kehidupan minoritas muslim di China

A. Confucianism dan Pentingnya bagi Orang China
a) Confucianism dan Islam
Ketika pemerintahan Dinasti Chou, banyak sekali bermunculan para filosof
terkemuka. Para filosof ini merupakan ahli dalam hal menerapkan etika-etika
tradisional, ‘pengorbanan’ sebagai persembahan untuk para leluhur mereka, yang
selalu dilakukan saat festival-festival. Ritual-ritual yang dilakukan ini mengalami
peningkatan sehingga para filosof atau cendekia ini banyak dipanggil oleh pihak
istana. Tidak jarang para cendekia ini dijadikan sebagai penasihat orang-orang
istana, dijadikan sebagai tutor bagi para anak-anak mereka. Para cendekia ini juga
diberi kepercayaan untuk melaksanakan pengorbanan dan festival-festival.1
Filosof China yang terkenal, Confusius ( Kung Tzu ) merupakan salah satu dari
mereka. Confucianism atau konfusius juga dikenal dengan sebutan Kong Fuzi
atau Kong Zi yang memiliki arti “ Guru Bermarga Kong “. Confucianism ini
adalah buah hasil pemikiran Kong Zi atas penyalahgunaan festival-festival
tersebut. Pada awalnya adat-istiadat itu berjalan dengan baik, tapi kemudian adatistiadat dalam festival-festival ini hanya menjadi semacam peraturan-peraturan
upacara pengorbanan dan kesopanan basa-basi semata serta panduan berperilaku
bagi kaum bangsawan terhadap sesama mereka. Tidak ada kesungguhan dalam
melaksanakannya, sehingga kemerosotan moral terjadi di mana-mana.
Konfusius pun memberikan kritikan terhadap adat-istiadat yang berlaku saat itu :
“Bila para penguasa bersungguh-sungguh dalam menyelenggarakan upacara
pengorbanan pada leluhur, mengapa mereka tidak bersungguh-sungguh pula

dalam memperbaiki pemerintahan ? Bila para menteri memperlakukan sesama
menteri dengan adat-istiadat kesopanan pergaulan istana, mengapa mereka tidak
memperlakukan rakyat yang merupakan tulang punggung negeri dengan cara
yang sama pula ?”.
Konfusius mengajarkan pada muridnya untuk memperlakukan setiap orang di
mana saja seolah-olah sedang menerima tamu penting, dan bila menjadi seorang

1

Wolfram Eberhard, A History of China : From The Earliest Times To The Present Day,
( London : 1960 ), hal. 41.

pegawai pemerintahan, ia hendaknya memimpin rakyatnya seolah-olah sedang
menyelenggarakan upacara pengorbanan besar-besaran pada leluhur.2
Dari sinilah awal mula terbentuknya pola pikir masyarakat China. Dalam tradisi
pemerintahan lokal di China, para tetua di desa mengambil peran sebagai
penengah, dan sebagai pemimpin ritual serta perayaan-perayaan tradisional.3
Islam yang masuk ke China pada masa Dinasti Sui (586-601 A.D) melalui adanya
kontak dagang antara Arab dan China, 4 menandakan bahwa masyarakat Muslim
memang sudah ada sejak itu dan bahkan ada yang menetap dan menikah dengan

penduduk setempat.5 Sehingga pada Dinasti Chou ini, hal yang sangat wajar jika
di suatu desa terdapat keluarga Muslim. Lalu bagaimana ketika ada keluarga
Muslim di desa tersebut ? Mereka tidak mengikuti perayaan-perayaan karena
bertentangan dengan ajaran Islam, sehingga mereka terbatas dalam bersosialisasi.
Kemudian bagaimana seharusnya orang China memperlakukan Muslim yang
jelas-jelas berbeda dengan mereka ? Karena tidak mungkin mereka menerapkan
dasar-dasar konfusius terhadap Muslim.
Dari sudut pandang intelektual orang China, jika konfusius tidak berarti apa-apa
bagi para Muslim, ini menandakan bahwa mereka berada di luar batas peradaban.
Khususnya, jika mereka kurang setia terhadap dasar-dasar konfusius atas
hubungan kasih-sayang antar manusia dengan raja mereka ( karena raja dianggap
sebagai wakil tuhan ), begitu pula ketidaktahuan mereka atas pemujaan-pemujaan
terhadap roh nenek moyang.
Orang-orang China menyatakan jika berkah dari surga yang dipancarkan ke bumi
melalui Son of Heaven ( dalam hal ini, raja ), para Muslim, yang tidak
menunjukkan kesetiaan maupun ketaatan mereka terhadap raja, tidak dapat
bergembira atas berkah ini dan hal ini sekaligus menandakan bahwa Muslim tidak
bisa ikut ataupun mengambil bagian dari peradaban orang-orang China. Pada
2


Ivan Taniputera, History of China, ( Jogjakarta : 2011 ), hal. 104.

3

Raphael Israeli, Muslim in China : A Study in Cultural Confrontation, ( USA : 1980 ), hal. 20.

4

Marshall Broomhall, Islam in China : A Neglected Problem, ( London : 1987 ), hal. 9.

5

T.W. Arnold, The Preaching of Islam, ( London : 1896 ), hal. 296.

umumnya, pemujaan terhadap roh nenek moyang dan hubungan kasih-sayang
terhadap raja termasuk sebagai penerimaan cara-cara kuno. Jika para Muslim
memiliki kalender mereka sendiri, merayakan perayaan atau festival mereka
sendiri, tidak mempunyai cinta-kasih khusus terhadap tempat tinggal mereka dan
tidak memberikan perhatian kepada cara-cara orang China, lalu bagaimana bisa
mereka dianggap sebagai orang China ?6

Kemudian muncullah istilah atau panggilan Hui-Hui atau Hui-Tzu terhadap
Muslim China yang mengartikan bahwa mereka adalah aliran atau sekte minoritas
jika dibandingkan dengan konfusius sebagai ‘ agama yang paling besar ‘. 7 Istilah
ini diberikan orang China terhadap Muslim China sebagai penanda bahwa mereka
beda dengan orang China atau dengan kata lain, mereka bukanlah orang China
(non-Chinese).
b) Pandangan Orang China terhadap Muslim China
Dengan semakin luasnya penyebaran Islam di China, maka semakin bertambah
banyak masyarakat China di daerah pedalaman yang melakukan hubungan
sosialisasi dengan komunitas-komunitas Muslim, sehingga kontak dengan
masyarakat Muslim menjadi suatu hal yang universal. Dalam sebuah ilustrasi
populer, masyarakat Muslim sering dilukiskan sebagai manusia yang kejam, tidak
mempunyai kasih-sayang, agresif dan makhluk serakah yang mampu melakukan
tindakan yang paling buruk untuk mencapai tujuannya.
Otentik atau tidaknya ilustrasi tersebut jelas telah menjadi sebuah kepercayaan
umum masyarakat China, itulah permasalahannya. Ketika hal yang sebenarnya
hanya sebuah prasangka, akan menjadi fakta umum jika banyak orang yang
mempercayai hal tersebut. Bukan itu saja, terdapat pepatah masyarakat China
yang mengatakan bahwa “ tiga Muslim sama dengan satu Muslim; dua Muslim
sama dengan setengah Muslim; dan satu Muslim sama dengan non-Muslim “.

Maksud dari pepatah ini ialah jika Muslim melakukan perjalanan seorang diri
maka ia akan tumbuh gemuk, sementara Muslim yang melakukan perjalanan
6

Raphael Israeli, Op. Cit., hal. 20.

7

Marshall Broomhall, Op. Cit., hal. 167.

dengan sesama Muslim maka mereka akan kurus. Jadi, Muslim yang sendirian itu
tentu saja akan memakan daging babi sementara yang dua Muslim itu tidak akan
berani memakannya.
Muslim sering dianggap egois dan serakah, yang semakin memperkuat ketidaksukaan masyarakat China dan perasaan jijik terhadap mereka. Untuk menjadi
seorang Muslim di China ini sangatlah tidak mudah. Mereka harus siap dengan
banyaknya ejekan dan cemoohan yang diberikan orang China terhadap mereka.
Diantara sesama masyarakat China, mereka tidak pernah menggunakan kata
‘babi’ sebagai ejekan, tetapi hal itu dilakukan oleh mereka terhadap Muslim
China. Istilah-istilah seperti p’ing-tsui; hsiao i-pa (ekor babi); chu-wa (anak babi);
dan hsiao chu-tan (telur babi kecil). Penggunaan kata ‘babi’ ini memang

disiapkan untuk Muslim, mengklaim bahwa babi adalah hewan suci masyarakat
Muslim atau tuhan mereka. Hal ini didasari karena masyarakat Muslim tidak
memakan daging babi seperti orang-orang China yang sangat senang memakan
daging babi.8

B. Respon Muslim China atas Pandangan Orang China
Respon-respon yang biasa dilakukan oleh kelompok minoritas dalam situasi seperti ini
ialah menghindari kontak atau hubungan sosialisasi; menerima keadaan dan situasi yang
terjadi; atau melakukan penyerangan untuk melawan hal tersebut. Dalam kasus Muslim
China, kemungkinan pertama (menghindari kontak) tidak selalu dapat dilakukan dengan
mudah, hal ini dikarenakan keadaan sosial yang menyebabkan saling ketergantungan dan
tidak dapat dihindari antara Muslim dengan sistem birokratis dan politik China.
Kemungkinan kedua (menerima situasi) merupakan hal yang lazim pada fase pertama
dan memberikan contoh akulturasi di dalam usaha-usaha Muslim dalam penyesuaian diri
terhadap kebudayaan setempat. Tetapi ketika tekanan terhadap diskriminasi menjadi tidak
toleran lagi, maka keseimbangan antara tekanan dari dalam dan luar akan mengalami
8

Raphael Israeli, Op. Cit., hal. 24.


kekecewaan, sehingga minoritas ini memilih untuk melakukan penyerangan atau
pemberontakan.
a) Dilema Identitas Muslim China
Adanya perbedaan antara dua sisi ini, yang berkaitan dengan aspek dalam
(identitas sebagai Muslim) dan aspek luar (identitas sebagai orang China), dapat
kita temui dalam aktivitas sehari-hari Muslim China. Selama masa Dinasti Ming,
banyak masjid-masjid yang dibangun dengan bentuk pagoda (model kuil China),
serta menghilangkan menara yang merupakan ciri dari rumah-rumah ibadah umat
Islam di daerah lain, sehingga membuat masjid-masjid ini tidak dapat dibedakan
dari kuil-kuil China. Dengan menghilangkan ciri utama ini yaitu menara, para
muazin tidak dapat lagi mengumandangkan adzan dengan cara tradisional. Tetapi
muazin ini berdiri di dalam ruangan, di belakang pintu masuk masjid dan
memanggil untuk shalat. Masjid ini tidak hanya digunakan untuk shalat, interior
dalam masjid ini dibagi menjadi ruang belajar, asrama, ruang diskusi, kantor
untuk para ketua komunitas Muslim, dan kamar untuk memandikan jenazah.9
Kemudian sikap Muslim terhadap daging babi juga mempengaruhi dilema
identitas ini. Muslim yang menyadari akan kepopuleran daging babi diantara
masyarakat China dan masyarakat China yang menggoda mereka karena
membenci untuk memakan daging babi tersebut. Mereka juga menyadari , salah
satunya dengan sebuah dugaan, bahwa jarak sosial yang membedakan dua

kelompok ini dikarenakan oleh ketidakmampuan untuk bersosialisasi melalui
makanan-makanan mereka. Faktanya, orang-orang China ini sering mengaitkan
betapa

pentingnya

makanan

sebagai

media

komunikasi

sosial

dengan

mengkategorisasikan beberapa minoritas agama sesuai dengan apa yang bisa atau
tidak bisa mereka makan. Muslim sebagai ‘orang yang tidak memakan daging

babi’, Yahudi sebagai ‘orang yang tidak memakan otot hewan’ dan Kristen
sebagai ‘orang yang tidak memakan hewan dengan kuku yang terbelah’
Diantara mereka sendiri, para Muslim mengetahui bahwa daging babi telah
dilarang oleh Al-Qur’an. Para Muslim yang melakukan perjalanan jauh biasanya
membawa makanan yang cukup bersama mereka untuk beberapa hari dengan
9

Ibid, hal. 41.

tujuan untuk menghindari mengkonsumsi makanan yang melanggar syari’at.
Banyak penginapan Muslim yang bisa menyediakan makanan yang cukup untuk
orang-orang Muslim lainnya yang datang untuk menginap. Lebih dari itu, para
cendekia Muslim bahkan memilih untuk memperkuat puasa mereka melampaui
apa yang diperintahkan dan dilarang oleh Al-Qur’an, untuk menghindari
terjadinya potensi terkontaminasi daging babi secara tidak langsung. Sehingga
para Muslim memiliki pasar daging untuk mereka sendiri.
Sementara itu dalam kehidupan di tempat tinggalnya, mereka juga mengadopsi
dua budaya ini sebagai standar kebiasaan mereka. Di luar rumah mereka, mereka
ikut memajang poster-poster China yang berwarna seperti masyarakat China
lainnya, tetapi di dalam rumahnya, biasanya tidak terdapat lukisan China.

Gulungan-gulungan kertas yang menghiasi dinding lebih banyak memuat tulisantulisan Arab dari pada karakter-karakter China, khususnya, versi-versi Al-Qur’an
atau dari tradisi Islam. Salah satu dari mereka, contohnya, menyebutkan nama
Khalifah dan menteri, bukan nama Raja atau mandarin. Seringkali tulisan-tulisan
ini menggunakan tinta berwarna putih dan kertas berwarna biru, berbeda dengan
orang China yang pada umumnya menggunakan tinta hitam dengan kertas
berwarna merah.10
Dalam segi seni kaligrafi pun, juga merupakan kombinasi antara China dan Arab.
Seniman-seniman Muslim membentuk kerangka dari karakter huruf China yang
kemudian diisi dengan pepatah Muslim atau puisi-puisi dengan huruf Arab.
Model kaligrafi lainnya juga kombinasi antara China dan Arab yaitu tulisan huruf
Arab dalam terjemahan huruf China.
Kemudian bagaimana kehidupan sosialisasi Muslim China ?

Mereka

menggunakan nama China dan berbicara dengan bahasa China di masyarakat
umum, tetapi dengan sesama Muslim lainnya, mereka akan menggunakan nama
Arab mereka dan berbicara dengan bahasa China yang dicampur dengan banyak
kosa-kata Arab dan Persia. Mereka memberi salam satu sama lain dengan


10

Marshall Broomhall, Op. Cit., hal. 226.

menggunakan bahasa Arab “Assalamu’alaikum” dan mendapat jawaban
“Wa’alaikum Salam”. Situasi ini masih bertahan di China hingga sekarang.11
C. Kehidupan Kultur Muslim China sebagai Kelompok Minoritas
Bagaimana kondisi personal dan sosial masyarakat Muslim China ? Setiap provinsi di
China sudah diketahui bahwa Muslim China di setiap provinsi tersebut, dalam kasus
berpakaian walaupun mereka memang mengikuti masyarakat China pada umumnya, tetap
bisa diketahui dari kebiasaan agama mereka yang berbeda dan budaya mereka. Muslim
China memiliki struktur fisik yang berbeda dengan masyarakat China, hal ini disebabkan
adanya perkawinan silang diantara orang Arab atau Persia dengan penduduk China
setempat. Sehingga Muslim China dapat dikenali dengan mudah dari ciri ini.
Muslim China memiliki tubuh yang lebih besar dan lebih bagus, bentuk wajah yang
panjang, jenggot yang lebat, kulit yang lebih sehat, hidung yang lebih kuat atau mancung,
dengan mata yang bersinar dan lebih lembut. Mereka juga memiliki energi yang besar,
tidak kenal rasa takut dan ekspresi yang lebih terbuka, dan umumnya mereka lebih
menghargai dalam bermasyarakat.
Kebiasaan mereka pun dalam memelihara kumis juga membedakan mereka dari
masyarakat China pada umumnya, mereka menggunting kumis mereka sama rata yang
bertujuan agar memungkinkan bagi mereka mengenali sesama Muslim diantara orangorang asing. Kemudian dalam bagian-bagian tertentu masyarakat atau komunitas Muslim
China ini lebih memilih untuk berpakaian dalam balutan warna abu-abu dan memakai
peci berwarna putih atau biru. Dalam masalah pemakaian penutup kepala, terdapat
perbedaan yang sangat menonjol dalam adat komunitas Muslim China ini. Ketika
melakukan ibadah, para Imam, Ahong, dan Mullah, serta mereka yang membaca AlQur’an dan duduk membentuk lingkaran di dalam masjid, memakai turban berwarna
putih atau hijau, warna hijau mungkin menandakan bahwa si pemakai sudah menunaikan
ibadah haji.
Sementara itu, para perempuan Muslim China dalam beberapa bagiannya, berpakaian
dengan cara yang berbeda dari saudari China mereka, dan memakai sejenis topi turban,
bahkan terdapat opini yang menyetujui bahwa bagian terbagus dari China ialah ketika
11

Raphael Israeli, Op. Cit., hal. 29.

laki-laki dapat dengan mudah dikenali, beda halnya dengan perempuan yang sulit untuk
dikenali. Muslim China juga dalam banyak kasus lainnya dapat dikenali dari aksen
berbicara mereka. Di wilayah Kansu banyak Muslim China yang berbicara dengan logat
bahasa sehari-hari, kira-kira untuk mengubah bahasa Mongolia, yang lainnya berbicara
dengan bahasa Turki.
Dalam bidang pekerjaan, Muslim China ini hampir sama dengan orang-orang Yahudi,
mereka sama-sama pebisnis yang tekun dan sangat gigih dalam perdagangan. Di China
---- jika daerah Barat-laut dan Barat-daya dikecualikan di mana mereka memiliki
komunitas-komunitas yang lebih besar----- mereka jarang untuk berkebun,, dan di mana
mereka ditemukan di dalam desa-desa sebagai petani, di daerah yang tidak luar biasa
terkenal karena tingginya tingkat perampokan dan pengangkatan ternak. Hal ini tidak
perlu pernyataan bahwa Muslim China adalah pencuri, tetapi mereka siap untuk
menerima dan menyalurkan ternak curian.
Pada umumnya, mereka digunakan untuk perdagangan atau panggilan yang banyak
diketahui orang. Banyak dari mereka yang menjadi penyalur dan pembawa kuda, Muslim
China adalah penunggang kuda yang tak kenal takut, dan sangat sayang terhadap hewan
baik. Di daerah Szechwan, mereka mengontrol perdagangan teh di Tibet. Di mana
mereka melakukan ikatan dalam kegiatan agricultural, mereka mengatakan untuk tidak
menyamai penduduk asli China, yang bagaimanapun juga, mereka melampaui dalam
hubungan peternakan. Mereka memonopoli perdagangan daging, seringkali karena
digunakan dalam peternakan domba, mereka juga merupakan pedagang kulit (domba),
tukang roti, pekerja di permata, tukar uang, dan seringkali penjaga penginapan atau
restoran yang ada di sekitar lingkungan mereka.
Restoran milik Muslim China biasanya memiliki ciri diantara lain; terdapat teko air yang
mempunyai arti peringatan akan kebersihan, dan menjamin bahwa tidak ada penggunaan
daging babi; sementara topi atau peci yang diletakkan di atas teko air menandakan rasa
hormat terhadap para pelanggan. Muslim China digambarkan sebagai orang yang sangat
jujur dalam melakukan transaksi dagang dan kemampuan mereka sebagai pedagang tak
diragukan.

Seperti dijelaskan pada poin sebelumnya, Muslim China dalam memilih makanan sangat
berhati-hati, dikarenakan tingginya tingkat penggunaan daging babi dalam makanan
orang China pada umumnya. Muslim China menghindar dari daging babi dan minuman
keras, meskipun dalam prakteknya mereka mengalami kesulitan dalam menghindarinya.
Mereka juga tidak begitu terlalu kecanduan akan merokok, menanam, atau menjual
opium dari pada kerabat China mereka, dan mereka menjauhi memakan dengan alat-alat
perlengkapan makan yang pernah digunakan oleh orang China asli (untuk menghindari
kontaminasi daging babi).
Muslim China utamanya hidup dalam koloni-koloni, baik dalam desa-desa dan kota-kota
yang terpisah, ataupun di bagian-bagian kota besar. Menurut Mr.Pettus dalam The
Chinese Recorder, pada bulan Juli 1908, bahwa “Muslim China di wilayah Nanking
hidup secara menyebar, karena pemerintah China telah menolak untuk mengizinkan
mereka memisahkan diri”. Di desa-desa kecil inilah mereka membentuk komunitas dan
membangun sistem pendidikan yang didesain untuk melatih anak-anak membaca AlQur’an.12
Sementara itu Muslim China juga ikut andil dalam pemerintahan, tak sedikit dari mereka
yang diangkat sebagai Raja Muda atau Gubernur Jenderal dalam bidang militer. Akan
tetapi sikap mereka sebagai murid atau pegawai terhadap ibadah kepada Raja atau
konfusius, atau terhadap pemujaan berhala , hanyalah sebuah kompromi semata. Mereka
dipaksa oleh hukum untuk menyesuaikan diri mereka terhadap tradisi dan kebudayaan
China, sehingga mereka beralasan dengan mengatakan bahwa mereka hanya melakukan
hal tersebut sebagai formalitas semata, bukan dengan kesungguhan hati mereka.
Kemudian ketika mereka bersujud kepada ukiran-ukiran Raja atau terhadap berhala,
mereka tidak akan meletakkan kening mereka ke tanah seperti sujud dalam shalat
mereka. Mereka menganggap upacara-upacara itu tidaklah memiliki arti penting untuk
mereka. Sedangkan untuk tradisi mereka dalam pernikahan dan pemakaman, berbeda
dengan masyarakat China pada umumnya, walaupun ketika melakukan tradisi ini terdapat
kurang lebih kesamaan dengan yang dilakukan oleh masyarakat China di wilayah yang
berbeda. Mereka tidak akan pernah menikahkan putri mereka kepada keluarga penduduk
12

Ibid, hal. 41.

asli China, walaupun seorang lelaki Muslim boleh menikahi seorang perempuan asli
China, tetapi dari pernikahan yang dilakukannya ini mengharuskannya menjadi
perempuan Muslim. Ketika seorang penduduk asli China telah menjadi seorang muallaf,
maka ia diharuskan meminum air mentah (t’u kien) yang merupakan sebuah kebiasaan di
dalam komunitas Muslim dengan tujuan pembersihan di dalam dirinya.
Dalam pernikahannya ini, Muslim China menyiapkan tiga tandu yang diperuntukkan ibu
mertua, mempelai wanita, dan ibu dari mempelai wanita. Kemudian acara pernikahan
dilangsungkan di kediaman mempelai wanita dan acara ini dipimpin oleh Ahong (ulama).
Nama sang mempelai pun menggunakan nama Arab, begitu juga sertifikat pernikahan
yang mereka dapatkan juga berbahasa Arab. Sementara tradisi pemakaman mereka
mungkin akan jauh lebih berbeda dari pada masyarakat China jika dibandingkan dengan
kasus pernikahan. Seperti yang kita ketahui tata cara pemakaman umat Islam pada
umumnya yaitu memandikan, mengafani, menyalatkan, dan menguburkan. Ketika tandu
jenazah dikembalikan ke masjid sehabis membawa jenazah ke pemakaman, maka orang
China akan mengejek dengan mengatakan Shae puh teh lai liao (datanglah orang yang
pelit), hal ini dilakukan karena masyarakat China menganggap hal itu sangat pelit yaitu
membawa peti jenazah yang kosong untuk digunakan saat ada pemakaman lagi.13
Bagaimana kehidupan Muslim China pada masa kini ? apakah masih ada jurang
pembatas diantara Muslim China dan China ? ternyata hal ini masih bertahan hingga
sekarang, walau masih ada diantara mereka yang tetap melakukan interaksi, di wilayah
Lanzhao dapat kita temukan pemukiman Han (China) dan Hui (Muslim) yang
berdampingan. Pemukiman ini memang berdekatan secara kasat mata, tetapi tidak dengan
para penghuninya. Han (China) melakukan aktivitas mereka tanpa mengenal satu sama
lain, bagi mereka, tetangga hanyalah yang berada di depan pintu mereka, samping kanankiri mereka. Sementara tetangga mereka yang agak berjarak jauh, bukanlah orang yang
harus disapa setiap saat.
“ orang-orang tidak tertarik dengan tetangga mereka, mungkin hal itu karena mereka
sibuk bekerja. Bahkan, seperti yang kita tahu bahwa sekarang ini orang-orang bisa
mendapatkan apa yang mereka inginkan melalui supermarket atau mall sekaligus, jadi
13

Marshall Broomhall, Op. Cit., hal.230.

mengapa mereka harus repot-repot untuk menghubungi tetangga mereka ? sementara itu,
tetangga samping pintu sangat berbeda. Kita selalu bertemu setiap saat, sehingga paling
tidak saya harus menyapa dan mengobrol dengannya bukan ? “
Berbeda dari itu, Hui (Muslim), mereka saling menyapa satu sama lain tanpa memikirkan
apakah ia tetangga dekat atau jauh. Mereka saling membantu, mengobrol, dan terkadang
berkunjung ke rumah satu sama lain.
“ kami orang-orang Hui sering membantu satu sama lain. Apabila ada seorang Hui yang
meninggal, maka kami seluruh tetangganya akan membantu keluarganya. Tidak perlu
sebuah undangan untuk meminta pertolongan. Beberapa ratus dari kami tentunya akan
hadir dalam acara pemakaman bahkan jika kami tidak mengetahui keluarga atau orang
yang meninggal tersebut. Hal ini juga berlaku ketika ada upacara pernikahan yang
berlangsung.” Kedua pernyataan dari pihak Han maupun Hui membuktikan bahwa
mereka masih terkotak-kotak dalam bermasyarakat. Mereka tidak mencoba untuk
membaur satu sama lain, meninggalkan status mereka sebagai Han dan Hui.
Bahkan terdapat satu pernyataan lagi yang menandakan bahwa mereka nyaman dengan
kelompoknya dan tidak mau untuk mencoba membaur ataupun bersosialisasi, pernyataan
ini didapat dari seorang keluarga Hui yang bertempat tinggal di apartemen dengan
dominansi warga Han.
“ saya akan lebih senang jika saya memiliki tetangga orang Hui di sekitar saya. Saya
rindu dengan pengertian dan perhatian antar tetangga seperti di lingkungan saya dahulu.”
Ini menandakan bahwa antara Han dan Hui masih ada kesenjangan yang besar, dan hal
ini sangat sulit untuk dihapuskan karena pemikiran mereka yang saling menjatuhkan
sama lain membuat hal ini semakin memperkuat ketidaksukaan mereka kepada masingmasing kelompok.
Tetapi hal ini tidak separah seperti dugaan kita, mereka masih peduli dengan tetangga
dekat mereka, terlepas dari apakah mereka Han atau Hui. Survey yang dilakukan pada
tahun 2001 mendata bahwa ada sekitar 77% yang mengetahui berapa pendapatan
tetangga mereka; 78,6% yang mengetahui usia tetangga mereka; 65,5% yang mengetahui
pekerjaan tetangga mereka; dan 49% yang mengetahui pendidikan tetangga mereka.14
14

Xiaowei Zang, Ethnicity and Urban Life in China : A Comparative Study of Hui Muslims
and Han Chinese, (New York : 2007), hal. 28.

Dan tidak semua warga dari lingkungan pemukiman Lanzhao yang menarik diri dari
masyarakat umum, banyak dari mereka yang masih menjaga hubungan kemasyarakatan
dengan baik dan tetap melakukan interaksi satu sama lain. Hal ini dapat diketahui dengan
adanya pernyataan dari Hui tentang tetangga Han-nya.
“ kami sudah tinggal di apartemen ini selama 4 tahun. Tetangga-tetangga kami sangat
baik dan sering membantu satu sama lain. Kami memberikan kunci apartemen kepada
mereka jika kami pergi dari Lanzhao untuk mengunjungi kerabat kami di tempat lain.
Mereka (tetangga) akan datang ke apartemen kami untuk menyirami tanaman kami.”
Terdapat sebuah kepercayaan yang diungkapkan dari pernyataan diatas. Ketika keluarga
Hui menitipkan rumah mereka kepada keluarga Han, maka hal ini merupakan sebuah
bukti bahwa tidak semua masyarakat China tidak menyukai saudara sebangsa mereka
yaitu Hui.
Akan tetapi tidak dapat disangkal bahwa sosialitas Hui melebihi sosialitas Han. Hal ini
akan ditampilkan dalam bentuk persentase tabel.

Bentuk Kegiatan
Mengunjungi
rumah tetangga

Menerima
pertolongan
Memberikan
pertolongan
Menerima nasehat
Memberikan
nasehat

Antara Hui dan Han

24% (5.116)

Antara Sesama

Antara

Statistik

Hui

Sesama Han

Perbedaan Etnis

28% (2.593)

21% (2.523)

35.653

56% (5.072)

60% (2.580)

51% (2.492)

38.941

58% (5.054)

63% (2.573)

54% (2.481)

40.569

17% (5.084)

19% (2.585)

14% (2.499)

18.695

17% (5.087)

20% (2.589)

15% (2.498)

18.638

Menerima mediasi

22% (5.073)

26% (2.585)

17% (2.488)

57.988

Memberikan

24% (5.065)

29% (2.582)

19% (2.483)

71.760

mediasi

Dari tabel diatas maka dapat dilihat bahwa Hui lebih peduli kepada tetangga mereka
dibandingkan Han.15 Mediasi dalam tabel diatas ialah ketika diperlukan seseorang yang
bisa menyelesaikan permasalahan yang terjadi, baik dalam keluarga Hui maupun Han.
Hui yang memang dibekali dengan tradisi Islam untuk saling menghormati tetangga
karena tetangga adalah keluarga terdekat kita, maka tentu saja wajar jika Hui sering
membantu dan saling menasehati. Lalu bagaimana dengan Han ? bukankah konfusius
juga mengajarkan untuk saling mengasihi dan berbagi ? asumsi saya dari pertanyaan
diatas adalah Hui yang tidak mengamalkan konfusius tentu saja berbeda dengan Han,
sehingga Han kurang peduli terhadap kelompok Hui ini. Dan Hui yang memang
menganut Islam dan diajarkan untuk tetap berperilaku baik kepada siapa pun dan dimana
pun, pasti dengan senang hati akan memberikan bantuan jika dibutuhkan.
Kemudian terlepas dari jalinan sosial yang dibangun antara Han dengan Hui, Islam juga
menyebar secara luas ke dalam bidang hubungan masyarakat China. Sistem Fan Fang
(penyelesaian masalah luar negeri) dalam periode masa Tang dan Song, menjadi kurang
efesien dalam hal administrasi bidang agama dan hubungan antar etnik ketika masa
dinasti Yuan. Jadi sebagai jalan keluar dari permasalahan tersebut, maka dibangunlah
sebuah departemen dengan nama Qadi yang didirikan di kedua pusat dan lokal
pemerintahan untuk menangani permasalahan-permasalahan yang terjadi pada komunitas
Hui Hui dan hubungan keagamaan mereka.
Dimana pun tempat komunitas Hui Hui tersebut berada, terutama dalam jumlah besar,
maka departemen Qadi ini dibangun di daerah lokal itu untuk menangani dan
menyelesaikan permasalahan masyarakat Muslim setempat. Qadi ini tidak hanya bertugas
dalam bidang agama saja, tetapi ia juga merupakan kantor pemerintahan yang
mengkombinasikan antara agama dengan politik. Pendirian departemen Qadi ini
merupakan sebuah perkembangan yang sangat bagus untuk kepentingan kemajuan Islam
15

Ibid, hal. 34.

di China. Sebagaimana kita ketahui bahwa populasi masyarakat Muslim dan jumlah
pendirian masjid terus meningkat, sehingga hal ini menjadi sebuah faktor kebutuhan yang
besar untuk memberikan kepuasan dalam kehidupan agama masyarakat Muslim.
Jika kita melihat ke belakang, maka saya rasa kehidupan masyarakat Muslim di China
pada masa sekarang ini sudah baik, karena mereka tetap mampu mempertahankan
identitas mereka sebagai Muslim maupun orang China, walau terjadi beberapa kendala
ketika mewujudkan hal tersebut. Masyarakat Muslim China pada masa dinasti Ming
(1368-1644 A.D), selalu memberikan pendidikan agama secara individual per keluarga
dengan memberikan penjelasan secara lisan yang dilakukan oleh para tetua dalam
keluarga mereka. Akan tetapi, sistem ini sangat kurang sekali jangkauannya karena hanya
mencakup ruang lingkup kecil dan tidak terorganisir, sehingga mereka sulit untuk
melakukan tukar pikiran atau diskusi karena memang wawasan mereka pun tidak
berlimpah.
Kemudian semakin meningkatnya peradaban dan berkembangnya waktu, maka
masyarakat Muslim mulai mengadopsi bahasa China dan menghilangkan bahasa ibu
mereka, hal ini menyebabkan ketidakmampuan mereka dalam membaca tulisan-tulisan
bahasa Arab atau Persia, dan saat itu belum ada Al-Qur’an dengan bahasa China. 16
Berangkat dari itu, maka meningkatlah kemampuan masyarakat Muslim untuk
menyetarakan derajat mereka dengan orang China. Dan faktor ini jugalah yang
berpengaruh dalam sosialisasi serta pembangunan identitas masyarakat Muslim di China.
Bagaimana pun juga, semua hal diatas tersebut yakni hubungan kemasyarakatan antara
Han dan Hui tidak selalu mengalami konflik, di daerah tertentu, hubungan
kemasyarakatan ini berjalan dengan harmonis.

16

Mi Shoujiang et al., Islam in China , ( China : 2004 ), hal. 89.

Penutup
Dilema identitas yang dirasakan oleh Muslim China tidaklah tanpa alasan. Walau mereka
telah berusaha sekeras apapun, mencoba agar terlihat dan berperilaku seperti orang China
pada umumnya dengan menyesuaikan diri mengikuti yung (praktek) orang China. Tetap
saja bagi masyarakat China, apapun yang dilakukan oleh Muslim China tidak akan
membuat mereka menjadi orang China, mereka tetaplah kelompok minoritas dan nonChinese. Hal itu dikarenakan Muslim China bukanlah bagian dari peradaban orang
China, mereka mengikuti jalan mereka sendiri dan tidak ada penghormatan sama sekali
terhadap tradisi dan agama China.
Mereka beribadah dengan cara yang berbeda, hari-hari besar mereka pun berbeda,
mereka memiliki kalender sendiri, tradisi mereka dalam bersosialisasi dan makan juga
berbeda, begitu pula tradisi pernikahan dan pemakaman mereka pun berbeda dari tradisi
masyarakat China, tempat tinggal mereka dan kebiasaan mereka ketika melakukan
perjalanan jauh juga sangat berbeda. Poin-poin tersebutlah yang menyebabkan
masyarakat China tidak menganggap Muslim China sebagai bagian dari mereka.
Sadar atau tidaknya Muslim China terhadap hal itu, mereka tetap bangga akan identitas
mereka. Mereka memang orang China, tapi melebihi itu adalah mereka seorang Muslim,
dan mereka percaya diri akan hal itu. Identitasnya sebagai Muslim tidak membuat mereka
minder dalam melakukan sesuatu, sehingga seringkali peran mereka cukup berpengaruh
dalam suatu bidang. Dan tanpa disadari sikap ini ditunjukkan dengan jelas oleh mereka,
anggapan rendah mereka terhadap non-Muslim, senyuman penuh arti mereka dan

terkadang kerlipan mata yang begitu penuh ejekan terhadap non-Muslim terutama jika
mereka bukan di lingkungan masyarakat China. Maka kearoganan seorang Muslim China
pun akan tampak.
Hal yang dilakukan Muslim China itu sebagai reaksi atas perlakuan orang China terhadap
mereka, terutama ketika masalah t’I (keyakinan) mereka dijadikan bahan lelucon oleh
orang China. Maka mereka tidak akan tinggal diam, mereka ingin membuktikan bahwa
Islam itu juga sebanding dengan Confucianism. Pembelaan ini telah dilakukan oleh
seorang penulis Muslim China yang menyatakan “untuk mereka yang hanya belajar
buku-buku Islam dan mengabaikan tulisan-tulisan konfusius, maka tidak mungkin bisa
memahami arti dari Kebenaran dan sebaliknya, mereka harus mengetahui keduanya.”
Penulis tersebut mencoba untuk melukiskan Islam dan Confucianism sebagai dua sisi
dari Kebenaran yang sama.
Anggapan Muslim China yang menyatakan bahwa mereka adalah orang-orang asing,
membuat mereka merasa lebih unggul dari masyarakat China. Dan dengan sikap itu
mereka tetap pada pendirian mereka akan identitasnya sebagai umat Islam, walaupun tak
dapat dihindari bahwa mereka harus menyesuaikan diri di dunia pemerintahan.