HUKUM EKONOMI INTERNASIONAL
HUKUM EKONOMI
INTERNASIONAL
(HEI)
(2)
Para
sarjana
mengakui
eksistensi kaedah -kaedah
atau aturan dasar (standard)
HEI,
namun
berbeda
pendapat mengenai kaedah-
kaedah dasar mana saja
yang dimaksudkan.
KAEDAH-KAEDAH DAN
PRINSIP-PRINSIP DASAR HUKUM
(3)
Terlepas dari perbedaan pendapat,
disepakati bahwa pada dasarnya
kaedah -kaedah dasar HEI mengacu
kepada
dua prinsip kebebasan utama
HEI
, yaitu:
Kedua
prinsip
kebebasan
ini
merupakan hasil dari perkembangan
yang sejak berabad-abad lamanya,
karena itu disebut juga dengan prinsip
klasik HEI.
kebebasan berkomunika
si
kebebasan berdagang
(4)
a.
Kebebasan Berkomunikasi
prinsip yang menyatakan
bahwa setiap negara memiliki
kebebasan untuk berhubungan
dengan
siapapun
juga,
termasuk
bebas
memasuki
wilayah suatu negara guna
melakukan transaksi -transaksi
ekonomi internasional
.
PRINSIP KEBEBASAN
(KLASIK) HEI
(5)
b. Kebebasan Berdagang
Berdasarkan prinsip ini, setiap negara memiliki kebebasan untuk berdagang dengan setiap orang atau setiap negara di manapun di dunia ini dan tidak boleh ada pembatasan karena perbedaan sistem ekonomi, politik dan ideologi lainnya.
Penafsiran baru dan normatif mengenai kebebasan berdagang ini dikeluarkan oleh putusan Mahkamah Internasional sekaitan dengan kasus The Oil Platforms Case (1996) antara Iran dengan AS.
Sengketa The Oil Platform Case adalah sengketa yang berawal dari diledakkanya 3 kompleks produksi minyak lepas pantai Iran oleh armada kapal perang AS di tahun 1987 dan 1988.
(6)
sambungan The Oil Platform Case
Yang menjadi hal penting dari sengketa ini adalah adanya silang pendapat antara Iran
dan AS mengenai penafsiran kata “freedom of commerce” yang termuat dalam perjanjian
yang telah mereka buat sebelumnya [AS
mengartikannya dalam arti sempit / terbatas (restriktif) sedangkan Iran mengartikannya dalam pengertian luas, yakni termasuk
seluruh transaksi dan persiapan yang terkait dengan perdagangan].
Dalam kasus ini, Mahkamah
menyimpulkan bahwa kata “dagang”
sebagaimana tercantum dalam Pasal X ayat 1 Perjanjian 1955 (antara As dan Iran)
mencakup kegiatan-kegiatan komersial (dagang) secara umum.
(7)
1. Prinsip Standard Minimum (Minimum Standard)
2. Prinsip Perlakuan sama (Identical Treatment)
3. Prinsip Perlakuan Nasional (National Treatment)
4. Prinsip Dasar atau Klausula “Most Favoured Nation” (MFN).
5. Prinsip Menahan Diri untuk Tidak Merugikan Negara lain
6. Prinsip / Klausul Penyelamat
7. Prinsip Preferensi bagi Negara Berkembang
(8)
Merupakan prinsip utama dalam
HEI dan telah menjadi bahagian
dari aturan hukum kebiasaan
internasional umum.
Prinsip ini menegaskan, adalah
kewajiban negara untuk sedikitnya
memberikan jaminan perlindungan
kepada pedagang atau pengusaha
asing dan harta miliknya.
1. Prinsip Standard Minimum
(Minimum Standard)
(9)
Prinsip ini menyatakan bahwa
setiap negara harus memberikan
standard perlakuan yang sama baik
kepada warganya maupun kepada
warga
asing
yang
berada
di
wilayahnya, demikian pula terhadap
perusahaan
nasionalnya
dan
perusahaan asing yang melakukan
kegiatan
ekonomi
di
wilayah
negaranya
(prinsip
yang
mengharuskan
setiap
konsesi
diimbangi dengan konsesi yang
seimbang pula).
2. Prinsip Perlakuan sama (Identical
Treatment)
(10)
Menurut Scwarzenberger, prinsip ini terutama tampak dalam hukum kekebalan diplomatik yang juga menuntut timbal balik, sehingga prinsip ini disebut juga dengan istilah prinsip resiprositas (reciprocity).
Olivier Long menganggap resiprositas sebagai suatu prinsip fundamental dalam perjanjian GATT, karena sesuai dengan salah satu tujuan GATT, yakni memberikan keuntungan timbal balik bagi negara-negara anggotanya (“……thus negotiations on a reciprocal and mutually advantageous basis…”).
(11)
Prinsip ini mensyaratkan suatu negara untuk memperlakukan hukum yang sama yang diterapkan terhadap- barang-barang, jasa-jasa atau modal asing yang telah memasuki pasar dalam negerinya dengan hukum yang diterapkan terhadap produk-produk atau jasa yang dibuat dalam negeri.
Dalam GATT prinsip ini ditegaskan dalam Pasal 3 di bawah judul: National Treatment on Taxation and Regulation, yang mengharuskan, bahwa terhadap barang-barang impor tidak boleh diperlakukan lebih jelek dari pada perlakuan yang diberikan terhadap barang-barang produksi domestik.
3. Prinsip Perlakuan Nasional
(National Treatment)
(12)
Prinsip atau klausul ini
disebut juga dengan prinsip
non-diskriminasi di antara
negara-negara, yang
mensyaratkan suatu negara
harus memberikan hak kepada
negara lainnya sebagaimana
halnya ia memberikan hak
serupa kepada negara ketiga.
4. Prinsip Dasar atau Klausula
“Most Favoured Nation”
(13)
Prinsip MFN ini terdapat dalam Pasal
1 (1) GATT yang meletakkan dasar
bahwa setiap negara anggota GATT
tidak
diperkenankan
memberikan
perlakuan khusus kepada negara lain.
Konsekuensi dari jaminan prinsip MFN
ini adalah apabila ternyata ada negara
yang
memberikan
atau
saling
memberikan
perlakuan
khusus
(konsesi), maka konsesi yang demikian
harus dapat dinikmati pula oleh pihak
ketiga atau negara-negara lain anggota
GATT yang pada mulanya tidak
dilibatkan dalam perlakuan khusus
tersebut.
(14)
1. MFN bersyarat (conditional), apabila suatu negara memberikan keistimewaan kepada negara ketiga, maka ia wajib untuk memberikan perlakuan yang sama kepada negara partnernya, B, hanya setelah B telah memberikan perlakuan yang istimewa dengan menyepakati keuntungan timbal balik yang sama kepada mereka yang telah diberikan A.
1.MFN bersyarat (conditional), apabila suatu negara memberikan keistimewaan kepada negara ketiga, maka ia wajib untuk memberikan perlakuan yang sama kepada negara partnernya, B, hanya setelah B telah memberikan perlakuan yang istimewa dengan menyepakati keuntungan timbal balik yang sama kepada mereka yang telah diberikan A.
2. MFN tidak bersyarat (unconditional),
mensyaratkan suatu negara A yang memberikan keistimewaan kepada suatu negara ketiga secara otomatis dan tanpa bersyarat memberikan perlakuan yang istimewa yang sama kepada partnernya, B, tanpa persyaratan resiprositas dari B.
2. MFN tidak bersyarat (unconditional),
mensyaratkan suatu
negara A yang
memberikan keistimewaan kepada suatu negara ketiga secara otomatis dan
tanpa bersyarat
memberikan perlakuan yang istimewa yang sama kepada partnernya, B, tanpa persyaratan resiprositas dari B.
BENTUK – BENTUK
KLAUSAL MFN
(15)
Alasan utamanya adalah karena sulitnya mengukur “pembayaran-pembayaran” sebagai persyaratan untuk diterapkannya klausul timbal balik MFN yang dianggap layak oleh suatu negara partner untuk suatu keistimewaan bersyarat yang telah dinikmatinya.
Pasal 1 GATT juga memuat konsep MFN tidak bersyarat dan kewajiban untuk perdagangan barang. Kalusul MFN juga dapat diterapkan terhadap perdagangan jasa (misal: asuransi dan pelayaran) dan dapat pula diterapkan terhadap perlakuan negara terhadap penanaman modal.
ALASAN NEGARA MEMILIH MFN
TIDAK BERSYARAT
(16)
GATT memberikan pengecualian –
pengecualian dalam penerapan MFN
sbb:
a.
pengecualian menurut pasal 1 GATT
: memberikan perlakuan khusus
kepada
negara-negara
bekas
jajahan ;
•
Negara - negara persemakmuran
(commonwealth)
•
Negara-negara yang melepaskan
diri dari Ottoman, dibolehkan
menyimpang
dari
MFN
berdasarkan pasal XXV
PENGECUALIAN PENERAPAN
KLAUSAL MFN
(17)
b. Pengecualian negara-negara pasal XXIV • Negara-negara yang berbatasan
diperkenankan saling memberikan fasilitas bagi lalu lintas perdagangan • Free Trade Area (FTA) dan Custom
Union yang memberi preferensi khusus kepada negara-negara anggotanya dalam suatu kawasan tertentu secara timbal balik
c. Pengecualian menurut pasal XXVIII :
Dalam hal ini pengecualian terhadap prinsip-prinsip MFN di dasarkan atas penerapan prinsip resiprositas
(18)
Prinsip ini antara lain
tampak dalam Pasal III (1)
GATT
yang
menyatakan
bahwa
suatu
tindakan
tertentu dari negara-negara
anggota GATT tidak boleh
diterapkan
“sehingga
memberikan proteksi kepada
produksi dalam negeri”.
5.Prinsip Menahan Diri untuk
Tidak Merugikan Negara lain
(19)
Kemudian Pasal XVI (1)N GATT menetapkan suatu kewajiban untuk berkonsultasi manakala setiap negara peserta memberikan subsidi domestik yang tidak secara khusus dikaitkan dengan ekspor. Konsultasi ini disyaratkan manakala pemberian subsidi ini merugikan atau mempengaruhi kepentingan ekonomi negara lainnya.
Praktek Indonesia sekaitan dengan kewajiban ini tampak misalnya, saat dikeluarkannya Inpres No. tahun 1996 mengenai kebijaksanaan otomotif nasional. Kebijakan ini serta merta menuai protes keras dari Jepang, AS dan Uni Eropa, bahkan mereka membawa masalah ini ke badan penyelesaian sengketa WTO.
(20)
Prinsip ini ternyata dalam Pasal
XIX GATT yang memberikan suatu
hak sepihak kepada
negara-negara
untuk
menangguhkan
suatu
kewajiban-kewajiban
internasional selama jangka waktu
tertentu
seperti
penangguhan
untuk pembebasan pemberlakuan
tarif
yang
ditujukan
untuk
melindungi
produsen
dalam
negeri.
(21)
Prinsip
ini
mensyaratkan
perlunya suatu
kelonggaran-kelonggaran
atas
aturan
hukum tertentu bagi
negara-negara sedang berkembang,
misalnya berupa pengurangan
bea masuk untuk
produk-produk
negara
sedang
berkembang ke dalam pasar
negara maju.
7.Prinsip Preferensi bagi
Negara Berkembang
(1)
GATT memberikan pengecualian –
pengecualian dalam penerapan MFN
sbb:
a.
pengecualian menurut pasal 1 GATT
: memberikan perlakuan khusus
kepada
negara-negara
bekas
jajahan ;
•
Negara - negara persemakmuran
(commonwealth)
•
Negara-negara yang melepaskan
diri dari Ottoman, dibolehkan
menyimpang
dari
MFN
berdasarkan pasal XXV
PENGECUALIAN PENERAPAN
KLAUSAL MFN
(2)
b. Pengecualian negara-negara pasal XXIV
• Negara-negara yang berbatasan
diperkenankan saling memberikan fasilitas bagi lalu lintas perdagangan
• Free Trade Area (FTA) dan Custom
Union yang memberi preferensi khusus kepada negara-negara anggotanya dalam suatu kawasan tertentu secara timbal balik
c. Pengecualian menurut pasal XXVIII :
Dalam hal ini pengecualian terhadap prinsip-prinsip MFN di dasarkan atas penerapan prinsip resiprositas
(3)
Prinsip ini antara lain
tampak dalam Pasal III (1)
GATT
yang
menyatakan
bahwa
suatu
tindakan
tertentu dari negara-negara
anggota GATT tidak boleh
diterapkan
“sehingga
memberikan proteksi kepada
produksi dalam negeri”.
5.Prinsip Menahan Diri untuk
Tidak Merugikan Negara lain
(4)
Kemudian Pasal XVI (1)N GATT menetapkan suatu kewajiban untuk berkonsultasi manakala setiap negara peserta memberikan subsidi domestik yang tidak secara khusus dikaitkan dengan ekspor. Konsultasi ini disyaratkan manakala pemberian subsidi ini merugikan atau mempengaruhi kepentingan ekonomi negara lainnya.
Praktek Indonesia sekaitan dengan kewajiban ini tampak misalnya, saat dikeluarkannya Inpres No. tahun 1996 mengenai kebijaksanaan otomotif nasional. Kebijakan ini serta merta menuai protes keras dari Jepang, AS dan Uni Eropa, bahkan mereka membawa masalah ini ke badan penyelesaian sengketa WTO.
(5)
Prinsip ini ternyata dalam Pasal
XIX GATT yang memberikan suatu
hak sepihak kepada
negara-negara
untuk
menangguhkan
suatu
kewajiban-kewajiban
internasional selama jangka waktu
tertentu
seperti
penangguhan
untuk pembebasan pemberlakuan
tarif
yang
ditujukan
untuk
melindungi
produsen
dalam
negeri.
(6)