Perbandinagn Pembelajaran Fiqih di Pondok Pesantren Modern Dengan pndok Pesantren Salaf Dalam Persepsi Ssntri: studi kasus pondok pesantren daarul ahsan dan pondok pesantren Al-Musayyadah

(1)

(Studi Kasus Pondok Pesantren Daarul Ahsan dan Pondok Pesantren Al-Musayyadah)

SKRIPSI

Diajukan untuk memenuhi salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Pendidikan Islam (S.Pd.I) pada

Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan

Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta

Oleh :

LIES ZAENIA 106011000008

JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN

UIN SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA


(2)

(Studi Kasus Pondok Pesantren Daarul Ahsan dan Pondok Pesantren Al-Musayyadah)

SKRIPSI

Diajukan untuk memenuhi salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Pendidikan Islam (S.Pd.I) pada

Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan

Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta

Oleh :

LIES ZAENIA 106011000008

Mengetahui,, Dosen Pembimbing

Dr. H. Abdul Fatah Wibisono, MA NIP. 19580112 198803 1 002

JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN

UIN SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA


(3)

NIM : 106011000008

Jurusan : Pendidikan Agama Islam Fakultas : Tarbiyah dan Ilmu Keguruan

Dengan ini Saya menyatakan bahwa:

1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan untuk memperoleh gelar Strata 1 (S1) di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penelitian skripsi ini telah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

3. Jika kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan asli atau merupakan jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi berdasarkan undang-undang yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Jakarta, 13 Januari 2011 Penulis


(4)

i

Pesantren Modern Daarul Ahsan dan Pondok Pesantren Salaf al-Musayyadah)

Pendidikan pesantren merupakan pendidikan tertua di Indonesia, pendidikan ini merupakan pendidikan yang dimulai sejak munculnya masyarakat Islam di negri ini pada abad ke-13. Pondok pesantren sebagai lembaga keagamaan pendidikan Islam sejak awal berdirinya telah memberikan kontribusi nyata dalam upaya mencerdaskan bangsa dan telah memberikan andil yang besar dalam pembinaan dan pengembangan kehidupan umat Islam di Indonesia. Hal ini biasa dilihat dari tujuan pondok pesantren yakni bercita-cita mewujudkan terbinanya warga negara yang berkepribadian muslim, menciptakan kehidupan yang diridhoi Allah Swt.

Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh data dan kesimpulan tentang bagaimana perbandingan pembelajaran fiqih di pondok pesantren modern Daarul Ahsan dengan pondok pesantren salaf al-Musayyadah. Dalam penelitian ini penulis menggunakan metode deskriptif analisis dan analisis komparasional bivariat. Yaitu dengan cara mendeskripsikan data, menganalisa, dan membandingkan data dari hasil angket pembelajaran fiqih antara santri yang berasal dari pondok pesantren modern Daarul Ahsan dan pondok pesantren salaf al-Musayyadah.

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa tidak terdapat perbedaan yang signifikanpembelajaran fiqih antara santri yang berasal dari pondok pesantren modern Daarul Ahsan dengan santri pondok pesantren salaf al-Musayyadah. Karena t0 telah kita peroleh sebesar 1,632, sedangkan tt= 2,01 dan 2,68 maka t0 lebih kecil dari tt, baik pada taraf signifikansi 5 % maupun pada taraf signifikansi 1 %. Dengan demikian hipotesis nihil yang menyatakan Tidak adanya perbedaan secara signifikan perbandingan pembelajaran fiqih antara santri yang berasal dari pondok pesantren modern Daarul Ahsan dengan santri pondok pesantren salaf al-Musayyadah diterima atau disetujui dan hipotesis alternatif yang menyatakan bahwa terdapat perbedaan secara signifikan perbandingan pembelajaran fiqih antara santri yang berasal dari pondok pesantren modern Daarul Ahsan dengan santri pondok pesantren salaf al-Musayyadah ditolak. Apabila dianalisis lebih lanjut mengapa tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara pondok pesantren modern Daarul Ahsan dengan pondok pesantren salaf al-Musayyadah dalam perbandingan pembelajaran fiqih, dapat disebabkan oleh faktor yang mempengaruhi perbandingan pembelajaran fiqih cukup baik sebagaimana data dari angket yang telah disebarkan. Santri yang berasal dari pondok pesantren modern Darul Ahsan dan santri yang berasal dari pondok pesantren salaf al-Musayyah rata-rata memiliki pengalaman yang sama dalam pembelajaran fiqih.


(5)

ii

Bismillahorohmannirrohim…

Alhamdulillah penulis panjatkan puji syukur kepada Allah Swt, karena berkat rahman dan rahimnya Allah penulis dapat menyelesaikan hasil karya tulis dari pikiran ini. Sehingga terlaksana sesuai dengan harapan. Shalawat teriring salam selalu tercurahkan kepada Nabi besar Muhammad Saw, serta keluarga-Nya, sahabat-Nya, pengikut-Nya, terutama kita sebagai umat-Nya hingga akhir Zaman.

Salah satu syarat untuk menyelesaikan studi dan mencapai gelar sarjana strata satu (S1), di Universitas Islam Negri Syarif Hidayatullah Jakarta ialah membuat karya tulis ilmiah dalam bentuk sebuah skripsi. Oleh karena itu, penulis membuat skripsi dengan judul Perbandingan Pembelajaran Fiqih Di Pondok Pesantren Modern Dengan Pondok Pesantren Salaf Dalam Persepsi Santri (Studi Kasus Di Pondok Pesantren Modern Daarul Ahsan Dan Pondok Pesantren Salaf al-Musayyadah)”

Pada dasarnya dalam proses penulisan skripsi ini, penulis mengalami berbagai halangan dan rintangan, akan tetapi karena adanya bantuan dan partisipasi dari berbagai pihak akhirnya skripsi ini dapat selesai sesuai dengan waktu yang telah direncanakan. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis perlu menyampaikan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya terutama kepada:

1. Kedua orang tua ku ayahanda Subagyo dan ibunda Elah soleha yang telah memberikan kasih sayang dan doa yang tak henti-henti juga membantu penulis dalam segi moril maupun materil.

2. Prof. Dede Rosyada, MA sebagai Dekan Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, yang telah memberikan penulis studi di almamater ini.


(6)

iii

4. Drs. Sapiudin Shidiq, M.ag sebagai Sekretaris Jurusan pendidikan agama Islam yang telah memberikan pengarahan yang bermanfaat.

5. Bapak Dr. H Abdul Fatah Wibisono, MA sebagai dosen pembimbing skripsi dan sebagai penasehat akademik yang telah banyak meluangkan waktu dan memberikan bimbingan, pengarahan dan petunjuk-petunjuk kepada penulis sehingga skripsi ini dapat terselesaikan.

6. Seluruh staf dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan Universitas Islam Negri Syarif Hidayatullah Jakarta khususnya seluruh dosen jurusan Pendidikan Agama Islam, yang penuh keikhlasan dalam membimbing dan mendidik penulis dengan memberi ilmu pengetahuan yang bermanfaat bagi penulis.

7. Seluruh staf perpustakaan utama Universitas Islam Negri Syarif Hidayatullah Jakarta, yang telah memberikan kemudahan penulis dalam pinjaman buku-buku selama penulis berada di bangku kuliah.

8. Pimpinan pondok pesantren modern Daarul Ahsan Bapak Drs. Maman L Hakim, MA dan kepada pimpinan pondok pesantren salaf al-Musayyadah kiyai H. Muhaemin yang telah memberikan izin penulis untuk melakukan penelitian.

9. Untuk adikku Ahmad Rifa’I dan Muhammad Amin Syahbani yang telah

memberikan pengertian kepada penulis dan motivasi selama penulis kuliah.

10.Untuk keluarga besar H. Djohar khususnya untuk uwa ku tersayang ibu Hj. Sobriyah, Nyai Sutijah, Hj. Sa’diah, Zuhri al-Anshori, Junaedi, dan yang lainnya yang tak bisa penulis sebutkan satu persatu yang selalu memberikan penulis motivasi dan perhatian selama penulis kuliah.

11.Untuk kiyai ku Bapak Dr. H. Khudlori, MA dan guru-guru ku di pondok pesantren Daarul Falah Serang yang sudah banyak memberikan Tanpa kalian aku tidak akan sampai disini. .


(7)

iv

13.Untuk sang inspirasiku yang sudah menemani dan membantu penulis secara moril maupun materil sampai terselesaikannya skripsi ini.

14.Sahabat-sahabati Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII), yang sudah memberikan penulis keindahan dalam persahabatan.

15. Teman-teman angkatan 2006 Pendidikan Agama Islam Universitas Islam Negri Syarif Hidayatullah Jakarta khususnya kepada sohibul alif yang telah menemani penulis dari awal masuk kuliah hingga saat ini, betapa kebersamaan kita sangat berarti untuk penulis kenang.

Jakarta 08 Februari 2011 Penulis


(8)

v

LEMBARAN PENGESAHAN LEMBARAN PERNYATAAN

ABSTRAKSI ... i

KATA PENGANTAR ... ii

DAFTAR ISI ... v

DAFTARTABEL ... viii

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 5

C. Identifikasi Masalah ... 6

D. Pembatasan dan Perumusan Masalah... 6

E. Penelitian Terdahulu ... 6

BAB II KAJIAN TEORI 1. Pembelajaran Fiqih... 8

a. Pengertian Pembelajaran Fiqih ... 8

b. Tujuan Pembelajaran Fiqih ... 11

c. Fungsi dan Ruang Lingkup Pembelajaran Fiqih ... 12

d. Pondok Pesantren ... 14

1. Pengertian Pondok Pesantren ... 14

2. Kurikulum Pendidikan Di Pondok Pesantren ... 16


(9)

vi

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

A. Desain Penelitian ... 35

B. Waktu Dan Tempat Penelitian ... 35

C. Metode Penelitian... 35

D. Variabel Penelitian ... 36

E. Populasi dan Sampel Penelitian ... 36

F. Teknik Pengumpulan Data ... 37

G. Teknik Pengolahan, Analisis, Dan Interprestasi Data ... 40

BAB IV HASIL PENELITIAN A. Kondisi Riil Objek Penelitian ... 43

B. Profil Pondok Pesantren Modern Daarul Ahsan ... 43

1. Visi Dan Misi Mts Daarul Ahsan ... 44

2. Keadaan Guru Dan Karyawan ... 44

3. Unit Kegiatan Santri ... 45

4. Sarana Dan Prasarana ... 46

5. Kurikulum ... 47

C. Profil Pondok Pesantren Salaf Al-Musayyadah ... 47

1. Sejarah Singkat Pondok Pesantren Salaf Al-Musayyadah ... 47

2. Visi dan Misi ... 48

3. Keadaan Santri ... 48

4. Keadaan Guru Di Pondok Pesantren Al-Musayyadah ... 49

5. Sarana dan Prasarana... 49

D. Deskripsi Data ... 49


(10)

vii

DAFTAR PUSTAKA ... 83 LAMPIRAN


(11)

viii

Tabel 3. Keadaan Santri Salaf al-Musayyadah ... 48

Tabel 4. Sarana dan Prasarana Pondok Pesantren Salaf al-Musayyadah ... 49

Tabel 5. Data Nilai Angket Pondok Pesantren Modern Daarul Ahsan ... 50

Tabel 6. Data Nilai Angket Pondok Pesantren Salaf al-Musayyadah ... 51

Tabel 7. Deskripsi Variable X1 dan X2 ...52

Tabel 8. Kurikulum Yang Diterapkan Di Pondok Pesantren ... 53

Tabel 9. Pengacuan Kurikulum Yang Diterapkan Di Pondok Pesantren ... 54

Tabel 10. Pembelajaran Fiqih Yang Diberikan Di Pondok Pesantren ... 55

Tabel 11. Menyukai Pelajaran Fiqih ... 55

Tabel 12. Pelajaran Fiqih Membebani Aktifitas Santri ... 56

Tabel 13. Metode Dalam Penyampaian Materi Fiqih ... 57

Tabel 14. Metode Yang Paling Disukai ... 57

Tabel 15. Guru Memberikan Kesempatan Bertanya ... 58

Tabel 16. Guru Memberikan Tugas Kepada Santri ... 59

Tabel 17. Santri Memiliki Kitab Fiqih ... 59

Tabel 18. Penjelasan Guru Dalam Pelajaran Fiqih ... 60


(12)

ix

Tabel 23. Yang Dilakukan Santri Ketika Guru Tidak Hadir ... 63

Tabel 24. Sarana Dan Prasarana Pondok Pesantren ... 64

Tabel 25. Pelaksanaan Evaluasi Pendidikan Agama Islam Di Pondok Pesantren .. 65

Tabel 26. Pondok Pesantren Memenuhi Kurikulum ... 66

Tabel 27. Guru Fiqih Member Motivasi Kepada Santri ... 66

Tabel 28. Metode Yang Diberikan Oleh Guru Dapat Anda Pahami... 67

Tabel 29. Peraturan Pendidikan Agama Islam Di Pondok Pesantren ... 68


(13)

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Pesantren adalah lembaga yang diterima oleh masyarakat, sehingga mempunyai peranan penting dalam upaya mencerdaskan moral budi bangsa Indonesia. Pesantren sebagai lembaga pendidikan Islam yang mengiringi dakwah Islamiyah di Indonesia memiliki banyak persepsi. Pesantren biasa dipandang sebagai lembagai ritual, lembaga pembinaan moral, lembaga dakwah, dan yang paling popular adalah sebagai institusi pendidikan Islam yang mengalami pembaharuan dalam menghadapi berbagai tantangan internal maupun eksternal.

Pesantren sebagai lembaga pendidikan Islam yang sudah berdiri ratusan tahun, di pesantren diajarkan dan dididikkan kepada santri nilai-nilai agama. Sebab ciri yang paling menonjol pada pesantren tahap awal adalah pendidikan dan penanaman nilai-nilai agama santri lewat kitab-kitab klasik. Selanjutnya setelah adanya ide-ide pembaharuan pemikiran Islam ke Indonesia, dan turut serta terjadinya perubahan dalam bidang pendidikan pesantren yang pada mulanya hanya berorientasi kepada pendalaman ilmu agama semata-mata, maka mulai diajarkan mata pelajaran umum di pesantren, Masuknya mata pelajaran umum ini diharapkan untuk memperluas cakrawala berfikir santri, sebab pendidikan Islam pada dasarnya adalah pendidikan yang


(14)

potensi manusia baik yang berbentuk jasmani maupun rohani.

Di tengah pergulatan masyarakat, pesantren dipaksa bersaing dengan institut pendidikan lainnya, terlebih dengan sangat maraknya pendidikan berlabel luar negri yang menambah semakin ketatnya persaingan mutu out-put (keluaran) pendidikan. Kompetensi yang kian ketat itu, memposisikan institusi pesantren untuk mempertaruhkan kualitas out-put pendidikannya agar tetap unggul dan menjadi pilihan masyarakat, terutama umat Islam. Ini menandakan, bahwa pesantren perlu banyak melakukan pembenahan internal dan inovasi baru agar tetap mampu meningkatkan mutu pendidikannya.

Persoalan ini tentu saja berkolerasi positif dengan konteks pengajaran di pesantren. Di mana, secara tidak langsung mengharuskan adanya pembaharuan (modernisasi) dalam berbagai aspek pendidikan di dunia pesantren. Sebut saja misalnya mengenai kurikulum, sarana prasarana, tenaga kependidikan (pegawai administrasi), guru, manajemen (pengelolaan), sistem evaluasi dan aspek-aspek lainnya dalam penyelenggaraan pendidikan di pesantren. Jika aspek-aspek pendidikan seperti ini tidak mendapat perhatian yang proporsional untuk segera dimodernisasi, atau minimal disesuaikan dengan kebutuhan dan tuntutan masyarakat, tentu akan mengancam pertahanan pesantren di masa depan. Masyarakat akan semakin tidak tertarik dan lambat laun akan meninggalkan pendidikan „ala pesantren, kemudian lebih memilih intitusi pendidikan yang lebih menjamin kualitas out-put-nya. Pada tahap ini, pesantren berhadapan dengan dilema antara tradisi dan modernitas.

Dengan begitu, pengembangan pesantren tidak saja dilakukan dengan cara memasukan pengetahuan non-agama, melainkan agar lebih efektif dan signifikan, praktek pengajaran harus menerapkan metodologi yang lebih baru dan modern. Sebab ketika didaktik-didaktik yang diterapkan masih berkutat


(15)

pula pesantren sulit untuk berkompetisi dengan institusi pendidikan lainya.1 Pada masa sekarang telah banyak model pesantren yang berkembang di Indonesia: Pertama, pesantren yang masih terikat kuat dengan sistem pendidikan Islam sebelum zaman pembaharuan yang dicirikan dengan pengajaran kitab-kitab yang diajarkan dalam bentuk klasik serta menggunakan metode sorogan dan hafalan. Kedua, pesantren yang merupakan pengembangan dari pesantren model pertama yakni dengan pengajaran kitab-kitab klasik yang diajarkan dalam bentuk klasikal dan nonklasikal. Disamping itu telah diajarkan ekstrakurikuler. Ketiga, pesantren yang di dalamnya program keilmuan telah diupayakan menyeimbangkan antara ilmu agama dan umum. Keempat, pesantren yang mengutamakan pengajaran ilmu-ilmu keterampilan di samping ilmu-ilmu agama sebagai mata pelajaran pokok. Kelima, pesantren yang mengasuh beraneka ragam lembaga pendidikan yang tergolong formal dan nonformal.2

Dengan demikian, pesantren diidentifikasi memiliki tiga peranan penting dalam masyarakat Indonesia: 1) pesantren sebagai pusat berlansungnya transmisi ilmu-ilmu Islam tradisional, 2) sebagai penjaga dan pemelihara keberlangsungan Islam tradisional, dan 3) sebagai pusat reproduksi ulama.

Adapun pendidikan keagamaan yang dilaksanakan pada pesantren dibagi ke dalam beberapa mata pelajaran, diantaranya adalah al-Qur‟an Hadist, aqidah akhlak, fiqih, bahasa arab, dan sejarah kebudayaan Islam. pelajaran ini berisikan teori hukum Islam yang menyangkut kewajiban manusia, khususnya kewajiban individual kepada Allah Swt seperti ibadah shalat.

1

Ahmad El Chumaedy, Membongkar Tradisionalisme Pendidikan Pesantren “Sebuah

Pilihan Sejarah” Dalam Transformasi Pendidikan Pesantren, www.google .com, Tanggal 06

Oktober 2010.

2

Haidar Putra Daulay, MA, Pendidikan Islam “Dalam Sistem Pendidikan Nasional di


(16)

memiliki pengetahuan tentang hukum Islam dan mampu mengaplikasikannya dalam bentuk amal praktis. Dengan demikian siswa dapat melakukan ritual ibadah dengan benar sesuai dengan yang dipraktekan dan diajarkan Nabi Muhammad Saw.

Menurut Kurikulum Madrasah tsanawiyah, pengertian mata pelajaran fiqih adalah “ salah satu bagian mata pelajaran pendidikan agama Islam, yang kemudian menjadi dasar pandangan hidupnya (way of life) melalui kegiatan bimbingan, pengajaran, latihan, penggunaan, pengalaman dan pembiasaan”.3

Dari pengertian tersebut, terlihat bahwa sasaran yang diharapkan dari pembelajaran fiqih tidak hanya pada sisi kognitif, tetapi juga pada perkembangan ranah afektif dan psikomotorik, dimana siswa harus mampu bertanggung jawab dalam mengamalkan ajaran Islam yang diterimanya tersebut.

Dari latar belakang diatas penulis mengambil pondok pesantren sebagai objek penelitian karena pondok pesantren adalah lembaga pendidikan Islam satu dari kesekian banyak lembaga pendidikan yang ada, dan cukup jelas keberadaannya itu tergambar dari tujuannya.

Manfred Zimek menyebutkan bahwa “tujuan formal yang utama dari pendidikan di pesantren adalah menyampaikan pengetahuan dan nilai-nilai dasar maupun gambaran akhlak dan keistimewaan kultus, yang dimiliki seorang kiyai muda, ulama dan ustadz”.4

Pondok pesantren modern Daarul Ahsan dengan misi kedepan, sejak awal telah merancang sistem pendidikan yang memungkinkan tumbuhnya pribadi yang soleh dan cerdas serta membawa mereka menyongsong masa depan yang cerah dengan sentuhan kurikulum “three in one” (kurikulum pondok modern, salaf, depag). Pondok pesantren Daarul Ahsan ini bertujuan mempersiapkan kader-kader ulama dan pemimpin umat (Mudzirul Qoum)

3

Departemen Agama RI, Kurikulum 2004 Standar Kompetensi Madrasah Tsanawiyah,

(Jakarta: Direktoral Jendral Keagamaan Agama Islam 2004), hal. 46

4

Manfred Zimek, Pesantren dalam Pembaharuan Sosial, ( Jakarta, P3M, 1986) cet ke-1,


(17)

didunia Internasional (berdakwah degan metode bahasa Dunia) serta mengimplementasikan fungsi khalifah Allah Swt dimuka bumi yang tercermin dalam sikap proaktif, inovatif dan kreatif.

Adapun pondok pesantren salaf Al-Musayyadah adalah pondok pesantren salaf yang hanya mengkaji al-Qur‟an dan kitab-kitab kuning. Dan bukan suatu lembaga pendidikan yang formal. Akan tetapi tujuannya sama dengan lembaga pendidikan lainnya yaitu untuk mempersiapkan kader-kader ulama dan pemimpin umat yang mutafaqih fiddin serta berwawasan luas.

Berdasarkan uraian diatas penulis merasa tertarik untuk mengetahui dan membandingkan pembelajaran fiqih pada dua pesantren yaitu di pesantren modern Daarul Ahsan dan pondok pesantren salaf al-Musayyadah. dan dituangkan dalam sebuah karya ilmiah berupa skripsi dengan judul: “Perbandingan Pembelajaran Fiqih Di Pondok Pesantren Modern Dengan Pondok Pesantren Salaf Dalam Persepsi Santri. (Studi Kasus di Pondok Pesantren Daarul Ahsan dan Pondok Pesantren al-Musayyadah)”.

B. Tujuan dan Manfaat Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana pembelajaran fiqih di pondok pesantren modern Daarul Ahsan dan pondok pesantren salaf al-Musayyadah.

Adapun manfaat dari penulisan ini adalah:

1. Untuk memenuhi syarat dalam mencapai sarjana Strata I di Universitas Islam Negri Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Diharapkan dapat memberi informasi kepada pihak sekolah khususnya dan dapat menjadi bahan bacaan untuk kalangan umum yang menggeluti dunia pendidikan.

3. Sebagai bahan masukan dalam upaya mencerdaskan santri pondok pesantren modern Daarul Ahsan dan pondok pesantren salaf al-Musayyadah Banten.


(18)

C. Identifikasi Masalah

Dari latar belakang masalah yang telah dipaparkan diatas, maka timbullah beberapa petanyaan yang diidentifikasikan antara lain sebagai berikut:

1. Adakah perbedaan yang signifikan pembelajaran fiqih di pondok pesantren modern dengan pondok pesantren salaf?

2. Bagaimana pembelajaran fiqih di pondok pesantren modern dan pondok pesantren salaf?

3. Metode apakah yang digunakan pada pembelajaran fiqih di pondok pesantren modern dan pondok pesantren salaf?

D. Pembatasan dan Perumusan Masalah

Mengingat keterbatasan yang ada pada penulis serta untuk lebih terarahnya penelitian ini, maka masalah hanya dibatasi pada pembelajaran fiqih yang ada di pondok pesantren modern dan pondok pesantren salaf yang penelitiannya penulis tujukan kepada santri karena santri yang ada di pondok pesantren modern Daarul Ahsan dan pondok pesantren salaf al-Musayyadah sama-sama memiliki pengalaman belajar.

Berdasarkan pembatasan masalah diatas, maka rumusan masalah yang diajukan adalah: “Apakah terdapat perbedaan yang signifikan pembelajaran fiqih” di pondok pesantren modern Daarul Ahsan dengan pondok pesantren salaf al-Musayyadah.

E. Penelitian Terdahulu

Penelitian mengenai pondok pesantren memang telah sejak lama dilakukan. Hal ini menyangkut keterkaitan dengan masuknya Islam di Nusantara maupun keterkaitannya proses islamisasi yang terjadi sehingga Islam menjadi agama mayoritas. Penelitian yang terdahulu mengenai pondok pesantren misalnya.


(19)

hidup kiai. Yang di terbitkan oleh LP3ES Jakarta, merupakan karya tulis tentang pesantren yang biasa dikatakan sebagai karya klasik tentang pesantren dan cukup representative sehingga menjadi rujukan yang penting bagi penelitian tentang pondok pesantren Indonesia.

Dalam tulisannya Zamakhsyari banyak mengupas bangunan dasar pesantren yang termasuk di dalamnya kurikulum, model pendidikan, kitab-kitab yang diajarkan, jaringan yang dikembangkan pesantren serta tradisi keilmuan yang dikembangkan. Pemaparan mengenai sejarah sebuah pesantren biasanya lahir dari sebuah pengajian di musholla/ masjid yang cukup sederhana hingga tumbuh dan berkembang menjadi institusi yang maju dan bahkan menjadi modern juga menjadi perhatian dalam tulisan tersebut. 5

Menurut Sulthon Masyhud dan Moh. Khusnurdilo pendidikan pesantren ini semula merupakan pendidikan agama Islam yang dimulai sejak munculnya Masyarakat Islam di Nusantara. Beberapa abad kemudian penyelenggaraan pendidikan Islam ini semakin teratur dengan munculnya tempat-tempat pengajian (“nggon ngaji”). Bentuk ini kemudian berkembang dengan pendirian tempat-tempat menginap bagi para pelajara (Santri), yang disebut pesantren meskipun bentuknya masih sangat sederhana, pada waktu itu pendidikan pesantren merupakan satu-satunya lembaga pendidikan yang terstruktur, sehingga pendidikan ini dianggap sangat bergengsi. Di lembaga pendidikan Islam ini kaum muslimin Indonesia mendalami doktrin dasar Islam, khususnya menyangkut praktek kehidupan keagamaan.6

Tulisan lain yang juga penting disebutkan dalam kesempatan ini adalah karya Karel A Steenbrink berjudul Pesantren, madrasah, sekolah-sekolah pendidikan Islam dalam kurun modern, dalam tulisannya memaparkan bahwa kesejarahan awal sejarah pesantren khususnya di Jawa dan umumnya di wilayah Nusantara kabur, hal ini seperti yang diungkapkan Steenbrink ketika mempertanyakan tentang pesantren mana yang dianggap pertama kali ada karena dalam karya sastra jawa kuno “serat Centini” tidak pernah disinggung-singgung istilah pesantren, dan belum ditemukan sebuah literatur yang secara tegas menyebutkan kapan mulai ada istilah pesantren. Kendati

5

Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren: Study Tentang Pandangan Hidup Kiyai,

(Jakarta: LP3ES, 1982) h. 12

6

M. Sulthon Masyhud dan Moh. Khusnurdilo, Manajemen Pondok Pesantren, (Jakarta:


(20)

berakar tempat agama Islam lahir.

Dalam penelitian yang penulis lakukan ini mengenai pembelajaran fiqih yang ada di dua pesantren yaitu pondok pesantren modern Daarul Ahsan dan pondok pesantren salaf al-Musayyadah. Penulis ingin mengetahui lalu membandingkan pembelajaran fiqih di dua pesantren tersebut, penulis mengambil penelitian pada pesantren modern dan pesantren salaf. Karena pesantren modern adalah pesantren yang mengadopsi sistem pembelajaran dari pesantren salaf namun pesantren modern juga memakai kurikulum Departemen Agama. Maka dari itu penulis tertarik dan ingin mengetahui apakah ada perbedaan atau tidak pembelajarn fiqih yang ada di dua pesantren tersebut.

7

Karel A Steenbrink, Pesantren, Madrasah, Sekolah (Pendidikan Islam dalam Kurun


(21)

8

BAB II KAJIAN TEORI

1. Pembelajaran Fiqih

a. Pengertian Pembelajaran Fiqih

Untuk memahami arti dari pembelajaran fiqih, maka perlu terlebih dahulu memahami arti pembelajaran secara tersendiri dan arti dari pelajaran fiqih secara tersendiri pula. Dalam kamus besar bahasa Indonesia kata pembelajaran adalah kata benda yang diartikan sebagai proses, cara, menjadikan makhluk hidup belajar.1 Pembelajaran dapat diberi arti sebagai upaya yang sistematis dan disengaja oleh pendidik untuk menciptakan kondisi-kondisi agar peserta didik melakukan kegiatan belajar.2 Sedangkan menurut Corey “pembelajaran merupakan suatu proses belajar dimana lingkungan seseorang secara sengaja dikelola untuk memungkinkan ia turut serta dalam kondisi-kondisi khusus atau menghasilkan respon terhadap situati itu.3

Berdasarkan pengertian di atas, secara umum pembelajaran merupakan upaya untuk siswa dalam bentuk kegiatan memilih, menetapkan dan

1

Depdikbud, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1996), cet k-7,

hal.53

2

H. D. Sudjana S, Metode Dan Teknik Pembelajaran Partisipasi, (Bandung: Falah

Production, 2001), cet k-4, hal. 8

3


(22)

mengembangkan metode dan strategi yang optimal untuk mencapai hasil belajar yang diinginkan.

Sedangkan secara etimologi, fiqih berarti paham yang mendalam.4 Dengan definisi lain dalam buku Zakiah Daradjat , fiqih artinya faham atau tahu.5 Dan dalam firman Allah SWT surah At-Taubah ayat 122 dijelaskan:



















”Tidak sepatutnya bagi mukminin itu pergi semuanya (ke medan perang). Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka Telah kembali

kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya”.6

Tahu dan paham yang dimaksud di atas adalah tahu dan paham tentang masalah-masalah agama. Pengertian fiqih seperti tergambar pada ayat di atas merupakan pengertian yang sebenarnya. Pengertian tersebut pada perkembangan selanjutnya mengalami penyempitan makna. Hal ini sebagaimana dikemukakan oleh Prof. Quraisy Shihab bahwa ”fiqih yang pada mulanya dimaksudkan sebagai pengetahuan yang menyeluruh tentang agama, mencakup hukum, keimanan, akhlak, al-qur‟an, dan hadits” .7 Tetapi istilah itu kemudian dipakai khusus menyangkut pengetahuan tentang hukum agama saja.

Sedangkan menurut istilah yang digunakan para ahli fiqih (fuqaha), fiqih itu ialah ilmu yang menerangkan hukum-hukum syariat Islam yang di ambil dari dalil-dalilnya yang terperinci. Dilihat dari segi ilmu pengetahuan

4

Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh Jilid I, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997), hal. 2

5

Zakiah Daradjat, Metodik Khusus Pengajaran Agama Islam, (Jakarta: Bumi Aksara,

1996), hal. 78

6

Departemen Agama Republik Indonesia, Al-Quran Dan Terjemahan, (Semarang:CV. Adi Grafika,1994), h. 301

7


(23)

yang berkembang dalam kalangan ulama Islam, fiqih itu ialah ilmu pengetahuan yang membicarakan/membahas/memuat hukum-hukum Islam yang bersumber pada al-Qur‟an, sunah dan dalil-dalil syar‟i yang lain, setelah diformulasikan oleh para ulama dengan mempergunakan kaedah-kaedah ushul fiqih.8 Sementara itu menurut pengikut As-Syafi‟i mengatakan bahwa fiqih itu adalah:

”Ilmu yang menerangkan segala hukum agama yang berhubungan

dengan pekerjaan para mukallaf, yang dikeluarkan (istinbatkan) dari

dali-dalil yang jelas (tafshili)”.9

Senada dengan As-Syafi‟i, ulama Hanafiyah memberikan batasan bahwa fiqih adalah ilmu yang menerangkan segala hak dan kewajiban yang berhubungan dengan amalan para mukallaf. Dari definisi di atas penulis dapat menyimpulkan bahwa yang dimaksud fiqih yaitu ilmu yang menerangkan segala hukum-hukum yang berhubungan dengan perbuatan mukallaf yang diperoleh dari dalil-dalil yang rinci.

Adapun pengertian mata pelajaran fiqih dalam kurikulum Madrasah Tsanawiyah adalah: 10

a. Mata pelajaran fiqih adalah bimbingan untuk mengetahui ketentuan-ketentuan syariat Islam. Materi yang sifatnya memahami, menghayati dan mengamalkan pelaksanaan syariat tersebut yang kemudian menjadi dasar pandangan dalam kehidupannya, keluarga dan masyarakat lingkungannya.

8

Zakiah Daradjat, Metodik Khusus Pengajaran Agama Islam, (Jakarta: Bumi Aksara,

1995), h. 78

9

Hasbi Ash-Siddieqy, Pengantar Hukum Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1980), cet. VI,

h. 25-26

10

Depag RI, GBPP Mts Mata Pelajaran Fiqih, (Dirjen Pembinaan Kelembagaan Agama Islam, 1993), cet ke-1, h. 1


(24)

b. Bentuk bimbingan tersebut tidak terbatas pada pemberian pengetahuan, tetapi lebih jauh seorang guru dapat menjadi contoh dan tauladan bagi siswa dan masyarakat lingkungannya. Dengan keteladanan guru diharapkan para orang tua dan masyarakat membantu secara aktif pelaksanaan fiqh di dalam rumah tangga dan masyarakat lingkungannya.

Dari penjelasan di atas, dapat penulis pahami tentang pengertian mata pelajaran fiqh dalam kurikulum Madrasah Tsanawiyah yaitu mata pelajaran yang diarahkan untuk memberikan pengetahuan, pemahaman dan bimbingan kepada siswa mengenai ketentuan-ketentuan syariat Islam untuk diamalkan dalam kehidupan sehari-hari.

b. Tujuan Pembelajaran Fiqih

Sebagai bahan pelajaran yang diberikan pada anak didik dalam proses belajar mengajar, mata pelajaran fiqih tentu memiliki sasaran dan tujuan yang ingin dicapai. Untuk memenuhi tujuan tersebut, dalam skripsi ini diuraikan dan dikomparasikan antar tujuan fiqih dan tujuan mata pelajaran fiqih secara spesifik. Menurut Aswadi Syukur, tujuan fiqih (ilmu fiqih) adalah ”menerapkan hukum syara pada setiap perkataan dan perbuatan mukallaf.11

Sedangkan rumusan tujaun fiqih menurut Abdul Wahab Kallaf adalah ”menerapkan hukum-hukum syariat Islam bagi seluruh tindakan dan ucapan manusia.12 Kedua rumusan tujuan fiqih tersebut tidaklah berbeda, keduanya menghendaki penerapan hukum syara pada setiap tingkah laku dan ucapan mukallaf ditengah hidup dan kehidupannya.

Tujuan fiqih tersebut mengalami perincian ketika telah menjadi tujuan mata pelajaran seperti yang tertera dalam Kurikulum Madrasah Tsanawiyah yang dikeluarkan oleh Departemen Agama RI adalah membekali peserta didik agar dapat:

11

M. Aswadi Syukur, Pengantar Ilmu Fiqih dan Ushul Fiqih, (Surabaya: Bina Ilmu,

1990), cet ke-1, hal. 4

12

Abdul Wahab Kallaf, Ilmu Ushul Fiqih, (Bandung: Gema Risalah Press, 1996), cet


(25)

1.Mengetahui dan memahami pokok-pokok hukum Islam secara terperinci dan menyeluruh, baik berupa dalil naqli maupun aqli. Pengetahuan dan pemahaman tersebut diharapkan menjadi pedoman hidup dalam kehidupan pribadi dan sosial.

2.Melaksanakan dan mengalamkan ketentuan hukum Islam dengan benar. Pengalaman tersebut diharapkan dapat menumbuhkan ketaatan menjalankan hukum Islam, disiplin dan tanggung jawab sosial yang tinggi dalam kehidupan pribadi maupun sosialnya.13

c. Fungsi dan Ruang Lingkup Pembelajaran Fiqih

Mengenai fungsi fiqih, secara umum dapat disebutkan bahwa fiqih berfungsi: ”sebagai rujukan para mukallaf untuk mengetahui syariat Islam sehingga pola tingkah lakunya dapat terkendali pada landasan etikan dan moral yang religius”.14

Fungsi mata pelajaran fiqih di Madrasah Tsanawiyah seperti yang termaktub dalam Kurikulum 2004 Madrasah Tsanawiyah adalah:

1.Penanaman nilai-nilai dan kesadaran beribadah peserta didik kepada Allah Swt sebagai pedoman mencapai kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat.

2.Penanaman kebiasaan melaksanakan hukum Islam di kalangan peserta didik dengan ikhlas dan perilaku yang sesuai dengan peraturan yang berlaku di Madrasah dan masyarakat.

3.Pembentukan kedisiplinan dan rasa tanggung jawab sosial di Madrasah dan masyarakat.

4.Pengembangan keimanan dan ketaqwaan kepada Allah Swt serta akhlak muliam peserta didik seoptimal mungkin, melanjutkan yang telah ditanamkan lebih dahulu dalam lingkungan keluarga.

5.Pembangunan mental peserta didik terhadap lingkungan fisik dan sosial melalui ibadah dan muamalah.

6.Perbaikan kesalahan-kesalahan, kelemahan-kelemahan peserta didik dalam keyakinan dan pelaksanaan ibadah dalam kehidupan sehari-hari. 7.Pembekalan peserta didik untuk mendalami fiqih atau hukum Islam pada

jenjang pendidikan yang lebih tinggi.15

13

Depag RI, kurikulum 2004 Standar Kompetensi Madrasah Tsanawiyah, (Jakarta: Direktorat Jendral Kelembagaan Agama Islam, 2004), hal. 46

14

Abdul Wahab Kallaf, Ilmu Ushul Fiqih, …, hal.27

15


(26)

Fiqih berfungsi sebagai sumber hukum yang menjadi pendorong dan pembentuk tingkah laku yang sesuai dengan ketentuan-ketentuan hukum sehingga terbentuk komunitas masyarakat muslim yang memiliki kesadaran akan hak dan kewajibannya sebagai prasyarat terwujudnya kondisi hidup dan kehidupan yang harmonis dan sejahtera. Para pengajar harus memahami fungsi fiqih ini agar pendidikan dan pembinaan pribadi siswa dapat terarah sesuai dengan harapan yang ditentukan.

Sedangkan ruang limgkup pengajaran fiqih di Madrasah Tsanawiyah meliputi keserasian, keselarasan, dan keseimbangan antara:

a. Hubungan manusia dengan alam b. Hubungan manusia dengan Allah Swt

c. Hubungan manusia dengan sesama manusia, dan selain manusia dan lingkungan.

Khusus mengenai ruang lingkup hubungan manusia dengan Allah Swt yang merupakan bentuk ibadah diantaranya shalat. Shalat merupakan salah satu materi yang harus diberikan karena selain menjadi ibadah ritual juga memiliki nilai pendidikan yang berarti.

Shalat mengajarkan seseorang untuk berdisiplin dan mentaati berbagai peraturan dan etika dalam kehidupan dunia. Hal ini terlihat dari penetapan waktu shalat harus dipelihara oleh setiap muslim dan tata tertib yang terkandung di dalamnya. Dari segi sosial kemasyarakatan shalat merupakan pengukuhan aqidah setiap anggota masyarakat dan kekuatan jiwa mereka yang berimplikasi terhadap persatuan dan kesatuan umat. Persatuan dan kesatuan ini menimbulkan hubungan sosial yang harmonis dan kesamaan pemikiran dalam menghadapi segala problema kehidupan sosial kemasyarakatan.

Dari ruang lingkup maupun fungsi yang tercantum dalam Kurikulum Mts terlihat ruang lingkup materi pelajaran begitu luans menyangkut hubungan vertikal dan horizontal siswa didik. Demikian juga dengan fungsi yang terkandung dalam mata pelajaran tersebut yang sangat diharapkan sekali siswa mampu menjadi dirinya sebagai muslim yang memiliki kesadaran sebagai hamba Allah untuk beribadah secara benar dan melaksanakan syariat


(27)

dengan ikhlas. Semuanya itu tidak terlepas dari bagaimana kondisi pembelajaran fiqih tersebut dalam mencapai fungsi yang diharapkan.

Tujuan, fungsi dan ruang lingkup pembelajaran fiqih di Madrasah semuanya akan terpenuhi atau tidak jika tergantung kepada upaya yang diterapkan oleh madrasah yang bersangkutan terutama pada kegiatan pengelolaan pembelajarannya.

2. Pondok Pesantren

a. Pengertian Pondok Pesantren

Untuk mengetahui makna dan pengertian pondok pesantren, terlebih dahulu perlu dipahami maknanya, istilah pondok berasal dari Bahasa Arab Funduq yang berarti hotel, asrama, rumah, dan tempat tinggal sederhana.16 Sementara itu untuk istilah pesantren terdapat perbedaan dalam makna khususnya berkaitan dengan asal-usul katanya. Secara etimologi pesantren berasal dari kata santri yang menjadi awalan “pe” dan akhiran “an”, berarti tempat tinggal para santri. Istilah santri berasal dari bahasa Tamil yang berarti guru mengaji.17

Menurut Nurcholis Madjid ada dua pendapat yang berkaitan dengan istilah pesantren. pertama,pendapat yang mengatakan bahwa “santri” berasal dari kata sastri, sebuah kata dari bahasa sansekerta yang artinya melek huruf (mengenal huruf). Kedua, pendapat yang mengatakan bahwa perkataan santri sesungguhnya berasal dari bahasa jawa dari kata Cantrik, berarti seseorang yang selalu mengikuti kemana guru itu pergi menetap.18

Zamkaksyari Dhofier berpendapat bahwa kata santri berasal dari bahasa India yang berarti orang yang tahu buku-buku suci agama, atau secara

16

Yunus Namsa, Metodologi Pengajaran Agama Islam, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2000),

h. 33

17

Mansur dan mahfud junaedi, rekonstruksi sejarah pendidikan islam di Indonesia,

(Jakarta: departemen agama RI, 2005), cet k-1, hal. 95

18

Nurcholis Madjid, bilik-bilik pesantren : sebuah potre perjalanan, (Jakarta:


(28)

umum dapat diartikan buku-buku suci, buku-buku agama, atau buku-buku tentang ilmu pengetahuan.19

Pesantren adalah lembaga lokal yang mengajarkan praktik-praktik dan kepercayaan-kepercayaan Islam. Pesantren merupakan pengembangan sistem halaqah yang di dalamnya para murid harus mondok dan hidup dalam zawiyah (kamar penyiapan) syaiknya (guru tarekat).20 Pesantren didefinisikan sebagai suatu tempat pendidikan dan pengajaran yang menekankan pelajaran agama Islam dan didukung asrama sebagai tempat tinggal santri yang bersifat permanen. Selanjutnya, pesantren adalah sistem pendidikanyang melakukan kegiatan sepanjang hari, santri tinggal di asrama dalam satu kawasan bersama guru, kiyai dan senior mereka.21

Menurut Aminudin Rosyad dan Baihaqi AK dalam buku Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, istilah pondok pesantren merupakan dua istilah yang menunjukan kepada suatu pengertian, suku jawa menggunakan sebutan pondok atau pesantren dan sering pula menyebutnya sebagai pondok pesantren.22

Menurut Sudjako dan Prasojo dalam bukunya profil pesantren dikemukakan bahwa pengertian istilah pesantren sebagai berikut: “pesantren adalah lembaga pendidikan dan pengajaran agama Islam, umumnya dengan cara non klasikal, dimana seorang guru atau kiyai mengajarkan ilmu agama Islam kepada santri-santri berdasarkan kitab-kitab yang ditulis dalam bahasa arab oleh ulama-ulama arab abad pertengahan”. Para santri biasanya tinggal di dalam pondok (asrama) dalam pesantren tersebut.23

19

Zamakhsyari Dhofier, tradisi pesantren “studi tentang pandangan hidup kiyai”.

(Jakarta: LP3ES, 1982), cet ke-1, hal. 18

20

Hilmy Muhammadiyah dan Sulthan Fatoni, NU: Identitas Islam Indonesia, (Jakarta:

lembaga studi agama dan sosial, 2004), cet. Ke-1, hal. 109

21

Mujamil Qamar, Pesantren dari Transformasi Metodologi Menuju Demokratisasi

Intitusi, (Jakarta: PT Erlangga, 2005), hal. 2

22

Aminudin Rosyad dan Baihaqi AK, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, (Jakarta:

Departemen Agama RI, 1986), Hal. 53

23


(29)

Menurut M. Arifin pondok pesantren berarti, suatu lembaga pendidikan agama Islam yang tumbuh serta diakui masyarakat sekitar, dengan sistem asrama (komplek) dimana santri-santri menerima pendidikan agama melalui sistem pengajian atau madrasah yang sepenuhnya berada di bawah kedaulatan dan leadership seseorang atau beberapa kiyai dengan ciri-ciri khas yang bersifat karismatik serta independent dalam segala hal.24

Pendapat di atas pada dasarnya tidak menunjukan suatu kontradiksi, melainkan lebih bersifat saling melengkapi. Sehingga, meski terdapat perbedaan dalam melihat asal usul kata pondok dan kata pesantren, namun tidak terdapat perbedaan esensial. Oleh karena itu secara sederhana pondok pesantren dapat diartikan sebagai lembaga pendidikan Islam untuk mempelajari, memahami, menghayati, dan mengamalkan ajaran Islam dengan menekankan pentingnya moral keagamaan sebagai pedoman prilaku sehari-hari, serta mengajarkan kepada santri membaca kitab-kitab agama Islam, dan para santrinya tinggal bersama guru atau kiyai mereka. Adapun fungsi dan kedudukan pesantren pada masa ini belum sebesar dan sekomplek sekarang.

Pada masa awal, pesantren hanya berfungsi sebagai media islamisasi dan sekaligus memadukan tiga unsure pendidikan, yakni:25

a. Tabligh untuk menyebarkan ilmu b. Ibadah untuk menanamkan iman

c. Amal untuk mewujudkan kegiatan masyarakat dalam kehidupan sehari-hari

Pada masa sekarang ini, pesantren tidak hanya memberikan pelayanan pendidikan dan keagamaan, tetapi juga membimbing sosial, cultural dan ekonomi masyarakat lingkungannya.26

b. Kurikulum Pendidikan di Pondok Pesantren

24

Hadimulyo, Dua Pesantren Dua Wajah Budaya, (Jakarta: LP3ES, 1985), Hal. 99

25

Wahjoetomo, Perguruan Tinggi Pesantren: Pendidikan Alternatif Masa Depan,

(Jakarta: Gema Insan Press, 1997), cet ke-1, hal. 71

26


(30)

Istilah kurikulum berasal dari bahasa Perancis, yaitu “Courier” yang berarti to run, maksudnya adalah berlari. Sedangkan dalam bahasa Yunani kurikulum diartikan sebagai “jarak” yang ditempuh oleh pelari, sehingga kurikulum dalam pendidikan diartikan sebagai sejumlah pelajaran yang harus ditempuh atau dsiselesaikan oleh anak didik guna mendapat ijazah.27

Secara terminologi, kurikulum berarti suatu program pendidikan yang berisikan berbagai bahan ajar dan pengalaman belajar yang di programkan, direncanakan dan dirancang serta sistematik atas dasar norma-norma yang berlaku dan dijadikan pedoman dalam proses pembelajaran bagi tenaga kependidikan dan peserta didik untuk mencapai tujuan pendidikan.28

Perkataan kurikulum mulai dikenal sebagai istilah dalam dunia pendidikan kurang lebih sejak satu abad yang lalu. Istilah ini muncul untuk pertama kalinya dalam Kamus Webster tahun 1856. pada tahun itu kata kurikulum dipergunakan dalam bidang olahraga, yaitu suatu alat yang membawa orang dari start sampai finish. Baru kemudian pada sekitar tahun 1955 istilah kurikulum dipergunakan dalam bidang pendidikan dengan arti sejumlah mata pelajaran pada suatu lembaga pendidikan. Dalam Kamus Webster tersebut kurikulum diartikan dua macam, yaitu: 29

1. Sejumlah mata pelajaran yang harus ditempuh atau dipelajari siswa pada lembaga pendidikan sekolah atau perguruan tinggi guna memperoleh ijazah tertentu.

2. Sejumlah mata pelajaran yang ditawarkan oleh suatu lembaga pendidikan atau jurusan.

dari beberapa pengertian diatas, dapat dipahami bahwa yang dimaksud dengan kurikulum adalah sesuatu yang harus ditempuh oleh peserta didik

27

Abdullah Syukri Zarkasyi, Gontor dan Pembaharauan Pendidikan Pesantren, (Jakarta:

PT Raja Grafindo Persada, 2005), hal. 77

28

Zurinal Z dan Wahdi Sayuti, Ilmu Pendidikan Pengantar Dasar-dasar Pendidikan,

(Jakarta: UIN Jakarta Press, 2006), cet ke-1, hal. 57

29

Abdullah Syukri Zarkasyi, Gontor, dan Pembaharuan pendidikan pesantren, …, hal.


(31)

dalam menyelesaikan suatu program. Sedangkan dalam studi kependidikan Islam istilah kurikulum menggunakan “manhaj” yang berarti sebagai jalan yang terang atau jalan yang dilalui oleh manusia pada berbagai bidang kehidupannya. Jalan terang tersebut adalah jalan yang dilalui oleh pendidik dan pembimbing dengan orang yang di didik atas bimbingnya guna dapat mengembangkan pengetahuan keterampilan serta sikap mereka.

Sedangkan kurikulum pesantren sebenarnya meliputi seluruh kegiatan yang dilakukan di pesantren selama sehari semalam, pada masa sebelum kemerdekaan istilah kurikulum beluk dikenal dalam sebagaian pesantren walaupun materinya ada dalam praktek mengajar, bimbingan rohani, dan latihan kecakapan merupakan kesatuan dalam proses pendidikan di pesantren.30

Dengan demikian kurikulum di pondok pesantren adalah keseluruhan usaha lembaga pendidikan pesantren dalamn member pengalaman kepada santri secara terencana dan terorganisir untuk mempengaruhi kegiatan belajar mengajar sehingga tercapai tujuan yang telah dirumuskan.

Sedangkan materi pembelajaran yang diberikan di pondok pesantren mengacu kepada isi materi yang terdapat pada kitab kuning, sehingga pimpinan pondok hanya menentukan apa yang harus dipelajari oleh santri. Kitab yang dipelajari biasanya tidak dilengkapi dengan sandangan (syakal), oleh karena kitab kuning juga kerap disebut oleh kalangan pesantren sebagai ”kitab gundul”. Dan karena itu rentang waktu sejarah yang sangat jauh dari kemunculannya sekarang, tidak sedikit yang menjuluki kitab kuning ini dengan “kitab kuno”.

Pengajaran kitab-kitab ini meskipun berjenjang namun materi yang diajarkan kadang-kadang berulang-ulang. Hanya berupa pendalaman dan perluasan wawasan santri. Memang ini menjadi salah satu bentuk penyelenggaraan pengajaran pondok pesantren yang diselenggarakan berdasarkan sistem (kurikulum) kitabi. Berdasarkan pada jenjang ringan

30

M. Habib Chirzin, “Agama Ilmu dan Pesantren”, (Jakarta: LP3ES, 1995), cet ke-5, hal.


(32)

beratnya muatan kitab. Tidak berdasarkan tema-tema (maudhlu‟i) yang memungkinkan tidak terjadinya pergulangan namun serta komprehensif diajarkan permateri pada para santri. Meski diajarkan dengan sistem kitabi tetap terjaga sistematika kitab berdasarkan pada bidang bahasan.

perjenjangan berdasarkan kitab yang dipelajari santri, dalam pelaksanaannya di pondok pesantren tidaklah menjadi suatu kemutlakan. Bahkan dapat saja pondok pesantren memberikan tambahan atau melakukan inovasi atau pula mengajarkan kitab-kitab yang lebih popular darn efektif. Adapun alokasi waktu dan mata pelajaran atau kitab yang diajarkan sehari-hari dapat ditentukan sendiri oleh kiyai atau guru yang bertanggung jawab dalam bidang pendidikan dengan memperhatikan keadaan atau kondisi pondok pesantren dari segi penyelenggaraan dan sumber daya manusia.

Untuk mengetahui gambaran kitab yang biasa diajarkan di pondok pesantren, berikut contoh-contoh kitab beserta kategorinya:31

1. Cabang Ilmu Fiqih a.Safinat-u „I-Shalah b.Safinat-u „I-Najah c. Fath-u „I-Qarib d. Taqrib

e. Fath-u „I-Muin f. Minhaju-u „I-Qawim

g. Muthma‟innah

h. Al-Iqna‟

i. Fath-u „I-Wahhab 2. Cabang Ilmu Tauhid

a.‟Aqidat-u „I –Awamm (nazham) b. Bad‟-u „I- Amal (nazham) c.Sanusiyah

3. Cabang Ilmu Tasawuf

31


(33)

a.Al-Nasha „ih-u „I –Diniyah b. Irsyad-u „I –Ibad

c. Tanbih-u „I –Ghafilin d. Minhaj-u „I –Abidin e. Al-Da‟wat-u „I –Tammah f. Al- Hikam

g. Risalat-u „I –Mu‟awanah wa „I-Muzhaharah h. Bidayat-u „I -Hidayah

4. Cabang Ilmu Nahwu dan Sharaf a.Al-Maqsud (nazham)

b. „Awamil (nazham) c. „Imrithi (nazham)

d. Ajurumiyah e. Kaylani

f. Mirhat-u „I- I „Rab

g. Ibnu „Aqi

h. Alfiyah (nazham)

sedangkan materi pelajaran umum yang biasa diajarkan di pondok pesantren sebagai berikut:

a. Bahasa Indonesia b. Bahasa inggris c. IPS

- Sejarah - Geografi - Ekonomi d. IPA

- Fisika - Kimia - Biologi - Tata Negara


(34)

Waktu pembelajaran di pondok pesantren biasanya adalah setelah shalat subuh berjamaah di masjid, setelah shalat ashar dan seah shalat „Isya. Pengajian ini dilakukan secara berjenjang atau keseluruhan. Tergantung metode dan sistem penyelenggaraan yang dilakukan. Sedangkan waktu pagi sampai siang biasanya di isi dengan kegiatan mandiri atau keterampilan khusus yang di selenggarakan oleh pihak pondok pesantren.

c. Tujuan dan Ciri Khas Pengajaran Pesantren

Adapun tujuan didirikannya pondok pesantren pada dasarnya terbagi kepada dua hal, yaitu:

1) Tujuan Khusus

Yaitu mempersiapkan para santri untuk menjadi orang alim dalam ilmu agama yang diajarkan oleh kiyai yang bersangkutan serta mengamalkan dalam masyarakat.

2) Tujuan umum

Yakni membimbing anak didik untuk menjadi manusia yang berkepribadian Islam yang sanggup dengan ilmu agamanya menjadi muballigh Islam dalam masyarakat sekitar melalui ilmu dan amalnya. Melihat dari tujuan tersebut, jelas sekali bahwa pesantren merupakan lembaga pendidikan Islam yang diharapkan dapat meneruskan missinya dalam dakwah Islam. Adapun ciri-ciri khas pondok pesantren yang sekaligus menunjukan unsur-unsur pokoknya, serta membedakannya dengan lembaga-lembaga pendidikan lainnya adalah sebagai berikut:32

a. Pondok

Definisi singkat istilah “pondok” adalah tempat sederhana yang merupakan tempat tinggal kyai bersama para santrinya. Di Jawa besarnya pondok tergantung pada jumlah santrinya. Adanya pondok yang sangat kecil dengan jumlah santri kurang dari seratus sampai pondok yang memiliki tanah yang luas dengan jumlah santri lebih dari tiga ribu. Tanpa memperhatikan

32

Drs. Hasbullah, Kapita Selekta Pendidikan Islam, (Jakarta, PT Raja Grafindo


(35)

berapa jumlah santri, asrama santri wanita selalu dipisahkan dengan asrama santri laki-laki.

Kompleks sebuah pesantren memiliki gedung-gedung selain dari asrama santri dan rumah kyai, termasuk perumahan ustadz, gedung madrasah, lapangan olahraga, kantin, koperasi, lahan pertanian dan/atau lahan peternakan. Kadang-kadang bangunan pondok didirikan sendiri oleh kyai dan kadang-kadang oleh penduduk desa yang bekerja sama untuk mengumpulkan dana yang dibutuhkan.

Salah satu niat pondok selain dari yang dimaksudkan sebagai tempat asrama para santri adalah sebagai tempat latihan bagi santri untuk mengembangkan keterampilan mandiri dalam amsyarakat sesudah tamat dari pesantren. Santri harus bersikap mandiri, misalnya memasak sendiri, mencuci pakaian sendiri dan diberi tugas seperti memelihara lingkungan pondok. Sistem asrama ini merupakan cirri khas tradisi pesantren yang membedakan sistem pendidikan pesantren dengan sistem pendidikan Islam lain.33

b. Masjid

Secara etimologi menurut M. Quraish Shihab, masjid-masjid berasal dari bahasa Arab “sajada” yang berarti patuh, taat, serta tunduk dengan penuh hormat dan takdzim. Sedangkan secara terminologis, masjid merupakan tempat aktifitas manusia yang mencerminkan kepatuhan kepada Allah Swt.34

Upaya menjadikan masjid sebagai pusat pengkajian dan pendidikan Islam berdampak pada tiga hal. Pertama, mendidik anak agar tetap beribadah dan selalu mengingat kepada Allah. Kedua, menanamkan rasa cinta kepada ilmu pengetahuan dan menyadarkan hak-hak dan kewajiban manusia. Ketiga, memberikan ketentraman, kedamaian, kemakmuran dan potensi-potensi positif melalui pendidikan kesabaran, keberanian, dan semangat dalam hidup beragama.

33

Abdullah Syukri Zarkasyi, Gontor, dan Pembaharuan pendidikan pesantren, …,hal. 70

34

HM. Amin Haedari dan Abdullah Hanif, Masa Depan Pesantren dalam Tantangan


(36)

Kedudukan masjid sebagai pusat pendidikan dalam tradisi pesantren merupakan manifestasi universalisme dari sistem pendidikan Islam yang pernah diperaktikan oleh Nabi Muhammad Saw artinya, telah terjadi proses berkesinambungan fungsi masjid sebagai kegiatan umat. Tradisi penggunaan masjid sebagai pusat aktifitas kaum muslimin diteruskan oleh para sahabat dan khalifah berikutnya.

c. Santri

Santri adalah siswa atau murid yang belajar dipesantren. Pada umumnya santri terbagi dalam dua kategori. Pertama, santri mukim yaitu murid-murid yang berasal dari daerah yang jauh dan menetap di pesanteren santri mukim yang paling lama tinggal di persantren tersebut biasanya yang dipercaya untuk memegang tanggung jawab mengurusi kepentingan pesantren sehari-hari. Santri senior juga memikul tanggung jawab untuk mengajarkan santri-santri junior tentang kitab-kitab dasar dan menengah.

Kedua, santri kalong yaitu para santri yang berasal dari desa-desa disekitar pesantren. Mereka bolak balik dari rumahnya sendiri untuk memenuhi tugas belajar dan aktifitas pesantren lainnya. Apabila pesantren memiliki lebih banyak santri mukim dari pada santri kalong maka pesantren tersebut adalah pesantren besar.

Oleh karenanya, hanya seorang santri yang memiliki kesungguhan dan kecerdasan saja yang diberi kesempatan disebuah pesantren besar. Selain dua istilah santri diatas ada juga istilah “santri kelana” dalam dunia pesantren. Santri kelana adalah santri yang selalu berpindah-pindah dari satu pesantren ke pesantren lainnya hanya untuk memperdalam ilmu agama.

d. Kiyai

Kiyai atau pengasuh pondok pesantren merupakan elemen yang sangat esensial bagi suatu pesantren. Menurut asal muasalnya.

sebagaimana dirinci Zamakhsyari Dhofier, perkataan kiyai dalam bahasa Jawa dipakai untuk tiga jenis gelar yang saling berbeda. Pertama, sebagai gelar kehormatan bagi barang-barang yang dianggap sakti dan kramat. Kedua, sebagai gelar kehormatan bagi orang-orang tua umumnya. Ketiga,


(37)

sebagai gelar kehormatan yang diberikan oleh masyarakat kepada seseorang ahli agama Islam yang memiliki atau menjadi pimpinan pesantren. 35

Kiyai dalam bahasan buku ini, mengacu kepada pengertian ketiga yakni gelar yang diberikan kepada para pemimpin agama Islam atau pondok pesantren dalam mengajarkan berbagai jenis kitab-kitab klasik (kuning) kepada para santrinya. Peran penting kiyai terus signifikan hingga kini, kiyai dianggap memiliki pengaruh secara sosial dan politik karena memiliki ribuan santri yang taat dan patu serta mempunyai ikatan primordial (patron) dengan lingkungan masyarakat lainnya.36

e. Kitab-kitab Islam Klasik

Unsur pokok lainnya yang cukup membedakan pesantren dengan lembaga pendidikan lainnya bahwa pada pesantren diajarkan kitab-kitab Islam klasik atau yang sangat terkenal dengan sebutan kitab kuning. Yang dikarang oleh para ulama terdahulu, mengenai berbagai berbagai macam ilmu pengetahuan agama Islam dan bahasa Arab, pelajaran dimulain dengan kitab-kitab yang sederhana, kemudian dilanjutkan dengan kitab-kitab-kitab-kitab tentang berbagai ilmu yang mendalam. Tingkatan suatu pesantren dan pengajarannya, biasnya diketahui dari jenis kitab-kitab yang diajarkan. Secara garis besar sistem pengajaran yang dilaksanakan di pesantren, dapat dikelompokan menjadi tiga macam yaitu: Sorogan, Bandungan, Weton.37

d. Metode pembelajaran di Pondok Pesantren

Secara etimologis, metode berasal dari kata “met” dan “hodes” yang berarti melalui. Sedang secara istilah, metode adalah jalan atau cara yang harus ditempuh untuk mencapai suatu tujuan. Sementara itu, pembelajaran adalah kegiatan belajar mengajar yang berlangsung secara interaktif antara santri dan kyai atau ustadz sebagai pendidik yang diatur berdasarkan

35

HM. Amin Haedari dan Abdullah Hanif, Masa Depan Pesantren dalam Tantangan

Modernitas dan Tantangan Komplesitas Global…hal.45

36

HM. Amin Haedari dan Abdullah Hanif, Masa Depan Pesantren dalam Tantangan

Modernitas dan Tantangan Komplesitas Global…hal. 28-35

37


(38)

kurikulum yang telah disusun dalam rangka mencapai tujuan tertentu. Jadi, yang dimaksud dengan metode pembelajaran adalah cara-cara yang mesti ditempuh dalam kegiatan belajar mengajar antara santri dan kyai atau ustadz untuk mencapai suatu tujuan tertentu.

Metode pembelajaran di pesantren ada yang bersifat tradisional dan modern (baru). Tradisional adalah metode pembelajaran yang diselenggarakan untuk kebiasaan-kebiasaan yang telah lama di pergunakan pada institusi pesantren atau metode pembelajaran asli (original) pesantren. Sedangkan pembelajaran baru (modern) merupakan metode pembelajaran hasil pembaharuan kalangan pesantren dengan mengadopsi metode-metode yang berkembang di masyarakat modern. Walaupun tidak mesti, penerapan metode baru juga diikuti dengan pengambilan sistem baru baru, yaitu sistem sekolah klasikal. Meski pada mulanya pesantren sudah mengenal sistem klasikal, namun tidak dengan batas-batas fisik yang lebih tegas seperti pada sisitem klasikal yang diterapkan di sekolah atau madrasah modern.38

Pesantren sebagai lembaga pendidikan Islam secara selektif bertujuan menjadikan para santri sebagai manusia yang mandiri yang diharapkan dapat menjadi pemimpin umat dalam menuju keridlaan Tuhan. Ada beberapa metode pengajaran yang dipergunakan untuk mendalami kitab-kitab standar (Muqarrah) di pesantren., yaitu metode Wetonan, metode sorogan/ bandongan, metode muhawarah, metode mudzakarah dan metode majlis ta‟lim.

Metode ini sudah diterapkan sejak berdirinya pesantren dan semakin terjadi perbaikan sejak pesantren mengalami masa perubahan dan kebangkitan di tahun 1900-an. Sampai sekarang dimana metode itu masih menunjukan efektivitasnya. Uraian metode-metode tersebut adalah sebagai berikut:

1. Metode Wetonan

Pelaksanaan metode wetonan ini adalah sebagai berikut: kyai membaca sesuatu kitab dalam waktu tertentu dan santri membawa kitab yang sama, kemudian santri mendengarkan dan menyimak tentang bacaan kyai

38

Mahmud, MM, Model-model Pembelajaran di Pesantren, (Tangerang, Media


(39)

tersebut. Metode pengajaran yang demikian adalam metode bebas, sebab absensi santri tidak ada. Santi boleh datang boleh juga tidak, dan tidak ada juga sistem kenaikan kelas. Santri yang cepat dalam menamatkan kitab boleh menyambung ke kitab yang lebih tinggi atau mempelajari kitab lainnya. Metode ini seolah-olah mendidik anak supaya kreatif dan dinamis.

Dengan metode pengajaran wetonan ini lama belajar santri tidak tergantung kepada lamanya tahun belajar, tetapi berpatokan pada waktu kapan murid tersebut menamatkan kitab-kitab pelajaran yang ditetapakan. Apabila beberapa santri bersama-sama menamatkan satu kitab, maka suatu upacara yang disebut khataman diselenggarakan, dimana dipertunjukan pencak, gambus, dan terbang (rebana) sebagai hiburan dan sebagai adu kekuatan dijadikan sebagai hiburan.

Dalam metode wetonan ini dilakukan dengan cara seorang kyai duduk dilingkari santri-santri. Kelompok santri itu kemudian mengikuti kyai yang membaca, menerjemahkan, menjelaskan, mengulas kitab-kitab dalam bahasa arab itu.

2. Metode Sorogan

Metode sorogan dalam pengajian merupakan bagian yang paling sulit dari keseluruhan metode pendidikan islam tradisional, sebab metode tersebut menuntut kesabaran, kerajianan, ketaatan, dan disiplin pribadi dari murid. Dalam metode ini santri yang pandai mengajukan sebuah kitab kepada kyai untuk dibaca dihadapan kyai tersebut. Kalau dalam membaca dan memahami kitab tersebut terdapat kesalahan, maka kesalahan itu langsung akan dibenarkan oleh kyai. Metode sorogan ini terutama dilakukan untuk santri yang permulaan belajar atau sebaliknya dilakukan oleh santri-santri khusus yang dianggap pandai dan diharapkan dikemudian hari menjadi seorang alim.

Kitab-kitab yang dipakai dalam metode sorogan itu adalah kitab yang ditulis dalam huruf gundul tanpa huruf hidup. Untuk itu seorang murid dalam membacanya memerlukan bimbingan guru yang dapat mengawasi, menilai dan membimbing secara maksimal kemampuan murid tersebut dalam bahasa arab.


(40)

3. Metode Muhawarah

Muhawarah adalah suatu kegiatan berlatih bercakap-cakap dengan bahasa arab yang diwajibkan oleh pesantren kepada para santri selama mereka tinggal di pondok. Di beberapa pesantren, latihan muhawarah atau muhadasah tidak diwajibkan setiap hari, akan tetapi hanya satu kali atau dua kali dalam seminggu yang digabungkan dengan latihan muhadlarah atau khitabah yang tujuannya melatih anak didik berpidato.39

Khusus untuk santri pemula, kegiatan ini dilakukan pada waktu-waktu tertentu. Sebelumnya, mereka diberi pembendaharaan kata-kata bahasa ara yang sering dipergunakan untuk dipergunakan untuk dihafalkan sedikit demi sedikit sehingga mencapai target sesuai jangka waktu yang ditentukan. Setelah menguasai kosa kata bahasa arab yang cukup, mereka diwajibkan untuk menggunakannya dalam percakapan sehari-hari.

Pada beberapa pesantren, bahasa asing yang dipergunakan sebagai alat komunikasi untuk para santri, tidak hanya bahsa Arab, tetapi juga bahasa Inggris. Sehingga percakapan sehari-hari yang dipergunakan santri adalah bahasa Arab dan Inggris.40

4. Metode Mudzakarah

Mudzakarah merupakan suatu pertemuan ilmiah yang secara spesifik membahas masalah diniyah seperti ibadah dan akidah serta masalah agama pada umumnya. Dalam mudzakarah tersebut dapat dibedakan atas dua tingkat kegiatan: pertama, mudzakarah diselenggarakan oleh sesama santri untuk membahas suatu masalah dengan tujuan melatih para santri agar terlatih dalam memecahkan persoalan dengan mempergunakan kitab-kitab yang tersedia, salah seorang santri mesti ditunjuk sebagai juru bicara untuk menyampaikan kesimpulan dari masalah yang didiskusikan. Kedua, mudzakarah yang di pimpin oleh kyai, dimana hasil dari mudzakarah para santri diajukan untuk dibahas dan nilai seperti dalam suatu seminar. Biasanya lebih banyak berisi suatu tanya jawab dan hampir seluruhnya diselenggarakan dalam bahasa arab.

39

Hasbullah, Kapita Selekta Pendidikan Islam,…,hal. 15

40


(41)

5. Metode Majlis ta‟lim

Majlis ta‟lim adalah suatu media penyampaian ajaran agama islam yang bersifat umum dan terbuka. Para jamaah terdiri dari berbagai lapisan yang memiliki latar belakang pengetahuan bermacam-macam dan tidak dibatasi oleh tingkatan usia maupun perbedaan kelamin. Pengajian semacam ini hanya diadakan pada waktu-waktu tertentu saja.

Ada yang seminggu sekali dan ada yang dua minggu sekali atau sebulan sekali. Kadang juga kyai mengadakan pengajian khusus untuk wanita. Materi yang diberikan bersifat umum berisi nasehat-nasehat keagamaan yang bersifat amar ma‟ruf nahi munkar. Adakalanya materi diambil dari kitab-kitab tertentu seperti tafsir Qur‟an dan Hadist.41

Dalam metode ini pesantren salaf dan pesantren modern sama saja hanya disini pesantren modern mengajarkan pendidikan umum 70 persen dan 30 persen pendidikan agama Islam.

3. Pesantren Khalafi (Modern)

Pembaruan pesantren pada masa kini mengarah kepada pengembangan pandangan dunia. Dan substansi pendidikan pesantren agar lebih responsif terhadap kebutuhan tantangan zaman. Selain itu pembaruan pesantren juga diarahkan untuk fungsionalisasi pesantren sebagai salah satu pusat penting bagi pembangunan masyarakat secara keseluruhan.

Dalam kamus bahasa Inggris kata “modern” memiliki makna pembaharuan, yang terbaru atau tradisinal.42 Pondok pesantren modern adalah pesntren yang menggunakan sistem modern (baru) dari segi penyampaian dan pengajaran materinya.43

Pesantren khalaf atau modern adalah: “Pesantren yang telah memasukan pelajaran-pelajaran umum dalam madrasah-madrasah yang

41

Imran Arifin, Kepemimpinan Kyai, (Malang Kalimasahada Press 1993), cet ke-1 hal.

37-40

42

Jhon M. Echols dan Hassan Shadly, Kamus Inggris Indonesia, (Jakarta: PT. Gramedia,

2008), cet ke-4, hal. 384

43


(42)

dikembangkannya, atau membuka tipe sekolah-sekolah umum dalam lingkungan pesantren.44

Hal ini senada dengan Wahjoetomo mengatakan bahwa pesantren Modern adalah lembaga pesanten yang memasukan pelajaran umum kedalam pelajaran madrasah yang dikembangkan atau pesantren menyelenggarakan tipe sekolah umum bahkan perguruan tinggi dalam lingkungannya.45

Sedangkan Suwendi mengatakan bahwa “Pesantren modern berarti pesantren yang selalu tanggap terhadap tuntutan dan perubahan Zaman, berwawasan pada masa depan, selalu mengutamakan prinsip efektifitas dan efisien dan sejenisnya.” 46

Pondok pesantren modern dapat dikatakan sebagai pondok pesantren yang mengadopsi sistem madrasah atau sekolah, dengan kurikulum Departemen Agama, maupun Departemen Pendidikan Nasional. Selain itu pesantrn modern biasanya memiliki jumlah santri yang banyak, dan tampak adanya administrasi, manajemen yang baik. Pesantren modern adalah pesantren yang memberi respon terhadap ekspansi sisitem pendidikan umum dengan cara merevisi kurikulumnya dengan memasukan semakin banyak mata pelajaran umum membuka kelembagaan dan fasilitas-fasilitas pendidikannya bagi kepentingan pendidikan umum.

Selain dengan cara diatas menurut Azumardi Azra pesantren modern dapat merespon perubahan-perubahan sosial yang berlangsung dengan cara:

1. Pembaruan substansi/ isi pendidikan pesantren dengan memasukan subyek-subyek umum dan victorial.

2. Pembaruan metodologi, seperti sistem klasik, penjenjangan, dan kurikulum yang lebih luas.

3. Pembarauan kelembagaan, seperti kepemimpinan pesantren diversivikasi lembaga pendidikan.

4. Pembaruan fungsi dari fungis kependidikan juga mencakup fungsi sosial ekonomi.47

44

Zamkarsary Daofier, Tradisi Pesantren, ... hal. 41

45

Wahjoetomo¸ Perguruan Tinggi Pesanten, (Jakarta Gama Insani Press 1997), hal. 41

46

Wahjoetomo¸ Perguruan Tinggi Pesanten…hal. 217

47

Azumardi Azra, Ilmu Pendidikan dalam Persepektif Islam, (Jakarta Rosdakarya 2000),


(43)

Dengan demikian semakin jelaslah bahwa pesantren bukan hanya mampu mengembangkan dirinya. Pesantren tidak hanya mengajarkan ilmu-ilmu agama Islam tetapi juga mengadopsi sistem pendidikan nasional. Perkembangan dunia telah melahirkan suatu kemajuan zaman yang modern begitu pula dengan sistem pesantren. Karena itu, sistem pendidikan harus selalu melakukan upaya rekonstruksi pemahaman tentang ajaran-ajarannya agar tetap relevan dan survive. Adapun ciri-ciri pondok pesantren modern diantaranya:

1. Sekolah Formal

Sekolah formal yang dilaksanakan di pondok pesantren modern berjalan sebagaimana sekolah-sekolah umum pada umumnya. Pembelajaran dilakukan di dalam kelas secara klasikal, memakai seragam, menggunakan kurikulum Depag, Diknas dan juga kurikulum pondok itu sendiri.

Sekolah formal di pondok pesantren modern dilaksanakan secara berjenjang, mulai dari SD atau MI sampai dengan tingkat MA atau SMA bahkan ada beberapa pondok pesantren mengadakan perguruan tinggi untuk melanjutkan pendidikan para santrinya berbeda dengan pesantren tradisional yang melaksanakan perjenjangan pendidikan berdasarkan pengajian kitab yang dipelajari.

2. Lembaga Ekonomi Produktif

Lembaga ekonomi prokuktif yang ada di pondok pesantren modern biasa juga disebut dengan koperasi pelajar. Koperasi pelajar menyediakan segala kebutuhan santri, mulai dari buku hingga pakaian. Koperasi dikelola oleh pesantren, santri diajarkan dan dibimbing untuk bermuamalah menurut ajaran agama Islam.

3. lembaga Pengembangan Masyarakat

lembaga pengembangan masyarakat atau organisasi, pada pesantren modern organisasi dijalankan oleh santri, organisasi yang mengatur kehidupan sehari-hari santri. Pengurus organisasi biasanya diambil dari santri yang kelasnya tertinggi dan berlaku pada satu periode setelah itu diadakan


(44)

pergantian pengurus baru, ketua organisasi dipilih oleh seluruh santri secara demokrasi. Ustadz atau guru biasanya hanya bertindak selaku pembimbing atau pengasuh. Dalam organisasi terdapat berbagai kegiatan yang diajarkan kepada santri, hal tersebut guna menyiapkan santri agar dapat terjun kemasyarakat.

4. Klinik Kesehatan

Di pondok pesantren modern biasanya sudah terdapat klinik kesehatan atau puskesmas, klinik kesehatan ini melayani guru, karyawan dan santri yang memerlukan perawatan dan pengobatan. Biaya yang dikeluarkan untuk pengobatan biasanya relatif murah dibandingkan dengan berobat di luar pesantren. Klinik kesehatan bisa jadi milik pesantren, atau hasil kerjasama dengan pihak kesehatan pada umumnya.

5. Manajemen

Segala urusan di pondok pesantren modern sudah terorganisir dengan baik. Mulai dari urusan bayaran santri atau keuangan sampai hubungan masyarakat guna mengembangkan pondok pesantren. Kepemimpinan tidak lagi bersifat absolut pada satu orang kyai sebagai pemimpin dan pengasuh serta ustadz atau dewan guru juga memilki wewenang masing-masing pada organisasi pesantren. Semua itu atas kebijakan hasil musyawarah dewan guru dan pimpinan pondok pesantren.48

Selain ciri-ciri diatas menurut Wahjeotomo bahwa salah satu ciri yang lain dari pondok modern adalah: “ biaya pembangunan pondok tersebut tidak hanya didanai oleh kiyai, tetapi juga dari masyarakat”.49

Di pondok pesntren modern kiyai tidak memegang keuangan pondok justru yang memegang keuangan adalah bendahara, ia mencari rejeki yang lain yang bukan berasal dari pondok. Selain itu juga kebiasaan pada pondok pesantren modern umumnya para santri sudah tidak memasak lagi tetapi diberi langsung secara instant kepada santri-santri.

48

Abdullah Syukri Zarkasyi, Gontor, dan Pembaharuan pendidikan pesantren, …,hal.

172

49


(45)

4. Pesantren Salaf (Tradisional)

Berbicara tentang subyek ini, sejatinya lebih bernuansa teologis ketimbang pendidikan. Namun, untuk melengkapi pemahaman mengenai pembahasan yang dibicarakan dalam skripsi ini, term salafi atau salafiyyah menjadi penting di ungkapkan. Secara etimologis, kata salaf atau salafiyyah berakar dari kata “salaf” (فلس), yang berarti “orang yang lebih dulu, orang yang mendahului atau hidup sebelum zaman kita”, antonim dari kata “khalaf” (فلخ) yang berarti kemudian atau datang belakangan.50oleh Karena itu, secara terminologis, perkataan “salaf” mengandung pengertian kronologis yang berarti orang yang hidup pada zaman yang lebih awal.51

Namun Istilah salafi bagi kalangan pesantren mengacu kepada pengertian “pesantren tradisional”. Pesantren salafi merupakan pesantren yang mempertahankan pengajaran kitab-kitab Islam klasik sebagai inti pendidikan. Sistem madrasah diterapkan untuk memudahkan sistem sorogan yang dipakai dalam lembaga-lembaga bentuk lama. Tanpa mengenalkan pelajaran umum. Pada umumnya pesantren salafi masih mempertahankan identitas pesantren sebagai lembaga pendidikan adalah tafaqquh fi al-Din, atau mempersiapkan calon-calon ulama bukan untuk kepentingan lain Khususnya pengisian lapangan kerja.52

sehingga pesantren salafi kurang memiliki kemampuan dalam mengimbangi dan dan menguasai kehidupan global yang menyebabkan lembaga pesantren “lagging bahind the time” atau tidak mampu menjawab tantangan.53

Menurut Nasihin Hasan pesantren salafi adalah: “pesantren yang biasanya belum mampu menyempurnakan kelemahan yang dirasakan ada dilingkungannya dan biasanya melekat dari semua sektor dan perangkat kehidupan pondok pesntren”.54

50

Ibnu Manzhur, Lisan al-„arabi, (Mesir: Dar-al-Maa‟arif, tt) hal. 2068-2069

51

Ensiklopedia Mini Sejarah dan Kebudayaan Islam, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1996), cet ke-1 h. 119-120

52

Azumardi Azra, Ilmu Pendidikan dalam Persepektif Islam…hal. 104

53

Nurcholis Majid, Bilik-bilik Pesantren, ... hal. 90

54


(46)

Diantara kelemahan-kelemahan tersebut yaitu: kelemahan administratif, organisatoris, dan manajemen, langkah pemimpin dan dan tenaga bantu yang memiliki kecakapan menyeluruh, pengajaran berkualitas tinggi, terbatasnya sumber keuangan, tidak menentukan pola hubungan keluarga dengan lembaga-lembaga kemasyarakatan.

Sedangkan menurut Yusuf Hasyim, bahwa pesantren salafi adalah: “pesantren yang acuan kurikulumnya secara referensial bertumpu pada kitab -kitab karangan ulama-ulama salafi dan lebih mengutamakan pada aspek keagamaan dengan metode klasiknya (sorogan dan bandongan)”.55

Pesantren tradisional selain mengacu pada kitab kepada kitab-kitab klasik juga berfungsi sebagai transmisi dan transfer ilmu, pemeliharan tradisional Islam dan memproduksi ulama. Ada beberapa alasan menurut Nurcholis Majid mengapa banyak pesantren yang mempertahankan pola salafiyah yang dianggap masih Sophisciated dalam menghadapi persoalan eksternal diantaranya:

1) Dari segi kepemimpinan pesantren secara kukuh masih terpola dengan kepemimpinan yang sentralistik dengan hirarkis yang berpusat kepada satu orang kiyai.

2) Kelemahan dalam bidang metodologi yang akan memberikan dampak lemahnya kreativitas.

3) Terjadinya disorientasi, yakni pesantren kehilangan kemampuan mendefinisikan dan memposisikan dirinya ditengah realitas sosial yang sekarang ini terjadi perubahan yang demikian cepat.56

Adapun ciri-ciri pondok pesantren salaf dari uraian diatas maka dapat diturunkan bahwa pesantren salafi mempunyai ciri-ciri sebagai berikut:

a. Pesantren salafi adalah pesantren yang mempertahankan pengajaran kitab-kitab Islam klasik dengan menggunakan metode non klasik (bandongan dan sorogan).

b. Masih banyaknya kelemahan baik dalam bidang administratif, organisatoris, kurangnya tenaga yang profesional dan berkualitas tinggi, serta masih terbatasnya sumber keuangan.

55

H. M. Yusuf Hasyim, Dinamika Pesantren, (Jakarta P3M 1988) hal.90

56


(47)

c. Kurikulumnya bertumpu pada ulama-ulama salaf.

d. Lebih mengutamakan aspek keagamaan tanpa mengenalkan pengetahuan umum.


(48)

40

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

A. Desain Penelitian

Dalam penulisan skripsi ini, desain yang digunakan adalah desain penelitian deskriptif analisis dan analisis komparasional bivariat, yaitu dengan cara mendeskripsikan data, menganalisa, dan membandingkan data dari hasil angket pembelajaran fiqih antara santri yang berasal dari pondok pesantren modern Daarul Ahsan dan santri yang berasal dari pondok pesantren salaf al-Musayyadah.

B. Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini dilakukan di podok pesantren Modern Daarul Ahsan dan pondok pesantren Salaf al-Musayyadah Desa Dangdeur kec.Jayanti kab. Tangerang Banten.

Adapun waktu penelitian yang penulis susun dari hasil konfirmasi kepada pihak pesantren tersebut yaitu mulai tanggal 1 November s/d 30 November 2010 penelitian ini dilakukan di pondok pesantren Modern Daarul Ahsan dan pondok pesantren salaf al-Musayyadah.

C. Metode Penelitian

Adapun metode penelitian yang digunakan oleh penulis dalam penelitian ini adalah:


(1)

73

73

BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Dari penelitian yang telah penulis lakukan, maka sampailah kepada penarikan kesimpulan. Bahwa:

1. pembelajaran fiqih santri pondok pesantren modern Daarul Ahsan dan pondok pesantren salaf al-Musayyadah cukup bagus.

2. Tidak terdapat perbedaan yang signifikan pembelajaran fiqih antara santri yang berasal dari pondok pesantren modern Daarul Ahsan dengan santri pondok pesantren salaf al-Musayyadah. Karena t0 telah kita peroleh sebesar 1,632, sedangkan tt= 2,01 dan 2,68 maka t0 lebih kecil dari tt, baik pada taraf signifikansi 5 % maupun pada taraf signifikansi 1 %. Dengan demikian hipotesis nihil yang menyatakan Tidak adanya perbedaan secara signifikan pembelajaran fiqih antara santri yang berasal dari pondok pesantren modern Daarul Ahsan dengan santri pondok pesantren salaf al-Musayyadah diterima atau disetujui dan hipotesis alternatif yang menyatakan bahwa terdapat perbedaan secara signifikan pembelajaran fiqih antara santri yang berasal dari pondok pesantren modern Daarul Ahsan dengan santri pondok pesantren salaf al-Musayyadah ditolak. Apabila dianalisis lebih lanjut mengapa tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara pondok pesantren modern


(2)

74

Daarul Ahsan dengan pondok pesantren salaf al-Musayyadah dalam pembelajaran fiqih, dapat disebabkan oleh faktor yang mempengaruhi pembelajaran fiqih cukup baik sebagaimana data dari angket yang telah disebarkan. Santri yang berasal dari pondok pesantren modern Darul Ahsan dan santri yang berasal dari pondok pesantren salaf al-Musayyah rata-rata memiliki pengalaman yang sama dalam pembelajaran fiqih.

B. Saran

Sebagaimana telah penulis sebutkan pada bagian awal penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pembelajaran fiqih di pondok pesantren moden Daarul Ahsan dengan pondok pesantren salaf al-Musayyadah dan juga untuk mengetahui apakah terdapat perbedaan antara pembelajaran fiqih di pondok pesantren modern Daarul Ahsan dengan pondok pesantren salaf al-Musayyadah. Selain itu juga dalam rangka mematangkan pengetahuan penulis serta mempertajam daya analisis terhadap permasalahan yang penulis ajukan.

Selanjutnya penulis hendak memberikan saran atau hasil dari penelitian yang telah dilakukan kepada beberapa pihak terkait dengan penelitian ini, antara lain:

1. Pimpinan pondok pesantren atau Kepala Madrasah Daarul Ahsan, Bapak Drs. Maman L Hakim MA dan pimpinan pondok pesntren salaf al-Musayyadah Kiyai H. Muhaemin agar lebih meningkatkan supervisi terhadap proses kegiatan belajar mengajar di pondok pesantren.

2. Kepada guru Fiqih untuk lebih meningkatkan kualitas pengajarannya baik dari segi metode, media, pendekatan, serta model pembelajaran agar peserta didik dapat memperoleh prestasi belajar yang lebih bagus dari sebelumnya.

3. Kepada pihak pengelola pesantren agar mempertahankan pembelajaran-pembelajaran agama yang dapat mendukung pembelajaran-pembelajaran fiqih di sekolah.


(3)

75

5. Kepada pihak yang ingin melakukan penelitian pendidikan, penulis menyarankan agar mengadakan penelitian yang sejenis dengan permasalahan yang penulis bahas akan tetapi mencari lokus penelitian yang bukan lingkungan pesantren.


(4)

76

DAFTAR PUSTAKA

A Steenbrink Karel, Pesantren, Madrasah, Sekolah (Pendidikan Islam dalam Kurun Modern), Jakarta: LP3ES, 1986.

Arifin Imran, Kepemimpinan Kyai, Malang Kalimasahada Press 1993.

Arkunto Suharsimi, Prosedur Penelitian Suatu Praktek, Jakarta: PT Rieneka Cipta, 1998.

Ash-Siddieqy Hasbi, Pengantar Hukum Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1980. Azra Azumardi, Ilmu Pendidikan dalam Persepektif Islam, Jakarta Rosdakarya

2000.

Chirzin M. Habib, “Agama Ilmu dan Pesantren”, Jakarta: LP3ES, 1995.

Chumaedy Ahmad, Membongkar Tradisionalisme Pendidikan Pesantren “Sebuah

Pilihan Sejarah” Dalam Transformasi Pendidikan Pesantren, www.google

.com, Tanggal 06 Oktober 2010.

Daradjat Zakiah, Metodik Khusus Pengajaran Agama Islam, Jakarta: Bumi Aksara, 1996.

Depag RI, GBPP Mts Mata Pelajaran Fiqih, Dirjen Pembinaan Kelembagaan Agama Islam, 1993.

Depag RI, kurikulum 2004 Standar Kompetensi Madrasah Tsanawiyah, Jakarta: Direktorat Jendral Kelembagaan Agama Islam, 2004.

Departemen Agama Republik Indonesia, Al-Quran Dan Terjemahan, Semarang: CV. Adi Grafika,1994.

Departemen Agama RI, Kurikulum 2004 Standar Kompetensi Madrasah Tsanawiyah, Jakarta: Direktoral Jendral Keagamaan Agama Islam 2004. Depdikbud, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1996. Ensiklopedia Islam, Jakarta: Depag, 1992.

Ensiklopedia Mini Sejarah dan Kebudayaan Islam, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1996 M. Yusuf Hasyim, Dinamika Pesantren, Jakarta P3M 1988.


(5)

77

Hasbullah, Kapita Selekta Pendidikan Islam, Jakarta, PT Raja Grafindo Persada,1996.

M. Echols Jhon dan Shadly Hassan, Kamus Inggris Indonesia, Jakarta: PT. Gramedia, 2008.

Madjid Nurcholis, bilik-bilik pesantren : sebuah potre perjalanan, Jakarta: Paramadina, 1997.

Mahmud, Model-model Pembelajaran di Pesantren, Tangerang, Media Nusantara, 2006.

Mansur dan Junaedi Mahfud, rekonstruksi sejarah pendidikan islam di Indonesia, Jakarta: departemen agama RI, 2005.

Manzhur Ibnu, Lisan al-„arabi, Mesir: Dar-al-Maa’arif, tt.

Masyhud Sulthon dan Khusnurdilo, Manajemen Pondok Pesantren, Jakarta: Diva Pustaka, 2003.

Muhammadiyah Hilmy dan Fatoni Sulthan, NU: Identitas Islam Indonesia, Jakarta: lembaga studi agama dan sosial, 2004.

Namsa Yunus, Metodologi Pengajaran Agama Islam, Jakarta: Pustaka Firdaus, 2000.

Narbuko Chalid, Metodologi Penelitian, Jakarta: PT Bumi Aksara, 1999. Prasojo Sudjako, Profil Pesantren, Jakarta: LP3ES, 1995.

Putra Daulay Haidar, Pendidikan Islam “Dalam Sistem Pendidikan Nasional di

Indonesia”, Jakarta: Prenada Media, 2004.

Qamar Mujamil, Pesantren dari Transformasi Metodologi Menuju Demokratisasi Intitusi, Jakarta: PT Erlangga, 2005.

Rosyad Aminudin dan Baihaqi, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, Jakarta: Departemen Agama RI, 1986.

Shihab Quraisy, Membumikan Al-Qur‟an, Bandung: Mizan, 1994. Sodiman Arif, Media Pengajaran, Jakarta: CV. Rajawali, 1990.

Sudjana, Metode Dan Teknik Pembelajaran Partisipasi, (Bandung: Falah Production, 2001.


(6)

78

Syarifuddin Amir, Ushul Fiqh Jilid I, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997.

Syukri Zarkasyi Abdullah, Gontor dan Pembaharauan Pendidikan Pesantren, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2005.

Syukur Aswadi, Pengantar Ilmu Fiqih dan Ushul Fiqih, Surabaya: Bina Ilmu, 1990.

Usman Nuraini, Metodologi Penelitian Social, Jakarta Bumi Askara 2000. Wahab Kallaf Abdul, Ilmu Ushul Fiqih, Bandung: Gema Risalah Press, 1996. Wahjoetomo, Perguruan Tinggi Pesantren: Pendidikan Alternatif Masa Depan,

Jakarta: Gema Insan Press, 1997.

Wahjoetomo¸ Perguruan Tinggi Pesanten, Jakarta Gama Insani Press 1997. Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren: Study Tentang Pandangan Hidup Kiyai,

(akarta: LP3ES, 1982.

Zimek Manfred, Pesantren dalam Pembaharuan Sosial, Jakarta: P3M, 1986. Zurinal dan Sayuti Wahdi, Ilmu Pendidikan Pengantar Dasar-dasar Pendidikan,