Penurunan Frekuensi dan Intensitas Perilaku Oppositional Defiant Disorder pada Remaja SMP dengan Cognitive Behavior Therapy (Studi Kasus pada Remaja SMP di SMP 'X' dan SMP 'Y').

(1)

ii

Program Magister Psikologi Universitas Kristen Maranatha

ABSTRAK

Penelitian ini dilakukan untuk menurunkan frekuensi dan intensitas perilaku Oppositional Defiant Disorder (ODD) pada remaja SMP dengan Cognitive Behavior Therapy (CBT). Melalui CBT, negative automatic thoughts (NATs) yang ada pada remaja SMP yang ODD akan diubah, bahwa remaja SMP ini dapat melihat dari berbagai sudut pandang, tidak hanya dari sudut pandang dirinya saja dan melihat alternatif-alternatif lain dan dapat menemukan segi positif dari suatu kejadian, serta remaja ini dapat memandang dirinya positif dan melihat segala sesuatu tidak berdasarkan emosi tapi berdasarkan apa yang terjadi, dengan demikian remaja SMP dapat menghilangkan label yang mereka pikirkan mengenai dirinya dan mulai menghargai dirinya sendiri dan orang lain.

Variabel dalam penelitian ini adalah frekuensi dan intensitas perilaku Oppositional Defiant Disorder (ODD) dan Cognitive Behavior Therapy (CBT ). Sampel penelitian ini adalah 2 remaja SMP laki-laki, yang menampilkan perilaku ODD dan telah didiagnosa oleh psikolog memiliki simptom-simptom yang sesuai dengan ODD. Selain dari hasil diagnosa, terdapat alat ukur ODD yang dimodifikasi oleh peneliti berdasarkan Affective Reactivity Index (ARI) Parent / Guardian of Child 6-17 (DSM V, APA, 2013) yang diisi dan dihayati oleh orangtua dan guru dari sampel penelitian dan diperkuat oleh hasil observasi dan hasil wawancara. Selain alat ukur ODD, peneliti juga membuat alat ukur NATs berdasarkan teori NATs. Validitas kedua alat ukur tersebut dengan menggunakan content validity.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa dengan mengubah NATs pada remaja SMP menjadi lebih positif , dapat menurunkan frekuensi dan intensitas dari perilaku ODD, namun hal tersebut dapat ditunjang apabila terapi dilakukan secara konsisten sampai dengan selesai, adanya dukungan dari orangtua, guru, dan teman untuk dapat memfasilitasi dan mempertahankan perubahan perilaku dari subjek, media yang digunakan di dalam CBT seperti lembar kerja, film atau gambar yang dibuat secara sedehana, menarik dan mudah dipahami untuk anak remaja SMP.


(2)

ABSTRACT

This study tested the effect of Cognitive Behavior Therapy to reduce the frequency and intensity of Oppositional Defiant Disorder (ODD) in adolescents. Through CBT, by changing the negative automatic thoughts (NATs) that exist in adolescents will be change, so adolescents can see from different angles, not only from their side and they can find alternative solutions and can see the positive part of the situation, also this teens can think positively about themselves and see things not based on emotions but based on what happened, so teens can eliminate their labelling and begin to appreciate themselves and others.

The variables in this study are the frequency and intensity of Oppositional Defiant Disorder (ODD) and Cognitive Behavior Therapy (CBT) by changing the negative automatic thoughts (NATs). The samples were 2 teenage boys of junior high school, which show the behavior of ODD and have been diagnosed with the symptoms-symptoms that lead to ODD. Beside that, there is a measuring instrument of ODD that modified by researcher based on Affective Reactivity Index (ARI) Parent / Guardian of Child 6-17 (DSM V, APA, 2013) which is filled and intenalized by parents and teachers of the teens and reinforced with interview and observation. Researcher also made the measuring instrument NATs based on the theory of NATs. The validity of both instruments using content validity.

The results showed that by changing the NATs become more positive can reduce the frequency and intensity the behavior of ODD, but it must be supported if the therapy done consistently, and it’s supported by parents, teacher and peers to facilitate and maintain the behavior change of the teens, and also the media that use in CBT like working paper, film or pictures are simple, interesting and easy to understand for junior teens.


(3)

iv

Program Magister Psikologi Universitas Kristen Maranatha DAFTAR ISI

Lembar Pengesahan ... i

Abstrak ... ii

Abstract ... iii

Daftar Isi... iv

Daftar Bagan ... vi

Daftar Tabel ... vii

Daftar Lampiran ... viii

BAB I PENDAHULUAN 1. 1 Latar Belakang Masalah ... 1

1. 2 Identifikasi Masalah ... 13

1. 3 Maksud dan Tujuan Penelitian ... 14

1. 3. 1 Maksud Penelitian ... 14

1. 3. 2 Tujuan Penelitian ... 14

1. 4 Kegunaan Penelitian... 14

1. 4. 1 Kegunaan Teoritis ... 14

1. 4. 2 Kegunaan Praktis ... 15


(4)

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2. 1 Teori... ... 17

2. 1. 1 Teori Oppositional Defiant Disorder ... 17

2. 1. 1.1 Pengertian Oppositional Defiant Disorder ... 17

2. 1. 1. 2 Kriteria Oppositional Defiant Disorder ... 19

2. 1. 1. 3 Etiologi Oppositional Defiant Disorder... 23

2. 1. 1. 4 Penanganan Oppositional Defiant Disorder ... 26

2. 1. 2 Teori Perkembangan Remaja ... 28

2. 1. 2. 1 Pengertian dan Batasan Remaja ... 28

2. 1. 2. 2 Perkembangan Kognitif Pada Masa Remaja ... 28

2. 1. 3 Teori Cognitive Behavioural Therapy (CBT) ... 30

2. 1. 3. 1 Teori yang Mendasari CBT ... 30

2. 1. 3. 2 Prinsip Dasar CBT ... 36

2. 1. 3. 3 ‘Levels’ of Cognition ... 40

2. 1. 3. 4 Cognitive Distortion ... 47

2. 1. 3. 5 CBT for Children and Adolescents ... 48

2. 1. 3. 6 Pendekatan CBT... 53

2. 1. 3. 7 Proses CBT... 56

2. 1. 3. 8 Elemen-elemen dalam CBT ... 58

2. 1. 3. 9 The Goal of CBT ... 62

2. 1. 3. 10 Asumsi dari Cognitive Behavioral Treatment ... 63

2. 2 Kerangka Pikir ... 66


(5)

vi

Program Magister Psikologi Universitas Kristen Maranatha

2. 4 Hipotesis Penelitian ... 77

BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3. 1 Rancangan Penelitian ... 78

3. 2 Variabel Penelitian, Definisi Konseptual, dan Definisi Operasional ... 79

3. 2. 1 Variabel Penelitian ... 79

3. 2. 2 Definisi Konseptual ODD ... 79

3. 2. 3 Definisi Operasional ODD ... 80

3. 2. 4 Definisi Konseptual Cognitive Behavioral Therapy ... 84

3. 2. 5 Definisi Operasional Cognitive Behavioral Therapy ... 85

3. 3 Alat Ukur ... 90

3. 3. 1 Data Utama... 90

3. 3. 2 Validitas Alat Ukur ... 93

3. 3. 3 Data Penunjang ... 93

3. 4 Karakteristik Sampel dan Teknik Pengambilan Sampel ... 94

3. 4. 1 Karakteristik Sampel ... 94

3. 4. 2 Teknik Pengambilan Sampel... 94

3. 5 Pengolahan Data... 95

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 4. 1 Hasil ... 97

4.1.1 Hasil Subjek 1 ... 97


(6)

4.1.1.2 Keluhan dan Riwayat Keluhan Subjek 1 ... 98

4.1.1.3 Status Praesens Subjek 1 ... 101

4.1.1.4 Analisis Fungsional Subjek 1 ... 103

4.1.1.5 Hasil Pengukuran NATs Subjek 1 ... 108

4.1.1.6 Hasil Pengukuran Frekuensi dan Intensitas ODD Subjek 1... 109

4.1.2 Hasil Subjek 2 ... 112

4.1.2.1 Identitas Subjek 2 ... 112

4.1.2.2 Keluhan dan Riwayat Keluhan Subjek 2 ... 113

4.1.2.3 Status Praesens Subjek 2 ... 115

4.1.2.4 Analisis Fungsional Subjek 2 ... 117

4.1.2.5 Hasil Pengukuran NATs Subjek 2 ... 123

4.1.2.6 Hasil Pengukuran Frekuensi dan Intensitas ODD Subjek 2... 124

4. 2 Pembahasan Analisa Proses Terapi ... 126

4.2.1 Pembahasan Analisa Proses Terapi Subjek 1 ... 127

4.2.2 Pembahasan Analisa Proses Terapi Subjek 2 ... 145

4. 3 Perbandingan Kasus ... 165

4.3.1 Persamaann Kasus ... 165


(7)

viii

Program Magister Psikologi Universitas Kristen Maranatha BAB V SIMPULAN DAN SARAN

5. 1 Simpulan ... 168

5.2 Saran Penelitian ... 169

5.2.1 Saran Teoritis ... 169

.5.2.2 Saran Praktis ... 171

DAFTAR PUSTAKA DAFTAR RUJUKAN LAMPIRAN


(8)

DAFTAR BAGAN

Bagan 2.1 Model Dasar untuk case Conceptualization ... 36

Bagan 2.2 NATs, Das, dan Core Beliefs ... 46

Bagan 2.3 The Cognitive Model ... 51

Bagan 2.4 Model CBT untuk Perkembangan Masalah ... 53

Bagan 2.5 Figure Functional dan Dysfunctional Cycles ... 63

Bagan 2.6 Kerangka Pemikiran... 76

Bagan 3.1 Rancangan Penelitian ... 79

Bagan 4.1 Analisis Fungsional Subjek 1 ... 103

Bagan 4.2 Gambaran Perubahan NATs Subjek 1 ... 108

Bagan 4.3 Gambaran Perubahan Frekuensi Perilaku ODD Subjek 1 ... 109

Bagan 4.4 Analisis Fungsional Subjek 2 ... 117

Bagan 4.5 Gambaran Perubahan NATs Subjek 2 ... 123


(9)

x

Program Magister Psikologi Universitas Kristen Maranatha DAFTAR TABEL

Tabel 3.1 Penilaian Alat Ukur ODD ... 90 Tabel 3.2 Kisi-kisi Alat Ukur NATs ... 91 Tabel 3.3 Penilaian Alat Ukur NATs ... 92


(10)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran A Garis Besar Prosedur Pelaksanaan Terapi CBT Lampiran B Alat Ukur

Lampiran B1 Alat Ukur ODD

Lampiran B2 Alat Ukur Thinking Errors

Lampiran B3 Kisi-kisi Alat ukur Thinking Errors Lampiran C Angket Evaluasi

Lampiran C1 Angket Evaluasi Per Sesi Terapi Lampiran C2 Angket Evaluasi Terapi Keseluruhan Lampiran D Hasil Anamnesa

Lampiran D1 Hasil Anamnesa Subjek 1 Lampiran D2 Hasil Anamnesa Subjek 2 Lampiran E Hasil Diagnosa

Lampiran E1 Hasil Diagnosa Subjek 1 Lampiran E2 Hasil Diagnosa Subjek 2 Lampiran F Evaluasi Sesi Terapi

Lampiran F1 Evaluasi Per Sesi Terapi Subjek 1 Lampiran F2 Evaluasi Per Sesi Terapi Subjek 2

Lampiran G Hasil Observasi dan Pembahasan Analisa Proses Terapi

Lampiran G1 Hasil Observasi dan Pembahasan Analisa Proses Terapi Subjek 1 Lampiran G2 Hasil Observasi dan Pembahasan Analisa Proses Terapi Subjek 2


(11)

xii

Program Magister Psikologi Universitas Kristen Maranatha Lampiran H Hasil Verbatim

Lampiran H1 Hasil Verbatim Subjek 1 Lampiran H2 Hasil Verbatim Subjek 2

Lampiran I Hasil Perhitungan Pre test dan Post test

Lampiran I1 Hasil Perhitungan Pre test dan Post test ODD Lampiran I2 Hasil Perhitungan Pre test dan Post test NATs


(12)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Penelitian

Masa remaja merupakan masa yang kritis dalam siklus perkembangan seseorang, dimana pada masa ini terjadi banyak perubahan, baik perubahan biologis, psikologis maupun perubahan sosial. Fase perubahan tersebut seringkali memicu terjadinya konflik antara remaja dengan dirinya sendiri maupun konflik dengan lingkungan sekitarnya. Apabila konflik-konflik tersebut tidak dapat teratasi dengan baik maka dalam perkembangannya dapat membawa dampak negatif terutama terhadap pematangan karakter remaja dan tidak jarang memicu terjadinya gangguan. Sekitar 80 % dari remaja yang berusia 11-15 tahun dikatakan pernah menunjukkan perilaku berisiko tinggi minimal satu kali dalam periode tersebut, seperti berkelakuan buruk di sekolah, penyalahgunaan zat, serta perilaku antisosial. Berdasarkan Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) pada tahun 2007, prevalensi masalah mental dan emosional pada orang Indonesia dengan usia di atas 15 tahun adalah 11,6 % (Putri, 2012).

Psikolog anak, Dr. Farah Agustin, mengatakan bahwa masa remaja atau usia muda adalah usia paling rawan dalam kehidupan anak-anak. Salah mendidik, anak akan menjadi sosok yang angkuh, egois dan pemberontak. Lebih lanjut ditambahkan Farah, bahwa masa remaja sebagai masa storm and stress , masa yang penuh pertentangan dan perlawanan, bertolak belakang dari masa kecil yang lebih aman dan lebih mudah diatur. Anak remaja terkadang menjadi susah ditebak


(13)

2

Program Magister Psikologi Universitas Kristen Maranatha karena mereka selalu berbuat sesuai dengan dorongannya semata tanpa memikirkan dampaknya bagi orang di sekelilingnya. (www.balipost.co.id)

Banyak penelitian yang menunjukkan bahwa masalah perilaku ini berdampak sangat merugikan, tidak hanya bagi anak-anak dan remaja yang mengalaminya tetapi juga bagi masyarakat. Meskipun anak dengan masalah perilaku tidak selalu menjadi dewasa yang antisosial, namun sebagian besar diantara mereka setelah dewasa cenderung terlibat dalam tindakan kriminal dan mengembangkan perilaku antisosial (Lohey dkk. dalam McCabe, Hough, Wood & Yeh, 2001). Mereka juga cenderung memiliki masalah psikologis , sulit menyesuaikan diri dengan pendidikan dan pekerjaan. (Kazdin dalam Carr, 2001).

Berdasarkan interview dengan guru BK SMP “Y” di Bandung menyatakan bahwa permasalahan yang paling banyak dialami oleh remaja SMP di sekolahnya, selain masalah akademis adalah masalah sikap. Guru BK sering mendapatkan laporan dari guru pengajar atau wali kelas, mengenai siswa yang kurang sopan terhadap gurunya, beberapa dari mereka ada yang suka membantah atau berdebat dengan guru, tidak banyak siswa yang berani untuk membantah secara langsung, menurut guru BK rata-rata setiap angkatan ada 1-3 anak yang berani secara langsung menentang atau membantah guru, kebanyakan dari mereka ada yang suka membantah secara tidak langsung, misalnya dengan sering tidak mengerjakan tugas, sengaja tidak membawa tugas, memberikan ekspresi marah atau tidak mendengar saat diberitahu. Selain itu, menurut guru BK, siswa SMP di


(14)

3

sekolahnya juga memilih masalah emosional, dimana mereka sulit mengontrol emosinya, mudah marah dan ‘meledak-ledak’.

Sedangkan menurut Guru BK di SMP “X” juga mengatakan hal yang serupa, selain akademis, siswa-siswa sekolah “X” juga bermasalah dengan masalah sikap, seperti anak tidak sopan kepada guru, berbicara kasar, tidak mau diatur, suka menentang aturan atau guru. Menurut guru BK, ada sekitar 4 sampai 5 anak di sekolah “X” ini yang masih kesulitan untuk diatasi oleh sekolah. Mereka berani untuk melawan guru ada yang secara langsung, misalnya dengan langsung menolak perintah guru atau mereka mengajak guru berargumentasi dan secara tidak langsung, biasanya mereka sering tidak membuat tugas atau tidak membawa perlengkapan dengan sengaja, dan biasanya sudah tidak mempan dengan hukuman. Dan biasanya anak-anak yang demikian akan kesulitan dengan relasinya, biasanya mereka akan dijauhi karena teman-temannya yang lain merasa takut atau teman-temannya menjauhi karena anak ini sikapnya dinilai aneh dan, mereka biasanya memiliki kesulitan secara akademis dan bermasalah dengan guru pengajar .

Menurut Matthys dan Lochman (2010), ketika perilaku yang telah disebutkan tersebut muncul dalam berbagai setting dengan frekuensi yang sering dan memberikan dampak negatif bagi lingkungannya, perilaku tersebut menjadi perhatian klinis. Perilaku mengganggu yang tergolong masalah klinis dapat digolongkan menjadi dua yaitu Oppositional Defiant Disorder (ODD) dan


(15)

4

Program Magister Psikologi Universitas Kristen Maranatha

Conduct Disorder (CD). ODD biasanya tampil pada anak yang lebih muda dan dapat berkembang menjadi CD ketika tidak mendapatkan intervensi sejak dini.

Anak dengan ODD biasanya tidak menyadari bahwa dirinya berperilaku oposisi. Anak menganggap perilakunya itu adalah bentuk respon dari tuntutan atau kondisi yang dianggapnya tidak layak (Greene & Doyle, 1999). Costello dan kolega (2003) memperoleh data dari 1420 sampel anak-anak dengan usia 9-16, ditemukan bahwa prevalence diagnosis ODD berkisar sekitar 4,1 % pada usia 15 tahun; 2,2 % pada usia 16 tahun; 2,1 % pada anak perempuan; dan 3,1 % pada anak laki-laki. Sehingga dari data tersebut dapat disimpulkan bahwa ODD paling banyak muncul pada usia 15 tahun dan pada anak laki-laki. Menurut Adelman dan Taylor (2008), pada usia early childhood, anak dengan ODD cenderung menunjukkan perilaku melawan yang ekstrim, menolak ketika diminta untuk melakukan suatu hal dan seringkali tantrum. Pada usia middle childhood, perilaku yang tampil adalah memberontak, menolak untuk mengikuti peraturan yang seharusnya ditaati, seringkali berdebat dan mengganggu orang lain dengan sengaja. Ketika memasuki usia remaja, anak akan semakin sering menampilkan perilaku melawan, selalu berargumentasi, berusaha berada di dekat orangtua ketika sedang berdebat, tidak mau berkompromi, menampilkan sifat negatif dan mudah terpengaruh untuk mengkonsumsi alkohol serta obat-obatan terlarang. Terdapat penelitian yang mengatakan bahwa ODD frekuensinya dapat berkurang saat memasuki middle childhood, namun akan meningkat kembali di masa remaja.(Lahey, McBurnett, & Loeber, 2000 di dalam Wenar dan Kerig, 2005) ODD adalah masalah yang paling sering dilaporkan dari anak-anak yang dirujuk


(16)

5

secara klinis di Amerika Serikat, satu pertiga dari semua preadolescent dan adolescent yang dirujuk secara klinis didiagnosa sebagai ODD. Terdapat pernyataan bahwa ODD berkontinuum dengan perilaku normal. Disebut psikopatologi ketika terjadi peningkatan dalam frekuensi dan intensitas dari perilaku (seperti ketidakpatuhan, menentang, tantrum, dan mood yang negatif) atau ketika hal tersebut berlangsung terus ke periode berikutnya (Wenar & Kerig, 2005).

Menurut American Psychiatric Association (APA, 2013) dalam DSM V, ODD merupakan suatu pola dari angry/ irritable mood, argumentative/defiant behavior, atau vindictiveness, yang berlangsung setidaknya selama 6 bulan dengan kemunculan minimal 4 simptom dari kategori berikut : seringkali hilang kesabaran (loses temper), mudah tersinggung (touchy) atau mudah terganggu, seringkali marah dan sakit hati, seringkali berargumen dengan figur otoritas atau untuk anak dan remaja beragumen dengan orang dewasa, seringkali secara aktif menentang atau menolak untuk mengikuti permintaan dari figur otoritas atau dengan aturan, seringkali mengganggu orang lain dengan sengaja, selalu menyalahkan orang lain untuk kesalahannya, menjadi pendengki atau pendendam.

Menurut DSM V, simptom dari ODD dapat terbatas hanya pada satu setting saja dan kebanyakan terjadi di rumah. Individu yang menunjukkan simptom-simptom yang sesuai pada kriteria diagnostik, meskipun hanya di rumah saja, secara signifikan dapat terjadi penyimpangan di fungsi sosial mereka. Bagaimana pun juga, dalam beberapa kasus yang parah simptom dari gangguan


(17)

6

Program Magister Psikologi Universitas Kristen Maranatha muncul dalam beberapa settings. Berdasarkan tingkat keparahan, simptom ODD terbatas hanya pada satu setting saja tergolong ke dalam tingkat keparahan yang mild, dan beberapa simptom yang muncul dalam 2 setting tergolong ke dalam tingkat keparahan yang moderate, dan beberapa simptom dapat muncul ke dalam 3 setting atau lebih tergolong ke dalam tingkat keparahan yang severe. Selain itu, Matthys dan Lochman (2010) membedakan tingkat keparahan berdasarkan simpom ODD yang muncul. ODD dengan tingkat keparahan yang mild, jika muncul simptom ODD berikut ini : remaja menolak secara langsung perintah orangtua, mudah merasa terganggu dan sering menyalahkan orang lain dengan kesalahan atau perilaku buruknya. Sementara ODD dengan tingkat keparahan severe, terdapat simptom ODD berikut : remaja dengan marah menolak secara langsung perintah atau larangan orangtua, sering hilang kesabaran dan sering iri atau pendendam.

Berdasarkan wawancara dengan wali kelas dari A (seorang siswa SMP “X” kelas 7 dan berusia 12 tahun), mengatakan bahwa A adalah siswa yang paling tidak bisa diatur di kelasnya, ia selalu membuat keributan di kelas dan tidak bisa diberitahu. Menurut wali kelas, semua guru mata pelajaran mengeluhkan tentang A, A seringkali bermain-main di dalam kelas saat jam pelajaran sekolah, seringkali tidak membuat PR atau tugas, suka menjawab saat guru sedang berbicara (“nembalan”) atau A keluar kelas saat jam pelajaran di sekolah. Saat ditegur oleh wali kelas atau guru A berani berargumentasi, terkadang ia akan menggerutu atau ia akan tertawa dan mengejek cara berbicara guru. Selain itu menurut wali kelas A juga mudah tersinggung saat ada temannya yang mengejek


(18)

7

ayahnya, saat diejek A menangis atau ia akan membalas mengejek temannya sampai berkelahi. Menurut wali kelas, sebelumnya A adalah anak yang penurut dan tidak pernah bermasalah, namun sejak perceraian orangtuanya saat A berada di kelas 5, A menjadi berubah, ia menjadi lebih perasa, sering membuat ulah di sekolah. Saat ditanyakan kepada A, A merasa terpukul dengan perceraian kedua orangtuanya, di kelas 5 A sempat tidak mau masuk sekolah selama 1 bulan, karena A merasa sedih dan kesal. Saat perceraian orangtuanya terjadi, A memiliki pikiran bahwa ia tidak dapat bertemu dan dipisahkan dari ayahnya, sementara dirinya sangat dekat dengan ayahnya. Beberapa bulan kemudian Ibu A menikah lagi dengan orang lain dan memiliki anak, hal tersebut membuat A semakin terpukul, A memiliki keinginan agar orangtuanya dapat bersama kembali, namun A merasa saat ini sudah tidak mungkin lagi. A juga mengatakan bahwa A sering merasa bosan dan jenuh berada di rumah, sehingga ia sering menghabiskan waktunya bersama teman-temannya di luar rumah. Menurut A, A senang membuat ulah di sekolah, karena dengan membuat ulah ia bisa tertawa dan membuat orang tertawa, ia juga menjadi dikenal oleh teman dan guru di sekolah. Kemudian A juga sering menjahili temannya, karena A berpikir bahwa dengan menjahili temannya ia dapat bermain dengan temannya dan dapat tertawa mencari kesenangan. Saat ini A mempersepsi dirinya sebagai anak yang nakal, karena ia sering dimarahi oleh guru karena tidak pernah membuat PR, sering bermain-main di kelas, suka membuat celetukan di kelas. Saat A dimarahi oleh guru, A akan mencoba membela diri dan berargumentasi dengan guru dan mengungkapkan bahwa dirinya tidak bersalah, temannyalah yang bersalah atau ia akan diam


(19)

8

Program Magister Psikologi Universitas Kristen Maranatha namun tidak mendengarkan apa yang dikatakan guru atau ia akan menggerutu dan mengejek guru. A juga mengaku bahwa ia sering ribut dengan ibunya, misalnya saat disuruh Ibunya dan A menolak dengan cara membentak ibunya, dan saat ia dimarahi ibunya ia akan menangis atau membalas perlakuan ibunya seperti melempar sandal. Saat itu A memiliki pikiran bahwa ibunya tidak pernah memahami A dan A merasa kesal, A berani membalas ibunya karena A ingin ibunya merasakan apa yang dirasakan A dan agar ibunya berhenti memarahi A. Berdasarkan data tersebut, dapat dikatakan bahwa terdapat beberapa simptom ODD pada diri A, seperti mudah tersinggung, berani untuk berdebat atau berargumen dengan figur otoritas dan orang dewasa, seringkali menentang atau menolak permintaan dari figur otoritas atau aturan, senang mengganggu orang lain dengan sengaja dan menyalahkan orang lainatas kesalahan yang dipebuatnya. Dan berdasarkan data di atas, simptom yang muncul pada diri A lebih banyak muncul di sekolah, dengan intensitas yang masih cenderung ringan.

Selain A, ada anak yang bernama G, siswa SMP “Y”, berusia 15 tahun dan berada di tingkat SMP kelas 8. Guru BK mengeluhkan G karena di sekolah G sering melanggar peraturan sekolah dan sulit untuk diarahkan. Menurut guru BK keluhan terhadap G sudah muncul sejak G berada di pertengahan kelas 7 dan hampir semua guru mata pelajaran mengeluhkan tentang G. G seringkali tidak membuat PR atau tugas, ia juga tidak pernah menggunakan dasi, tidak mau memotong rambutnya. Guru sudah sering menegur G, namun G seringkali berargumentasi dan mengungkapkan alasan-alasan, misalnya saat ia tidak menggunakan dasi, ia mengatakan bahwa ia tidak bisa memasang dasi dan di


(20)

9

rumahnya tidak ada yang bisa, lalu saat G diminta untuk memotong rambutnya, G mengatakan rambutnya tidak bisa dipotong karena menurut G apabila dipotong ia akan pusing atau sakit dan menurut G tidak ada hubungan antara rambut dan proses belajar. Selain itu G seringkali tidak membuat PR, G mengatakan bahwa ia lupa atau ia sudah membuat PR tetapi guru yang tidak mau menerima PR karena guru-guru tidak menyukainya. Wali kelas dan guru BK sudah merasa kewalahan dengan tingkah laku G dan saat guru meminta G agar orangtua G untuk datang, G mengancam guru apabila orangtua G datang ke sekolah, ia akan berhenti sekolah. Menurut ibu G, emosi G mudah meledak, ia seringkali marah-marah untuk hal-hal yang sepele, misalnya saat tidak ada makanan di rumah ia akan marah-marah membanting pintu atau memukul tembok. Selain itu, G juga sering bertengkar dengan ayahnya, G sering berdebat dengan ayahnya dan diakhiri dengan pertengkaran dimana G akan marah. Menurut ibu G, ayah G mendidik dengan cara yang keras karena ayahnya berasal dari keluarga dengan didikan militer sehingga hal tersebut terbawa saat mendidik G. Sementara ibu G cenderung overprotective dan selalu memberikan apa yang menjadi keinginan G agar G tidak marah, karena menurut ibunya jika G sudah mulai marah, emosinya menjadi tidak terkontrol. Ibu G menceritakan beberapa waktu yang lalu G pernah mengamuk karena ada keinginannya yang tidak terpenuhi, ia sampai berteriak memaki orangtua dengan kata-kata yang kasar, lalu mengancam kakaknya dan sempat mengambil pisau, sampai pada akhirnya G menjadi ‘kemasukan’. Menurut G, G merasa bahwa ia sulit mengontrol emosinya, ia seringkali mudah marah, ia merasa bahwa keinginannya tidak pernah terpenuhi dan sering dilarang-larang melakukan


(21)

10

Program Magister Psikologi Universitas Kristen Maranatha hal yang disukainya seperti balapan. Ia berpikir bahwa orangtuanya tidak menginginkan anaknya bahagia, selalu dikekang dan selalu disalahkan terutama oleh ayahnya, ayahnya selalu menganggap bahwa G tidak pernah melakukan hal dengan benar. G mengaku bahwa dirinya sering bertengkar dengan ayahnya dan beberapa kali pernah memukul ayahnya, saat G memukul ayahnya yang ia pikirkan saat itu adalah agar ayahnya diam. G juga tidak senang apabila ada orang yang mengganggunya atau banyak bertanya pada dirinya, ia akan marah atau ia juga akan melakukan aktivitas fisik seperti memukul, mendorong. G merasa tidak bahagia, sehingga G mencari kesenangan di luar rumah dengan cara menjahili teman atau mempengaruhi teman untuk membuat ulah di sekolah, dan balapan motor menjadi hal yang membahagiakan bagi G. Berdasarkan cerita tersebut, simptom ODD yang muncul pada G adalah seringkali kurang dapat mengendalikan emosinya, mudah tersinggung, mudah sekali marah, mudah merasa terganggu oleh orang sekitar, menentang orang dewasa seperti ayah, ibu dan gurunya, ia juga suka berargumen dengan orangtua dan terkadang menolak apa disuruh oleh orangtuanya. Simptom ODD pada G muncul di rumah dan di sekolah baik terhadap orangtua, guru, teman atau orang yang ada di sekitarnya dengan frekuensi yang sering dan intensitas yang cenderung parah.

Menurut Task Force (2006), dikatakan bahwa remaja dengan ODD terlihat oleh orang dewasa sebagai orang yang tidak menurut dan keras kepala. Remaja dengan ODD ini percaya bahwa orang lain terlalu mengontrol dan selalu mengkritik mereka, yang menyebabkan mereka merasa bahwa diri mereka adalah korban dari ketidakadilan, dimana merupakan akar dari tingkah laku mereka. Hal


(22)

11

tersebut sesuai dengan apa yang dialami oleh A dan G. Berdasarkan cerita yang dialami oleh A dan G, mereka merasa bahwa orang sekitar khususnya figur otoritas mereka menjadi seseorang yang mengkritik mereka dan mereka merasa bahwa mereka adalah korban dari ketidakadilan. Seperti yang dialami oleh A, dimana ia merasa saat perceraian orangtuanya, ia menjadi merasa kesepian dan ia merasa menjadi koraban ketidakadilan ketika dirinya harus dipisahkan dari ayahnya. Lalu pada kasus K, dimana ia merasa selalu dilarang oleh orangtuanya terutama ayahnya dan selalu dianggap tidak pernah melakukan hal yang benar.

Selain itu, dari kedua kasus di atas, diperoleh data bahwa mereka cenderung memiliki tingkah laku yang menentang, berani, dan mudah marah dikarenakan mereka cenderung menilai situasi sosial yang ambigu atau netral sebagai situasi yang mengancam sehingga mereka menampilkan perilaku agresif sebagai respon dari situasi yang sedang dihadapi. Menurut Dodge, terjadinya bias pada proses informasi sosial disebabkan adanya kombinasi antara pengalaman anak yang mengalami kekerasan dan pembentukan insecure attachment antara anak dengan pengasuhnya (Foulkrod & Davenport, 2010). Anak-Anak yang menunjukkan perilaku agresif biasanya mengalami lack of social skills. Hal tersebut disebabkan anak kurang mampu menjalin komunikasi yang baik, mengekspresikan perasaan negatif tanpa menyakiti orang lain, mengatasi konflik tanpa melalui pertengkaran (Elisabeth, 2007).

Adanya kesalahan atau biasnya proses informasi sosial dikenal dalam istilah cognitive distortions, dimana menurut Wenar dan Kerig (2005), salah satu penyebab munculnya perilaku ODD disebabkan oleh cognitive distortions yang


(23)

12

Program Magister Psikologi Universitas Kristen Maranatha dialami anak. Remaja yang mengalami cognitive distortions diperlukan suatu intervensi pada kognisinya dengan meningkatkan awareness anak mengenai kognisi yang disfungsional dan irasional, dan memfasilitasi pemahaman mereka mengenai efek dari tingkah laku dan emosi yang mereka alami. Salah satu intervensi yang digunakan untuk mengurangi psychological distress dan tingkah laku yang maladaptive melalui proses kognitif adalah Cognitive Behavior Therapy (CBT) (Kaplan et.al., 1995). Banyak penelitian menyatakan bahwa CBT adalah intervensi yang menjanjikan dan efektif untuk treatment anak yang memiliki masalah psikologis (Stallard, 2002). CBT berdasarkan pada asumsi dasar bahwa afek dan tingkah laku merupakan hasil dari kognisi dan dengan demikian bahwa intervensi kognitif dan tingkah laku dapat membawa perubahan dalam berpikir, merasa dan tingkah laku (Kendall, 1991). Pada saat remaja SMP memiliki asumsi yang tidak tepat mengenai pengalaman mereka di masa kecilnya, di dalam CBT disebut dengan negative automatic thoughts (NATs), khususnya yang berkaitan dengan munculnya perilaku ODD. CBT fokus pada pemahaman bagaimana suatu kejadian dan pengalaman diinterpretasikan dengan mengidentifikasi dan merubah NATs yang muncul dalam proses kognisi.

Berdasarkan 2 kasus di atas, dipeoleh data bahwa pada saat A dan G memunculkan perilaku ODD, mereka memiliki NATs. NATs yang dimiliki oleh A adalah A adalah anak nakal, A tidak diinginkan oleh orangtua, A tidak mendapatkan perhatian di rumah sehingga A akan mencari perhatian di luar dengan cara jahil dan membuat ulah. Sementara itu, NATs yang dimiliki oleh G adalah G tidak pernah mendapatkan kebahagaiaan di rumah, orangtua tidak


(24)

13

menginginkan anaknya bahagia dan maju, G selalu disalahkan dan dianggap tidak benar, G tidak pernah diberi kebebasan. Dengan adanya NATs tersebut, A dan G menampilkan tingkah laku yang sesuai dengan simptom ODD. Berdasarkan data di atas, diperoleh data bahwa remaja yang mengalami ODD memiliki NATs sebagai suatu bentuk pertahanan mereka. Mereka berperilaku menentang, agresif sebagai bentuk dari respon mereka untuk menghadapi suatu situasi yang mereka anggap sebagai suatu ancaman.

Dengan menggunakan CBT, peneliti ingin melihat apakah frekuensi dan intensitas dari perilaku ODD dapat menurun dengan mengubah NATs yang ada pada remaja SMP, mengingat CBT telah banyak digunakan kepada anak dan remaja di beberapa Negara dan terbukti efektif, sementara di Indonesia masih belum banyak digunakan CBT pada remaja SMP. Berdasarkan fakta yang telah dikemukakan di atas maka peneliti tertarik untuk menerapkan CBT ini untuk menurunkan frekuensi dan intensitas dari perilaku ODD dengan mengubah NATs pada remaja SMP.

1.2 Identifikasi Masalah

Berdasarkan data yang diperoleh peneliti, mengenai remaja SMP yang mengalami Oppositional Defiant Disorder (ODD), maka dalam penelitian ini ingin melihat bagaimana Cognitive Behaviour Therapy dapat menurunkan frekuensi dan intensitas perilaku ODD pada remaja SMP.


(25)

14

Program Magister Psikologi Universitas Kristen Maranatha

1.3 Maksud dan Tujuan Penelitian

1.3.1 Maksud Penelitian

Maksud dari penelitian ini adalah untuk menurunkan frekuensi dan intensitas perilaku ODD pada remaja SMP yang mengalami ODD melalui CBT.

1.3.2 Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menurunkan frekuensi dan intensitas perilaku ODD dengan mengubah Negative Automatic Thoughts (NATs) pada remaja SMP tersebut.

1.4Kegunaan Penelitian

1.4.1 Kegunaan Teoritis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan tambahan bagi :

• Ilmu Psikologi, khususnya Psikologi Klinis Anak dan Remaja

untuk memperdalam pemahaman dan memperkaya pengetahuan psikologi mengenai Cognitive Behaviour Therapy dalam menurunkan frekuensi dan intensitas dari perilaku ODD.

• Sebagai bahan rujukan bagi peneliti lain yang hendak melakukan

penelitian mengenai Cognitive Behaviour Therapy dalam menurunkan frekuensi dan intensitas dari perilaku ODD atau topik lainnya yang serupa.


(26)

15

1.4.2 Kegunaan Praktis

• Memberikan masukan kepada remaja SMP yang mengalami ODD,

bahwa dengan meningkatkan pola pikir yang lebih positif akan dapat meningkatkan awareness mereka, sehingga mereka dapat berperilaku dengan sesuai pada suatu situasi.

• Memberikan masukan kepada orangtua remaja SMP yang

mengalami ODD mengenai anak mereka, sehingga mereka dapat membantu dalam melakukan terapan-terapan CBT untuk mengubah Negative Automatic Thoughts (NATs) mereka.

• Bagi sekolah, dapat menambah pemahaman mengenai

Oppositional Defiant Disorder dan pemahaman mengenai CBT sebagai salah satu intervensi untuk menangani remaja SMP yang mengalami ODD.

1.5 Metodologi Penelitian

Penelitian ini multimethod research dengan Quant Qual Mode, dimana

peneliti menggabungkan antara metode kuantitatif dan kualitatif (Padgett, 1998). Pada penelitian ini menggunakan desain penelitian One Group Pre-Post Test Design. Pre-Post Test Design menjelaskan perbedaan dua kondisi sebelum dan sesudah intervensi dilakukan (Graziano & Laurin, 2000). Pengambilan sampel dalam penelitian ini menggunakan teknik Purposive Sampling, yaitu sampel diambil dari unit populasi yang ada pada saat penelitian dan semua individu yang


(27)

16

Program Magister Psikologi Universitas Kristen Maranatha memenuhi karakteristik populasi diambil sebagai sampel. Setelah itu dilakukan diagnosa oleh expert apakah sampel sesuai dengan kriterian ODD.


(28)

BAB V

SIMPULAN DAN SARAN

5.1.Simpulan

Dari hasil dan pembahasan mengenai menurunkan frekuensi dan intensitas perilaku Oppositional Defiant Disorder pada remaja SMP dengan Cognitive Behavior Therapy (CBT), dapat ditarik beberapa kesimpulan sebagai berikut :

1. Cognitive Behavior Therapy dapat menurunkan frekuensi dan intensitas dari perilaku Oppositional Defiant Disorder pada remaja SMP dengan mengubah negative automatic thoughts (NATs) yang ada pada remaja SMP tersebut.

2. Jumlah sesi yang diberikan pada saat Cognitive Behavior Therapy dapat berbeda-beda

pada setiap remaja SMP, berdasarkan penelitian ini Cognitive Behavior Therapy dapat efektif dengan minimal dilakukan pada 5 sesi yang dilakukan secara konsisten (seminggu sekali) untuk dapat menurunkan frekuensi dan intensitas perilaku ODD dengan derajat keparahan yang ringan.

3. Hal-hal yang dapat mendukung remaja SMP untuk menurunkan frekuensi dan

intensitas dari perilaku ODD adalah latar belakang pendidikan anak, dukungan dari orangtua, guru dan teman, dimana dengan menciptakan suasana lingkungan remaja yang kondusif, orangtua mendengarkan anak, bersikap tegas dan konsisten terhadap aturan, tidak mengkritik anak berlebihan, memfasilitasi remaja SMP untuk melakukan skill yang diperoleh saat CBT, lalu pihak sekolah dapat melakukan pendekatan terhadap anak, dapat lebih tegas dan konsisten terhadap aturan, lalu lingkungan teman yang tidak menunjukkan perilaku agresif.


(29)

169

Program Magister Psikologi Universitas Kristen Maranatha

4. Hal-hal yang dapat menghambat remaja SMP untuk menurunkan frekuensi dan

intensitas dari perilaku ODD adalah kurangnya kerja sama antara pihak orangtua, guru dengan anak dan terapis. Dari orangtua seperti kurangnya dukungan orangtua kepada anak pada saat terapi maupun pada saat memfasilitasi anak untuk melakukan skill yang diperoleh pada saat CBT, orangtua kurang tegas dan tidak konsisten dalam menerapkan aturan kepada anak. Selain itu dari pihak sekolah yang dapat menghambat adalah kurangnya pendekatan guru terhadap anak, guru yang kurang memfasilitasi anak untuk melakukan skill yang diperoleh pada saat CBT, selalu menyalahkan anak, sikap guru yang terlalu keras dalam menerapkan aturan namun tidak konsisten. Lalu dari lingkungan teman, teman yang selalu mempengaruhi anak untuk melanggar peraturan dan selalu menunjukkan sikap agresi.

5. Faktor bahasa merupakan faktor yang sangat penting yang dapat menunjang

kelancaran dari proses Cognitive Behavior Therapy pada saat menggali dan mengidentifikasi negative automatic thoughts, menggali kejadian saat itu, pikiran dan perasaan yang ada pada remaja SMP serta hal-hal yang melatar belakangi remaja SMP memunculkan perilaku ODD.

6. Kelancaran proses CBT dipengaruhi media yang menarik dan mudah dipahami,

seperti bentuk lembar kerja, film atau dapat juga melalui media gambar yang menarik dan mudah dipahami agar dapat menggali NATs dan pola pikir remaja SMP.


(30)

170

5.2. Saran Penelitian

Berdasarkan hasil penelitian dapat diajukan saran teoritis dan praktis sebagai berikut :

5.2.1. Saran Teoritis

1. Berdasarkan kesimpulan penelitian, CBT dapat efektif untuk menurunkan

frekuensi dan intensitas dari perilaku ODD, untuk itu disarankan kepada Psikolog khususnya yang bergerak di dalam bidang klinis anak dan remaja, serta profesi lainnya yang berkaitan dengan anak dan remaja dapat disarankan untuk melakukan atau merujuk terapi CBT apabila remaja menunjukkan gejala-gejala ODD.

2. Berdasarkan penelitian ini, disarankan untuk melakukan follow up terhadap remaja

SMP setelah selesai 5 sesi pertemuan CBT agar dapat mempertahankan perubahan perilaku, dan untuk itu disarankan kepada peneliti selanjutnya untuk melakukan penelitian time series.

3. Diperlukan metode-metode yang lebih menarik dan lebih mudah dipahami

terutama dalam hal bahasa, misal dengan mencari film yang mendukung dan berbahasa Indonesia atau mencari alternatif lain seperti menggunakan gambar, mengingat subjek penelitian adalah remaja SMP, sehingga memudahkan mereka untuk mengungkapkan apa yang ada di pikiran mereka. Selain itu bahasa yang digunakan saat terapi harus yang mudah dipahami oleh remaja SMP.

5.2.2. Saran Praktis

1. Bagi pihak orangtua atau sekolah, Cognitive Behavior Therapy dapat


(31)

171

Program Magister Psikologi Universitas Kristen Maranatha

menurunkan frekuensi dan intensitas dari perilaku Oppositional Defiant Disorder, orangtua dan sekolah harus sedini mungkin untuk mendeteksi gejala Oppositional Defiant Disorder pada remaja SMP agar dapat dilakukan intervensi lebih awal dan bekerja sama dengan pihak Psikolog agar tidak berkembang ke tingkat yang lebih parah.

2. Orangtua dapat memberikan dukungan agar anak dapat merubah perilaku mereka

dan mempertahankan perilaku yang sudah berhasil diubah, hal tersebut dapat dilakukan dengan cara orangtua dapat memberikan perhatian kepada anak, namun tetap bersikap tegas dan konsisten terhadap aturan, lebih melakukan pendekatan kepada anak.

3. Sekolah dapat membantu anak untuk merubah perilaku ODD dengan cara guru

melakukan pendekatan terhadap anak, lebih mengenal kebutuhan anak, namun tetap bersikap tegas dan konsisten terhadap aturan yang berlaku.

4. Bagi subjek, untuk mempertahankan perilaku yang telah berhasil diubah, dengan

selalu melatih skill yang diperoleh di dalam CBT, selain itu mencari lingkungan atau teman yang dapat mendukung proses perubahan tersebut.


(32)

DAFTAR PUSTAKA

American Psychiatric Association. 2013. Diagnostic and Statistical of Mental Disorder. DSM V. Fifth Edition. Washington DC: American Psychiatric Association.

Bond, Frank W., & Dryden, Windy. 2002. Handbook of Brief Cognitive Behaviour Therapy. England: John Wiley & Sons Ltd.

Burke, J.D, Loeber, R. & Birmaher, B. (2002). Oppositional Defiant Disorder and Conduct Disorder: A Review of The Past 10 years. Journal of the American Academy of Child and Adolescent Psychiatry, 41 (11), 1275-1293.

Foulkrod, K. & Davenport, B. (2010). An Examination of Empirically Informed Practice within Case Reports of Play Therapy with Aggressive and Oppositional Children. International Journal of Play Therapy, 19 (3), 144-158.

Greene, R.W. & Doyle,A.E. (1999). Toward a transactional Conceptualization of Oppositional Defiant Disorder: Implications For Assessment and Treatment. Clinical Child and Family Psychology Review, 2(3).

Graciano, Anthony M., Michael L. Raulin. 2000. Research Methods, A Process of Inquiry, Fourth Edition. United States of America: Allyn & Bacon, A Pearson Education Company.

Hurlock, Elizabeth B. 1980. Development Psychology, A Life Span Approach, Fifth Edition. USA:McGraw-Hill, Inc.

Kazantzis, N. (Ed.). 2006. Cognitive Behaviour Therapy: Theory, research, and practice. New Zealland Journal of Psychology, 35, 114-164.

Martin, Garry. & Pear, Josephine. ((2005). Behavior Modification: What Is and How To Do It. Eight Edition. New Jersey: Pearson Prentice Hall.


(33)

Program Magister Psikologi Universitas Kristen Maranatha Mash, E.J., Wolfe, D. A. (2005). Abnormal Child Pschology. USA: Wadsworth

Publishing Company.

Matthys, W. & Lochman, J.E. (2010). Oppositional Defiant Disorder and Conduct Disorder in Childhood. Oxford: John Wiley & Sons.

Oemarjoedi, A. Kasandra. 2003. Pendekatan Cognitive Behavior Dalam Psikoterapi. Jakarta: Kreatif Media.

Padgett, Deborah. K. 1998. Qualitative Methods in Social Work Research. First Edition. New York: Sage Publications Ltd.

Papalia, E. Diane. & Feldman, Ruth R. 2012. Experience Human Development. New York: McGraw-Hill International Edition.

Santrock, John W. 2007. Adolescence. New York: McGraw-Hill Companies Inc.

Stallard, Paul. 2002. Think Good-Feel Good: A Cognitive Behaviour Therapy Workbook for Children. England: John Wiley & Sons Ltd.

Wenar, Charles. & Kerig, Patricia. 2005. Developmental Psychopathology From Infacy Trough Adolescene. Fifth Edition. New York: McGraw-Hill.


(34)

DAFTAR RUJUKAN

Agustya, Belinda. 2012. Penerapan Theraplay Pada Anak Dengan Oppositional Defiant disorder. Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia.

Megawati. 2013. Rancangan dan Uji Coba Cognitive Behavioral Therapy Terhadap Penurunan Adiksi Merokok Pada Perokok Wanita Dewasa Awal Yang Ingin Berhenti Merokok di Kota Bandung. Bandung : Program Pascasarjana Universitas Kristen Maranatha.

Putri, Dian. 2012. Masalah Mental Dan Emosional Pada Siswa SMP Kelas Akselerasi Dan Reguler. Semarang : Program Pendidikan Sarjana Kedokteran Universitas Diponegoro.

http://indonesia.digitaljournals.org/index.php/idnmed/article/view/687 [25 Februari 2014]

www.balipost.co.id [25 Februari 2014]


(1)

169

4. Hal-hal yang dapat menghambat remaja SMP untuk menurunkan frekuensi dan intensitas dari perilaku ODD adalah kurangnya kerja sama antara pihak orangtua, guru dengan anak dan terapis. Dari orangtua seperti kurangnya dukungan orangtua kepada anak pada saat terapi maupun pada saat memfasilitasi anak untuk melakukan skill yang diperoleh pada saat CBT, orangtua kurang tegas dan tidak konsisten dalam menerapkan aturan kepada anak. Selain itu dari pihak sekolah yang dapat menghambat adalah kurangnya pendekatan guru terhadap anak, guru yang kurang memfasilitasi anak untuk melakukan skill yang diperoleh pada saat CBT, selalu menyalahkan anak, sikap guru yang terlalu keras dalam menerapkan aturan namun tidak konsisten. Lalu dari lingkungan teman, teman yang selalu mempengaruhi anak untuk melanggar peraturan dan selalu menunjukkan sikap agresi.

5. Faktor bahasa merupakan faktor yang sangat penting yang dapat menunjang kelancaran dari proses Cognitive Behavior Therapy pada saat menggali dan mengidentifikasi negative automatic thoughts, menggali kejadian saat itu, pikiran dan perasaan yang ada pada remaja SMP serta hal-hal yang melatar belakangi remaja SMP memunculkan perilaku ODD.

6. Kelancaran proses CBT dipengaruhi media yang menarik dan mudah dipahami, seperti bentuk lembar kerja, film atau dapat juga melalui media gambar yang menarik dan mudah dipahami agar dapat menggali NATs dan pola pikir remaja SMP.


(2)

170

5.2. Saran Penelitian

Berdasarkan hasil penelitian dapat diajukan saran teoritis dan praktis sebagai berikut :

5.2.1. Saran Teoritis

1. Berdasarkan kesimpulan penelitian, CBT dapat efektif untuk menurunkan frekuensi dan intensitas dari perilaku ODD, untuk itu disarankan kepada Psikolog khususnya yang bergerak di dalam bidang klinis anak dan remaja, serta profesi lainnya yang berkaitan dengan anak dan remaja dapat disarankan untuk melakukan atau merujuk terapi CBT apabila remaja menunjukkan gejala-gejala ODD.

2. Berdasarkan penelitian ini, disarankan untuk melakukan follow up terhadap remaja SMP setelah selesai 5 sesi pertemuan CBT agar dapat mempertahankan perubahan perilaku, dan untuk itu disarankan kepada peneliti selanjutnya untuk melakukan penelitian time series.

3. Diperlukan metode-metode yang lebih menarik dan lebih mudah dipahami terutama dalam hal bahasa, misal dengan mencari film yang mendukung dan berbahasa Indonesia atau mencari alternatif lain seperti menggunakan gambar, mengingat subjek penelitian adalah remaja SMP, sehingga memudahkan mereka untuk mengungkapkan apa yang ada di pikiran mereka. Selain itu bahasa yang digunakan saat terapi harus yang mudah dipahami oleh remaja SMP.

5.2.2. Saran Praktis


(3)

171

menurunkan frekuensi dan intensitas dari perilaku Oppositional Defiant Disorder, orangtua dan sekolah harus sedini mungkin untuk mendeteksi gejala Oppositional Defiant Disorder pada remaja SMP agar dapat dilakukan intervensi lebih awal dan bekerja sama dengan pihak Psikolog agar tidak berkembang ke tingkat yang lebih parah.

2. Orangtua dapat memberikan dukungan agar anak dapat merubah perilaku mereka dan mempertahankan perilaku yang sudah berhasil diubah, hal tersebut dapat dilakukan dengan cara orangtua dapat memberikan perhatian kepada anak, namun tetap bersikap tegas dan konsisten terhadap aturan, lebih melakukan pendekatan kepada anak.

3. Sekolah dapat membantu anak untuk merubah perilaku ODD dengan cara guru melakukan pendekatan terhadap anak, lebih mengenal kebutuhan anak, namun tetap bersikap tegas dan konsisten terhadap aturan yang berlaku.

4. Bagi subjek, untuk mempertahankan perilaku yang telah berhasil diubah, dengan selalu melatih skill yang diperoleh di dalam CBT, selain itu mencari lingkungan atau teman yang dapat mendukung proses perubahan tersebut.


(4)

DAFTAR PUSTAKA

American Psychiatric Association. 2013. Diagnostic and Statistical of Mental Disorder. DSM V. Fifth Edition. Washington DC: American Psychiatric Association.

Bond, Frank W., & Dryden, Windy. 2002. Handbook of Brief Cognitive Behaviour Therapy. England: John Wiley & Sons Ltd.

Burke, J.D, Loeber, R. & Birmaher, B. (2002). Oppositional Defiant Disorder and Conduct Disorder: A Review of The Past 10 years. Journal of the American Academy of Child and Adolescent Psychiatry, 41 (11), 1275-1293.

Foulkrod, K. & Davenport, B. (2010). An Examination of Empirically Informed Practice within Case Reports of Play Therapy with Aggressive and Oppositional Children. International Journal of Play Therapy, 19 (3), 144-158.

Greene, R.W. & Doyle,A.E. (1999). Toward a transactional Conceptualization of Oppositional Defiant Disorder: Implications For Assessment and Treatment. Clinical Child and Family Psychology Review, 2(3).

Graciano, Anthony M., Michael L. Raulin. 2000. Research Methods, A Process of Inquiry, Fourth Edition. United States of America: Allyn & Bacon, A Pearson Education Company.

Hurlock, Elizabeth B. 1980. Development Psychology, A Life Span Approach, Fifth Edition. USA:McGraw-Hill, Inc.

Kazantzis, N. (Ed.). 2006. Cognitive Behaviour Therapy: Theory, research, and practice. New Zealland Journal of Psychology, 35, 114-164.

Martin, Garry. & Pear, Josephine. ((2005). Behavior Modification: What Is and How To Do It. Eight Edition. New Jersey: Pearson Prentice Hall.


(5)

Mash, E.J., Wolfe, D. A. (2005). Abnormal Child Pschology. USA: Wadsworth Publishing Company.

Matthys, W. & Lochman, J.E. (2010). Oppositional Defiant Disorder and Conduct Disorder in Childhood. Oxford: John Wiley & Sons.

Oemarjoedi, A. Kasandra. 2003. Pendekatan Cognitive Behavior Dalam Psikoterapi. Jakarta: Kreatif Media.

Padgett, Deborah. K. 1998. Qualitative Methods in Social Work Research. First Edition. New York: Sage Publications Ltd.

Papalia, E. Diane. & Feldman, Ruth R. 2012. Experience Human Development. New York: McGraw-Hill International Edition.

Santrock, John W. 2007. Adolescence. New York: McGraw-Hill Companies Inc.

Stallard, Paul. 2002. Think Good-Feel Good: A Cognitive Behaviour Therapy Workbook for Children. England: John Wiley & Sons Ltd.

Wenar, Charles. & Kerig, Patricia. 2005. Developmental Psychopathology From Infacy Trough Adolescene. Fifth Edition. New York: McGraw-Hill.


(6)

DAFTAR RUJUKAN

Agustya, Belinda. 2012. Penerapan Theraplay Pada Anak Dengan Oppositional Defiant disorder. Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia.

Megawati. 2013. Rancangan dan Uji Coba Cognitive Behavioral Therapy Terhadap Penurunan Adiksi Merokok Pada Perokok Wanita Dewasa Awal Yang Ingin Berhenti Merokok di Kota Bandung. Bandung : Program Pascasarjana Universitas Kristen Maranatha.

Putri, Dian. 2012. Masalah Mental Dan Emosional Pada Siswa SMP Kelas Akselerasi Dan Reguler. Semarang : Program Pendidikan Sarjana Kedokteran Universitas Diponegoro.

http://indonesia.digitaljournals.org/index.php/idnmed/article/view/687 [25 Februari 2014]

www.balipost.co.id [25 Februari 2014]