuatan
eye of god-nya. Konsep panoptikon juga hadir difilm The Truman Show. Efek dari film ini cukup
besar sehingga timbul suatu penyakit psikologis bernama Truman Show Delusion. Para
pengidapnya merasa hidupnya diawasi terus menerus dan ditonton oleh orang di seluruh dunia.
Mereka tidak percaya bahwa hidupnya adalah kenyataan, jangan-jangan seisi manusia hanyalah
aktor belaka.
Bagaimana manifestasi panoptikon di dunia kampus? dunia kampus adalah dunia yang
paling menarik. Dunia dimana para orang-orang yang mengaku “mahasiswa” bergumul dengan
teori-teori namun menjadi dilain sisi menjadi orang yang paling menderita. Coba kita lihat di
lingkungan kampus misalnya, di banyak kelas seorang mahasiswa biasa mengeluh mengenai
dosen yang terlalu otoriter dan tidak objektif memberikan nilai namun apakah mereka berani
menyuarakan keluhan mereka, setidaknya berdialog, mungkin juga dengan aksi demonstrasi.
Keluhan mereka hanya berakhir dalam diskusi kecil, kadang cacian, kadang makian, dan kadang
juga menyumpahi dosen tersebut. Begitupun lembaga kemahasiswaan hanya berakhir dalam


keluhan melihat apa yang terjadi dan menimpa kehidupan mereka. Kenaikan biaya SPP, drop
out, dan keluhan dari mahasiswa lainnya. Semuanya berakhir dengan salah menyalahkan dari
mahasiswa ke pelaksana pendidikan dan cacian untuk kebijakan yang menimpa mereka.
Berapa banyak orang yang mengeluhkan kenaikan BBM dan berapa banyak orang yang
tidak bereaksi mengenai kenaikan BBM, hampir tiap mahasiswa tidak menginginkan kenaikan
SPP dan berapa banyak dari mahasiswa yang menolak kenaikan SPP. Berapa banyak masalah
yang mengintai dan menyerang dan berapa banyak pula yang menyerang balik ancaman itu?
Mahasiswa mungkin orang yang paling bodoh, mengetahui apa yang terjadi namun tidak
mengetahui apa yang akan dilakukan unutk menyelesaikan masalah ini. Mahasiswa modern
terlalu senang beronani dengan teori-teorinya. Mahasiswa tidak bekerja langsung menciptakan
nilai lebih bahkan tidak punya orang yang mesti dihidupi dan tiap saat bergumul dengan banyak
buku-buku. Namun mengapa ia tidak melawan? maka sampailah kita pada pertanyaan yang
buntu dan rancu “orang orang sadar menjadi korban tetapi mereka diam tak bersuara dan tidak
mampu berbuat apa-apa.” Mengapa fakta yang janggal dan aneh ini terjadi di berbagai tempat
dan kondisi yang berbeda dan tetap ada dari dulu hingga sekarang?
Di dunia kampus, panoptikon telah bertansformasi secara modern. Jika ditinjau dari segi
sejarahnya konsep panoptikon muncul di periode NKK/BKK. Dalam peraturan NKK/BKK kita
mendapati sebuah pembentukan sebuah ruang baru yaitu ruang kemahasiswaan dan membentuk
aturan koordinasi yaitu PR III bidang kemahasiswaan. Di hapuskannya Dewan Mahasiswa dan
hanya diijinkan pembentukan organisasi mahasiswa tingkat fakultas (Senat Mahasiswa Fakultas)
dan Badan Perwakilan Mahasiswa Fakultas (BPMF) membuat gerak-gerak mahasiswa menjadi
pecah, tidak lagi massif. Pembentukan ruang kemahasiswaan dalam artian lembaga
kemahasiswaan secara langsung membentuk ruang yang tersistematis, setiap kegiatan mahasiswa
diayomi oleh lembaga kemahasiswaan sehingga semua kegiatan mahasiswa adalah kegiatan
lembaga kemahasiswaan dan lembaga kemahasiswaan hanya akan bisa melakukan kegiatannya
jika melalui rekomendasi PR III taupun PD III. Secara langsung semua kegiatan yang dilakukan
oleh mahasiswa dikontrol oleh mekanisme rekomendasi. Setiap kegiatan yang tidak direstui tidak
akan mendapat rekomendasi, tanpa rekomendasi berarti tidak ada kegiatan kemahasiswaan.
Setiap tindakan yang dilakukan oleh mahasiswa dikontrol oleh berbagai aturan. Mahasiswa yang
tidak mengikuti aturan akan berhadapan dengan hukum, setiap tindakan diatur oleh rektorat,
ruang-ruang lembaga kemahasiswaan dibentuk tersentral untuk mudah diatur dan diawasi.

Bahkan lebih menurut saya, diciptakannya ruang lembaga kemahasiswaan adalah sebuah
contoh panoptikon modern. Setiap orang dari kita menjadi orang yang sangat was-was dengan
kehidupan sehingga setiap orang yang kita temui menjadi sindico yang akan mengingatkan kita
mengenai aturan-aturan. Bahkan untuk lebih memberikan efek psikologis maka kampus
terkhusus Unhas sedang mewacanakan akan nambah “eye of god” berupa CCTV di ruang-ruang
lembaga kemahasiswaan. Sebuah upaya penekanan psikologis dari pemerintah kepada daya kritis
mahasiswa.
Bagaimana dengan ruang perkuliahan (kelas)? Apakah panoptikon juga berada di ruangruang kuliah? Di dalam kelas aturan-aturan moral pun dijalankan, dosen menjadi sebuah otoritas
keilmuan yang menetapkan moralitas yang disentralkan oleh dosen, pengusiran dari kelas,
pengurangan nilai dan ancaman lainnya.
Panoptikon kampus jauh lebih kompleks dibanding panoptikon milik rancangan Jeremy
Bentham. Jika dalam panoptikon Foucoult dibuku Diciplin and Punishment, yang mengatur
adalah dokter, pengawas, hakim, dan pastor. Maka apabila diadaptasikan di dalam kehidupan
kampus, maka yang mengatur adalah dosen, administrasi kampus, satpam, rektor, mahasiswa
sendiri dan masyarakat umum. Mahasiswa tidak lebih dari manusia yang sakit yang mesti
dinetralisir.
Dosen adalah dokter bagi penyakit mahasiswa, administrasi kampus adalah mekanisme
pengawasan untuk mencegah menularnya penyakit ke masyarakat, satpam menjadi sindico yang
mengawasi para penderita penyakit, rektor menjadi pemutus dari sembuh tidaknya para
mahasiswa yang akan diterjunkan ke masyarakat, mahasiswa dan masyarakat umum adalah
mereka yang akan mengevaluasi apakah mahasiswa yang lulus betul betul telah sembuh dari
penyakit.
Jika diamati para penderita kusta dijauhi oleh masyarakat dengan alasan moralitas
penyakit (new morality ), sedangkan mahasiswa di jauhi dengan alasan tak bermoral dan penuh
dengan kekerasan, amburadul, pemberontakan dan masih banyak yang lain. Dengan kata lain
panoptikon kampus lebih mengacu pada moralitas budaya, dan harus kita akui bahwa budaya
saat ini sedang dimanfaatkan oleh kekuasaan. Apabila diibaratkan dengan rumah sakit yang
bertujuan menghilangkan penyakit pes dan kusta sembari menyingkirkan orang-orang miskin,
penderita kusta dari kota untuk menciptakan kota yang teratur, Kampus tidak lebih dari rumah
sakit modern yang dimana berusaha untuk menghilangkan penyakit dari mahasiswa. Penyakit

apa? Penyakit kemerdekaan dan pemberontakan. Mengapa harus dihilangkan? Karena apabila
tidak dihilangkan maka akan penyakit tersebut akan menggangu jaringan organisme yang lain,
Negara dan Rektorat misalnya. Mahasiswa harus menjadi manusia yang teratur dan terkontrol.
Itulah mengapa kampus begitu banyak tersebar seperti layaknya rumah sakit. Setelah “sembuh”
menjadi manusia yang teratur dan terkontrol, siapakah yang untung? Tentu saja pemegang
kekuasaan pemerintah (presiden) dan pemegang kekuasaan modal (borjuis). Secara logika,
barang yang sehat diproduksi oleh orang yang sehat, barang yang berkualitas diproduksi oleh
orang yang berkualitas. Maka dengan legitimasi sehat dari “dokter” kampus, mahasiswa pun
secara tidak langsung diterjungkan kedalam arena produksi untuk memproduksi produk yang
sehat. Sehingga selain sebagai rumah sakit, maka kampus dibentuk seperti sebuah penjara yang
digunakan untuk menciptakan manusia (mahasiswa) yang patuh bagi kapitalis. Logika penjara
asli adalah digunakan untuk menciptakan manusia (mahasiswa) yang patuh bagi Negara. Logika
kedua penjara ini sama saja yaitu menciptakan manusia (mahasiswa) yang patuh. Patuh terhadap
segala kondisi, tidak ada pertanyaan mengapa harus dilahirkan, mengapa harus kerja, mengapa
harus sekolah, mengapa harus berorganisasi, dan mengapa harus mati. Karena ketika bertanya,
maka siap-siaplah menghadapi hukuman. Hukuman yang lahir dari panoptikon-panoptikon yang
mengawasi gerak-gerik kita.

MUH.ILHAM DHANI ASRIAWAN

Dokumen yang terkait

FREKUENSI KEMUNCULAN TOKOH KARAKTER ANTAGONIS DAN PROTAGONIS PADA SINETRON (Analisis Isi Pada Sinetron Munajah Cinta di RCTI dan Sinetron Cinta Fitri di SCTV)

27 310 2

DEKONSTRUKSI HOST DALAM TALK SHOW DI TELEVISI (Analisis Semiotik Talk Show Empat Mata di Trans 7)

21 290 1

MANAJEMEN PEMROGRAMAN PADA STASIUN RADIO SWASTA (Studi Deskriptif Program Acara Garus di Radio VIS FM Banyuwangi)

29 282 2

MOTIF MAHASISWA BANYUMASAN MENYAKSIKAN TAYANGAN POJOK KAMPUNG DI JAWA POS TELEVISI (JTV)Studi Pada Anggota Paguyuban Mahasiswa Banyumasan di Malang

20 244 2

PERANAN ELIT INFORMAL DALAM PENGEMBANGAN HOME INDUSTRI TAPE (Studi di Desa Sumber Kalong Kecamatan Wonosari Kabupaten Bondowoso)

38 240 2

Analisis Sistem Pengendalian Mutu dan Perencanaan Penugasan Audit pada Kantor Akuntan Publik. (Suatu Studi Kasus pada Kantor Akuntan Publik Jamaludin, Aria, Sukimto dan Rekan)

136 695 18

DOMESTIFIKASI PEREMPUAN DALAM IKLAN Studi Semiotika pada Iklan "Mama Suka", "Mama Lemon", dan "BuKrim"

133 700 21

PEMAKNAAN MAHASISWA TENTANG DAKWAH USTADZ FELIX SIAUW MELALUI TWITTER ( Studi Resepsi Pada Mahasiswa Jurusan Tarbiyah Universitas Muhammadiyah Malang Angkatan 2011)

59 326 21

KONSTRUKSI MEDIA TENTANG KETERLIBATAN POLITISI PARTAI DEMOKRAT ANAS URBANINGRUM PADA KASUS KORUPSI PROYEK PEMBANGUNAN KOMPLEK OLAHRAGA DI BUKIT HAMBALANG (Analisis Wacana Koran Harian Pagi Surya edisi 9-12, 16, 18 dan 23 Februari 2013 )

64 565 20

PENERAPAN MEDIA LITERASI DI KALANGAN JURNALIS KAMPUS (Studi pada Jurnalis Unit Aktivitas Pers Kampus Mahasiswa (UKPM) Kavling 10, Koran Bestari, dan Unit Kegitan Pers Mahasiswa (UKPM) Civitas)

105 442 24