KAJIAN LINGUISTIK KLINIS PADA ANAK LABIOSHIZCHIS PASCAOPERASI BIBIR SUMBING: STUDI KASUS KESULITAN ARTIKULASI FONEM KONSONAN BAHASA INGGRIS DAN UPAYA PENANGGULANGANNYA: Pada Anak Labioshizchis di Sebuah SMP Negeri di Kabupaten Bandung.

(1)

LEMBAR PENGESAHAN ABSTRAK

KATA PENGANTAR UCAPAN TERIMAKASIH SURAT PERNYATAAN

DAFTAR ISI

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah Penelitian ...1

1.2 Identifikasi Masalah...4

1.3 Rumusan Masalah...5

1.4 Manfaat Penelitian...5

1.5 Metode Penelitian...6

1.6 Sistematika Penulisan...8

BAB II KAJIAN ARTIKULASI FONEM KONSONAN BAHASA INGGRIS PADA ANAK LABIOSHIZCHIS PASCAOPERASI BIBIR SUMBING 2.1 Pengantar...9

2.2 Linguistik Klinis...10

2.3 Fonologi & Fonetik 2.3.1 Fonologi...16

2.3.2 Fonetik...18

2.3.2.1 Fonem Bilabial...22

2.3.2.2 Fonem Labiodental...24

2.3.2.3 Fonem Alveolar...24


(2)

BAB III METODE PENELITIAN

3. 1 Pengantar ...33

3. 2 Metode Penelitian...33

3. 3 Aspek Peneliti...36

3. 4 Sumber Data 3.4.1 Data Utama...37

3.4.2 Data Kedua...38

3.5 Metode dan Tehnik Pengumpulan Data ...38

3.5.1 Pengamatan Terbuka...39

3.5.2 Wawancara...40

3.5.3 Dokumentasi...41

3.6 Subjek Penelitian ...41

3.7 Objek Penelitian...42

3.8 Waktu Penelitian...42

3.9 Tahap-tahap Penenelitian ...42

3.10 Klasifikasi Data ...44

3.11 Teknik Analisis Data...44

3.12 Pengumpulan Data...46

3.13 Pengolahan Data ...47

3.14 Langkah-langkah Analisis Data ...47

3.15Tahap Deskripsi...48

3.16 Analisis...48

3.17 Temuan...51


(3)

BAB IV ANALISIS DATA DAN PEMBAHASAN

4.1 Pengantar...52

4.1 Deskripsi Analisis Data 4.1.1 Fonem-fonem konsonan bahasa Inggris yang sulit diartikulasikan oleh anak labioshizchis pascaoperasi bibir sumbing...54

a. Fonem Bilabial...54

(1) Abjad...54

(2) Kata...58

b. Fonem Labiodental...65

(1) Abjad...65

(2) Kata...69

c. Fonem Alveolar...74

(1) Abjad...74

(2) Kata...78

d. Fonem Velar...83

(1) Abjad...83

(2) Kata...87

4.1.2 Faktor yang mendukung kesulitan artikulasi konsonan bahasa Inggris pada anak pascaoperasi bibir sumbing. ...91

4.1.3 Upaya yang dilakukan untuk mengatasi masalah kesulitan artikulasi fonem konsonan bahasa Inggris pada anak pascaoperasi bibir sumbing...93

4.2 Pembahasan Temuan...97

a. Fonem Bilabial...97

b. Fonem Labiodental...100

c. Fonem Alveolar...101


(4)

BAB V SIMPULAN DAN SARAN

5.1 Simpulan...107 5.2 Saran...112


(5)

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1Latar Belakang Masalah Penelitian

Manusia sebagai mahluk sosial menggunakan bahasa sebagai alat komunikasi dan alat interaksi. Bahasa mempunyai berbagai macam proses bahasa terutama dalam penggunaan bahasa lisan. Bahasa lisan sebagai alat komunikasi efektif memiliki peranan penting dalam berbagai aspek kehidupan. Muslich (2009 : 1) mengatakan “Oleh karena itu, objek utama kajian linguistik adalah bahasa lisan, yaitu bahasa dalam bentuk bunyi ujar”. Setiap orang yang mempelajari bahasa secara tidak langsung sedang mempelajari empat kemampuan berbahasa, di antaranya: kemampuan menyimak, kemampuan berbicara, kemampuan membaca dan kemampuan menulis. Muslich (2009 : 1) mempertegas bahwa “Kalau toh dalam praktik berbahasa dijumpai ragam bahasa tulis, dianggap sebagai sekunder, yaitu “rekaman” dari bahasa lisan”. Sehingga bunyi bahasa merupakan faktor utama dari bahasa lisan.

Dalam pembentukan bunyi bahasa ada tiga faktor utama yang terlibat, yakni sumber tenaga, alat ucap yang menimbulkan getaran, dan rongga pengubah getaran. Proses pembentukan bunyi bahasa dimulai dengan memanfaatkan pernapasan sebagai sumber tenaga. Pada saat kita mengeluarkan napas, paru-paru kita menghembuskan tenaga berupa arus udara. Arus udara tersebut mengalami perubahan saat melewati pita suara yang terletak pada pangkal tenggorokan. Arus udara dari paru-paru itu dapat


(6)

membuka kedua pita suara yang merapat sehingga mengakibatkan corak bunyi tertentu. Gerakan membuka dan menutup pita suara itu menyebabkan arus udara dan udara di sekitar pita suara berubah tekanannya atau bergetar. Perubahan bentuk saluran suara yang terdiri atas rongga faring, rongga mulut, dan rongga hidung menghasilkan bunyi bahasa yang berbeda-beda.

Udara dari paru-paru keluar melalui rongga mulut, rongga hidung, atau lewat rongga mulut dan rongga hidung sekaligus. Bunyi bahasa yang arus udaranya keluar melalui mulut disebut bunyi oral. Muslich mendefinisikan bahwa “Bunyi bahasa yang arus udaranya keluar melalui mulut disebut bunyi oral. Bunyi bahasa yang arus udaranya keluar dari hidung disebut bunyi nasal” (2008 : 35).

Jenis bunyi bahasa tersebut yang dihasilkan oleh alat ucap manusia dapat dipelajari melalui bidang fonetik. Menurut Cipollne, Kesler, dan Vasisth (1998 : 88) “While we might find the same sounds in two or more languages, no two languages organize their sound inventories in the same way”. Dalam aplikasinya pada bahasa-bahasa tertentu secara spesifik, sistem fonetik digunakan sebagai dasar dari fonologi bahasa. Pada kajian fonologi, objek penelitian adalah fonem, yakni bunyi pada sistem bahasa yang berfungsi untuk membedakan makna kata.

Sedangkan fonologi sebagai salah satu bidang lingustik bertujuan untuk mengamati bunyi-bunyi suatu bahasa tertentu. Fungsinya untuk membedakan makna leksikal dalam bahasa tertentu. Fonologi merupakan


(7)

penyelidikan tentang perbedaan minimal antara ujaran-ujaran dan perbedaan minimal tersebut selalu terdapat dalam kata sebagai konstituen.

Fonetik merupakan ilmu yang membahas tentang bunyi-bunyi bahasa yang diproduksi oleh manusia. Pada penelitian sebelumnya dijelaskan tentang kesulitan berkomunikasi, yang lebih menekankan pada kesulitan mengapersepsikan bunyi, dan membedakan bunyi [b] dan [d] dalam bertutur bahasa Inggris pada anak-anak yang memiliki kelainan dalam berbahasa dan berartikulasi.

Penelitian ini membahas tentang anak labioshizchis. Bayi yang terlahir dengan labioshizchis harus ditangani oleh ahli klinis, agar memungkinkan koordinasi efektif dari beberapa disiplin ilmu. Selain masalah anatomi bibir yang sumbing, masih ada masalah lain yang perlu dipertimbangkan yaitu masalah pendengaran, bicara, struktur gigi, dan psikososial. Masalah-masalah ini sama pentingnya dengan rekonstruksi anatomis, dan pada akhirnya hasil fungsional yang baik dari rekonstruksi yang dikerjakan juga dipengaruhi oleh masalah-masalah tersebut.

Pendekatan multidisipliner, tatalaksana yang komprehensif dapat diberikan, dan sebaiknya berkesinambungan sejak bayi lahir sampai remaja. Penelitian ini memerlukan penanganan yang lebih serius dalam memberikan perlakuan pada anak yang memiliki kelainan dalam berbicara yang dikarenakan labioshizchis. Bukan hanya tim dokter yang menangani tindakan medis untuk melakukan tindakan operasi tetapi juga penanganan yang lebih serius ketika anak labioshizchis ini telah mendapatkan tindakan operasi. Terapi bicara dan artikulasi


(8)

merupakan hal yang tidak boleh dianggap sepele ketika anak labioshizchis telah mendapatkan tindakan operasi. Sehingga anak labioshizchis ini memerlukan tim khusus untuk menangani hal tersebut.

Berdasarkan pemaparan di atas, penelitian ini akan mencoba memperoleh informasi fonem konsonan bahasa Inggris yang sulit diartikulasikan oleh anak pascaoperasi bibir sumbing dan berusaha untuk menentukan upaya penanganannya pada anak pascaoperasi bibir sumbing. Dengan penelitian ini pula peneliti dapat menemukan penyebab kesulitan dan faktor pendukung dalam artikulasi fonem-fonem tersebut. Topik penelitian ini pula seyogyanya dapat menemukan solusi untuk mengatasi masalah artikulasi tersebut.

1.2Identifikasi Masalah

Judul tesis ini adalah KAJIAN LINGUISTIK KLINIS

PASCAOPERASI BIBIR SUMBING: STUDI KASUS KESULITAN

ARTIKULASI FONEM KONSONAN BAHASA INGGRIS DAN UPAYA PENANGGULANGANNYA Pada Anak Labioshizchis di Sebuah SMP Negeri

di Kabupaten Bandung”. Untuk menghindari pembahasan yang meluas agar

tidak keluar dari bahasan judul di atas, maka penulis mencoba untuk memberikan batasan pokok bahasan, yaitu:

1. Menggali latar belakang kesulitan artikulasi fonem responden.

2. Mengetahui dan mengidentifikasi kemampuan dan pengetahuan berbahasa.


(9)

4. Mengetahui faktor apa saja yang mendukung masalah kesulitan artikulasi fonem konsonan bahasa Inggris pada anak pascaoperasi bibir sumbing.

5. Menentukan upaya-upaya untuk mengatasi kesulitan artikulasi fonem konsonan bahasa Inggris pada anak pasca operasi bibir sumbing.

1.3Rumusan Masalah

Penulis menyusun rumusan masalah sebagai berikut:

1. Fonem-fonem konsonan bahasa Inggris apa saja yang sulit diartikulasikan oleh anak pascaoperasi bibir sumbing?

2. Faktor apa saja yang mendukung kesulitan artikulasi konsonan bahasa Inggris pada anak pascaoperasi bibir sumbing?

3. Upaya apa saja yang dilakukan untuk mengatasi masalah kesulitan artikulasi fonem konsonan bahasa Inggris pada anak pascaoperasi bibir sumbing?

1.4Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan konstribusi pada perkembangan proses artikulasi anak pascaoperasi bibir sumbing dalam bertutur bahasa Inggris dan dapat mengklasifikasikan kesulitan–kesulitan dalam proses artikulasi fonem konsonan bahasa Inggris. Untuk lebih jauhnya penelitian ini diharapkan dapat memberikan konstribusi yang positif terhadap perkembangan fonetik dan fonologi bahasa secara teoritis, sebagai berikut:


(10)

1. Dengan penelitian ini peneliti dapat memperoleh informasi fonem konsonan Bahasa Inggris yang sulit diartikulasikan pada anak pascaoperasi bibir sumbing.

2. Topik penelitian ini seyogyanya dapat menemukan faktor yang mendukung masalah kesulitan artikulasi fonem konsonan bahasa Inggris pada anak pascaoperasi bibir sumbing.

3. Topik penelitian ini pula seyogyanya dapat menemukan solusi untuk mengatasi masalah kesulitan artikulasi fonem konsonan bahasa Inggris pada anak pascaoperasi bibir sumbing.

1.5Metode Penelitian

Metode penelitian yang dipilih adalah metode penelitian deskriptif atas data aktual mengenai kesulitan artikulasi fonem konsonan bahasa Inggris pada anak pascaoperasi bibir sumbing. Penelitian ini disusun dari sebuah studi kasus pada anak labioshizchis pascaoperasi bibir sumbing dalam mengartikulasikan fonem konsonan Bahasa Inggris di sebuah rintisan sekolah bertaraf Internasional di kabupaten Bandung yang dilakukan sejak bulan Nopember 2010 sampai dengan bulan Nopember 2011. Subyek penelitian adalah satu orang siswa pascaoperasi bibir sumbing di sekolah tersebut.

Sedangkan pada desain penelitian kualitatif ini, peneliti lebih menekankan pada aspek sosial sehingga peneliti dituntut untuk dapat mengorganisasikan semua teori yang dibaca, selain itu pula dituntut untuk melakukan grounded theory yaitu menemukan teori berdasarkan data yang diperoleh di lapangan atau


(11)

situasi sosial. Pemaparan deskriptif secara singkat, umum, dan bersifat sementara dengan menggunakan prosedur bersifat umum pula.

Teknik pengumpulan data yang dilakukan peneliti dalam laporan deskriptif ini adalah dengan menggunakan pengumpulan data observasi non partisipatif. Pada tahap pengumpulan data observasi non partisipatif ini peneliti tidak terlibat langsung dengan kegiatan sehari-hari orang yang sedang diamati atau digunakan sebagai sumber data penelitian, dan tidak terlihat melakukan penelitian, peneliti mengobservasi secara langsung dan tidak langsung dengan cara mengamati proses artikulasi responden dalam mengartikulasikan fonem konsonan bahasa Inggris dengan membaca abjad dan kata fonem konsonan bahasa Inggris tersebut.

Sehingga dalam pelaksanaannya, peneliti mengumpulkan data dengan menggunakan empat buah instrumen yaitu diantaranya meliputi tes (pelafalan abjad dan kata), wawancara, observasi, dan melakukan rekaman artikulasi dari responden. Sedangkan sebagai alternatif dalam mengantisipasi kesulitan artikulasi, peneliti memberikan latihan dengan cara mengubah proses penempatan posisi lidah saat melakukan artikulasi dan mengatur alur pernapasan ketika akan berartikulasi. Data dikumpulkan pada bulan Nopember 2010 hingga Nopember 2011 di salah satu rintisan sekolah bertaraf Internasional di Kabupaten Bandung.

Untuk mendukung data-data yang diperoleh dari responden tentang latar belakangnya, maka peneliti mengadakan wawancara tak berstruktur untuk mengetahui kesulitan dalam artikulasi fonem konsonan dalam bertutur bahasa Inggris.


(12)

1.6 Sistematika Penulisan

Sistematika dalam penyusunan tesis ini mencakup lima bab, yaitu: bab pertama memaparkan tentang pendahuluan yang berisi: latar belakang, masalah penelitian, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, metode penelitian secara garis besar beserta teknik pengumpulan data dan pendekatannya, lokasi dan sampel penelitian.

Bab kedua membahas sekitar kajian pustaka yang memuat hal-hal sebagai berikut: (a) apakah teori-teori utama dan teori-teori terjadi sinkronisasi dalam kajiannya; (b) apa yang telah dilakukan oleh para peneliti sebelumnya, bagaimana mereka melakukannya (prosedur, subyek) dan temuannya; (c) posisi teoritik peneliti yang berkenaan dengan masalah yang diteliti.

Bab ketiga merupakan pemaparan terperinci dari metode penelitian yang secara garis besar sudah disinggung pada bab pertama. Bab keempat memuat tentang dua hal yaitu analisis dan pembahasan data untuk menghasilkan temuan. Bab kelima merupakan penafsiran peneliti berupa kesimpulan dari semua hasil penelitian yang telah diperoleh.


(13)

BAB III

METODE PENELITIAN 3.1 Pengantar

Bab ini menjelaskan tentang pendekatan yang dilakukan adalah melalui pendekatan kualitatif, artinya data yang dikumpulkan bukan berupa angka-angka, melainkan data tersebut berasal dari naskah wawancara, catatan lapangan, rekaman dan dokumen pribadi. Sehingga yang menjadi tujuan dari penelitian kualitatif ini adalah ingin menggambarkan realita empirik di balik fenomena secara mendalam, rinci, dan tuntas. Oleh karena itu, penggunaan pendekatan kualitatif dalam penelitian ini sesuai dengan masalah kesulitan artikulasi fonem konsonan pada anak pascaoperasi bibir sumbing. Alasannya, karena pendekatan kualitatif berusaha mencocokkan antara realita empirik berupa kesulitan artikulasi fonem konsonan bahasa Inggris dan upaya penanggulangannya pada anak pascaoperasi bibir sumbing dengan teori yang berlaku dari segi linguistik, dengan menggunakan metode deskriptif. Upaya-upaya apa saja yang akan dilakukan untuk menanggulangi kesulitan atrikulasi fonem-fonem konsonan bahasa Inggris ditinjau dari sudut linguistik.

3. 2 Metode Penelitian

Metode penelitian yang digunakan oleh penulis pada penelitian ini merupakan pembahasan lebih lanjut tentang metode penelitian yang secara garis besar telah disinggung pada bab 1 sebelumnya. Yang menjelaskan tentang langkah-langkah penelitian yang merupakan metode untuk menjawab bagaimana


(14)

data diolah sedemikian rupa sehingga menghasilkan jawaban-jawaban dari masalah penelitian.

Bodgan dan Taylor (1975 : 5 dalam Moleong 2007 : 4) mendefinisikan bahwa “Metodologi kualitatif sebagai prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati”. Dengan demikian penulis mengasumsikan bahwa kesulitan artikulasi fonem konsonan bahasa Inggris pada anak pascaoperasi bibir sumbing, faktor yang mendukung atau menghambat kesulitan artikulasi konsonan bahasa Inggris pada anak pascaoperasi bibir sumbing, dan upaya penanggulangannya merupakan objek penelitian yang dapat diamati dan dapat menghasilkan data deskriptif bisa berupa kata-kata tertulis atau lisan melalui wawancara dan treatment penanggulangannya.

Penelitian ini bertujuan untuk menemukan sifat atau pengalaman responden dengan suatu fenomena, yang membuat responden merasa sulit berkomunikasi, terasing, kurang percaya diri dalam berinteraksi dengan lingkungan sekitarnya. Dalam hal ini, data yang berupa fonem-fonem konsonan bahasa Inggris yang sulit diucapkan dari responden kadang kala sulit untuk dibedakan antara fonem tersebut di atas dengan fonem nasal atau fonem sengau, sehingga yang terdengar bunyi nasal atau sengau yang diartikulasikan oleh responden.

Metode penelitian yang dipilih adalah metode penelitian kualitatif yang menekankan pada metode penelitian observasi di lapangan dan datanya dianalisis dengan cara non statistik, berdasarkan data aktual mengenai kesulitan artikulasi


(15)

pada anak pascaoperasi bibir sumbing dalam berartikulasi fonem konsonan bahasa Inggris dan upaya penanggulangannya. Penelitian kualitatif lebih menekankan penggunaan diri si peneliti sebagai alat. Peneliti harus mampu mengungkapkan gejala sosial di lapangan dengan mengerahkan segenap fungsi inderawinya. Dengan demikian, peneliti harus dapat diterima oleh responden dan lingkungannya agar mampu mengungkap data yang tersembunyi melalui bahasa tutur, bahasa tubuh, perilaku, maupun ungkapan-ungkapan yang berkembang dalam dunia responden. Moleong (2008 : 5) mengatakan bahwa “Dalam penelitian kualitatif metode yang biasanya dimanfaatkan adalah wawancara, pengamatan, dan pemanfaatan dokumen”.

Mengacu ke definisi di atas menurut Moleong maka peneliti mengasumsikan bahwa penelitian dilakukan pada posisi alamiah dan bersifat penemuan. Dalam penelitian kualitatif, peneliti adalah instrumen kunci. Oleh karena itu, peneliti mempersiapkan diri dengan bekal teori dan wawasan yang luas jadi bisa bertanya, menganalisis, dan mengkonstruksi objek yang diteliti menjadi lebih jelas. Sehingga peneliti akan lebih menekankan pada makna dan terikat nilai. Tujuan penggunaan penelitian kualitatif ini untuk menentukan masalah belum jelas, untuk mengetahui makna yang tersembunyi, untuk memahami interaksi sosial, untuk mengembangkan teori, untuk memastikan kebenaran data, danmuntuk meneliti perkembangan responden.

Sedangkan pada desain penelitian kualitatif, peneliti lebih menekankan pada aspek sosial sehingga dituntut untuk dapat mengorganisasikan semua teori yang dibaca, selain itu pula dituntut untuk melakukan grounded theory yaitu dari


(16)

“sejumlah data yang banyak dikumpulkan dan yang saling berhubungan. Moleong, 2008 : 11)”. Peneliti memaparkan penelitian secara singkat, umum, dan bersifat sementara dengan menggunakan prosedur bersifat umum pula.

3.3 Aspek Penelitian

Fokus dalam penelitian ini, peneliti bertindak sebagai pengumpul data dan sebagai instrumen aktif dalam upaya mengumpulkan data di lapangan. Sedangkan instrumen pengumpulan data yang lain selain manusia adalah berbagai bentuk alat bantu dan berupa dokumen-dokumen lainnya yang dapat digunakan untuk menunjang keabsahan hasil penelitian, namun berfungsi sebagai instrumen pendukung.

Dokumen yang paling akurat dalam penelitian pascaoperasi bibir sumbing pada responden adalah hasil rontgen dan rekaman artikulasi dari responden. Hasil rekaman ini dipaparkan dalam bentuk grafik kesulitan artikulasi untuk mengetahui frekuensi kesulitan artikulasi responden dari mulai artikulasi abjad sampai dengan artikulasi kata dalam bahasa Inggris. Oleh karena itu, peran peneliti secara langsung di lapangan sangat diperlukan sebagai tolak ukur keberhasilan untuk memahami kasus yang diteliti. Sehingga keterlibatan peneliti secara langsung dan aktif dengan responden dan atau sumber data lainnya sangat mutlak diperlukan karena peneliti secara langsung terlibat sebagai pengetes dan pemberi treatment dalam upaya penanggulangan kesulitan artikulasi fonem konsonan bahasa Inggris responden.


(17)

3.4 Sumber Data 3.4.1 Data Utama

Menurut Lofland dan Lofland (1984:47 dalam Moleong 2008 : 157), “Sumber data utama dalam penelitian kualitatif ialah kata-kata, dan tindakan, selebihnya adalah data tambahan seperti dokumen dan lain-lain”. Berkaitan dengan hal itu pada bagian ini jenis datanya dibagi ke dalam kata-kata dan tindakan, sumber data tertulis, foto, alat perekam dan hasil rekaman. Kata-kata dan tindakan merupakan sumber data yang diperoleh dari lapangan dengan mengamati atau mewawancarai.

Peneliti menggunakan data ini untuk mendapatkan informasi langsung tentang kesulitan artikulasi fonem konsonan bahasa Inggris pada anak pascaoperasi bibir sumbing, faktor yang mendukung atau menghambat kesulitan artikulasi konsonan bahasa Inggris pada anak pascaoperasi bibir sumbing, dan upaya-upaya penanggulangannya. Caranya dengan mengadakan observasi terhadap seorang responden pascaoperasi bibir sumbing yang telah mendapatkan tindakan dua kali operasi, yaitu: bulan Agustus tahun 1998 ketika usia 5 bulan, dan pada tahun 2006 ketika usia 8 tahun. Data ini pula diambil melalui wawancara yang merupakan hasil usaha gabungan dari kegiatan melihat, mendengar, dan atau bertanya. Hasil wawancara dijadikan referensi untuk data oleh peneliti. Sedangkan hasil rekaman dari responden dijadikan data untuk dianalisis dan untuk menentukan tindakan upaya penanggulangannya.


(18)

3.4.2 Data Kedua

Data kedua adalah “...bahan tambahan yang berasal dari sumber tertulis dapat dibagi atas sumber buku dan majalah ilmiah, sumber dari arsip, dokumen pribadi, dan dokumen resmi. Buku, skripsi, tesis, disertasi, jurnal, media massa, majalah, internet, dan karya ilmiah lainnya sangat berharga bagi peneliti guna menjajaki keadaan seseorang atau masyarakat di tempat penelitian dilakukan (Moleong, 2008 : 159)”.

Peneliti menggunakan data kedua berupa hasil rontgen dan rekaman responden. Data kedua ini untuk memperkuat penemuan dan melengkapi informasi yang telah dikumpulkan melalui wawancara langsung tidak terstruktur (tidak menggunakan daftar pertanyaan), berupa tes pengucapan dari mulai abjad dan kata. Selain itu pula peneliti melengkapi penelitiannya dengan informasi wawancara berupa dokumen dari keluarga responden tentang latar belakang responden dan riwayat bibir sumbing. Sehingga data yang diperoleh berupa hasil tes dan dokumen hasil wawancara.

3.5 Metode dan Tehnik Pengumpulan Data

Pengumpulan data merupakan langkah yang sangat penting dalam penelitian, karena itu seorang peneliti harus terampil dalam mengumpulkan data agar mendapatkan data yang valid. Pengumpulan data adalah prosedur yang sisematis dan standar untuk memperoleh data yang diperlukan. Metode pengumpulan data yang dilakukan peneliti dengan metode triangulasi, seperti yang dikemukakan oleh Lincoln dan Cuba (1985 : 226 dalam Moleong 2008 :


(19)

186) “...memverifikasi, mengubah, dan memperluas informasi yang diperoleh dari orang lain, baik manusia maupun bukan manusia (triangulasi); dan memverifikasi, mengubah dan memperluas konstruksi yang dikembangkan oleh peneliti sebagai pengecekan anggota.”

3.5.1 Pengamatan Terbuka

Pengamatan terbuka merupakan “ Pengamatan yang diketahui oleh subjek, sedangkan sebaliknya para subjek dengan suka rela memberikan kesempatan kepada pengama untuk mengamati peristiwa yang terjadi, dan mereka menyadari bahwa ada orang yang mengamati hal yang dilakukan oleh mereka” (Moleong, 2008 : 176). Pengamatan terbuka adalah cara pengambilan data dengan menggunakan mata tanpa ada pertolongan alat standar lain untuk keperluan tersebut. Dalam kegiatan sehari-hari, kita selalu menggunakan mata untuk mengamati sesuatu. Pengamatan ini digunakan untuk penelitian yang telah direncanakan secara sistematik tentang bagaimana cara berkomunikasi responden, emosi yang tercetus dari responden ketika mengartikulasikan fonem konsonan bahasa Inggris, kesulitan yang terjadi ketika mengartikulasikan fonem-fonem konsonan bahasa Inggris tersebut.

Hal ini sesuai dengan tujuan menggunakan metode ini, yaitu untuk mencatat hal-hal, perilaku, perkembangan, dan sebagainya tentang kesulitan pengucapan fonem responden dalam mengartikulasikan fonem-fonem konsonan bahasa Inggris, dan tidak lupa mencatat perkembangan pengucapan pada fonem-fonem konsonan bahasa Inggris sebagai upaya dalam penanggulangan untuk


(20)

membantu responden mengurangi kesulitan artikulasi fonem konsonan pascaoperasi bibir sumbing.

3.5.2 Wawancara

Moleong (2007 : 186) mengatakan bahwa “Wawancara adalah percakapan dengan maksud tertentu. Proses percakapan tersebut untuk memperoleh keterangan dengan cara tanya jawab, sambil bertatap muka antara si penanya dan si penjawab”. Dalam hal ini, peneliti melakukan wawancara tidak terstruktur seperti Moleong (2007 : 191) mengatakan bahwa “Pertanyaan biasanya tidak disusun terlebih dahulu, melainkan disesuaikan dengan keadaan dan ciri yang unik dari responden”.

Dengan demikian dalam wawancara tidak terstruktur ini peneliti melakukannya dengan tanya jawab yang mengalir seperti dalam percakapan sehari-hari untuk mendapatkan keterangan yang diberikan oleh orang tua responden secara objektif dan untuk menghindari data yang dibuat-buat. Dan wawancara dengan responden juga dilakukan dengan alami yang dilakukan dalam kegiatan sehari-hari dan untuk treatment nya dilakukan dalam proses pembelajaran, sehingga responden tidak menyadari bahwa dia sedang diamati dan diberikan treatment dalam kesulitan artikulasi fonem konsonan bahasa Inggris.

Sehingga tujuan peneliti menggunakan metode ini, untuk memperoleh data secara jelas dan nyata tentang latar belakang responden baik latar belakang kesehatan sebelum mendapatkan tindakan operasi dan perilaku kebiasaan dan perkembangan artikulasi responden pasca melakukan operasi bibir sumbing


(21)

3.5.3 Dokumentasi

Dokumentasi adalah setiap bahan tertulis baik berupa karangan, memo, pengumuman, dan berita yang disiarkan kepada media massa. Dari uraian tersebut maka metode dokumentasi adalah pengumpulan data dengan meneliti catatan-catatan penting yang sangat erat hubungannya denga objek peneltian.

Pada penelitian anak pascaoperasi bibir sumbing, peneliti mendapatkan dokumentasi berupa foto rontgen pascaoperasi bibir sumbing, dan daftar fonem-fonem konsonan yang sulit diucapkan ketika bertutur.

3.6 Subjek Penelitian

Subjek penelitian adalah benda, hal atau orang tempat variabel penelitian melekat, subjek penelitian adalah subjek yang dituju untuk diteliti oleh peneliti (Moleong, 2008 : 157). Jika kita membicarakan tentang subjek penelitian, sebetulnya kita berbicara tentang unit analisis, yaitu subjek yang menjadi pusat perhatian atau sasaran peneliti.

Responden adalah seorang laki-laki, berusia 14 tahun. Responden mengalami kesulitan artikulasi fonem konsonan bahasa Inggris meskipun sudah mendapatkan tindakan operasi bibir sumbing. Responden sudah dua kali melakukan tindakan operasi, yaitu: bulan Agustus tahun 1998 ketika usia 5 bulan, dan pada tahun 2006 ketika usia 8 tahun.


(22)

3.7 Objek Penelitian

Objek penelitian pada tesis ini adalah kesulitan artikulasi fonem konsonan bahasa Inggris pada anak labioshizchis pascaoperasi bibir sumbing. Menurut hasil interview dengan orang tuanya. Responden sudah dua kali melakukan tindakan operasi, yaitu: bulan Agustus tahun 1998 ketika usia 5 bulan, dan pada tahun 2006 ketika usia 8 tahun. Lebih jauhnya responden mendapatkan treatment artikulasi pada bahasa Indonesia tetapi tidak berlanjut dikarenakan beberapa hal.

3.8 Waktu Penelitian

Waktu yang digunakan untuk penelitian kesulitan artikulasi fonem konsonan bahasa Inggris pada anak pascaoperasi bibir sumbing dan upaya penanggulangannya sudah dilakukan secara mendalam dan dalam waktu yang cukup lama ketika anak tersebut memasuki jenjang sekolah menengah pertama (SMP) pada kelas 7. Dan peneliti melakukan penelitiannya semenjak melihat kesulitan responden dalam artikulasi fonem bahasa Inggris dalam proses pembelajaran bahasa Inggris semenjak responden memasuki kelas tujuh yaitu semenjak tahun 2010, tetapi belum ditindaklanjuti secara resmi dikarenakan belum memasuki masa-masa penelitian.

3.9 Tahap-tahap Penenelitian

Moleong (2007:127) mengemukakan bahwa “ terdapat empat tahap penelitian yang harus dilakukan oleh peneliti: (1) tahap sebelum ke lapangan, (2) tahap


(23)

pekerjaan lapangan, (3) tahap analisis data, (4) tahap penulisan laporan. Dalam penelitian ini tahap yang ditempuh adalah sebagai berikut:

1. Tahap sebelum ke lapangan, meliputi kegiatan penentuan fokus, penyesuaian paradigma dengan teori, penjajakan alat peneliti, mencakup observasi lapangan dan permohonan izin kepada subjek yang diteliti, konsultasi fokus penelitian, penyusunan usulan penelitian.

2. Tahap pekerjaan lapangan, meliputi mengumpulkan bahan-bahan yang berkaitan dengan kebiasaaan menerapkan unsur fonologi dan fonetik responden dalam pengucapan fonem-fonem konsonan bahasa Inggris. Data tersebut diperoleh dengan observasi terhadap responden, wawancara tidak terstruktur dengan responden dan orang tua responden, dan dokumentasi yang didapat dari foto rontgen, kesulitan pengucapan fonem-fonem konsonan bahasa Inggris pada anak pascaopersi bibir sumbing.

3. Tahap analisis data, meliputi analisis data baik yang diperoleh melalui observasi, dokumen, maupun wawancara mendalam dengan responden yang mengalami kesulitan pengucapan fonem-fonem konsonan bahasa Inggris. Kemudian dilakukan penafsiran data sesuai dengan konteks permasalahan yang diteliti selanjutnya melakukan pengecekan keabsahan data dengan cara mengecek sumber data yang didapat dan metode perolehan data sehingga data benar-benar valid sebagai dasar dan bahan untuk memberikan makna data yang merupakan proses penentuan dalam memahami konteks penelitian yang sedang diteliti.


(24)

4. Tahap penulisan laporan, meliputi: kegiatan penyusunan hasil penelitian dari semua rangkaian kegiatan sampai pemberian makna data. Setelah itu melakukan konsultasi hasil penelitian dengan dosen pembimbing untuk mendapatkan perbaikan, saran-saran demi kesempurnaan tesis, yang kemudian ditindaklanjuti hasil bimbingan tersebut dengan penullisan tesis yang sempurna. Langkah terakhir melakukan kelengkapan persyaratan untuk ujian sidang tesis.

3. 10 Klasifikasi Data

Data dikumpulkan melalui catatan lapangan selama melakukan pengamatan terhadap responden. Data yang terkumpul kemudian diklasifikasikan berdasarkan unsur-unsur kesulitan fonem konsonan bahasa Inggris yang akan diteliti. Data yang terkumpul berupa abjad bahasa Inggris, dan kata-kata yang diartikulasikan oleh responden. Data yang bukan unsur fonem yang sulit diartikulasikan akan disisihkan karena tidak sesuai dengan penelitian yang akan dilakukan, kecuali data yang mendukung hasil analisis pada kajian fonologi dan fonetik.

3.11 Teknik Analisis Data

Analisis data kualitatif menurut Bodgan dan Biklen (1982 dalam Moleong 2008 : 248) adalah upaya yang dilakukan dengan jalan bekerja dengan data, mengorganisasikan data, memilah-milahnya menjadi satuan yang dapat dikelola,


(25)

mensintensiskannya, maencari dan menemukan apa yang penting dan apa yang dipelajari, dan memutuskan apa yang dapat diceritakan kepada orang lain”.

Dari rumusan di atas peneliti dapat menarik garis besar bahwa analisis data bermaksud pertama mengorganisasikan data. Data yang terkumpul banyak sekali dan terdiri dari catatan peneliti, komentar peneliti, gambar, dokumen berupa foto rontgen, rekaman penelitian dari responden, dan sebagainya.

Setelah data dari lapangan terkumpul dengan menggunakan metode pengumpulan data di atas, maka peneliti akan mengolah dan menganalisas data tersebut dengan menggunakan analisis secara deskriptip-kualitatif, tanpa menggunakan teknik kuantitatif.

Analisis deskriptif-kualitatif merupakan suatu teknik yang menggambarkan dan menginterpretasikan arti data yang tela terkumpul dengan memberikan perhatian dan merekam sebanyak mungkin aspek situasi yang diteliti pada saaat itu, sehingga memperoleh gambaran secara umum dan menyeluruh tentang keadaan sebenarnya. Tujuan deskriptif ini adalah untuk membuat deskripsi, gambaran atau lukisan secara sistematis, faktual dan akurat mengenai fakta-fakta, sifat-sifat, serta hubungan antara responden dan peneliti.

Untuk mengumpulkan data tersebut digunakan empat buah instrumen yaitu diantaranya meliputi tes (pelafalan abjad, dan kata), wawancara, observasi, dan alat perekam. Sedangkan sebagai alternatif dalam mengantisifasi kesulitan pengucapan yaitu dengan menggunakan proses penempatan posisi lidah (place of articulation) dalam artikulasi fonem-fonem konsonan bahasa Inggris.


(26)

3.12 Pengumpulan Data

Pengumpulan data yang dilakukan peneliti dalam laporan deskriptif ini adalah dengan menggunakan pengumpulan data observasi non partisipatif. Pada tahap pengumpulan data observasi non partisipatif ini peneliti tidak terlibat langsung dengan kegiatan sehari-hari orang yang sedang diamati atau digunakan sebagai sumber data penelitian, dan tidak terlihat melakukan penelitian, peneliti hanya mengobservasi secara tidak langsung dengan cara mengamati proses artikulasi responden dalam bertutur bahasa Inggris dengan mengartikulasikan abjad secara keseluruhan, abjad khusus yang sulit diartikulasikan, dan kata yang mengandung unsur fonem konsonan bahasa Inggris.

Teknik pengumpulan data dilakukan secara bertahap. Tahap pertama adalah pengetesan artikulasi abjad bahasa Inggris, kemudian melebar ke artikulasi kata bahasa Inggris. Responden mengartikulasikan fonem berdasarkan tahap-tahap artikulasi, pertama artikulasi abjad, dan artikulasi kata dengan pengantar bahasa Inggris. Suaranya kemudian didokumentasikan melalui rekaman dalam alat perekam (tape recorder) pada saat mengartikulasikan fonem. Tahap kedua adalah penulisan data lisan menjadi data tertulis untuk mengetahui transkripsi fonetik. Sedangkan pada tahap ketiga adalah tahap perlakuan (treatment) yaitu dengan latihan artikulasi pada fonem-fonem konsonan yang sulit dan menjadi faktor kesulitan dalam bertutur bahasa Inggris melalui proses linguistik (place of articulation), dan yang terakhir adalah tahap pengelompokan data yang mendukung kesulitan artikulasi fonem konsonan bahasa Inggris.


(27)

Data dikumpulkan pada bulan Nopember 2010 hingga Nopember 2012 di salah satu rintisan sekolah bertaraf Internasional di Kabupaten Bandung.

3.13 Pengolahan Data

Setelah semua data terkumpul, maka penulis melakukan penelitian sebagai berikut:

a. Melakukan pengecekan kembali terhadap data-data lisan dan tulisan dari responden.

b. Meneliti status data untuk dijadikan sampel dalam penulisan dan menafsirkannya.

c. Menentukan sampel-sampel yang akan dipergunakan dalam penelitian ini.

d. Meneliti faktor yang mendukung kesulitan artikulasi fonem konsonan bahasa Inggris pada anak pascaoperasi bibir sumbing.

e. Menentukan dan melakukan treatment (perlakuan) sebagai tindak lanjut dalam upaya penanggulangan untuk meminimalisasi kesulitan artikulasi konsonan bahasa Inggris.

3. 14 Langkah-langkah Analisis Data

Setelah data dikumpulkan lalu diolah dan dianalisis melalui beberapa tahapan, yaitu deskripsi, analisis, temuan, dan pembahasan. Tahap deskripsi menyajikan data berupa tabel yang akan dijelaskan dalam tahap analisis sehingga diharapkan menemukan temuan. Setelah menemukan teori atau data baru, maka


(28)

semua temuan tersebut dikumpulkan dan didiskusikan lagi pada bagian pembahasan.

3.15 Tahap Deskripsi

Tahap deskripsi ini dibagi menjadi dua bagian, yaitu kesulitan umum yang terjadi pada anak pascaoperasi bibir sumbing yang akan dipaparkan di bab IV sebagai bab pembahasan.

Perbandingan kesulitan artikulasi umum dan kemampuan berbahasa pada anak pascaoperasi bibir sumbing ketika melakukan artikulasi fonem konsonan bahasa Inggris. Dari segi pelafalan fonem, alat artikulasi pada organ produksi artikulasi, responden kesulitan ketika akan melakukan artikulasi fonem konsonan bahasa Inggris. Hasil analisis menjelaskan kesulitan artikulasi pada konsonan dengan menghasilkan proses nasal pada hasil akhir artikulasi. Mengetahui faktor yang mendukung atau menghambat upaya mengatasi kesulitan artikulasi fonem bahasa Inggris pada anak pascaoperasi bibir sumbing.

3.16 Analisis

Tahap analisis menjelaskan bagaimana data pelafalan fonem pada partisipan dapat disajikan dengan berpedoman pada kajian teori dan langkah-langkah dalam penelitian ini. Sedangkan teknik pengumpulan data yang digunakan dilakukan dalam tiga langkah yaitu sebagai berikut: observasi, wawancara, dan tes. Selain itu pula, tahap ini berusaha menjelaskan hasil dari data yang dianalisis dan dipaparkan melalui pernyataan-pernyataan yang berpijak pada


(29)

fakta-fakta yang ada digolongkan ke dalam dua tahap dengan berpedoman pada pertanyaan penelitian yang dijadikan tolak ukur dan untuk melakukan analisis data yang diperoleh sebagai tahap selanjutnya. Pada tahap analisis yang berhubungan dengan kesulitan artikulasi fonem konsonan bahasa Inggris ini, data dari responden dianalisis dalam dua kategori yaitu: artikulasi abjad dan kata dari fonem konsonan tersebut.

A. Pertanyaan Penelitian dan Analisis Data

1. Fonem-fonem konsonan bahasa Inggris apa saja yang sulit diartikulasikan pada anak pasca operasi bibir sumbing?

Maka analisis data yang dilakukan dengan melakukan beberapa tahap, yaitu diantaranya:

 Mengelompokkan fonem-fonem konsonan bahasa Inggris berdasarkan tempat dan cara artikulasinya dari responden melalui tabel dalam bentuk abjad dan kata.

 Mengelompokkan konsonan bahasa Inggris yang sulit diartikulasikan ketika mengartikulasikan suatu fonem dalam bentuk abjad dan kata.

 Menentukan pola perubahan artikulasi fonem konsonan dalam proses artikulasinya berdasarkan titik artikulasinya dalam bentuk abjad dan kata.

 Menentukan pola perubahan artikulasi berdasarkan tingkat kesulitannya, titik artikulasinya, dan keterpahaman ketika mengartikulasikannya.


(30)

2. Faktor apa saja yang mendukung kesulitan artikulasi fonem konsonan bahasa Inggris pada anak pascaoperasi bibir sumbing?

 Membandingkan titik artikulasi fonem konsonan bahasa Inggris dari responden dengan titik artikulasi berdasarkan International Phonetics Articulation (IPA) dalam bentuk abjad dan kata pada anak pascaoperasi bibir sumbing melalui rekaman suara yang telah dilakukan.

 Menentukan faktor-faktor yang mendukung kesulitan artikulasi fonem konsonan bahasa Inggris pada anak pascaoperasi bibir sumbing baik dari sisi fonetik dan titik artikulasi.

 Mengelompokan faktor-faktor pendukung kesulitan dalam artikulasi fonem konsonan bahasa Inggris pada anak pascaoperasi bibir sumbing untuk menentukan upaya sebagai tindak lanjut dalam mengatasi kesulitan artikulasi fonem konsonan pada anak pascaoperasi bibir sumbing.

3. Upaya apa aja untuk mengatasi masalah kesulitan artikulasi fonem konsona bahasa Inggris pada anak labioshizchis pascaoperasi bibir sumbing?

 Mengelompokkan fonem-fonem berdasarkan tempat dan cara artikulasinya dari anak pascaoperasi bibir sumbing.

 Mengelompokkan fonem-fonem yang sulit diartikulasikan ketika bertutur bahasa Inggris berdasarkan tempat dan cara artikulasinya.


(31)

 Melakukan latihan artikulasi fonem-fonem yang sulit diucapkan dengan mengubah tempat, titik artikulasi, pengaturan pernapasan, dan penekanan pada tiap fonem yang sulit diucapkan dalam bentuk abjad dan kata.

3.17 Temuan

Tahap temuan ini menjelaskan bagaimana data kesulitan artikulasi fonem pada responden ditemukan sesuai dengan tujuan dari penelitian ini (bersifat purposif). Temuan yang kedua, mengetahui faktor yang mendukung atau menghambat kesulitan arikulasi fonem konsonan bahasa Inggris pada anak pascaoperasi bibir sumbing. Temuan yang ketiga, memberikan upaya untuk mengatasi kesulitan artikulasi fonem konsonan bahasa Inggris pada anak pascaoperasi bibir sumbing. Temuan-temuan yang muncul dapat dijadikan sebagai bahan kajian baru atau bahkan teori-teori baru yang dapat mendukung dalam penelitian di kemudian hari.

3.18 Pembahasan

Tahap ini merupakan tahap akhir yang dikumpulkan dari hasil-hasil temuan yang ada yang kemudian akan dibandingkan atau dikonstraskan dengan teori terkait. Penentuan upaya untuk mengatasi kesulitan artikulasi fonem konsonan bahasa Inggris pada anak pascaoperasi bibir sumbing. Setelah dibandingkan, maka akan muncul kesamaan atau pebedaan antara temuan dengan teori yang pada akhirnya akan melahirkan beberapa kesimpulan penelitian.


(32)

BAB V

SIMPULAN DAN SARAN 5.1 Simpulan

Labioshizchis atau lebih dikenal dengan bibir sumbing ini merupakan kelainan bawaan yang timbul saat pembentukan janin yang menyebabkan adanya celah di antara kedua sisi kanan dan kiri dari bibir. Kadang kala malah lebih luas, dapat mencapai langit-langit bahkan sampai dengan merusak estetika cuping hidung (labio-palato-gnato schizis). Adapun definisi tentang labioshozchis ini bahwa belahan langit-langit mulut ini merujuk pada keadaan terbelahnya atau merekahnya langit mulut seoarang penutur. Belahan atau rekahan langit-langit mulut ini biasanya terjadi pada lngit-langit-langit keras saja, langit-langit-langit-langit lunak saja, atau kedua-duanya. Suatu kelainan bawaan yang terjadi pada bibir bagian atas serta langit-langit lunak dan langit-langit keras mulut.

Kelainan ini adalah suatu ketidak sempurnaan pada penyambungan bibir bagian atas, yang biasanya berlokasi tepat dibawah hidung. Gangguan ini dapat terjadi bersama celah bibir dan langit-langit. Kelainan ini adalah jenis cacat bawaan yang disebabkan oleh gangguan pembentukan organ wajah selama kehamilan. Kejadian rekahan (baik langit-langit mulut, gusi, maupun bibir) ini terjadi sejak awal kehamilan seorang ibu, yang disebabkan oleh kegagalan jaringan janin (embyonic tissue) untuk membentuk langit-langit mulut, gusi, dan bibir secara sempurna.

Selain itu pula terdapat dua jenis kelainan bibir sumbing ini, yaitu; bibir sumbing dengan satu belahan (unilateral) dan jenis bibir sumbing dengan dua


(33)

belahan (bilateral). Adapun penanganan secara medis dilakukan dengan cara melakukan tindakan operasi sejak kecil dengan pengembangan kelainan dalam berbicara harus tetap dipisahkan, dengan kata lain selain penanganan masalah medis juga harus tetap mendapatkan penanganan terapi berbicara dan artikulasi setelah mendapatkan penanganan masalah medis tersebut.

Adapun langkah-langkah operasi yang harus dilakukan oleh anak yang mengalami bibir sumbing sebaiknya dilakukan pada saat bayi berusia enam bulan, pada saat bayi tersebut masih dalam tahap babbling/mengoceh. Sedangkan untuk tindakan operasi kedua sebaiknya dilakukan dengan tujuan untuk menyatukan bibir atas dengan langit-langit yang terbelah dua. Sedangkan untuk tindakan operasi yang sifatnya menyempurnakan biasanya dilakukan untuk menyempurnakan bibir. Meskipun perawatan secara medis (dioperasi dan lain-lain) dilakukan sejak kecil, hasilnya tidak bisa sempurna seperti penutur normal.

Penutur yang bersangkutan tetap menghadapi masalah untk menyebutkan bunyi-bunyi bahasa karena langit-langit mulutnya yang tidak merata (tinggi-rendah) sempit, dan biasanya diikuti bentuk gusi yang tidak normal. Dengan demikian semakin jelas bahwa untuk labioshizchis ini selain mendapatkan tindakan medis berupa tindakan operasi, harus pula mendapatkan tindakan terapi bicara dan terapi artikulasi. Tetapi hsl tersebut juga tidak dengan sendirinya dapat membuat seorang labioshizchis dapat berartikulasi seperti halnya orang-orang normal pada umumnya, tetap saja masih ada ketidaksemprunaan baik dalam segi fisik maupun dalam segi artikulasi dan bicara. Bahkan sampai saat ini pula masalah tersebut belum terpecahkan tentang kegagalan utama dalam dunia medis


(34)

meskipun sudah dilakukan tindakan operasi dan tindakan terapi bicara dan terapi artikulasi.

Labioshizchis yang terjadi pada responden merupakan jenis labioshizchis unilateral dengan luka pada satu belahan bibir, sedangkan pada bagian langit-langit terbuka lebar sampai dengan ke uvula. Sampai saat ini responden sudh mendapatkan tindakan operasi sebanyal dua kali, yaitu: bulan Agustus tahun 1998 ketika usia 5 bulan, dan pada tahun 2006 ketika usia 8 tahun. Melalui wawancara yang dilakukan dengan orang tua responden dan respondennya sendiri sampai saat ini responden tidak memiliki uvula (anak tekak). Sehingga artikulasi yang dilakukan oleh responden akan berakhir dengan fonem nasal.

Setelah penelitian diadakan selama kurang lebih setahun, maka peneliti menyimpulkan bahwa responden mengalami kesulitan artikulasi untuk fonem bilabial [f], Alveolar [l], [r], [s], dan [d], sedangkan fonem velar [k]. Dari keempat fonem tersebut fonem yang diucapkan memiliki fonem nasal, semua itu disebabkan karena responden tidak memiliki uvula (anak tekak). Uvula pada orang normal digunakan untuk mengatur alur udara dari paru-paru yang akan didistribusikan ke rongga mulut atau ke rongga hidung. Untuk kasus responden ini diakrenakan tidak memiliki uvula maka ada sebagian udara yang didistribusikan ke rongga hidung, sehingga pendengar akan menerima fonem nasal di alat pendengarannya.

Kealfaan akan uvula merupakan salah satu faktor yang mendukung responden sulit mengartikulasikan fonem konsonan bahasa Inggris, selain itu pula responden memiliki anatomi rahang yang tidak seimbang, yaitu rahang bawah


(35)

lebih menonjol ke depan daripada rahang atas. Hal ini dapat dibuktikan dengan hasil rontgen. Disamping itu pula responden memiliki gigi tambahan pada rahang atas yang terletak di bagian atas depan ujung gigi atas sehingga responden mengalami hambatan dalam berartikulasi.

Untuk mengatasi kesulitan artikulasi fonem konsonan bahasa Inggris tersebut, maka peneliti melakukan upaya-upaya dalam bidang linguistik untuk mengurangi kesulitan tersebut dengan cara mengubah titik artikulasi responden ketika mengartikulasikan fonem-fonem konsonan bahasa Inggris yang sulit diartikulasikan oleh responden. Adapun untuk upaya-upaya tersebut, peneliti lebih menitik beratkan pada titik artikulasi yang ada pada responden, baik dengan mengubah ataupun merotasi tempat titik artikulasi dan mengatur arus udara yang keluar-masuk dari paru-paru menuju mulut dan nasal berdasarkan jenis-jenis fonem yang mendapat kesulitan diartikulasikan oleh responden, terutama untuk fonem konsonan bahasa Inggris. Peneliti memaparkan upaya-upaya tersebut di atas ke dalam tiap fonem yang menjadi kesulitan artikulasi dari responden seperti yang dibahas dibawah ini:

1. Fonem Bilabial

Responden menarik lidah ke belakang dalam keadaan tergantung atau ngangkang, bibir atas dan bawah bertemu, kemudian responden menarik nafas terlebih dahulu dan menghembuskan udara difokuskan dan dikeluarkan dari mulut.


(36)

2. Fonem Labiodental

Untuk mengatasi penyimpangan fonem [f] sebagai kesulitan artikulasi dari responden, maka peneliti memberikan alternatif cara artikulasi dengan mengubah tempat artikulasi, yaitu dengan menarik nafas dalam-dalam sebelum berartikulasi kemudian menempatkan ujung gigi atas ke depan bertemu dengan bibir bawah, posisi penempatan gigi atas responden ke gigi bawah hampir 75% dari luas bibir bawah. Hal ini dilakukan responden dikarenakan posisi rahang bawah responden lebih ke depan dari pada rahang atas.

3. Fonem Alveolar

Ketika akan mengartikulasikan fonem [d], responden menyentuhkan lidah depan bagian atas disentuhkan depan ke ujung langit-langit bagian atas gigi depan. Untuk fonem [l] lidah responden dijulurkan sedikit ke depan kemudian digigit oleh kedua gigi dan lidah agak dicekungkan ke arah gigi atas, sehingga fonem [l] dapat dikurangi fonem sengaunya. Fonem [r] responden harus menempatkan pinggir lidah kiri dan kanan secara melebar kemudian disentuhkan ke gigi atas bagian kiri dan kanan dengan mulut dalam keadaan terbuka, sehingga suara terdengar bergetar dan untuk mengurangi rembesan udara yang keluar melalui alat artikulasi nasal. Untuk fonem [d] peneliti mengarahkan responden agar menempatkan posisi lidah bagian depan atas disentuhkan ke ujung depan langit-langit gigi atas. Untuk fonem [s] responden menempatkan lidah seolah-olah digigit oleh gigi ujung depan.


(37)

4. Fonem Velar

Dalam kasus ini, peneliti memberikan alternatif cara mengartikulasikan fonem [k] tersebut dengan melebarkan lidah disentuhkan ke ujung gigi kanan dan kiri atas, kemudian responden menggigit lidah tersebut. Hal tersebut sebagai upaya untuk mengatasi kesulitan artikulasi fonem [k] bahasa Inggris bagi responden.

5.2 Saran

Peneliti melakukan penelitian pada seorang anak labioshizchis pascaoperasi bibir sumbing sebanyak dua kali. Penelitian ini dilakukan untuk menjawab tiga pertanyaan penelitian yang telah disebutkan pada bab-bab sebelumnya. Penelitian tentang labioshizchis ini masih belum banyak dilakukan, sehingga referensi untuk bidang ini masih sukar untuk didapatkan. Labioshizchis merupakan cacat bawaan yang sukar untuk disempurnakan. Meskipun sudah melakukan oparasi, hendaknya mendapatkan penanganan secara medis tidak boleh berhenti sampai di sana. Sepantasnya responden harus mendapatkan tindak lanjut untuk mengurangi kesulitan artikulasi. Selain itu pula hendaknya pendekatan linguistik dilakukan untuk mengurangi kesulitan artikulasi pascaoperasi bibir sumbing. Terapi wicara seharusnya merupakan rangkaian tindakan pascaoperasi bibir sumbing.

Pada kasus labioshizchis ini, masyarakat umum harus lebih membuka tangan untuk menerima penderita labioshizchis ini dengan menganggap bahwa mereka tidak termasuk orang-orang yang memiliki kelainan artikulasi dan


(38)

berkomunikasi. Labioshizchis bukanlah kelainan yang patut untuk dijadikan jarak dalam berkomunikasi. Terapi bicara dan artikulasi harus lebih ditekankan dengan berkolaborasi dengan tim medis. Penanganan labioshizchis hendaknya dijadikan satu rangkaian perlakuan tindakan baik dari segi medis maupun dari segi linguistik. Koordinasi antara aspek medis dan linguistik harus merupakan satu paket dalam penanganan labioshizchis. Penelitian lebih mendalam dan berkelanjutan hendaknya dilakukan pada penelitian-penelitian selanjutnya. Konstribusi dari penelitian ini senantiasa dapat memberikan konstribusi yang positif terhadap penderita labioshizchis dari sudut linguistik.

Penggunaan alat-alat pengukur ketepatan artikulasi dibutuhkan untuk mengukur kevaliditasan kesulitan artikulasi fonem konsonan bahasa Inggris. Alat validasi artikulasi fonem konsonan ini harus dapat digunakan untuk validasi data kesulitan artikulasi fonem konsonan bahas Inggris.

Peneliti mengharapkan bahwa penelitian lebih lanjut dan lebih detail dapat dilakukan untuk kesempurnaan dan dapat menemukan teori-teori baru yang dapat memberikan konstribusi yang positif terhadap bidang linguistik pada umumnya dan linguistik klinis pada khususnya.


(39)

DAFTAR PUSTAKA

Bailey, A. Carol, 2007, A Guide To Qualitative Field Research Second Edition, New Delhi : Fine Forge Press.

Cipollone, Keiser, Vasisth, 1998, Language Files: Materials for an Introduction to Language and Linguistics, Seventh Edition, Ohio : Ohio State University Press

Clark John, Collin Yallop, 1996, An Introduction to Phonetics and Phonology Second Edition, Massachusetts : Blackwell Publishers Ltd

.

Cummings, Louise, 2008, Clinical Linguistics, Manchester : Edinburgh University Press.

Dardjowidjojo, Soenjono, 2008, Pengajaran Pemerolehan Bahasa, Jakarta : Yayasan Obor Indonesia.

Ellis, R, 1991, Understanding Second Language Acquisition, Oxford : Oxford University Press.

Echols John M, Shadili Hassan, 1996, An English-Indonesian Dictionary, Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Utama.

Kridalaksana, Harimurti, 2001, Kamus Linguistik, Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Utama.

Lilik Kurniawan, Yayan Akhyar Israr. LABIOSCHISIS (BIBIR SUMBING) Fakultas Kedokteran Universitas Riau. 2009.

Moeleong, Lexy J, 2008, Metodologi Penelitian Kualitatif, Bandung : PT. Remaja Rosdakarya.

Musclih, Masnur, 2009, Fonologi Bahasa Indonesia, Jakarta : Bumi Aksara. Roach, Peter, 2001, Phonetics, New York : Oxford University.

Scherer, Nancy J & Kaiser, Ann P, 2007, Early Intervention for Children With Cleft Palate Journal, INFANTS & YOUNG CHILDREN/OCTOBER–DECEMBER 2007, Johnson City : scherern@etsu.edu.


(40)

Suwandi, Sarwiji, 2008, Serbalinguistik: Mengupas Pelbagai Praktik Berbahasa, Surakarta : LPP UNS dan UNS Press.

Tarigan, Guntur Henry, 1988, Pengajaran Pemerolehan Bahasa, Jakarta : Dirjen Dikti

Verhaar, 2008, Asas-asas Linguistik, Jogjakarta: Gadjah Mada University Press Windsor Fay, Kelly M. Lousie, Hewlett Nigel, 2002, Investigation in Clinical

Phonetics and Linguistics, London : Lawrence Erlbaum Association Publishers.


(1)

lebih menonjol ke depan daripada rahang atas. Hal ini dapat dibuktikan dengan hasil rontgen. Disamping itu pula responden memiliki gigi tambahan pada rahang atas yang terletak di bagian atas depan ujung gigi atas sehingga responden mengalami hambatan dalam berartikulasi.

Untuk mengatasi kesulitan artikulasi fonem konsonan bahasa Inggris tersebut, maka peneliti melakukan upaya-upaya dalam bidang linguistik untuk mengurangi kesulitan tersebut dengan cara mengubah titik artikulasi responden ketika mengartikulasikan fonem-fonem konsonan bahasa Inggris yang sulit diartikulasikan oleh responden. Adapun untuk upaya-upaya tersebut, peneliti lebih menitik beratkan pada titik artikulasi yang ada pada responden, baik dengan mengubah ataupun merotasi tempat titik artikulasi dan mengatur arus udara yang keluar-masuk dari paru-paru menuju mulut dan nasal berdasarkan jenis-jenis fonem yang mendapat kesulitan diartikulasikan oleh responden, terutama untuk fonem konsonan bahasa Inggris. Peneliti memaparkan upaya-upaya tersebut di atas ke dalam tiap fonem yang menjadi kesulitan artikulasi dari responden seperti yang dibahas dibawah ini:

1. Fonem Bilabial

Responden menarik lidah ke belakang dalam keadaan tergantung atau ngangkang, bibir atas dan bawah bertemu, kemudian responden menarik nafas terlebih dahulu dan menghembuskan udara difokuskan dan dikeluarkan dari mulut.


(2)

Neneng Jubaedah, 2012

Kajian Linguistik Klinis Pada Anak Labioshizchis Pascaoperasi Bibir Sumbing: Studi Kasus Kesulitan Artikulasi Fonem Konsonan Bahasa Inggris Dan Upaya Penanggulangannya

Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu

111 2. Fonem Labiodental

Untuk mengatasi penyimpangan fonem [f] sebagai kesulitan artikulasi dari responden, maka peneliti memberikan alternatif cara artikulasi dengan mengubah tempat artikulasi, yaitu dengan menarik nafas dalam-dalam sebelum berartikulasi kemudian menempatkan ujung gigi atas ke depan bertemu dengan bibir bawah, posisi penempatan gigi atas responden ke gigi bawah hampir 75% dari luas bibir bawah. Hal ini dilakukan responden dikarenakan posisi rahang bawah responden lebih ke depan dari pada rahang atas.

3. Fonem Alveolar

Ketika akan mengartikulasikan fonem [d], responden menyentuhkan lidah depan bagian atas disentuhkan depan ke ujung langit-langit bagian atas gigi depan. Untuk fonem [l] lidah responden dijulurkan sedikit ke depan kemudian digigit oleh kedua gigi dan lidah agak dicekungkan ke arah gigi atas, sehingga fonem [l] dapat dikurangi fonem sengaunya. Fonem [r] responden harus menempatkan pinggir lidah kiri dan kanan secara melebar kemudian disentuhkan ke gigi atas bagian kiri dan kanan dengan mulut dalam keadaan terbuka, sehingga suara terdengar bergetar dan untuk mengurangi rembesan udara yang keluar melalui alat artikulasi nasal. Untuk fonem [d] peneliti mengarahkan responden agar menempatkan posisi lidah bagian depan atas disentuhkan ke ujung depan langit-langit gigi atas. Untuk fonem [s] responden menempatkan lidah seolah-olah digigit oleh gigi ujung depan.


(3)

4. Fonem Velar

Dalam kasus ini, peneliti memberikan alternatif cara mengartikulasikan fonem [k] tersebut dengan melebarkan lidah disentuhkan ke ujung gigi kanan dan kiri atas, kemudian responden menggigit lidah tersebut. Hal tersebut sebagai upaya untuk mengatasi kesulitan artikulasi fonem [k] bahasa Inggris bagi responden.

5.2 Saran

Peneliti melakukan penelitian pada seorang anak labioshizchis pascaoperasi bibir sumbing sebanyak dua kali. Penelitian ini dilakukan untuk menjawab tiga pertanyaan penelitian yang telah disebutkan pada bab-bab sebelumnya. Penelitian tentang labioshizchis ini masih belum banyak dilakukan, sehingga referensi untuk bidang ini masih sukar untuk didapatkan. Labioshizchis merupakan cacat bawaan yang sukar untuk disempurnakan. Meskipun sudah melakukan oparasi, hendaknya mendapatkan penanganan secara medis tidak boleh berhenti sampai di sana. Sepantasnya responden harus mendapatkan tindak lanjut untuk mengurangi kesulitan artikulasi. Selain itu pula hendaknya pendekatan linguistik dilakukan untuk mengurangi kesulitan artikulasi pascaoperasi bibir sumbing. Terapi wicara seharusnya merupakan rangkaian tindakan pascaoperasi bibir sumbing.


(4)

Neneng Jubaedah, 2012

Kajian Linguistik Klinis Pada Anak Labioshizchis Pascaoperasi Bibir Sumbing: Studi Kasus Kesulitan Artikulasi Fonem Konsonan Bahasa Inggris Dan Upaya Penanggulangannya

Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu

113 berkomunikasi. Labioshizchis bukanlah kelainan yang patut untuk dijadikan jarak dalam berkomunikasi. Terapi bicara dan artikulasi harus lebih ditekankan dengan berkolaborasi dengan tim medis. Penanganan labioshizchis hendaknya dijadikan satu rangkaian perlakuan tindakan baik dari segi medis maupun dari segi linguistik. Koordinasi antara aspek medis dan linguistik harus merupakan satu paket dalam penanganan labioshizchis. Penelitian lebih mendalam dan berkelanjutan hendaknya dilakukan pada penelitian-penelitian selanjutnya. Konstribusi dari penelitian ini senantiasa dapat memberikan konstribusi yang positif terhadap penderita labioshizchis dari sudut linguistik.

Penggunaan alat-alat pengukur ketepatan artikulasi dibutuhkan untuk mengukur kevaliditasan kesulitan artikulasi fonem konsonan bahasa Inggris. Alat validasi artikulasi fonem konsonan ini harus dapat digunakan untuk validasi data kesulitan artikulasi fonem konsonan bahas Inggris.

Peneliti mengharapkan bahwa penelitian lebih lanjut dan lebih detail dapat dilakukan untuk kesempurnaan dan dapat menemukan teori-teori baru yang dapat memberikan konstribusi yang positif terhadap bidang linguistik pada umumnya dan linguistik klinis pada khususnya.


(5)

DAFTAR PUSTAKA

Bailey, A. Carol, 2007, A Guide To Qualitative Field Research Second Edition, New Delhi : Fine Forge Press.

Cipollone, Keiser, Vasisth, 1998, Language Files: Materials for an Introduction to Language and Linguistics, Seventh Edition, Ohio : Ohio State University Press

Clark John, Collin Yallop, 1996, An Introduction to Phonetics and Phonology Second Edition, Massachusetts : Blackwell Publishers Ltd

.

Cummings, Louise, 2008, Clinical Linguistics, Manchester : Edinburgh University Press.

Dardjowidjojo, Soenjono, 2008, Pengajaran Pemerolehan Bahasa, Jakarta : Yayasan Obor Indonesia.

Ellis, R, 1991, Understanding Second Language Acquisition, Oxford : Oxford University Press.

Echols John M, Shadili Hassan, 1996, An English-Indonesian Dictionary, Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Utama.

Kridalaksana, Harimurti, 2001, Kamus Linguistik, Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Utama.

Lilik Kurniawan, Yayan Akhyar Israr. LABIOSCHISIS (BIBIR SUMBING) Fakultas Kedokteran Universitas Riau. 2009.

Moeleong, Lexy J, 2008, Metodologi Penelitian Kualitatif, Bandung : PT. Remaja Rosdakarya.

Musclih, Masnur, 2009, Fonologi Bahasa Indonesia, Jakarta : Bumi Aksara. Roach, Peter, 2001, Phonetics, New York : Oxford University.

Scherer, Nancy J & Kaiser, Ann P, 2007, Early Intervention for Children With Cleft


(6)

Neneng Jubaedah, 2012

Kajian Linguistik Klinis Pada Anak Labioshizchis Pascaoperasi Bibir Sumbing: Studi Kasus Kesulitan Artikulasi Fonem Konsonan Bahasa Inggris Dan Upaya Penanggulangannya

Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu

Suwandi, Sarwiji, 2008, Serbalinguistik: Mengupas Pelbagai Praktik Berbahasa, Surakarta : LPP UNS dan UNS Press.

Tarigan, Guntur Henry, 1988, Pengajaran Pemerolehan Bahasa, Jakarta : Dirjen Dikti

Verhaar, 2008, Asas-asas Linguistik, Jogjakarta: Gadjah Mada University Press Windsor Fay, Kelly M. Lousie, Hewlett Nigel, 2002, Investigation in Clinical

Phonetics and Linguistics, London : Lawrence Erlbaum Association Publishers.