7.1 Aspek Lingkungan - DOCRPIJM 27f00bdd91 BAB VIIbab 7
BAB 7
ASPEK LINGKUNGAN DAN SOSIAL DALAM
PEMBANGUNAN DI KAB. LUWU TIMUR
7.1
Aspek Lingkungan
Kajian lingkungan dibutuhkan untuk memastikan bahawa penyusunan
RPI2JM
bidak
Cipta
Karya
oleh
pemerintah
kabupatyen/kota
telah
mengakomodasi prinsip perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup. Adapun
amanat perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup adalah sebagai berikut:
1.
UU No. 32/2009 tentangPerlindungandanPengelolaanLingkunganHidup
“Instrumenpencegahanpencemarandan/ataukerusakanlingkunganhidupterdiri
atasantara
lain
KajianLingkunganHidupStrategis
(KLHS),
AnalisisMengenaiDampakLingkungan
(AMDAL),
danUpayaPengelolaanLingkungan-UpayaPemantauanLingkungan
(UKL-
UPL)
danSuratPernyataanKesanggupanPengelolaandanPemantauanLingkunganHi
dup (SPPLH)”
2.
UU No. 17/2007 tentangRencana Pembangunan JangkaPanjangNasional
“Dalamrangkameningkatkankualitaslingkunganhidup
yang
baikperlupenerapanprinsip-prinsippembangunan
yang
berkelanjutansecarakonsisten di segalabidang”
3.
PeraturanPresiden
No.
5/2010
tentangRencana
Pembangunan
JangkaMenegahNasionalTahun 2010-2014:
“Dalambidanglingkunganhidup,
sasaran
yang
hendakdicapaiadalahperbaikanmutulingkunganhidupdanpengelolaansumberd
ayaalam
di
perkotaandanpedesaan,
penahananlajukerusakanlingkungandenganpeningkatandayadukungdandayat
ampunglingkungan;
peningkatankapasitasadaptasidanmitigasiperubahaniklim”
4.
Permen
LH
No.
9
Tahun
2011
tentangPedomanUmumKajianLingknganHidupStrategis
Dalampenyusunankebijakan,
rencanadan/atau
program,
KLHS
digunakanuntukmenyiapkanalternatifpenyempurnaankebijakan,
rencanadan/atau
program
agar
dampakdan/ataurisikolingkungan
yang
tidakdiharapkandapatdiminimalkan
5.
Permen LH No. 16 Tahun 2012 tentangPenyusunanDokumenLingkungan.
Sebagaipersyaratanuntukmengajukanijinlingkunganmakaperludisusundokum
enAmdal,
UKL
dan
UPL,
atauSuratPernyataanKesanggupanPengelolaanLingkunganHidupataudisebut
dengandengan SPPL bagikegiatan yang tidakmembutuhkanAmdalatau UKL
dan UPL.
Tugas dan wewenang pemerintah pusat, pemerintah provinsi, dan
pemerintah kabupaten/kota dalam aspek lingkungan terkait bidang Cipta
Karya mengacu pada UU No. 32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup yaitu:
1.
Pemerintah Pusat
a. Menetapkan kebijakan nasional.
b. Menetapkan norma, standar, prosedur, dan kriteria.
c. Menetapkan dan melaksanakan kebijakan mengenai KLHS.
d. Menetapkan dan melaksanakan kebijakan mengenai amdal dan UKLUPL.
e. Melaksanakan pengendalian pencemaran dan kerusakan lingkungan
hidup.
f.
Menetapkan dan melaksanakan kebijakan mengenai pengendalian
dampak perubahan iklim dan perlindungan lapisan ozon.
g. Melakukan
pembinaan
dan
pengawasan
terhadap
pelaksanaan
kebijakan nasional, peraturan daerah, dan peraturan kepala daerah.
h. Mengembangkan dan menerapkan instrumen lingkungan hidup.
i.
Mengembangkan
dan
melaksanakan
kebijakan
pengaduan
masyarakat.
j.
2.
Menetapkan standar pelayanan minimal.
Pemerintah Provinsi
a. Menetapkan kebijakan tingkat provinsi.
b. Menetapkan dan melaksanakan KLHS tingkat provinsi.
c. Menetapkan dan melaksanakan kebijakan mengenai amdal dan UKLUPL.
d. Melakukan
kebijakan,
pembinaan
peraturan
dan
pengawasan
daerah,
dan
terhadap
peraturan
pelaksanaan
kepala
daerah
kabupaten/kota.
e. Mengembangkan dan menerapkan instrumen lingkungan hidup.
f.
Melakukan pembinaan,
bantuan teknis,
dan pengawasan kepada
kabupaten/kota di bidang program dan kegiatan.
g. Melaksanakan standar pelayanan minimal.
3.
Pemerintah Kabupaten/Kota
a. Menetapkan kebijakan tingkat kabupaten/kota.
b. Menetapkan dan melaksanakan KLHS tingkat kabupaten/kota.
c. Menetapkan dan melaksanakan kebijakan mengenai amdal dan UKLUPL.
d. Mengembangkan dan menerapkan instrumen lingkungan hidup.
e. Melaksanakan standar pelayanan minimal.
7.1.1.
Kajian Lingkungan Hidup Stratregis (KLHS)
Menurut UU No. 32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup, Kajian Lingkungan Hidup Strategis, yang selanjutnya
disingkat KLHS, adalah rangkaian analisis yang sistematis, menyeluruh, dan
partisipatif
untuk
memastikan bahwa prinsip pembangunan berkelanjutan
telah menjadi dasar dan terintegrasi dalam pembangunan suatu wilayah dan/atau
kebijakan, rencana, dan/atau program. KLHS perlu diterapkan di dalam RPI2-JM
antara lain karena:
1. RPI2-JM membutuhkan kajian aspek
lingkungan dalam perencanaan
pembangunan infrastruktur.
2. KLHS dijadikan sebagai alat kajian lingkungan dalam RPI2-JM adalah
karena
RPI2-JM
bidang
Cipta
Karya
berada
pada
tataran
Kebijakan/Rencana/Program. Dalam hal ini, KLHS menerapkan prinsipprinsip
kehati-hatian,
dimana
kebijakan,
rencana
dan/atau program
menjadi garda depan dalam menyaring kegiatan pembangunan yang
berpotensi mengakibatkan dampak negatif terhadap lingkungan hidup
KLHS disusun oleh Tim Satgas RPI2-JM Kabupaten/Kota dengan
dibantu oleh Badan Pengelola Lingkungan Hidup Daerah sebagai instansi
yang memiliki tugas dan fungsi terkait langsung dengan perlindungan dan
pengelolaan lingkungan hidup di kota/kabupaten. Koordinasi penyusunan KLHS
antar instansi diharapkan dapat mendorong terjadinya transfer pemahaman
mengenai
pentingnya penerapan
prinsip
perlindungan
dan pengelolaan
lingkungan hidup untuk mendorong terjadinya pembangunan berkelanjutan.
Tahapan Pelaksanaan KLHS
Tahapan
pelaksanaan
KLHS
diawali
dengan
penapisan
usulan
rencana/program dalam RPI2-JM per sektor dengan mempertimbang-kan
isu-isu pokok seperti (1) perubahan iklim, (2) kerusakan, kemerosotan,
dan/atau kepunahan keanekaragaman hayati, (3) peningkatan intensitas dan
cakupan wilayah bencana banjir, longsor, kekeringan, dan/atau kebakaran
hutan dan lahan, (4) penurunan mutu dan kelimpahan sumber daya alam,
(5) peningkatan alih fungsi kawasan hutan dan/atau lahan, (6) peningkatan
jumlah
penduduk miskin
atau
terancamnya
keberlanjutan
penghidupan
sekelompok masyarakat; dan/atau (7) peningkatan risiko terhadap kesehatan
dan keselamatan
rencana/program
manusia.
yang
Isu-isu
disusun
dampak terhadap isu-isu tersebut.
tersebut
teridentifikasi
menjadi
kriteria
menimbulkan
apakah
resiko
atau
Gambar 10.1. Diagram Alir Pentahapan Pelaksanaan KLHS
Tahap 1 dilakukan dengan penapisan (screening)
Tahap ke-2 setelah penapisan terdapat dua kegiatan. Jika melalui
proses penapisan di atas tidak teridentifikasi bahwa rencana/program dalam
RPI2-JM
tidak
berdasarkan
berpengaruh
Permen
terhadap
Lingkungan
kriteria
Hidup
No.
penapisan
9/2011
di
atas maka
tentang Pedoman
Umum KLHS, Tim Satgas RPI2-JM Kabupaten/Kota dapat menyertakan
Surat
Pernyataan
bahwa
KLHS
tidak
perlu
dilaksanakan, dengan
ditandatangani oleh Ketua Satgas RPI2-JM dengan persetujuan BPLHD, dan
dijadikan lampiran dalam dokumen RPI2-JM.
Namun,
jika
teridentifikasi
bahwa
rencana/program
dalam
RPI2-JM
berpengaruh terhadap kriteria penapisan di atas maka Satgas RPI2-JM didukung
dinas lingkungan hidup (BPLHD) dapat menyusun KLHS dengan tahapan
sebagai berikut:
1. Pengkajian
Pengaruh
KRP
terhadap
Kondisi
Lingkungan
Hidup
di
Wilayah Perencanaan, dilaksanakan melalui 4 (empat) tahapan sebagai
berikut:
a. Identifikasi Masyarakat dan Pemangku Kepentingan Lainnya Tujuan
identifikasi masyarakat dan pemangku kepentingan adalah:
Menentukan secara tepat pihak-pihak yang akan dilibatkan dalam
pelaksanaan KLHS;
Menjamin diterapkannya azas partisipasi yang diamanatkan UU No.
32
Tahun
2009
Lingkungan Hidup;
tentang
Perlindungan
dan Pengelolaan
Menjamin
bahwa
hasil
perencanaan
dan
evaluasi kebijakan,
rencana dan/atau program memperoleh legitimasi atau penerimaan
oleh publik;
Agar masyarakat dan pemangku kepentingan mendapatkan akses
untuk
menyampaikan
informasi,
saran,
pendapat, dan
pertimbangan tentang pembangunan berkelanjutan melalui proses
penyelenggaraan KLHS
Tabel 10.1. Proses Identifikasi Pemangku Kepentingan dan Masyarakat
dalam Penyusunan KLHS
Sumber : Dit.Bina Program Ditjend. Cipta Karya Kemen PU, 2014
b. Identifikasi Isu Pembangunan Berkelanjutan
Tujuan identifikasi isu pembangunan berkelanjutan:
penetapan isu-isu pembangunan berkelanjutan yang meliputi aspek
sosial, ekonomi, dan lingkungan hidup atau keterkaitan antar ketiga
aspek tersebut;
pembahasan fokus terhadap isu signifikan; dan
membantu penentuan capaian tujuan pembangunan berkelanjutan.
c. Identifikasi Kebijakan/Rencana/Program (KRP)
d. Kajian Pengaruh KRP terhadap Kondisi Lingkungan Hidup di Suatu
Wilayah
2. Perumusan Alternatif Penyempurnaan KRP
Tujuan perumusan alternatif penyempurnaan kebijakan, rencana, dan/atau
program untuk mengembangkan berbagai alternatif perbaikan muatan KRP
dan menjamin pembangunan berkelanjutan. Setelah dilakukan kajian, dan
disepakati bahwa kebijakan, rencana dan/atau program yang dikaji potensial
memberikan dampak negatif pada
pembangunan
berkelanjutan,
maka
dikembangkan beberapa alternatif untuk menyempurnakan rancangan atau
merubah kebijakan, rencana dan/atau program yang ada. Beberapa alternatif
untuk
menyempurnakan
dan
atau
mengubah
rancangan
KRP
mempertimbangkan antara lain:
a. Memberikan arahan atau rambu-rambu mitigasi terkait dengan kebijakan,
rencana,
dan/atau
dampak
lingkungan
program
yang diperkirakan
akan
menimbulkan
atau bertentangan dengan kaidah pembangunan
berkelanjutan.
b. Menyesuaikan ukuran,
skala,
dan lokasi usulan kebijakan, rencana,
dan/atau program.
c. Menunda, memperbaiki urutan, atau mengubah prioritas pelaksanaan
kebijakan, rencana, dan/atau program.
d. Mengubah kebijakan, rencana, dan/atau program.
3. Rekomendasi Perbaikan KRP dan Pengintegrasian Hasil KLHS
Untuk Kabupaten/Kota yang telah menyusun dan memiliki dokumen KLHS
RTRW Kabupaten/Kota, maka hasil olahan di dalam KLHS tersebut dapat
dijadikan bahan masukan bagi kajian perlindungan lingkungan dalam RPI2JM. KLHS merupakan instrumen lingkungan yang diterapkan pada tataran
rencana-program.
instrumen
yang
Sedangkan pada tataran kegiatan
lebih
tepat
diterapkan
adalah
Amdal,
atau keproyekan,
UKL-UPL.
Dan
SPPLH. Tabel 10.8 menjelaskan beberapa perbedaan antara KLHS dan AMDAL.
7.1.1. Amdal, UKL-UPL, dan SPPLH
Pengelompokan atau kategorisasi proyek mengikuti ketentuan yang
telah ditetapkan dalam Peraturan Menteri Lingkungan Hidup No. 5 tahun
2012 tentang jenis rencana usaha dan/atau kegiatan Wajib AMDAL dan
Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No. 10 Tahun 2008 Tentang Penetapan
Jenis Rencana Usaha Dan/Atau Kegiatan Bidang Pekerjaan Umum yang
Wajib Dilengkapi dengan Upaya Pengelolaan Lingkungan Hidup dan Upaya
Pemantauan Lingkungan Hidup, yaitu: (1) Proyek wajib AMDAL; (2) Proyek tidak
wajib AMDAL tapi wajib UKL-UPL; (3) Proyek tidak wajib UKL-UPL tapi SPPLH
Tabel 10.2. Perbedaan Instrumen KLHS dan AMDAL
Jenis Kegiatan Bidang Cipta Karya dan batasan kapasitasnya yang wajib
dilengkapi dokumen AMDAL diperlihatkan pada tabel 10.3.
Jenis Kegiatan Bidang Cipta Karya yang kapasitasnya masih di
bawah batas menjadikannya tidak wajib dilengkapi dokumen AMDAL tetapi
wajib dilengkapi dengan dokumen UKL-UPL. Jenis kegiatan bidang Cipta
karya dan batasan kapasitasnya yang wajib dilengkapi dokumen UKL-UPL
tercermin dalam tabel 10.4
Tabel 10.3. Penapisan Rencana Kegiatan Wajib AMDAL
Tabel 7.4. Penapisan Rencana Kegiatan Wajib AMDAL Tapi Wajib UKL-UPL
Jenis Kegiatan Bidang
Cipta Karya yang kapasitasnya masih di
bawah batas wajib dilengkapi dokumen UKL-UPL menjadikannya tidak wajib
dilengkapi
dokumen
UKL-UPL
tetapi
wajib
dilengkapi
dengan
Surat
Pernyataan Kesanggupan Pengelolaan dan Pemantauan Lingkungan Hidup
(SPPLH).
7.1
Aspek Sosial
Aspek sosial terkait dengan pengaruh pembangunan infrastruktur
bidang
Cipta
pembangunan,
Karya
kepada
maupun
pasca
masyarakat
pada
taraf
perencanaan,
pembangunan/pengelolaan.
Pada
taraf
perencanaan, pembangunan infrastruktur permukiman seharusnya menyentuh
aspek-aspek sosial yang terkait dan sesuai dengan isu-isu yang marak saat
ini,
seperti
Sedangkan
pengentasan
pada
saat
kemiskinan
serta pengarusutamaan
pembangunan kemungkinan
gender.
masyarakat
terkena
dampak sehingga diperlukan proses konsultasi, pemindahan penduduk dan
pemberian kompensasi, maupun permukiman kembali. Kemudian pada pasca
pembangunan
atau pengelolaan perlu diidentifikasi apakah keberadaan
infrastruktur bidang Cipta
Karya
tersebut
membawa
manfaat
atau
peningkatan taraf hidup bagi kondisi sosial ekonomi masyarakat sekitarnya.
Dasar
peraturan
perundang-undangan
yang
memperhatikan aspek sosial adalah sebagai berikut:
menyatakan
perlunya
1. UU
No.
17/2007
tentang
Rencana
Pembangunan
Jangka Panjang
Nasional
a. Dalam rangka pembangunan berkeadilan, pembangunan sosial juga
dilakukan
dengan
memberi
perhatian
yang
lebih
besar pada
kelompok masyarakat yang kurang beruntung, termasuk masyarakat
miskin dan masyarakat yang tinggal di wilayah terpencil, tertinggal,
dan wilayah bencana.
b. Penguatan kelembagaan dan jaringan pengarusutamaan gender dan
anak di tingkat nasional dan daerah, termasuk ketersediaan data dan
statistik gender.
2. UU No. 2/2012 tentang Pengadaan UU No. 2/2012 tentang Pengadaan
Lahan bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum:
Pasal
3:
Pengadaan
Tanah
untuk
Kepentingan
Umum
bertujuan
menyediakan tanah bagi pelaksanaan pembangunan guna meningkatkan
kesejahteraan dan kemakmuran bangsa, negara, dan masyarakat dengan
tetap menjamin kepentingan hukum Pihak yang Berhak.
3. Peraturan Presiden No. 5/2010 tentang Rencana Pembangunan Jangka
Menengah Nasional Tahun 2010-2014:
a. Perbaikan kesejahteraan rakyat dapat diwujudkan melalui sejumlah
program
pembangunan
penciptaan
bidang
kesempatan
pendidikan,
untuk
kerja,
penanggulangan kemiskinan
termasuk peningkatan
kesehatan,
dan
program
di
dan percepatan pembangunan
infrastruktur dasar.
b. Untuk mewujudkan keadilan dan kesetaraan gender, peningkatan
akses
dan
partisipasi
perempuan
dalam pembangunan harus
dilanjutkan.
4. Peraturan Presiden No. 15/2010 tentang Percepatan penanggulangan
Kemiskinan
Pasal 1: Program penanggulangan kemiskinan adalah kegiatan yang
dilakukan
oleh
pemerintah,
pemerintah
daerah
dunia usaha,
serta
masyarakat untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat miskin melalui
bantuan
sosial,
pemberdayaan masyarakat,
pemberdayaan
usaha
ekonomi
mikro
dan
kecil, serta
program
lain
dalam
rangka
meningkatkan kegiatan ekonomi.
5. Instruksi Presiden No. 9 Tahun 2000 tentang Pengarusutamaan Gender
dalam Pembangunan Nasional
Menginstruksikan kepada Menteri untuk melaksanakan pengarusutamaan
gender guna terselenggaranya perencanaan, penyusunan,
pelaksanaan,
pemantauan, dan evaluasi atas kebijakan dan program pembangunan
nasional yang berperspektif gender sesuai dengan bidang tugas dan
fungsi, serta kewenangan masing-masing.
Tugas
dan
wewenang
pemerintah
pusat,
pemerintah
provinsi,
dan
pemerintah kabupaten/kota terkait aspek sosial bidang Cipta Karya adalah:
1. Pemerintah Pusat:
a. Menjamin tersedianya tanah untuk kepentingan umum yang bersifat
strategis nasional ataupun bersifat lintas provinsi.
b. Menjamin
tersedianya
pendanaan
untuk
kepentingan
umum
yangbersifat strategis nasional ataupun bersifat lintas provinsi.
c. Meningkatkan
kesejahteraan
masyarakat
miskin
melalui bantuan
sosial, pemberdayaan masyarakat, pemberdayaan usaha mikro dan
kecil,
serta
program
lain
dalam
rangka meningkatkan kegiatan
ekonomi di tingkat pusat.
d. Melaksanakan
pengarusutamaan
gender
guna terselenggaranya
perencanaan, penyusunan, pelaksanaan, pemantauan, dan evaluasi
atas kebijakan dan program pembangunan nasional berperspektif
gender, khususnya untuk bidang Cipta Karya.
2. Pemerintah Provinsi:
a. Menjamin tersedianya tanah untuk kepentingan umum yang bersifat
regional ataupun bersifat lintas kabupaten/kota.
b. Menjamin tersedianya pendanaan untuk kepentingan umum yang
bersifat regional ataupun bersifat lintas kabupaten/kota.
c. Meningkatkan
kesejahteraan
masyarakat
miskin
melalui bantuan
sosial, pemberdayaan masyarakat, pemberdayaan usaha mikro dan
kecil,
serta
program
lain
dalam
rangka meningkatkan kegiatan
ekonomi di tingkat provinsi.
d. Melaksanakan
pengarusutamaan
gender
guna terselenggaranya
perencanaan, penyusunan, pelaksanaan, pemantauan, dan evaluasi
atas
kebijakan
dan
program pembangunan
di
tingkat
provinsi
berperspektif gender, khususnya untuk bidang Cipta Karya.
3. Pemerintah Kabupaten/Kota:
a. Menjamin
tersedianya
tanah
untuk
kepentingan
umum
di
kabupaten/kota.
b. Menjamin
tersedianya
pendanaan
untuk
kepentingan
umum
di
kabupaten/kota.
c. Meningkatkan
kesejahteraan
masyarakat
miskin
melalui bantuan
sosial, pemberdayaan masyarakat, pemberdayaan usaha mikro dan
kecil, serta program lain dalam rangka peningkatan ekonomi di tingkat
kabupaten/kota.
d. Melaksanakan
pengarusutamaan
gender
guna terselenggaranya
perencanaan, penyusunan, pelaksanaan, pemantauan, dan evaluasi
atas kebijakan dan program pembangunan di tingkat kabupaten/kota
berperspektif gender, khususnya untuk bidang Cipta Karya.
i.
Aspek Sosial pada Perencanaan Pembangunan Bidang Cipta
Karya
1. Kemiskinan
Aspek sosial pada perencanaan pembangunan bidang Cipta Karya
diharapkan mampu melengkapi kajian perencanaan teknis sektoral. Salah
satu aspek yang perlu ditindak-lanjuti adalah isu kemiskinan sesuai dengan
kebijakan internasional MDGs dan Agenda Pasca 2015, serta arahan kebijakan
pro rakyat sesuai direktif presiden.Menurut standar BPS terdapat 14 kriteria
yang
dipergunakan untuk menentukan keluarga/rumah tangga dikategorikan
miskin, yaitu:
1. Luas lantai bangunan tempat tinggal kurang dari 8 m2 per orang.
2. Jenis lantai tempat tinggal terbuat dari tanah/bambu/kayu murahan.
3. Jenis
dinding
tempat
tinggal
dari
bambu/rumbia/kayu
berkualitas
rendah/tembok tanpa diplester.
4. Tidak memiliki fasilitas buang air besar/bersama-sama dengan rumah
tangga lain.
5. Sumber penerangan rumah tangga tidak menggunakan listrik.
6. Sumber air minum berasal dari sumur/mata air tidak terlindung/sungai/air
hujan.
7. Bahan
bakar
untuk
memasak
sehari-hari
adalah
kayu
bakar/arang/minyak tanah.
8. Hanya mengkonsumsi daging/susu/ayam satu kali dalam seminggu.
9. Hanya membeli satu stel pakaian baru dalam setahun.
10. Hanya sanggup makan sebanyak satu/dua kali dalam sehari.
11. Tidak sanggup membayar biaya pengobatan di puskesmas/poliklinik.
12. Sumber penghasilan kepala rumah tangga adalah: petani dengan luas
lahan 500 m2, buruh tani, nelayan, buruh bangunan, buruh perkebunan
dan atau pekerjaan lainnya dengan pendapatan dibawah Rp. 600.000,per bulan.
13. Pendidikan tertinggi kepala rumah tangga: tidak sekolah/tidak tamat
SD/hanya SD.
14. Tidak memiliki tabungan / barang yang mudah dijual dengan minimal
Rp. 500.000,- seperti sepeda motor kredit / non kredit, emas, ternak,
kapal motor, atau barang modal lainnya.
Jika minimal 9 variabel terpenuhi maka suatu rumah tangga dikategorikan
sebagai rumah tangga miskin.
2. Pengarusutamaan Gender
Selain
itu
aspek
yang
perlu
diperhatikan
adalah
responsivitas
kegiatan pembangunan bidang Cipta Karya terhadap gender. Saat ini telah
kegiatan responsif gender bidang Cipta Karya meliputi Program Nasional
Pemberdayaan
Masyarakat
(PNPM)
Mandiri
Perkotaan, Neighborhood
Upgrading and Shelter Sector Project (NUSSP), Pengembangan Infrasruktur
Sosial
Ekonomi
Wilayah
(PISEW), Penyediaan Air Minum dan Sanitasi
Berbasia Masyarakat (PAMSIMAS),Program
Pembangunan
Infrastruktur
Perdesaan (PPIP), Rural Infrastructure Support (RIS) to PNPM, Sanitasi
Berbasis Masyarakat (SANIMAS), Rencana Tata Bangunan dan Lingkungan
(RTBL), dan Studi Evaluasi Kinerja Program Pemberdayaan Masyarakat
bidang Cipta Karya.
ii.
Aspek Sosial
pada Pelaksanaan
Pembangunan
Bidang Cipta
Karya
Pelaksanaan pembangunan bidang Cipta Karya secara lokasi, besaran
kegiatan, dan durasi berdampak terhadap masyarakat. Untuk meminimalisir
terjadinya konflik dengan masyarakat penerima dampak maka perlu dilakukan
beberapa
langkah
pemberian
antisipasi,
kompensasi
untuk
seperti
tanah
konsultasi, pengadaan
lahan
dan
dan bangunan, serta permukiman
kembali.
1. Konsultasi masyarakat
Konsultasi masyarakat diperlukan untuk memberikan informasi kepada
masyarakat, terutama kelompok masyarakat yang mungkin terkena
dampak
akibat pembangunan bidang Cipta Karya di wilayahnya. Hal ini sangat
penting untuk menampung aspirasi mereka berupa pendapat, usulan serta
saran-saran
untuk
bahan pertimbangan
dalam
proses
perencanaan.
Konsultasi masyarakat perlu dilakukan pada saat persiapan program bidang
Cipta Karya, persiapan AMDAL dan pembebasan lahan.
2. Pengadaan lahan dan pemberian kompensasi untuk tanah dan
bangunan
Kegiatan pengadaan tanah dan kewajiban pemberian kompensasi atas
tanah dan bangunan terjadi jika kegiatan pembangunan bidang cipta
karya
berlokasi di atas tanah yang bukan milik pemerintah atau telah ditempati oleh
swasta/masyarakat selama lebih dari satu tahun. Prinsip utama pengadaan
tanah adalah bahwa semua langkah yang diambil harus dilakukan untuk
meningkatkan, atau memperbaiki, pendapatan dan standar kehidupan warga
yang terkena dampak akibat kegiatan pengadaan tanah ini.
3. Permukiman kembali penduduk (resettlement)
Seluruh
proyek
yang
memerlukan
mempertimbangkan
adanya
sejak
proyek. Bilamana
tahap
awal
kemungkinan
pengadaan
pemukiman
lahan
harus
kembali penduduk
pemindahan penduduk
tidak
dapat
dihindarkan, rencana pemukiman kembali harus dilaksanakan sedemikian
rupa
sehingga
penduduk
yang terpindahkan
mendapat
peluang
ikut
menikmati manfaat proyek. Hal ini termasuk mendapat kompensasi yang
wajar
atas kerugiannya,
pembangunan kembali
serta
bantuan
dalam
pemindahan
dan
kehidupannya di lokasi yang baru. Penyediaan
lahan, perumahan, prasarana dan kompensasi lain bagi penduduk yang
dimukimkan jika diperlukan dan sesuai persyaratan.
iii.
Aspek Sosial pada Pasca Pelaksanaan Pembangunan Bidang
Cipta Karya
Output
kegiatan
pembangunan
memberi manfaat bagi masyarakat.
bidang
Cipta
Karya
seharusnya
Manfaat tersebut diharapkan minimal
dapat terlihat secara kasat mata dan secara sederhana dapat terukur,
seperti kemudahan mencapai lokasi pelayanan infrastruktur, waktu tempuh
yang
menjadi
lebih
singkat,
hingga
pengurangan
biaya yang
harus
dikeluarkan oleh penduduk untuk mendapatkan akses pelayanan tersebut.
Selainituaspek
yang
perludiperhatikanadalahresponsivitaskegiatanpembangunanbidangCiptaKaryater
hadap gender.Saatinitelahkegiatanresponsif gender bidangCiptaKaryameliputi
Program
NasionalPemberdayaanMasyarakat
Neighborhood
Upgrading
and
Shelter
(PNPM)
Sector
MandiriPerkotaan,
Project
(NUSSP),
PengembanganInfrasrukturSosialEkonomi Wilayah (PISEW), Penyediaan Air
MinumdanSanitasiBerbasiaMasyarakat (PAMSIMAS), Program Pembangunan
InfrastrukturPerdesaan (PPIP), Rural Infrastructure Support (RIS) to PNPM,
SanitasiBerbasisMasyarakat
BangunandanLingkungan
(SANIMAS),
(RTBL),
Rencana
Tata
danStudiEvaluasiKinerja
Program
PemberdayaanMasyarakatbidangCiptaKarya.
Menindaklanjutihaltersebutmakadiperlukansuatupemetaanawaluntukmengetahuib
entukresponsif
gender
darimasing-masingkegiatan,
manfaat,
hinggapermasalahan yang timbulsebegaipembelajaran di masadatang di daerah.
PelaksanaanpembangunanbidangCiptaKaryasecaralokasi,
besarankegiatan,
dandurasiberdampakterhadapmasyarakat.Untukmeminimalisirterjadinyakonflikde
nganmasyarakatpenerimadampakmakaperludilakukanbeberapalangkahantisipasi
,
sepertikonsultasi,
pengadaanlahandanpemberiankompensasiuntuktanahdanbangunan,
sertapermukimankembali.
Permasalahan yang perludiantisipasi di masadatang :
1.
Konsultasi
memberikan
masyarakat
informasi
Konsultasi
kepada
masyarakat
masyarakat,
diperlukan
terutama
untuk
kelompok
masyarakat yang mungkin terkena dampak akibat pembangunan bidang
Cipta Karya di wilayahnya. Hal ini sangat penting untuk menampung
aspirasi mereka berupa pendapat, usulan serta saran-saran untuk bahan
pertimbangan dalam proses perencanaan. Konsultasi masyarakat perlu
dilakukan pada saat persiapan program bidang Cipta Karya, persiapan
AMDAL dan pembebasan lahan
2.
Pengadaan lahan dan pemberian kompensasi untuk tanah dan
bangunan. Kegiatan pengadaan tanah dan kewajiban pemberian
kompensasi atas tanah dan bangunan terjadi jika kegiatan pembangunan
bidang cipta karya berlokasi di atas tanah yang bukan milik pemerintah
atau telah ditempati oleh swasta/masyarakat selama lebih dari satu
tahun. Prinsip utama pengadaan tanah adalah bahwa semua langkah
yang diambil harus dilakukan untuk meningkatkan, atau memperbaiki,
pendapatan dan standar kehidupan warga yang terkena dampak akibat
kegiatan pengadaan tanah ini.
3.
Permukiman kembali penduduk (resettlement). Seluruh proyek yang
memerlukan
pengadaan
lahan
harus
mempertimbangkan
adanya
kemungkinan pemukiman kembali penduduk sejak tahap awal proyek.
Bilamana pemindahan penduduk tidak dapat dihindarkan, rencana
pemukiman kembali harus dilaksanakan sedemikian rupa sehingga
penduduk yang terpindahkan mendapat peluang ikut menikmati manfaat
proyek. Hal ini termasuk mendapat kompensasi yang wajar atas
kerugiannya, serta bantuan dalam pemindahan dan pembangunan
kembali
kehidupannya
di
lokasi
yang
baru.
Penyediaan
lahan,
perumahan, prasarana dan kompensasi lain bagi penduduk yang
dimukimkan jika diperlukan dan sesuai persyaratan.
4.
Output kegiatan pembangunan bidang Cipta Karya seharusnya memberi
manfaat bagi masyarakat. Manfaat tersebut diharapkan minimal dapat
terlihat secara kasat mata dan secara sederhana dapat terukur, seperti
kemudahan mencapai lokasi pelayanan infrastruktur, waktu tempuh yang
menjadi lebih singkat, hingga pengurangan biaya yang harus dikeluarkan
oleh penduduk untuk mendapatkan akses pelayanan tersebut.
ASPEK LINGKUNGAN DAN SOSIAL DALAM
PEMBANGUNAN DI KAB. LUWU TIMUR
7.1
Aspek Lingkungan
Kajian lingkungan dibutuhkan untuk memastikan bahawa penyusunan
RPI2JM
bidak
Cipta
Karya
oleh
pemerintah
kabupatyen/kota
telah
mengakomodasi prinsip perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup. Adapun
amanat perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup adalah sebagai berikut:
1.
UU No. 32/2009 tentangPerlindungandanPengelolaanLingkunganHidup
“Instrumenpencegahanpencemarandan/ataukerusakanlingkunganhidupterdiri
atasantara
lain
KajianLingkunganHidupStrategis
(KLHS),
AnalisisMengenaiDampakLingkungan
(AMDAL),
danUpayaPengelolaanLingkungan-UpayaPemantauanLingkungan
(UKL-
UPL)
danSuratPernyataanKesanggupanPengelolaandanPemantauanLingkunganHi
dup (SPPLH)”
2.
UU No. 17/2007 tentangRencana Pembangunan JangkaPanjangNasional
“Dalamrangkameningkatkankualitaslingkunganhidup
yang
baikperlupenerapanprinsip-prinsippembangunan
yang
berkelanjutansecarakonsisten di segalabidang”
3.
PeraturanPresiden
No.
5/2010
tentangRencana
Pembangunan
JangkaMenegahNasionalTahun 2010-2014:
“Dalambidanglingkunganhidup,
sasaran
yang
hendakdicapaiadalahperbaikanmutulingkunganhidupdanpengelolaansumberd
ayaalam
di
perkotaandanpedesaan,
penahananlajukerusakanlingkungandenganpeningkatandayadukungdandayat
ampunglingkungan;
peningkatankapasitasadaptasidanmitigasiperubahaniklim”
4.
Permen
LH
No.
9
Tahun
2011
tentangPedomanUmumKajianLingknganHidupStrategis
Dalampenyusunankebijakan,
rencanadan/atau
program,
KLHS
digunakanuntukmenyiapkanalternatifpenyempurnaankebijakan,
rencanadan/atau
program
agar
dampakdan/ataurisikolingkungan
yang
tidakdiharapkandapatdiminimalkan
5.
Permen LH No. 16 Tahun 2012 tentangPenyusunanDokumenLingkungan.
Sebagaipersyaratanuntukmengajukanijinlingkunganmakaperludisusundokum
enAmdal,
UKL
dan
UPL,
atauSuratPernyataanKesanggupanPengelolaanLingkunganHidupataudisebut
dengandengan SPPL bagikegiatan yang tidakmembutuhkanAmdalatau UKL
dan UPL.
Tugas dan wewenang pemerintah pusat, pemerintah provinsi, dan
pemerintah kabupaten/kota dalam aspek lingkungan terkait bidang Cipta
Karya mengacu pada UU No. 32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup yaitu:
1.
Pemerintah Pusat
a. Menetapkan kebijakan nasional.
b. Menetapkan norma, standar, prosedur, dan kriteria.
c. Menetapkan dan melaksanakan kebijakan mengenai KLHS.
d. Menetapkan dan melaksanakan kebijakan mengenai amdal dan UKLUPL.
e. Melaksanakan pengendalian pencemaran dan kerusakan lingkungan
hidup.
f.
Menetapkan dan melaksanakan kebijakan mengenai pengendalian
dampak perubahan iklim dan perlindungan lapisan ozon.
g. Melakukan
pembinaan
dan
pengawasan
terhadap
pelaksanaan
kebijakan nasional, peraturan daerah, dan peraturan kepala daerah.
h. Mengembangkan dan menerapkan instrumen lingkungan hidup.
i.
Mengembangkan
dan
melaksanakan
kebijakan
pengaduan
masyarakat.
j.
2.
Menetapkan standar pelayanan minimal.
Pemerintah Provinsi
a. Menetapkan kebijakan tingkat provinsi.
b. Menetapkan dan melaksanakan KLHS tingkat provinsi.
c. Menetapkan dan melaksanakan kebijakan mengenai amdal dan UKLUPL.
d. Melakukan
kebijakan,
pembinaan
peraturan
dan
pengawasan
daerah,
dan
terhadap
peraturan
pelaksanaan
kepala
daerah
kabupaten/kota.
e. Mengembangkan dan menerapkan instrumen lingkungan hidup.
f.
Melakukan pembinaan,
bantuan teknis,
dan pengawasan kepada
kabupaten/kota di bidang program dan kegiatan.
g. Melaksanakan standar pelayanan minimal.
3.
Pemerintah Kabupaten/Kota
a. Menetapkan kebijakan tingkat kabupaten/kota.
b. Menetapkan dan melaksanakan KLHS tingkat kabupaten/kota.
c. Menetapkan dan melaksanakan kebijakan mengenai amdal dan UKLUPL.
d. Mengembangkan dan menerapkan instrumen lingkungan hidup.
e. Melaksanakan standar pelayanan minimal.
7.1.1.
Kajian Lingkungan Hidup Stratregis (KLHS)
Menurut UU No. 32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup, Kajian Lingkungan Hidup Strategis, yang selanjutnya
disingkat KLHS, adalah rangkaian analisis yang sistematis, menyeluruh, dan
partisipatif
untuk
memastikan bahwa prinsip pembangunan berkelanjutan
telah menjadi dasar dan terintegrasi dalam pembangunan suatu wilayah dan/atau
kebijakan, rencana, dan/atau program. KLHS perlu diterapkan di dalam RPI2-JM
antara lain karena:
1. RPI2-JM membutuhkan kajian aspek
lingkungan dalam perencanaan
pembangunan infrastruktur.
2. KLHS dijadikan sebagai alat kajian lingkungan dalam RPI2-JM adalah
karena
RPI2-JM
bidang
Cipta
Karya
berada
pada
tataran
Kebijakan/Rencana/Program. Dalam hal ini, KLHS menerapkan prinsipprinsip
kehati-hatian,
dimana
kebijakan,
rencana
dan/atau program
menjadi garda depan dalam menyaring kegiatan pembangunan yang
berpotensi mengakibatkan dampak negatif terhadap lingkungan hidup
KLHS disusun oleh Tim Satgas RPI2-JM Kabupaten/Kota dengan
dibantu oleh Badan Pengelola Lingkungan Hidup Daerah sebagai instansi
yang memiliki tugas dan fungsi terkait langsung dengan perlindungan dan
pengelolaan lingkungan hidup di kota/kabupaten. Koordinasi penyusunan KLHS
antar instansi diharapkan dapat mendorong terjadinya transfer pemahaman
mengenai
pentingnya penerapan
prinsip
perlindungan
dan pengelolaan
lingkungan hidup untuk mendorong terjadinya pembangunan berkelanjutan.
Tahapan Pelaksanaan KLHS
Tahapan
pelaksanaan
KLHS
diawali
dengan
penapisan
usulan
rencana/program dalam RPI2-JM per sektor dengan mempertimbang-kan
isu-isu pokok seperti (1) perubahan iklim, (2) kerusakan, kemerosotan,
dan/atau kepunahan keanekaragaman hayati, (3) peningkatan intensitas dan
cakupan wilayah bencana banjir, longsor, kekeringan, dan/atau kebakaran
hutan dan lahan, (4) penurunan mutu dan kelimpahan sumber daya alam,
(5) peningkatan alih fungsi kawasan hutan dan/atau lahan, (6) peningkatan
jumlah
penduduk miskin
atau
terancamnya
keberlanjutan
penghidupan
sekelompok masyarakat; dan/atau (7) peningkatan risiko terhadap kesehatan
dan keselamatan
rencana/program
manusia.
yang
Isu-isu
disusun
dampak terhadap isu-isu tersebut.
tersebut
teridentifikasi
menjadi
kriteria
menimbulkan
apakah
resiko
atau
Gambar 10.1. Diagram Alir Pentahapan Pelaksanaan KLHS
Tahap 1 dilakukan dengan penapisan (screening)
Tahap ke-2 setelah penapisan terdapat dua kegiatan. Jika melalui
proses penapisan di atas tidak teridentifikasi bahwa rencana/program dalam
RPI2-JM
tidak
berdasarkan
berpengaruh
Permen
terhadap
Lingkungan
kriteria
Hidup
No.
penapisan
9/2011
di
atas maka
tentang Pedoman
Umum KLHS, Tim Satgas RPI2-JM Kabupaten/Kota dapat menyertakan
Surat
Pernyataan
bahwa
KLHS
tidak
perlu
dilaksanakan, dengan
ditandatangani oleh Ketua Satgas RPI2-JM dengan persetujuan BPLHD, dan
dijadikan lampiran dalam dokumen RPI2-JM.
Namun,
jika
teridentifikasi
bahwa
rencana/program
dalam
RPI2-JM
berpengaruh terhadap kriteria penapisan di atas maka Satgas RPI2-JM didukung
dinas lingkungan hidup (BPLHD) dapat menyusun KLHS dengan tahapan
sebagai berikut:
1. Pengkajian
Pengaruh
KRP
terhadap
Kondisi
Lingkungan
Hidup
di
Wilayah Perencanaan, dilaksanakan melalui 4 (empat) tahapan sebagai
berikut:
a. Identifikasi Masyarakat dan Pemangku Kepentingan Lainnya Tujuan
identifikasi masyarakat dan pemangku kepentingan adalah:
Menentukan secara tepat pihak-pihak yang akan dilibatkan dalam
pelaksanaan KLHS;
Menjamin diterapkannya azas partisipasi yang diamanatkan UU No.
32
Tahun
2009
Lingkungan Hidup;
tentang
Perlindungan
dan Pengelolaan
Menjamin
bahwa
hasil
perencanaan
dan
evaluasi kebijakan,
rencana dan/atau program memperoleh legitimasi atau penerimaan
oleh publik;
Agar masyarakat dan pemangku kepentingan mendapatkan akses
untuk
menyampaikan
informasi,
saran,
pendapat, dan
pertimbangan tentang pembangunan berkelanjutan melalui proses
penyelenggaraan KLHS
Tabel 10.1. Proses Identifikasi Pemangku Kepentingan dan Masyarakat
dalam Penyusunan KLHS
Sumber : Dit.Bina Program Ditjend. Cipta Karya Kemen PU, 2014
b. Identifikasi Isu Pembangunan Berkelanjutan
Tujuan identifikasi isu pembangunan berkelanjutan:
penetapan isu-isu pembangunan berkelanjutan yang meliputi aspek
sosial, ekonomi, dan lingkungan hidup atau keterkaitan antar ketiga
aspek tersebut;
pembahasan fokus terhadap isu signifikan; dan
membantu penentuan capaian tujuan pembangunan berkelanjutan.
c. Identifikasi Kebijakan/Rencana/Program (KRP)
d. Kajian Pengaruh KRP terhadap Kondisi Lingkungan Hidup di Suatu
Wilayah
2. Perumusan Alternatif Penyempurnaan KRP
Tujuan perumusan alternatif penyempurnaan kebijakan, rencana, dan/atau
program untuk mengembangkan berbagai alternatif perbaikan muatan KRP
dan menjamin pembangunan berkelanjutan. Setelah dilakukan kajian, dan
disepakati bahwa kebijakan, rencana dan/atau program yang dikaji potensial
memberikan dampak negatif pada
pembangunan
berkelanjutan,
maka
dikembangkan beberapa alternatif untuk menyempurnakan rancangan atau
merubah kebijakan, rencana dan/atau program yang ada. Beberapa alternatif
untuk
menyempurnakan
dan
atau
mengubah
rancangan
KRP
mempertimbangkan antara lain:
a. Memberikan arahan atau rambu-rambu mitigasi terkait dengan kebijakan,
rencana,
dan/atau
dampak
lingkungan
program
yang diperkirakan
akan
menimbulkan
atau bertentangan dengan kaidah pembangunan
berkelanjutan.
b. Menyesuaikan ukuran,
skala,
dan lokasi usulan kebijakan, rencana,
dan/atau program.
c. Menunda, memperbaiki urutan, atau mengubah prioritas pelaksanaan
kebijakan, rencana, dan/atau program.
d. Mengubah kebijakan, rencana, dan/atau program.
3. Rekomendasi Perbaikan KRP dan Pengintegrasian Hasil KLHS
Untuk Kabupaten/Kota yang telah menyusun dan memiliki dokumen KLHS
RTRW Kabupaten/Kota, maka hasil olahan di dalam KLHS tersebut dapat
dijadikan bahan masukan bagi kajian perlindungan lingkungan dalam RPI2JM. KLHS merupakan instrumen lingkungan yang diterapkan pada tataran
rencana-program.
instrumen
yang
Sedangkan pada tataran kegiatan
lebih
tepat
diterapkan
adalah
Amdal,
atau keproyekan,
UKL-UPL.
Dan
SPPLH. Tabel 10.8 menjelaskan beberapa perbedaan antara KLHS dan AMDAL.
7.1.1. Amdal, UKL-UPL, dan SPPLH
Pengelompokan atau kategorisasi proyek mengikuti ketentuan yang
telah ditetapkan dalam Peraturan Menteri Lingkungan Hidup No. 5 tahun
2012 tentang jenis rencana usaha dan/atau kegiatan Wajib AMDAL dan
Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No. 10 Tahun 2008 Tentang Penetapan
Jenis Rencana Usaha Dan/Atau Kegiatan Bidang Pekerjaan Umum yang
Wajib Dilengkapi dengan Upaya Pengelolaan Lingkungan Hidup dan Upaya
Pemantauan Lingkungan Hidup, yaitu: (1) Proyek wajib AMDAL; (2) Proyek tidak
wajib AMDAL tapi wajib UKL-UPL; (3) Proyek tidak wajib UKL-UPL tapi SPPLH
Tabel 10.2. Perbedaan Instrumen KLHS dan AMDAL
Jenis Kegiatan Bidang Cipta Karya dan batasan kapasitasnya yang wajib
dilengkapi dokumen AMDAL diperlihatkan pada tabel 10.3.
Jenis Kegiatan Bidang Cipta Karya yang kapasitasnya masih di
bawah batas menjadikannya tidak wajib dilengkapi dokumen AMDAL tetapi
wajib dilengkapi dengan dokumen UKL-UPL. Jenis kegiatan bidang Cipta
karya dan batasan kapasitasnya yang wajib dilengkapi dokumen UKL-UPL
tercermin dalam tabel 10.4
Tabel 10.3. Penapisan Rencana Kegiatan Wajib AMDAL
Tabel 7.4. Penapisan Rencana Kegiatan Wajib AMDAL Tapi Wajib UKL-UPL
Jenis Kegiatan Bidang
Cipta Karya yang kapasitasnya masih di
bawah batas wajib dilengkapi dokumen UKL-UPL menjadikannya tidak wajib
dilengkapi
dokumen
UKL-UPL
tetapi
wajib
dilengkapi
dengan
Surat
Pernyataan Kesanggupan Pengelolaan dan Pemantauan Lingkungan Hidup
(SPPLH).
7.1
Aspek Sosial
Aspek sosial terkait dengan pengaruh pembangunan infrastruktur
bidang
Cipta
pembangunan,
Karya
kepada
maupun
pasca
masyarakat
pada
taraf
perencanaan,
pembangunan/pengelolaan.
Pada
taraf
perencanaan, pembangunan infrastruktur permukiman seharusnya menyentuh
aspek-aspek sosial yang terkait dan sesuai dengan isu-isu yang marak saat
ini,
seperti
Sedangkan
pengentasan
pada
saat
kemiskinan
serta pengarusutamaan
pembangunan kemungkinan
gender.
masyarakat
terkena
dampak sehingga diperlukan proses konsultasi, pemindahan penduduk dan
pemberian kompensasi, maupun permukiman kembali. Kemudian pada pasca
pembangunan
atau pengelolaan perlu diidentifikasi apakah keberadaan
infrastruktur bidang Cipta
Karya
tersebut
membawa
manfaat
atau
peningkatan taraf hidup bagi kondisi sosial ekonomi masyarakat sekitarnya.
Dasar
peraturan
perundang-undangan
yang
memperhatikan aspek sosial adalah sebagai berikut:
menyatakan
perlunya
1. UU
No.
17/2007
tentang
Rencana
Pembangunan
Jangka Panjang
Nasional
a. Dalam rangka pembangunan berkeadilan, pembangunan sosial juga
dilakukan
dengan
memberi
perhatian
yang
lebih
besar pada
kelompok masyarakat yang kurang beruntung, termasuk masyarakat
miskin dan masyarakat yang tinggal di wilayah terpencil, tertinggal,
dan wilayah bencana.
b. Penguatan kelembagaan dan jaringan pengarusutamaan gender dan
anak di tingkat nasional dan daerah, termasuk ketersediaan data dan
statistik gender.
2. UU No. 2/2012 tentang Pengadaan UU No. 2/2012 tentang Pengadaan
Lahan bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum:
Pasal
3:
Pengadaan
Tanah
untuk
Kepentingan
Umum
bertujuan
menyediakan tanah bagi pelaksanaan pembangunan guna meningkatkan
kesejahteraan dan kemakmuran bangsa, negara, dan masyarakat dengan
tetap menjamin kepentingan hukum Pihak yang Berhak.
3. Peraturan Presiden No. 5/2010 tentang Rencana Pembangunan Jangka
Menengah Nasional Tahun 2010-2014:
a. Perbaikan kesejahteraan rakyat dapat diwujudkan melalui sejumlah
program
pembangunan
penciptaan
bidang
kesempatan
pendidikan,
untuk
kerja,
penanggulangan kemiskinan
termasuk peningkatan
kesehatan,
dan
program
di
dan percepatan pembangunan
infrastruktur dasar.
b. Untuk mewujudkan keadilan dan kesetaraan gender, peningkatan
akses
dan
partisipasi
perempuan
dalam pembangunan harus
dilanjutkan.
4. Peraturan Presiden No. 15/2010 tentang Percepatan penanggulangan
Kemiskinan
Pasal 1: Program penanggulangan kemiskinan adalah kegiatan yang
dilakukan
oleh
pemerintah,
pemerintah
daerah
dunia usaha,
serta
masyarakat untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat miskin melalui
bantuan
sosial,
pemberdayaan masyarakat,
pemberdayaan
usaha
ekonomi
mikro
dan
kecil, serta
program
lain
dalam
rangka
meningkatkan kegiatan ekonomi.
5. Instruksi Presiden No. 9 Tahun 2000 tentang Pengarusutamaan Gender
dalam Pembangunan Nasional
Menginstruksikan kepada Menteri untuk melaksanakan pengarusutamaan
gender guna terselenggaranya perencanaan, penyusunan,
pelaksanaan,
pemantauan, dan evaluasi atas kebijakan dan program pembangunan
nasional yang berperspektif gender sesuai dengan bidang tugas dan
fungsi, serta kewenangan masing-masing.
Tugas
dan
wewenang
pemerintah
pusat,
pemerintah
provinsi,
dan
pemerintah kabupaten/kota terkait aspek sosial bidang Cipta Karya adalah:
1. Pemerintah Pusat:
a. Menjamin tersedianya tanah untuk kepentingan umum yang bersifat
strategis nasional ataupun bersifat lintas provinsi.
b. Menjamin
tersedianya
pendanaan
untuk
kepentingan
umum
yangbersifat strategis nasional ataupun bersifat lintas provinsi.
c. Meningkatkan
kesejahteraan
masyarakat
miskin
melalui bantuan
sosial, pemberdayaan masyarakat, pemberdayaan usaha mikro dan
kecil,
serta
program
lain
dalam
rangka meningkatkan kegiatan
ekonomi di tingkat pusat.
d. Melaksanakan
pengarusutamaan
gender
guna terselenggaranya
perencanaan, penyusunan, pelaksanaan, pemantauan, dan evaluasi
atas kebijakan dan program pembangunan nasional berperspektif
gender, khususnya untuk bidang Cipta Karya.
2. Pemerintah Provinsi:
a. Menjamin tersedianya tanah untuk kepentingan umum yang bersifat
regional ataupun bersifat lintas kabupaten/kota.
b. Menjamin tersedianya pendanaan untuk kepentingan umum yang
bersifat regional ataupun bersifat lintas kabupaten/kota.
c. Meningkatkan
kesejahteraan
masyarakat
miskin
melalui bantuan
sosial, pemberdayaan masyarakat, pemberdayaan usaha mikro dan
kecil,
serta
program
lain
dalam
rangka meningkatkan kegiatan
ekonomi di tingkat provinsi.
d. Melaksanakan
pengarusutamaan
gender
guna terselenggaranya
perencanaan, penyusunan, pelaksanaan, pemantauan, dan evaluasi
atas
kebijakan
dan
program pembangunan
di
tingkat
provinsi
berperspektif gender, khususnya untuk bidang Cipta Karya.
3. Pemerintah Kabupaten/Kota:
a. Menjamin
tersedianya
tanah
untuk
kepentingan
umum
di
kabupaten/kota.
b. Menjamin
tersedianya
pendanaan
untuk
kepentingan
umum
di
kabupaten/kota.
c. Meningkatkan
kesejahteraan
masyarakat
miskin
melalui bantuan
sosial, pemberdayaan masyarakat, pemberdayaan usaha mikro dan
kecil, serta program lain dalam rangka peningkatan ekonomi di tingkat
kabupaten/kota.
d. Melaksanakan
pengarusutamaan
gender
guna terselenggaranya
perencanaan, penyusunan, pelaksanaan, pemantauan, dan evaluasi
atas kebijakan dan program pembangunan di tingkat kabupaten/kota
berperspektif gender, khususnya untuk bidang Cipta Karya.
i.
Aspek Sosial pada Perencanaan Pembangunan Bidang Cipta
Karya
1. Kemiskinan
Aspek sosial pada perencanaan pembangunan bidang Cipta Karya
diharapkan mampu melengkapi kajian perencanaan teknis sektoral. Salah
satu aspek yang perlu ditindak-lanjuti adalah isu kemiskinan sesuai dengan
kebijakan internasional MDGs dan Agenda Pasca 2015, serta arahan kebijakan
pro rakyat sesuai direktif presiden.Menurut standar BPS terdapat 14 kriteria
yang
dipergunakan untuk menentukan keluarga/rumah tangga dikategorikan
miskin, yaitu:
1. Luas lantai bangunan tempat tinggal kurang dari 8 m2 per orang.
2. Jenis lantai tempat tinggal terbuat dari tanah/bambu/kayu murahan.
3. Jenis
dinding
tempat
tinggal
dari
bambu/rumbia/kayu
berkualitas
rendah/tembok tanpa diplester.
4. Tidak memiliki fasilitas buang air besar/bersama-sama dengan rumah
tangga lain.
5. Sumber penerangan rumah tangga tidak menggunakan listrik.
6. Sumber air minum berasal dari sumur/mata air tidak terlindung/sungai/air
hujan.
7. Bahan
bakar
untuk
memasak
sehari-hari
adalah
kayu
bakar/arang/minyak tanah.
8. Hanya mengkonsumsi daging/susu/ayam satu kali dalam seminggu.
9. Hanya membeli satu stel pakaian baru dalam setahun.
10. Hanya sanggup makan sebanyak satu/dua kali dalam sehari.
11. Tidak sanggup membayar biaya pengobatan di puskesmas/poliklinik.
12. Sumber penghasilan kepala rumah tangga adalah: petani dengan luas
lahan 500 m2, buruh tani, nelayan, buruh bangunan, buruh perkebunan
dan atau pekerjaan lainnya dengan pendapatan dibawah Rp. 600.000,per bulan.
13. Pendidikan tertinggi kepala rumah tangga: tidak sekolah/tidak tamat
SD/hanya SD.
14. Tidak memiliki tabungan / barang yang mudah dijual dengan minimal
Rp. 500.000,- seperti sepeda motor kredit / non kredit, emas, ternak,
kapal motor, atau barang modal lainnya.
Jika minimal 9 variabel terpenuhi maka suatu rumah tangga dikategorikan
sebagai rumah tangga miskin.
2. Pengarusutamaan Gender
Selain
itu
aspek
yang
perlu
diperhatikan
adalah
responsivitas
kegiatan pembangunan bidang Cipta Karya terhadap gender. Saat ini telah
kegiatan responsif gender bidang Cipta Karya meliputi Program Nasional
Pemberdayaan
Masyarakat
(PNPM)
Mandiri
Perkotaan, Neighborhood
Upgrading and Shelter Sector Project (NUSSP), Pengembangan Infrasruktur
Sosial
Ekonomi
Wilayah
(PISEW), Penyediaan Air Minum dan Sanitasi
Berbasia Masyarakat (PAMSIMAS),Program
Pembangunan
Infrastruktur
Perdesaan (PPIP), Rural Infrastructure Support (RIS) to PNPM, Sanitasi
Berbasis Masyarakat (SANIMAS), Rencana Tata Bangunan dan Lingkungan
(RTBL), dan Studi Evaluasi Kinerja Program Pemberdayaan Masyarakat
bidang Cipta Karya.
ii.
Aspek Sosial
pada Pelaksanaan
Pembangunan
Bidang Cipta
Karya
Pelaksanaan pembangunan bidang Cipta Karya secara lokasi, besaran
kegiatan, dan durasi berdampak terhadap masyarakat. Untuk meminimalisir
terjadinya konflik dengan masyarakat penerima dampak maka perlu dilakukan
beberapa
langkah
pemberian
antisipasi,
kompensasi
untuk
seperti
tanah
konsultasi, pengadaan
lahan
dan
dan bangunan, serta permukiman
kembali.
1. Konsultasi masyarakat
Konsultasi masyarakat diperlukan untuk memberikan informasi kepada
masyarakat, terutama kelompok masyarakat yang mungkin terkena
dampak
akibat pembangunan bidang Cipta Karya di wilayahnya. Hal ini sangat
penting untuk menampung aspirasi mereka berupa pendapat, usulan serta
saran-saran
untuk
bahan pertimbangan
dalam
proses
perencanaan.
Konsultasi masyarakat perlu dilakukan pada saat persiapan program bidang
Cipta Karya, persiapan AMDAL dan pembebasan lahan.
2. Pengadaan lahan dan pemberian kompensasi untuk tanah dan
bangunan
Kegiatan pengadaan tanah dan kewajiban pemberian kompensasi atas
tanah dan bangunan terjadi jika kegiatan pembangunan bidang cipta
karya
berlokasi di atas tanah yang bukan milik pemerintah atau telah ditempati oleh
swasta/masyarakat selama lebih dari satu tahun. Prinsip utama pengadaan
tanah adalah bahwa semua langkah yang diambil harus dilakukan untuk
meningkatkan, atau memperbaiki, pendapatan dan standar kehidupan warga
yang terkena dampak akibat kegiatan pengadaan tanah ini.
3. Permukiman kembali penduduk (resettlement)
Seluruh
proyek
yang
memerlukan
mempertimbangkan
adanya
sejak
proyek. Bilamana
tahap
awal
kemungkinan
pengadaan
pemukiman
lahan
harus
kembali penduduk
pemindahan penduduk
tidak
dapat
dihindarkan, rencana pemukiman kembali harus dilaksanakan sedemikian
rupa
sehingga
penduduk
yang terpindahkan
mendapat
peluang
ikut
menikmati manfaat proyek. Hal ini termasuk mendapat kompensasi yang
wajar
atas kerugiannya,
pembangunan kembali
serta
bantuan
dalam
pemindahan
dan
kehidupannya di lokasi yang baru. Penyediaan
lahan, perumahan, prasarana dan kompensasi lain bagi penduduk yang
dimukimkan jika diperlukan dan sesuai persyaratan.
iii.
Aspek Sosial pada Pasca Pelaksanaan Pembangunan Bidang
Cipta Karya
Output
kegiatan
pembangunan
memberi manfaat bagi masyarakat.
bidang
Cipta
Karya
seharusnya
Manfaat tersebut diharapkan minimal
dapat terlihat secara kasat mata dan secara sederhana dapat terukur,
seperti kemudahan mencapai lokasi pelayanan infrastruktur, waktu tempuh
yang
menjadi
lebih
singkat,
hingga
pengurangan
biaya yang
harus
dikeluarkan oleh penduduk untuk mendapatkan akses pelayanan tersebut.
Selainituaspek
yang
perludiperhatikanadalahresponsivitaskegiatanpembangunanbidangCiptaKaryater
hadap gender.Saatinitelahkegiatanresponsif gender bidangCiptaKaryameliputi
Program
NasionalPemberdayaanMasyarakat
Neighborhood
Upgrading
and
Shelter
(PNPM)
Sector
MandiriPerkotaan,
Project
(NUSSP),
PengembanganInfrasrukturSosialEkonomi Wilayah (PISEW), Penyediaan Air
MinumdanSanitasiBerbasiaMasyarakat (PAMSIMAS), Program Pembangunan
InfrastrukturPerdesaan (PPIP), Rural Infrastructure Support (RIS) to PNPM,
SanitasiBerbasisMasyarakat
BangunandanLingkungan
(SANIMAS),
(RTBL),
Rencana
Tata
danStudiEvaluasiKinerja
Program
PemberdayaanMasyarakatbidangCiptaKarya.
Menindaklanjutihaltersebutmakadiperlukansuatupemetaanawaluntukmengetahuib
entukresponsif
gender
darimasing-masingkegiatan,
manfaat,
hinggapermasalahan yang timbulsebegaipembelajaran di masadatang di daerah.
PelaksanaanpembangunanbidangCiptaKaryasecaralokasi,
besarankegiatan,
dandurasiberdampakterhadapmasyarakat.Untukmeminimalisirterjadinyakonflikde
nganmasyarakatpenerimadampakmakaperludilakukanbeberapalangkahantisipasi
,
sepertikonsultasi,
pengadaanlahandanpemberiankompensasiuntuktanahdanbangunan,
sertapermukimankembali.
Permasalahan yang perludiantisipasi di masadatang :
1.
Konsultasi
memberikan
masyarakat
informasi
Konsultasi
kepada
masyarakat
masyarakat,
diperlukan
terutama
untuk
kelompok
masyarakat yang mungkin terkena dampak akibat pembangunan bidang
Cipta Karya di wilayahnya. Hal ini sangat penting untuk menampung
aspirasi mereka berupa pendapat, usulan serta saran-saran untuk bahan
pertimbangan dalam proses perencanaan. Konsultasi masyarakat perlu
dilakukan pada saat persiapan program bidang Cipta Karya, persiapan
AMDAL dan pembebasan lahan
2.
Pengadaan lahan dan pemberian kompensasi untuk tanah dan
bangunan. Kegiatan pengadaan tanah dan kewajiban pemberian
kompensasi atas tanah dan bangunan terjadi jika kegiatan pembangunan
bidang cipta karya berlokasi di atas tanah yang bukan milik pemerintah
atau telah ditempati oleh swasta/masyarakat selama lebih dari satu
tahun. Prinsip utama pengadaan tanah adalah bahwa semua langkah
yang diambil harus dilakukan untuk meningkatkan, atau memperbaiki,
pendapatan dan standar kehidupan warga yang terkena dampak akibat
kegiatan pengadaan tanah ini.
3.
Permukiman kembali penduduk (resettlement). Seluruh proyek yang
memerlukan
pengadaan
lahan
harus
mempertimbangkan
adanya
kemungkinan pemukiman kembali penduduk sejak tahap awal proyek.
Bilamana pemindahan penduduk tidak dapat dihindarkan, rencana
pemukiman kembali harus dilaksanakan sedemikian rupa sehingga
penduduk yang terpindahkan mendapat peluang ikut menikmati manfaat
proyek. Hal ini termasuk mendapat kompensasi yang wajar atas
kerugiannya, serta bantuan dalam pemindahan dan pembangunan
kembali
kehidupannya
di
lokasi
yang
baru.
Penyediaan
lahan,
perumahan, prasarana dan kompensasi lain bagi penduduk yang
dimukimkan jika diperlukan dan sesuai persyaratan.
4.
Output kegiatan pembangunan bidang Cipta Karya seharusnya memberi
manfaat bagi masyarakat. Manfaat tersebut diharapkan minimal dapat
terlihat secara kasat mata dan secara sederhana dapat terukur, seperti
kemudahan mencapai lokasi pelayanan infrastruktur, waktu tempuh yang
menjadi lebih singkat, hingga pengurangan biaya yang harus dikeluarkan
oleh penduduk untuk mendapatkan akses pelayanan tersebut.