BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Tinjauan tentang pondok pesantren 1. Pengertian pondok pesantren - KAJIAN TENTANG PENDIDIKAN MORAL DI PONDOK PESANTREN MIFTAHUL HUDA RAWALO - repository perpustakaan

BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Tinjauan tentang pondok pesantren 1. Pengertian pondok pesantren Pandangan tentang pondok pesantren sendiri cukup beragam. Pondok pesantren dapat dipandang sebagai lembaga ritual, atau lembaga

  pendidikan Islam. Sejak didirikan pertama kali, pesantren memang merupakan sebuah lembaga pendidikan yang memfokuskan pengajaran dalam bimbingan agama Islam Widiyanta & Miftahuddin (dalam suhardi,2012 : 320)

  Pesantren dapat disebut sebagai model lembaga pendidikan asli (indigenous) Indonesia, yang dalam hal ini mempunyai persamaan bentuk dengan pendidikan model Hindu di India. Tampak ada beberapa unsur yang sama yang dapat ditemukan baik di dalam sistem pendidikan Hindu maupun Pesantren di Indonesia, namun tidak dapat dijumpai dalam sistem pendidikan Islam yang asli di mekah. Unsur-unsur tersebut antara lain adalah seluruh sistem pendidikannya yang bersifat keagamaan, guru yang tidak mendapatkan gaji, dan penghormatan yang besar terhadap guru.

  Pondok Pesantren berasal dari kata pondok dan pesantren, kata pondok berasal dari bahasa arab funduq yang artinya asrama atau tempat tinggal, dan pesantren berasal dari kata santri yang mendapat awalan pe dan akhiran an yang berarti tempat tinggalnya para santri yang sedang mencari ilmu agama. Pada dasarnya pendidikan pondok pesantren disebut

  9 sistem pendidikan produk Indonesia. Atau dengan istilah indigenious (pendidikan asli Indonesia). Pondok Pesantren adalah lembaga Pendidikan Islam yang tertua di Indonesia.

  Peraturan pemerintah republik Indonesia No.55 tahun 2007 tentang pendidikan agama dan keagamaan dijelaskan dalam pasal 26 ayat (1) yaitu: pesantren menyelenggarakan pendidikan dengan tujuan menanamkan keimanan dan ketakwaan kepada Allah SWT, akhlak mulia, serta tradisi pesantren untuk mengembangkan kemampuan, pengetahuan, dan keterampilan peserta didik untuk menjadi ahli ilmu Agama Islam (mutafaqqih fiddin) dan atau menjadi muslim yang memiliki keterampilan/keahlian untuk membangun kehidupan yang Islami di masyarakat.

  Steenbrink (dalam Hamid, 2015 : 7) dalam bukunya Pesantren Madrasah Sekolah menjelaskan secara detail bagaimana metamorfosis pesantren yang bermula dari pengajaran al-

  Qur’an (pendidikan Islam yang paling sederhana), kemudian pengajian kitab (pendidikan lanjutan), sampai menjadi sebuah institusi formal yang disebut “Madrasah” dan bahkan kemudian menjadi institusi modern yang bernama “Sekolah”, untuk itu sebelum membahas panjang lebar tentang pondok pesantren, maka ada baiknya saya mengulas tentang pengertian pondok pesantren.

  Istilah pondok pesantren terdiri dari dua kata yang menunjukkan pada suatu pengertian yaitu kata pondok dan kata pesantren.

  Menurut Qomar (dalam hamid, 2015 :7) dalam pemakaian sehari- hari, istilah pesantren biasa disebut dengan pondok saja atau kedua kata ini digabung menjadi pondok pesantren. Secara esensial, semua istilah ini mengandung makna yang sama. Dalam bahsa Arab

  “mahad” atau pesantren adalah bangunan tempat tinggal bagi kelompok orang untuk sementara waktu yang terdiri atas sejumlah kamar, dan dipimpin oleh seorang kepala mahad.

  Definisi lain diungkapkan oleh Dhofier (dalam hamid, 2015 :7) pesantren berasal dari k ata “santri” yang diimbuhi awalan pe- dan akhiran- an yang berarti menunjukkan tempat para santri. Dalam perkembangan selanjutnya, pesantren adalah lembaga pendidikan dan pengajaran Agama Islam, yang pada umumnya pendidikan dan pengajaran tersebut terimplementasikan dengan cara nonklasikal, dimana seorang Kiai mengajarkan santri berdasarkan kitab-kitab bahasa arab dari ulama-ulama besar sejak abad pertengahan, sedangkan para santrinya tinggal dalam asrama. Menurut para ahli, pondok pesantren baru dapat disebut pondok pesantren bila memenuhi 5 syarat, yaitu: (1) ada kiai, (2) ada pondok, (3) ada masjid, (4) ada santri, dan (5) ada pengajian kitab kuning.

  Azizi membagi pondok pesantren atas dasar kelembagaannya yang dikaitkan dengan system pengajarannya menjadi lima ketegori: (1) pondok pesantren yang menyelenggarakan pendidikan formal dengan menerapkan kurikulum nasional, baik yang hanya memiliki sekolah keagamaan maupun yang juga memiliki sekolah umum; (2) pondok pesantren yang menyelenggarakan pendidikan keagamaan dalam bentuk madrasah dan mengajarkan ilmu-ilmu umum meski tidak menerapkan kurikulum nasional; (3) pondok pesantren yang hanya mengajarkan ilmu-ilmu agama dalam bentuk madrasah diniyah; (4) pondok pesantren yang hanya sekedar menjadi tempat pengajian (majlis ta'lim); (5) pondok pesantren untuk ma’had anak-anak belajar sekolah umum dan mahasiswa.

  Di bawah ini disebutkan metode-metode pembelajaran yang bersifat tradisional menjadi trade mark pondok pesantren, yaitu: (1) metode sorogan; (2) metode bandongan/wetonan; (3) metode musyawarah atau (bahtsul masail); (4) metode pengajian pasanan; (5) metode hafalan (muhafadzah); (6) metode demonstrasi/praktek ibadah; (7) metode rihlah ilmiyah (study tour); (8) metode muhawarah/muhadatsah; (9) metode mudzarakah; (10) metode riyadhah.

2. Sejarah Pondok Pesantren Kehadiran pesantren tidak dapat dipisahkan dari tuntutan umat.

  Karena itu, pesantren sebagai lembaga pendidikan selalu menjaga hubungan yang harmonis dengan masyarakat di sekitarnya sehingga keberadaan nya di tengah-tengah masyarakat tidak menjadi terasing. Dalam waktu yang sama segala aktivitasnyapun mendapat dukungan dan apresiasi penuh dari masyarakat sekitarnya. Semuanya memberi penilaian tersendiri bahwa sistem pesantren adalah suatu yang bersifat “asli” atau “indigenos” Indonesia. Sehingga dengan sendirinya bernilai positif.

  Sejarah asal mula pendirian pesantren diuraikan oleh para peneliti dengan informasi yang beragam. Dhofier (dalam Wekke,2012: 208) menjelaskan bahwa pesantren telah hadir sejak zaman kolonial. Adapun Boland (dalam Wekke:2012 :208) menggambarkan dalam masa pemerintahan colonial, pesantren menjadi inti pasukan dengan menggabungkan pasukan Hisbullah ke dalam kesatuan tentara. Selanjutnya ini menjadi cikal bakal bagi pendirian Tentara Nasional Indonesia. Bahkan dalam abad ke-15, Islam telah menggantikan dominasi agama Hindu.

  Adapun kerajaan Demak hadir sejak abad ke-16 dengan mengislamkan pulau Jawa. Sementara Majelis Ulama Indonesia (dalam Wekke,2012: 209) menguraikan data bahwa pesantren di Jawa, Dayah di Aceh, Surau di Padang telah hadir sejak abad ke-13. Dengan demikian, dari penelusuran sejarah ini dapat kita lihat walaupun ada perbedaan pandangan kapan tepatnya pesantren mulai berada sebagai institusi pendidikan di Indonesia atau Nusantara, tetapi pergolakan pesantren tentu sudah mengalami fase yang tidak pendek. Bukan saja sorotan positif yang diterima pesantren. Bahkan kerap aksi kekerasan dihubungkan dengan pesantren.

  Adanya aksi-aksi kekerasan yang dilakukan alumni pesantren, maka pesantren kerap mendapatkan tudingan sebagai sarang teroris. Pada praktiknya, Lukens-Bull (dalam Wekke,2012: 209) justru sampai pada kesimpulan bahwa jihad yang dijalankan oleh para santri dan kiyai adalah jihad jalan damai (peace full jihad). Dimana pesantren justru menjadi tempat bersemainya anak-anak muda dengan pengetahuan keagamaan yang mumpuni. Merekalah yang kemudian pada saatnya, menjadi pemimpin bangsa sekaligus menjadi inspirator bagi perubahan dalam konteks lokal dan kemudian juga menginspirasi dalam skala nasional. Bahkan di dunia internasional mereka menjadi pendorong bagi usaha- usaha perdamaian. Jika melihat kasus kekerasan yang terjadi, maka itu bukan pola yang dikembangkan pesantren.

  Unsur utama pesantren terletak pada kiyai dan santri. Dhofier dan Mastuhu (dalam Wekke,2012: 209) menjelaskan relasi antara kiyai dan santri sebagai hubungan yang tidak berjalan searah saja. Tetapi justru dengan pola-pola pengajaran badongan dan sorogan kemudian menjadi interaksi timbal balik dalam proses pembelajaran. Selain itu melalui metode cerama pondok pesantren memberikan pembelajaran kepada santri seperti Menurut Sriyono (Harsono,2009) menjelaskan metode ceramah adalah penuturan dan penjelasan guru secara lisan. Dimana dalam pelaksanaannya guru dapat menggunakan alat bantu mengajar untuk memperjelas uraian yang disampaikan kepada murid-muridnya. Unsur- unsur pesantren seperti kiyai, santri, masjid, pondok, dan kitab Islam klasik (kitab kuning) saling bersinergi dalam proses pengajaran. Di awal pengembangan pesantren hanya ada pendidikan secara informal di masjid.

  Ketika ide kemoderenan masuk ke dalam pesantren, maka bertambah sistem pendidikan yang berbentuk klasikal.

  Basyir (dalam Wekke,2012: 209) menjelaskan bahwa pendirian Gontor pada tahun 1926 menjadi pionir bagi kelembagaan pesantren secara modern. Dimana sebelumnya tidak ada pelaksanaan pendidikan yang menekankan kepada penguasaan bahasa Arab dan Inggris. Pondok Moderen Darussalam Gontor yang kemudian populer dikenal dengan Gontor memperkenalkan prinsip-prinsip modern dalam pendidikan Islam Indonesia. Ini berkembang sampai keluar pulau Jawa, dimana alumni Gontor tidak sebatas di pulau Jawa semata-mata tetapi juga bahkan dari luar negara seperti Malaysia, Thailand, Brunei Darussalam, dan Singapura.

  Tantangan utama lembaga pendidikan dimanapun adalah bagaimana melakukan proyeksi pendidikan untuk masa depan. Dengan demikian, penetapan kurikulum sesungguhnya bagian dari perancangan masa depan tersebut. Bukan justru untuk menelisik masa lalu. Jika masa lalu digunakan untuk pembelajaran masa kini dan masa depan, maka kontekstualisasi kurikulum menemukan bentuknya yang ideal.

  Proses pengembangan kurikulum memerlukan adanya kontak sosial dalam bentuk interaksi sosial. Untuk itu, proses pembentukan kurikulum dijalani dalam bentuk proses sistematik dan terstruktur serta membentuk suatu sistem. Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan antara lain, konteks ide, pola interaksi, sikap individu, pemahaman tentang budaya dan orientasinya, nilai dan keyakinan, dan serangkaian faktor psikologis. Kurikulum harus menjadi respon atas keperluan masyarakat. Bahkan kurikulum dibentuk dengan pendekatan pembelajaran sebaya

  (Riese, Samara, dan Lillejord, dalam Wekke, 2012:2010). Termasuk dalam proses tersebut, pembentukan kurikulum dengan mengidentifikasi dinamika konflik, O’Sullivan (dalam Wekke,2012: 2010 ).

3. Pondok pesantren Miftahul Huda

  kegiatan pendidikan yang diselenggarakan oleh pondok pesantren dari tahun ke tahun mengalami perkembangan. Hal ini terbukti adanya perkembangan lembaga pendidikan yang diselenggarakan oleh pondok pesantren yang berupa pendidikan non formal dan formal.

  Pendidikan formal a. Taman pendidikan al-Quran.

  b. Madrasah Diniyah, yang meliputi Madrasah Diniyah Awaliyah, Madrasah Diniyah Wustha dan Madrasah Ulya.

  c. Tahf idzul Qur’an

  Pendidikan Formal

  Selain pendidikan non formal, pondok pesantren juga menyelenggarakan kegiatan pendidikan formal. Kurikulum yang digunakan mengacu pada Kementrian Agama dan Kementrian Pendidikan Nasional. Pendidikan formal di pondok pesantren diantaranya:

  a. Taman kanak-kanak

  b. Madrasah Ibtidaiyah

  c. Madrasah Tsanawiyah

  d. Madrasah Aliyah e. SMK Komputama Pondok pesantren tergolong tipe pondok pesantren terpadu yang melaksanakan pendidikan sistem shalaf dan khalaf. Pendidikan sistem salaf adalah sistem pendidikan yang mengajarkan ilmu agama Islam yang bersumber dari kitab kuning, meliputi bidang: tauhid, tafsir, hadis, bahasa Arab, fikih dan akhlak. Kurikulum dalam sistem pendidikan shalaf ini berdasarkan tingkat kemudahan dan kompleksitas masalah yang dibahas dalam kitab. Sistem yang digunakan adalah sistem berjenjang, yakni dari tingkat awal, tingkat menengah dan tingkat lanjut yang bersifat non formal.

  Sistem khalaf yang dipakai oleh pondok pesanten adalah sistem madrasah dari tingkat Ibtidaiyah sampai tingkat Aliyah yang bersifat formal, yang sepenuhnya menerapkan kurikulum yang diajarkan dalam pondok pesantren. Kurikulum yang digunakan pada pendidikan formal mengacu pada Kementrian Agama dan Kementrian Pendidikan Nasional.

B. Hakekat pendidikan moral 1. Pendidikan moral

  Pendidikan moral dapat diartikan sebagai suatu konsep kebaikan (konsep yang bermoral) yang diberikan atau diajarkan kepada peserta didik (generasi muda dan masyarakat) untuk membentuk budi pekerti luhur, berahlak mulia dan berperilaku terpuji seperti terdapat dalam Pancasila dan UUD 1945.

  Menurut jarolimek dalam buku (zuriah,2011: 19) pendidikan moral : berusaha untuk mengembangkan pola perilaku sesorang sesuai dengan kehendak masyarakatnya. Kehendak ini berwujud moralitas atau kesusilaan yang berisi nilai-nilai dan kehidupan yang berada dalam masyarakat. Karena menyangkut dua aspek inilah, yaitu (a) nilai-nilai, dari (b) kehidupan nyata, maka pendidikan moral lebih banyak membahas masalah dilema (seperti makan buah simalakama) yang berguna untuk mengambil keputusan moral yang terbaik bagi diri dan masyarakat.

  Menurut paham ahli pendidikan moral, jika tujuan pendidikan moral akan mengarahkan seorang menjadi bermoral, yang penting adalah bagaimana agar seseorang dapat menyesuaikan diri dengan tujuan hidup bermasyarakat. Oleh karena itu, dalam tahap awal perlu dilakukan pengondisian moral (moral conditioning) dan latihan moral (moral

  training ) untuk pembiasaan.dreeben dalam (Mirwansyah,2014 :15)

  Pengertian moral dalam pendidikan moral disini hampir sama saja dengan rasional, di mana penalaran moral dipersiapkan sebagai prinsip berfikir kritis untuk sampai pada pilihan dan penilaian moral (moral choice and moral judgmen) yang dianggap sebagai pikiran dan sikap terbaiknya Dewey (Faiz,2015 :13)

  Menurut richard eyre dan Linda (Mirwansyah,2014 :15) menyebutkan bahwa nilai yang benar dan diterima secara universal adalah nilai yang menghasilkan suatu perilaku dan perilaku itu berdampak positif, baik bagi yang menjalankan maupun bagi orang lain.

  Dengan nilai-nilai tersebut para siswa akan menjadi manusia yang cinta damai, tanggung jawab, jujur, dan serangkaian akhlak mulia lainnya.

  Ada pun nilai-nilai 9 pilar terdiri dari.

  1. Cinta Tuhan dan alam semesta beserta isinya 2. Tanggung jawab, Kedisiplinan, dan Kemandirian 3. Kejujuran 4. Hormat dan Santun

  5. Kasih Sayang, Kepedulian, dan Kerjasama 6. Percaya Diri, Kreatif, Kerja Keras, dan Pantang Menyerah 7. Keadilan dan Kepemimpinan 8.

  Baik dan Rendah Hati 9. Toleransi, Cinta Damai, dan Persatuan Metode penanaman 9 pilar tersebut dilakukan secara eksplisit dan sistematis, yaitu dengan knowing the good, reasoning the good, feeling the good, dan acting the good ternyata telah berhasil membangun karakter anak. Dengan knowing the good anak terbiasa berpikir hanya yang baik- baik saja. Reasoning the good juga perlu dilakukan supaya anak tahu mengapa dia harus berbuat baik. Misalnya kenapa anak harus jujur, apa akibatnya kalau anak jujur, dan sebagainya. Jadi anak tidak hanya menghafal kebaikan tetapi juga tahu alasannya. Dan juga dengan feeling the good, kita membangun perasaan anak akan kebaikan. Anak-anak diharapkan mencintai kebaikan. Lalu, dalam acting the good, anak mempraktekkan kebaikan. Jika anak terbiasa melakukan knowing, reasoning, feeling, dan acting the good lama kelamaan anak akan terbentuk moralnya (Megawangi,2010 : 5)

2. Tujuan pendidikan moral

  Emanuel Khant sudah lama merumuskan tujuan pendidikan moral yang disampaikan secara formal di sekolah atau secara non formal oleh orang tua, sebagai berikut. 1) Memaksimalkan rasa hormat kepada manusia sebagai individu. Oleh karena itu setiap perbuatan atau tingkah laku seseorang hendaknya diarahkan demi kebaikan orang lain sebagai tujuan akhir dan bukan sebagai alat atau demi dirinya sendiri

  2) Memaksimalkan nilai-nilai moral universal, maksudnya tujuan pendidikan moral bukan saja deni terlaksanakannya aturan-aturan yang didukung oleh otoritas masyarakat tertentu,tetapi demi terlaksanakannya prinsip-prinsip moral universal yang diterima dan diakui secara universal, seperti keadilan dan persamaan tiap individu manusia sjarkawi dalam ( Adisusilo, 2013: 127).

  Selain itu ada tujuan pendidikan moral/nilai menurut Djahiri dalam (Edu 2012 :1). Yaitu: a. Mengajak anak untuk mengklarifikasi dan menggungkapkan dirinya.

  b. Membina, menigkatkan serta mengembangkan masalah afeksi melalui cara yang wajar dan sesuai dengan potensi diri yang bersangkutan. c. Membawakan dunia emosiona/afeksi dalam pengajaran serta melatih anak untuk melakoninya sendiri.

  d. Melatih dan membina perbaikan kehidupan/sosial (social and life adjustment ).

  e. Menanamkan nilai/sistem nilai yang utama/esensial serta melestarikannya.

  f. Membina tata cara pemahaman(understanding) moral dan perilaku seseorang dengan kajian sistem nilai.

  g. Membina kesadaran akan perlunya nilai/moral, kebaikan tentang suatu nilai dan mendorong keinginan untuk menganut serta melaksanakannya.

  h. Pembinaan pengembangan kepribadian anak.

  Sasaran atau target dalam pembelajaran moral, tidak hanya sebatas kemampuan afektif anak saja, tetapi domain lainnya turut menjadi sasaran, seperti domaian kognitif dan psikomotor. Ketiganya merupakan suatu kesatuan yang utuh dan bulat. Seperti yang dijelaskan oleh djahiri dalam (Edu 2012 : 1). Bahwa sasaran atau target yang idealnya dicapai guru pada setiap domainnya sebgai berikut: Kawasan kognitif, hendaknya mengutamakan pembinaan :

  a. Kemampuan memproses informasi/konsep menjadi milik terstruktur secara baik/layak dan mantap. b. Kemampuan tadi hendaknya diproses melalui pola berfikir kritis- analisis-interaktif dan evaluatif baik secara konvergen maupun divergen. Cara ini membakukan siswa untuk menerima sesuau secara nalar/rasional.

  Kawasan afektif, seyogyanya dibina :

  a. Kepekaan dan keterlibatan seluruh potensi afeksinya untuk merasakan menghayati-menilai dan berkemauan menyerap.

  b. Sistem nilai (Belief Syestem) ybs dibina melalui pola klarifikasi, sehngga nilai/moral baru yang masuk akan diterimanya secara baik dan mampu bersatu raga (Personalized) dengan sistem nilai yang sudah ada dalam dirinya. Siswa akan mampu melakukan ini bila nilai/moral baru itu merupakan keyakinan atau belief-nya

  Kawasan psikomotor, hendaknya pembinaan :

  a. Melalui pola proses/procedural latihan atau melakoni (experiencing) baik secara langsung (secara fisik) maupun dalam bentuk mind

  purposefull movement (gerak terarah secara abstrak/nyawang).

  b. Aneka ketrampilan melalui pola tadi yang melahirkan gerak/ketrampilan yang manipulatif dalam arti gerak-ketrampilan hasil belajar (learned behavior) dan bukan lagi gerak ketrampilan yang reflektif/kodrati (Edu 2012: 1 ).

  Sasaran atau target yang dirancang dalam pendidikan moral tersebut, melahirkan materi-materi atau unsur yang akan menjadi bahan dalam kegiatan pembelajaran diantaranya:

  a. Kejujuran Giligan menghubungkan keadilan sebagai kejujuran (fairnes) dalam perangkat aspek pergaulan yang dikatakan relevan dalam pendidikan moral. Jujur adalah kualitas moral dan spiritual yang mulia. Umumnya seseorang tidak mampu menyimpang dari aturan untuk jujur. Jika tidak ada prinsip moral lain yang berlaku suatu kelompok.

  b. Kepatuhan atau ketaatan orientasi Moral menunjukan kepada aturan-aturan yang harus dilaksanakan dan kepada citra diri tentang apa yang harus dilakukan oleh orang- orang yang baik, loyal dan terpercaya terhadap sasarannya. Secara lebih jelas seseorang melihat dan mematuhi peran sosial dalam dirinya dimana banyak mempengaruhi peranan moralnya. Manusia telah dibekali kesadaran sosial sebagai fitrah yang dibawanya sejak lahir. Kesadaran moral adalah kesadaran tentang diri sendiri dalam berhadapan dengan baik dan buruk. Kecenderungan manusia itu ingin berbuat dengan hukum-hukum mora; karena manusia selalu ingin mengikuti ajaran-ajaran tuhan.

  c. Keadilan

  Prinsip yang paling inti bagi perkembangan moral adalah prinsip keadilan. Keadilan adalah penghargaan utama terhadap nilai dan persamaan semua insan manusia, merupakan tolak ukurbyang mendasar dan universal. Penggunaan keadilan sebagai prinsip itu dujamin kebebasan dalam berkeyakinan, menggunakan konsep moralitasbyanf dapat dibenarkan secara filosofis dan didasarkan pada fakta-fakta psikologis dan perkembangan manusia. Tahap keadilan itu diangkat menjadi tahap tertinggi dan merupakan titik acuan bagi seluruh proses perkembangan moral manusia. Dengan kata lain keadilan dalam prinsip moral bermakna adanya perhatian terhadap orang lain secara sama.

  d. Kesopanan Moral adalah adat istiadat, kebiasaan, peraturan atau nilai-nilai dan tata cara kehidupan. Nilai-nilai moral yang bermaksud seperti kejujuran, kesopanan dan kedisiplinan.

  e. Kedisiplinan Moral berkaitan dengan disiplin, kemajuan, kualitas perasaan, emosi, dan kecenderungan manusia.

  f. Kepedulian Perasaan simpati dan kepedulian kepada orang lain merupakan dasar motivasi yang penting bagi penataan tindakan moral. Toleran dan pengorbanan diri adalah masalah penghargaan diri dan tanda keterbukaan hati dan kebesaran jiwa sehingga menjalani kepentingannya demi kepentingan orang lain dan untuk mempertahankan tujuan yang diharapkan. Menghormati orang lain dan menhargai prestasinya, juga merupakan sifat mulia. Sifat-sifat mulia adalah bagian dari nilai moral tertinggi (edu 2012-1)

  Dalam publikasi pusat kurikulum dinyatakan bahwa pendidikan karakter berfungsi (1) mengembangkan potensi dasar agar berhati baik, berpikiran baik, dan berperilaku baik. (2) memperkuat dan membangun perilaku bangsa yang multikultur. (3) meningkatkan peradaban bangsa yang kompetitif dalam pergaulan dunia. Dalam kaitan itu telah di identifikasikan seju,lah nilai pembentuk karakter yang merupakan hasil kajian empirik pusat kurikulum. Nilai-nilai yang bersumber dari Agama, Pancasila, budaya, dan tujuan pendidikan nasional tersebut adalah : (1) Religius, (2) Jujur, (3) Toleransi, (4) Disiplin, (5) Kerja keras, (6) Kreatif, (7) Mandiri, (8) Demokratis, (9) Rasa Ingin Tahu, (10) Semangat kebangsaan, (11) Cinta Tanah Air, (12) Menghargai Prestasi, (13) Bersahabat/Komunikatif, (14) Cinta Damai, (15) Gemar Membaca, (16) Peduli Lingkungan, (17) Peduli Sosial, dan (18) Tanggung Jawab.selanjutnya dalam implementasinya di satuan pendidikan pusat kurikulum menyarankan agar dimulai dari nilai esensial, sederhana, dan mudah dilaksanakan sesuai kondisi masing-masing sekolah misalnya bersih, rapi, nyaman, disiplin, sopan, dan santun.(Samani, 2012 : 9-10).

  Sedangkan pelanggaran moral biasanya diwujudkan dalam bentuk kenakalan. Santrock (2003) menjelaskan kenakalan remaja berdasarkan tingkah laku, yaitu :

  1. Tindakan yang tidak dapat diterima oleh lingkungan sosial karena bertentangan dengan nilai-nilai norma-norma dalam masyarakat.

  Contoh : berkata kasar pada guru dan orang tua.

  2. Tindakan pelanggaran ringan seperti : membolos sekolah, kabur pada jam pelajaran tertentu, dll.

  3. Tindakan pelanggaran berat yang merujuk pada semua tindakan krimina yang dilakukan oleh remaja, seperti : mencuri, seks pranikah, menggunakan obat-obatan terlarang.

3. Metode-metode pendidikan moral

  Banyak pakar telah mengembangkan berbagai pendekatan dan metode pembelajaran nilai. Dari berbagai pendekatan dan metode pembelajaran tersebut masing-masing ada kekuatan dan kelemahannya, sangat tergantung dari tujuan pendidikan nilai dirumuskan dan kontekstual peserta didik. Oleh sebab itu, para pendidik harus dapat memilih pendekatan dan metode pembelajaran yang tepat, yang kontekstual agar pembelajaran menjadi bermakna.

  Esensi pendidikan nilai (budi pekerti ataupun moral) bertujuan untuk membentuk pribadi anak agar menjadi manusia yang cerdas secara spiritual, cerdas secara emosional dan sosial, cerdas secara intelektual, cerdas secara kinestesis, baik dan bermoral, menjadi warga negara dan warga masyarakat yang baik dan bertanggung jawab. Pendidikan nilai (moral) di Indonesia tentu saja tidak lepas dari nilai-nilai luhur yang bersumber pada budaya Indonesia sebagaimana terangkum dalam Pancasila dan UUD 1945 (Adisusilo,2014 : 132).

  Para pakar pendidikan nilai seperti superka, menunjukan lima pendekatan dan metode dalam pendidikan nilai, yaitu :

  1. Pendekatan dan metode penanaman nilai (inculcation approuch)

  2. Pendekatan dan metode perkembangan moral kognitif (cognitive moral

  development approach )

  3. Pendekatan dan metode penalaran moral (moral reasoning approch)

  4. Pendekatan dan metode pembelajaran berbuat (action learning

  approach )

  5. Pendekatan dan metod klarifikasi nilai (values clarification approch) Sementara itu, Simon,dkk,(dalam Adisusilo,2014 : 133) menggolongkan pendekatan pendidikan nilai sebagai berikut :

  1. Memoralisasi

  2. Besikap membiarkan

  3. Menjadi model 4. Teknik pendekatan klarifikasi nilai, yang dikenal dengan istilah VCT.

C. Model Pembelajaran

  Model embelajaran adalah suatu rencana atau pola yang dapat digunakan untuk membentuk kurikulum (rencana pembelajaran jangka panjang), merancang bahan-bahan pembelajaran, dan membimbing pembelajaran di kelas atau yang lain menurut joyce&weil (Rusman,2014 :133). Model pembelajaran dapat dijadikan pola pilihan, artinya para guru boleh memilih model pembelajaran yang sesuai dan efisien untuk mencapai tujuan pendidikannya.

  Adapun menurut Soekamto, dkk (Trianto,2009 :22) mengemukakakn maksud dari model pembelajaran adalah : kerangka konseptual yang melukiskan prosedur yang sistematisdalam mengorganisasikan pengalaman belajar untuk mencapai tujuan belajar tertentu, dan berfungsi sebagai pedoman bagi para perancang pembelajaran dan para pengajar dalam merencanakan aktivitas belajar mengajar. Dengan demikian aktivitas pembelajaran benar-benar merupakan kegiatan bertujuan yang tertata secara sistematis.

  Joyce dan Weil (Arista,2013 :22) berpendapat model pembelajaran adalah suatu rencana atau pola yang dapat digunakan untuk membentuk kurikulum (rencana pembelajaran jangka panjang), merancang bahan- bahan pembelajaran, dan membimbing pembelajaran di kelas atau di tempat lain. Model pembelajaran dalam pendidikan di pondok pesantren ada yang modern menyesuaikan perkembangan zaman dan masih ada yang tradisional. Model pembelajaran modern terdiri dari: a. Model Pembelajaran Kontekstual (Contextual Teaching Learning).

  Menurut Nurhadi (Arista,2013 :22) model pembelajaran kontekstual merupakan konsep belajar yang dapat membantu guru mengaitkan antara materi yang diajarkan dengan situasi nyata siswa dan mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupan mereka sebagai anggota keluarga dan masyarakat.

  b. Model Pembelajaran Kooperatif (Cooperative Learning) Menurut Rusman (Arista,2013 :23) model pembelajaran kooperatif merupakan bentuk pembelajaran dengan cara siswa belajar dan bekerja dalam kelompok kelompok kecil secara kolaboratif yang anggotanya terdiri dari empat sampai enam orang dengan struktur kelompok yang bersifat heterogen.

  Pendapat lain menurut Nurulhayati (Arista,2013 :23) model pembelajaran kooperatif adalah strategi pembelajaran yang melibatkan partisipasi siswa dalam satu kelompok kecil untuk saling berinteraksi.

  c. Model Pembelajaran Tematik Menurut Rusman (Arista,2013 :23) model pembelajaran tematik adalah pembelajaran yang dikemas dalam bentuk tema-tema tertentu.

  Tema merupakan wadah atau wahana untuk mengenalkan berbagai konsep materi kepada peserta didik secara menyeluruh. Tematik diberikan dengan maksud menyatukan konten kurikulum dalam unit-unit atau satuan-satuan yang utuh dan membuat pembelajaran lebih terpadu, bermakna, dan mudah dipahami peserta didik Menurut Mahmud (Arista,2013 :24) metode pembelajaran tradisional yang masih dipakai di pondok pesantren adalah sebagai berikut: a. Metode Sorogan

  Metode sorogan adalah kegiatan pembelajaran santri yang lebih menitikberatkan pada pengembangan kemampuan individu dalam bimbingan kyai atau ustad. Bentuknya dalam ruangan posisi tempat duduk kyai atau ustad berhadapan dengan meja pendek yang digunakan untuk meletakkan kitab bagi santri yang menghadap. Santri yang lain duduk agak jauh untuk mendengarkan materi yang disetorkan ke ustad sambil mempersiapkan diri dan menunggu gilirannya dipanggil.

  b. Metode Bandongan atau Wewaton Metode bandongan dilakukan kyai atau ustad terhadap sekelompok santri yang mendengarkan dan menyimak kitab yang dibacanya.

  Seorang kyai atau ustad membaca, menerjemahkan, menerangkan, dan mengulas teks-teks huruf arab tanpa harakat, dan masing-masing santri melengkapi teks huruf arab tersebut, mencatat kedudukan kata, dan artinya di bawah kata yang dimaksud.

  c.

  Musyawarah atau Bathsul Masa’il Musyawarah atau bathsul masa’il adalah model pembelajaran yang lebih mirip dengan diskusi atau seminar. Beberapa santri membentuk lingkaran yang dipimpin seorang kyai atau ustad untuk membahas dan mengkaji persoalan yang ditentukan sebelumnya. Para santri pun bebas mengajukan pertanyaan atau menyampaikan pendapatnya. Metode ini melatih seseorang untuk belajar menyampaikan argumentasi dan logika berfikir yang bagus untuk memecahkan pokok persoalan.

  d. Metode Pengajian Pasaran Metode pengajian pasaran adalah kegiatan belajar sekelompok santri dalam bentuk mengkaji sebuah kitab yang dipimpin seorang ustad dan dilakukan secara maraton dengan tenggang waktu tertentu. Umumnya metode ini digunakan pada bulan ramadhan atau satu bulan penuh tergantung besarnya kitab yang dibahas.

  Metode ini lebih mirip dengan metode bandongan, yang membedakan metode pengajian pasaran memiliki target waktu untuk menyelesaikan pembahasan kitab tertentu.

  e. Metode Hafalan Metode hafalan adalah kegiatan belajar santri dengan cara menghafal teks tertentu dalam bimbingan dan pengawasan kyai atau ustad. Para santri diberi tugas untuk menghafal al qur’an, hadist, atau kitab tertentu kemudian menyetorkannya ke pengajar.

  f. Metode Demonstrasi Metode demonstrasi adalah cara pembelajaran yang dilakukan dengan memperagakan suatu ketrampilan dalam hal pelaksanaan ibadah tertentu, baik dilakukan perorangan atau kelompok dalam petunjuk dan bimbingan ustad. Materi belajarnya biasanya yang didemonstrasikan seperti tata cara wudhu, tayamum, sholat dan sebagainya.

D. Penelitian yang Relevan

  1. penelitian yang relevan peneliti menggunakan pada skripsi dengan judul “kajian tentang implementasi bentuk pendidikan moral pada masyarakat desa Karangreja Kecamatan Kutasari kabupaten Banyumas”. Skripsi PPKN Universitas Muhammadyah Purwokerto, karya Muhammad Faris Muthohar. Hasil dari penelitian skripsi ini adalah dalam pendidikan moral di desa Karangreja mempunyai dua bentuk yaitu pendidikan formal dan non-formal. pendidikan moral tersebut diimplementasikan melalui ondok pesantren, Madrasah Ibtidaiyah dan Majelis- majelis ta’lim.

  2. Penelitian yang relevan peneliti menggunakan hasil skripsi dengan judul ”Peran pondok pesantren Miftahussalam Banyumas dalam pelaksa naan pendidikan moral”. Skripsi Program studi pendidikan Sejarah Universitas Muhammadyah Purwokerto, karya Catur Wulandari. Hasil dari penelitian skripsi ini adalah dalam penyampaian pendidikan moral menggunakan metode secara implisif dilaksanakan melalui berbagai aktifitas pondok dan suri tauladan para pengasuh dan pengurus pondok. Hal ini tampak pada langkah-langkah para pengasuh pondok antara lain:

  1. Dengan memberikan contoh yang baik dalam hal kehidupan bermasyarakat dan beragama.

  2. Membiasakan santri untuk berperilaku yang sesuai dengan ajaran- ajaran agama islam seperti yang dicontohkan Nabi Muhammad S.A.W.

  3. Menanamkan sikap-sikap kebersamaan, rasa setiakawan, tanggung jawab, kejujuran, rendah hati dan rasa keadilan.

Dokumen yang terkait

ANALISIS TENTANG POLA PENDIDIKAN KEWIRAUSAHAAN DI PONDOK PESANTREN HIDAYATULLAH (Studi kasus di pondok pesantren Hidayatullah – Jember)

0 6 19

Analisa strategi koperasi pondok pesantren dalam pemberdayaan ekonomi rakyat : studi pada koperasi pondok pesantren al-ikhlas subang jawa barat

0 4 74

Aplikasi sistem pendidikan dan pengajaran pondok pesantren modern dalam membentuk santri yang berkualitas di pondok pesantren Darunajah cipayung

1 4 95

Eksistensi pondok pesantren sebagai sub sistem pendidikal\i nasional ( studi kasus pada pondok pesantren darunnajah jakarta )

0 3 122

Perbandinagn Pembelajaran Fiqih di Pondok Pesantren Modern Dengan pndok Pesantren Salaf Dalam Persepsi Ssntri: studi kasus pondok pesantren daarul ahsan dan pondok pesantren Al-Musayyadah

1 14 91

Peranan pondok pesantren al-Hidayah Basmo dalam mengembangkan agama Islam : studi kasus di pondok pesantren al-Hidayath Basmol, Jakarta Barat 1983-2009

1 11 0

BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Deskripsi Teori 1. Pengertian Media Pembelajaran - BAB II KAJIAN PUSTAKA

1 28 23

BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Manajemen Risiko 1. Pengertian Manajemen Risiko - 5. BAB II KAJIAN PUSTAKA

0 0 29

BAB II SISTEM PEMBELAJARAN FIQIH DI MADRASAH PONDOK PESANTREN - Pembelajaran Fiqih di Madrasah Tsanawiay pondok pesantren Nurul Huda Sukaraja Oku Timur - Raden Intan Repository

0 0 40

BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Tinjauan tentang Perpustakaan 1. Pengertian Perpustakaan Sekolah - PENGELOLAAN PERPUSTAKAAN DALAM MENDORONG MINAT BACA SISWA DI SD N 2 KEDUNGMENJANGAN - repository perpustakaan

1 6 36