Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Pertanggungjawaban Atas Kerusakan Lingkungan Hidup Akibat Perang Berdasarkan Perspektif Hukum Humaniter Internasional T1 312012075 BAB I

(1)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah

The enviroment has always been a silent casualty of conflict.1 Kerusakan lingkungan hidup akibat perang bukan merupakan fakta baru dalam dunia internasional. Lingkungan hidup sebagai penunjang keberlangsungan kehidupan kerapkali menjadi salah satu target pemusnahan ataupun menerima dampak sampingan saat perang, dengan dalih mencapai keuntungan militer. Sejarah mencatat bahwa manusia mengalami penderitaan yang berkepanjangan akibat rusaknya lingkungan hidup saat perang berlangsung dan dampaknya pasca perang berakhir.

Kerusakan lingkungan hidup tersebut bervariasi, mulai dari tercemarnya air laut dan sumber-sumber mata air tawar, rusaknya hutan, tanah yang menjadi beracun akibat senjata kimia, hewan-hewan terbunuh, serta rusaknya sumber-sumber daya alam yang esensial. Penyebabnya adalah penggunaan senjata, metode atau taktik dalam perang, baik secara sengaja ataupun tidak sengaja, tidak menempatkan lingkungan hidup pada posisi yang seharusnya dilindungi pada saat perang, sebagaimana dikehendaki dalam hukum nasional maupun hukum internasional.

1

United Nations Enviroment Programme (UNEP), From Conflict to Peace Building: The Role of Natural Resources and the Enviroment, Februari 2009, (Selanjutnya disingkat UNEP I) h.15.


(2)

Perang Dunia I merupakan awal perang modern yang menggunakan senjata kimia sebagai senjata pemusnah masal, dan berakibat luas bagi manusia dan lingkungan. Tahun 1925 Protokol Jenewa telah hadir sebagai sebuah upaya perlindungan hukum internasional yang melarang penggunaan senjata kimia yang berbahaya bagi lingkungan dan manusia. Meskipun demikian, pada Perang Dunia II, Perang Vietnam, serta Perang Teluk I dan II, penggunaan senjata kimia yang terhadap lingkungan hidup tetap saja tidak dapat terelakkan.

Perang Teluk I dan II tercatat dalam sejarah dunia sebagai salah satu konflik bersenjata internasional yang memiliki implikasi luar biasa terhadap lingkungan hidup dan manusia. Tergambar dari laporan World Health Organization (WHO) yang menyatakan bahwa bahwa “After The First Gulf War the absorption of air pollutant has increased by 705 percent in Baghdad which is more than 887 percent.” Pada Perang Teluk II, kebakaran minyak Kuwait menyebabkan masalah global dan berbahaya bagi kesehatan manusia. Asap membumbung hingga 1-4 kilometer menyebabkan polusi udara besar-besaran, serta terhalangnya sinar matahari. Asap hitam tersebut menyebabkan hujan hitam yang menjangkau sampai ke negara-negara lain, seperti Uni Emirat Arab, Iran, Turki, Suriah dan Afganistan.2

Hal serupa terjadi saat Perang Vietnam berlangsung. Perang yang terjadi antara Vietnam Utara dan Vietnam Selatan, yang kemudian melibatkan negara-negara lain, termasuk Amerika Serikat, diketahui telah menggunakan senjata kimia dan senjata penghancur lainnya, yang salah satunya adalah senjata kimia yang disebut sebagai orange agent (agen oranye). Pasukan Amerika Serikat

2

en.wikipedia.org/wiki/Environmental_impact_of_Gulf_wars, dikunjungi pada tanggal 7 April 2015 Pukul. 14:05.


(3)

menggunakan lebih dari 20 juta galon herbisida untuk mengundulkan hutan-hutan sepanjang perbatasan situs militer, dan memusnahkan tanaman musuh.3 Selama Perang Vietnam, hampir 72 juta liter dioxin4 yang mengandung defoliant orange agent (zat kimia penggundul hutan) disemprotkan ke atas hutan-hutan Vietnam, sebagai akibatnya semua tanaman dilucuti dari seluruh daerah tersebut. Bahkan, hingga hari ini ada beberapa area tetap tidak cocok untuk pertanian.5 Fakta lain tentang kerusakan lingkungan adalah konflik bersenjata antara Israel dan Lebanon di tahun 2006. Kira-kira 12.000-15.000 ton minyak dilepaskan ke Laut Mediterania setelah bom kilang minyak Jiyeh, dan menyebabkan kerusakan ekosistem laut yang luar biasa.6 Fakta-fakta ini menunjukan bahwa, lingkungan hidup berada pada posisi tidak aman, rawan untuk dirusak secara sengaja maupun tidak sengaja, dengan tujuan untuk menundukan lawan dan memenangkan perang. Hukum Humaniter Internasional atau International Humanitarian Law (selanjutnya disebut HHI) hadir sebagai salah satu upaya yang bisa dilakukan untuk meminimalisir atau mengurangi dampak buruk dari perang atau dengan kata lain “memanusiawikan” perang. HHI didefinisikan sebagai the branch of international law limiting the use of violence in armed conflict by : 7

a) Sparing those who do not or no longer directly participate in hostilities;

b) Restricting it to the amout necessary to achieve the aim of the conflict, which – independently of the causes fought for – can only be to weaken the military potential of the enemy.

3

en.m.wikipedia.org, dikunjungi pada tanggal 16 Februari 2015 Pukul 20.07. 4

US Department of Veteran Affairs. (2003). “Agent Orange: Information for veterans who served in Vietnam.” Retrieved July 2008, http://www1.va.gov./agentorange/docs/AOIB10-49JUL03.pdf.

5

UNEP I, Op.Cit, h. 15. 6

United Nations Enviroment Programme (UNEP), Protection the Enviroment During Armed Conflict : An Inventory and Analysis of International Law, November 2009, (selanjutnya disingkat UNEP II) h. 8.

7


(4)

Berdasarkan definisi di atas, tujuan pokok dari kehadiran HHI bukan sebagai kitab hukum yang mengatur “permainan perang”, melainkan untuk alasan-alasan perikemanusiaaan guna mengurangi atau membatasi penderitaan setiap individu yang terlibat, serta untuk membatasi kawasan di dalam mana kebiasaan perang diizinkan.8

Menurut J.G. Starke, kaidah dalam HHI adalah mengikat bukan saja terhadap negara-negara; melainkan terhadap individu-individu, termasuk anggota angkatan bersenjata, kepala negara, menteri-menteri, dan pejabat-pejabat lain. Juga kaidah-kaidah hukum tersebut perlu mengikat terhadap pasukan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang terlibat dalam suatu konflik militer, terutama karena PBB adalah subyek hukum internasional dan terikat oleh seluruh kaidah hukum internasional, di mana HHI merupakan bagian daripadanya.9

Berdasar pada perspektif HHI, tidak semua konflik bersenjata dapat dikategorikan sebagai perang. Konflik bersenjata dibedakan atas 2 (dua) yaitu konflik bersenjata non-internasional dan konflik bersenjata internasional. Suatu konflik dapat dikategorikan sebagai konflik bersenjata non-internasional, dalam hal terjadi dua kondisi seperti berikut ini:10

a) any situation where, within a State’s territory, clear and unmistakable hostilities break out between the armed forces and organized armed groups;

b) any situation where dissident forces are organized under the leadership of a responsible command and exercise such control over a part of the territory as to enable them to conduct sustained and concerted military operations (intensive fighting).

8

J.G.Starke (Terjemahan oleh Bambang Iriana Djajaatmadja, S.H.), Pengantar Hukum Internasional Edisi Kesepuluh II, Sinar Grafika, Jakarta, 1998, h. 728.

9Ibid., h. 729. 10

International Committee of the Red Cross, Basic Rules of the Geneva Conventions and Their Additional Protocols, Geneva, September 1983, h. 52.


(5)

Dengan kata lain, konflik bersenjata non-internasional tidak melibatkan atau tidak memberikan ruang intervensi bagi negara lain (di luar negara yang berkonflik), namun konflik terjadi antara pemerintah dengan kelompok bersenjata tertentu yang dimaknai sebagai pemberontak.

Dalam hal konflik bersenjata internasional, terdiri dari 3 unsur yaitu: (i) melibatkan dua negara atau lebih; (ii) salah satu negara melakukan intervensi dengan mengirimkan pasukan bersenjata atau lainnya; (iii) beberapa orang dalam konflik bersenjata yang melakukan aksinya mengatasnamakan negara lainnya.11 Dalam konteks HHI, penggunaan istilah “perang” merujuk pada konflik bersenjata internasional yang pihak-pihaknya bertujuan untuk saling melumpuhkan tanpa ada iktikad perdamaian.

Berkaitan dengan itu, dapat dilihat definisi perang yang dikemukakan oleh

Karl von Clausewitz yang menyatakan perang sebagai perjuangan skala besar yang bertujuan untuk menundukkan lawannya demi memenuhi kehendaknya. Sejalan dengan pernyataan Clausewitz, dalam kasus Driefontein Consolidated Gold Mines v. Janson, Hall mengemukakan definisi perang, yakni:12

“apabila perselisihan antara negara-negara mencapai suatu titik di mana kedua belah pihak berusaha untuk memaksa, atau salah satu dari mereka melakukan tindakan kekerasan, yang dipandang oleh pihak lain sebagai suatu pelanggaran perdamaian, maka terjadi hubungan perang, di mana pihak-pihak yang bertempur satu sama lain dapat menggunakan kekerasan sesuai dengan peraturan, sampai salah satu dari mereka menerima syarat-syarat sebagaimana yang dikehendaki oleh musuhnya.”

11

Putusan Mahkamah ICTY, kasus Prosecutor v.Brdanin, nomor: IT-99-36-T, para. 124.

12


(6)

Mendukung pernyataan di atas mengenai persoalan suatu perselisihan atau permusuhan dapat dikatakan sebagai suatu keadaan perang atau hanya suatu permusuhan non-perang, Starke mengemukakan tiga unsur penentu, yakni: 13

(a) dimensi konflik, artinya konflik yang terlokalisasi atau terbatas belum dapat diartikan sebagai perang;

(b) maksud-maksud dari para kontestan, berarti bahwa apakah maksud dari para kontestan yang terlibat perang hanya menyangkut para pihak itu saja atau berpengaruh terhadap negara-negara lain. Selain itu maksud para kontestan dapat juga berarti pernyataan tentang keadaan perang;

(c) sikap dan reaksi-reaksi dari pihak yang bukan kontestan, ini berkaitan dengan anggapan dari negara yang bukan kontestan karena hak-hak dan kepentingan mereka. Negara-negara bukan kontestan dapat memutuskan dan mengakui bahwa mereka terlibat perang, atau membuat suatu pernyataan netralitas.

Berdasarkan konsep perang yang dikemukakan di atas, dapat diketahui bahwa perang menyangkut konflik yang melibatkan lebih dari satu negara dengan tindakan kekerasan dan terutama melibatkan angkatan bersenjata. Pengakuan tentang keadaan perang, baik dari negara-negara yang terlibat maupun tidak terlibat menjadi salah satu unsur penentu apakah suatu konflik bersenjata dapat dikategorikan sebagai perang atau bukan perang. Sehingga, istilah ‘perang’ yang digunakan dalam penelitian ini dibatasi pada pemahamann yang merujuk konflik bersenjata internasional.

Perang pada dasarnya menggunakan kekerasan dalam bentuk dan cara beragam yang bertujuan untuk melumpuhkan musuh. Lingkungan hidup pun menjadi sasaran empuk untuk dihancurkan terlebih dahulu, agar manusia yang hidup dan mengantungkan hidup pada lingkungan bisa ditaklukkan dengan lebih mudah. Selain itu, serangan terhadap obyek militer lain dapat berdampak bagi

13Ibid


(7)

keberlangsungan lingkungan hidup. Disinilah letak pentingnya norma dan prinsip HHI yang memberikan batasan-batasan kepada para pihak yang berperang dalam mengaplikasikan taktik, metode atau alat perangnya agar tetap melindungi lingkungan hidup.

Dalam sumber-sumber HHI dikenal prinsip-prinsip hukum internasional yang harus ditaati selama perang berlangsung, misalnya prinsip proporsionalitas (the principle of proportionality) dan prinsip pembedaan (the principle of distinction). Prinsip proporsionalitas menjadi salah satu asas yang mendasari ketentuan dalam Statuta Roma Pasal 8 ayat (2) (b) (iv), yang menyebutkan bahwa:

Intentionally launching an attack in the knowledge that such attack will cause incidental loss of life or injury to civillians or damage to civilian objects or widespread, long-term, and severe damage to the natural enviroment which would be clearly excessive in relation to be concrete and direct overall millitary advantange anticipated.

Ketentuan ini memberikan ukuran tentang keadaan rusaknya lingkungan hidup, yakni jika terjadi kerusakan yang meluas (widespread), berjangka panjang (long-term), dan dahsyat (severe) terhadap lingkungan hidup dan tidak proporsional jika dibandingkan dengan keuntungan militer yang diperoleh.

Prinsip pembedaan membatasi para pihak yang terlibat konflik bersenjata untuk melakukan penyerangan hanya terhadap obyek-obyek militer (millitary objectives). Adapun tolak ukur yang digunakan untuk menentukan suatu obyek, apakah termasuk obyek militer atau bukan termuat dalam Pasal 52 ayat (2) Protokol Tambahan I, yang berbunyi:

“Attack shall be limited strictly to military objectives. In so far as objects are concerned, military objectives are limited to those objects which by their nature, location, purpose or use make an


(8)

effective contribution to military action and whose total or partial destruction, capture or neutralization, in the circumstances ruling at the time, offers definite military advantage.”

Secara implisit, prinsip proporsionalitas dan prinsip pembedaan yang mewarnai norma-norma dalam Statuta Roma dan Protokol Tambahan I memberikan pemahaman bahwa lingkungan hidup adalah obyek yang harus dilindungi dalam perang.

Kesadaran pentingnya lingkungan semakin tumbuh dan berkembang seiring dengan kemajuan penggunaan metode, taktik atau alat perang yang berbahaya bagi lingkungan dan manusia. Sehingga secara eksplisit rumusan norma atau ketentuan yang memberikan perlindungan terhadap lingkungan hidup kemudian dimuat dalam Pasal 35 ayat (3) dan Pasal 55 Protokol Tambahan I.

Pasal 35 ayat (3) Bagian III tentang Methods and Means of Warefare Combatant and Prisoner-Of-War Status Protokol Tambahan I mencantumkan bahwa “it is prohibited to employ methods or means of warfare which are intended, or may be expected, to cause widespread, long-term, and severe damage to the natural enviroment.” Ketentuan ini menegaskan larangan untuk menggunakan metode atau alat perang yang menyebabkan kerusakan lingkungan, entah dikarenakan sebuah serangan yang disengaja maupun tidak sengaja. Selanjutnya Pasal 55 Protokol Tambahan I mengatur tentang perlindungan terhadap lingkungan hidup yang berbunyi:

(1) Care shall be taken in warfare to protect natural enviroment against widespread, long-term, and severe damage. This protection includes a prohibition of the use of methods or means of warfare which are intended or may be expected to cause such damage to the natural enviroment and thereby to the prejudice the health or survival of the population.


(9)

(2) Attacks against the natural enviroment by way of reprisals are prohibited.

Melengkapi larangan Pasal 35 ayat (3), Pasal 55 Protokol Tambahan I memasukkan prinsip kehati-hatian dalam rangka melindungi lingkungan hidup dari serangan yang bahkan tidak dimaksudkan untuk menghancurkan lingkungan hidup. Ayat (2) menambahkan bahwa melakukan penyerangan terhadap lingkungan sebagai bentuk pembalasan adalah sebuah pelanggaran hukum.

Jika dilihat dari ketentuan di atas, Statuta Roma menggolongkan serangan secara sengaja terhadap lingkungan hidup pada saat perang, dengan kerusakan yang berdampak meluas, berjangka panjang dan dahsyat, sebagai bagian dari kejahatan perang. Kejahatan perang merupakan salah satu bagian dari tindak pidana internasional yang menimbulkan sebuah konsekuensi logis dalam hukum, yakni pertanggungjawaban.

HHI menekankan pertanggungjawaban pidana secara individu berdasarkan Pasal 25 Statuta Roma. Meskipun demikian, Pasal 25 ayat (4) Statuta Roma menyebutkan bahwa “no provisions in this Statute, relating to individual responsibility shall affect the responsibility of State under international law”. Ketentuan ini berisi pengaturan bahwa tanggung jawab individu tidak serta merta mempengaruhi tanggung jawab negara berdasarkan hukum internasional. Hal ini menggiring pada pemahaman bahwa pelanggaran terhadap prinsip-prinsip HHI menyebabkan dua pertanggungjawaban, yakni individu dan negara.

Pertanggungjawaban negara merupakan asas dasar hukum internasional yang terlahir dari bentuk sistem hukum internasional serta doktrin kedaulatan


(10)

negara dan doktrin persamaan antara negara-negara.14 Pertanggungjawaban negara menetapkan bahwa setiap kali suatu negara melakukan tindakan yang melawan hukum internasional terhadap negara lain, maka pertanggungjawaban internasional wajib ditegakkan di antara keduanya. Pelanggaran kewajiban internasional akan menimbulkan kewajiban untuk melakukan tindakan perbaikan.15

Persoalannya adalah HHI sebagai bagian dari hukum pidana hanya mengatur tentang bentuk pertanggungjawaban oleh individu secara pidana di hadapan International Criminal Court (ICC). Sedangkan selama ini, sekalipun pernah ada pertanggungjawaban negara terhadap suatu tindakan pelanggaran tertentu namun belum didasarkan pada suatu hukum tertulis yang mengikat negara-negara sebagai subyek hukum internasional. Akibatnya muncul pertanyaan-pertanyaan hukum yang bahkan tidak bisa dijawab melalui hukum tertulis yang komprehensif. Sebagai contoh, dalam hal seperti apakah negara dan individu sama-sama bertanggung jawab atas suatu pelanggaran? Khususnya dalam hal kerusakan lingkungan hidup, apakah negara dapat bertanggung jawab secara langsung sebelum adanya putusan pengadilan yang tetap? Atau bentuk pertanggungjawaban negara seperti apa yang sebenarnya disediakan oleh hukum internasional? Ketiadaan norma yang komprehensif tentu saja berakibat pada ketidakpastian hukum dan bahkan tidak terjaminnya keadilan sebagai tujuan dari hukum itu sendiri.

Dilatarbelakangi oleh masalah ini, penulis berpendapat bahwa isu hukum mengenai pertanggungjawaban individu dan negara berdasarkan persepektif HHI,

14

Malcolm N. Shaw QC, Hukum Internasional (International Law), terjemahan oleh Derta Sri Widowatie et.al. Nusa Media, Bandung, 2013 (selanjutnya disingkat Malcolm I), h. 772.


(11)

dalam hal terjadi kerusakan lingkungan hidup akibat perang menjadi penting untuk diteliti melalui sebuah penelitian hukum dan disusun secara komprehensif dalam sebuah penulisan hukum yang bersifat ilmiah.

1.2. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah di atas, dirumuskan isu hukum sebagai rumusan masalah, yakni: apa bentuk pertanggungjawaban terhadap kerusakan lingkungan akibat perang berdasarkan perspektif Hukum Humaniter Internasional?

1.3. Tujuan Penelitian

Dilihat dari rumusan masalah tersebut, maka penulis merumuskan tujuan penelitian hukum terbagi atas:

a.Tujuan umum

Tujuan umumnya adalah untuk mengetahui apa saja bentuk pertanggungjawaban yang bisa dilakukan baik individu maupun negara terhadap kerusakan lingkungan akibat perang dalam perspektif HHI.

b.Tujuan khusus

1) Menjelaskan kejahatan perusakan lingkungan hidup dalam perang sebagai salah satu bentuk dari kejahatan perang (war crime) dan Internationally Wrongfull Acts.

2) Menguraikan hubungan keterkaitan antara individu dan negara dalam hal pertanggungjawaban berdasarkan persektif HHI;


(12)

3) Menemukan bentuk pertanggungjawaban dalam hal terjadi kerusakan lingkungan hidup akibat perang dalam HHI.

1.4. Manfaat Penelitian

Adapun ketika penelitian dan penulisan hukum ini telah selesai, penulis berharap bahwa tulisan ini dapat bermanfaat bagi pengembangan Hukum Internasional, terlebih khususnya di bidang HHI. Penulis berharap bahwa penelitian ini bukan hanya bermanfaat pada tataran teoritis tapi juga secara praktis. Dalam tataran teoritis, penelitian hukum ini bermanfaat untuk memperkaya dan memperluas wawasan hukum mengenai HHI dan bentuk pertanggungjawaban dalam HHI. Selain itu pada tataran praktisnya, penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat untuk menjadi suatu rujukan ketika diperhadapkan dalam persoalan tentang tanggung jawab individu dan negara ketika konflik bersenjata internasional terjadi.

1.5. Metode Penelitian

Dalam melakukan penelitian dan penulisan hukum ini, penulis berfokus pada metode penelitian yang digunakan adalah metode penelitian pendekatan konseptual (conceptual approach)16. Kajian dilakukan dengan melakukan penelitian terhadap bahan hukum primer dan sekunder seperti buku-buku, jurnal-jurnal internasional khususnya di bidang HHI, doktrin-doktrin dalam artikel

16

Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, 2013, h. 137.


(13)

ilmiah baik melalui hardcopy atau softcopy, internet, kamus, serta segala sesuatu yang masih berkaitan erat dengan topik ini, salah satunya Draft Articles on Responsibility of State for Internationally Wrongful Act yang dikeluarkan International Law Commission (ILC). Meskipun demikian, penulis juga melakukan penelitian dengan pendekatan terhadap pendapat hakim dalam putusan-putusan terdahulu, serta pendekatan perundang-undangan (statutes approach)17, dengan kajian terhadap berbagai statuta, konvensi atau perjanjian internasional yang berlaku dalam HHI, yaitu: Statuta Roma 1998, Protokol Tambahan I Tahun 1977, dan Konvensi ENMOD 1976.

Dengan demikian, penelitian ini pun melakukan metode analisis kualitatif, yaitu dengan melakukan penemuan hukum atau analisis hukum melalui bahan-bahan kepustakaan.

17Ibid


(1)

effective contribution to military action and whose total or partial destruction, capture or neutralization, in the circumstances ruling at the time, offers definite military

advantage.”

Secara implisit, prinsip proporsionalitas dan prinsip pembedaan yang mewarnai norma-norma dalam Statuta Roma dan Protokol Tambahan I memberikan pemahaman bahwa lingkungan hidup adalah obyek yang harus dilindungi dalam perang.

Kesadaran pentingnya lingkungan semakin tumbuh dan berkembang seiring dengan kemajuan penggunaan metode, taktik atau alat perang yang berbahaya bagi lingkungan dan manusia. Sehingga secara eksplisit rumusan norma atau ketentuan yang memberikan perlindungan terhadap lingkungan hidup kemudian dimuat dalam Pasal 35 ayat (3) dan Pasal 55 Protokol Tambahan I.

Pasal 35 ayat (3) Bagian III tentang Methods and Means of Warefare

Combatant and Prisoner-Of-War Status Protokol Tambahan I mencantumkan bahwa “it is prohibited to employ methods or means of warfare which are intended, or may be expected, to cause widespread, long-term, and severe damage to the natural enviroment.” Ketentuan ini menegaskan larangan untuk menggunakan metode atau alat perang yang menyebabkan kerusakan lingkungan, entah dikarenakan sebuah serangan yang disengaja maupun tidak sengaja. Selanjutnya Pasal 55 Protokol Tambahan I mengatur tentang perlindungan terhadap lingkungan hidup yang berbunyi:

(1) Care shall be taken in warfare to protect natural enviroment

against widespread, long-term, and severe damage. This protection includes a prohibition of the use of methods or means of warfare which are intended or may be expected to cause such damage to the natural enviroment and thereby to the prejudice the health or survival of the population.


(2)

(2) Attacks against the natural enviroment by way of reprisals are prohibited.

Melengkapi larangan Pasal 35 ayat (3), Pasal 55 Protokol Tambahan I memasukkan prinsip kehati-hatian dalam rangka melindungi lingkungan hidup dari serangan yang bahkan tidak dimaksudkan untuk menghancurkan lingkungan hidup. Ayat (2) menambahkan bahwa melakukan penyerangan terhadap lingkungan sebagai bentuk pembalasan adalah sebuah pelanggaran hukum.

Jika dilihat dari ketentuan di atas, Statuta Roma menggolongkan serangan secara sengaja terhadap lingkungan hidup pada saat perang, dengan kerusakan yang berdampak meluas, berjangka panjang dan dahsyat, sebagai bagian dari kejahatan perang. Kejahatan perang merupakan salah satu bagian dari tindak pidana internasional yang menimbulkan sebuah konsekuensi logis dalam hukum, yakni pertanggungjawaban.

HHI menekankan pertanggungjawaban pidana secara individu berdasarkan Pasal 25 Statuta Roma. Meskipun demikian, Pasal 25 ayat (4) Statuta Roma menyebutkan bahwa “no provisions in this Statute, relating to individual responsibility shall affect the responsibility of State under international law”. Ketentuan ini berisi pengaturan bahwa tanggung jawab individu tidak serta merta mempengaruhi tanggung jawab negara berdasarkan hukum internasional. Hal ini menggiring pada pemahaman bahwa pelanggaran terhadap prinsip-prinsip HHI menyebabkan dua pertanggungjawaban, yakni individu dan negara.

Pertanggungjawaban negara merupakan asas dasar hukum internasional yang terlahir dari bentuk sistem hukum internasional serta doktrin kedaulatan


(3)

negara dan doktrin persamaan antara negara-negara.14 Pertanggungjawaban negara menetapkan bahwa setiap kali suatu negara melakukan tindakan yang melawan hukum internasional terhadap negara lain, maka pertanggungjawaban internasional wajib ditegakkan di antara keduanya. Pelanggaran kewajiban internasional akan menimbulkan kewajiban untuk melakukan tindakan

perbaikan.15

Persoalannya adalah HHI sebagai bagian dari hukum pidana hanya mengatur tentang bentuk pertanggungjawaban oleh individu secara pidana di

hadapan International Criminal Court (ICC). Sedangkan selama ini, sekalipun

pernah ada pertanggungjawaban negara terhadap suatu tindakan pelanggaran tertentu namun belum didasarkan pada suatu hukum tertulis yang mengikat negara-negara sebagai subyek hukum internasional. Akibatnya muncul pertanyaan-pertanyaan hukum yang bahkan tidak bisa dijawab melalui hukum tertulis yang komprehensif. Sebagai contoh, dalam hal seperti apakah negara dan individu sama-sama bertanggung jawab atas suatu pelanggaran? Khususnya dalam hal kerusakan lingkungan hidup, apakah negara dapat bertanggung jawab secara langsung sebelum adanya putusan pengadilan yang tetap? Atau bentuk pertanggungjawaban negara seperti apa yang sebenarnya disediakan oleh hukum internasional? Ketiadaan norma yang komprehensif tentu saja berakibat pada ketidakpastian hukum dan bahkan tidak terjaminnya keadilan sebagai tujuan dari hukum itu sendiri.

Dilatarbelakangi oleh masalah ini, penulis berpendapat bahwa isu hukum mengenai pertanggungjawaban individu dan negara berdasarkan persepektif HHI,

14

Malcolm N. Shaw QC, Hukum Internasional (International Law), terjemahan oleh Derta Sri Widowatie et.al. Nusa Media, Bandung, 2013 (selanjutnya disingkat Malcolm I), h. 772.


(4)

dalam hal terjadi kerusakan lingkungan hidup akibat perang menjadi penting untuk diteliti melalui sebuah penelitian hukum dan disusun secara komprehensif dalam sebuah penulisan hukum yang bersifat ilmiah.

1.2. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah di atas, dirumuskan isu hukum sebagai rumusan masalah, yakni: apa bentuk pertanggungjawaban terhadap kerusakan

lingkungan akibat perang berdasarkan perspektif Hukum Humaniter

Internasional?

1.3. Tujuan Penelitian

Dilihat dari rumusan masalah tersebut, maka penulis merumuskan tujuan penelitian hukum terbagi atas:

a.Tujuan umum

Tujuan umumnya adalah untuk mengetahui apa saja bentuk pertanggungjawaban yang bisa dilakukan baik individu maupun negara terhadap kerusakan lingkungan akibat perang dalam perspektif HHI.

b.Tujuan khusus

1) Menjelaskan kejahatan perusakan lingkungan hidup dalam perang

sebagai salah satu bentuk dari kejahatan perang (war crime) dan

Internationally Wrongfull Acts.

2) Menguraikan hubungan keterkaitan antara individu dan negara


(5)

3) Menemukan bentuk pertanggungjawaban dalam hal terjadi kerusakan lingkungan hidup akibat perang dalam HHI.

1.4. Manfaat Penelitian

Adapun ketika penelitian dan penulisan hukum ini telah selesai, penulis berharap bahwa tulisan ini dapat bermanfaat bagi pengembangan Hukum Internasional, terlebih khususnya di bidang HHI. Penulis berharap bahwa penelitian ini bukan hanya bermanfaat pada tataran teoritis tapi juga secara praktis. Dalam tataran teoritis, penelitian hukum ini bermanfaat untuk memperkaya dan memperluas wawasan hukum mengenai HHI dan bentuk pertanggungjawaban dalam HHI. Selain itu pada tataran praktisnya, penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat untuk menjadi suatu rujukan ketika diperhadapkan dalam persoalan tentang tanggung jawab individu dan negara ketika konflik bersenjata internasional terjadi.

1.5. Metode Penelitian

Dalam melakukan penelitian dan penulisan hukum ini, penulis berfokus pada metode penelitian yang digunakan adalah metode penelitian pendekatan

konseptual (conceptual approach)16. Kajian dilakukan dengan melakukan

penelitian terhadap bahan hukum primer dan sekunder seperti buku-buku, jurnal-jurnal internasional khususnya di bidang HHI, doktrin-doktrin dalam artikel

16


(6)

ilmiah baik melalui hardcopy atau softcopy, internet, kamus, serta segala sesuatu

yang masih berkaitan erat dengan topik ini, salah satunya Draft Articles on

Responsibility of State for Internationally Wrongful Act yang dikeluarkan International Law Commission (ILC). Meskipun demikian, penulis juga melakukan penelitian dengan pendekatan terhadap pendapat hakim dalam

putusan-putusan terdahulu, serta pendekatan perundang-undangan (statutes

approach)17, dengan kajian terhadap berbagai statuta, konvensi atau perjanjian internasional yang berlaku dalam HHI, yaitu: Statuta Roma 1998, Protokol Tambahan I Tahun 1977, dan Konvensi ENMOD 1976.

Dengan demikian, penelitian ini pun melakukan metode analisis kualitatif, yaitu dengan melakukan penemuan hukum atau analisis hukum melalui bahan-bahan kepustakaan.

17Ibid


Dokumen yang terkait

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Pertanggungjawaban Atas Kerusakan Lingkungan Hidup Akibat Perang Berdasarkan Perspektif Hukum Humaniter Internasional T1 312012075 BAB II

0 0 33

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Pertanggungjawaban Atas Kerusakan Lingkungan Hidup Akibat Perang Berdasarkan Perspektif Hukum Humaniter Internasional T1 312012075 BAB IV

0 0 5

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Pertanggungjawaban Atas Kerusakan Lingkungan Hidup Akibat Perang Berdasarkan Perspektif Hukum Humaniter Internasional

0 0 12

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Jaminan Deposito Atas Kredit Berdokumen dalam Perdagangan Internasional T1 312009015 BAB I

0 0 22

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Perspektif Hukum Nasional Indonesia dan Hukum Internasional Mengenai Kebebasan Beragama T1 312008032 BAB I

0 0 10

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Perspektif Hukum Nasional Indonesia dan Hukum Internasional Mengenai Kebebasan Beragama T1 312008032 BAB II

0 0 44

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Perspektif Hukum Nasional Indonesia dan Hukum Internasional Mengenai Kebebasan Beragama T1 312008032 BAB IV

0 0 4

T1__BAB I Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Analisis Perceraian Perkawinan WNA yang Dilangsungkan di Luar Negeri Berdasarkan Hukum Perdata Internasional di Indonesia T1 BAB I

0 0 19

BAB II KEJAHATAN PERANG DAN PENGATURANNYA DALAM HUKUM HUMANITER - PENEMBAKAN PESAWAT MH-17 DITINJAU DARI PERSPEKTIF HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL Repository - UNAIR REPOSITORY

0 0 31

BAB III PENEGAKAN HUKUM ATAS KEJAHATAN PERANG 3.1 Tanggung Jawab atas Kejahatan Perang 3.1.1 Pertanggungjawaban negara - PENEMBAKAN PESAWAT MH-17 DITINJAU DARI PERSPEKTIF HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL Repository - UNAIR REPOSITORY

0 0 21