Kredit Macet Dengan Pengikatan Agunan Piutang Dagang Pada Perjanjian Kredit Modal Kerja Usaha Mikro Kecil Menengah Ditinjau Dari Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 Sebagaimana Diubah Dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 Tentang Perbankan.

(1)

“KREDIT MACET DENGAN PENGIKATAN AGUNAN PIUTANG DAGANG PADA PERJANJIAN KREDIT MODAL KERJA USAHA MIKRO KECIL MENENGAH DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1992 SEBAGAIMANA

DIUBAH DENGAN UNDANG-UNDANG NOMOR 10 TAHUN 1998 TENTANG PERBANKAN”

Oleh :

BOBBI MUHAMAD ALI AKBAR1 110120130044

ABSTRAK

Pada perkembangannya pemberian KMK yang pada pengikatan sebagai jaminan utama adalah agunan piutang dagang atau stok barang, seringkali dalam hal posisi kredit macet, bank sulit untuk mengekekusi agunan tersebut yang dikarenakan pengikatan agunan menggunakan Surat Kuasa Jual untuk stok barang dan pengikatan secara Cessie di bawah tangan untuk piutang/tagihan tidak efektif. Penelitian dilakukan dengan penelitian kepustakaan dan studi lapangan melalui teknik pengumpulan data berupa studi dokumen dan wawancara yang kemudian dianalisis secara normatif kualitatif. Pengikatan jaminan piutang dagang oleh bank dengan cara di bawah tangan sangat beresiko. Pihak Bank melakukan pengikatan di bawah tangan mengingat untuk pendaftaran cessie melalui fidusia banyak memerlukan waktu sehingga proses kredit akan berlangsung lama. Apabila Bank tidak dapat mengeksekusi pada kredit macet ini berkaitan dengan ketentuan pasal 1131 dan 1132 KUH Perdata.

Kata Kunci : Kredit Macet, Agunan Piutang Dagang, Perlindungan Hukum.

“NON PERFORMING LOANS OF BINDING THE TRADE RECEIVABLE COLLATERAL IN WORKING CAPITAL LOANS AGREEMENT OF MICRO SMALL MEDIUM ENTERPRISES IN TERMS OF ACT NUMBER 7 YEAR 1992 AS AMENDED BY ACT

NUMBER 10 YEAR 1998 REGARDING BANKING” ABSTRACT

In the development of WCL provisions which in binding as a main collateral is a trade receivable or an inventory collateral, oftentimes in terms of non performing loans position, bank is difficult to execute the collateral due to the collateral binding uses the selling power of attorney of inventory and binding by privately cessie of receivables/bills is ineffective.The Research method in this thesis through a normative approach. Specifications of the research is descriptive analitical.

The binding of trade receivable collateral in a way of privately is very risky. The bank conducted the privately binding considering to the cessie registration through to the fiduciary requires a many times that loan process will be long. If Bank cannot execute the wider community, if there are no customers, because as entrepreneurs banking is very dependent on the debtor, in order to maintain the continuity of their business.

Keyword : Non Performing Loans, Trade Receivable Collateral, Legal Protection.

1 Alamat korespondensi : human@unpad.ac.id ; telepon 2504957, fax +622-2509453, alamat sekarang : Program Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran, Jalan Banda No. 42 Bandung


(2)

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Perekonomian bangsa Indonesia pada dasarnya dipengaruhi oleh beberapa faktor baik dalam skala makro maupun mikro. Dinamika perekonomian bangsa Indonesia yang berdasarkan skala makro maupun mikro ditentukan oleh sistem perbankan yang diberlakukan oleh negara ini. Sistem perbankan, berdasarkan Undang Nomor 7 Tahun 1992 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas tentang Perbankan kemudian akan disebut dengan Undang-Undang Perbankan, yang dimaksud dengan sistem perbankan merupakan suatu sistem atau mekanisme yang berkaitan dengan segala sesuatu yang berhubungan dengan Bank, mencakup kelembagaan, kegiatan usaha, serta cara dan proses dalam melaksanakan kegiatan usahanya.

Bank harus meneliti tentang keahlian calon nasabah debitur dalam bidang usahanya dan kemampuan manajerialnya, sehingga bank memiliki keyakinan bahwa usaha yang akan dibiayainya akan dikelola oleh orang yang tepat.2 Dengan demikian calon debitur dalam jangka waktu yang relatif tidak terlalu lama sudah mampu untuk melunasi atau mengembalikan pinjaman atau kreditnya. Bila kemampuan bisnisnya kecil atau kinerja bisnisnya menurun, maka tidak layak diberikan kredit dalam skala besar, bahkan bisa saja kredit tidak diberikan.

Jaminan pinjaman berupa agunan utama dalam fasilitas KMK pada sektor UMKM antara lain stok barang dan piutang/tagihan yang telah disetujui oleh bank memiliki beberapa fungsi antara lain untuk mengamankan fasilitas KMK apabila debitur wanprestasi atau cidera janji sehingga tidak dapat memenuhi kewajibannya untuk membayar hutangnya berikut bunga maupun biaya lain yang timbul akibat perjanjian itu, sebagaimana diuraikan dalam akta perjanjian kredit. Sehingga, bila kredit yang diterima debitur tersebut tidak dilunasinya dan disimpulkan sebagai kredit bermasalah, jaminan berupa agunan utama dalam fasilitas KMK diterima bank akan dicairkan untuk pelunasan kredit bermasalah tersebut.

Pada perkembangannya pemberian KMK yang pada pengikatan sebagai jaminan utama adalah agunan piutang dagang atau stok barang, seringkali dalam hal posisi kredit macet, bank sulit untuk mengekekusi agunan tersebut yang dikarenakan pengikatan agunan menggunakan Surat Kuasa Jual untuk stok barang dan pengikatan secara Cessie di bawah tangan untuk piutang/tagihan tidak efektif.

Penulis mengambil kasus mengenai eksekusi agunan piutang dagang/tagihan yang diikat secara cessie di bawah tangan pada posisi kredit macet fasilitas KMK sektor UMKM. Pada kasus kredit macet fasilitas KMK sektor UMKM bank sulit untuk mengeksekusi agunan piutang tersebut, yang dikarenakan piutang/tagihan yang diikat secara cessiedi bawah tangan kurang memiliki kekuatan hukum. Guna menjamin pembayaran kembali hutang debitur kepada bank yang berdasarkan pada perjanjian kredit, debitur menyepakati untuk menyerahkan hak atas semua tagihan, piutang dan tuntutan yang dimiliki oleh debitur terhadap pihak-pihak ketiga. Dalam perjanjian kredit antara bank dan debitur yang dimaksud dengan piutang adalah seluruh hak tagih, manfaat dan kepentingan lainnya yang dimiliki oleh debitur termasuk namun tidak terbatas pada setiap dan semua piutang dalam bentuk dan dengan nama apapun baik yang ada sekarang maupun di kemudian hari yang timbul dari kegiatan usaha debitur.

2


(3)

B. Identifikasi Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, maka dapat dirumuskan Identifikasi Masalah sebagai berikut :

1. Bagaimana pengikatan agunan piutang dagang dalam perjanjian kredit modal kerja sektor usaha mikro kecil menengah yang macet ditinjau dari Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 sebagaimana diubah dengan Undang-Undang-Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan ?

2. Bagaimana perlindungan hukum terhadap bank sebagai kreditur dalam hal tidak dapat mengeksekusi agunan piutang dagang pada kredit macet yang merupakan agunan tambahan dalam perjanjian kredit modal kerja ?

II. METODE PENELITIAN

Spesifikasi Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah yuridis normatif yang disebut juga sebagai penelitian doctrinal (doctrinal research) yaitu suatu penelitian yang menganalisis hukum baik yang tertulis didalam buku (law as it is written in the book), maupun hukum yang diputuskan oleh hakim melalui proses pengadilan (law it is decided by the judge through judicial process).3 Penelitian hukum normatif dalam penelitian ini didasarkan data sekunder dan menekankan pada langkah-langkah spekulatif-teoritis dan analisis normatif-kualitatif.4 Dengan demikian penelitian ini meliputi penelitian terhadap sumber-sumber hukum, peraturan perundang-undangan, dokumen-dokumen terkait dan beberapa buku mengenai perjanjian kredit modal kerja yang berhubungan dengan pengikatan agunan.

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Pengikatan agunan piutang dagang dalam perjanjian kredit modal kerja sektor usaha mikro kecil menengah yang macet ditinjau dari Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan.

Kredit yang telah disetujui dan disepakati oleh para pihak, maka wajib dituangkan dalam perjanjian kredit (akad kredit) secara tertulis. Dalam praktik perbankan bentuk dan format dari perjanjian kredit diserahkan sepenuhnya kepada bank yang bersangkutan. Perjanjian Kredit (PK) tidak diatur dalam hukum perdata Indonesia karena perjanjian kredit merupakan salah satu dari bentuk perjanjian pinjam-meminjam yang diatur dalam Buku Ketiga KUHPerdata. Dalam bentuk apapun pemberian kredit itu dirasakan pada hakikatnya merupakan salah satu perjanjian pinjam-meminjam sebagaimana diatur dalam Pasal 1754-1769 KUHPerdata. Dengan demikian dalam praktik perbankan yag modern, hubungan hukum yang terjadi dalam perjanjian kredit bukan lagi semata-mata berbentuk perjanjian pinjam-meminjam, melainkan adanya campuran dengan bentuk perjanjian lainnya, seperti perjanjian pemberian kuasa dan perjanjian lainnya.

Asas yang utama dari suatu perikatan atau perjanjian, yaitu asas kebebasan berkontrak, maka pihak-pihak yang akan mengikatkan diri dalam perjanjian kredit tersebut dapat mendasarkan tidak hanya pada ketentuan-ketentuan yang ada pada KUH Perdata, tetapi juga dapat mendasarkan pada kesepakatan bersama, artinya dalam hal-hal ketentuan yang memaksa maka harus sesuai dengan ketentuan yang tercantum dalam KUH Perdata, tetapi juga dapat mendasarkan pada kesepakatan

3Amiruddin dan Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum,PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2006, Hlm. 118.

4J. Supranto, Metode Penelitian Hukum dan Statistik, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2003, Hlm. 3.


(4)

bersama, artinya dalam hal-hal ketentuan yang memaksa maka harus sesuai dengan ketentuan yang tercantum dalam KUH Perdata, sedangkan dalam hal ketentuan yang tidak memaksa diserahkan kepada para pihak.

Berdasarkan penjelasan pasal 8 Undang-Undang Perbankan dalam pemberian fasilitas kredit bank harus berpegang pada prinsip kehati-hatian dan seksama dalam melakukan penialain dan pertimbangan pada permohonan fasilitas kredit modal kerja sektor UMKM.

Prinsip dari pemberian kredit modal kerja ini adalah penggunaan modal yang akan habis dalam satu siklus usaha yaitu dimulai dari perolehan uang tunai dari kredit bank kemudian digunakan untuk membeli barang dagangan atau bahan-bahan baku kemudian diproses menjadi barang jadi lalu dijual baik secara tunai atau kredit selanjutnya memperoleh uang tunai kembali. Dalam menjalankan kegiatan operasionalnya, perusahaan membutuhkan dana yang cukup untuk menjamin kelangsungan operasinya tersebut.

Bank dalam membuat Nota Analisa Kredit pada fasilitas Kredit Modal Kerja sektor UMKM harus menganalis dengan memerhatikan prinsip kehati-hatian (Prinsip

5’C). Yang paling penting untukmengamankan posisi bank apabila kredit dinyatakan

macet adalah agunan baik agunan Fixed Asset maupun agunan Non Fixed Asset. Dalam praktek pemberian kredit yang terlaksana hingga saat ini oleh perbankan, pengikatan jaminan piutang dangan dengan menggunakan cessie lebih banyak dipergunakan untuk memperjanjikan suatu pengalihan piutang atau tagihan atas nama yang dijadikan jaminan suatu kredit pada pemberian fasilitas kredit modal kerja. Ada ciri khas tersendiri yang dimiliki cessie sebagai pengikatan piutang dagang dalam jaminan kredit modal kerja yang menurut kreditur dapat menjamin hak terkait pelunasan pemberian kreditnya.

Pengikatan jaminan secara cessie atas piutang dagang merupakan benda bergerak tidak berwujud yang bisa dijadikan objek jaminan kredit/pembiayaan pada fasilitas Kredit Modal Kerja sektor UMKM. Pembedaan kebendaan atas benda bergerak dan benda tidak bergerak penting pula bagi penyerahan ( levering). Penyerahan benda yang bergerak pada umumnya dilakukan dengan penyerahan nyata (feitelijke levering), kecuali benda tidak berwujud dilakukan dengan cessie sebagaimana diatur didalam pasal 612 dan pasal 613 KUHPerdata, penyerahan nyata tersebut sekaligus penyerahan yuridis (juridische levering).

Nilai nominal cessie tagihan piutang sebagai benda jaminan yang diikat dengan jaminan fidusia cenderung berubah, hal ini sangat beresiko bagi Bank karena jika debitur cidera janji. Dan kreditur menagih cessie piutang yang telah dialihakan segala hak dan kewajibannya kepada kreditur ternyata telah lunas, dan tidak dapat ditagih lagi. Jika ini terjadi ini sangat merugikan kreditur sebagai pemegang hak atas jaminan cessie tagihan piutang yang telah diserahkan.

Untuk mengatasi perubahan nilai jaminan cessie tagihan piutang sebagai jaminan pembiayaan, dibuatlah suatu kebijakan internal dari Bank yaitu bahwa: “ Cessie atas tagihan piutang yang diagunkan bukan berasal dari dana Bank, kollektibilitas lancar, dan daftar cessie tagihan piutang tersebut harus diperbaharui (direvisi) sesuai dengan waktu yang ditentukan Bank dan sedang tidak dijaminkan kepada kreditur lain. Hal ini terdapat dalam ketentuan SPPK. Bahwa sebelum dikabulkannya permohonan perjanjian pembiayaan dengan jaminan cessie tagihan piutang sebagai benda jaminan pembiayaan, maka calon debitur harus memenuhi ketentuan yang ada di dalam SPPK (Surat Penawaran Perjanjian Kredit) yang di keluarkan Bank.


(5)

tersebut ke dalam kategori kredit macet sehingga akan dilakukan proses penyelesaian kredit bermasalah dengan melaksanakan eksekusi terhadap jaminan cessie dengan cara penjualan dibawah tangan dan segala biaya baik berupa ganti rugi beserta denda yang timbul dari berakhirnya perjanjian kredit akibat wanprestasi tersebut dibebankan kepada debitur UMKM.

Sehubungan dengan eksekusi cessie pada kredit macet dalam perjanjian kredit modal kerja sektor UMKM tersebut, debitur telah melakukan penyerahan piutang yang tertuang dalam akta cessie dengan memberikan kuasa yang tidak dapat ditarik kembali dengan hak substitusi kepada Bank, serta debitur terlebih dahulu telah memberikan pemberitahuan secara resmi kepada pihak-pihak yang berhutang kepada debitur dan atau mendapatkan pengakuan dan persetujuan dari pihak-pihak tersebut tentang penyerahan hak atas piutang yang dilakukan berdasarkan cessie Piutang tersebut.

Hal tersebut di atas sebetulnya telah sesuai dengan pasal 613 KUH Perdata, bahwa Bank diberi hak untuk memberitahukan perihal pengalihan dan penyerahan hak cessie atas piutang kepada pihak ketiga kepada siapa debitur UMKM memiliki hak tagih atas piutang tersebut. Apabila telah terlaksana mengenai eksekusi agunan atau jaminan piutang dagang berupa cessie ini, pihak Bank menerima hasil penagihan dan berhak mempergunakan semua jumlah dari hasil penagihan atas piutang yang diserahkan dengan dikurangi biaya-biaya atas penagihan tersebut.

Namun apabila dikaitkan dengan Undang-Undang Perbankan mengenai kedudukan agunan yang diikat secara cessie berupa piutang dagang atau hak tagih tidak dijelaskan secara rinci, sehingga mengenai agunan piutang dagang dalam pemberian fasilitas Kredit Modal Kerja sektor UMKM yang diikat berdasarkan cessie di bawah tangan bank tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat dan jelas berdasarkan Undang-Undang Perbankan.

Walaupun dalam Undang-Undang Perbankan tidak diatur mengenai pengikatan ataupun lebih luas mengenai agunan cessie namun dalam praktek pihak Bank bisa menggunakan Fidusia sebagai payung hukum dalam pengikatan agunan cessie dalam Perjanjian Kredit Modal Kerja, sehingga Bank memiliki kekuatan hukum dalam pelaksanaan eksekusi agunan piutang dagang tersebut.

B. Perlindungan hukum terhadap bank sebagai kreditur dalam hal tidak dapat mengeksekusi agunan piutang dagang pada kredit macet yang merupakan agunan tambahan dalam perjanjian kredit modal kerja.

Berdasarkan Indonesia sebagai negara hukum berdasarkan pancasila haruslah memberikan perlindungan hukum terhadap warga masyarakatnya dalam berbagai kegiatan, sesuai dengan yang tercantum dalam Pembukaan UUD 1945 alinea ke-4, oleh karena itu perlindungan hukum berdasarkan pancasila berarti pengakuan dan perlindungan hukum berdasarkan Pancasila berarti pengakuan dan perlindungan akan harkat dan martabat manusia atas dasar nilai Ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, permusyawaratan, serta keadilan sosial.

Salah satu sifat sekaligus tujuan hukum adalah memberikan perlindungan (pengayoman) kepada masyarakat.5 Pada dasarnya manusia selalu memerlukan keadilan, kebenaran dan hukum, karena hal tersebut adalah merupakan nilai dan kebutuhan asasi bagi masyarakat beradab.

Kunci pokok dalam perlindungan hukum bagi bank sebagai kreditur dalam pemberian fasilitas modal kerja sektor UMKM bahwa antara bank dengan pelaku usaha UMKM, sangat erat hubungannya, bank tidak akan berkembang dengan baik


(6)

serta tidak dapat memberi manfaat bagi masyarakat luas, jika tidak ada nasabah, oleh karena itu sebagai pelaku usaha perbankan sangat bergantung dengan debitur, untuk dapat mempertahankan kelangsungan usahanya.

Dalam kenyataan terjadi banyak pelaku usaha UMKM atau pihak debitur memiliki kecenderungan untuk mengesampingkan hak-hak bank sebagai kreditur serta memanfaatkan kelemahan bank tanpa harus mendapatkan sanksi hukum, minimnya kesadaran dan pengetahuan hukum pegawai bank tidak mustahil dijadikan lahan bagi pelaku usaha UMKM yang membutuhkan fasilitas kredit modal kerja atau dalam transaksi yang tidak mempunyai iktikad baik dalam menjalankan usaha yaitu berprinsip mencari keuntungan yang sebesar-besarnya dengan memanfaatkan seefisien mungkin sumber daya yang ada.

Perlindungan bagi bank sebagai kreditur dalam kerangka bisnis dewasa ini adalah hal-hal yang sangat urgent, dengan adanya perlindungan secara legal atau payung hukum yaitu untuk menciptakan kenyamanan dan kedamaian kepada para pihak yang terkait. Secara eksplisit sulit ditemukan ketentuan mengenai perlindungan hukum bagi bank sebagai kreditur pada perjanjian kredit modal kerja dalam Undang-Undang Perbankan, tetapi sebagaian besar Pasal-Pasal hanya berkonsentrasi pada aspek kepentingan perlindungan hukum terhadap bank dalam pengikatan agunan yang diikat berdasarkan Hak Tanggungan saja sehingga kedudukan agunan piutang dagang dalam perjanjian kredit modal kerja sangatlah lemah, baik ditinjau dari kontraktual dengan bank dalam perjanjian kredit misalnya bank sebagai kreditur sangat dilematis, karena perjanjian kredit dalam pengikatan agunan piutang dagang yang biasanya standar kontrak dan tidak dikembangkan, senantiasa membebani bank dengan berbagai macam hak, kewajiban dan tanggung jawab atas resiko yang ditimbulkan selama perjanjian berlangsung ditujukan kepada bank, yang pada gilirannya memunculkan tanggung jawab minus dari pihak debitur apabila kredit dinyatakan macet.

Perwujudan perlindungan hukum bagi Bank yang merupakan kreditur dari fasilitas Kredit Modal Kerja sektor UMKM dapat melalui 2 (dua) macam perlindungan hukum, yaitu :

1. Perlindungan Hukum Preventif

Pada perlindungan hukum preventif ini, pihak Bank dalam memberikan fasilitas Kredit Modal Kerja harus memperhatikan pada proses pemberian kredit yang baik dan sehat, serta analisis yang mendalam serta kepercayaan pihak Bank terhadap kemampuan nasabah untuk membayar dan melunasi pinjaman didasarkan pada hasil analisa dan penilaian.

2. Perlindungan Hukum Represif

Perlindungan hukum yang bersifat represif, bertujuan untuk menyelesaikan suatu sengketa yang dapat menimbulkan suatu kerugian. Perlindungan ini digunakan sebagai langkah terhadap kemungkinan timbulnya resiko kerugian dari kegiatan usaha yang dilakukan oleh bank. Perlindungan hukum bagi kreditur yang memanfaatkan kredit tanpa agunan ini lebih luas akibat hukumnya, kredit tanpa jaminan apabila terjadi wanprestasi mengandung lebih besar resiko. Pada lembaga perbankan pada umumnya, menerapkan prinsip kehati-hatian dalam setiap pemberian kredit kepada debitur dengan jalan meminta jaminan atau dikenal dengan kredit dengan jaminan, sebagai salah satu upaya meminimalisir resiko kerugian yang akan diderita sebagai akibat debitur tidak dapat melunasi kreditnya sesuai dengan yang telah diperjanjikan dalam perjanjian kredit.


(7)

IV. PENUTUP

Berdasarkan uraian dan pembahasan dalam tesis ini, maka penulis menyimpulkan hal-hal sebagai berikut :

1. Pengikatan jaminan piutang dagang oleh bank dengan cara di bawah tangan sangat beresiko. Pihak Bank melakukan pengikatan di bawah tangan mengingat untuk pendaftaran cessie melalui fidusia banyak memerlukan waktu sehingga proses kredit akan berlangsung lama. Dalam akta cessie yang dikeluarkan pihak bank yang dimaksud piutang adalah seluruh hak tagih, manfaat dan kepentingan lainnya yang dimiliki oleh debitur termasuk namun tidak terbatas pada setiap dan semua piutang dalam bentuk dan dengan nama apapun baik yang ada sekarang maupun di kemudian hari yang timbul dari kegiatan usaha debitur.

2. Apabila Bank tidak dapat mengeksekusi pada kredit macet ini berkaitan dengan ketentuan pasal 1131 dan 1132 KUH Perdata. Kedua pasal ini membahas tentang piutang-piutang yang diistimewakan. Pasal 1131 KUH Perdata mengatakan bahwa segala kebendaan si berutang, baik yang bergerak maupun tidak bergerak, baik yang sudah ada maupun yang baru akan ada dikemudian hari, menjadi tanggungan untuk segala perikatan perseorangan. Dan pasal 1132 KUH Perdata mengatakan bahwa kebendaan tersebut menjadi jaminan bersama-sama bagi semua orang yang mengutangkan padanya; pendapatan penjualan benda-benda itu dibagi-bagikan menurut keseimbangan, yaitu menurut besar-kecilnya piutang masing-masing, kecuali apabila diantara para piutang itu ada alasan-alasan yang sah untuk didahulukan.

Bertitik tolak dari kesimpulan di atas maka penulis mengemukakan beberapa saran sebagai berikut :

1. Sebaiknya dalam hal pengikatan agunan piutang dagang bentuk cessie dalam perjanjian kredit modal kerja, bank melakukan pengikatan melalui Fidusia, supaya terdaftar. Karena Pengaturan mengenai cessie diatur juga dalam Pasal 1 ayat (2) Undang-undang Nomor 42 Tahun 1999 Tentang Jaminan Fidusia, sehingga pihak bank maupun debitur memiliki kepastian hukum. Hal tersebut merupakan strategi Bank yang sesuai dengan pedoman pemberian kredit dalam Pasal 29 Undang-Undang Perbankan, bahwa bank dalam memberikn kredit harus menempuh cara-cara yang tidak merugikan bank dan dengan prinsip kehati-hatian.

2. Sebagai perjanjian accesoir yang memiliki kepastian hukum tetap perjanjian dari penyerahan jaminan cessie yang di ikat dengan fidusia bersifat tergantung kepada perjanjian pokoknya, sehingga untuk lebih memberikan perlindungan hukum terhadap bank sebagai kreditur dalam perjanjian kredit modal kerja sektor UMKM, pihak bank perlu menganalisa agunan piutang dagang secara mendalam dan melakukan maintenance setiap 3 (tiga) bulan kepada debitur UMKM supaya keadaan dan posisi piutang usaha selalu terperbaharui. Selain itu kuasa menagih yang diberikan debitur harus bisa diimplementasikan oleh pihak Bank.

V. UCAPAN TERIMAKASIH

Pada Kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada yang terhormat :

1. Dr. Tarsisius Murwadji, S.H., M.H. selaku Ketua Program Pascasarjana Magister Ilmu Hukum dan Ketua Komisi Pembimbing.

2. Dr. Etty Mulyati, S.H., M.H. selaku Anggota Komisi Pembimbing.

3. Seluruh Karyawan Program Pascasarjana Magister Ilmu Hukum Universitas Padjadjaran.

4. Manajer dan seluruh karyawan Bussiness Banking Desk Low Line PT. Bank Mandiri (Persero) Tbk Tasikmalaya.


(8)

VI. DAFTAR PUSTAKA

Abdullah Maskur, Lilitan Masalah UMKM dan Kontroversi Kebijakan, PT Bitra Indonesia, Medan, 2005.

Abdul R. Saliman, Dkk, Hukum Bisnis Untuk Perusahaan, Prenada Media, Jakarta, 2005. Amiruddin dan Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum,PT. Citra Aditya

Bakti, Bandung, 2006.

Bastian, Indra dan Suhardjono., Akuntansi Perbankan, Salemba Empat, Jakarta, 2006. Ch. Gatot Wardoyo Dalam Buku Rachmadi Usman, Aspek-Aspek Hukum Perbankan Di

Indonesia, Cet I, PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2001.

DJuhaendah Hasan, Lembaga Jaminan Kebendaan Bagi Tanah dan Benda Lain Yang Melekat Pada Tanah Dalam Konsepsi Penerapan Asas Pemisahan, Nuansa Madani, Jakarta, 2011.

Husni Syazali dan Heni Sri Imaniyati, Hukum Perlindungan Konsumen, Mandar Maju, Bandung , 2000.

Ismail, Manajemen Perbankan Dari Teori Menuju Aplikasi, Kencana, Jakarta, 2010. J. Satrio, Hukum Jaminan, Hak Jaminan Kebendaan Fidusia, Citra Aditya Bakti,

Bandung, 2002.

J. Supranto, Metode Penelitian Hukum dan Statistik, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2003.

Johannes Ibrahim, Cross Default dan Cross Collateral sebagai Upaya Penyelesaian Kredit Bermasalah, PT. RefikaAditama, Bandung, , 2004

Lukman Dendawijaya, Manajemen Perbankan, Ghalia Indonesia, Jakarta, 2001.

M. Bahsan, Hukum Jaminan dan Jaminan Kredit Perbankan Indonesia, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2007.

M. Rachmat Firdaus, Teori dan Analisa Kredit Cetakan Pertama, PT. Purna Sarana Lingga Utama, Bandung, 1985.

Mariam Darus Badrulzaman IV, Perjanjian Kredit Bank, Alumni, Bandung, 1989

Maris S.W, Sumardjono, Pedoman Pembuatan Usulan Penelitian, Fakultas Hukum, UGM, Yogyakarta, 1989

Maryanto Supriono, Buku Pintar Perbankan¸ Penerbit Andi, Yogyakarta, 2010.

Muhamad Djumhana, Hukum Perbankan Di Indonesia, Cet VI, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2012.

Munir Fuady, Jaminan Fidusia, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2000.

Naja. H.R. Daeng, Pengantar Hukum Bisnis Indonesia, Pustaka Yustisia, Yogyakarta, 2009. R. Tjipto adi nugroho, Perbankan, Masalah Fungsi, Organisasi dan

Ketatalaksanaan, PradnyaParamita, Jakarta, 1986.

R. Setiawan, Pokok-pokok Hukum Perikatan, Bina Cipta, Bandung, 1975. R. Soebekti, Hukum Perjanjian, PT. Intermasa, Jakarta, 2001.

Rachmad Setiawan, Hukum Perwakilan dan Kuasa Satu Perbandingan Hukum Indonesia dan Hukum Belanda Saat Ini, Penerbit Tatanusa, Jakarta, 2005.

Rachmad Setiawan dan J. Satrio, , Penjelasan Hukum Tentang Cessie, Nasional Legal ReformProgram, Jakarta, 2010.

Rachmadi Usman I, Hukum Jaminan Keperdataan, Sinar Grafika, Jakarta, 2008.

Ronny Hanitijo Soemitro, Metode Penelitian dan Jurimetri, Ghalia Indoensia, Jakarta, 1998.

Shidarta, Hukum Perlindungan Konsumen, Grasindo, Jakarta, 2000

Soebekti, Jaminan-Jaminan untuk Pemberian Kredit Menurut Hukum Indonesia Cetakan Ketiga, PT Alumni, Bandung, 1986.

Soedikno Mertokusumo, Mengenal Hukum Suatu Pengantar ,Liberty, Yogyakarta, 1988. Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum,Universitas Indonesia Press, Jakarta,


(9)

Sutarno, Aspek-Aspek Hukum Perkreditan Pada Bank, CV Alfabeta, Bandung, 2003. Wirjono Projodikoro, Asas-Asas Hukum Perjanjian, PT. Bale, Bandung, 1985.

Undang-Undang Dasar Tahun 1945 Amandemen ke –IV. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.

Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992.

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2004 tentang Bank Indonesia.

Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 Tentang Jaminan Fidusia.

Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah. PBI Nomor 7/2/PBI/ 2005 tentang Penilaian Kualitas Aktiva Bank Umum.

PBI Nomor 3/2/PBI/2001 tentang Pemberian Kredit Usaha Kecil.

PBI Nomor 15/2/PBI/2013 tentang Penetapan Status dan Tindak Lanjut Pengawasan Bank Umum Konvensional.

http://www.bankmandiri.co.id/article/255645454671.asp?article_id=255645454671, diunduh pada hari Jumat, tanggal 27 Februari tahun 2015 pukul 9:25 WIB.

Dibuk, “Analisa Landasan Filosofis, Sosiologis, dan Yuridis Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, http://konferen.blogspot.com/2011/03analisa-landasan-filosofissosiologis.html, diakses pada hari Rabu Tanggal 3 Januari Tahun 2014 pukul 13:10 WIB.

http://www.depkop.go.id/index.php?option=com_phocadownload&view=category&id=20 &Itemid=82, di unduh pada Hari Senin 17 Maret 2015 Pukul 14:01 WIB.

http://upeks.co.id/index.php/bisnis/jasa-dan-keuangan/item/13784-modal-kerja-dominasi-kredit-umkm, diunduh pada Hari Jumat Tanggal 27 Februari Tahun 2015 Pukul 9:41 WIB.

Akta Cessie CRO.TOI/0002/CESSIE/2014 13 Januari 2014 a.n Ari Somantri.

Memorandum Prosedur Perkreditan Business Banking Desk Low Line PT. Bank Mandiri (Persero) Tbk Tasikmalaya.


(1)

bersama, artinya dalam hal-hal ketentuan yang memaksa maka harus sesuai dengan ketentuan yang tercantum dalam KUH Perdata, sedangkan dalam hal ketentuan yang tidak memaksa diserahkan kepada para pihak.

Berdasarkan penjelasan pasal 8 Undang-Undang Perbankan dalam pemberian fasilitas kredit bank harus berpegang pada prinsip kehati-hatian dan seksama dalam melakukan penialain dan pertimbangan pada permohonan fasilitas kredit modal kerja sektor UMKM.

Prinsip dari pemberian kredit modal kerja ini adalah penggunaan modal yang akan habis dalam satu siklus usaha yaitu dimulai dari perolehan uang tunai dari kredit bank kemudian digunakan untuk membeli barang dagangan atau bahan-bahan baku kemudian diproses menjadi barang jadi lalu dijual baik secara tunai atau kredit selanjutnya memperoleh uang tunai kembali. Dalam menjalankan kegiatan operasionalnya, perusahaan membutuhkan dana yang cukup untuk menjamin kelangsungan operasinya tersebut.

Bank dalam membuat Nota Analisa Kredit pada fasilitas Kredit Modal Kerja sektor UMKM harus menganalis dengan memerhatikan prinsip kehati-hatian (Prinsip 5’C). Yang paling penting untukmengamankan posisi bank apabila kredit dinyatakan macet adalah agunan baik agunan Fixed Asset maupun agunan Non Fixed Asset.

Dalam praktek pemberian kredit yang terlaksana hingga saat ini oleh perbankan, pengikatan jaminan piutang dangan dengan menggunakan cessie lebih banyak dipergunakan untuk memperjanjikan suatu pengalihan piutang atau tagihan atas nama yang dijadikan jaminan suatu kredit pada pemberian fasilitas kredit modal kerja. Ada ciri khas tersendiri yang dimiliki cessie sebagai pengikatan piutang dagang dalam jaminan kredit modal kerja yang menurut kreditur dapat menjamin hak terkait pelunasan pemberian kreditnya.

Pengikatan jaminan secara cessie atas piutang dagang merupakan benda bergerak tidak berwujud yang bisa dijadikan objek jaminan kredit/pembiayaan pada fasilitas Kredit Modal Kerja sektor UMKM. Pembedaan kebendaan atas benda bergerak dan benda tidak bergerak penting pula bagi penyerahan ( levering). Penyerahan benda yang bergerak pada umumnya dilakukan dengan penyerahan nyata (feitelijke levering), kecuali benda tidak berwujud dilakukan dengan cessie sebagaimana diatur didalam pasal 612 dan pasal 613 KUHPerdata, penyerahan nyata tersebut sekaligus penyerahan yuridis (juridische levering).

Nilai nominal cessie tagihan piutang sebagai benda jaminan yang diikat dengan jaminan fidusia cenderung berubah, hal ini sangat beresiko bagi Bank karena jika debitur cidera janji. Dan kreditur menagih cessie piutang yang telah dialihakan segala hak dan kewajibannya kepada kreditur ternyata telah lunas, dan tidak dapat ditagih lagi. Jika ini terjadi ini sangat merugikan kreditur sebagai pemegang hak atas jaminan cessie tagihan piutang yang telah diserahkan.

Untuk mengatasi perubahan nilai jaminan cessie tagihan piutang sebagai jaminan pembiayaan, dibuatlah suatu kebijakan internal dari Bank yaitu bahwa: “ Cessie atas tagihan piutang yang diagunkan bukan berasal dari dana Bank, kollektibilitas lancar, dan daftar cessie tagihan piutang tersebut harus diperbaharui (direvisi) sesuai dengan waktu yang ditentukan Bank dan sedang tidak dijaminkan kepada kreditur lain. Hal ini terdapat dalam ketentuan SPPK. Bahwa sebelum dikabulkannya permohonan perjanjian pembiayaan dengan jaminan cessie tagihan piutang sebagai benda jaminan pembiayaan, maka calon debitur harus memenuhi ketentuan yang ada di dalam SPPK (Surat Penawaran Perjanjian Kredit) yang di keluarkan Bank.

Akibat hukum debitur UMKM tersebut wanprestasi dalam perjanjian kredit modal kerja dengan jaminan cessie pada Bank yaitu akan ditetapkannya kredit


(2)

tersebut ke dalam kategori kredit macet sehingga akan dilakukan proses penyelesaian kredit bermasalah dengan melaksanakan eksekusi terhadap jaminan cessie dengan cara penjualan dibawah tangan dan segala biaya baik berupa ganti rugi beserta denda yang timbul dari berakhirnya perjanjian kredit akibat wanprestasi tersebut dibebankan kepada debitur UMKM.

Sehubungan dengan eksekusi cessie pada kredit macet dalam perjanjian kredit modal kerja sektor UMKM tersebut, debitur telah melakukan penyerahan piutang yang tertuang dalam akta cessie dengan memberikan kuasa yang tidak dapat ditarik kembali dengan hak substitusi kepada Bank, serta debitur terlebih dahulu telah memberikan pemberitahuan secara resmi kepada pihak-pihak yang berhutang kepada debitur dan atau mendapatkan pengakuan dan persetujuan dari pihak-pihak tersebut tentang penyerahan hak atas piutang yang dilakukan berdasarkan cessie Piutang tersebut.

Hal tersebut di atas sebetulnya telah sesuai dengan pasal 613 KUH Perdata, bahwa Bank diberi hak untuk memberitahukan perihal pengalihan dan penyerahan hak cessie atas piutang kepada pihak ketiga kepada siapa debitur UMKM memiliki hak tagih atas piutang tersebut. Apabila telah terlaksana mengenai eksekusi agunan atau jaminan piutang dagang berupa cessie ini, pihak Bank menerima hasil penagihan dan berhak mempergunakan semua jumlah dari hasil penagihan atas piutang yang diserahkan dengan dikurangi biaya-biaya atas penagihan tersebut.

Namun apabila dikaitkan dengan Undang-Undang Perbankan mengenai kedudukan agunan yang diikat secara cessie berupa piutang dagang atau hak tagih tidak dijelaskan secara rinci, sehingga mengenai agunan piutang dagang dalam pemberian fasilitas Kredit Modal Kerja sektor UMKM yang diikat berdasarkan cessie di bawah tangan bank tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat dan jelas berdasarkan Undang-Undang Perbankan.

Walaupun dalam Undang-Undang Perbankan tidak diatur mengenai pengikatan ataupun lebih luas mengenai agunan cessie namun dalam praktek pihak Bank bisa menggunakan Fidusia sebagai payung hukum dalam pengikatan agunan cessie dalam Perjanjian Kredit Modal Kerja, sehingga Bank memiliki kekuatan hukum dalam pelaksanaan eksekusi agunan piutang dagang tersebut.

B. Perlindungan hukum terhadap bank sebagai kreditur dalam hal tidak dapat mengeksekusi agunan piutang dagang pada kredit macet yang merupakan agunan tambahan dalam perjanjian kredit modal kerja.

Berdasarkan Indonesia sebagai negara hukum berdasarkan pancasila haruslah memberikan perlindungan hukum terhadap warga masyarakatnya dalam berbagai kegiatan, sesuai dengan yang tercantum dalam Pembukaan UUD 1945 alinea ke-4, oleh karena itu perlindungan hukum berdasarkan pancasila berarti pengakuan dan perlindungan hukum berdasarkan Pancasila berarti pengakuan dan perlindungan akan harkat dan martabat manusia atas dasar nilai Ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, permusyawaratan, serta keadilan sosial.

Salah satu sifat sekaligus tujuan hukum adalah memberikan perlindungan (pengayoman) kepada masyarakat.5 Pada dasarnya manusia selalu memerlukan keadilan, kebenaran dan hukum, karena hal tersebut adalah merupakan nilai dan kebutuhan asasi bagi masyarakat beradab.

Kunci pokok dalam perlindungan hukum bagi bank sebagai kreditur dalam pemberian fasilitas modal kerja sektor UMKM bahwa antara bank dengan pelaku usaha UMKM, sangat erat hubungannya, bank tidak akan berkembang dengan baik


(3)

serta tidak dapat memberi manfaat bagi masyarakat luas, jika tidak ada nasabah, oleh karena itu sebagai pelaku usaha perbankan sangat bergantung dengan debitur, untuk dapat mempertahankan kelangsungan usahanya.

Dalam kenyataan terjadi banyak pelaku usaha UMKM atau pihak debitur memiliki kecenderungan untuk mengesampingkan hak-hak bank sebagai kreditur serta memanfaatkan kelemahan bank tanpa harus mendapatkan sanksi hukum, minimnya kesadaran dan pengetahuan hukum pegawai bank tidak mustahil dijadikan lahan bagi pelaku usaha UMKM yang membutuhkan fasilitas kredit modal kerja atau dalam transaksi yang tidak mempunyai iktikad baik dalam menjalankan usaha yaitu berprinsip mencari keuntungan yang sebesar-besarnya dengan memanfaatkan seefisien mungkin sumber daya yang ada.

Perlindungan bagi bank sebagai kreditur dalam kerangka bisnis dewasa ini adalah hal-hal yang sangat urgent, dengan adanya perlindungan secara legal atau payung hukum yaitu untuk menciptakan kenyamanan dan kedamaian kepada para pihak yang terkait. Secara eksplisit sulit ditemukan ketentuan mengenai perlindungan hukum bagi bank sebagai kreditur pada perjanjian kredit modal kerja dalam Undang-Undang Perbankan, tetapi sebagaian besar Pasal-Pasal hanya berkonsentrasi pada aspek kepentingan perlindungan hukum terhadap bank dalam pengikatan agunan yang diikat berdasarkan Hak Tanggungan saja sehingga kedudukan agunan piutang dagang dalam perjanjian kredit modal kerja sangatlah lemah, baik ditinjau dari kontraktual dengan bank dalam perjanjian kredit misalnya bank sebagai kreditur sangat dilematis, karena perjanjian kredit dalam pengikatan agunan piutang dagang yang biasanya standar kontrak dan tidak dikembangkan, senantiasa membebani bank dengan berbagai macam hak, kewajiban dan tanggung jawab atas resiko yang ditimbulkan selama perjanjian berlangsung ditujukan kepada bank, yang pada gilirannya memunculkan tanggung jawab minus dari pihak debitur apabila kredit dinyatakan macet.

Perwujudan perlindungan hukum bagi Bank yang merupakan kreditur dari fasilitas Kredit Modal Kerja sektor UMKM dapat melalui 2 (dua) macam perlindungan hukum, yaitu :

1. Perlindungan Hukum Preventif

Pada perlindungan hukum preventif ini, pihak Bank dalam memberikan fasilitas Kredit Modal Kerja harus memperhatikan pada proses pemberian kredit yang baik dan sehat, serta analisis yang mendalam serta kepercayaan pihak Bank terhadap kemampuan nasabah untuk membayar dan melunasi pinjaman didasarkan pada hasil analisa dan penilaian.

2. Perlindungan Hukum Represif

Perlindungan hukum yang bersifat represif, bertujuan untuk menyelesaikan suatu sengketa yang dapat menimbulkan suatu kerugian. Perlindungan ini digunakan sebagai langkah terhadap kemungkinan timbulnya resiko kerugian dari kegiatan usaha yang dilakukan oleh bank. Perlindungan hukum bagi kreditur yang memanfaatkan kredit tanpa agunan ini lebih luas akibat hukumnya, kredit tanpa jaminan apabila terjadi wanprestasi mengandung lebih besar resiko. Pada lembaga perbankan pada umumnya, menerapkan prinsip kehati-hatian dalam setiap pemberian kredit kepada debitur dengan jalan meminta jaminan atau dikenal dengan kredit dengan jaminan, sebagai salah satu upaya meminimalisir resiko kerugian yang akan diderita sebagai akibat debitur tidak dapat melunasi kreditnya sesuai dengan yang telah diperjanjikan dalam perjanjian kredit.


(4)

IV. PENUTUP

Berdasarkan uraian dan pembahasan dalam tesis ini, maka penulis menyimpulkan hal-hal sebagai berikut :

1. Pengikatan jaminan piutang dagang oleh bank dengan cara di bawah tangan sangat beresiko. Pihak Bank melakukan pengikatan di bawah tangan mengingat untuk pendaftaran cessie melalui fidusia banyak memerlukan waktu sehingga proses kredit akan berlangsung lama. Dalam akta cessie yang dikeluarkan pihak bank yang dimaksud piutang adalah seluruh hak tagih, manfaat dan kepentingan lainnya yang dimiliki oleh debitur termasuk namun tidak terbatas pada setiap dan semua piutang dalam bentuk dan dengan nama apapun baik yang ada sekarang maupun di kemudian hari yang timbul dari kegiatan usaha debitur.

2. Apabila Bank tidak dapat mengeksekusi pada kredit macet ini berkaitan dengan ketentuan pasal 1131 dan 1132 KUH Perdata. Kedua pasal ini membahas tentang piutang-piutang yang diistimewakan. Pasal 1131 KUH Perdata mengatakan bahwa segala kebendaan si berutang, baik yang bergerak maupun tidak bergerak, baik yang sudah ada maupun yang baru akan ada dikemudian hari, menjadi tanggungan untuk segala perikatan perseorangan. Dan pasal 1132 KUH Perdata mengatakan bahwa kebendaan tersebut menjadi jaminan bersama-sama bagi semua orang yang mengutangkan padanya; pendapatan penjualan benda-benda itu dibagi-bagikan menurut keseimbangan, yaitu menurut besar-kecilnya piutang masing-masing, kecuali apabila diantara para piutang itu ada alasan-alasan yang sah untuk didahulukan.

Bertitik tolak dari kesimpulan di atas maka penulis mengemukakan beberapa saran sebagai berikut :

1. Sebaiknya dalam hal pengikatan agunan piutang dagang bentuk cessie dalam perjanjian kredit modal kerja, bank melakukan pengikatan melalui Fidusia, supaya terdaftar. Karena Pengaturan mengenai cessie diatur juga dalam Pasal 1 ayat (2) Undang-undang Nomor 42 Tahun 1999 Tentang Jaminan Fidusia, sehingga pihak bank maupun debitur memiliki kepastian hukum. Hal tersebut merupakan strategi Bank yang sesuai dengan pedoman pemberian kredit dalam Pasal 29 Undang-Undang Perbankan, bahwa bank dalam memberikn kredit harus menempuh cara-cara yang tidak merugikan bank dan dengan prinsip kehati-hatian.

2. Sebagai perjanjian accesoir yang memiliki kepastian hukum tetap perjanjian dari penyerahan jaminan cessie yang di ikat dengan fidusia bersifat tergantung kepada perjanjian pokoknya, sehingga untuk lebih memberikan perlindungan hukum terhadap bank sebagai kreditur dalam perjanjian kredit modal kerja sektor UMKM, pihak bank perlu menganalisa agunan piutang dagang secara mendalam dan melakukan maintenance setiap 3 (tiga) bulan kepada debitur UMKM supaya keadaan dan posisi piutang usaha selalu terperbaharui. Selain itu kuasa menagih yang diberikan debitur harus bisa diimplementasikan oleh pihak Bank.

V. UCAPAN TERIMAKASIH

Pada Kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada yang terhormat :

1. Dr. Tarsisius Murwadji, S.H., M.H. selaku Ketua Program Pascasarjana Magister Ilmu Hukum dan Ketua Komisi Pembimbing.

2. Dr. Etty Mulyati, S.H., M.H. selaku Anggota Komisi Pembimbing.

3. Seluruh Karyawan Program Pascasarjana Magister Ilmu Hukum Universitas Padjadjaran.

4. Manajer dan seluruh karyawan Bussiness Banking Desk Low Line PT. Bank Mandiri (Persero) Tbk Tasikmalaya.


(5)

VI. DAFTAR PUSTAKA

Abdullah Maskur, Lilitan Masalah UMKM dan Kontroversi Kebijakan, PT Bitra Indonesia, Medan, 2005.

Abdul R. Saliman, Dkk, Hukum Bisnis Untuk Perusahaan, Prenada Media, Jakarta, 2005. Amiruddin dan Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum,PT. Citra Aditya

Bakti, Bandung, 2006.

Bastian, Indra dan Suhardjono., Akuntansi Perbankan, Salemba Empat, Jakarta, 2006. Ch. Gatot Wardoyo Dalam Buku Rachmadi Usman, Aspek-Aspek Hukum Perbankan Di

Indonesia, Cet I, PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2001.

DJuhaendah Hasan, Lembaga Jaminan Kebendaan Bagi Tanah dan Benda Lain Yang Melekat Pada Tanah Dalam Konsepsi Penerapan Asas Pemisahan, Nuansa Madani, Jakarta, 2011.

Husni Syazali dan Heni Sri Imaniyati, Hukum Perlindungan Konsumen, Mandar Maju, Bandung , 2000.

Ismail, Manajemen Perbankan Dari Teori Menuju Aplikasi, Kencana, Jakarta, 2010. J. Satrio, Hukum Jaminan, Hak Jaminan Kebendaan Fidusia, Citra Aditya Bakti,

Bandung, 2002.

J. Supranto, Metode Penelitian Hukum dan Statistik, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2003.

Johannes Ibrahim, Cross Default dan Cross Collateral sebagai Upaya Penyelesaian Kredit Bermasalah, PT. RefikaAditama, Bandung, , 2004

Lukman Dendawijaya, Manajemen Perbankan, Ghalia Indonesia, Jakarta, 2001.

M. Bahsan, Hukum Jaminan dan Jaminan Kredit Perbankan Indonesia, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2007.

M. Rachmat Firdaus, Teori dan Analisa Kredit Cetakan Pertama, PT. Purna Sarana Lingga Utama, Bandung, 1985.

Mariam Darus Badrulzaman IV, Perjanjian Kredit Bank, Alumni, Bandung, 1989

Maris S.W, Sumardjono, Pedoman Pembuatan Usulan Penelitian, Fakultas Hukum, UGM, Yogyakarta, 1989

Maryanto Supriono, Buku Pintar Perbankan¸ Penerbit Andi, Yogyakarta, 2010.

Muhamad Djumhana, Hukum Perbankan Di Indonesia, Cet VI, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2012.

Munir Fuady, Jaminan Fidusia, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2000.

Naja. H.R. Daeng, Pengantar Hukum Bisnis Indonesia, Pustaka Yustisia, Yogyakarta, 2009. R. Tjipto adi nugroho, Perbankan, Masalah Fungsi, Organisasi dan

Ketatalaksanaan, PradnyaParamita, Jakarta, 1986.

R. Setiawan, Pokok-pokok Hukum Perikatan, Bina Cipta, Bandung, 1975. R. Soebekti, Hukum Perjanjian, PT. Intermasa, Jakarta, 2001.

Rachmad Setiawan, Hukum Perwakilan dan Kuasa Satu Perbandingan Hukum Indonesia dan Hukum Belanda Saat Ini, Penerbit Tatanusa, Jakarta, 2005.

Rachmad Setiawan dan J. Satrio, , Penjelasan Hukum Tentang Cessie, Nasional Legal ReformProgram, Jakarta, 2010.

Rachmadi Usman I, Hukum Jaminan Keperdataan, Sinar Grafika, Jakarta, 2008.

Ronny Hanitijo Soemitro, Metode Penelitian dan Jurimetri, Ghalia Indoensia, Jakarta, 1998.

Shidarta, Hukum Perlindungan Konsumen, Grasindo, Jakarta, 2000

Soebekti, Jaminan-Jaminan untuk Pemberian Kredit Menurut Hukum Indonesia Cetakan Ketiga, PT Alumni, Bandung, 1986.

Soedikno Mertokusumo, Mengenal Hukum Suatu Pengantar ,Liberty, Yogyakarta, 1988. Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum,Universitas Indonesia Press, Jakarta,


(6)

Sutarno, Aspek-Aspek Hukum Perkreditan Pada Bank, CV Alfabeta, Bandung, 2003. Wirjono Projodikoro, Asas-Asas Hukum Perjanjian, PT. Bale, Bandung, 1985.

Undang-Undang Dasar Tahun 1945 Amandemen ke –IV. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.

Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992.

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2004 tentang Bank Indonesia.

Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 Tentang Jaminan Fidusia.

Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah. PBI Nomor 7/2/PBI/ 2005 tentang Penilaian Kualitas Aktiva Bank Umum.

PBI Nomor 3/2/PBI/2001 tentang Pemberian Kredit Usaha Kecil.

PBI Nomor 15/2/PBI/2013 tentang Penetapan Status dan Tindak Lanjut Pengawasan Bank Umum Konvensional.

http://www.bankmandiri.co.id/article/255645454671.asp?article_id=255645454671, diunduh pada hari Jumat, tanggal 27 Februari tahun 2015 pukul 9:25 WIB.

Dibuk, “Analisa Landasan Filosofis, Sosiologis, dan Yuridis Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, http://konferen.blogspot.com/2011/03analisa-landasan-filosofissosiologis.html, diakses pada hari Rabu Tanggal 3 Januari Tahun 2014 pukul 13:10 WIB.

http://www.depkop.go.id/index.php?option=com_phocadownload&view=category&id=20 &Itemid=82, di unduh pada Hari Senin 17 Maret 2015 Pukul 14:01 WIB.

http://upeks.co.id/index.php/bisnis/jasa-dan-keuangan/item/13784-modal-kerja-dominasi-kredit-umkm, diunduh pada Hari Jumat Tanggal 27 Februari Tahun 2015 Pukul 9:41 WIB.

Akta Cessie CRO.TOI/0002/CESSIE/2014 13 Januari 2014 a.n Ari Somantri.

Memorandum Prosedur Perkreditan Business Banking Desk Low Line PT. Bank Mandiri (Persero) Tbk Tasikmalaya.


Dokumen yang terkait

Pengangkatan Dewan Komisaris dan Direksi Bank menurut Undang-Undang Perbankan Nomor 7 Tahun 1992 jo. Undang-Undang Nomor 10 tahun 1998 Tentang Perbankan

0 38 105

Akuisisi Pada Perusahaaan Perbankan Ditinjau Dari Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroaan Terbatas Dan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 Juncto Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 Tentang Perbankan

1 50 150

TESIS PROSPEK PEMBENTUKAN BANK INDUSTRI BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 10 TAHUN 1998 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1992 TENTANG PERBANKAN.

0 3 13

PENDAHULUAN PROSPEK PEMBENTUKAN BANK INDUSTRI BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 10 TAHUN 1998 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1992 TENTANG PERBANKAN.

0 3 19

PENUTUP PROSPEK PEMBENTUKAN BANK INDUSTRI BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 10 TAHUN 1998 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1992 TENTANG PERBANKAN.

0 2 5

Tanggung Jawab Bank Dalam Pemberian Kredit Dengan Jaminan Tanah Dihubungkan Dengan Prinsip Kehati-hatian Didasarkan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 Tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 Tentang Perbankan Dan Undang-undang Nomor 4 Tahun

0 0 20

AKIBAT HUKUM PERJANJIAN PINJAM NAMA DALAM PENGAJUAN KREDIT PERBANKAN DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG NO. 7 TAHUN 1992 SEBAGAIMANA TELAH DIUBAH DENGAN UNDANG-UNDANG NO. 10 TAHUN 1998 TENTANG PERBANKAN.

0 0 2

PENERAPAN PRINSIP KEHATI-HATIAN DALAM PEMBERIAN KREDIT USAHA RAKYAT OLEH KREDITUR KEPADA USAHA MIKRO MENURUT UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 1998 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1992 TENTANG PERBANKAN.

0 0 13

PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 3 TAHUN 1998 TENTANG ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA NEGARA TAHUN ANGGARAN 1998 1999 SEBAGAIMANA TELAH DIUBAH DENGAN UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1998

0 0 18

ABSTRAK AKUISISI PADA PERUSAHAAAN PERBANKAN DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG NOMOR 40 TAHUN 2007 TENTANG PERSEROAAN TERBATAS DAN UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1992 JUNCTO UNDANG-UNDANG No.10 TAHUN 1998 TENTANG PERBANKAN

0 0 10