HUKUM INTERNASIONAL 2

Sejarah Latar
Belakang Lahirnya
GAM

Aceh, daerah yang memiliki sejarah panjang
dalam perlawanan terhadap Belanda, hingga hari
ini masih terus menerus di rundung berbagai
bentuk kekerasan. Sejak awal kemerdekaan
berbagai gerakan perlawanan baik sebagai
bentuk ketidakpuasan terhadap pemerintah pusat
di Jakarta maupun sebagai wujud keinginan
sejumlah elemen masyarakat untuk menjadikan
Aceh “merdeka” terus-menerus muncul ke
permukaan. Deklarasi Gerakan Aceh Merdeka
(GAM) di tahun 1976 telah memberikan alasan
kepada pemerintah pusat untuk menjadikan
daerah ini sebagai daerah operasi militer
terutama sejak akhir 1980-an sampai dengan
1998 dengan sandi operasi militernya yang
terkenal: Operasi Jaring Merah.


Secara umum ada dua cara untuk memahami berbagai
persoalan yang muncul di Aceh. Pertama dengan cara
melihat sejarah panjang tradisi perlawanan di daerah ini.
Secara historis, Aceh pernah menjadi kerajaan MelayuMuslim yang sangat kuat selama ratusan tahun.[1] Ketika
Belanda datang diakhir abad ke-19 ia masih berstatus
sebagai kesultanan yang independen. Dimasa colonial,
daerah ini melakukan perlawanan paling panjang dengan
berperang selama lebih kurang 70 tahun dari 1873 hingga
1942. Aceh kemudian berada dibawah kekuasaan Jepang
hingga 1945 sebelum kemudian bergabung dengan
Republik Indonesia di masa perang kemerdekaan (19451949).

Soekarno, tokoh perjuangan kemerdekaan waktu itu
berhasil meyakinkan Aceh bahwa dengan menjadi bagian
dari Republik Indonesia Aceh akan mendapatkan
perlindungan, kemakmuran, dan otonomi yang luas
sebagai sebuah provinsi. Karena kekecewaan terhadap
pemerintah pusat, di akhir 1950-an hingga awal 1960-an
Aceh melakukan gerakan perlawanan Darul Islam (DI)
dibawah pimpinan Tengku Daud Beureueh.

Pemberontakan ini dapat diakhiri setelah pemerintah
setuju memberikan status istimewa kepada Aceh dengan
kewenangan untuk mengatur dirinya sendiri dalam hal
agama dan pendidikan. Sayangnya, janji ini tak pernah
ditepati.

Kedua, berbagai persoalan itu terkait dengan perubahan dramatis secara ekonomi,
sosial, maupun politik selama tiga dekade terakhir atau lebih. Secara legal formal
Aceh berstatus sebagai Daerah Istimewa dimasa Orde Baru. Namun secara praktikal
status ini hanyalah nama, tidak ada perbedaan signifikan dengan propinsi yang “tidak
istimewa”. Pembangunan ekonomi yang menjadi legitimasi utama Orde Baru telah
menggeser status dan kewenangan para pemimpin tradisional religius disatu sisi,
sedangkan disisi lain muncul kelas elit baru yang dikenal sebagai teknokrat. Elit baru
ini lebih memiliki loyalitas kepada pemerintah pusat daripada elit-elit local. Lebih
jauh lagi, pembangunan itu sendiri telah gagal mendatangkan keuntungan yang
memadai bagi masyarakat Aceh.[2] Exploitasi gas alam Arun, Lhokseumawe, telah
mendatangkan keuntungan luar biasa bagi pemerintah pusat. Sumbangan Aceh untuk
APBN adalah sekitar 20 persen setiap tahun. Hanya sekitar satu persen dari
sumbangan itu yang diinvestasikan kembali di Aceh, secara langsung maupun secara
tidak langsung. Aceh adalah daerah yang kaya akan sumber-sumber ekonomi, namun

secara ironis masyarakatnya tetap terbelakang dan miskin. Situasi ini antara lain yang
membawa kepada populernya Gerakan Aceh Merdeka (GAM) sebagi saluran
alternatif bagi masyarakat untuk menyampaikan kekecewaannya.

Kesimpulan (Substansi MoU RI-GAM)
MoU tersebut diantaranya menyatakan perjanjian internasional yang berkaitan dengan Aceh
akan berlaku dengan konsultasi dan persetujuan legislatif Aceh.

Penandatanganan MoU ini (mungkin) bisa dikatakan sebagai
sebuah keberhasilan yang patut dibanggakan oleh Pemerintahan
SBY-JK. Namun,
bukan berarti kita jadi terbuai dalam momen 'indah' ini, karena
dibalik semua itu ternyata substansi MoU tersebut mengandung
beberapa kejanggalan.
Salah satunya berdasarkan analisa Hukumonline adalah
ketidakkonsistenan antara satu klausul dengan klausul yang lain
sebagaimana tertera di bawah ini:

• butir 1.1.2.a.Aceh akan melaksanakan kewenangan


dalam semua sektor publik yang akan
diselenggarakan bersama dengan administrasi sipil
dan peradilan, kecuali dalam bidang hubungan luar
negeri, pertahanan luar, keamanan nasional,
moneter dan fiskal, kekuasaan kehakiman dan
kebebasan beragama, dimana kebijakan tersebut
merupakan kewenangan Pemerintah Republik
Indonesia sesuai konstitusi.
• butir 1.3.1. .....Aceh berhak untuk menetapkan tingkat
suku bunga berbeda dengan yang ditetapkan oleh
Bank Sentral Republik Indonesia (Bank Indonesia)

Disamping itu, MoU tersebut juga mengandung
klausul yang secara jelas bertentangan dengan
peraturan perundang-undangan atau bahkan
Konstitusi. Sebagai contoh adalah klausul yang
berbunyi “perjanjian internasional yang berkaitan
dengan Aceh akan berlaku dengan konsultasi dan
persetujuan legislatif Aceh”. Klausul ini secara
nyata telah bertentangan dengan pasal 11 ayat

(2) Konstitusi yang menyatakan bahwa Presiden
dalam membuat perjanjian internasional lainnya
yang menimbulkan akibat yang luas dan
mendasar bagi kehidupan rakyat yang terkait
dengan beban keuangan negara, dan/atau
mengharuskan perubahan atau pembentukan
undang-undang harus dengan persetujuan Dewan
Perwakilan Rakyat.

Sementara itu, ahli hukum dari Universitas Padjadjaran
Bandung Prof. Romli Atmasasmita mengungkapkan bahwa
Pemerintah Indonesia harus konsisten kalau mau
mempertahankan masalah ini dalam koridor nasional, maka
seharusnya MoU ini pun tunduk pada hukum nasional.
“Kalau MoU RI-GAM dipandang bertentangan dengan
hukum nasional, seharusnya batal demi hukum,” tegasnya.
 
Lebih lanjut, Romli mengatakan bahwa kalau DPR
merasakan sesuatu yang tidak tepat dalam MoU tersebut,
maka DPR bisa saja memanggil pemerintah untuk

dimintakan penjelasan. Dia juga menepis anggapan bahwa
kalau ada sejumlah kalangan mempertanyakan MoU antara
RI-GAM berarti tidak mendukung terciptanya perdamaian.
 
“Semua orang pada dasarnya setuju perdamaian, tapi kalau
sudah menabrak undang-undang itu jelas salah dan patut
dipertanyakan keabsahannya,” ujar Romli yang juga
menyayangkan kenapa pemerintah bersikap tertutup dan
tidak mau mensosialisasikan draf MoU tersebut sebelum
penandatanganan.

Kesimpulan
Bukan perjanjian internasional 
Selain mengomentari mengenai substansi MoU antara RIGAM, Hikmahanto juga kembali menegaskan bahwa MoU ini
bukanlah suatu perjanjian internasional. Menurutnya,
MoU yang baru saja ditandatangani ini hanyalah suatu
perjanjian antara pemerintah yang sah dengan kelompok
pemberontakan.
Wacana mengenai status perundingan RI-GAM di Helsinki,
Finlandia sempat ramai dibicarakan seiring dengan adanya

tuntutan dari pihak DPR yang mensyaratkan bahwa
pelaksanaan perundingan tersebut harus mendapatkan
persetujuan dari DPR. Dasar tuntutan mereka adalah pasal
11 ayat (2) Konstitusi yang menyatakan bahwa Presiden
dalam membuat perjanjian internasional lainnya yang
menimbulkan akibat yang luas dan mendasar bagi
kehidupan rakyat yang terkait dengan beban keuangan
negara, dan/atau mengharuskan perubahan atau
pembentukan undang-undang harus dengan persetujuan
DPR.
 

 
Atas tuntutan tersebut, pemerintah sejauh ini
mencoba menunjukkan konsistensinya dan tetap
berpandangan bahwa perundingan Helsinki bukanlah
perundingan internasional. Salah satu bentuk
konsistensi yang ditunjukkan oleh pemerintah adalah
dengan 'hanya' mengirim pejabat setingkat menteri
yang tidak memiliki 'kapasitas' untuk mewakili negara

menandatangani suatu perjanjian internasional.
Konvensi Wina 1969 tentang Perjanjian Internasional,
pasal 7 yang kemudian diadopsi pasal 7 UU No.
24/2000 tentang Perjanjian Internasional mengatur
bahwa untuk mewakili Indonesia dalam suatu
perjanjian internasional diperlukan surat kuasa.
Pengecualian dari ketentuan ini adalah Presiden dan
Menteri Luar Negeri yang tidak memerlukan surat
kuasa. Selain itu, pemerintah juga konsisten untuk
tidak menganggap GAM sebagai belligerent (pihak
yang bersengketa, red.) sehingga dengan begitu tidak
bisa dianggap sebagai subyek hukum internasional
yang juga berarti tidak dapat menjadi pihak dalam
perjanjian internasional.

Lampiran :
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 24 TAHUN 2000
TENTANG
PERJANJIAN INTERNASIONAL

Pasal 7
(1) Seseorang yang mewakili Pemerintah Republik Indonesia, dengan tujuan menerima atau
menandatangani naskah suatu perjanjian atau mengikatkan diri pada perjanjian internasional,
memerlukan Surat Kuasa.
(2) Pejabat yang tidak memerlukan Surat Kuasa sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 1 Angka 3 adalah :
a. Presiden, dan
b. Menteri.
(3) Satu atau beberapa orang yang menghadiri, merundingkan, dan/atau menerima
hasil akhir suatu pertemuan internasional, memerlukan Surat Kepercayaan.
(4) Surat Kuasa dapat diberikan secara terpisah atau disatukan dengan Surat Kepercayaan,
sepanjang dimungkinkan,
menurut ketentuan dalam suatu perjanjian internasional atau pertemuan internasional.
(5) Penandatangan suatu perjanjian internasional yang menyangkut
kerja sama teknis sebagai pelaksanaan dari perjanjian yang sudah
berlaku dan materinya berada dalam lingkup kewenangan suatu
lembaga negara atau lembaga pemerintah, baik departemen maupun nondepartemen,
dilakukan tanpa memerlukan Surat Kuasa.

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA

NOMOR 18 TAHUN 2001
TENTANG
OTONOMI KHUSUS
BAGI PROVINSI DAERAH ISTIMEWA ACEH
PROVINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM
BABSEBAGAI
IV

KEUANGAN PROVINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM
Pasal 4
(1) Sumber penerimaan Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam meliputi:






pendapatan asli Daerah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam;
dana perimbangan;
penerimaan Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dalam rangka otonomi khusus;

pinjaman Daerah; dan
lain-lain penerimaan yang sah.

(2) Sumber pendapatan asli Daerah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam,
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, terdiri atas:







pajak Daerah;
retribusi Daerah;
zakat;
hasil perusahaan milik Daerah dan hasil pengelolaan kekayaan daerah lainnya yang
dipisahkan; dan
lain-lain pendapatan Daerah yang sah.

(3) Dana perimbangan, sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b,
adalah dana perimbangan bagian Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam,
Kabupaten dan Kota atau nama lain, yang terdiri atas:
bagi hasil pajak dan sumber daya alam yang ditetapkan sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan, yaitu bagian dari penerimaan
pajak bumi dan bangunan sebesar 90% (sembilan puluh persen), bea
perolehan hak atas tanah dan bangunan sebesar 80% (delapan puluh
persen), pajak penghasilan orang pribadi sebesar 20% (dua puluh persen),
penerimaan sumber daya alam dari sektor kehutanan sebesar 80%
(delapan puluh persen), pertambangan umum sebesar 80% (delapan puluh
persen), perikanan sebesar 80% (delapan puluh persen), pertambangan
minyak bumi sebesar 15% (lima belas persen), dan pertambangan gas
alam sebesar 30% (tiga puluh persen);
Dana Alokasi Umum yang ditetapkan sesuai dengan peraturan perundangundangan; dan
Dana Alokasi Khusus yang ditetapkan sesuai dengan peraturan perundangundangan dengan memberikan prioritas bagi Provinsi Nanggroe Aceh
Darussalam.
(4) Penerimaan dalam rangka otonomi khusus, sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) butir c, berupa tambahan penerimaan bagi Provinsi
Nanggroe Aceh Darussalam dari hasil sumber daya alam di wilayah
Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam setelah dikurangi pajak, yaitu sebesar
55% (lima puluh lima persen) untuk pertambangan minyak bumi dan
sebesar 40% (empat puluh persen) untuk pertambangan gas alam selama
delapan tahun sejak berlakunya undang-undang ini.

(5) Mulai tahun kesembilan setelah berlakunya
undang-undang ini pemberian tambahan
penerimaan sebagaimana dimaksud pada ayat
(4) menjadi sebesar 35% (tiga puluh lima persen)
untuk pertambangan minyak bumi dan sebesar
20% (dua puluh persen) untuk pertambangan gas
alam.
(6) Pembagian lebih lanjut penerimaan
sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dan ayat
(5) antara Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam,
Kabupaten, Kota atau nama lain diatur secara adil
dengan Qanun Provinsi Nanggroe Aceh
Darussalam.

Pasal 5
(1) Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dapat menerima
bantuandari luar negeri setelah memberitahukannya
kepada Pemerintah.
(2) Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dapat melakukan
pinjaman dari sumber dalam negeri dan/atau luar negeri
untuk membiayai sebagian anggarannya.
(3) Pinjaman dari sumber dalam negeri untuk Provinsi
Nanggroe Aceh Darussalam harus mendapat persetujuan
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi Nanggroe Aceh
Darussalam.
(4) Pinjaman dari sumber luar negeri untuk Provinsi
Nanggroe Aceh Darussalam harus mendapat persetujuan
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi Nanggroe Aceh
Darussalam dan Pemerintah dengan berpedoman pada
peraturan yang berlaku.
(5) Ketentuan mengenai pelaksanaan bantuan
sebagaimana dimaksud dalam pasal ini selanjutnya diatur
dengan Qanun Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.

Pasal 6
(1) Pemerintah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dapat melakukan
penyertaan modal pada badan usaha milik negara (BUMN) yang hanya
berdomisili dan beroperasi di wilayah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam
yang besarnya ditetapkan bersama dengan Pemerintah.
(2) Tata cara penyertaan modal Pemerintah Provinsi Nanggroe Aceh
Darussalam, sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diatur lebih lanjut
dengan Qanun Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.
(3) Sebagian pendapatan Pemerintah yang berasal dari pembagian
keuntungan badan usaha milik negara (BUMN) yang hanya beroperasi di
Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam yang besarnya ditetapkan bersama
antara Pemerintah dan Pemerintah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam
digunakan untuk peningkatan kesejahteraan masyarakat di Daerah yang
bersangkutan.
Pasal 7
(4) Perubahan dan perhitungan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah
Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (APBDPNAD) ditetapkan dengan
Qanun Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.
(5) Sekurang-kurangnya 30% (tiga puluh persen) pendapatan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) huruf a, ayat (4), dan ayat (5)
dialokasikan untuk biaya pendidikan di Provinsi Nanggroe Aceh
Darussalam.
(6) Tata cara penyusunan dan pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan
Belanja Daerah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (APBDPNAD),
perubahan dan perhitungannya serta pertanggungjawaban dan
pengawasannya diatur dengan Qanun Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.

Vienna Convention on the Law of Treaties
1969
Article 7
Full powers
1.A person is considered as representing a State for the purpose of adopting or
authenticating the
text of a treaty or for the purpose of expressing the consent of the State to be bound by a
treaty if:
(a) he produces appropriate full powers; or
(b) it appears from the practice of the States concerned or from other circumstances that
their
intention was to consider that person as representing the State for such purposes and to
dispense with
full powers.
5
2. In virtue of their functions and without having to produce full powers, the following are
considered as representing their State:
(a) Heads of State, Heads of Government and Ministers for Foreign Affairs, for the purpose of
performing all acts relating to the conclusion of a treaty;
(b) heads of diplomatic missions, for the purpose of adopting the text of a treaty between the
accrediting State and the State to which they are accredited;
(c) representatives accredited by States to an international conference or to an international
organization or one of its organs, for the purpose of adopting the text of a treaty in that
conference, organization or organ.