EFEK VITAMIN A TOPIKAL TERHADAP KEPADATAN SEL GOBLET KONJUNGTIVA PASCA SMALL INCISION CATARACT SURGERY.

(1)

TESIS

EFEK VITAMIN A TOPIKAL TERHADAP

KEPADATAN SEL GOBLET KONJUNGTIVA PASCA

SMALL INCISION CATARACT SURGERY

ETIKA WIDHIASTUTI

PROGRAM PASCA SARJANA

UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR

2016


(2)

i

TESIS

EFEK VITAMIN A TOPIKAL TERHADAP

KEPADATAN SEL GOBLET KONJUNGTIVA PASCA

SMALL INCISION CATARACT SURGERY

ETIKA WIDHIASTUTI NIM 1114128101

PROGRAM MAGISTER

PROGRAM STUDI ILMU BIOMEDIK

PROGRAM PASCA SARJANA

UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR


(3)

ii

EFEK VITAMIN A TOPIKAL TERHADAP

KEPADATAN SEL GOBLET KONJUNGTIVA PASCA

SMALL INCISION CATARACT SURGERY

Tesis untuk Memperoleh Gelar Magister pada Program Magister, Program Studi Ilmu Biomedik,

Program Pascasarjana Universitas Udayana

ETIKA WIDHIASTUTI NIM 1114128101

PROGRAM MAGISTER

PROGRAM STUDI ILMU BIOMEDIK

PROGRAM PASCA SARJANA

UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR


(4)

iii

Lembar Pengesahan

TESIS INI TELAH DISETUJUI PADA TANGGAL : 4 April 2016

Pembimbing I, Pembimbing II,

Prof. dr. N.K. Niti Susila, SpM(K) dr. Ariesanti Tri Handayani, SpM(K)

NIP. 194506051971062001 NIP. 197604062009122001


(5)

iv

Tesis Ini Telah Diuji pada

Tanggal21 April 2016

Panitia Penguji Berdasarkan SK Rektor Universitas Udayana, No: 1846/UN14.4/HK/2016 Tanggal 21 April 2016

Ketua : Prof. dr. N.K. Niti Susila, SpM(K)

Sekretaris : dr. Ariesanti Tri Handayani, SpM(K)

1. Prof.Dr.dr. I Gede Raka Widiana, SpPD-KGH 2. dr. Made Agus Kusumadjaja, SpM(K)


(6)

(7)

vi

UCAPAN TERIMA KASIH

Pertama-tama perkenankanlah penulis memanjatkan puji syukur kepada Allah SWT atas berkah-Nya sehingga tesis ini dapat terselesaikan. Penulis menyadari sepenuhnya tesis ini tidak mungkin dapat diselesaikan tanpa bantuan dari berbagai pihak. Pada kesempatan ini, penulis dengan setulus hati menghaturkan rasa terima kasih yang tak terhingga kepada Rektor Universitas Udayana Prof. Dr. dr. Ketut Suastika, Sp.PD-KEMD dan Dekan Fakultas Kedokteran Udayana, Prof. Dr. dr. Putu Astawa, Sp.OT(K), M.Kes yang telah memberikan kesempatan dan fasilitas untuk mengikuti dan menyelesaikan Program Magister Pascasarjana dan Program Pendidikan Dokter Spesialis 1 Bagian Ilmu Kesehatan Mata di Universitas Udayana.

Ucapan yang sama juga ditujukan kepada Direktur Program Pascasarjana Universitas Udayana, Prof. Dr. dr. A.A. Raka Sudewi, Sp.S(K) atas kesempatan dan fasilitas yang diberikan sebagai mahasiswa Program Pascasarjana Universitas Udayana. Ucapan terima kasih ini juga ditujukan kepada Ketua Program Studi

Ilmu Biomedik, Dr. dr. Gde Ngurah Indraguna Pinatih, M.Sc, Sp.GK yang telah

memberikan kesempatan untuk mengikuti pendidikan Program Studi Ilmu

Biomedik kekhususan Combined Degree. Tidak lupa pula penulis ucapkan terima

kasih kepada Direktur RSUP Sanglah Denpasar, dr. Anak Ayu Saraswati, M.Kes atas kesempatan dan fasilitas yang diberikan dalam menjalani Program Pendidikan Dokter Spesialis 1 di Bagian Ilmu Kesehatan Mata.


(8)

vii

Pada kesempatan ini, penulis juga menyampaikan rasa terima kasih kepada Kepala Bagian Ilmu Kesehatan Mata Fakultas Kedokteran Universitas Udayana, dr. Putu Budhiastra, Sp.M(K) dan Ketua Program Studi Ilmu Kesehatan Mata Fakultas Kedokteran Universitas Udayana, dr. A.A.A. Sukartini Djelantik, Sp.M(K) yang telah memberikan kesempatan mengikuti pendidikan spesialisasi dan memberikan bimbingan selama menjalani pendidikan spesialisasi. Ungkapan terima kasih penulis sampaikan pula kepada Prof. dr. N.K. Niti Susila, Sp.M(K), selaku pembimbing I dan dr. Ariesanti Tri Handayani, Sp.M(K), selaku pembimbing II yang telah meluangkan waktu, memberikan petunjuk dan pengarahan sejak awal penulisan sampai dapat menyelesaikan tesis ini. Penulis juga mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya kepada Prof. Dr. dr. I Gede Raka Widiana, Sp.PD-KGH, dr. Made Agus Kusumadjaja, Sp.M(K), Dr. dr. A.A. Mas Putrawati Triningrat, Sp.M(K), selaku penguji yang selalu memberikan saran, masukan, bimbingan dan koreksi hingga terselesaikannya tesis ini.

Pada kesempatan ini penulis menyampaikan ucapan terima kasih kepada Direktur RS Bali Mandara, dr. Ni Made Yuniti, MM dan dr. I.G.N. Made Sugiana Sp.M(K) sebagai Kepala SMF Mata RS Bali Mandara, atas kesempatan dan fasilitas yang diberikan untuk melaksanakan penelitian di RS Bali Mandara Provinsi Bali. Juga penulis ucapkan terima kasih kepada dr. Ni Wayan Winarti, Sp.PA dan dr. Ni Putu Ekawati, M.Repro, Sp.PA serta seluruh petugas laboratorium Patologi Anatomi RSUP Sanglah atas izin dan kerjasamanya dalam pemeriksaan spesimen penelitian. Penulis menyampaikan ucapan terima kasih yang tulus disertai penghargaan kepada seluruh Konsulen Ilmu Kesehatan Mata


(9)

viii

serta dosen Pascasarjana Program Studi Ilmu Biomedik Combined Degree atas

segala bimbingannya, seluruh teman sejawat residen di Bagian Ilmu Kesehatan Mata Fakultas Kedokteran Universitas Udayana atas bantuan dan kerjasamanya selama ini, serta seluruh paramedik di Poliklinik Mata RS Bali Mandara atas kerjasamanya dalam pengumpulan sampel penelitian.

Rasa syukur dan sujud kepada Ayahanda dan Ibunda penulis Drs. H. Sumirgo M.Pd, dan Hj. Yurianti S.Pd, yang telah memberikan bekal pendidikan yang cukup, motivasi dan semangat kepada penulis. Ayahanda dan Ibunda Mertua H. Odang Erawan, BA dan Hj. Yoyoh Atikah, terima kasih atas dorongannya selama ini. Akhirnya kepada suami tercinta Predi Tridiansah, ST, M.Si, Ananda tersayang Narapati Azarael Sahwi atas dorongan semangat dan dukungan selama penulis menyelesaikan pendidikan dan penelitian ini.

Semoga tesis ini memberikan manfaat dan sumbangan yang berguna bagi perkembangan pelayanan kesehatan mata serta bagi pendidikan IImu Kesehatan Mata. Terakhir, semoga Allah SWT, selalu melimpahkan rahmat-Nya kepada kita semua.

Denpasar, April 2016


(10)

ix

ABSTRAK

EFEK VITAMIN A TOPIKAL TERHADAP KEPADATAN SEL GOBLET KONJUNGTIVA PASCA SMALL INCISION CATARACT SURGERY

Teknik Small Incision Cataract Surgery (SICS) dapat menyebabkan dry

eye. Air mata buatan dengan kandungan vitamin A dapat membantu pertumbuhan

normal sel, diferensiasi, dan memelihara sel goblet konjungtiva. Penelitian ini dilakukan untuk menggambarkan efek vitamin A topikal terhadap kepadatan sel goblet konjungtiva pasca SICS.

Metoda penelitian ini adalah uji klinis Pre dan Post Design dengan

perluasan Randomized, Double Blind Pre and Posttest Control Group Design di

RS Bali Mandara Provinsi Bali periode September 2015-Januari 2016. Sebanyak 38 pasien dibagi menjadi dua kelompok yaitu 19 pasien kelompok perlakuan yang diberikan vitamin A topikal dan 19 pasien kelompok kontrol yang diberikan plasebo. Pengambilan spesimen sitologi impresi dilakukan sebelum SICS, setelah SICS dan 4 minggu setelah intervensi. Pemeriksaan sitologi impresi dikerjakan di laboratorium PA RSUP Sanglah. Rerata sebelum dan sesudah tindakan SICS

dihitung dengan uji-t untuk 2 kelompok berpasangan. Selisih sebelum dan

sesudah perlakuan pada masing-masing kelompok dihitung dengan uji-t untuk 2 kelompok tidak berpasangan.

Rerata kepadatan sel goblet konjungtiva sebelum SICS sebesar 15,5±13,4 sel/10 HPF dan setelah dilakukan SICS sebesar 15,7±12,7 sel/10 HPF. Rerata selisih kepadatan sel goblet konjungtiva sebelum dan setelah intervensi, pada kelompok perlakuan sebesar 0,2±11,7 sel/10 HPF dan kelompok kontrol sebesar -10,2±8,1 sel/10 HPF. Beda rerata kepadatan sel goblet konjungtiva antara kedua kelompok sebesar 10,4±3,2 sel/10 HPF.

Rerata kepadatan sel goblet konjungtiva antara sebelum dan sesudah SICS tidak didapatkan perbedaan bermakna. Rerata selisih kepadatan sel goblet konjungtiva antara kedua kelompok intervensi pasca SICS ditemukan perbedaan bermakna secara statistik.


(11)

x

ABSTRACT

EFFECTS OF TOPICAL VITAMIN A ON CONJUNCTIVAL GOBLET CELL DENSITY AFTER SMALL INCISION CATARACT SURGERY

Small Incision Cataract Surgery (SICS) can cause dry eye. Artificial tears containing vitamin A may help normal cell growth, differentiation and maintaining of the conjunctival goblet cells. This study described the effects of topical vitamin A on the conjunctival goblet cell density after SICS.

This study is a randomized clinical trial with pre and post design expanded with double blind pre and post-test control group design in Bali Mandara Hospital on September 2015-January 2016. A total of 38 patients were divided into two groups; 19 patients were given topical vitamin A and 19 patients were given placebo. Impression cytology specimen was obtained before SICS, after SICS and 4 weeks after intervention. Impression cytology was examined in Pathological Anatomy laboratorium of Sanglah hospital. Mean density of goblet cells before and after SICS were calculated using paired t-test. The difference before and after intervention in each group were calculated using independent t-test.

Mean density of conjunctival goblet cells before SICS was 15.5±13.4 cells/10 HPF and after SICS was 15.7±12.7 cells/10 HPF. Mean difference in conjunctival goblet cells density before and after SICS in the intervention group was 0.2±11.7 cells/10 HPF and in the control group was -10.2±8.1 cells/10 HPF. The mean difference between the two groups was 10.4±3.2 cells/10 HPF.

Mean conjunctival goblet cells density difference before and after SICS was found to be not statistically significant. The mean difference of conjunctival goblet cells density between two groups after intervention was found to be statistically significant.


(12)

xi

DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL ... i

PRASYARAT GELAR ... ii

LEMBAR PENGESAHAN ... iii

PENETAPAN PANITIA PENGUJI ... iv

SURAT PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT... v

UCAPAN TERIMA KASIH ... vi

ABSTRAK ... ix

ABSTRACT ... x

DAFTAR ISI ... xi

DAFTAR TABEL ... xiv

DAFTAR GAMBAR ... xv

DAFTAR SINGKATAN DAN LAMBANG... xvi

DAFTAR LAMPIRAN ... xviii

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Masalah ... 6

1.3 Tujuan ... 7

1.4 Manfaat Penelitian ... 7

1.4.1 Manfaat Teoritis... 7

1.4.2 Manfaat Praktis ... 7

BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Permukaan Okular ... 9

2.1.1 Anatomi Permukaan Okular ... 9

2.1.2 Fungsi dan Komposisi Air Mata ... 12

2.2 Tes Sekresi Air Mata ... 14

2.2.1 Tear Meniskus ... 14

2.2.2 Tear Break-up Time ... 14


(13)

xii

2.2.4 Sitologi Impresi ... 15

2.3 Small Incision Cataract Surgery (SICS) ... 18

2.4 Air Mata Buatan ... 25

BAB III KERANGKA BERPIKIR, KONSEP DAN HIPOTESIS PENELITIAN 3.1 Kerangka Berpikir ... 28

3.2 Konsep ... 29

3.3 Hipotesis ... 30

BAB IV METODE PENELITIAN 4.1 Rancangan Penelitian ... 31

4.2 Tempat dan Waktu Penelitian ... 31

4.3 Populasi dan Sampel Penelitian ... 32

4.3.1 Populasi Penelitian... 32

4.3.2 Sampel Penelitian ... 32

4.3.2.1 Kriteria Inklusi dan Eksklusi ... 32

4.3.2.1.1 Kriteria Inklusi ... 32

4.3.2.1.2 Kriteria Eksklusi ... 32

4.3.2.2 Besar Sampel ... 33

4.3.2.3 Cara Pemilihan Sampel ... 34

4.4 Variabel Penelitian ... 34

4.4.1 Klasifikasi dan Identifikasi Variabel ... 34

4.4.2 Definisi Operasional Variabel ... 35

4.5 Instrumen Penelitian... 38

4.6 Prosedur Penelitian... 38

4.6.1 Tahap Persiapan ... 38

4.6.1.1 Pengacakan ... 38

4.6.1.2 Blinding ... 39

4.6.2 Pelaksanaan Penelitian... 39

4.7 Alur Penelitian ... 41


(14)

xiii

BAB V HASIL PENELITIAN

5.1 Karakteristik Subjek Penelitian ... 44

5.2 Perubahan Kepadatan Sel Goblet Konjungtiva Sebelum dan Sesudah Small Incision Cataract Surgery (SICS) ... 46

5.3 Perubahan Kepadatan Sel Goblet Konjungtiva Sebelum dan Sesudah Intervensi ... 47

BAB VI PEMBAHASAN 6.1 Subjek Penelitian ... 49

6.2 Perubahan Kepadatan Sel Goblet Konjungtiva Sebelum dan Sesudah Small Incision Cataract Surgery (SICS) ... 52

6.3 Perubahan Kepadatan Sel Goblet Konjungtiva Sebelum dan Sesudah Intervensi ... 57

BAB VII SIMPULAN DAN SARAN 7.1 Simpulan ... 62

7.2 Saran ... 62

DAFTAR PUSTAKA ... 63


(15)

xiv

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 2.1 Kriteria Sitologi Impresi Nelson ... 16

Tabel 5.1 Karakteristik dasar subjek penelitian ... 45

Tabel 5.2 Perbedaan Sitologi Impresi sebelum dan sesudah SICS ... 46


(16)

xv

DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 2.1. Gambaran lapisan air mata dan interaksi antar lapisan ... 13

Gambar 2.2. Gambaran sitologi impresi ... 17

Gambar 2.3. Gambaran hasil sitologi impresi ... 18

Gambar 2.4. Insisi pada SICS ... 19

Gambar 2.5. Struktur kimia vitamin A ... 26

Gambar 2.6. Struktur Polyvinyl Pyrrolidone ... 27

Gambar 3.1. Bagan Konsep Penelitian ... 30

Gambar 4.1. Rancangan Penelitian ... 31


(17)

xvi

DAFTAR SINGKATAN DAN LAMBANG

ATD : Aqueos Tear Dysfunction

BAK : Benzalkonium Chloride

COX : Cyclooxigenase

D : Dioptri

DM : Diabetes Melitus

DNA : Deoxyribo Nucleic Acid

EGFR : Epidermal Growth Factor Receptor

HE : Hematoxylin Eosin

HPF : High Power Field

IgA : Immunoglobulin A

IOL : Intra Ocular Lens

IU : International Unit

JK : Jenis kelamin

ml : mililiter

mm : milimeter

mm2 : milimeter persegi

MSICS : Manual Small Incision Cataract Surgery

NSAID : Non Steroid Anti Inflammation Drug

OSDI : Ocular Surface Disease Index

PAS : Periodic Acid Schiff

PNS : Pegawai Negeri Sipil

RS : Rumah Sakit

RSUP : Rumah Sakit Umum Pusat

SB : Simpang Baku

SD : Sekolah Dasar

SICS : Small Incision Cataract Surgery

SKRT-SURKESNAS : Survei Kesehatan Rumah Tangga-Survei Kesehatan Nasional


(18)

xvii

SMP : Sekolah Menengah Pertama

SPSS : Stastical Package for The Social Sciences

TBUT : Tear Break-up Time

TGF-ß1 : Transforming Growth Factor Beta 1

TIO : Tekanan Intra Ocular

USG : Ultrasonography

WHO : World Health Organization

µm : mikrometer


(19)

xviii

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

Lampiran 1 Surat Ijin Penelitian ... 71

Lampiran 2 Surat Keterangan Kelaikan Etik ... 73

Lampiran 3 Penjelasan Penelitian ... 74

Lampiran 4 Lembar Persetujuan Setelah Penjelasan (Informed Consent) ... 77

Lampiran 5 Kuisioner Penelitian ... 78

Lampiran 6 Tabel Randomisasi ... 81

Lampiran 7 Tabel Induk Penelitian ... 82

Lampiran 8 Hasil Tabulasi Kepadatan Sel Goblet Konjungtiva ... 84

Lampiran 9 Langkah-langkah Pengecatan Papanicolau ... 86


(20)

1.1 Latar Belakang

Small Incision Cataract Surgery (SICS) merupakan teknik operasi katarak yang paling efisien dan ekonomis untuk negara-negara berkembang seperti Indonesia. Insisi di bagian konjungtiva, sklera maupun kornea pada teknik SICS serta proses operasi dapat menyebabkan kerusakan di area operasi tersebut. Akibat kerusakan tersebut, sel stem limbal, sel goblet konjungtiva mengurangi sekresi

musin dan akhirnya mengganggu stabilitas lapisan air mata (Ganvit, et al., 2014;

Kavitha, et al., 2012). Integritas permukaan okular sangat dipengaruhi oleh

adanya musin dalam lapisan air mata yang dihasilkan oleh sel goblet konjungtiva. Musin sangat penting dalam menjaga kesehatan permukaan okular, sehingga kelainan sekresi musin sel goblet mengakibatkan kerusakan pada kornea dan konjungtiva (Ganvit, et al., 2014; Zhang S., et al., 2010; Shatos, et al., 2003).

World Health Organization (WHO) memperkirakan bahwa 50% dari total kebutaan di dunia disebabkan oleh katarak, dengan mayoritas kebutaan akibat

katarak ditemukan di negara-negara berkembang (Riaz, et al., 2013). Data Survei

Kesehatan Rumah Tangga-Survei Kesehatan Nasional (SKRT-SURKESNAS) tahun 2001 menunjukkan prevalensi katarak di Indonesia sebesar 4,99%. Prevalensi katarak di Jawa-Bali sebesar 5,48% lebih tinggi dibandingkan dengan daerah Indonesia lainnya. Prevalensi katarak di daerah pedesaan 6,29% lebih


(21)

Small Incision Cataract Surgery (SICS) yaitu teknik operasi katarak

dengan membuat insisi tunnel kornea-sklera. Desain insisi tunnel sklera bervariasi

antara dokter bedah, namun langkah umum teknik ini melibatkan pembuatan flap

konjungtiva sebelum dilakukan permodelan tunnel. Prosedur pembuatan flap

konjungtiva menyebabkan pemutusan ikatan konjungtiva-limbal dan pembebasan jaringan tenon yang dapat mengakibatkan kerusakan arsitektur limbal terutama ketika peritomi limbal luas diperlukan untuk katarak dengan nukleus besar (Yang, et al., 2014). Inflamasi pasca operasi, edema jaringan, penyembuhan luka, astigmatisme, anestesi topikal dengan pengawet seperti benzalkonium chloride (BAK) dan zat toksik lainnya menyebabkan musin kurang hidrofilik sehingga

stabilitas lapisan air mata menurun dan muncul kondisi dry eye (Zhang S., et al.,

2010).

Sel goblet berstruktur besar, oval atau bulat menyerupai sel lemak dan memiliki inti datar, dapat ditemukan di seluruh bagian konjungtiva. Musin yang dihasilkan oleh sel goblet berkontribusi untuk imunitas lokal, sebagai media untuk perlekatan imunoglobulin (IgA) dan lisozim. Musin juga membantu menjaga kebersihan mata. Rangkaian jaring-jaring musin menjadi perangkap sisa-sisa sel, benda asing dan bakteri. Musin juga berperan dalam respon inflamasi (Gillan, 2008; Peters dan Colby, 2008).

Kepadatan sel goblet konjungtiva yang menurun dan adanya perubahan

morfologi sel epitel konjungtiva sering dijumpai pada kondisi dry eye (Bhargava,

et al., 2014). Gangguan permukaan okular menyebabkan epitel normal baik sekresi dan non sekresi mengalami modifikasi sehingga berubah menjadi epitel


(22)

keratin non sekresi yang disebut metaplasia skuamosa. Penurunan kepadatan sel goblet juga terjadi penurunan musin sehingga lapisan air mata tidak stabil dan akibatnya mata menjadi kering. Sel-sel inti kromatin berbentuk ‘snake-like’ dan perubahan lainnya juga terjadi pada sel konjungtiva non sekresi pada pasien

dengan dry eye. Perubahan-perubahan inti sel juga tampak pada orang normal

pengguna lensa kontak. Pemakaian lensa kontak lunak selama beberapa tahun menyebabkan kepadatan sel goblet menurun. Defisiensi komponen akuous terlihat pada keratokonjungtivitis sicca, dimana defisiensi komponen musin terjadi pada kondisi yang menyebabkan hilangnya sel goblet, misalnya disebabkan oleh

trauma kimia, Stevens-Johnson syndrome, hipovitaminosis A, ocular pemphigoid,

Sjogren’s syndrome (Peters dan Colby, 2008; Gillan, 2008). Pengobatan dengan beta-bloker topikal juga menyebabkan penurunan sel goblet. Kepadatan sel goblet konjungtiva dapat menjadi indikator untuk integritas permukaan okular terutama menentukan keparahan keratokonjungtivitis sicca (Peters dan Colby, 2008).

Li X.M. et al. (2007) melaporkan bahwa gejala dry eye meningkat pada

pasien setelah fakoemulsifikasi, skor tear meniskus yang rendah, penurunan tear

break-up time (TBUT), penurunan tes Schirmer 1 dan metaplasia skuamosa yang terdeteksi melalui sitologi impresi. Liu et al. (2002) melaporkan bahwa terjadi

perburukan pada pola lapisan air mata yang signifikan, tear meniskus, TBUT, tes

Schirmer 1 dan pewarnaan fluoresein kornea setelah fakoemulsifikasi. Dilaporkan

oleh Kavitha et al. (2012) bahwa 66,2% pasien mengalami dry eye setelah SICS.

Keadaan dry eye yang dijumpai adalah derajat ringan sebanyak 53,32%, derajat sedang sebanyak 26,6% dan derajat berat sebanyak 20%.


(23)

Golongan fluorokuinolon telah lama digunakan untuk mencegah infeksi pasca operasi karena efek spektrum luas. Pemilihan antibiotika yang tepat, penting untuk mencegah endoftalmitis, yaitu salah satu komplikasi paling merugikan pasca operasi katarak. Beberapa penelitian menyebutkan bahwa fluorokuinolon topikal memiliki efek toksisitas pada sel-sel kornea. Toksisitas kuinolon terhadap

epitel kornea dan konjungtiva berbeda tiap jenisnya (Han, et al., 2014; Watanabe,

et al., 2010).

Sejumlah penelitian eksperimental dan klinis telah membandingkan toksisitas beberapa antibiotik golongan kuinolon yang berbeda, namun hasilnya tidak konsisten (Han, et al., 2014). Kim S. et al. (2007) melaporkan bahwa

levofloxacin (Cravit®) adalah kurang toksik dibandingkan moxifloxacin

(Vigamox®) saat diberikan pada kultur epitel kornea manusia lebih dari 2 jam.

Tsai T. et al. (2010) menginkubasi sel epitel kornea manusia dengan

fluorokuinolon yang berbeda (norfloxacin, ciprofloxacin, ofloxacin, levofloxacin, moxifloxacin dan gatifloxacin), dengan menggunakan obat mata komersial dan melaporkan bahwa levofloxacin dan ofloxacin menunjukkan toksisitas yang lebih rendah. Beberapa peneliti menganggap toksisitas fluorokuinolon adalah akibat dari pengawet dan bukan dari fluorokuinolon itu sendiri (Han, et al., 2014).

Watanabe et al. (2010) membandingkan moxifloxacin dan levofloxacin tanpa

pengawet pada mata sehat yang diberikan tiga kali per hari dan melaporkan tidak

terdapat perbedaan pada TBUTdan tampilan morfologi dari epitel kornea, stroma


(24)

Perhatian utama dokter mata setelah ekstraksi katarak selain inflamasi adalah resiko infeksi mata. Infeksi luka operasi dan endoftalmitis pasca operasi relatif jarang, tetapi merupakan peristiwa yang sangat merusak, dan oleh karena itu dibutuhkan antibiotik profilaksis pada operasi katarak (Russo, et al., 2005). Kombinasi neomisin, polimiksin dan deksametason telah dibuktikan sejak tahun 1964 untuk mengatasi inflamasi karena efek spektrum luas dan murah. Kortikosteroid topikal masih menjadi andalan manajemen pasca ekstraksi katarak. Kortikosteroid topikal mempunyai efek samping menghambat penyembuhan luka (Singer, et al., 2012).

Sitologi impresi konjungtiva merupakan teknik non invasif pengambilan sampel epitel konjungtiva dan kornea yang memiliki sensitivitas dan spesifisitas tinggi, dapat mendeteksi perubahan awal yang tidak terdeteksi oleh tes fungsi air mata rutin, banyak peneliti mengatakan bahwa sitologi impresi dapat menjadi

pemeriksaan lini pertama untuk diagnosis dry eye (Bhargava, et al., 2014).

Menurut Sinha et al. (2014) sitologi impresi setelah operasi katarak baik

fakoemulsifikasi maupun SICS menunjukkan adanya kehilangan sel goblet yang bermakna.

Air mata buatan saat ini merupakan terapi andalan dry eye syndrome dan

merupakan terapi lini pertama yang disukai karena non invasif serta riwayat efek samping rendah. Tujuan utama penggunaan air mata buatan adalah untuk

melumasi permukaan mata sehingga keadaan dry eye dapat terkontrol,

mengurangi keluhan, meningkatkan kualitas hidup, meminimalkan faktor resiko dan mencegah kerusakan okular (Laqua, 2004). Air mata buatan dengan


(25)

kandungan vitamin A diketahui memiliki peran penting dalam meregulasi proliferasi dan diferensiasi sel epitel kornea, membantu pertumbuhan normal sel, diferensiasi, dan memelihara sel goblet konjungtiva (Kim E.C., et al., 2009; Moshirfar, et al., 2014; Vibhute, et al., 2010).

Penelitian terdahulu menggambarkan bahwa salep mata all-trans retinoic

acid efektif dalam mengobati empat kasus penyakit permukaan okular seperti

keratokonjungtivitis sicca, Steven-Johnson syndrome, pseudopemfigoid karena

obat dan dry eye yang disebabkan karena operasi. Analisis sitologi impresi,

keluhan dry eye, visus, keratopati, dan tes Schirmer membaik setelah penggunaan

salep mata all-trans retinoic acid (Kim E.C., et al., 2009). Kobayashi, et al. (1997) menggambarkan adanya peningkatan sel goblet, penurunan sel keratinisasi, dan peningkatan sel-sel non keratinisasi pada analisis sitologi setelah pengobatan

dengan retinol palmitat untuk dry eye nselama empat minggu, namun tidak

terdapat perbedaan jumlah sel-sel inflamasi dari sebelum pengobatan.

Berdasarkan penelitian-penelitian di atas, penelitian ini dilakukan untuk menggambarkan efek vitamin A yaitu retinol palmitat topikal terhadap kepadatan sel goblet konjungtiva dengan teknik sitologi impresi pada pasien pasca SICS.

1.2 Masalah

Masalah yang ingin diketahui pada penelitian ini sebagai berikut

a. Apakah terdapat perubahan kepadatan sel goblet konjungtiva sebelum dan sesudah SICS?


(26)

b. Apakah terdapat perubahan kepadatan sel goblet konjungtiva sebelum dan sesudah diberikan vitamin A topikal pada pasien pasca SICS?

1.3 Tujuan

Tujuan yang ingin diketahui pada penelitian ini sebagai berikut

a. Mengetahui perubahan kepadatan sel goblet konjungtiva sebelum dan

sesudah SICS.

b. Mengetahui perubahan kepadatan sel goblet konjugtiva sebelum dan

sesudah diberikan vitamin A topikal pada pasien pasca SICS.

1.4 Manfaat Penelitian 1.4.1 Manfaat Teoritis

Manfaat teoritis dalam penelitian ini sebagai berikut

a. Menambah wawasan dan pemahaman mengenai sitologi impresi

untuk pemeriksaan kepadatan sel goblet.

b. Menambah pengetahuan mengenai pengaruh vitamin A terhadap

kepadatan sel goblet konjungtiva.

c. Sebagai bahan pertimbangan untuk penelitian selanjutnya.

1.4.2 Manfaat Praktis

Manfaat praktis dalam penelitian ini sebagai berikut

a. Memberikan informasi perubahan kepadatan sel goblet konjungtiva


(27)

b. Memberikan informasi perubahan kepadatan sel goblet konjungtiva sebelum dan sesudah diberikan vitamin A topikal pada pasien pasca SICS.

c. Sebagai bahan pertimbangan pemilihan terapi tambahan pasca operasi


(28)

9

2.1 Permukaan Okular

2.1.1 Anatomi Permukaan Okular

Permukaan mata termasuk kornea, konjungtiva dan lapisan air mata membentuk unit fungsional. Kornea terdiri dari lima lapisan yaitu epitel, lapisan bowman, stroma, membran descemet dan endotelium. Transparansi kornea disebabkan struktur yang sama, avaskular dan daya hidrasi. Sel stem epitel kornea berada di zona limbal lapisan basal perifer kornea. Sel stem memiliki kapasitas proliferasi paling baik dibandingkan dengan sel-sel epitel kornea sentral, karena itu berpotensi untuk memelihara dan memperbaiki epitel kornea yang rusak (Knop E. dan Knop N., 2007; Laqua, 2004).

Konjungtiva adalah lapisan tipis, membran mukosa transparan yang menutup sklera. Konjungtiva dibentuk dari epitel nonkeratin skuamosa berlapis dan lamina propria. Ketebalan epitel bervariasi dari margo palpebra sampai limbus. Konjungtiva dibagi menjadi tiga bagian yaitu palpebral, forniks dan bulbar dan secara histologi terdiri dari epitel dan stroma. Banyak jenis sel lain yang berada dalam lapisan epitelial selain sel epitel, seperti sel goblet, melanosit, sel langerhans, dan limfosit (Gillan, 2008; Knop E. dan Knop N., 2007; Laqua, 2004).

Integritas permukaan okular sangat dipengaruhi oleh adanya musin dalam lapisan air mata. Sel goblet, yaitu sel-sel epitel yang sangat khusus adalah sumber


(29)

utama musin. Sel goblet yang terletak di permukaan apikal konjungtiva, diantaranya diselingi beberapa lapisan epitel berlapis. Sel-sel goblet konjungtiva manusia terdapat secara tunggal atau dapat berjumlah banyak, seperti di lipatan epitel dan tampak lebih bulat dibandingkan pada jaringan lain maupun pada spesies lain. Sel goblet berfungsi mensintesis, menyimpan dan mengeluarkan musin dan gel pembentuk musin (MUC5AC). Volume produksi musin oleh sel goblet konjungtiva adalah 2-3 µL/hari, sedangkan produksi akuous sekitar 2-3 mL/hari. Musin memiliki kemampuan sebagai pelembab dan sebagai gel, sehingga konjungtiva tetap lembab. Musin berfungsi melindungi permukaan okular dari berbagai patogen, bahan kimia dan toksin. Musin sangat penting dalam menjaga kesehatan permukaan okular, sehingga kelainan sekresi musin sel goblet mengakibatkan kerusakan pada kornea dan konjungtiva. (AAO, 2011-2012b; Gillan, 2008; Shatos, et al., 2003).

Produksi musin ditentukan dengan jumlah sel goblet yang fungsional pada konjungtiva dan tingkat kemampuan sel goblet untuk mensintesis musin. Bagian konjungtiva dengan densitas sel goblet tertinggi yaitu inferonasal konjungtiva bulbi, konjungtiva palpebra, bagian temporal konjungtiva bulbi, sedangkan bagian sel goblet sedikit atau bahkan absen adalah permukaan okular yang terekspos dan

korneosklera junction. Masing-masing sel goblet berukuran 25µx25µ. Sel goblet

tersusun dari paket mukosa dan ikatan membran dengan nukleus berbentuk rata dan eksentris berada di dekat dasar sel. Kepadatan sel goblet konjungtiva antara 1000-56.000 sel/mm2 (Foster, et al., 2003; Shatos, et al., 2003). Kepadatan sel


(30)

pada orang dewasa usia di atas 37 tahun. Jumlah sel goblet dapat berubah oleh faktor-faktor eksternal pada usia berapa pun. Kepadatan sel goblet menurun secara perlahan pada masa kanak-kanak setelah periode perkembangan awal pada tahun

pertama kehidupan dan mencapai tingkat yang cukup konstan (30-70 per 0,1 mm2

permukaan mukosa). Tingkat hidrasi konjungtiva merupakan faktor eksogen yang signifikan meskipun sedikit yang diketahui tentang faktor-faktor yang mempengaruhi kepadatan dan distribusi sel goblet konjungtiva normal. Beberapa ahli percaya bahwa aliran akuous ke sakus konjungtiva bawah, pembentukan genangan lakrimal dan akumulasi air mata pada kantus medial mengakibatkan hidrasi maksimal forniks inferonasal dan konjungtiva palpebra inferior sehingga kepadatan sel goblet adalah maksimal. Jumlah sel goblet pada pasien dengan keratokonjungtivitis sicca lebih rendah dibandingkan orang normal. Kepadatan sel goblet tidak terpengaruh jenis kelamin. Penurunan kepadatan sel goblet pada

keratokonjungtivitis sicca mungkin karena berkurangnya vaskularisasi

konjungtiva akibat jaringan parut dan sebagai akibat hambatan suplai vitamin A (Peters dan Colby, 2008).

Gangguan permukaan okular menyebabkan epitel normal baik sekresi dan

non sekresi dimodifikasi dan menjadi epitel keratin non sekresi yang disebut metaplasia skuamosa. Penurunan kepadatan sel goblet dikaitkan dengan

penurunan musin sehingga lapisan air mata tidak stabil dan menyebabkan dry eye.

Sel-sel inti kromatin berbentuk ‘snake-like’ dan perubahan lainnya juga terjadi

pada sel konjungtiva non sekesi pada pasien dengan keadaan dry eye.


(31)

Pemakaian lensa kontak lunak selama beberapa tahun menyebabkan kepadatan sel goblet menurun. Defisiensi komponen akuous terlihat pada keratokonjungtivitis sicca, yaitu defisiensi komponen musin. Kondisi yang menyebabkan hilangnya sel

goblet, misalnya terjadi pada trauma kimia, Stevens-Johnson syndrome,

hipovitaminosis A, ocular pemphigoid, Sjogren’s syndrome. Pengobatan dengan beta-bloker topikal juga menyebabkan penurunan sel goblet. Kepadatan sel goblet konjungtiva dapat menjadi indikator integritas permukaan okular terutama dalam menentukan keparahan keratokonjungtivitis sicca (Peters dan Colby, 2008).

Lapisan air mata terdiri dari protein, enzim, lipid, akuous, musin dan elektrolit berfungsi memelihara lapisan air mata agar dapat menjalankan fungsinya (Kari, et al., 2011).

2.1.2 Fungsi dan Komposisi Air Mata

Produksi dan jumlah air mata sangat penting untuk menjaga kesehatan permukaan okular. Air mata berfungsi membersihkan, melumasi dan memelihara permukaan okular serta memberikan perlindungan fisik dan kekebalan tubuh terhadap infeksi dan trauma mekanik. Lebih dari 98% total lapisan air mata adalah air. Ketebalan lapisan air mata bervariasi antara 4,0–9,0 µm. Permukaan kornea dan bola mata yang terekspos dilindungi oleh lapisan air mata yang terdiri dari tiga lapisan. Lapisan lipid superfisial setebal 0,1 µm diproduksi terutama oleh kelenjar meibom dan memiliki kontribusi penting untuk mencegah penguapan air

mata. Lapisan tengah yaitu air atau akuous dengan tebal 6–7 µm diproduksi oleh

kelenjar lakrimal dan aksesori, bertanggung jawab untuk membawa faktor pertumbuhan penting untuk epitel dan membasuh sisa-sisa epitel, unsur-unsur


(32)

racun dan benda asing. Musin di bagian dalam setebal 0,02–005 µm berasal dari sel-sel goblet konjungtiva juga sel-sel epitel konjungtiva dan kornea. Musin berperan dalam menyebarkan air mata (AAO, 2011-2012b; Laqua, 2004; Lemp, 2008).

Gambar 2.1 Gambaran lapisan air mata dan interaksi antar lapisan (Kari, et al.,

2011)

Lapisan air mata juga mengandung elektrolit, protein, faktor pertumbuhan, vitamin, asam amino dan glukosa, selain air, musin dan lipid. Komposisi air mata menyerupai serum. Air mata mengandung jumlah elektrolit yang sama dengan plasma darah tetapi dengan perbedaan level kalium lebih tinggi dan level natrium yang lebih rendah. Lisozim, protein utama dalam air mata memiliki kadar yang jauh lebih tinggi dibandingkan serum. Imunoglobulin A adalah imunoglobulin utama dalam air mata dan bertanggung jawab untuk pertahanan terhadap infeksi pada permukaan okular. Konsentrasi faktor pertumbuhan antara air mata dan serum adalah sama, kecuali TGF-ß1 dengan kadar jauh lebih rendah dalam air mata dibandingkan serum. Air mata mengandung kadar vitamin A yang rendah tetapi mengandung banyak vitamin C bila dibandingkan serum. Lapisan air mata


(33)

juga mengandung berbagai sel termasuk sel skuamosa dari kornea dan epitel konjungtiva, limfosit dan sel plasma dari kapiler dan sistem limfoid konjungtiva (Laqua, 2004).

2.2 Tes Sekresi Air Mata 2.2.1 Tear Meniscus

Lapisan air mata secara kasar membentuk meniskus segitiga atau genangan di margo palpebra inferior. Ukuran meniskus 0,3 mm atau kurang mengindikasikan adanya defisiensi air mata. Meniskus yang lebih tinggi dari

normal (1,0 mm) terjadi pada kondisi lakrimasi atau epifora (Wilson, et al., 2005;

AAO, 2011-2012a).

2.2.2 Tear Break-Up Time

Lapisan air mata dapat hancur antara kedipan. Stabilitas lapisan air mata dapat diukur secara non invasif, meskipun yang paling umum dalam praktek klinis dengan cara invasif menggunakan fluoresein. Lapisan air mata diamati dengan menggunakan lampu celah dan filter cobalt blue (Wilson, et al., 2005).

Tear Break-Up Time (TBUT) adalah penampakan pertama titik berwarna gelap dan bagian yang kering setelah kedipan sempurna dan diukur dalam detik. Waktu kurang dari 10 detik umumnya dianggap abnormal dan menunjukkan lapisan air mata yang tidak stabil. Defisiensi musin menyebabkan TBUT yang cepat tetapi kelainan permukaan okular juga dapat menyebabkan ketidakstabilan lapisan air mata dan dapat mengakibatkan TBUT yang cepat (Henderson, et al., 2013; Wilson, et al., 2005).


(34)

2.2.3 Tes Schirmer

Tes Schirmer dilakukan dengan menempatkan strip tipis kertas filter pada forniks inferior. Pemeriksaan bertujuan untuk menentukan kuantitas produksi air mata. Tes sekresi dasar dilakukan setelah pemberian anestesi topikal, diikuti dengan pengeringan ringan sisa air mata dari forniks inferior. Kertas filter tipis ditempatkan pada pertemuan antara tengah dan sepertiga lateral kelopak mata inferior untuk mengurangi iritasi kornea selama dilakukan tes. Tes dapat dilakukan dengan mata terbuka atau tertutup, walaupun beberapa ahli merekomendasikan dengan mata tertutup untuk membatasi efek berkedip (AAO, 2011-2012a; Dry eye workshop, 2007).

Tes Schirmer I hampir sama dengan tes sekresi dasar tetapi tanpa penggunaan anestesi topikal. Hasil pengukuran kurang dari 10 mm selama pemeriksaan 5 menit dapat didiagnosa sebagai ATD. Level sensitivitas tes Schirmer I adalah rendah walaupun relatif spesifik (AAO, 2011-2012a).

Tes Schirmer II mengukur refleks sekresi, dilakukan serupa yaitu tanpa anestesi topikal. Setelah kertas saring diletakkan pada forniks inferior, kapas aplikator dipakai untuk mengiritasi mukosa nasal. Apabila kertas saring basah kurang dari 15 mm setelah 5 menit menyatakan adanya defek refleks sekresi (AAO, 2011-2012a; Dry eye workshop, 2007).

2.2.4 Sitologi Impresi

Prosedur sitologi impresi pertama kali dikenalkan oleh Larmande dan Timsit untuk mendiagnosis neoplasia skuamosa permukaan okular pada tahun 1954. Penggunaan sitologi impresi konjungtiva telah didokumentasikan untuk


(35)

memeriksa gangguan permukaan okular dan kepadatan sel goblet (Schober, et al., 2006; Singh, et al., 2005).

Sistem penilaian pertama kali diterbitkan oleh Nelson berdasarkan penampakan morfologi epitel konjungtiva dan sel goblet. Penilaian sistem memiliki skala 0-3 berdasarkan morfologi sel epitel, perilaku pewarnaan, rasio nukleoplasmik, serta kepadatan dan pewarnaan PAS sel goblet (Schober, et al., 2006; Shrestha, et al., 2011; Sood, 2006).

Tabel 2.1

Kriteria Sitologi Impresi Nelson (Singh, et al., 2005)

Derajat Gambaran

0 >500 sel goblet/mm2

Sel epitel kecil, bulat dengan nukleus besar

1 350-500 sel goblet/mm2

Sel epitel sedikit besar, bentuk lebih poligonal dengan nukleus kecil

2 100-350 sel goblet/mm2

Sel epitel besar dan poligonal, multinucleated, dengan

variasi pewarnaan sitoplasma, nukleus kecil

3 <100 sel goblet/mm2


(36)

Gambar 2.2 Gambaran sitologi impresi. A) Sitologi impresi permukaan kornea

normal. B) Sitologi impresi zona transisi normal dari kornea ke limbus (Singh, et

al., 2005)

Metode sitologi impresi memiliki sensitivitas dan spesifisitas tinggi (78%-87%), dapat mendeteksi perubahan awal yang tidak terdeteksi oleh tes fungsi air mata rutin. Kelemahan terutama terdapat pada hilangnya detail morfologi dan hasil sel yang buruk dalam kasus keratinisasi (Bhargava, et al., 2014; Kane, 2007). Sitologi impresi memberikan alternatif terhadap diagnostik eksisi biopsi atau smears konjungtiva yang terbuat dari usapan yang diambil dengan spatula tumpul. Usapan konjungtiva menghancurkan banyak informasi morfologi dan sebagai perbandingan, biopsi konjungtiva menyediakan informasi dari sampel yang relatif kecil dari epitel permukaan. Sitologi impresi oleh karena itu merupakan teknik pilihan pengambilan sampel epitel permukaan sebagai jaringan target dan bukan epitel basal atau membran basement (Shresta, et al., 2011).

Teknik sitologi impresi menggunakan sepotong kertas saring Millipore

yang ditekan secara ringan pada area tertentu dari permukaan konjungtiva (atau dalam kasus yang jarang terjadi, kornea) untuk mengangkat 1-3 lapis sel-sel epitel permukaan, selanjutnya lakukan fiksasi dan pewarnaan dengan H&E atau PAS atau Papanicolaou untuk menunjukkan sel-sel goblet dan sel epitel. Kertas saring


(37)

Millipore memiliki keuntungan metode menjadi cepat, mudah diterapkan dan mudah ditransportasikan dengan alat mekanis yang stabil. Perlekatan sel epitel yang baik juga terjamin, spesimen yang memadai dapat diperoleh dari kasus.

Setiap spesimen diperiksa di bawah mikroskop dengan 10 x high power field

(HPF). Setidaknya pembacaan dengan 10 HPF digunakan untuk sel goblet dan sel epitel. Hasil sitologi impresi biasanya berhubungan dengan tes fungsi sekresi air mata seperti TBUT, pewarnaan kornea, Schirmer tanpa anestesi, dan rose bengal (AAO, 2011-2012a; Shrestha, et al., 2011; Kumar, et al., 2014; Singh, et al., 2005).

Gambar 2.3 Gambaran hasil sitologi impresi (pewarnaan PAS dan hematoksilin,

pembesaran 100x) pada pasien dengan dry eye syndrome. A) Derajat 0, normal. B)

Derajat 1, kehilangan sel goblet awal. C) Derajat 2, kehilangan sel goblet total. D) Derajat 3, keratinisasi awal. E) Derajat 4, keratinisasi sedang. F) Derajat 5,

keratinisasi berat (Kim E.C., et al., 2009)

2.3 Small Incision Cataract Surgery (SICS)

Small Incision Cataract Surgery (SICS) dikembangkan di Amerika Serikat dan Israel, kemudian menjadi populer di India dengan banyaknya operasi

A B C


(38)

yang dilakukan. Small Incision Cataract Surgery (SICS) menampilkan ekstraksi

ekstra kapsular. Nukleus dimunculkan dan dikeluarkan melalui tunnel sklera dan

dilakukan aspirasi sisa korteks (Health Care, 2011; Gogate, 2010).

Venkatesh et al. (2010) melaporkan bahwa tunnel sklera dibuat di bagian

superior sekitar 2 mm dari limbus dengan ukuran 6,5-7,0 mm. Injeksi trypan blue

untuk membantu kapsuloreksis dan nukleus dimunculkan dari kantung lensa dengan Sinskey hook atau dengan hidrodiseksi, diikuti ekstraksi nukleus dengan menggunakan vectis. Intra Ocular Lens (IOL) keras (polymethyl methacrylate) dengan ukuran optik 6,0 mm dimasukkan ke dalam kantung lensa dan kamera

okuli anterior ditekan. Tunnel dapat sembuh sendiri dan luka insisi tidak

memerlukan penjahitan pada kebanyakan kasus.

Gambar 2.4 Insisi pada SICS (Garg, et al., 2009)

Prosedur SICS menawarkan keuntungan rehabilitasi yang lebih cepat, astigmatisme minimal dan visus pasca operasi yang lebih baik tanpa kacamata.


(39)

Small Incision Cataract Surgery (SICS) bermanfaat lebih luas dan dapat diterapkan di daerah-daerah dengan jumlah penduduk yang sebagian besar menderita katarak. Prosedur SICS membutuhkan peralatan operasi katarak standar medis yang minimal dibandingkan dengan fakoemulsifikasi. Fakoemulsifikasi membutuhkan instrumen mahal dan lebih sering tidak tersedia di beberapa daerah. Prosedur SICS memerlukan waktu belajar yang lebih pendek dan lebih aman dibandingkan dengan fakoemulsifikasi. Prosedur SICS lebih ekonomis karena menuntut modal lebih sedikit sedangkan fakoemulsifikasi menuntut investasi modal lebih banyak (National Cataract Coalition, 2012).

Prosedur SICS memiliki beberapa kelemahan. Kongesti konjungtiva dapat bertahan di lokasi flap konjungtiva selama 5-7 hari dan mungkin terdapat nyeri ringan akibat insisi. Hifema pasca operasi dapat terjadi dan kemungkinan

astigmatisme akibat operasi lebih tinggi. Small Incision Cataract Surgery (SICS)

membuat insisi yang lebih besar dibandingkan fakoemulsifikasi (National Cataract Coalition, 2012).

Pemilihan antibiotika yang tepat, penting untuk mencegah endoftalmitis, yaitu salah satu komplikasi paling merugikan pasca operasi katarak. Golongan fluorokuinolon telah lama digunakan sebagai profilaksis untuk mencegah infeksi pasca operasi. Fluorokuinolon dikenal karena aktivitas anti bakteri dengan spektrum luas. Efek bakterisid dikerahkan dengan menghambat sintesis DNA melalui gangguan pada enzim DNA gyrase (topoisomerase II) dan topoisomerase

IV (Han, et al., 2014; Watanabe, et al., 2010). Studi dengan hewan coba in vivo


(40)

memiliki efek sitotoksik pada sel kornea, namun mekanisme yang tepat mengenai toksisitas fluorokuinolon masih belum diketahui. Ciprofloxacin pernah dilaporkan dalam suatu penelitian bahwa mengakibatkan hambatan dalam penyembuhan luka kornea. Ciprofloxacin hydrochloride 0,3% digambarkan memiliki kecenderungan mempercepat deposit kristal kornea, terutama akibat interaksinya dengan PH kelarutan formula tetes mata (Tsai T., et al., 2010).

Kortikosteroid topikal dan obat anti inflamasi non steroid topikal digunakan untuk mengendalikan peradangan pasca operasi. Kedua golongan memiliki sifat dan mekanisme yang berbeda dalam mengurangi peradangan. Steroid menghambat kaskade inflamasi pada tahap awal. Jalur asam arakidonat diaktifkan oleh kerusakan jaringan. Steroid untuk menjadi efektif harus melewati membran sel dan masuk ke inti, yang terbatas karena sifat lipofobianya. Efek samping steroid adalah peningkatan tekanan intraokular (TIO), hambatan

penyembuhan luka, dan peningkatan kerentanan terhadap infeksi. Kejadian dry

eye syndrome setelah penggunaan steroid topikal pernah dilaporkan dan

merupakan temuan yang bermakna. Bagaimana steroid dapat menyebabkan dry

eye masih belum diketahui, tetapi menjadi layak untuk dilakukan penilaian dasar

sekresi air mata sebelum penggunaan steroid topikal. Obat anti inflamasi non steroid (NSAID) memblok siklooksigenase (COX-1 dan COX-2), enzim yang

mengkonversi asam arakidonat menjadi prostaglandin yang langsung

menimbulkan peradangan. Obat anti inflamasi non steroid mudah masuk ke sel dan menahan pembentukan prostaglandin. Beberapa NSAID dikaitkan dengan


(41)

kejadian keratitis epitelial pungtata dan bahkan pencairan kornea (Singer, et al., 2012).

Kombinasi neomisin, polimiksin dan deksametason telah digunakan untuk mengatasi inflamasi karena efek spektrum luas dan murah. Kondisi yang sering menggunakan pemakaian obat kombinasi antibiotika-steroid adalah sebagai terapi pasca operasi katarak, keratokonjungtivitis, fliktenularis, reaksi akibat pemakaian lensa kontak. Neomisin efektif melawan bakteri gram positif dan gram negatif. Polimiksin aktif melawan bakteri gram negatif. Obat kombinasi awalnya digunakan untuk mencegah infeksi, tapi steroid juga berfungsi untuk mengurangi inflamasi sebagai respon alami trauma operasi. Deksametason adalah kortikosteroid sintetik potensial yang merupakan turunan dari hidrokortison dengan perubahan struktural yang memberikan deksametason berefek anti inflamasi sekitar enam kali lebih kuat dibandingkan dengan prednison dan prednisolon. Deksametason dalam berbagai formula (fosfat, alkohol) adalah paling banyak digunakan untuk mata dan telah terbukti efektif untuk pengobatan

inflamasi (Russo, et al., 2005). Deksametason membantu mengurangi sikatrik dan

reaksi kamera okuli anterior pasca operasi katarak. Anti inflamasi kortikosteroid yang mengandung deksametason bekerja mengurangi edema. Steroid hanya mengobati atau mencegah infeksi mata yang disebabkan oleh bakteri. Infeksi yang disebabkan oleh virus, jamur, mikobakteria tidak dapat diberikan steroid dan

bahkan dapat menambah perburukan (Espiritu, et al., 2011).

Banyak penelitian telah menggambarkan adanya dry eye pada pasien yang


(42)

asing, pasti akan muncul pada kebanyakan pasien pasca operasi katarak. Beberapa

faktor berperan dalam menyebabkan dry eye pasca operasi katarak (Cho dan Kim,

et al., 2009; Gharee, et al., 2009; Li X.M., et al., 2007).

Desensitisasi kornea adalah yang paling penting dalam mengakibatkan

gejala dry eye. Insisi sklera menyebabkan kerusakan jaringan saraf,

mengakibatkan efek perubahan sensitivitas kornea jangka panjang. Insisi di daerah temporal menyebabkan kerusakan saraf kornea yang merupakan saraf besar dari nervus siliaris longus yang masuk ke limbus, terutama di posisi jam 9 dan jam 3. Kornea merupakan salah satu organ dengan banyak saraf yaitu sekitar 44 berkas saraf masuk ke kornea di sekitar limbus secara sentripetal dan berkas saraf besar yang berjalan dari jam 9 ke arah jam 3 bercabang untuk mencapai distribusi homogen seluruh kornea (Ganvit, et al., 2014; Zhang S., et al., 2010).

Inflamasi pasca operasi merangsang pelepasan leukosit dan enzim lisosom. Mediator inflamasi dapat mengubah aksi saraf kornea dan mengurangi sensitivitas kornea. Gangguan persarafan kornea normal atau umpan balik unit fungsional lakrimal dapat mengurangi aliran air mata dan frekuensi berkedip sehingga terjadi ketidakstabilan hiperosmolaritas air mata dan lapisan air mata (Dry Eye Workshop, 2007; Ganvit, et al., 2014; Zhang S., et al., 2010).

Insisi operasi dan proses operasi dapat menyebabkan kerusakan area operasi pada sel stem limbal, sel goblet konjungtiva, sehingga sekresi musin berkurang. Reaksi inflamasi pasca operasi dan edema, dapat mengurangi ikatan musin. Operasi merubah kurvatura kornea sehingga mengakibatkan penurunan stabilitas lapisan air mata pasca operasi (Zhang S., et al., 2010).


(43)

Penggunaan anestesi topikal dan tetes mata dengan pengawet seperti BAK dapat mengurangi ikatan musin, menyebabkan ketidakseimbangan lapisan air mata. Toksisitas dari BAK itu sendiri menyebabkan hiperemi konjungtiva, hiperplasia folikel, sikatrik konjungtiva, erosi kornea, sehingga mengakibatkan gangguan stabilitas lapisan air mata. Tetes mata anti inflamasi non steroid (NSAID) merupakan inhibitor siklooksigenase (COX) non spesifik, sering digunakan untuk mencegah miosis selama operasi katarak. Anti inflamasi non steroid dapat mengganggu fungsi normal permukaan mata, kerusakan kornea, sehingga menyebabkan ketidakstabilan lapisan air mata (Walker, 2004; Zhang S., et al., 2010).

Pasien katarak kebanyakan adalah orang tua sehingga sudah terjadi penurunan elastisitas konjungtiva terutama di forniks inferior, dapat menyebabkan gangguan stabilitas lapisan air mata, hambatan ekskresi air mata, inflamasi, dry eye intermiten, mata berair dan lain-lain (Zhang S., et al., 2010).

Penyebab dry eye setelah fakoemulsifikasi dan SICS lainnya adalah

paparan sinar mikroskop, lamanya operasi, irigasi intraoperatif yang kuat, handling jaringan mata saat operasi, penggunaan obat tetes mata pasca operasi dan pengawetnya. Irigasi yang kuat terhadap lapisan air mata dan manipulasi permukaan okular intraoperatif dapat menyebabkan lepasnya sel goblet,

mengakibatkan nilai TBUT yang rendah pasca operasi (Lekhanot, et al., 2006;


(44)

2.4 Air Mata Buatan

Pengganti air mata adalah manajemen andalan untuk semua jenis dry eye

syndrome. Fungsinya adalah mengurangi osmolaritas air mata, membersihkan produk pro inflamasi dan melindungi permukaan mata. Air mata buatan harus meliputi zat terapi tambahan untuk memperbaiki kerusakan primer dan sekunder akibat dry eye (Henderson, et al., 2013; Yavuz, et al., 2012).

Vitamin A adalah vitamin yang larut dalam lemak, tersedia dalam berbagai

bentuk seperti retinol, retinal, dan asam retinoat. Banyak jaringan yang membutuhkan vitamin A menyimpannya sebagai retinal ester. Retinol palmitat ditemukan dalam sel kelenjar lakrimal. Retinol ditemukan dalam air mata manusia dan kelinci. Tetes mata vitamin A efektif untuk pengobatan dry eye. Vitamin A memiliki peran penting dalam meregulasi proliferasi dan diferensiasi sel epitel kornea, membantu pertumbuhan normal sel, diferensiasi, dan memelihara sel goblet konjungtiva. Keberhasilan vitamin A (retinol palmitat) ditunjukkan dalam studi yang menilai regenerasi sel-sel goblet konjungtiva pada pasien dry eye.

Kobayashi et al. (1997) melaporkan bahwa pengobatan dengan retinol palmitat

untuk dry eye memberikan hasil perbaikan pada analisa sitologi setelah 4 minggu.

Dosis yang diberikan adalah 1 tetes larutan yang mengandung 1000 IU/ml vitamin A, diberikan empat kali sehari selama empat minggu. Vitamin A topikal yang digunakan empat kali sehari telah menunjukkan perbaikan keluhan kabur, nilai Schirmer tanpa anestesi dan analisis sitologi impresi. Salep asam retinoat 0,05% merupakan terapi efektif untuk keratinisasi pada penyakit-penyakit sikatrik yang


(45)

melibatkan kornea dan konjungtiva (Holland, et al., 2013; Kim E.C., et al., 2009; Yavuz, et al., 2012).

Gambar 2.5 Struktur kimia vitamin A (Tanumihardjo, 2012)

Polyvinil pyrrolidone (povidone) adalah polimer sintetis yang larut air dengan berat molekul berkisar antara 40.000 sampai 360.000, bekerja sebagai surfaktan non ion. Povidone disintesis melalui proses polimerisasi dari vinyl pyrrolidone dalam air atau isopropanol. Povidone tersedia dalam beberapa kelas berdasarkan berat molekulnya. Semua kelas povidone dapat digunakan sebagai polimer hidrofilik yang secara fisik dapat menstabikan suspensi. Fungsi dari povidone adalah sebagai pengikat, meningkatkan biovailabilitas, melapisi, melarutkan, memberi rasa, membekukan, menstabilkan, menarik air, melekatkan, menurunkan toksisitas. Povidone digunakan sebagai tetes mata karena memiliki sifat stimulasi musin sehingga sering dikombinasikan dengan sediaan musin dan suplemen akuous. Povidone juga membantu untuk mempertahankan air mata pada kornea lebih lama (Grahn, et al., 2004; Kadajji, et al., 2011).


(46)

Gambar 2.6 Struktur Polyvinyl Pyrrolidone (Kadajji, et al., 2011)

Sodium hyaluronate telah ditemukan sangat bermanfaat dalam penyembuhan kornea. Karbomer memberikan peran yang sangat baik sebagai perekat dan memiliki retensi waktu yang lebih tinggi. Tetes mata yang mengandung lipid bertujuan membangun kembali lapisan lipid. Pengganti air mata yang mengandung nutrisi saat ini telah banyak tersedia (Holly, 2004; Laqua, 2004).


(1)

kejadian keratitis epitelial pungtata dan bahkan pencairan kornea (Singer, et al., 2012).

Kombinasi neomisin, polimiksin dan deksametason telah digunakan untuk mengatasi inflamasi karena efek spektrum luas dan murah. Kondisi yang sering menggunakan pemakaian obat kombinasi antibiotika-steroid adalah sebagai terapi pasca operasi katarak, keratokonjungtivitis, fliktenularis, reaksi akibat pemakaian lensa kontak. Neomisin efektif melawan bakteri gram positif dan gram negatif. Polimiksin aktif melawan bakteri gram negatif. Obat kombinasi awalnya digunakan untuk mencegah infeksi, tapi steroid juga berfungsi untuk mengurangi inflamasi sebagai respon alami trauma operasi. Deksametason adalah kortikosteroid sintetik potensial yang merupakan turunan dari hidrokortison dengan perubahan struktural yang memberikan deksametason berefek anti inflamasi sekitar enam kali lebih kuat dibandingkan dengan prednison dan prednisolon. Deksametason dalam berbagai formula (fosfat, alkohol) adalah paling banyak digunakan untuk mata dan telah terbukti efektif untuk pengobatan inflamasi (Russo, et al., 2005). Deksametason membantu mengurangi sikatrik dan reaksi kamera okuli anterior pasca operasi katarak. Anti inflamasi kortikosteroid yang mengandung deksametason bekerja mengurangi edema. Steroid hanya mengobati atau mencegah infeksi mata yang disebabkan oleh bakteri. Infeksi yang disebabkan oleh virus, jamur, mikobakteria tidak dapat diberikan steroid dan bahkan dapat menambah perburukan (Espiritu, et al., 2011).

Banyak penelitian telah menggambarkan adanya dry eye pada pasien yang menjalani operasi katarak dan manifestasinya seperti mata merah, sensasi benda


(2)

asing, pasti akan muncul pada kebanyakan pasien pasca operasi katarak. Beberapa faktor berperan dalam menyebabkan dry eye pasca operasi katarak (Cho dan Kim, et al., 2009; Gharee, et al., 2009; Li X.M., et al., 2007).

Desensitisasi kornea adalah yang paling penting dalam mengakibatkan gejala dry eye. Insisi sklera menyebabkan kerusakan jaringan saraf, mengakibatkan efek perubahan sensitivitas kornea jangka panjang. Insisi di daerah temporal menyebabkan kerusakan saraf kornea yang merupakan saraf besar dari nervus siliaris longus yang masuk ke limbus, terutama di posisi jam 9 dan jam 3. Kornea merupakan salah satu organ dengan banyak saraf yaitu sekitar 44 berkas saraf masuk ke kornea di sekitar limbus secara sentripetal dan berkas saraf besar yang berjalan dari jam 9 ke arah jam 3 bercabang untuk mencapai distribusi homogen seluruh kornea (Ganvit, et al., 2014; Zhang S., et al., 2010).

Inflamasi pasca operasi merangsang pelepasan leukosit dan enzim lisosom. Mediator inflamasi dapat mengubah aksi saraf kornea dan mengurangi sensitivitas kornea. Gangguan persarafan kornea normal atau umpan balik unit fungsional lakrimal dapat mengurangi aliran air mata dan frekuensi berkedip sehingga terjadi ketidakstabilan hiperosmolaritas air mata dan lapisan air mata (Dry Eye Workshop, 2007; Ganvit, et al., 2014; Zhang S., et al., 2010).

Insisi operasi dan proses operasi dapat menyebabkan kerusakan area operasi pada sel stem limbal, sel goblet konjungtiva, sehingga sekresi musin berkurang. Reaksi inflamasi pasca operasi dan edema, dapat mengurangi ikatan musin. Operasi merubah kurvatura kornea sehingga mengakibatkan penurunan stabilitas lapisan air mata pasca operasi (Zhang S., et al., 2010).


(3)

Penggunaan anestesi topikal dan tetes mata dengan pengawet seperti BAK dapat mengurangi ikatan musin, menyebabkan ketidakseimbangan lapisan air mata. Toksisitas dari BAK itu sendiri menyebabkan hiperemi konjungtiva, hiperplasia folikel, sikatrik konjungtiva, erosi kornea, sehingga mengakibatkan gangguan stabilitas lapisan air mata. Tetes mata anti inflamasi non steroid (NSAID) merupakan inhibitor siklooksigenase (COX) non spesifik, sering digunakan untuk mencegah miosis selama operasi katarak. Anti inflamasi non steroid dapat mengganggu fungsi normal permukaan mata, kerusakan kornea, sehingga menyebabkan ketidakstabilan lapisan air mata (Walker, 2004; Zhang S., et al., 2010).

Pasien katarak kebanyakan adalah orang tua sehingga sudah terjadi penurunan elastisitas konjungtiva terutama di forniks inferior, dapat menyebabkan gangguan stabilitas lapisan air mata, hambatan ekskresi air mata, inflamasi, dry eye intermiten, mata berair dan lain-lain (Zhang S., et al., 2010).

Penyebab dry eye setelah fakoemulsifikasi dan SICS lainnya adalah paparan sinar mikroskop, lamanya operasi, irigasi intraoperatif yang kuat, handling jaringan mata saat operasi, penggunaan obat tetes mata pasca operasi dan pengawetnya. Irigasi yang kuat terhadap lapisan air mata dan manipulasi permukaan okular intraoperatif dapat menyebabkan lepasnya sel goblet, mengakibatkan nilai TBUT yang rendah pasca operasi (Lekhanot, et al., 2006; Cho dan Kim, 2009; Li X.M., et al., 2007).


(4)

2.4 Air Mata Buatan

Pengganti air mata adalah manajemen andalan untuk semua jenis dry eye syndrome. Fungsinya adalah mengurangi osmolaritas air mata, membersihkan produk pro inflamasi dan melindungi permukaan mata. Air mata buatan harus meliputi zat terapi tambahan untuk memperbaiki kerusakan primer dan sekunder akibat dry eye (Henderson, et al., 2013; Yavuz, et al., 2012).

Vitamin A adalah vitamin yang larut dalam lemak, tersedia dalam berbagai bentuk seperti retinol, retinal, dan asam retinoat. Banyak jaringan yang membutuhkan vitamin A menyimpannya sebagai retinal ester. Retinol palmitat ditemukan dalam sel kelenjar lakrimal. Retinol ditemukan dalam air mata manusia dan kelinci. Tetes mata vitamin A efektif untuk pengobatan dry eye. Vitamin A memiliki peran penting dalam meregulasi proliferasi dan diferensiasi sel epitel kornea, membantu pertumbuhan normal sel, diferensiasi, dan memelihara sel goblet konjungtiva. Keberhasilan vitamin A (retinol palmitat) ditunjukkan dalam studi yang menilai regenerasi sel-sel goblet konjungtiva pada pasien dry eye. Kobayashi et al. (1997) melaporkan bahwa pengobatan dengan retinol palmitat untuk dry eye memberikan hasil perbaikan pada analisa sitologi setelah 4 minggu. Dosis yang diberikan adalah 1 tetes larutan yang mengandung 1000 IU/ml vitamin A, diberikan empat kali sehari selama empat minggu. Vitamin A topikal yang digunakan empat kali sehari telah menunjukkan perbaikan keluhan kabur, nilai Schirmer tanpa anestesi dan analisis sitologi impresi. Salep asam retinoat 0,05% merupakan terapi efektif untuk keratinisasi pada penyakit-penyakit sikatrik yang


(5)

melibatkan kornea dan konjungtiva (Holland, et al., 2013; Kim E.C., et al., 2009; Yavuz, et al., 2012).

Gambar 2.5 Struktur kimia vitamin A (Tanumihardjo, 2012)

Polyvinil pyrrolidone (povidone) adalah polimer sintetis yang larut air dengan berat molekul berkisar antara 40.000 sampai 360.000, bekerja sebagai surfaktan non ion. Povidone disintesis melalui proses polimerisasi dari vinyl pyrrolidone dalam air atau isopropanol. Povidone tersedia dalam beberapa kelas berdasarkan berat molekulnya. Semua kelas povidone dapat digunakan sebagai polimer hidrofilik yang secara fisik dapat menstabikan suspensi. Fungsi dari povidone adalah sebagai pengikat, meningkatkan biovailabilitas, melapisi, melarutkan, memberi rasa, membekukan, menstabilkan, menarik air, melekatkan, menurunkan toksisitas. Povidone digunakan sebagai tetes mata karena memiliki sifat stimulasi musin sehingga sering dikombinasikan dengan sediaan musin dan suplemen akuous. Povidone juga membantu untuk mempertahankan air mata pada kornea lebih lama (Grahn, et al., 2004; Kadajji, et al., 2011).


(6)

Gambar 2.6 Struktur Polyvinyl Pyrrolidone (Kadajji, et al., 2011)

Sodium hyaluronate telah ditemukan sangat bermanfaat dalam penyembuhan kornea. Karbomer memberikan peran yang sangat baik sebagai perekat dan memiliki retensi waktu yang lebih tinggi. Tetes mata yang mengandung lipid bertujuan membangun kembali lapisan lipid. Pengganti air mata yang mengandung nutrisi saat ini telah banyak tersedia (Holly, 2004; Laqua, 2004).