MEWASPADAI PERKEMBANGAN AVIAN INFLUENZA id

124
Pengembangan
Inovasi Pertanian 5(2), 2012: 124-141

N.L.P. Indi Dharmayanti et al.

MEWASPADAI PERKEMBANGAN AVIAN
INFLUENZA (AI) DAN KERAGAMAN GENETIK
VIRUS AI/H5N1 DI INDONESIA
N.L.P. Indi Dharmayanti1), Kusuma Diwyanto2), dan Sjamsul Bahri1,2)
1)

Balai Besar Penelitian Veteriner, Jalan R.E. Martadinata No. 30, Bogor 16114
Telp. (0251) 8331048, 8334456, Faks. (0251) 8336425
e-mail: balitvet@litbang.deptan.go.id
2)
Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan, Jalan Raya Pajajaran Kav. E-59 Bogor 16152,
Telp. (0251) 8322183, 8328383, 8322138, Faks. (0251) 8328382
e-mail: puslitbangnak@litbang.deptan.go.id
Diajukan: 22 Februari 2012; Disetujui: 26 April 2012


ABSTRAK
Virus avian influenza (AI) H5N1 di Indonesia telah bersirkulasi lebih dari sembilan tahun. Tingginya
kasus AI H5N1 pada manusia dan status endemis AI pada peternakan memungkinkan munculnya virus
AI H5N1 yang lebih mudah beradaptasi pada manusia. Sementara itu, hasil penelitian tentang karakter
virus AI H5N1 asal unggas yang menginfeksi manusia maupun yang berasal dari peternakan masih
sangat terbatas. Keterbatasan dalam beberapa hal menyebabkan penelitian virus AI asal Indonesia
masih sangat sedikit dilakukan. Makalah ini membahas karagaman genetik virus AI H5N1 Indonesia
sebagai hasil dari evolusi virus H5N1. Sejak kejadian AI pada tahun 2003, virus AI telah berevolusi
menjadi tiga kelompok, yaitu: (1) kelompok virus yang masih serupa dengan tetuanya, yaitu virus AI
H5N1 tahun 2003; (2) kelompok virus yang mempunyai mutasi spesifik yang diisolasi di sekitar kasus
manusia terinfeksi H5N1; dan (3) kelompok virus antigenic drift yang tercipta karena tekanan imunologis
akibat vaksinasi. Tiga kelompok virus tersebut memiliki perbedaan karakter genetik yang cukup nyata
sehingga kebijakan pemerintah dalam menanggulangi AI melalui vaksinasi harus didasarkan pada kajian
ilmiah. Pengendalian, surveilans, dan peningkatan frekuensi pemantauan sirkulasi virus juga diperlukan
untuk mewaspadai timbulnya virus baru yang mungkin lebih berbahaya dan lebih mudah beradaptasi
pada manusia.
Kata kunci: Virus avian influenza, keragaman genetik, Indonesia

ABSTRACT
The Genetic Variation of Avian Influenza H5N1 Indonesian Viruses

In Indonesia, the H5N1 avian influenza (AI) virus has been circulating more than nine years. The high
human case of H5N1 and endemic situation in Indonesia allow the emergence of AI virus of H5N1
subtype which is more adaptable to humans. Meanwhile, studies on the character of AI virus of H5N1
subtype from birds to infect humans as well as those from the poultry are still limited. Limitations in
some ways make the studies of AI viruses from Indonesia are still very few to do. This paper discusses
the genetic diversity of H5N1 virus premises as a result of the evolution of the H5N1 virus. Since the
virus had been identified in 2003, AI viruses have evolved into three groups, namely (1) viruses that
were similar to progeny H5N1 AI in 2003; (2) viruses that have specific mutations isolated around

1)

Naskah disarikan dari bahan Orasi Profesor Riset yang disampaikan pada tanggal ...................... .

125

Mewaspadai perkembangan avian influenza ...

H5N1 human cases; and (3) the antigenic drift viruses created by immunological pressure due to
vaccination. From this grouping, there were genetic character differences between the groups of
viruses, so the government vaccination policy should be based on scientific assessment. Control

measures, surveillance and improvement of monitoring of virus circulation should also been conducted
for the alert to the emergence of new virus which is likely to be more dangerous and more adaptable
to humans.
Keywords: Avian influenza virus, H5N1, genetic variation, Indonesia

PENDAHULUAN
Pada tahun 1997, untuk pertama kalinya
virus highly pathogenic avian influenza
(HPAI) H5N1 dilaporkan dapat menginfeksi manusia dan ditransmisikan secara
langsung dari unggas ke manusia di Hong
Kong. Virus ini menyebabkan enam orang
meninggal dari 18 orang yang terinfeksi
virus tersebut (Claas et al. 1998; Shortridge
et al. 1998; Subbarao et al. 1998; Katz et
al. 2000). Pada tahun 1999, dua kasus
infeksi virus AI H9N2 pada manusia juga
dilaporkan terjadi di Hong Kong (Peiris
et al. 1999). Selanjutnya pada tahun 2003,
dilaporkan 349 orang menderita konjungtivitis dan seorang dokter hewan
meninggal akibat wabah HPAI H7N7 di

Belanda (Koopmans et al. 2004), dan pada
Februari 2004, virus AI H7N3 dilaporkan
menginfeksi manusia di Kanada (Tweed et
al. 2004).
Pada awal tahun 2003, dua kasus infeksi
virus H5N1 terjadi kembali di Hong Kong
(Peiris et al. 2004). Sejak akhir 2003, virus
H5N1 telah menyebar ke Asia, Eropa, dan
Afrika dan menyebabkan wabah penyakit
dan kematian pada unggas domestik dan
burung liar. Pada September 2006, sekitar
40 laboratorium mengkonfirmasi kasus
infeksi virus H5N1 pada manusia yang
dilaporkan ke World Health Organization
(WHO), karena lebih dari 50% infeksi pada
manusia tergolong fatal (Centers for
Disease Control and Prevention 2004).

Di Indonesia, wabah AI pertama kali
diidentifikasi pada akhir 2003 di Kabupaten

Tangerang dan Blitar. Wabah AI menyerang ayam ras petelur, ayam ras pedaging,
ayam kampung, dan itik. Berdasarkan hasil
pemeriksaan lapang, gejala klinis dan
patologik (Damayanti et al. 2004a), serta
imunohistokimia (Damayanti et al. 2004b),
wabah tersebut didiagnosis sebagai wabah AI subtipe H5. Spesimen dari wabah
tersebut telah berhasil diisolasi dan
dikarakterisasi dengan menggunakan
serum positif AI sebagai virus AI subtipe
H5 (Wiyono et al. 2004). Dharmayanti et
al. (2004) juga telah mengidentifikasi
wabah ini dengan teknik RT-PCR dan
menemukan penyebabnya yaitu virus AI
subtipe H5. Konfirmasi wabah penyakit AI
selanjutnya dilakukan oleh Dharmayanti
et al. (2005a, 2005b). Analisis genetik
menunjukkan bahwa sebagian besar virus
H5N1 dari unggas dan manusia di Asia
termasuk dalam genotipe Z, serupa dengan
virus yang pertama kali diidentifikasi

pada unggas di China Selatan (Guan et al.
2004; Li et al. 2004; Puthavathana et al.
2005; WHO 2005).
Sejak terjadinya wabah AI pada unggas
di Indonesia, kasus AI masih terus terjadi
dengan frekuensi yang beragam. Selama
tahun 2006-2011 berturut-turut terjadi
612 kasus (2006), 2.751 kasus (2007), 1.413
kasus (2008), 2.293 kasus (2009), 1.502
kasus (2010), dan 1.411 kasus (2011).
Peningkatan kasus AI biasanya terjadi

126

pada bulan Januari sampai April, bersamaan dengan perubahan musim dari
musim hujan ke musim kemarau.
Pedoman untuk pencegahan, pengendalian, dan pemberantasan AI telah ditetapkan oleh World Health Organization
for Animal Health (OIE) dan WHO dan
dapat digunakan sebagai acuan dalam
program pencegahan, pengendalian, dan

pemberantasan AI di seluruh dunia. Pemerintah Indonesia melalui SK Dirjen Bina
Produksi Peternakan No. 17/Kpts/PD.640/
F/02.04 juga telah menetapkan langkahlangkah strategis untuk pencegahan,
pengendalian, dan pemberantasan AI.
Dalam rangka mengeradikasi dan menurunkan penyebaran virus HPAI di Indonesia, pemerintah melalui Direktorat
Kesehatan Hewan, Kementerian Pertanian,
menetapkan sembilan langkah strategis
pengendalian penyakit AI, yaitu: (1) biosekuriti; (2) vaksinasi; (3) depopulasi
selektif; (4) pengendalian lalu lintas
unggas, produk, dan limbahnya; (5)
surveilans dan penelusuran; (6) pengisian
kandang kembali; (7) stamping out di
daerah tertular baru; (8) peningkatan
kesadaran masyarakat; serta (9) monitoring dan evaluasi.
Vaksinasi sebagai salah satu cara
pengendalian AI telah dilakukan pemerintah sejak Agustus 2004 dengan melakukan vaksinasi massal beberapa jenis
unggas, seperti ayam ras, ayam buras,
puyuh dan itik dengan menggunakan
vaksin autogenus. Setahun setelah
program vaksinasi massal pada unggas

dilakukan, pada Juli 2005 dilaporkan
kematian manusia yang pertama kali
terinfeksi virus AI subtipe H5N1 di
Indonesia (Sedyaningsih et al. 2007).
Jumlah kasus kematian akibat infeksi AI
pada manusia bertambah setiap tahun
dan sampai saat ini, AI masih merupakan

N.L.P. Indi Dharmayanti et al.

masalah serius yang perlu mendapat
perhatian mengingat korban meninggal
akibat infeksi virus ini terus bertambah.
Sampai Maret 2012, dilaporkan 155 orang
meninggal dunia akibat infeksi virus AI
(WHO 2012).
Karakter molekuler virus AI mengalami
perubahan yang cukup dinamis sejak
diidentifikasi pada tahun 2003. Makalah
ini mengulas perubahan virus HPAI yang

menciptakan keragaman genetik virus
HPAI di Indonesia. Informasi tersebut
diharapkan dapat meningkatkan kewaspadaan terhadap kemungkinan perubahan
keganasan virus AI yang lebih mudah
beradaptasi pada manusia.

EVOLUSI VIRUS AI H5N1
DI INDONESIA
Evolusi virus H5N1 terjadi secara terusmenerus terutama pada glikoprotein
permukaan virus dan pada segmen gen
lainnya. Keragaman virus merupakan hasil
dari akumulasi perubahan molekul pada
delapan segmen RNA, yang terjadi melalui
mekanisme mutasi titik (antigenic drift),
gene reassortment (antigenic shift),
defective-interfering particles, dan
rekombinasi RNA. Setiap mekanisme ini
berkontribusi terhadap evolusi virus AI
(Webster et al. 1992).
Mutasi, termasuk substitusi, delesi,

dan insersi merupakan salah satu mekanisme paling penting dalam menghasilkan
variasi virus influenza. Kurangnya aktivitas proof-reading polimerase RNA berkontribusi terhadap kesalahan replikasi 1
basa setiap 104 basa (Holland et al. 1982).
Setiap siklus replikasi RNA menghasilkan
campuran populasi dengan beberapa
varian, yang sebagian besar sering kali
tidak tampak, namun mempunyai potensi

Mewaspadai perkembangan avian influenza ...

127

untuk mutasi sehingga dapat menjadi
dominan melalui seleksi positif (Webster
et al. 1992).
Di Indonesia, virus H5N1 genotipe Z
telah menjadi endemis pada unggas sejak
tahun 2003 (Smith et al. 2006). Berdasarkan
analisis filogenetik, virus AI asal Indonesia
dan Vietnam berasal dari sumber tunggal

dan diduga berasal dari unggas domestik
di China Selatan (Li et al. 2004; WHO
2005; Chen et al. 2006).
Virus AI dari Indonesia membentuk
sublineage yang berbeda dari virus H5N1
genotipe Z. Virus ini diduga berasal dari
sumber tunggal yang kemudian menyebar ke seluruh Indonesia (Smith et al.
2006). Smith et al. (2006) menyatakan,
sebagian besar virus AI dari Indonesia
mempunyai motif rangkaian asam amino
basa pada daerah cleavage site yang
merupakan karakter dari virus HPAI, yaitu
PQRERRRKKR/G. Sekuen asam amino
pada cleavage site sebagai penanda
patogenisitas virus AI, sebagian besar
mempunyai motif rangkaian asam amino
basa yang menunjukkan HPAI. Pada tahun
2003-2005, sebagian besar isolat virus AI
dari unggas di Indonesia menunjukkan
motif PQRERRRKKR//G. Namun pada
Maret 2005, Dharmayanti dan Indriani
(2007) menemukan isolat virus AI dari
unggas yang mengalami mutasi R→S pada
posisi -6 HA sehingga mempunyai motif
PQRESRRKKR//G. Tiga bulan setelah itu,
pada Juni 2005, untuk pertama kalinya di
Indonesia terdapat kasus manusia yang
terinfeksi AI dan sekuen cleavage site
virus ini sama dengan motif isolat yang
ditemukan Dharmayanti dan Indriani
(2007).
Studi evolusi virus AI sangat penting
untuk mengetahui jenis seleksi yang
mengendalikan gen, terutama pada protein
HA yang berhubungan dengan evolusi

virus untuk memprediksi galur vaksin.
Dharmayanti (2009) melaporkan, sebagian
besar mutasi kemungkinan diakibatkan
oleh seleksi positif pada protein hemaglutinin.

Virus H5N1 Asal Unggas dan Kasus
Manusia Terinfeksi H5N1
Virus H5N1 yang diisolasi dari unggas atau
lingkungan di sekitar manusia yang terinfeksi H5N1 memberi petunjuk epidemiologi asal infeksi virus ini. Hasil
penelitian Dharmayanti (2009) dan Dharmayanti et al. (2011a) tentang karakter
virus H5N1 yang diisolasi dari unggas dan
di sekitar manusia yang terinfeksi virus
H5N1 menunjukkan mutasi spesifik tidak
banyak ditemui pada virus H5N1 Indonesia
atau virus di luar Indonesia. Dharmayanti
(2009) menyatakan, virus H5N1 yang dianalisis masih mengenal avian receptor
(α2-3) dan belum mengenal human
receptor (α2-6) (Stevens et al. 2006)
sehingga infeksi pada manusia kemungkinan akibat tertular unggas yang terlebih
dahulu terinfeksi virus H5N1.
Berkaitan dengan virulensi, C-terminal
virus AI protein NS1 memiliki urutan
konsensus dari PDZ domain ligand. Motif
yang dapat terikat ke PDZ mengandung
protein yang terlibat dalam jalur sinyal
seluler inang. Hasil penelitian Dharmayanti
et al. (2011a) memperlihatkan bahwa empat
dari enam virus yang digunakan mempunyai motif PDZ ‘ESEV’, yang menunjukkan virus berasal dari unggas. Dua virus
lainnya mempunyai motif asal manusia
(human origin), yaitu virus Inhu/BPPVRII/
07 dengan motif KSEV, seperti halnya motif PDZ dari virus 1918. Motif KSEV adalah
motif yang jarang ditemukan di alam,
tetapi pada tahun 2005 tercatat dua virus

128

H5N1 Indonesia mempunyai motif tersebut dan juga virus H5N1 tahun 2007 yang
diisolasi di Arab (Monne et al. 2008). Virus
lainnya yang mempunyai motif PDZ
seperti motif virus influenza manusia
adalah virus Pessel/BPPVRII/07 yang
mempunyai motif RSEV. Virus Pessel/
BPPVRII/07 dan Inhu/BPPVRII/07 diisolasi
dari ayam di sekitar kasus infeksi virus AI
H5N1 pada manusia dan ternyata mempunyai karakter genetik pada NS1 yang
mungkin berkorelasi dengan adaptasi virus
pada manusia.
Dharmayanti (2009) juga menemukan
adanya delesi pada posisi 80-84 pada lima
dari enam virus, kecuali virus Pessel/
BPPVRII/07. Delesi residu lima asam
amino berkontribusi dalam meningkatkan virulensi. Semua virus yang digunakan dalam penelitian ini mempunyai asam
aspartat pada posisi 92, bukan asam glutamat pada molekul NS1. Asam glutamat
pada posisi 92 merupakan faktor penting
dalam virulensi dan resistensi terhadap
sitokin antiviral. Namun, virus H5N1
dengan asam amino residu ini tidak lagi
beredar di alam dan asam glutamat tidak
ditemukan pada protein NS1 virus influenza tipe A.
Hasil penelitian menunjukkan virus
Pessel/BPPVRII/07 mempunyai kemiripan
kesamaan sekuen asam amino dan kedekatan yang tinggi berdasarkan analisis
filogenetik dengan virus HK/497/97, dan
HK/498/97, yang merupakan virus H3N2.
Virus Pessel/BPPVRII/07 memiliki HA,
NA, dan M yang berasal dari virus H5N1
Indonesia, sedangkan protein NS1 berasal
dari virus H3N2 Hong Kong. Hasil ini
memperlihatkan bahwa virus Pessel/
BPPVRII/07 telah mengalami genetic
reassorment sehingga kemungkinan
virus Pessel/BPPVRII/07 merupakan virus
reassortant. Virus reassortant di Indo-

N.L.P. Indi Dharmayanti et al.

nesia pernah dilaporkan oleh Yuk Lam et
al. (2008), namun dalam penelitiannya
tidak ditemukan virus reassortant antarstrain atau campuran genetik dari strain
yang berbeda.
Penemuan virus Pessel/BPPVRII/07
sebagai virus reassortant antara H5N1
dan H3N2 di Indonesia mungkin adalah
yang pertama kali dilaporkan. Hal ini
mengisyaratkan bahwa pemerintah harus
semakin serius mengendalikan penyakit
ini mengingat pandemi influenza pada
tahun 2009 merupakan pandemi novel
H1N1. Situasi virus H5N1 di Indonesia
yang telah menjadi penyakit endemis
memerlukan kewaspadaan terhadap kemungkinan terjadinya genetic reassortment antara virus H5N1 dan novel H1N1
(yang sekarang menjadi wabah di dunia)
maupun virus influenza lainnya, seperti
H1N1/H3N2 seasonal flu, yang dapat
menyebabkan virus H5N1 lebih mudah
beradaptasi pada manusia.

Prediksi Kemungkinan Virus AI
Menginfeksi Manusia
Karakter virus AI yang menginfeksi manusia berbeda dengan virus AI yang hanya
menginfeksi unggas. Hal ini berdasarkan
hasil penelitian Dharmayanti (2009) dan
Dharmayanti et al. (2011b) yang menunjukkan adanya substitusi yang khas pada
protein M1 dan M2. Substitusi asam amino
tersebut hanya dijumpai pada virus asal
manusia ataupun virus unggas yang diisolasi di sekitar kasus AI pada manusia,
yang kemungkinan besar merupakan virus
yang menyebabkan infeksi pada manusia
pada lokasi tersebut. Virus asal unggas
yang bukan berasal dari kasus infeksi tidak
mempunyai substitusi tersebut. Hal yang
menarik adalah virus antigenic drift yang

Mewaspadai perkembangan avian influenza ...

129

dianalisis dalam penelitian ini juga memiliki
motif pada M1 dan M2, seperti motif pada
virus AI asal unggas yang diisolasi dari
sekitar kasus manusia terinfeksi H5N1.
Oleh karena itu, timbul pertanyaan apakah
mutasi pada matriks protein pada virus
antigenic drift berkaitan dengan peningkatan adaptasi ke manusia. Hal ini tentunya
membutuhkan penelitian yang komprehensif untuk mengetahui apakah vaksinasi pada unggas dapat menciptakan virus
yang lebih mudah beradaptasi pada
manusia.
Penelitian Buckler-White et al. (1986)
memperlihatkan bahwa gen M pada virus
manusia dan hewan dibedakan berdasarkan adanya substitusi pada protein M1 dan
M2. Hal ini menunjukkan bahwa protein
M1 dan M2 kemungkinan berperan penting
dalam memprediksi apakah virus AI dapat
menginfeksi manusia atau tidak. Motif pada
protein M ini hanya secara khas ditemukan
pada virus asal Indonesia dan tidak ditemukan pada virus asal Vietnam, Thailand,
dan China.

A/Indonesia/5/05 yang merupakan kasus
pertama infeksi virus ini pada manusia.
Pada tahun 2005, Dharmayanti et al.
(2005c) melaporkan mulai adanya mutasi
titik pada gen HA pada virus AI di Indonesia. Selain pada gen HA, mutasi juga
terjadi pada virus H5N1 asal Indonesia.
Smith et al. (2006) menyatakan bahwa virus
AI asal Sumatera menunjukkan mutasi
Ser31Asn pada protein M2. Mutasi tersebut mengindikasikan bahwa virus AI
dari Sumatera telah mengalami resistensi
terhadap amantadin. Cheung et al. (2006)
menyatakan bahwa 6,3% virus H5N1 Indonesia telah resisten terhadap amantadin.
Data terkini menunjukkan bahwa 60%
virus H5N1 Indonesia telah resisten
terhadap amantadin (Dharmayanti et al.
2010).
Dharmayanti dan Darminto (2009)
melaporkan bahwa sebagian besar virus
AI subtipe H5N1 tahun 2003-2006 telah
mengalami mutasi pada epitope A dan B
pada protein HA, dan mutasi tertinggi
terjadi pada dua virus H5N1, yaitu A/Ck/
West Java/Pwt-Wij/2006 dan Ck/WestJava/
Smi-Pat/06. Kedua virus tersebut diisolasi
dari peternakan ayam komersial yang rutin
melakukan vaksinasi H5N2. Mutasi pada
virus tersebut kemungkinan terjadi akibat
tekanan imunologis yang dapat menimbulkan perubahan antigenisitas virus. Hal
tersebut diperkuat oleh hasil studi pendahuluan uji tantang terhadap semua vaksin
unggas (H5N1, H5N2, H5N9) yang beredar
di Indonesia dengan menggunakan virus
tantang tahun 2006, yaitu A/Ck/West Java/
Pwt-Wij/2006. Hasil studi menunjukkan
bahwa seluruh vaksin yang beredar di
Indonesia tidak mampu memproteksi
ayam dari virus tersebut (Swayne 2007).
Hal ini menjadi menarik karena virus yang
mengalami mutasi tertinggi ditemukan
setelah dua tahun pemerintah melak-

Penemuan Virus Antigenic
Drift
Virus AI H5N1 di Indonesia yang diisolasi
selama tahun 2003-2005 menunjukkan
motif rangkaian asam amino basa pada
cleavage site HA yang merupakan karakteristik virus HPAI (PQRERRRKKR//G)
(Dharmayanti et al. 2005b; Nidom 2005;
Smith et al. 2006). Motif tersebut mulai
berubah seperti yang dilaporkan oleh
Dharmayanti dan Indriani (2007), bahwa
terdapat satu virus H5N1 yang diisolasi
pada bulan Februari 2005 mempunyai motif
PQRESRRKKR//G. Hal ini menarik karena
motif pada cleavage site virus tersebut
serupa dengan virus H5N1 manusia, yaitu

130

sanakan program vaksinasi massal pada
unggas yang dimulai pada tahun 2004.
Dharmayanti (2009) melaporkan bahwa
virus yang diisolasi dari flok yang
melakukan vaksinasi AI memiliki mutasi
subsitusi nonsinonim dan mengalami
antigenic drift yang jauh lebih besar
dibandingkan virus yang tidak berasal dari
unggas yang divaksinasi AI. Hal ini
kemungkinan akibat adanya tekanan
imunologis. Pada tahun 2006-2008, virus
antigenic drift hanya ditemukan pada
peternakan ayam di Jawa Barat (Sukabumi,
Purwakarta, dan lainnya), namun pada
tahun 2010, Dharmayanti et al. (2012)
melaporkan virus yang diisolasi dari
peternakan ayam yang melakukan
vaksinasi AI mempunyai karakter genetik
yang serupa dengan virus antigenic
drift 2006 (Pwt-Wij/2006). Virus AI yang
diisolasi dari unggas yang tidak divaksinasi AI pada tahun 2009, tidak mengalami
mutasi yang signifikan.
Pada tahun 2010, Dharmayanti et al.
(2012) melaporkan bahwa virus yang
berhasil diisolasi dari unggas di berbagai kabupaten di Indonesia (Bengkulu,
Palembang, Lampung, Cianjur, Purwakarta,
Banyuwangi, Tangerang, Bandung, dan
Sukabumi) sebagian besar memiliki
karakter genetik seperti virus antigenic
drift AI tahun 2006-2008 (A/West Java/
Pwt-Wij/2006 dan A/West Java/Smi-M6/
2008). Virus AI yang diidentifikasi sebagian
besar berasal dari unggas yang divaksinasi
AI. Hal ini menambah bukti baru bahwa
penggunaan vaksin yang tidak tepat dapat
menginduksi kecepatan mutasi virus.
Penelitian virus AI pada tahun 2010
menunjukkan bahwa sebagian besar virus
di Indonesia telah mengalami mutasi
antigenic drift yang cukup nyata. Oleh
karena itu, Dharmayanti (2009) menyatakan vaksin AI yang beredar di Indonesia

N.L.P. Indi Dharmayanti et al.

harus segera dievaluasi selain melanjutkan program monitoring karakter genetik
virus AI yang bersirkulasi di Indonesia
untuk mengetahui perubahan virus AI terkini. Saran ini hendaknya dapat dijadikan
pertimbangan oleh Direktorat Jenderal
Peternakan dan Kesehatan Hewan sebagai
pemegang kebijakan tertinggi dalam pengendalian dan pemberantasan penyakit
AI di Indonesia.
Mutasi yang terjadi pada protein HA
virus antigenic drift mengakibatkan
penurunan tempat glikosilasi sehingga
virus hanya memiliki lima tempat glikosilasi.
Virus yang mengalami penurunan tempat
glikosilasi dapat menciptakan populasi
virus yang mengalami peningkatan afinitas
terhadap reseptor dan juga menghasilkan
populasi virus yang lebih tahan terhadap
netralisasi daripada induknya (Schulze
1997). Hasil analisis filogenetik gen HA
virus H5N1 asal Indonesia memperlihatkan
bahwa virus antigenic drif membentuk
kelompok yang berbeda dengan virus
H5N1 Indonesia lainnya. Virus H5N1 dalam
kelompok virus bukan antigenic drift masih ditemukan bersirkulasi di Indonesia
(Dharmayanti et al. 2012).

EVALUASI PROGRAM VAKSINASI
Virus AI sebenarnya berasal dari peternakan komersial ayam ras, namun dampaknya juga mengenai peternak ayam kampung yang sebagian besar (95%) adalah
peternak kecil. Pemerintah Indonesia tidak
mengambil kebijakan untuk melakukan
pemusnahan ayam secara massal dalam
upaya mencegah penyebaran virus AI.
Kebijakan ini didasarkan pada kenyataan
bahwa terdapat ratusan juta ekor ayam
lokal/kampung yang dipelihara masyarakat. Pemusnahan sebetulnya merupakan

131

Mewaspadai perkembangan avian influenza ...

89 A/Turkey/Langkat/BBPVI/2005
94 A/Indonesia/CDC599/2006
A/Chicken/Langkat/BBPV1576/2005
A/Chicken/Pulau Rampang/BBPVII/2006
98 A/Chicken/Duma/BBPVII/2005
92 A/Chicken/Padang/BBPVII/2006
80
A/Chicken/Taput/BBPV1576/2005
68 A/Chicken/Karo/BBPVII/2006
A/Chicken/Medan/BBPV1571/2005
A/Chicken/Deli
Serdang/BPPV1/2005
74
6964 A/Chicken/Pidie/BPPV1/2005
A/Ck/Jakarta/DKI31/2005
A/Ck/West Java/1074/2003
83 A/chicken/Indonesia/11/2003
A/Chicken/West Java/HAMD/2006
A/chicken/Indonesia/7/2003
63 A/Ck/East Java/BL-IPA/2003
A/Duck/Bufeleng/BPPV1/2005
A/Duck/Pali/BBVW1358/2005
99
A/Duck/Tabanan/BPPV1/2005
A/Chicken/West
Java/GARUTMAY/2006
63
96 A/Chicken/Indonesia/Soppeng163171/2007
A/Quail/Central Java/SMRG/2006
63
97 A/Chicken/Indonesia/Kulon163147/2006
81 A/Chicken/Indonesia/Magelang163157/2007
A/Chicken/Gunung Kidul/BBVW/2006
A/Chicken/Madiun/BBVW1420/2005
65
66 A/Indonesia/6/2005
A/Muscovyduck/Jakarta/DKI-Uwit/2004
A/Duck/Banten/Pdgl-Kas/2004
A/Muscovyduck/Bgr-Cw/2005
A/Chicken/Papua/TA5/2006
100
A/Chicken/Papua/TB15/2006
73 A/Chicken/Papua/TB1/2006
83 A/chicken/Indonesia/CDC24/2005
61
A/chicken/Indonesia/CDC25/2005
98 A/Chicken/Way Kanan/BBPVIII/2006
64
A/Chicken/Palembang/BPPVIII/2005
64 A/Chicken/Bandar Lampung/BBPVIII/2006
A/Indonesia/7/2005
94 A/Duck/Indramayu/BBPW109/2006
A/Ck/West Java/Smi-Hay/2005
A/Chicken/Indonesia/Rejang Lebong163122/
A/Indonesia/5/2005
A/Chicken/Murao Jambi/BBPVII/2005
93 A/Chicken/Pakun Baru/BPPVII/2005
69 A/Chicken/West Java/SMIENDRI1/2006
A/Indonesia/CDC390/2006
A/Indonesia/CDC370/2006
98 A/Indonesia/CDC1046/2007
98 A/Indonesia/CDC1047/2007
86 A/Indonesia/CDC1032/2007
A/Indonesia/CDC938/2006
96
A/Indonesia/CDC887/2006
A/Indonesia/CDC1031/2007
80 A/Ck/Banten/Srg-Fadh/2008
A/Indonesia/CDC699/2006
85 A/Chicken/Indonesia/Semerang163162/2007
71 A/Swan/Indonesia/Malang163161/2007
A/Chicken/Indonesia/Lampung163123/2006
A/Indonesia/CDC582/2006
A/Indonesia/CDC644/2006
A/Indonesia/CDC634/2006
77 A/Quail/Jakarta/JU1/2006
A/Chicken/West Java/TASIKSOL/2006
A/Chicken/Indonesia/Garut163151/2006
65 A/Indonesia/CDC610/2006
A/Indonesia/CDC835/2006
A/Indonesia/CDC836/2006
67 A/Muscovy Duck/Jakarta/HABWIN/2006
A/Chicken/Indonesia/Bandung163149/2006
81
A/Ck/West Java/Smi-Acul/2008
95 A/Muscovy Duck/Indonesia/Kedri163124/200
A/Chicken/Indonesia/Gunung Kidul163133/2
A/Indonesia/CDC624/2006
67
A/Chicken/Indonesia/Pekenbaru163111/2006
99 A/Chicken/Indonesia/Agam16313/2006
94 A/Chicken/Indonesia/Padang16311/2006
89 A/Pigeon/Indonesia/Rokhit16316/2006
69 A/Chicken/Indonesia/Siak16312/2006
A/Indonesia/CDC742/2006
A/Indonesia/CDC357/2006
A/Chicken/Indonesia/Belitung Timor163118
86 A/chicken/West Java/TASIKSOB/2006
97 A/Chicken/West Java/TASIK1/2006
A/Chicken/West Java/TASIK2/2006
A/feline/Indonesia/CDC1/2006
65 A/Indonesia/CDC326/2006
78 A/Indonesia/CDC329/2006
A/Chicken/West Java/SMIPAT/2006
A/Chicken/West Java/PW TW IJ/2006
A/chicken/West Java/SMICSLKEB/2006
A/Chicken/West Java/SMICSLKEC/2006
A/Ck/West Java/Smi-Sud1/2007
A/Ck/West Java/Smi-Hj18/2007
100
A/Ck/West Java/SMI-Biot/2008
A/Ck/West Java/SMI-M1/2008
95
71 A/Ck/West Java/SMI-M6/2008

Kelompok virus
bukan antigenic
drift

Kelompok virus antigenic
drift 2006-2007 dan 2010
Kelompok virus antigenic
drift 2008

0.1

Gambar 1. Pohon filogenetik berdasarkan gen hemaglutinin (HA) virus avian influenza di Indonesia
tahun 2003-2008 (Dharmayanti 2009).

132

cara yang cukup efektif untuk mencegah
penyebaran virus AI, namun risikonya dapat mengancam keanekaragaman genetik
ayam lokal/ kampung. Tindakan tersebut
juga akan berdampak pada hilangnya
materi genetik, yaitu ayam lokal yang
resisten terhadap AI. Gen Mx yang
menyandi protein Mx adalah komponen
kunci yang mengkode protein yang diinduksi interferon (IFN) dan menghambat
replikasi RNA virus (Ko et al. 2002).
Resistensi genetik ditunjukkan sebagai
hasil dari perbedaan struktur genom baru
gen Mx.
Ayam adalah inang alami dari virus AI
(Easterday 1975). Gen Mx berada pada
sitoplasma dan terdiri atas 705 asam amino
yang disandi oleh ekson 13. Substitusi
asam amino pada posisi 631 diidentifikasi
dan digunakan untuk menentukan perbedaan antara akitivitas antiviral pada
ayam terkait dengan protein Mx. Asam
amino asparagin (Asn) berkaitan dengan
aktivitas antiviral positif, yang dikenal
dengan Mx+, sedangkan serin (Ser) berkaitan dengan aktivitas antiviral negatif
atau (Mx-) (Ko et al. 2002; Li et al. 2006;
Seyama et al. 2006; Watanabe 2007). Metode ini digunakan untuk menentukan
resistensi penyakit AI secara molekuler
sehingga seleksi dapat dilakukan dengan
mengkonfirmasi keberadaan gen Mx.
Metode ini dapat diaplikasikan untuk
menghasilkan bibit ayam lokal yang tahan
terhadap AI.
Penanganan kasus AI saat ini masih
terfokus pada upaya membasmi virusnya
dengan penerapan biosekuriti yang ketat
dan vaksinasi, padahal virus mudah sekali
bermutasi sehingga vaksinasi sering tidak
efektif. Pemilihan vaksin AI yang tidak
tepat dapat menimbulkan banyak permasalahan, antara lain timbulnya virus baru
akibat tekanan imunologis melalui vak-

N.L.P. Indi Dharmayanti et al.

sinasi. Lebih dari 20 jenis vaksin AI yang
terdaftar dan beredar di Indonesia menggunakan beberapa galur virus AI sebagai
bibit vaksin, misalnya galur isolat lokal
H5N1 (Legok/2003), H5N2(A/Ck/Mexico/
232/94; A/Turkey/England/N28/73), dan
H5N9 (A/Turkey/ Wisconsin/68) (Syamsudin 2009).
Penggunaan virus LPAI sebagai bibit
vaksin di Indonesia kemungkinan berdasarkan pertimbangan bahwa galur virus
HPAI kurang umum digunakan sebagai
vaksin inaktif karena membutuhkan
peralatan yang spesifik, fasilitas highbiocontainment, dan titer virus yang
diperoleh dari telur embrio bertunas sangat terbatas dibandingkan jika menggunakan galur virus LPAI. Beberapa
penelitian menunjukkan bahwa galur virus LPAI dapat memproteksi ternak dari
virus HPAI (Swayne et al. 1999) sehingga
produksi vaksin LPAI lebih menguntungkan karena lebih mudah memproduksi
kandungan antigen yang tinggi. Selain itu,
galur LPAI lebih mudah ditangani dan
tidak memerlukan fasilitas khusus (Swayne
dan Kapczynski 2008).
Beberapa studi yang mendukung
penggunaan vaksin heterolog untuk
mengatasi virus di lapangan antara lain
adalah studi virus A/Ck/Indonesia/7/
2003 (H5N1) dan A/Ck/Hidalgo/232/1994
(Hidalgo/94) (H5N2) yang mempunyai
kemiripan asam amino sebanyak 82%
(Spackman et al. 2007). Hasil studi memperlihatkan bahwa seluruh ayam yang
divaksinasi dengan vaksin inaktif Hidalgo/
94 tetap hidup setelah ditantang dengan
virus HPAI Indonesia/7/2003. Secara klinis
ayam tampak normal dan vaksin mampu
menurunkan titer virus dari virus yang
diekskresikan dari saluran pernapasan dan
pencernaan dibandingkan dengan kontrol
(Spackman et al. 2007; Swayne et al. 2000).

Mewaspadai perkembangan avian influenza ...

133

Studi yang dilakukan Swayne et al. (1999)
dengan menggunakan virus HPAI sebagai
virus tantang dan galur vaksin yang
mempunyai kemiripan pada protein HA
sebesar 86% memperlihatkan bahwa
vaksin mampu memberikan proteksi yang
baik pada ayam.
Peternakan ayam komersial seperti
peternakan ayam petelur dan pembibitan
ayam, umumnya melakukan vaksinasi
secara intensif, termasuk vaksinasi AI.
Vaksinasi AI umumnya dilakukan minimal
tiga kali sepanjang umur produksi ayam.
Peternak sering kali mengombinasikan
beberapa galur vaksin, misalnya kombinasi vaksin H5N1 dan H5N2 atau H5N2
dan H5N9.
Berkaitan dengan vaksinasi dengan
menggunakan seed vaksin heterolog,
Dharmayanti dan Darminto (2009) mengisolasi dan mengidentifikasi virus antigenic drift dari peternakan ayam yang
menggunakan vaksin H5N2. Pada tahun
2006 dilaporkan bahwa beberapa galur
virus yang diisolasi dari lapangan telah
lolos dari proteksi vaksin komersial,
misalnya ditemukan galur varian di Shanxi,
China pada tahun 2006 (Zhigao 2007).
Beberapa virus juga telah diidentifikasi di
Indonesia dan Mesir pada tahun 2006 dan
awal tahun 2007, yang secara antigenik
berbeda dengan virus H5N1 sebelumnya.
Virus ini menyebabkan kematian pada
ayam yang divaksinasi dengan galur
vaksin dari Amerika Utara dan beberapa
bibit dari galur Eurasian (Swayne dan
Kapczynski 2008). Indriani et al. (2011) juga
menyatakan bahwa vaksin H5N1 memberikan proteksi yang lebih baik dibandingkan dengan vaksin heterolog yang beredar
di Indonesia yang mengandung bibit
vaksin H5N2, H5N9 pada unggas yang
ditantang dengan virus H5N1 yang
bersirkulasi di Indonesia.

Virus yang diisolasi dari peternakan
ayam yang melakukan vaksinasi AI
mengalami antigenic drift, yaitu sekitar 1%
asam amino berubah setiap tahunnya. Oleh
karena itu, virus AI di Indonesia sudah
berbeda dengan virus asalnya (Dharmayanti 2009). Antigenic drift adalah evolusi
gradual dari galur virus yang mengakibatkan mutasi (Both et al. 1983). Pada virus
influenza manusia, mutasi terjadi rata-rata
2-8 tahun sebagai respons terhadap
tekanan seleksi untuk menghindar dari
imunitas pada manusia (Plotkin et al.
2002; Smith et al. 2004; Koelle et al. 2006).
Proses antigenic drift terjadi pada tingkat
nukleotida yang kadang tidak mengubah
atau mengubah sebagian kecil asam amino.
Mutasi ini melibatkan mutasi titik dalam
tempat melekatnya antibodi pada protein
HA, NA atau keduanya yang terjadi setiap
saat ketika virus bereplikasi (Fitch et al.
1991; Boni et al. 2004; Finkenstadt et al.
2005; Koelle et al. 2006).
Sebagian besar mutasi bersifat netral
karena tidak berakibat pada konformasi
protein, namun beberapa mutasi dapat
menyebabkan perubahan pada protein
viral, seperti mutasi pada pengikatan
antibodi dari antibodi inang. Hal ini
mengakibatkan infeksi virus tidak dapat
dihambat oleh antibodi inang (Webby dan
Webster 2001).
Dalam penggunaan vaksin, kemiripan
asam amino galur virus vaksin dengan
virus tantang minimal harus 87,3-100%
sehingga dapat memproteksi ayam dengan
baik (Swayne et al. 1999, 2000). Pendapat
ini didukung oleh peneliti lain yang
menyatakan bahwa penggunaan vaksin
galur subtipe H7 dari Amerika Utara (A/
Turkey/Oregon/1971(H7N3) yang mempunyai kemiripan 79,6% dengan H5N2
gagal memberikan proteksi ketika ditantang dengan dosis letal tantang (Swayne

134

et al. 1999). Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa kemiripan antara virus
vaksin dan tantang harus lebih dari 82%.
Penurunan replikasi virus dan shedding
dari saluran pernapasan bervariasi dan
secara langsung berkorelasi dengan kemiripan asam amino antara virus vaksin dan
virus tantang. Semakin dekat kekerabatan
antara virus tantang dan virus vaksin,
semakin sedikit virus tantang yang
dikeluarkan ke lingkungan (Swayne et al.
1999). Pada penelitian ini, kemiripan asam
amino antara virus pav-AI dengan bibit
vaksin Mexico/232/94 dan Wisconsin/68
pada tingkat molekuler kurang dari 80%
sehingga dapat menurunkan potensi
vaksin tersebut dalam proteksi infeksi.
Data tersebut mendukung permasalahan yang ada di lapangan, yaitu kasus
kegagalan penggunaan vaksin heterolog
untuk memproteksi ayam komersial dari
virus H5N1. Hasil analisis tersebut memperlihatkan bahwa penggunaan vaksin
heterolog sebenarnya kurang tepat. Hasil
penelitian uji tantang yang dilakukan
Swayne (2007) terhadap semua vaksin
yang beredar di Indonesia juga memperlihatkan bahwa vaksin yang digunakan
tidak mampu memberikan proteksi yang
baik terhadap virus WJ/Pwt-Wij/06 yang
diisolasi dari peternakan ayam yang
melakukan vaksinasi H5N2.
Akibat munculnya virus antigenic
drift, Indriani dan Dharmayanti (2009,
komunikasi pribadi) menggunakan virus
antigenic drift tahun 2006 (WJ/Smi-Wij/
06) sebagai bibit vaksin dan ditantang
dengan virus HPAI tahun 2003-2007.
Vaksin tersebut mampu memberikan
proteksi 80-100% terhadap ayam yang
divaksinasi dan maksimal sheeding virus
terjadi sampai hari ketujuh. Namun, vaksin
tersebut gagal memberikan proteksi ketika ditantang dengan virus antigenic

N.L.P. Indi Dharmayanti et al.

drift tahun 2008 (WJ/Smi-M6/2008) dan
sheeding virus terjadi sampai hari ke-14.
Perbedaan antara galur virus dengan WJ/
Smi-M6/2008 kurang dari 3% atau 14 asam
amino. Hasil ini memperlihatkan bahwa
dalam penggunaan vaksin AI, tidak hanya
kemiripan yang menjadi ukuran kesesuaian bibit vaksin, tetapi perlu pula diperhitungkan adanya mutasi yang dapat
memengaruhi keberhasilan suatu vaksin.
Hal tersebut dibuktikan oleh Dharmayanti
et al (2011b) bahwa kegagalan vaksin WJ/
Pwt-Wij/06 dalam memproteksi virus WJ/
Smi-M6/08 dikarenakan virus WJ/Smi-M6/
2008 telah mengalami substitusi asam
amino yang terletak pada permukaan
protein HA. Protein HA virus AI adalah
target primer dari antibodi netralisasi. Virus
AI dapat menghindar dari sistem imun
inang dengan melakukan mutasi pada
daerah yang memengaruhi netralisasi
sehingga antibodi tidak dapat melekat
pada virus. Mutasi umumnya terjadi pada
daerah HA1 di sekitar conserved receptor
binding site.
Hasil visualisasi prediksi 3D protein HA
memperlihatkan bahwa perbedaan asam
amino dari virus WJ/Pwt-Wij/2006 dengan
WJ/Smi-M6/2008 sekitar 14 residu asam
amino, termasuk tiga asam amino yang
terdapat pada permukaan molekul yang
terletak pada epitop B. Mutasi pada daerah
ini dapat menyebabkan bibit vaksin virus
Pwt-Wij/2006 tidak dapat memproteksi
virus Smi-M6/2008 (Dharmayanti et al.
2011b). Domain HA1 dari hemaglutinin
(HA) adalah protein antigenik yang
sangat penting dari virus influenza A yang
mengandung semua situs antigenik HA
yang menentukan pengenalan sistem imun
inang (Shih et al. 2007). Perubahan pada
domain ini akan berpengaruh terhadap
respons imun inang. Beberapa bagian pada
permukaan protein HA lebih mudah untuk

Mewaspadai perkembangan avian influenza ...

135

berubah dibandingkan bagian yang lain.
Beberapa studi menyebutkan bahwa 35%
substitusi nukleotida terjadi hanya 18 dari
329 kodon pada virus H5 (Ferguson et al.
2003). Letak dari 18 mutasi ini pada lima
tempat perlekatan antibodi atau epitop
pada molekul HA (Treanor 1989) sehingga
antigenic drift yang terjadi tidak netral
dan berakibat nyata terhadap kemampuan
protein dalam melakukan binding terhadap
antibodi netralisasi (Finkenstadt et al.
2005; Koelle et al. 2006).
Berdasarkan hasil penelitian ini maka
vaksinasi sebagai strategi dalam pengendalian AI harus dibarengi dengan
perubahan bibit vaksin sesuai dengan
virus yang bersirkulasi di lapangan, yaitu
minimal dilakukan setiap dua tahun. Secara
rutin juga perlu memantau dinamika virus
AI di lapangan untuk mengetahui kecocokan antara virus bibit vaksin dengan
virus yang bersirkulasi di lapangan.

(1) virus yang masih serupa dengan virus
AI H5N1 tahun 2003; (2) virus yang mempunyai mutasi spesifik yang diisolasi di
sekitar kasus manusia terinfeksi H5N1; dan
(3) virus antigenic drift yang kemungkinan tercipta akibat tekanan imunologis
akibat vaksinasi yang tidak tepat. Sirkulasi ketiga jenis virus ini memerlukan
kewaspadaan karena virus H5N1 telah
menjadi penyakit endemis di Indonesia
sehingga memungkinkan terjadinya
genetic reassortment antara virus H5N1
dan novel H1N1 maupun virus influenza
lainnya, seperti H1N1/H3N2 seasonal flu.
Keragaman jenis virus akan menyebabkan virus H5N1 lebih mudah beradaptasi
pada manusia. Pengendalian, surveilans,
dan pemantauan sirkulasi virus harus
terus ditingkatkan dan dilakukan secara
rutin untuk mewaspadai timbulnya virus
baru yang kemungkinan lebih berbahaya
dan lebih mudah beradaptasi pada
manusia.

KESIMPULAN DAN IMPLIKASI
KEBIJAKAN
Kesimpulan
Penyakit AI telah menimbulkan kerugian
yang sangat besar, baik terhadap industri
peternakan ayam maupun kesehatan
masyarakat. Keberadaan ayam kampung
yang menyebar cukup luas dan sebagian
resisten terhadap virus AI menyebabkan
pemerintah tidak mengambil kebijakan
pemusnahan massal. Upaya pemberantasan AI di Indonesia antara lain dilakukan
dengan vaksinasi, namun hal ini berpotensi menimbulkan tantangan baru bila
tidak dilakukan dengan tepat.
Berdasarkan keragaman genetik, virus
H5N1 di Indonesia menunjukkan tiga
kelompok virus yang bersirkulasi, yaitu:

Implikasi kebijakan
Pengendalian dan pemberantasan virus AI
H5N1 di Indonesia dihadapkan pada
masalah belum harmonisnya pemegang
kebijakan di bidang kesehatan hewan
dengan kesehatan manusia, serta belum
digunakannya hasil kajian ilmiah dalam
mendukung kebijakan pemberantasan
virus tersebut. Sementara itu, dukungan
pemerintah sangat diperlukan dalam
penelitian virus AI H5N1 untuk mengetahui
status dan karakter virus terkini yang akan
berguna dalam menentukan langkahlangkah pengendaliannya.
Implikasinya adalah diperlukan keterlibatan kelembagaan Komnas Zoonosis
sebagai pengganti Komnas Pandemi Flu
Burung yang sudah berakhir untuk me-

136

N.L.P. Indi Dharmayanti et al.

lakukan koordinasi dalam pengambilan
kebijakan strategis terkait pengendalian
dan pemberantasan AI pada hewan
maupun manusia dengan melibatkan dua
kementerian teknis dan dua kementerian
koordinator. Secara teknis masing-masing
kementerian dapat melakukan pengendalian dan pemberantasan AI berdasarkan
hasil penelitian ilmiah terkini, baik dalam
pengembangan vaksin AI untuk unggas
maupun pemilihan isolat untuk vaksin,
atau pemilihan vaksin yang boleh digunakan dan diedarkan. Kebijakan pendukung
lainnya adalah penelitian, pemantauan,
dan evaluasi perkembangan virus AI yang
bersirkulasi di Indonesia secara berkelanjutan.
Kebijakan lain yang harus ditinjau
ulang adalah strategi penggunaan vaksin
AI H5N2 yang berdasarkan hasil penelitian sudah tidak efektif, bahkan berisiko
mempercepat terjadinya mutasi virus
H5N1. Demikian pula peredaran vaksin AI
komersial yang sudah tidak sesuai lagi
berdasarkan temuan penelitian terbaru,
harus segera dihentikan.
Mengingat permasalahan penyakit AI
sudah endemis dan terjadi perubahan
struktur molekulernya sehingga pengendaliannya semakin komplek, perlu dibentuk Konsorsium AI untuk pengendalian
pada hewan. Melalui Konsorsium AI
diharapkan upaya pengendalian dan
pemberantasan AI pada hewan akan lebih
terfokus karena para pakar dan pemegang
kebijakan di bidang kesehatan hewan
berkumpul dalam satu wadah.

DAFTAR PUSTAKA
Boni, M.F., J.R. Grog, V. Andreasen, and
F.B. Christiansen. 2004. Influenza drift
and epidemic size: The race between

generating and escaping immunity.
Theor. Popul. Biol. 65(2) : 179-191.
Both, G.W., M.J. Sleigh, N.J. Cox, and
A.P. Kendal. 1983. Antigenic drift in
influenza virus H3 hemagglutinin from
1968 to 1980: multiple evoluntionary
patways and sequential amino acid
changes at key antigenic sites. J. Virol.
48(1): 52-60.
Buckler-White, A.J., C.W. Naeve, and B.R.
Murphy. 1986. Characterization of a
gene coding for M protein which is
involved in host range restriction of
an avian influenza A virus in monkeys.
J. Virol. 57(2): 697-700.
Centers for Disease Control and Prevention. 2004. Cases of influenza A
(H5N1)-Thailand 2004. Morb. Mortal.
Wkly. Rep. 53(5): 100-103.
Chen, H., G. J. Smith, K.S. Li, J. Wang, X.H.
Fan, J.M. Rayner, D.Vijaykrishna, J.X.
Zhang, L.J. Zhang, C.T. Guo, C.L.
Cheung, K.L. Xu, L. Duan, K. Huang,
K. Qin, Y.H. Leung, W.L. Wu, H.R. Lu,
Y. Chen, N.S.Xia, T.S. Naipospos, K.Y.
Yuen, S.S. Hassan, S. Bahri, T.D.
Nguyen, R.G. Webster, J.S. Peiris, and
Y. Guan. 2006. Establishment of multiple
sub-lineages of H5N1 influenza virus
in Asia: Implications for pandemic
control. Proc. Natl. Acad. Sci. USA
103(8): 2845-2850.
Cheung, C.L., J.M. Rayner, G.J. Smith, P.
Wang, T.S. Naipospos, J. Zhang, K.Y.
Yuen, R.G. Webster, J.S. Peiris. Y.
Guan, and H.Chen. 2006. Distribution
of amantadine-resistant H5N1 avian
influenza variants in Asia. J. Infect Dis.
193(2): 1626-1629.
Claas, E.C., A.D. Osterhaus, R. van Beek,
J.C. De Jong, G.F. Rimmelzwaan, D.A.
Senne, S. Krauss, K.F. Shortridge, and
R.G. Webster. 1998. Human influenza A
H5N1 virus related to a highly patho-

Mewaspadai perkembangan avian influenza ...

137

genic avian influenza virus. Lancet
351(9101): 472-477.
Damayanti, R., N.L.P.I. Dharmayanti, R.
Indriani, A. Wiyono, dan Darminto.
2004a. Deteksi antigen H5N1 pada
organ ayam yang terserang flu burung
sangat patogenik (HPAI) pada kasus
wabah di Jawa Timur dan Jawa Barat
dengan teknik imunohistokimia. Jurnal
Ilmu Ternak dan Veteriner 9(3): 197-203.
Damayanti, R., N.L.P.I. Dharmayanti, R.
Indriani, A. Wiyono, dan Darminto.
2004b. Gambaran klinis dan patologis
ayam yang terserang flu burung
sangat patogenik (HPAI) di beberapa
peternakan di Jawa Timur dan Jawa
Barat. Jurnal Ilmu Ternak dan Veteriner
9(2): 128-135.
Dharmayanti, N.L.P.I., R. Damayanti, A.
Wiyono, R. Indriani, dan Darminto.
2004. Identifikasi virus avian influenza
virus isolat Indonesia dengan metode
reverse transcriptase polymerase
chain reaction RT-PCR. Jurnal Ilmu
Ternak dan Veteriner 9(2): 136-143.
Dharmayanti, N.L.P.I., R. Indriani, R.
Damayanti, and A.Wiyono. 2005a.
Isolasi dan identifikasi wabah avian
influenza pada bulan Oktober 2004Maret 2005 di Indonesia. J. Biol.
Indones. 9: 341-350.
Dharmayanti, N.L.P.I., R. Damayanti, R.
Indriani, A. Wiyono, dan R.M.A. Adjid.
2005b. Karakterisasi molekuler virus
avian influenza isolat Indonesia pada
wabah Oktober 2003-2004. Jurnal
Ilmu Ternak dan Veteriner 10(2): 127133.
Dharmayanti, N.L.P.I., R. Indriani, R.
Damayanti, A. Wiyono, dan R.M.A.
Adjid. 2005c. Karakter virus avian
influenza isolat Indonesia pada wabah
gelombang kedua. Jurnal Ilmu Ternak
dan Veteriner 10(3): 217-226.

Dharmayanti, N.L.P.I. dan R. Indriani. 2007.
Patogenisitas molekuler virus avian
influenza yang diisolasi pada tahun
2005. MKH 23(2): 68-73.
Dharmayanti, N.L.P.I. 2009. Perubahan
Genoma Virus Avian Influenza Subtipe
H5N1 pada Unggas di Indonesia.
Disertasi. Universitas Indonesia,
Jakarta. 278 hlm.
Dharmayanti, N.L.P.I. dan Darminto. 2009.
Mutasi virus AI di Indonesia: Antigenic drift protein hemaglutinin (HA)
virus influenza H5N1 tahun 2003-2006.
MKH 25(1): 1-8.
Dharmayanti, N.L.P.I., F. Ibrahim, and A.
Soebandrio. 2010. Amantadine resistant
of Indonesian influenza H5N1 subtype
virus during 2003-2008. Microbiol.
Indones. 5(1): 11-16.
Dharmayanti, N.L.P.I., F. Ibrahim, Darminto,
and A. Soebandrio. 2011a. Influenza
H5N1 virus of birds surrounding H5N1
human cases have specific characteristics on the matrix protein. Hayati
J. Biosci. 18(2): 82-90.
Dharmayanti, N.L.P.I., G. Samaan, F.
Ibrahim, R. Indriani, Darminto, and
A. Soebandrio. 2011b. The genetic drift
of Indonesian avian influenza A H5N1
viruses during 2003-2008. Microbiol.
Indones. 5(2): 68-80.
Dharmayanti, N.L.P.I., A. Ratnawati, D.A.
Hewajuli, dan R. Indriani. 2012.
Sirkulasi virus avian influenza H5N1
tahun 2010: Virus genetic drift mirip A/
Ck/West Java/Pwt-Wij/2006 ditemukan
di beberapa kabupaten di Sumatera
dan Jawa. J. Biol. Indones. 8(1): 103119.
Easterday, B.C. 1975. Animal influenza.
p. 449-481. In E.D. Kilbourne (Ed.).
The Influenza Viruses and Influenza.
Academic Press, New York.

138

Ferguson, N.M., A.P. Galvani, and R.M.
Bush. 2003. Ecological and immunological determinants of influenza
evolution. Nature 422(6930): 428433.
Finkenstadt, B.F., A. Morton, and D.A.
Rand. 2005. Modelling antigenic drift
in weekly flu incidence. Statist. Med.
24(22): 3447-3461.
Fitch, W.M., J.M.E. Leiter, and P. Palese.
1991. Positive darwinian evolution in
human influenza A viruses. Proc. Natl.
Sci. 88: 4270-4274.
Guan, Y., L.L.M. Poon, C.Y. Cheung, T.M.
Ellis, W. Lim, A.S. Lipatov, K.H. Chan,
K.M. Strum-Ramirez, C.L. Cheung,
Y.H.C. Leung, K.Y. Yuen, R.G. Webster,
and J.S.M. Peiris. 2004. H5N1 influenza:
A protean pandemic threat. Proc. Natl.
Acad. Sci. USA 102(21): 8156-8161.
Holland, J., K. Spindler, F. Horodyski, E.
Grabau, S. Nichol, and S. VandePol.
1982. Rapid evolution of RNA genomes.
Science 215: 1577-1585.
Indriani, R., N.L.P.I. Dharmayanti, dan
R.M.A. Adjid. 2011. Tingkat proteksi
beberapa jenis vaksin avian influenza
unggas terhadap infeksi isolat lapang
A/Chicken/West Java/Smi-Pat/2006
dan A/Chicken/West Java/Smi-Mae/
2008 dalam kondisi laboratorium. Jurnal
Ilmu Ternak dan Veteriner 1(2): 153-161.
Katz, J.M., X. Lu, A.M. Frace, T. Morken,
S.R. Zaki, and T.M. Tumpey. 2000.
Pathogenesis of and immunity to avian
influenza A H5 viruses. Biomed.
Pharmacother. 54(4):178-187.
Ko, J.H., H.K. Jin, A. Asano, A. Takada, A.
Ninomiya, H. Kida, H. Hokiyama, M.
Ohara, M. Tsuzuki, M. Nishibori, M.
Mizutani, and T. Watanabe. 2002. Polymorphisms and the differential antiviral
activity of the chicken Mx gene.
Genome Res. 12(4): 595-601.

N.L.P. Indi Dharmayanti et al.

Koelle, K., S. Cobey, B. Grenfell, and M.
Pascual. 2006. Epochal evolution
shapes the phylodynamics of interpandemic influenza A (H3N2) in
humans. Science 314(5807): 18981903.
Koopmans, M., B. Wilbrink, M. Conyn, G.
Natrop, H. van der Nat, A. Vennema, A.
Meijer, J. van Steenbergen, R. Fouchier,
A. Osterhaus, and A. Bosman. 2004.
Transmission of H7N7 avian influenza
A virus to human beings during a large
outbreak in commercial poultry farms
in the Netherlands. Lancet 363(9409):
587-593.
Li, K.S., Y. Guan, J.Wang, G.J. Smith,
K.M. Xu, L. Duan, A.P. Rahardjo, P.
Puthavathana, C. Buranathai, T.D.
Nguyen, A.T. Estoepangestie, A. Chaisingh, P. Auewarakul, H.T. Long, N.T.
Hanh, R.J. Webby, L.L. Poon, H. Chen,
K.F. Shortridge, K.Y. Yuen, R.G.
Webster, and J.S. Peiris. 2004. Genesis
of highly pathogenic and potentially
pandemic H5N1 influenza virus in
eastern Asia. Nature 340(6996): 209213.
Li, X.Y., L.J. Qu, J.F. Yaou, and N. Yang.
2006. Skewed allele frequencies of an
Mx gene mutation with potential
resistance to avian influenza virus in
different chicken populations. Poult.
Sci. 85(7): 1327-1329.
Monne, I., A. Fusaro, M.H. Al-Bodowi,
M.M. Ismail, O.A. Khan, G. Dauphin,
A. Tripodi, A. Salviato, S. Marangon,
I. Capua, and G. Cattoli. 2008. Cocirculation of two sublineages of HPAI
H5N1 virus in the Kingdom of Saudi
Arabia with unique molecular signatures suggesting separate introductions into the commercial poultry and
falconry sectors. J. Gen. Virol. 89(11):
2691-2697.

Mewaspadai perkembangan avian influenza ...

139

Nidom, C.A. 2005. Analisis Molekuler
Genoma Virus Avian Influenza H5N1 di
Indonesia. Disertasi. Program Pascasarjana Universitas Airlangga, Surabaya.
Peiris, M., K.Y. Yuen, C.W. Leung, K.H.
Chan, P.L. Ip, R.W. Lai, W.K. Orr, and
K.F. Shortridge. 1999. Human infection
with influenza H9N2. Lancet 354(189):
916- 917.
Peiris, J.C., W.C. Yu, C.W. Leung, C.Y.
Cheung, W.F. Ng, J.M. Nicholls, J.K.
Ng, K.H. Chan, S.T. Lai, W.L. Lim, K.Y.
Yuen, Y. Guan. 2004. Re-emergence of
fatal human influenza A subtype H5N1
disease. Lancet 363(9409): 617-619.
Plotkin, J.B., J. Dushoff, and S.A. Levin.
2002. Hemagglutinin in sequence
clusters and antigenic evolution of
influenza A virus. Proc. Natl. Acad. Sci.
USA 99(9): 6263-6268.
Puthavathana, P., P. Auewarakul, P.C.
Charoenying, K. Sangsiriwut, P.
Pooruk, K. Boonnak, R. Khanyok, P.
Thawachsupa, R. Kijphati, and P.
Sawanpanyalert. 2005. Molecular
characterization of the complete
genome of human influenza H5N1
virus isolates from Thailand. J. Gen.
Virol. 86(2): 423-433.
Schulze, I.T. 1997. Effect of glycosylation
on the properties and functions of
influenza virus hemagglutinin. J. Infect.
Dis. 176(1): S24-28.
Sedyaningsih, E.R., S. Isfandari, V. Setyawati, L. Rifati, S. Harun, W. Purba, S.
Imari, S. Giriputra, P.J. Blair, S.D.
Putnam, T.M. Uyeki, and T. Soendoro.
2007. Epidemiology of cases of H5N1
virus infection in Indonesia, July
2005-June 2006. J. Infect. Dis. 196(4):
522-527.
Seyama, T., J.H. Ko, M. Ohe, N. Sasaoka,
A. Okada, H. Gomi, A. Yoneda, J. Ueda,

M. Nishibori, S. Okamoto, Y. Maeda,
and T. Watanabe. 2006. Population
research of genetic polymorphism at
amino acid position 631 in chicken Mx
protein with differential antiviral
activity. Biochem. Genet. 44(9-10): 437448.
Shih, A.C.C., T.C. Hsiao, M.S. Ho, and W.H.
Li. 2007. Simultaneous amino acid
substitutions at antigenic site