Penggunaan bahasa daerah di Jakarta

PENGGUNAAN BAHASA DAERAH: STUDI KASUS JAKARTA
Retno Asihanti Setiorini, S. Hum
Pusat Dokumentasi dan Informasi Ilmiah-Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia
Jln. Gatot Subroto 10, Jakarta
Email: sapieno@yahoo.com
Abstrak:
Sebagai ibu kota Negara Indonesia, Jakarta memiliki magnet tersendiri bagi penduduk Indonesia. Oleh karena itu,
penduduk Jakarta terdiri atas berbagai suku, baik suku asli maupun pendatang. Tujuan penelitian ini adalah melihat
bahasa ibu dari anak para pendatang. Batasan yang diambil untuk reponden adalah lahir hingga dewasa tinggal di
Jakarta, tetapi memiliki orang tua yang berasal dari daerah di luar Jawa Barat. Responden mengaku bahwa bahasa
ibu mereka bahasa Indonesia dan mereka berkomunikasi dengan orang tua mereka dengan bahasa Indonesia
walaupun orang tua mereka masih dapat menggunakan bahasa daerahnya. Dari 13 orang responden, tujuh responden
(53,86%) mengaku mereka dapat menggunakan bahasa daerahnya secara pasif, tiga responden mengaku dapat
menggunakan bahasa daerahnya secara aktif (23,07%), sementara sisanya (23,07) mengaku tidak dapat
menggunakan bahasa daerahnya sama sekali. Berdasarkan hasil ini, dapat disimpulkan bahwa bahasa ibu penduduk
Jakarta yang lahir dan dewasa di Jakarta, tetapi memiliki orang tua pendatang adalah bahasa Indonesia.

Kata kunci: Bahasa ibu; Bahasa daerah; Bahasa Indonesia; Jakarta

THE USE OF VERNACULAR LANGUAGE: A CASE STUDY IN JAKARTA
As the capital of Indonesia, Jakarta has his own magnetism for Indonesian people. Urbanization from other city or

rural area has been happened since years ago. That is the reason for the multiethnic life in Jakarta. The aim of this
research is to find the mother language of immigrant children that came from out of Jawa Barat. During the
interview, respondents state that their mother language is Indonesian language and they communicate using
Indonesian language with their parents although (most of) their parents are active in using their local language.
Three respondents (23.07%) state that they actively using their local language, while seven respondents (53.86%)
state they passively understand their local language, and three respondents (23.07%) state they cannot using their
local language either passive nor active. This research concluded that the mother language used by immigrant
children from outside Jawa Barat that born and raised in Jakarta is Indonesian language.

Keyword: Mother tongue; Vernacular language; Local language; Indonesian language; Jakarta
A. Pendahuluan
Bahasa dan masyarakat merupakan dua unsur yang tak dapat terpisahkan. Bahasa merupakan
salah satu sarana perekat manusia dalam satu tatanan masyarakat. Fungsi bahasa bukan hanya sekadar alat
komunikasi, bahasa juga alat identitas suku/bangsa. Hal ini diperkuat dengan sifat keberlakuan bahasa,
yaitu kontrak sosial.
Bahasa dan masyarakat sekaligus dua hal yang tak dapat lepas dari manusia. Tercipta sebagai
makhluk sosial, manusia memiliki kebutuhan untuk berhubungan dengan manusia lain. Oleh karena itu,

1


manusia membutuhkan satu “alat” untuk berkomunikasi dengan manusia lain. Untuk mengakomodir
kebutuhan tersebutlah, hadirlah bahasa. Dengan adanya bahasa, manusia dapat berkomunikasi dan
bekerja sama sehingga terbentuklah satu pola kehidupan bersama. Dari kebutuhan itu kemudian manusia
berkumpul, hidup bersama dalam satu kelompok yang memiliki aturan nilai tertentu. Kelompokkelompok inilah yang kemudian terbentuk menjadi masyarakat.
Selama anggota masyarakat tetap berada di kelompoknya, ia tidak akan mengalami kesulitan
dalam berbahasa dan berkomunikasi dengan anggota masyarakat lain. Namun, bagaimana jika satu
anggota masyarakat ingin berbahasa dan berkomunikasi dengan anggota masyarakat lain, di luar
kelompok masyarakatnya? Jika ada dua orang ingin berkomunikasi, tentu mereka membutuhkan satu alat,
satu bahasa yang sama. Dengan kata lain, mereka harus menguasai bahasa yang sama. Hal ini dapat
diatasi dengan kemampuan berbahasa manusia karena pada dasarnya, kemampuan manusia dalam
berbahasa mengizinkan seseorang menguasai lebih dari satu bahasa. Seiring dengan perkembangan
kehidupan masyarakat yang semakin kompleks, pertemuan antara dua orang atau lebih yang berasal dari
anggota kelompok yang berbeda-beda semakin tidak bisa dihindari.
Jakarta merupakan ibu kota Negara Indonesia. Status Jakarta sebagai kota metropolitan telah
menjadi magnet yang kuat bagi banyak orang. Perpindahan penduduk dari berbagai daerah ke Jakarta
telah menjadikan Jakarta sebagai kota yang multietnis. Jumlah penduduk pun meningkat pesat.
Berdasarkan website resmi kota Jakarta, jumlah penduduk Jakarta pada bulan Desember 2009 mencapai
8.520.772 (warga negara Indonesia) ditambah 2.385 warna negara asing.
Kebutuhan akan berkomunikasi dan bekerja sama “memaksa” masyarakat Jakarta menggunakan
satu alat yang dapat dimanfaatkan untuk berkomunikasi dengan orang lain yang berbeda suku. Bahasa

Indonesia sebagai bahasa persatuan sekaligus bahasa nasional merupakan alat yang paling tepat untuk
menjawab masalah itu. Namun, hal itu menimbulkan pertanyaan baru, bagaimana dengan keberadaan
bahasa daerah?
Masalah yang akan dibahas di sini adalah keberadaan bahasa daerah di Jakarta. Masalah ini
dibatasi pada penggunaan bahasa daerah oleh penutur bahasa yang dilahirkan dan dibesarkan di Jakarta,
tetapi memiliki orang tua yang berasal dari daerah di luar Jawa Barat. Masalah utama yang ingin dijawab
adalah apakah bahasa ibu penutur bahasa yang lahir dan dibesarkan di Jakarta, tetapi memiliki orang tua
dari daerah di luar Jawa Barat? Bagaimana penggunaan bahasa daerah oleh anak penutur bahasa daerah?
Jadi, penelitian ini dibatasi pada pemakaian bahasa daerah oleh masyarakat pendatang di Jakarta, tanpa
melihat bagaimana perkembangan bahasa daerah Jakarta (Betawi) sendiri.
Tujuan penelitian ini adalah melihat bahasa ibu dari anak para pendatang. Manfaat penelitian ini
adalah mendapatkan gambaran mengenai penggunaan bahasa daerah di Jakarta. Melalui penelitian ini,

2

diharapkan dapat diketahui bahasa apa yang digunakan sebagai bahasa ibu oleh penutur bahasa di Jakarta
dan bagaimanakah kemampuan bahasa daerah mereka.
B. Metodologi
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian lapangan dengan cara wawancara.
Wawancara dilakukan secara langsung kepada responden dengan daftar pertanyaan terstruktur. Walaupun

demikian, dilakukan pula pengembangan terhadap daftar pertanyaan yang ada. Selain wawancara,
dilakukan pula analisis pustaka untuk mencari literatur yang mendukung penelitian ini.
Responden dalam penelitian ini adalah penutur bahasa yang dilahirkan dan dibesarkan di Jakarta,
tetapi memiliki orang tua yang berasal dari daerah di luar Jawa Barat. Usia responden dibatasi antara 25
sampai dengan 35 dengan pertimbangan pada usia tersebut umumnya sesorang sudah mulai hidup secara
mandiri. Pemilihan responden dilakukan secara acak. Jumlah keseluruhan responden adalah 13 orang.
Tiap responden menjawab pertanyaan antara 15 sampai 20 pertanyaan. Pertanyaan yang sudah
disiapkan adalah 15, sementara selebihnya merupakan pengembangan terhadap pertanyaan berdasarkan
tanggapan responden.
C. Kerangka Teori
Sejak dulu, Jakarta mempunyai daya tarik tersendiri. Bahkan, menurut sejarah, kota pelabuhan
Sunda Kelapa (Jakarta) yang terletak di muara Sungai Ciliwung ini merupakan pusat perdagangan yang
sangat penting sejak abad ke-12. Begitu pentingnya kota pelabuhan ini sehingga menarik perhatian orangorang Portugis yang sejak tahun 1511 sudah bercokol di daratan Malaka (Hakim, 1989: 9). Arus
perpindahan penduduk ke Jakarta (dulu Sunda Kelapa, Batavia) berlangsung terus hingga pada abad ke21 ini. Dalam website resmi Menkokesra Indonesia dikatakan, Jakarta sebagai ibu kota negara, sejak dulu
telah menjadi buruan pencari kerja dari berbagai wilayah tanah air. Oleh karena itu, tidak mengherankan
jika penduduk kota ini terus tumbuh dengan pesat. Pertumbuhan penduduk di Jakarta terus bertambah
pesat sehingga Sutiyoso sewaktu masih menjadi Gubernur DKI meminta warga ibu kota yang hendak
mudik selama libur lebaran 1428 H, tidak membawa sanak keluarganya saat kembali ke Jakarta.
Menurut Muhadjir, pemakai bahasa Indonesia di Jakarta meliputi jumlah yang amat besar, yaitu
mencapai 91,91% dari seluruh jumlah penduduk. Penduduk Jakarta yang sebagian merupakan kaum

pendatang meninggalkan bahasa asalnya dan menggunakan bahasa Indonesia variasi lokal sebagai bahasa
sehari-hari mereka (Masinambow, 2002: 95-96). Nurachman dalam Seminar Nasional Bahasa dan Sastra
dalam Konteks Keindonesiaan II menyatakan bahwa jumlah penutur satu bahasa secara signifikan
berkaitan dengan keberlanjutan bahasa tersebut. Satu bahasa dianggap mati apabila sudah tidak ada lagi
penuturnya.

3

Seorang penutur mendapatkan bahasa pertamanya melalui orang di lingkungannya yang
mengajaknya berbahasa. Proses penguasaan bahasa pertama ini disebut pemerolehan bahasa.
Pemerolehan bahasa merupakan satu proses perkembangan yang terjadi pada manusia sejak ia lahir.
Proses ini berbeda dengan pembelajaran bahasa. Pembelajaran bahasa merupakan proses belajar bahasa
setelah seseorang memperoleh bahasa pertamanya. Bahasa pertama yang dikuasai atau diperoleh anak
disebut juga bahasa ibu atau native language (Dardjowidjojo, 2003)
Pada proses pemerolehan bahasa, seseorang tidak dapat dengan leluasa memilih bahasa apa yang
mereka inginkan sebagai bahasa ibu mereka. Pemilihan bahasa dilakukan oleh orang yang mengajarkan
bahasa ibu kepada seseorang. Pada umumnya, orang yang berperan sangat besar dalam pemerolehan
bahasa seseorang adalah orang tua. Artikel “Bahasa Daerah Semakin Punah” menyatakan bahwa o rang

tua adalah mata rantai “pewarisan” bahasa daerah ke anak-anaknya. Kalau si anak sudah tidak

memakai bahasa daerah, anak dari anak itu tidak akan memakai bahasa itu. Menurut banyak ahli
bahasa, inilah permulaan kematian bahasa.
D. Pembahasan
Berdasarkan wawancara diketahui bahwa semua responden sejak lahir hingga dewasa tinggal
bersama orang tuanya dan mengenal bahasa pertama kali dari orang tuanya. Semua responden juga
mengaku bahwa mereka mereka lahir dan dibesarkan di Jakarta, sementara orang tua mereka dilahirkan
dan dibesarkan di daerah asal masing-masing.
Dari 12 responden, terdapat dua orang yang mengaku (orang tuanya) berasal dari Jawa Tengah,
dua orang dari Jawa Timur, tiga orang dari Padang (Minangkabau), tiga orang dari Medan (Batak), satu
orang dari Manado, satu orang dari Bengkulu, dan satu orang dari Bali. Hasil wawancara menunjukkan
bahwa bahasa yang pertama kali diajarkan kepada semua responden (100%) adalah bahasa Indonesia. Ini
berarti semua responden kurang atau bahkan tidak diperkenalkan pada bahasa daerahnya pada masa
pemerolehan bahasa. Saat memasuki usia sekolah, para responden pun semakin mengenal dan mendalami
bahasa Indonesia.
Ada dua orang responden yang menjelaskan bahwa pada awalnya orang tua mereka
mengajarkan/menggunakan kedua bahasa (bahasa Indonesia dan daerah) kepada anaknya. Namun, pada
akhirnya para orang tua memilih menggunakan bahasa Indonesia karena anaknya (responden) bingung
dalam menggunakan bahasa (bahasa Indonesia bercampur dengan bahasa daerah). Selain itu, responden
diejek temannya karena bahasa Indonesianya bercampur dengan logat bahasa daerah.
Sebanyak tujuh responden mengaku dapat memahami bahasa daerahnya secara pasif. Walaupun

mereka tidak dapat berkomunikasi secara aktif menggunakan bahasa daerahnya, mereka dapat memahami
percakapan dalam bahasa daerahnya. Hal ini menunjukkan bahwa sebenarnya mereka bukannya tidak

4

mengenal bahasa daerahnya sama sekali. Walaupun dalam kehidupan sehari-harinya para responden
menggunakan bahasa Indonesia, pada kesempatan tertentu mereka mendengar/ “bersentuhan” dengan
bahasa daerahnya. Sebanyak tiga orang mengaku tidak dapat berbahasa dengan bahasa daerahnya sama
sekali kecuali beberapa patah kata saja. Sisanya, sebanyak tiga orang mengaku dapat mengguna bahasa
daerahnya secara aktif. Walaupun begitu, mereka membatasi kemampuan mereka pada kemampuan
berkomunikasi sehari-hari. Salah seorang responden suku Jawa (Tengah) misalnya, mengungkapkan
bahwa ia tidak dapat menggunakan bahasa Jawa halus (Krama Inggil).
Semua responden (100%) mengaku bahwa mereka menggunakan bahasa Indonesia sebagai
bahasa sehari-hari mereka dalam lingkungan pergaulan maupun kerja mereka. Para responden (100%)
juga mengaku kalau mereka menggunakan bahasa Indonesia dalam berkomunikasi kepada orang tua
mereka.
Ada dua belas dari tiga belas responden (92,30%) yang mengaku bahwa orang tua mereka dapat
menggunakan bahasa daerahnya secara aktif. Peneliti mengasumsikan hal ini terkait dengan konteks
semua orang tua responden dilahirkan dan dibesarkan di daerah asalnya. Namun, orang tua responden
tidak menggunakan bahasa daerahnya saat berkomunikasi sehari-hari dengan anaknya (responden).

Walaupun begitu, responden mengakui bahwa sesekali bahasa yang digunakan orang tua mereka
bercampur dengan bahasa daerah. Orang tua responden menggunakan bahasa daerahnya saat berbicara
dengan keluarga, teman dari kampung, pasangannya, dan orang tuanya.
Ada satu orang responden (7,69%) yang mengatakan orang tuanya hanya mampu berbahasa
daerah secara pasif walaupun orang tuanya dilahirkan dan dibesarkan di daerah asalnya. Menurut
responden, orang tuanya lahir di daerah kota (Medan) yang juga sudah biasa menggunakan bahasa
Indonesia walau kakek-nenek responden (orang tua dari orang tua responden) dapat berbahasa daerah
secara aktif. Orang tua yang hanya dapat berbahasa daerahnya secara pasif ini, tidak pernah menggunakan
bahasa daerah sama sekali kepada anaknya sehingga responden hanya pernah mendengar bahasa
daerahnya ketika melalui kakek-neneknya.
Sebanyak dua orang responden mengaku belum pernah mengunjungi daerah asal orang tuanya.
Sementara itu, dari sepuluh responden yang mengaku pernah mengunjungi tempat tinggal/ daerah asal
orang tuanya, hanya dua orang yang mengaku sering mengunjungi tempat tinggal/ daerah asal orang
tuanya. Namun salah seorang responden, menurut pengakuannya, baru sering mengunjungi daerah asal
orang tuanya sejak tiga tahun terakhir karena terkait dengan masalah pekerjaan. Sebanyak Sembilan
orang lainnya mengaku jarang mengunjungi tempat tinggal/ daerah asal orang tuanya. Batasan sering di
sini adalah minimal 1 kali dalam 1 tahun. Untuk orang tuanya sendiri, ada empat responden yang
mengatakan orang tuanya sering mengunjungi tempat tinggal/ daerah asalnya, satu responden mengatakan

5


orang tuanya mengunjungi tempat tinggal/ daerah asalnya 1 kali dalam 2 tahun, sementara tujuh orang
lainnya mengaku orang tuanya jarang mengunjungi tempat tinggal/ daerah asalnya.
Dari 13 responden, lima (30,76%) di antaranya mengaku tidak tertarik untuk mempelajari atau
mendalami bahasa daerahnya. Sementara itu, delapan responden (61,53%) mengaku ingin mempelajari
atau mendalami bahasa daerahnya dengan alasan yang berbeda-beda. Alasan terbanyak adalah merasa
tertarik mempelajari bahasa daerah/ ingin menjaga budaya daerahnya. Selain itu, alasan lain yang
dikemukakan oleh responden adalah ingin menikah dengan orang satu suku (Batak), menambah
kemampuan berbahasa, tuntutan pekerjaan (mengajar bahasa Indonesia untuk orang asing), ingin
memahami tontonan berbahasa Jawa (srimulat, ketoprak), dan memudahkan komunikasi di pasar
(menawar barang). Sementara itu, alasan responden yang tidak ingin mempelajari bahasa daerahnya lebih
dalam adalah lingkungannya tidak berbahasa daerah dan sudah puas dengan kemampuan sekarang (pasif).
Pernyataan di atas menunjukkan bahwa sebagian besar responden (58,3%) memiliki keinginan
mempelajari bahasa daerahnya. Namun, ketika ditanya lebih lanjut mengenai ketertarikan itu, mereka
tidak dapat menjelaskan lebih lanjut alasan ketertarikan tersebut. Asumsi penulis, hal ini terkait dengan
rasa memiliki yang dirasakan responden atas bahasa daerah mereka. Namun, melihat bahwa para
responden menggunakan bahasa Indonesia dalam pergaulan dan kehidupan kerjanya serta dalam
berkomunikasi dengan orang tuanya, para responden tidak memiliki lawan berbicara dalam bahasa derah.
Walaupun orang tua responden mampu berbahasa daerah dengan aktif, salah seorang responden
menyatakan segan menggunakan bahasa daerah dengan orang tuanya karena merasa kemampuan bahasa

daerahnya kurang baik (takut ditertawakan).
Berdasarkan analisis terhadap hasil wawancara, timbul asumsi bahwa terdapat kaitan antara
kemampuan berbahasa daerah dengan keterkaitan responden (penutur bahasa) terhadap daerah asalnya.
Hal ini terlihat dari jawaban respoden bahwa responden yang dapat menggunakan bahasa daerahnya
secara aktif menyatakan sering mengunjungi daerah asalnya. Dari penuturan responden juga terungkap
bahwa dengan perginya mereka ke daerah asal orang tuanya, ada semacam tuntutan untuk lebih
menguasai bahasa daerahnya agar dapat berkomunikasi dengan keluarga di daerah asal orang tuanya.

E. Kesimpulan dan Saran
Berdasarkan hasil penelitian ini, dapat disimpulkan bahwa bahasa ibu penduduk Jakarta yang
lahir dan dewasa di Jakarta, tetapi memiliki orang tua pendatang adalah bahasa Indonesia. Mereka
menggunakan bahasa Indonesia dalam pergaulan dan lingkungan mereka. Mereka bahkan menggunakan
bahasa Indonesia untuk berkomunikasi dengan orang tua mereka walaupun orang tua mereka aktif dalam
menggunakan bahasa daerahnya.

6

Lebih dari separuh (58,3%) responden menyatakan bahwa mereka memiliki keinginan untuk
mempelajari bahasa daerahnya dengan lebih mendalam. Ketertarikan terhadap bahasa daerah itu masih
ada walaupun mereka tidak dapat menjelaskan dengan tepat mengapa mereka ingin mendalami/

mempelajari bahasa daerahnya. Alangkah baiknya apabila keinginan penutur bahasa tersebut mendapat
sarana sehingga dapat terwujud.
Penelitian ini hanyalah penelitian pendahuluan. Penelitian ini dapat memberikan contoh
gambaran penggunaan bahasa di kota-kota besar yang penduduknya multietnis dan sebagian
penduduknya merupakan pendatang. Akibat keterbatasan waktu, jumlah responden dalam penelitian ini
masih terbatas. Oleh karena itu, penulis berharap nantinya penelitian ini dapat lebih diperdalam dan
diperluas lagi baik dari segi responden maupun aspek yang ditelitinya.
F. Daftar Pustaka
Hakim, Abdul. Jakarta Tempo Dulu. Jakarta: Pustaka Antarkota, 1989
Kridalaksana, Harimurti. Kamus Linguistik ed. ketiga. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2001.
Kushartanti, Untung Yuwono, dan Multamia R.M.T. Lauder (ed.). Pesona Bahasa: Langkah Awal
Memahami Linguistik. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2005.
Masinambow, E.K.M dan Paul Haenen (editor). Bahasa Indonesia dan Bahasa Daerah. Jakarta: Yayasan
Obor Indonesia, 2002.
Dardjowidjojo, Soenjono. Psikolinguistik: Pengantar Pemahaman Bahasa Manusia. Jakarta: Yayasan
Obor Indonesia, 2003.
“Bahasa Daerah Semakin Punah” diambil dari http://www.beritaindonesia.co.id/humaniora/bahasa-

daerah-semakin-punah/ diakses pada 27 Januari 2010
“Bendung Urbanisasi Omong Kosong” diambil dari
http://www.menkokesra.go.id/content/view/6180/39/ diakses pada 8 Februari 2010
“Indonesia miliki 750 Bahasa Daerah” diambil dari http://beritasore.com/2009/06/17/indonesiamiliki-750-bahasa-daerah/ diakses pada 27 Januari 2010
“Penduduk DKI Jakarta Des 2009” diambil dari http://www.kependudukancapil.go.id/index.php?
content:read&o=376 diakses pada 8 Februari 2010

7

LAMPIRAN

Daftar Pertanyaan

Nama
Usia

:
:

1. Berasal dari manakah orang tua Anda (suku)?
2. Apakah orang tua Anda dilahirkan dan dibesarkan di daerah asalnya?
3. Di manakah Anda dilahirkan dan dibesarkan?
4. Apakah saat Anda lahir hingga bersekolah Anda tinggal bersama orang tua Anda?
5. Bahasa apa yang pertama kali diperkenalkan kepada Anda?
6. Dari siapakah Anda memperoleh/ mengenal bahasa pertama Anda?
7. Apakah Anda mampu menggunakan bahasa daerah Anda? (aktif/pasif)
8. Dengan bahasa apa Anda berkomunikasi dalam lingkungan pergaulan dan kerja Anda?
9. Dengan bahasa apa Anda berkomunikasi dalam lingkungan keluarga (termasuk orang tua)
Anda?
10. Apakah orang tua Anda menguasai bahasa daerahnya?
11. Jika ya, dengan siapa ia menggunakannya?
12. Apakah orang tua Anda sering mengunjungi daerah asalnya? (sering: minimal 1x dalam 1
tahun)
13. Pernahkah Anda mengunjungi daerah asal orang tua Anda?
14. Apakah Anda sering mengunjungi daerah asal orang tua Anda?
15. Apakah Anda ingin mempelajari/mendalami kemampuan bahasa daerah Anda? Mengapa?

8

Hasil coding wawancara dengan 13 responden:
1. Batak: 3 orang, Padang: 3 orang, Jawa tengah: 2 orang, Jawa Timur: 2 orang, Bali: 1
orang, Bengkulu: 1 orang, Menado: 1 orang
2. Ya: 13 orang
3. Jakarta: 13 orang
4. Ya: 13 orang
5. Bahasa Indonesia: 13 orang
6. Orang tua: 13 orang
7. Tidak: 4 orang, Ya (aktif): 3 orang, Ya (pasif): 7 orang
8. Bahasa Indonesia: 13 orang
9. Bahasa Indonesia: 13 orang
10. Ya (aktif): 12 orang, Ya (pasif): 1 orang (orang tua dari lahir hingga dewasa tinggal di
daerah perkotaan (Medan))
11. Keluarga: 7 orang, keluarga (termasuk pasangan) dan teman: 3, Orang tuanya: 1
12. Sering: 2 orang, 2 tahun 1 kali: 1 orang, Jarang: 10 orang
13. Pernah: 11 orang, Tidak pernah: 2 orang
14. Jarang: 11 orang, Sering: 2 orang ( satu orang saat lebaran, satu orang karena masalah
pekerjaan)
15. Tidak: 4 orang dengan alasan: a. Lingkungan tidak berbahasa daerah
b. Sudah puas dengan kemampuan sekarang (pasif)
Ya: 9 orang dengan alasan: a. Menambah kemampuan berbahasa
b. Ingin menikah dengan orang Batak
c. Menjaga budaya/ tertarik saja
d. Agar dapat menawar barang di pasar (pedagang di pasar
banyak yang berbahasa Jawa dan kalau bias berbahasa
Jawa bisa dapat harga lebih murah)
9

e. Memahami tontonan dalambahasa Jawa (Srimulat dan
Ketoprak)
f. Komunikasi dengan keluarga
g. Tuntutan pekerjaan (guru bahasa Indonesia untuk orang
asing)
h. Untuk sekadar tahu (tidak ingin mendalami)

10