STRATEGI PENGEMBANGAN DAKWAH KH. AHMAD DAHLAN DI YOGYAKARTA DAN Strategi Pengembangan Dakwah Kh. Ahmad Dahlan Di Yogyakarta Dan Tgh. Muhammad Zainuddin Abdul Majid Di Lombok (Studi Komparasi).

(1)

1

STRATEGI PENGEMBANGAN DAKWAH KH. AHMAD DAHLAN DI YOGYAKARTA DAN

TGH. MUHAMMAD ZAINUDDIN ABDUL MAJID DI LOMBOK (Studi Komparasi)

NASKAH PUBLIKASI

Diajukan Kepada

Program Studi Magister Pemikiran Islam Universitas Muhammadiyah Surakarta Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Guna Memperoleh

Gelar Magister dalam Ilmu Agama Islam ( Pemikiran Islam)

Disusun oleh:

Husnan Wadi NIM: O 000 090 040

PROGRAM PASCASARJANA

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA 2012


(2)

2

SURAT PERNYATAAN

NASKAH PUBLIKASI KARYA ILMIAH

Bismillahirrohmanirrohim

Yang bertanda tangan dibawah ini, saya

Nama : Husnan Wadi

NIM : O000090040

Fakultas/Jurusan : Pascasarjana/ Magister Pemikiran Islam

Jenis : Tesis

Judul : Strategi Pengembangan Dakwah KH. A. Dahlan di

Yogyakarta dan TGH. Muhammad Zainuddin Abdul Majid di Lombok (Studi Komparasi)

Dengan ini menyatakan bahwa saya menyetujui untuk :

1. Memberikan hak bebas royalti kepada Perpustakaan UMS atas penulisan karya ilmiah saya, demi pengembangan ilmu pengetahuan.

2. Memberikan hak menyimpan, mengalih mediakan/mengalih formatkan, mengelola dalam bentuk pangkalan data (database), mendistribusikannya, serta menampilkannya dalam bentuk softcopy untuk kepentingan akademis kepada Perpustakaan UMS, tanpa perlu meminta ijin dari saya, selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis/pencipta.

3. Bersedia dan menjamin untuk menanggung secara peribadi tanpa melibatkan pihak Perpustakaan UMS, dari semua bentuk tuntutan hukum yang timbul atas pelanggaran hak cipta dalam karya ilmiah ini.

Demikian pernyataan ini saya buat dengan sesungguhnya dan semoga dapat digunakan sebagaimana mestinya.

Surakarta, 19 Agustus 2012 Yang Menyatakan


(3)

3

STRATEGI PENGEMBANGAN DAKWAH

KH. AHMAD DAHLAN DI YOGYAKARTA DAN TGH. MUHAMMAD ZAINUDDIN ABDUL MAJID DI LOMBOK

(Studi Komparasi)

NASKAH PUBLIKASI

Diajukan Kepada

Program Studi Magister Pemikiran Islam Universitas Muhammadiyah Surakarta Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Guna Memperoleh

Gelar Magister dalam Ilmu Agama Islam (Pemikiran Islam)

Disusun oleh:

HUSNAN WADI O000090040

Naskah Publikasi ini telah disetujui oleh :

Pembimbing I Pembimbing II


(4)

4 ABSTRAK

Husnan Wadi : Strategi Pengembangan Dakwah KH. Ahmad Dahlan di Yogyakarta dan TGH. Muhammad Zainuddin Abdul Majid di Lombok (Studi Komparasi) .Tesis. Surakarta: Magister Pemikiran Islam UMS, 2012.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui persamaan dan perbedaan strategi pengembangan dakwah KH. Ahmad Dahlan di Yogyakarta dan TGH. Muhammad Zainuddin Abdul Majid di Lombok. Jenis Penelitian yang digunakan adalah kualitatif dengan kajian pustaka.

Berdasarkan hasil penelusuran buku-buku yang ada, dapat diketahui bahwa strategi pengembangan dakwah yang dilakukan oleh kedua tokoh ini menggunakan pendekatan kultural, yaitu sama-sama konsen di bidang sosial dan pendidikan. Untuk memperkuat dan memperlancarkan jalannya dakwah keduanya mendirikan organisasi kemasyarakatan. Namun TGH. Muhammad Zainuddin Abdul Majid, selain menggunakan pendekatan kultural, ia juga menggunakan pendekatan struktural yaitu masuk partai politik. Secara prinsip kedua tokoh tersebut memiliki persamaan ideologi yaitu di samping al-qur‟an dan hadist, keduanya mengacuh pada aqidah Ahlus Sunnah Wa Al-Jamaah dan Mazhab Imam Syafi‟i dalam bidang fiqih.. Namun meskipun sama-sama menganut faham Ahlus Sunnah Wa Al-Jamaah, kedua tokoh ini memiliki perbedaan dalam penerapannya, KH. Ahmad Dahlan tidak menciptakan suatu tradisi di kalangan Muhammadiyah, sementara TGH. Muhammad Zainuddin Abdul Majid melalui organisasi NW mengembangkan tarekat hizib NW dan mempraktikkan ajaran sufi yang menekankan loyalitas dan ketaatan kepada tuan guru. Dalam pengambilan hukum, kedua tokoh ini memiliki perbedaan. KH. Ahmad Dahlan memakai sumber pokok al-qur‟an dan hadist ditambah dengan hasil kupasan dari kitab-kitab yang telah dibaca, kemudian diperbandingkan dan diambillah hukum yang paling sesuai dengan al-qur‟an dan hadist. Dan ia tidak fanatik terhadap satu Mazhab, sedangkan TGH. Muhammad Zainuddin Abdul Majid secara tegas menganut Mazhab Imam Syafi‟i. Secara teologi, KH. Ahmad Dahlan kembali pada pendapat para ulama salaf dan dia tidak suka berpikir secara mendalam tentang hal itu. Pemikirannya memang banyak menunjukkan segi paraktis dari agama. Sedangkan TGH. Muhammad Zainuddin Abdul Majid, teologinya mengacu pada teologi al-Asy‟ari dan al-Maturidi, namun tidak semua apa yang telah dirumuskan oleh Asy‟ari dan al-Maturidi, diambil oleh TGH. Muhammad Zainuddin Abdul Majid, ia hanya mengambil beberapa saja dari pemikiran kedua teologi di atas yaitu paham tentang wahyu, sifat-aifat Allah dan tentang perbuatan manusia.


(5)

5

ABSTRACTION

Husnan Wadi : Strategy Development Missionize KH. Ahmad Dahlan in

Yogyakarta and TGH. Muhammad Zainuddin Abdul Majid in Lombok Island (Study Komparasi) . Thesis. Surakarta: Magister Idea of Islam UMS, 2012

This research aim to know and equation difference of development strategy missionize KH. Ahmad Dahlan in Yogyakarta and TGH. Muhammad Zainuddin Abdul Majid in Lombok island. used by Type Research is qualitative with book study

Pursuant to result of penelusuran of existing book, can be known that done/conducted mission development strategy by both this figure use cultural approach, that is both of the same konsen in social area and education. To strengthen and launch the way mission both founding social organization. But TGH. Muhammad Zainuddin Abdul Majid, besides using cultural approach, he also use structural approach that is enter political party. principally both the figure have equation of ideology that is beside hadist and al-qur'an, both offish at Ahlus Sunnah Wa Al-Jamaah aqidah and Sect Imam Syafi'I in the field of fiqih.. But though both of the same is embracing of Ahlus Sunnah Wa Al-Jamaah islamiah, both of this figure have difference in its applying, KH. Ahmad Dahlan do not create an tradition among Muhammadiyah, whereas TGH. Muhammad Zainuddin Abdul Majid pass/through NW organization develop NW hizib tarekat and sufi teaching mempraktikkan emphasizing adherence and loyalitas to teacher sir. In intake of law, both of this figure have difference. KH. Ahmad Dahlan wear the source of al-qur'an fundamental and hadist added with result of exposition from buku which have been read, is later;then compared to and taken by most appropriate law with hadist and al-qur'an. And he is not fanatical to one Sect


(6)

6

STRATEGI PENGEMBANGAN DAKWAH KH. AHMAD DAHLAN DI YOGYAKARTA DAN

TGH. MUHAMMAD ZAINUDDIN ABDUL MAJID DI LOMBOK (Studi Komparasi)

Husnan Wadi

A.Pendahuluan

Berbicara mengenai islam di indonesia selalu menarik untuk diperbincangkan, mengingat ajaran-ajaran yang diterapkan oleh masyarakat cukup unik dan beragam. Islam di indonesia dikatakan unik karena masih mempertahankan aspek-aspek budaya tradisional dan agama pra Islam (Hindu-Budha). 1Hal ini disebabkan adanya penyebaran agama islam yang masuk indonesia melalui proses akulturasi dan sinkritisme.

Dampak dari proses akulturasi dan sinkritisme tersebut kemudian menyebabkan munculnya praktek-praktek yang menyimpang dari ajaran Islam yang murni. Misalnya saja masyarakat jawa, mereka begitu kental dengan kehidupan mistik dan banyak mengamalkan ritual keagamaan yang bersendikan pada nilai-nilai budaya lokal. Masyarakat Jawa pada umumnya masih kental dengan tradisi-tradisi keagamaan yang sinkretik, seperti percaya kepada orang (tokoh) yang mempunyai kesaktian, percaya kepada roh-roh leluhur, percaya dengan Nyi Roro Kidul, dan percaya kepada benda-benda pusaka yang mempunyai kekuatan. Sementara itu, Islam versi Keraton Yogyakarta merupakan gambaran Islam yang telah tercampur dengan adat istiadat Kerajaan Hindu-Budha serta kepercayaan animisme dan dinamisme, sebagaimana yang telah berlaku di lingkungan kerajaan. Dalam lingkungan kerajaan (Keraton Yogyakarta) masih terdapat kepercayaan menganggap sakral benda-benda keramat seperti memandikan pusaka-pusaka yang ada di keraton2.

Disamping itu juga ada tradisi keagamaan yang berkaitan dengan berbagai upacara yakni: Upacara makan bersama atau biasa dikenal dengan sebutan selamatan (wilujengan). Ada selamatan pada hari-hari besar Islam seperti garebeg Puasa,

1

Mark. R. Woodward, Islam Jawa: Kesalehan Normatif Versus Kebatinan, (Yogyakarta: Lkis,1999), hlm. 352.

2


(7)

7

garebeg Syawal, dan garebeg Hari Raya Besar, selamatan sebelum khitanan, selamatan kematian, selamatan perkawinan dan lain sebagainya.3 Hal-hal yang semacam ini lebih dikenal dengan Tahayul, bid.ah dan khurafat (TBC).

Selain di masyarakat jawa, juga terdapat di masyarakat sasak (Lombok), pada masyarakat sasak ini dekenal dengan penganut faham agama Islam Wetu Telu, mereka mempercayai bahwa arwah leluhur dan makhluk halus yang menempati benda-benda mati yang disebut penunggu (bahasa Sasak), meskipun semuanya itu memiliki kekuatan supranatural yang tunduk kepada Tuhan. Dalam kepercayaan orang-orang penganut faham Wetu Telu arwah leluhur memiliki kedudukan yang sangat penting. Pentingnya kedudukan para arwah leluhur sangat tampak pada peranannya sebagai perantara ghaib di dalam menyampaikan segala permintaan masyarakat kepada Allah dalam rangka memperoleh keselamatan dan kebahagiaan masyarakat dimuka bumi4. Penganut faham wetu telu dalam ritualnya ia selalau memanggil atau menghubungi arwah leluhur mereka.

Penganut faham Wetu Telu, juga memiliki kepercayaan terhadap roh penunggu, mereka mengakui bahwa tempat-tempat tertentu mempunyai penunggu berupa roh halus yang bertempat tinggal pada benda-benda mati, seperti pepohonan besar, tanah perbukitan, batu besar, dan benda-benda lainnya. Keyakinan akan roh halus yang menguasai tempat-tempat tertentu tersebut, mereka sering mengadakan kunjungan atau ziarah, serta melakukan berbagai ritual.5

Di kalangan orang-orang Wetu Telu juga berkembang kepercayaan tertentu yang berkaitan dengan keberuntungan dan ketidak beruntungan seseorang didalam melakukan kegiatan upacara, kegiatan penting atau dalam menjalankan suatu usaha. Mereka terlebih dahulu mengadakan perhitungan angka-angka untuk menentukan hari baik dan hari tidak baik. Apabila seseorang akan mengadakan sesuatu rencana pada hari baik, maka dipercaya akan mendatangkan keberuntungan serta mendatangkan hasil yang baik, sebaliknya bila jatuh pada hari yang tidak baik, maka

3

Mifedwil Tjandra dkk, Perangkat Alat-alat dan Pakaian Serta Makna simbolis Upacara Keagamaan Di Lingkungan Keraton Yogyakrta, ( Yogyakarta: Depdikbud, Proyek inventarisasi dan Pembinaan Nilai-nilai Budaya DIY, 1989), hlm. 230.

4

Dr. Baharuddin, MA, Nahdlatul Wathan dan Perubahan Sosial, (Yogyakarta: Genta Press, 2007), hlm, 81.

5


(8)

8

kemungkinan besar akan mendatangkan kegagalan, bahkan musibah bagi pelakunya. Dengan demikian setiap rencana harus diperhitungkan dengan matang berdasarkan perhitungan lima hari yaitu: legi, pahing, pon, wage, dan kliwon. Diantara kelima hari tersebut, orang-orang Wetu Telu berusaha semaksimal mungkin untuk melakukan setiap kegiatan pentingnya, selain hari legi, karena dipercayai akan mendatangkan gangguan atau musibah bagi yang melanggarnya.6

Dari penomena keislaman masyarakat indonesia yang unik dan beragam tersebut, nampaknya telah menyita perhatian KH. Ahmad Dahlan dan TGH. Muhammad Zainuddin Abdul Majid untuk segera meluruskan paham keislaman tersebut kembali pada al-Qur‟an dan as-Sunnah. Salah satu usaha yang mereka lakukan adalah mengadakan pembeharuan dengan pemurnian ajaran islam. Usaha pemurnian ajaran islam ini dilakukan melalui pendidikan dan dakwah. Dalam memahamkan islam kepada masyarakat indonesia terutama masyarakat jawa dan masyarakat sasak, bukanlah suatu perkara yang mudah untuk dilakukan. Karena tradisi yang ada pada masyarakat sudah mengakar. Oleh karena itu untuk meraih kesuksesan dalam pemurnian ajaran islam, kemudian mereka menggunakan berbagai macam strategi dan pendekatan sekaligus pengembangan, terutama dalam berdakwah.

Berdasarkan latar belakang masalah di atas, penulis tertarik untuk mengkaji lebih dalam lagi melalui penelitian ini yang bertujuan untuk mengetahui strategi pengembangan dakwah yang dilakukan oleh kedua tokoh tersebut dalam usaha pemurnian ajaran islam. Hal ini menurut penulis menarik untuk diteliti, mengingat keduanya pernah mengenyam pendidikan di Mekkah, penulis berasumsi bahwa secara pemikiran memiliki kesamaan, meskipun juga tidak menutup kemungkinan keduanya memiliki perbedaan, tergantung siapa yang mempengaruhi pemikiran dari kedunya.

Dengan demikian dalam penelitian ini, peneliti menetapkan dua rumusan masalah yaitu bagaimana strategi pengembangan dakwah KH. Ahmad Dahlan di Yogyakarta dan TGH. Muhammad Zainuddin Abdul Majid di Lombok Timur, dan

6


(9)

9

apa perbedaan serta persamaan strategi pengembangan dakwah yang dilakukan oleh kedua tokoh tersebut?.

B.Strategi Pengembangan Dakwah

1. Hakekat strategi dakwah

Kata strategi secara etimologi berasal dari bahasa Yunani” strato” yang artinya pasukan dan “agenis” yang artinya pemimpin. Jadi strategi berarti hal-hal yang berhubungan dengan pasukan perang.7 Menurut kamus bahasa Indoesia, strategi berarti siasat perang, ilmu siasat. Memang pada mulanya strategi berasal dari peristiwa peperangan (militer) yaitu suatu siasat mengalahkan musuh. Namun pada akhirnya strategi berkembang untuk kegiatan organisasi termasuk keperluan ekonomi, sosial, budaya dan agama. Dewasa ini istilah strategi sudah digunakan semua jenis organisasi dan ide-ide pokok yang terdapat dalam pengertian semula tetap dipertahankan, hanya aplikasiya disesuaikan jenis organisasi yang menerapkannya.8

Strategi secara terminologi menurut M. Aliyasir adalah rencana yang cermat mengenai kegiatan untuk mencari sasaran yang khusus.9 sedangkan A. Arifin, Strategi adalah keputusan kondisional tentang apa yang akan dilaksanakan guna mencapai tujuan.10 Sementara itu menurut Dwi Sunar Prasetyono, stategi adalah suatu arah dan kebijakan atau rencana yang diutamakan untuk mencapai tujuan utama lembaga atau perusahaan.11 Jadi Strategi merupakan faktor yang sangat penting dalam berbagai hal guna mencapai tujuan yang telah ditetapkan.12

Kata dakwah secara etimologi (kebahasaan) merupakan bentuk mashdar berasal dari kata da‟a - yad‟u - da‟watan yang bermakna memanggil,

7

Ali Moertopo, Strategi kebudayaan, (Jakarta : CSIS, 1971), hlm. 24

8

Sondang p Siagian, Menegemen Stratejik, (Jakarta: PT. Bumi Aksara, 1995), hlm. 15

9

Sondang p. Siagian, Ibid; hlm 7

10

Asmuni Syukri, Strategi Komunikasi Sebuah pengantar, (Bandung :Armiko, 1984), hlm. 59

11

Dwi Sunar Prasetyono, Trobosan Strategis Menggali Sumber-sumber kekayaan dalam Bisnis, (Yogyakarta:CV. DIVA Pres, 2005), hlm. 180

12

Donald L. Harrison, Effect of strategic planning education on attitudes and perceptions of independent community pharmacy owners/ managers Journal of the Amerrican Pharmacist Association, Sept/Oct 2007.47:5. JAPhA,hlm. 559-600


(10)

10

mengundang, mengajak, menyeru, dan mendorong. Sedangkan secara terminology (istilah) dakwah berarti mengajak dan menyuruh umat manusia baik perorangan maupun kelompok kepada agama Islam, pedoman hidup yang diridhoi Allah dalam bentuk amar ma‟ruf nahi munkar dan amal sholeh dengan cara lisan (lisanul inaqol) maupun (lisanul Haq) guna mencapai kebahagiaan dunia dan akherat.13

Abdul Karim Zaidan mendefinisikan bahwa dakwah adalah “mengajak kepada agama Allah, yaitu Islam”.14

Sedangkan Aboebakar Atjeh mendefinisikan bahwa dakwah adalah “Perintah mengadakan seruan kepada sesama manusia untuk kembali dan hidup sepanjang ajaran Allah yang benar dengan penuh kebijaksanaan dan nasihat yang baik”.15

Dan Nasaruddin Latif mendefinisikan bahwa dakwah adalah “ setiap usaha atau aktivitas dengan lisan, tulisan dan lainnya yang bersifat menyeru, mengajak, memanggil manusia untuk beriman dan menaati Allah sesuai dengan garis-garis akidah dan syari‟at serta Akhlak Islamiyah”.16

Masdar Helmy, mendefinisikan, bahwa dakwah adalah “ mengajak dan menggerakkan manusia agar mentaati ajaran-ajaran Allah (Islam), termasuk melakukan amar ma‟ruf nahi munkar untuk bisa memperoleh kebahagiaan di dunia dan akhirat”.17

Sedangkan strategi dakwah itu sendiri adalah perencanaan yang berisi rangkaian kegiatan yang didesain untuk mencapai tujuan dakwah tertentu.18 Al-Bayanuni mendefinisikan strategi dakwah adalah “ketentuan-ketentuan dakwah dan rencana-rencana yang dirumuskan untuk kegiatan dakwah”.19 Menuruut Canard,

13

Zaini Muchtarom, Dasar-Dasar Manajemen Dakwah Islam, (Yogyakarta: Al-Amin Press, 1978), cet III, hlm.18

14„Abd al

-Karim Zaidan, “Ushul al-Da‟wah”, (Beirut: Muassasah al-Risalah, 1976), hlm. 5.

15 Aboebakar Atjeh, “

Beberapa Tjatatan Mengenai Dakwah Islam”, (Semarang: Ramadhani, 1971), hlm. 6.

16HSM. Nasaruddi Latif, “

Teori dan Praktik Dakwah Islamiyah”, (Jakarta: Firma Dara, 1971), hlm. 11.

17

Masdar Helmy, “ Dakwah Dalam Alam Pembangunan”, (Semarang : Toha Putra, 1973), hlm. 31.

18

Moh. Ali Aziz, “Ilmu Dakwah” Ed. Rev. Cet.2; (Jakarta : Kencana 2009), hlm. 349.

19

Muhammad Abu al-fath Al-Bayanuni, “al-Madkhal ila „ilm al-Da‟wah”, (Beirut: Muassasah al -Risalah, 1993), hlm .46.


(11)

11

Dakwah dalam pengertian keagamaan adalah undangan Allah dan para rasul yang ditujukan kepada umat manusia untuk beriman kepada agama yang benar, yaitu Islam.20

Dari pengertian strategi dakwah diatas, dapat disimpulkan bahwa strategi dakwah adalah cara atau upaya untuk mencapai tujuan dalam rangka mengajak orang kembali kepada kebaikan dengan ajaran-ajaran Islam agar mendapatkan kebahagiaan di dunia maupun diakhirat dengan amar ma‟ruf nahi munkar.

Dalam rangka menegakkan amal ma‟ruf nahi munkar, banyak cara yang dilakukan dalam berdakwah di antaranya ; dakwah dengan lisan, dakwah dengan perbuatan dan dakwah dengan tulisan.

a. Dakwah dengan lisan.

Dakwah dengan lisan adalah dakwah dilakukan melalui lisan seperti ceramah-ceramah, khutbah, diskusi, nasehat dan lain-lain.

b. Dakwah dengan perbuatan.

Dakwah dengan perbuatan adalah dakwah dengan perbuatan nyata yang meliputi keteladanan, seperti dengan amalan karyanya yang dari karya nyata tersebut hasilnya bisa di arahkan secara kongkrit oleh masyarakat sebagai obyek dakwah sehingga pelaku dakwah mampu memberikan solusi dari masalah yang dihadapi oleh sasaran dakwah. Melihat kenyataan yang terjadi pada saat ini, maka dakwah dengan perbuatan adalah dakwah yang sekiranya menjadi fokus utama para pelaku dakwah Islam melihat situasi dan kondisi lingkungan, dimana kenyataan masyarakat sekarang yang tidak hanya membutuhkan kata-kata akan tetapi membutuhkan bukti yang ril dari problematika yang sedang mereka hadapi sekarang ini atau dakwah disini mampu memberikan solusi yang terbaik bagi sasaran dakwah.

c. Dakwah dengan tulisan.

Di era globalisasi ini, dakwah melalui tulisan lebih efektif digunakan untuk menyampaikan pesan-pesan dakwah, karena dakwah dengan tulisan lebih luas dari pada dakwah dengan lisan ataupun dengan perbuatan. Karena kapan saja

20Canard, “Da‟wa”.

The Encyclopaedia of Isam. B. Lewis (et al.) Vol. II. Leiden: E.J. Brill, 1991, hlm. 168


(12)

12

dan di mana saja orang dapat menikmati sajian dakwah dengan tulisan, hal ini tentu menuntut para pendakwah memiliki keahlian dalam tulis menulis. kelebihan lain dari dakwah model ini tidak menjadi musnah meskipun sang dai, atau penulisnya sudah wafat. Adapun media yang bisa digunakan dalam dakwah dengan tulisan ini adalah surat kabar, majalah, buku, internet dan lain-lain.

Dari bentuk-bentuk dakwah di atas, kita dituntut untuk melakukan penyampaian dengan cara yang bijaksana sebagaimana yang telah dicontohkan oleh nabi Muhammad SAW. Hal ini dipertegas dalam alqur‟an surat an-Nahl ayat 125

Atinya : serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk.

Dari ayat di atas, dapat dipahami bahwa dalam menyampaikan pesan dakwah dilakukan dengan tiga metode yaitu dakwah dengan al- hikmah, al-mau‟izhah dan Al-Mujadalah Bi-al-Lati Hiya Ahsan.

2. Strategi Pengembangan Dakwah

Dalam pencapaian keberhasilan dakwah, strategi pengembangan dakwah sangatlah diperlukan. Hal ini tentunya membutuhkan berbagai pendekatan. Pendekatan dakwah adalah titik tolak atau sudut pandang kita terhadap proses dakwah. Menurut Toto Tasmara: pendekatan dakwah adalah cara-cara yang dilakukan oleh seorang muballigh (komunikator) untuk mencapai suatu tujuan tertentu atas dasar hikmah dan kasih sayang. 21

Menurut Sjahudi ada 3 jenis pendekatan: Pendekatan Budaya, pendekatan Pendidikan, pendekatan Psikologi. Pendekatan-pendekatan ini melihat lebih banyak para kondisi mitra dakwah, oleh karenanya pendakwah, metode dakwah, pesan dakwah, dan media dakwah harus menyesuaikan pada kondisi mitra dakwah. Sedangkan pendekatan yang terfokus pada mitra dakwah lainnya adalah dengan menggunakan bidang-bidang kehidupan sosial kemasyarakatan.

21

http://id.shvoong.com/humanities/religion-studies/2239130-pendekatan-dakwah/ didownload, tanggal 23 April 2012.


(13)

13

Pendekatan dakwah model ini meliputi: Pendekatan Sosial-Politik, pendekatan Sosial-Budaya, pendekatan Sosial-Ekonomi, pendekatan Sosial-Psikologi. Semua pendekatan diatas bisa di sederhanakan dengan dua pendekatan yaitu: Pendekatan dakwah struktual dan pendekatan dakwah kultural.22

Untuk membangun kehidupan berbangsa dan bernegara yang sejahtera dan religius, dakwah bisa menggunakan pendekatan struktural atau pendekatan politik. Harus ada para politikus dalam legislatif yang berjuang untuk membuat undang-undang yang menjamin kehidupan yang lebih islami. Dibutuhkan pula politikus dalam eksekutif yang menjalankan pemerintahan berdasarkan produk hukum tersebut bisa juga menggunakan pendekatan kultural atau social-budaya dengan membangun moral masyarakat melalui cultural atau social-budaya.23

a. Pendekatan Dakwah kultural

Dakwah kultural adalah dakwah yang dilakukan dengan cara mengikuti budaya-budaya kultur masyarakat setempat dengan tujuan agar dakwahnya dapat diterima di lingkungan masyarakat setempat. Dakwah kultural juga bisa berarti: Kegiatan dakwah dengan memperhatikan potensi dan kecenderungan manusia sebagai makhluk budaya secara luas dalam rangka menghasilkan kultur baru yang bernuansa Islami atau kegiatan dakwah dengan memanfaatkan adat, tradisi, seni dan budaya lokal dalam proses menuju kehidupan Islami.24

Dalam pengertian umum Dakwah Kultural dipahami sebagai “kegiatan dakwah dengan memperhatikan potensi dan kecenderungan manusia sebagai makhluk budaya secara luas, dalam rangka menghasilkan kultur baru yang bernuansa Islami”.25 Dakwah kultural adalah, pertama, dakwah yang bersifat akomodatif terhadap nilai budaya tertentu secara inovatif dan kreatif tanpa menghilangkan aspek substansial keagamaan; kedua, menekankan pentingnya kearifan dalam memahami kebudayaan komunitas tertentu sebagai sasaran dakwah. Jadi, dakwah kultural adalah dakwah yang bersifat buttom-up dengan

22

Moh. Ali Aziz, “Ilmu Dakwah”, hlm. 383

23

Ibid.,

24

Abdul Karim, Dakwah Kultural Menurut Tokoh Muhammadiyah, PPs. Unmuh Malang, Malang, 2003, hlm. 5

25

Zakiyuddin Baidhawy, Pentingnya Dakwah Kultural, dalam artikel (Tim Dakul UMS), hlm. 21.


(14)

14

melakukan pemberdayaan kehidupan beragama berdasarkan nilai-nilai spesifik yang dimiliki oleh sasaran dakwah. Selain itu Muhammad Shulton berpendapat bahwa dakwah kultural adalah, aktivitas dakwah yang menekankan pendekatan Islam kultural. Islam kultural, adalah salah satu pendekatan yang berusaha meninjau kembali kaitan doktrinal yang formal antara Islam dan politik atau Islam dan Negara.

Dari konsep di atas kita dapat melihat bahwa keberpihakan dakwah kultural terletak pada nilai-nilai universal kemanusiaan, menerima kearifan dan kecerdasan lokal, dan mencegah kemunkaran dengan memperhatikan keunikan sifat manusia secara individual dan sosial. Secara garis besar cara dakwahnya “memudahkan” dan “menggembirakan” demi tegaknya nilai-nilai Islam di berbagai aspek kehidupan sosial, ekonomi, politik dan budaya. Secara essensial, dakwah berkaitan dengan bagaimana embangun dan membentuk masyarakat yang baik, berpijak pada nilainilai kebenaran dan hak-hak asasi manusia. Dalam pengentian nonkonvensional inilah, dakwah dapat berhubungan secara kulturalfungsional dengan penyelesaian problem-problem kemanusian, termasuk problem sosial.

Dakwah kultural ini hukumnya syah-syah saja asal tidak bertentangan dengan nilai-nilai syar‟i yang sudah baku, misalnya masalah aqidah. Sebab apabila dakwah yang kita anggab kultural ini kemudian kita salah menafsirkannya, maka yang terjadi adalah kefatalan. Misalnya saja kita berdakwah dengan harus mengikuti budaya agama lain yang dapat menggugurkan nilai aqidah kita, maka dakwah semacam ini tidak boleh dilakukan.

Sejarah dakwah kultural sebagaimana yang dilakukan di awal Islam masuk ke wilayah Jawa, dimana bangsa Indonesia saat itu kaya dengan tradisi animisme dan dinamisme, maka para pelaku dakwah kita yang terlalu lentur dalam menjalankan dakwah kulturalnya mengakibatkan ajaran Islam yang sudah sempurnya menjadi terkotori oleh budaya setempat. Hal ini merupakan kesalahan fatal yang tidak boleh dicontoh dalam melakukan dakwah. Dakwal kultural sebenarnya merupakan metode yang baik untuk dilakukan baik di masyarakat desa maupun di lingkungan masyarakat kota, baik yang berfikiran


(15)

15

primitif maupun yang sudah modern. Namun perlu dingat bahwa islam dan kultural itu berdiri sendiri dan tidak boleh dicampu adukkan.

b. Pendekatan struktural

Dakwah struktural adalah kegiatan dakwah yang menjadikan kekuasaan, birokrasi, kekuatan politik sebagai alat untuk memperjuangkan Islam. Karenanya dakwah struktural lebih bersifat top-down. Hingga dalam prakteknya, aktivis dakwah struktural bergerak mendakwahkan ajaran Islam dengan memanfaatkan struktur sosial, politik, maupun ekonomi yang ada, guna menjadikan Islam sebgai ideology negara, sehingga nilai-nilai Islam dapat dirasakan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Dakwah Struktural ini dipahami dalam pengertian sebagai "pendekatan dakwah yang berpola dari atas ke bawah (top-down approach), dalam arti dakwah yang bersifat normatif-doktriner".26 Senada dengan ini, ada pula pendapat yang mengatakan bahwa dakwah struktural lebih bersifat top-down, politis, elitis dan fikhistik.27

Hubungan dakwah dan polotik sekilas terasa asing. Padahal jika dipahami dakwah dalam pengertian luas, dakwah mencakup seluruh segi dalam kehidupan : keagamaan, pendidikan, sosial, ekonomi, kebudayaa, termasuk aspek politik. Dalam pengertian lebih lanjut dakwah dapat memakai jalur-jalur tersebut, termasuk di dalamnya dakwah lewat politik, alias menggunakan politik sebagai kendaraan dalam berdakwah. Dalam konteks hight politik sebenarnya Rasulullah Saw selama berdakwah di era Madinah tak lepas dari politik, apalagi beliau pada waktu itu diakui oleh warga negara Madinah sebagai pemimpin. Dengan demikian posisi beliau tidak hanya sebagai pemimpin agama, namun sekaligus juga sebagai pemimpin politik tertinggi, yaitu kepala negara.28

C.Metodelogi Penelitian

26

M. Amin Abdullah, Studi Agama: Normativitas atau Historisitas? (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999), hlm. 167.

27

Abdul Munir Mulkhan,"Strategi Kolektivitas Muballigh dalam Dakwah Jama„ah" makalah disampaikan pada Acara Silaturahmi Muballigh Muhammadiyah Se-Jawa Tengah, di UMS,1997, hlm. 1.

28


(16)

16

Penelitian ini adalah penelitian kualitatif dengan kajian pustaka, dengan menggunakan pendekatan historis dan filosofis. Pendekatan historis yaitu suatu analisis yang berangkat dari pengungkapan-pengungkapan kembali kejadian atau peristiwa yang telah lalu berdasarkan urutan-urutan waktu atau analisis berangkat dari sejarah. Pendekatan ini digunakan untuk mengungkap sejarah hidup dan perjuangan K.H. Ahmad Dahlan dan TGH. Muhammad Zainuddin Abdul Majid.

Sedangkan pendekatan filosofis, penulis gunakan untuk melakukan analisis terhadap pemikiran K.H. Ahmad Dahlan dan TGH. Muhammad Zainuddin Abdul Majid, tentang strategi pengembangan dakwah yang tentunya hal ini tertuang dalam beberapa tulisan dan literatur yang ada hubungannya dengan masalah tersebut dan relevan baik literatur primer maupun sekunder.

Dalam penelitian ini metode pengolahan data yang dipakai adalah deskreptif analisis, yakni setelah data terkumpul, data tersebut diklasifikasikan sesuai dengan masalah yang dibahas dan di analisis isinya (content Analisys). Dibandingkan antara data yang satu dengan yang lainnya, kemudian di interprestasikan dan akhirnya diberi kesimpulan.29 Langkah-langkah yang digunakan dalam pengolahan data ini adalah; deskriftif, interpretasi, komparasi dan pengambilan kesimpulan. Metode pembahasan yang digunakan adalah deduktif dan induktif.

D.Hasil dan Analisis

1. Biografi KH. Ahmad Dahlan dan TGH. Muhammad Zainuddin Abdul Majid

a. KH. Ahmad Dahlan

KH. Ahmad Dahlan seorang tokoh ulama besar yang membawa perubahan bagi masyarakat Yogyakarta khususnya dan jawa pada umumnya. Ia lahir di kampung Kauman Yogyakarta pada tahun 1868 M. Atau 1285 H.30 Dilihat dari latar belakang keluarganya, keturunan ulama besar dan hidup di tengah-tengah keluarga ulama, maka pendidikan yang di arahkan adalah pendidikan informal agama Islam di kampung sendiri. Muhammad Darwis

29

Sumadi Suryabrata, Metode Penelitian, ( Jakarta: Raja Walipress, 1997), hlm. 87.

30

Junus Salam,Riwayat Hidup K.H.A. Dahlan: Amal dan Perjuangannya, cetakan ke 2, (Jakarta: Depot Pengajaran Muhammadiyah, 1968), hlm. 56.


(17)

17

(Ahmad Dahlan) juga dapat dikatakan sebenarnya tidak pernah memasuki sekolah secara formal. Pengetahuan yang dimilikinya, sebagian besar hasil autodidak.

Kyai Ahmad Dahlan dikenal dengan manusia amal, karena dalam hidupnya ia lebih mengutamakan beramal dari pada berteori.31 Hal tersebut telah diwujudkan dalam amal nyata di berbagai bidang di antaranya; Pertama, Meluruskan arah kiblat, sahalat Id (Hari Raya) di lapangan, dan menjauhkan praktek beragama dari syirik, tahayul, bid‟ah, dan khurafat. Kedua, Pembinaan umat melalui pengajian-pengajian secara melembaga. Ketiga, Mempelopori pendirian sekolah Islam modern. Sejak tahun 1911 Kyai Dahlan telah mendirikan sekolah yang diberi nama Madrasah Ibtidaiyah Diniyah Islamiyah.32 Keempat, Mendirikan PKU, Panti asuhan, dan pelayanan sosial. Kelima, Mendirikan Taman Pustaka, Majalah Suara Muhammadiyah, dan lembaga penolong haji. Kyai Dahlan juga merintis lembaga Taman Pustaka tahun 1921, yang menjadi lembaga penting dalam penyebaran informasi dan kesadaran mengembangkan baca-tulis, Selain itu Majalah Suara Muhammadiyah di dirikan tahun 1915, yang awalnya berbahasa Jawa dan kemudian berbahasa melayu, sebagai majalah yang cukup tua dan menunjukkan kesadaran yang tinggi akan publikasi. Keenam, mendirikan „Aisyiyah, Kyai Dahlan terbilang cemerlang ketika menggagas lahirnya organisasi Islam pertama di ruang publik, yakni „Aisyiyah pada tahun 1917, yang sebelumnya merupakan pengajian ibu-ibu dan anak-anak putri yang bernamaSapatresna, dan diketuai oleh Nyai Walidah Dahlan. Inilah organisasi perempuan Islam yang waktu itu dipandang tabu, karena perempuan baik secara keagamaan maupun budaya masih dipandang rendah dan

31

Junus Salam, Riwayat Hidup K.H.Ahmad Dahlan, hlm. 22.

32

Ahmad Adaby Darban, Sejarah kauman: Menguak Identitas Kampung Muhammadiyah, (Yogyakarta, Tarawang, 2000), hlm. 13.


(18)

18

hanya terbatas di ruang domestik. Kyai Haji Ahamad Dahlan Wafat pada tanggal 23 Februari tahun 1923 M, dalam usia yang relatif muda yakni 54 tahun atau 55 tahun.33 Apa yang dilakukan oleh KH. Ahmad Dahlan ini, hal serupa juga dilakukan oleh orang-orang Kristen membuatkan sekolah bagi anak-anak Islam India tahun 1867.34

b. Boigrafi TGH. Muhammad Zainuddin Abdul Majid

Tuan Guru Hamzanwadi (Haji Muhammd Zainuddin Abdul Majid Nahdlatul Wathan Diniyah Islamiyah) dilahirkan di Kampung Bermi Pancor Lombok Timur pada tanggal 17 Rabi‟ul Awal 1324 H (1906 M).35 Nama Kecilnya Muhammad “Syaggaf”.

Latar belakang pendidikan Saggaf (Muhammad Zainuddin Abdul Madjid) dimulai dari pendidkan di dalam keluarga, yakni dengan belajar membaca al-Qur‟an dan ilmu agma yang di berikan langsug oleh ayahandanya, Tuan Guru Haji Abdul Majid. Pada usia 9 tahun Tuan Guru Haji Muhammad Zainuddin Abdul Majid mulai memasuki pendidikan formal pada sekolah Rakyat Negara (sekolah gebernemen di selong Lombok Timur) di sekolah tersebut ia belajar selama empat tahun, hingga 1919 M.36

TGH. Muhammad Zainuddin Abdul Majid mulai menyebarkan ide-idenya kepada orang-orang sasak setelah ia kembali ke Lombok. Ia mulai berupaya “memperbaiki” serta mengangkat harkat dan martabat masyarakat Sasak di Lombok dari kebodohan dan keterbelakangan menuju masyarakat yang maju,bermartabat, serta memilki iman yang kokoh.

Dalam merealisasikan obsesinya tersebut, Tuan Guru Haji Muhammad Zainuddin Abdul Majid mendirikan pesantren al-Mujahidin pada tahun 1934 M, sebagai tempat pembelajaran agama secara langsung bagi kaum muda. Pendirian ini dilatar belakangi oleh keinginannya untuk memberikan pembelajaran agama

33

Haedar Nashir, Muhammadiyah Gerakan Pembaharuan, hlm 111

34

Nile Green, Islam for the indentured Indian: a Muslim missionary in colonial South Africa, Bulletin of SOAS, 71, 3 (2008), 529–553. E School of Oriental and African Studies. Printed in the United Kingdom, hlm. 530

35 Abdul Hayyi Nu‟man,

Nahdlatul Wathan Organisasi Pendidikan dan Dakwah Islamiyah (Pancor: Pengurus Daerah Nahdlatul Wathan Lombok Timur, 1988), hlm 148 dan lihat juga Buletin Dwi Bulanan Pewarah No. 19 edisi Agustus-September 1996. Mataram: Yayasan Patut Patuh Patju.

36


(19)

19

yang lebih bermutu kepada masyarakat, karena pada saat itu para Tuan Guru daam mengajarkan agama lebih banyak menggunakan kitab-kitab arab Melayu, seperti Bidayah, Perukunan, dan Sabil al-Muhtadin.37

Tuan Guru Haji Muhammad Zainuddin Abdul Majid meninggal dunia pada hari selasa malam Rabu, 20 Jumadil Akhir 1418 H/ 21 Oktober 1997 M. Pukul 19.57 WITA.

2. Strategi pengembangan dakwah a. KH. Ahmad Dahlan

Dalam dakwahnya, KH. Ahmad Dahlan menggunakan strategi pengembangkan dakwah dengan pendekatan kultural. Pendekatan kultural ini ia konsen pada bidang sosial dan pendidikan.

1) Bidang sosial

Kegiatan-kegiatan di bidang sosial yang pertama dilakukan oleh K.H. Ahmad Dahlan adalah mengajak kepada masyarakat untuk menyayangi anak yatim dan membantu fakir miskin. Hal ini dilakukan sebagai amal nyata yang dipraktekkan oleh K.H. Ahmad Dahlan yaitu dengan mempraktekkan surah al-Ma‟un. Melalui Al-Ma‟un, KH. Ahmad Dahlan tidak saja membongkar kesadaran umat Islam tentang pentingnya konsistensi pemahaman Islam (ad-din) dengan pengamalan (menyantuni orang miskin, yatim piatu), sekaligus melakukan pelembagaan ajaran Islam dalam kehidupan masyarakat tanpa terjebak pada formalisme, Islam dihadirkan bukan ajaran dogmatik atau statis, tetapi hadir ditengah-tengah kenyataan masyarakat untuk memecahkan dan menjawab persoalan aktual. Lebih khusus lagi dalam melakukan emansifasi atau pembebasan masyarakat kaum dhu‟afa (lemah, terlemahkan) dan mustadh‟afin (tertindas, ditindas).

Dalam praktik Al-Ma‟un itu kemudian lahir kelembagaan Penolong Kesengsaraan Umum (PKU) pada tahun 1922, yang kemudian kini berubah menjadi pelayanan kesehatan dan sosial, termasuk lembaga-lembaga Panti

37


(20)

20

Asuhan. Belakangan aplikasi Al-Ma‟un bahkan dikembangkan atau diperluas kedalam gerakan pemberdayaan masyarakat sebagaimana menjadi perogram Majlis Pemberdayaan Masyarakat di kalangan petani, buruh, nelayan, dan sebagainya. Dalam konteks kekinian pemikiran dan praktek Al-Ma‟un yang dipelopori oleh K.H. Ahmad Dahlan itu sangat relevan dan bertemu dengan gagasan-gagasan pemberdayaan masyarakat dan pembangunan yang bersifat emansipatoris atau pembebasan ketika masalah kemiskinan dan sejenisnya tidak hanya bersifat sosial kultural tetapi lahir sebagai produk dari ketimpangan dan ketidak adilan struktural.38

2) Bidang pendidikan

KH. Ahmad Dahlan telah mempelopori kebangkitan ummat Islam untuk menyadari nasibnya sebagai bangsa terjajah yang masih harus belajar dan berbuat; Dengan organisasi Muhammadiyah yang didirikannya, telah banyak memberikan ajaran Islam yang murni kepada bangsanya. Ajaran yang menuntut kemajuan, kecerdasan, dan beramal bagi masyarakat dan umat, dengan dasar iman dan Islam;

Usahanya `memberi warna” pada Budi Utomo yang cenderung kejawen dan sekuler, tidaklah sia-sia. Terbukti kemudian dengan munculnya usulan dari para muridnya untuk mendirikan lembaga pendidikan sendiri, lengkap dengan organisasi pendukung. Hal itu dimaksudkan untuk menghindari kelemahan pesantren yang biasanya ikut mati jika kiainya meninggal. Maka pada 18 Nopember 1912 berdirilah sekolah Madrasah Ibtidaiyah dan Madrasah Diniyah. Sekolah tersebut mengambil tempat di ruang tamu rumahnya sendiri ukuran 2,5 x 6 M di Kauman.

Madrasah tersebut merupakan sekolah pertama yang dibangun dan dikelola oleh pribumi secara mandiri yang dilengkapi dengan perlengkapan belajar mengajar modern seperti; bangku, papan tulis, kursi (dingklik; kursi berkaki empat dari kayu dengan tempat duduk panjang), dan sistem pengajaran secara klasikal. Cara belajar seperti ini, merupakan cara pengajaran yang asing di kalangan masyarakat santri, bahkan tidak jarang dikatakan sebagai sekolah

38


(21)

21

kafir. Pernah dia kedatangan seorang tamu guru ngaji dari Magelang yang mengejeknya dengan sebutan kiai kafir, dan kiai palsu karena mengajar dengan menggunakan alat-alat sekolah milik orang kafir. Kepada guru ngaji yang mengejeknya itu Dahlan sempat bertanya, “Maaf, Saudara, saya ingin bertanya dulu. Saudara dari Magelang ke sini tadi berjalankah atau memakai kereta api?”

“Pakai kereta api, kiai,” jawab guru ngaji. “Kalau begitu, nanti Saudara pulang sebaiknya dengan berjalan kaki saja,” ujar Dahlan. “Mengapa?” tanya sang tamu keheranan. “Kalau saudara naik kereta api, bukankah itu perkakasnya orang kafir?” kata Dahlan telak.

Di sinilah Ahmad Dahlan menerapkan Al Qur‟an surah 96 ayat 1 yang memberi penekanan arti pentingnya membaca, diterjemahkan dengan mendirikan lembaga-lembaga pendidikan. Ahmad Dahlan berfikir dengan pendidikan buta huruf diberantas. Apabila umat Islam tidak lagi buta huruf, maka mereka akan mudah menerima informasi lewat tulisan mengenai agamanya.39

Atas jasa-jasa KH. Ahmad Dahlan dalam membangkitkan kesadaran bangsa ini melalui pembaharuan Islam dan pendidikan, maka Pemerintah Republik Indonesia menetapkannya sebagai Pahlawan Nasional dengan surat Keputusan Presiden no. 657 tahun 1961. 40

b. TGH. Muhammad Zainuddin Abdul Majid

Dalam dakwahnya, TGH. Muhammad Zainuddin Abdul Majid menggunakan strategi pengembangkan dakwah dengan pendekatan kultural dan struktural. Pendekatan kultural ia konsen pada bidang sosial, kesehatan. Pendekatan struktural ia masuk partai politik.

1) Pendekatan kultural

(a)Bidang sosial

Di bidang sosial TGH. Muhammad Zainuddin Abdul Majid berupaya untuk mensejahterakan kehidupan sosial masyarakat dengan kerja-kerja sosial. Kerja-kerja tersebut merupakan respon terhadap problem-problem sosial yang terjadi di tengah-tengah masyrakat. Pendekatan yang digunakan

39

Fatikul Himami, Implementasi Konsep Pemikiran, Ibid

40


(22)

22

adalah mengimplementasikan konsep aktivitas sosial yang berbasis community development (pengembangan masyarakat).

Secara kosepsional community development berusaha untuk membangkitkan kesadaran masyarakat terhadap masalah-masalah yang di hadapi, dan menumbuh kembangkan partisipasi aktif masyarakat dalam mencari solusi terhadap persoalan yang di hadapi secara mandiri. Pada tahap berikutnya, berupaya untuk memfasilitasi solusi kreatif masyarakat tersebut, baik secara mandiri maupun kerjasama dengan pihak atau instansi terkait. Pada akhirnya, sebuah kesejahteraan merupakan hasil dari kemandirian masyarakat untuk mengatasi masalah-masalahnya sendiri.

Menurut Abdullah Syarwani, sekurang-kurangnya, ada empat peran utama dari agen pembangunan dalam melakukan pengembangan masyrakat yaitu: a) sebagai katalisator, menggerakkan masyarakat agar mau melakukan perubahan; b) sebagai pemberi pemecahan persoalan; c) sebagai pembantu proses perubahan, membantu dalam peroses pemecahan masalah dan penyebaran informasi, serta memberi petunjuk bagaimana: a) mengenali dan merumuskan kebutuhan, b) mendiagnosa permaslahan dan menetukan tujuan, c) mendapatkan sumber-sumber yang relevan, d) memilih atau menciptakan pemecahan masalah, dan 4) sebagai penghubung dengan sumber-sumber yang diperlukan untuk pemecahan maslah yang dihadapi.

TGH. Muhammad Zainuddin Abdul Majid dalam upaya merealisir program sosialnya, mengajukan beberapa agenda kerja, antara lain mendirikan panti asuhan dan asuhan keluarga di berbagai tempat kedudukan organisasi, disamping itu mengalokasikan dana bi‟sah untuk program beasiswa bagi kader-kader yang potensial.41 Selain itu, kerja-kerja sosial yang dilakukan oleh Nahdlatul Wathan adalah mendirikan klinik-klinik keluarga sejahterah untuk memberikan pelayanan kesehatan kepada masyarakat sekaligus sebagai mitra pemerintah dalam mensukseskan program kependudukan dan lingkungan hidup.

41 Bi‟sah

adalah sebuah badan kordinasi program beasiswa bagi santri yang berperestasi dan potensial, yang didirikan pada tahun 1951 oleh TGH. Muhammad Zainuddin Abdul Majid


(23)

23

Dalam membantu masyarakat yang berada di bawah garis kemiskinan, maka TGH Zainuddin Abdul Majid melalui organisasi Nahdlatul Wathan mendirikan sejumlah panti asuhan dan asuhan keluarga. Panti asuhan merupakan tempat penampungan dan pemberdayaan anak-anak yatim, fakir miskin, dan anak-anak terlantar. Berdasarkan catatan pada Depertemen Sosial Pengurus Besar Nahdlatul Wathan jumlah panti asuhan yang dikelola berjumlah 23 buah dengan jumlah anak asuh sebanyak 1896 orang.42

(b)Bidang pendidikan

TGH. Muhammad Zainuddin Abdul Majid mulai menyebarkan ide-idenya kepada orang-orang sasak setelah ia kembali dari Makkah ke Lombok. Ia mulai berupaya “memperbaiki” serta mengangkat harkat dan martabat masyarakat Sasak di Lombok dari kebodohan dan keterbelakangan menuju masyarakat yang maju, bermartabat, serta memilki iman yang kokoh. Bagi Tuan Guru Haji Muhammad Zainuddin Abdul Majid tentu bukan pekerjaan gampang, segampang membalikkan telapak tangan, tetapi membutuhkan perjuang panjang dan kerja keras.

Dalam merealisasikan obsesinya tersebut, Tuan Guru haji Muhammad Zainuddin Abdul Majid mendirikan pesantren al-Mujahidin pada tahun 1934 M, sebagai tempat pembelajaran agama secara langsung bagi kaum muda. Pendirian ini dilator belakangi oleh keinginannya untuk memberikan pembelajaran agama yang lebih bermutu kepada masyarakat,karena pada saat itu para Tuan Guru daam mengajarkan agama lebih banyak menggunakan kitab-kitab arab Melayu, seperti Bidayah, Perukunan, dan Sabil al-Muhtadin.

Sebagaimana pesantren pada umumnya, Pesantren al-mujahidin mempergunakan tradisi pembelajaran dengan metode halaqoh. Namun mengingat metode halaqah tidak begitu efektif,karena pertama, sulit mengukur tingkat keberhasilan perestasi santri , kedua, tidak dapat mengawasi secara maksimal proses pembelajaran yang efektif, Tuan Guru Haji Muhammad Zainuddin Abdul Majid mempergunakan system

42


(24)

24

pendidikan semi klasikal, yakni para santri dibagi berdasarkan peringkat kelas yang didasarkan pada tingkat usia. Ruang kelaspun dilengkapi dengan perangkat kelas, seperti papan tulis, kapur tulis,dan lain-lainnya.

Pendidikan system kelasikal ini, Nampak tidak hanya dapat menarik minat dan perhatian masyarakat setempat, tetapi juga sangat diminati oleh para santri yang dating dari berbagai penjuru tanah Sasak. Hal ini terlihat bahwa dalam waktu yang tidak begitu lama, tidak kurang dari 200 santri datang menuntut ilmu agama pada pesantren al-Mujahidin.

Seiring dengan semakin meningkatnya jumlah santri yang belajar dipesantren ini , mendorong Tuan Guru haji Muhammad Zainuddin Abdul Majid untuk mendirikan Madrasah sebagai lembaga pendidikan Islam di Lombok. Keinginan Tuan Guru haji Muhammad Zainuddin Abdul Majid mendirikan madrasah Nahdhatul Wathan Diniyah Islamiyah (NBDI) yang dipandangnyalebih efesien dan lebih efektif dalammencapai tujuan pendidikan. Dalam mendirikan madrasah NBDI, Tuan Guru Haji Muhammad Zainuddin Abdul Majid dibantu oleh ayahnya Tuan Guru Haji Abdul Majid, serta saudaranya Tuan Guru Rifa‟I Abdul Majid dan Tuan Guru haji Faisal Abdul majid. Sementara pengasuhan Madrasah NWDI, Tuan Guru haji Muhammad zainuddin Abdul Majid dibantu oleh sejumlah Tuan Guru setempat,Seperti uan Guru hajji Muhibuddin Abdul Aziz, tuan Guru Haji FaisalAbdul Majid dan Tuan Guru Abdurrahim.

2) Pendekatan strktural

Seperti ditunjukkan pada masa hidupnya, TGH. Muhammad Zainuddin Abdul Majid menekankan Fleksibilitas dan dinamisme dalam berjuang, namun tetap dalam bingkai iman dan taqwa. Hal ini dengan jelas dapat kita cermati misalnya pada konsep politik beliau dengan tegas menjadikan al-qur‟an dan al -Hadits sebagai referensi utama yang menjadi ground norm (norma dasar) dalam menyikapi seluruh realitas politik dan kepartaian yang ada. Akan tetapi, apabila dalam implementasi kebijakan-kebijakan politik tersebut ternyata kontra atau mengalami kendala dengan realitas sosial masyrakat yang ada, maka nash al-Qur‟an dan al-Hadits tersebut harus di-reinterpretasikan agar realitas sosial masyarakat tersebut bisa direspon dan diakomodir dengan baik.


(25)

25

Gaya Pemikiran TGH. Muhammad Zainuddin yang fleksibel dalam memahami suatu teks ternyata membawa efek dalam prilaku dakwahnya dalam bidang politik. Fleksibelitas itu tercermin dari perubahan kecenderungan sikap politik dan afiliasi politik sepanjang hayatnya. Jika kita tipologikan berdasarkan kurun waktu, setidaknya ada empat periode yang menandakan kecenderungan politik TGH. Muhammad Zainuddin yang berbeda dari waktu ke waktu.

Periode pertama, pada era 1936-1952 ketika masa awal tumbuh dan berkembangnya NWDI dan NBDI sikap politik beliau bertumpu pada semangat mengembangkan Islam dalam dimensi pendidikan dan dakwah, termasuk didalamnya anti kolonial, pada periode ini belum muncul hiruk pikuk kepartaian, sehingga corak dakwah via politik masih berada pada jalur “murni” sebagai “khittah” perjuangannya. Periode kedua, era 1952-1970, beliau memasuki gelanggang politik pada zaman Orde Lama yang dikenal sebagai era multi partai. Periode ketiga, era 1971-1982, merupakan politik era Orde Baru. TGH. Muhammad Zainuddin kurang puas dengan partai-partai sebelumnya dipandang kurang bisa memajukan masyarakat. Maka sejak tahun 1970 beliau bersama tokoh-tokoh muda NW menyusun strategi dan mencari alinasi baru. Beliau bersama tokoh-tokoh penting NW segera hengkang dari Parmusi dan mendukung Golkar. Periode keempat, tahun 1982-1997, TGH. Muhammad Zainuddin praktis tidak berpolitik kembali, dan tidak lagi berkolaborasi dengan Golkar karena partai pohon beringin itu dipandang kurang memperjuangkan aspirasi umat Islam. Beliau menetapkan langkah-langkah tertentu guna menjauhkan usaha-usaha di bidang pendidikan dan sosialnya dari segala macam kegiatan politik. Bahkan pada muktamar NW ke VIII tahun 1986, beliau mengajak seluruh komponen NW untuk kembali ke Khittah sebagaimana cita-cita awal NW.

Berdasarkan periodesasi tersebut dapat digariskan bahwa pola dakwah via politik yang dihasilkan TGH. Muhammad Zainuddin memiliki pola yang baku dalam hal standar umum, meskipun kolaborasinya dengan partai politik dapat berubah-ubah. Namun yang pasti tetap ada perinsip yang dipegang, yakni nilai kemaslahatan dalam berpolitik. Ketika aktif di dalam partai tujuan


(26)

26

utamanya adalah kemaslahatan umat, demikian pula ketika tidak lagi aktif, tujuannya pun adalah kemaslahatan umat.43

3. Organisasi Muhammadiyah dan Nahdlatul Wathan (NW) a. Organisasi Muhammadiyah

Pada tahun 1912, KH. Ahmad Dahlan mendirikan organisasi Muhammadiyah untuk melaksanakan cita-cita pembaharuan Islam di bumi nusantara. KH. Ahmad Dahlan ingin mengadakan suatu pembaharuan dalam cara berpikir dan beramal menurut tuntunan agama Islam. Ia ingin mengajak ummat Islam Indonesia untuk kembali hidup menurut tuntunan al-Qur'an dan al-Hadits. Karena didirikannya organisasi ini murni untuk kegiatan dakwah, maka KH. Ahmad Dahlan menetapkan bahwa Muhammadiyah bukan organisasi politik tetapi bersifat sosial dan bergerak di bidang pendidikan.

Sebagai gerakan sosial keagamaan Muhammadiyah mempunyai ciri-ciri khas sebagai berikut: pertama, Muhammadiyah sebagai gerakan islam, dalam melaksanakan dan memperjuangkan keyakinan dan cita-cita organisasinya berasaskan Islam. Menurut Muhammadiyah, bahwa dengan Islam bisa dijamin kebahagiaan yang hakiki hidup di dunia dan akhirat, material dan spiritual. Kedua, Muhammadiyah sebagai gerakan dakwah. Untuk mewujudkan keyakinan dan cita-cita Muhammadiyah yang berdasarkan Islam, yaitu amar ma‟ruf dan nahi munkar. Dakwah dilakukan menurut cara yang dicontohkan Nabi Muhammad SAW. Dakwah Islam dilakukan dengan hikmah, kebijaksanaan, nasehat, ajakan, dan jika perlu dilakukan dengan berdialog. Ketiga, Muhammadiyah sebagai gerakan tajdid.Usaha-usaha yang dirintis dan dilaksanakan menunjukkan bahwa Muhammadiyah selalu berusaha memperbarui dan meningkatkan pemahaman Islam secara rasional sehingga Islam lebih mudah diterima dan dihayati oleh segenap lapisan masyarakat. Keempat, Muhammadiyah sebagai gerakan sosial keagamaan, lengkaplah ketika pada tahun 1917 M. Membentuk bagian khusus wanita yaitu „Aisyah. Bagian ini menyelenggarakan tabligh khusus wanita, memberika kursus kewanitaan. Pemeliharaan fakir miskin, serta

43


(27)

27

memberi bantuan kepada orang sakit. Kegiatan Muhammadiyah dengan „Aisyah ini berjalan baik, terutama karena banyak orang Islam baik menjadi anggota maupun simpatisan memberikan zakatnya kepada organisasi ini. Di samping „Aisyiah, kegiatan lain dalam bentuk kelembagaan yang berada di bawah organisasi Muhammadiyah ialah (1) PKU (Penolong Kesengsaraan Umum) yang bergerak dalam usaha membantu orang-orang miskin, yatim piatu, korban bencana alam dan mendirikan klinik-klinik kesehatan; (2) Hizb AI-Wathan, gerakan kepanduan Muhammadiyah yang dibentuk pada tahun 1917 M. oleh K.H. Ahmad Dahlan; (3) Majlis Tarjih, yang bertugas mengeluarkan fatwa terhadap masalah-masalah yang terjadi di masyarakat.

Konsep ideologi yang dikembangkan oleh KH. Ahmad Dahlan di samping dua sumber pokok yaitu al-Qur‟an dan Hadist, ia juga menggunakan kitab-kitab Ahlus Sunnah Waljama‟ah dalam bidang aqidah dan dari imam Syafi‟i dalam ilmu fiqih.44

Sedangkan teologinya, menurut KH. Mas Mansyur sebagaimana yang dikutip oleh Yusron, KH. Ahmad Dahlan kembali pada pendapat para ulama salaf dan dia tdak suka berpikir secara mendalam tentang hal itu. Pemikirannya memang banyak menunjukkan segi paraktis dari agama. 45

Muhammadiyah sangat mengedepankan demokratis, hal ini terbukti pada kepemimpinnannya, siapapun boleh memimpin. Pemilihan kepemimpinan Muhammadiyah melalui muktamar lima tahun sekali atas dasar kesepakatan anggota. Siapa yang dianggap mampu dalam memimpin maka ialah yang terpilih, tanpa mengedepankan keluarga ataupun kerabat. Dengan cara demokratis ini pula, Muhammadiyah dapat berkembang dengan cepat menyebar keseluruh Indonesia bahkan dunia.

b. Organisasi Nahdlatul Wathan (NW)

Organisasi NW didirikan oleh TGH. Muhammad Zainuddin Abdul Majid pada tanggal 1 Maret 1953 di desa Pancor, Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat. Dilihat dari segi usia organisasi NW lahir lebih muda dibandingkan dengan

44

M Yusron Asrofi, KH. Ahmad Dahlan Pemikiran, hlm. 35

45


(28)

28

organisasi sosial keagamaan yang lain di Indonesia seperti organisasi Muhammadiyah 1912, Persatuan Islam (Persis) 1923, dan Nahdlatul Ulama 1926. Meskipun lahir lebih muda, namun pada praktiknya organisasi NW telah beroperasi sejak tahun 1934. Cikal bakal organisasi NW adalah sebuah pesantren Al-Mujahidin, yang didirikan oleh Tuan Guru tahun 1934 ketika kembali dari Makkah.

Konsep ideologi NW, beraqidah Islam Ahlus Sunnah Wa –Jama‟ah dengan menerapkan mazhab Syafi‟i sebagai mazhab tunggal organisasi. Sedangkan teologinya mengacu pada teologi al-Asy‟ari dan al-Maturidi, tetapi tidak seluruhnya apa yang telah dirumuskan oleh Asy„ari itu diterima, begitu pula terhadap paham yang dikembangkan oleh al-Maturidi. Persepsinya tentang akal berfungsi sebagai sumber informasi tentang Allah, dan yang berhubungan dengan Allah tetap dalam posisi lemah. Sedangkan al-Maturidi berpandangan bahwa akal berfungsi sebagai alat, potensi untuk memahami ayat-ayat yang tersurat dan tersirat, akal berfungsi untuk mempertimbangkan baik dan buruk memelalui petunjuk wahyu. Dengan akal manusia diberi beban perintah dan larangan. Akal mampu mengetahui Allah walaupun melalui proses waktu yang panjang. Di sinilah wahyu dan rasul diperintahkan, meskipun kehadirannya bukan merupakan kewajiban. Mengenai wahyu, menurut ketiganya (al-Asy‟ari, al-Maturidi dan Zainuddin) sepaham bahwa wahyu al-Qur‟an yang di dalamnya terkandung materi teologi, sumber argumen dan metodologi, kredibilitasnya tidak dapat diragukan karena membawa dilalai yang qoth‟i. Sekaligus dianggap pemikiran dharuri.46

Di samping itu, organisasi NW juga mengembangkan tarekat hizib NW dan mempraktikkan ajaran sufi yang menekankan loyalitas dan ketaatan kepada tuan guru. Tuan Guru adalah guru yang paling tinggi posisinya dalam hirarki masyarakat NW. Sedangkan asas organisasi NW adalah Pancasila sesuai dengan undang-udang nomor 8 tahun 1985. Tujuan organisasi NW adalah li i‟ila ikalimatillah wa izzal-Islam wa al-Muslimin (menegakkan kalimat Allah dan kejayaan Islam dan kaum Muslimin).

46


(29)

29

Sebagaimana organisasi-organisasi sosial keagamaan yang lain, organisasi NW terfokus pada tiga bidang pembangunan yaitu bidang pendidikan, sosial dan dakwah. Di bidang pendidikan NW secara berkelanjutan mendirikan lembaga pendidikan anak cabang di berbagai daerah di Lombok mulai dari tingkat sekolah dasar sampai perguruan tinggi. Dari sejak tahun 1934-2010 NW telah berhasil membangun 1500 cabang lembaga pendidikan yang tersebar di dalam dan luar daerah. Sementara di bidang sosial, NW telah mendirikan beberapa panti asuhan untuk anak yatim dan anak-anak terlantar. Mereka ditampung di panti asuhan NW dan disekolahkan secara gratis.

Di bidang dakwah NW aktif membangun dan menghidupkan majlis dakwah dan majlis ta‟lim melalui para tuan guru NW yang terdapat di desa masing-masing. NW juga memiliki program pengajian keliling desa yang bersifat harian, mingguan, bulanan dan tahunan secara bergantian. Masih terkait dengan dakwah NW juga menciptakan tradisi ritual seperti membaca wasiat Tuan Guru yang terus dipraktikkan dalam kehidupan sehari-hari oleh jamaah NW, yaitu hiziban, tarekat hizib NW, wirid dan zikiran, berzanji.

E.Kesimpulan

Berdasarkan analisis pembahasan di atas, maka dapat diambil benang merah sebagai berikut:

1) Strategi pengembangan dakwah, keduanya menggunakan pendekatan kultural, selain itu TGH. Muhammad Zainuddin Abdul Majid menggunakan struktural. Pendekatan kultural keduanya konsen pada bidang sosial, dalam hal ini mereka memperhatikan fakir miskin dan anak yatim, hal ini diwujudkan dengan mendirikan panti asuhan dan rumah sakit. Di bidang pendidikan, ia mendirikan lembaga pendidikan moderen.

2) Untuk memperkuat dan memperlancarkan jalan dakwahnya, keduanya mendirikan organisasi kemasyarakatan. KH. Ahmad Dahlan mendirikan organisasi kemasyarakatan yaitu Muhammadiyah. Ideologi organisasi ini adalah al-qur‟an dan hadist di samping itu secara aqidah menggunakan kitab-kitab Ahlus Sunnah Waljama‟ah, dalam ilmu fiqih mengacu kepada Imam Syafi‟i. Sedangkan teologinya mengacu kepada pendapat ulama salaf. TGH. Muhammad Zainuddin Abdul Majid mendirikan organisasi kemasyarakatan yaitu Nahdlatul


(30)

30

Wathan (NW). Ideologi organisasi ini adalah beraqidah islam Ahlus Sunnah wa Al-Jamaah, dalam ilmu Fiqih mengacu kepada Imam Syafi‟i. Sedangkan teologinya mengacu pada teologi al-Asy‟ari dan al-Maturidi, namun tidak semua apa yang telah dirumuskan oleh Asy‟ari dan al-Maturidi, oleh Zainuddin diambil hanya beberapa saja seperti paham tentang wahyu, sifat-aifat Allah dan tentang perbuatan manusia.

Secara prinsip kedua tokoh tersebut memiliki persamaan ideologi yaitu di samping al-qur‟an dan hadist, keduanya mengacu pada aqidah Ahlus Sunnah Wa Al-Jamaah dan Mazhab Imam Syafi‟i dalam bidang fiqih.. Namun meskipun sama-sama menganut faham Ahlus Sunnah Wa Al-Jamaah, kedua tokoh ini memiliki perbedaan dalam penerapannya, KH. Ahmad Dahlan tidak menciptakan suatu tradisi di kalangan Muhammadiyah, sementara TGH. Muhammad Zainuddin Abdul Majid melalui organisasi NW mengembangkan tarekat hizib NW dan mempraktikkan ajaran sufi yang menekankan loyalitas dan ketaatan kepada tuan guru.

Dalam pengambilan hukum, kedua tokoh ini memiliki perbedaan. KH. Ahmad Dahlan memakai sumber pokok al-qur‟an dan hadist ditambah dengan hasil kupasan dari kitab-kitab yang telah dibaca, kemudian diperbandingkan dan diambillah hukum yang paling sesuai dengan al-qur‟an dan hadist. Dan ia tidak fanatik terhadap satu Mazhab, sedangkan TGH. Muhammad Zainuddin Abdul Majid secara tegas menganut Mazhab Imam Syafi‟i.


(31)

31

DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, M. Amin, Studi Agama: Normativitas atau Historisitas? Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999

Adaby Darban, Ahmad, Sejarah kauman: Menguak Identitas Kampung Muhammadiyah, Yogyakarta, Tarawang, 2000

Adnan, Afifuddin, Diktat Pelajaran Ke-NW-an untuk Madrasah dan Sekolah Menengah NW, Pancor: Biro Dakwah Yayasan Pendidikan Haji Muhammad Zainuddin Abdul Madjid, 1983

Ali Aziz, Moh., “Ilmu Dakwah” Ed. Rev. Cet.2; Jakarta : Kencana 2009

al-Karim Zaidan, Abd, “Ushul al-Da‟wah”, Beirut: Muassasah al-Risalah, 1976

Atjeh, Aboebakar, “ Beberapa Tjatatan Mengenai Dakwah Islam”, Semarang: Ramadhani, 1971

Baharuddin, Nahdlatul Wathan dan Perubahan Sosial, Yogyakarta: Genta Press, 2007 Baidhawy, Zakiyuddin, Pentingnya Dakwah Kultural, dalam artikel Tim Dakul UMS Buletin Dwi Bulanan Pewarah No. 19 edisi Agustus-September 1996. Mataram:

Yayasan Patut Patuh Patju.

Canard, “Da‟wa”. The Encyclopaedia of Isam. B. Lewis (et al.) Vol. II. Leiden: E.J. Brill, 1991

Donald L. Harrison, Effect of strategic planning education on attitudes and perceptions of independent community pharmacy owners/ managers Journal of the Amerrican Pharmacist Association, Sept/Oct 2007.47:5. JAPhA.

Hayyi Nu‟man, Abdul, Nahdlatul Wathan Organisasi Pendidikan dan Dakwah Islamiyah Pancor: Pengurus Daerah Nahdlatul Wathan Lombok Timur, 1988 Helmy, Masdar, “ Dakwah Dalam Alam Pembangunan”, Semarang : Toha Putra, 1973

http://desmocidici.wordpress.com/2008/08/24/imetode-dakwah-al-hikmah-menurut-surat-an-nahl-ayat-125/

http://id.shvoong.com/humanities/religion-studies/2239130-pendekatan-dakwah/

Karim, Abdul, Dakwah Kultural Menurut Tokoh Muhammadiyah, PPs. Unmuh Malang, Malang, 2003

Masnun, Tuan Guru KH. Muhammad Zainuddin Abdul Madjid Gagasan dan Gerakan Pembaharuan Islam di Nusa Tenggara Barat, Pustaka Al-Miqdad, 2007

Moertopo, Ali, Strategi kebudayaan, Jakarta : CSIS, 1971

Muchtarom, Zaini, Dasar-Dasar Manajemen Dakwah Islam, Yogyakarta: Al-Amin Press, 1978


(32)

32

Muhammad Abu al-fath Al-Bayanuni, “al-Madkhal ila „ilm al-Da‟wah”, Beirut: Muassasah al-Risalah, 1993

Munir Mulkhan, Abdul,"Strategi Kolektivitas Muballigh dalam Dakwah Jama„ah" makalah disampaikan pada Acara Silaturahmi Muballigh Muhammadiyah Se-Jawa Tengah, di UMS,1997,

Nasaruddi Latif, HSM., “ Teori dan Praktik Dakwah Islamiyah”, Jakarta: Firma Dara, 1971

Nile Green, Islam for the indentured Indian: a Muslim missionary in colonial South Africa, Bulletin of SOAS, 71, 3 (2008), 529–553. E School of Oriental and African Studies. Printed in the United Kingdom.

Nur, Muhammad (ed.), Visi Kebangsaan Religius:Refleksi, 2004

R. Woodward, Mark., Islam Jawa: Kesalehan Normatif Versus Kebatinan, Yogyakarta: Lkis,1999

Salam, Junus,Riwayat Hidup K.H.A. Dahlan: Amal dan Perjuangannya, cetakan ke 2, Jakarta: Depot Pengajaran Muhammadiyah, 1968

Siagian, Sondang p, Menegemen Stratejik, Jakarta: PT. Bumi Aksara, 1995 Soelarto, B, Garebeg Di Kasultanan Yogyakarta, Yogyakarta, Kanisius, 1993

Sunar Prasetyono, Dwi, Trobosan Strategis Menggali Sumber-sumber kekayaan dalam Bisnis, Yogyakarta:CV. DIVA Pres, 2005

Suryabrata, Sumadi, Metode Penelitian, Jakarta: Raja Walipress, 1997

Syukri, Asmuni, Strategi Komunikasi Sebuah pengantar, Bandung :Armiko, 1984 Tjandra, Mifedwil dkk, Perangkat Alat-alat dan Pakaian Serta Makna simbolis

Upacara Keagamaan Di Lingkungan Keraton Yogyakrta, Yogyakarta: Depdikbud, Proyek inventarisasi dan Pembinaan Nilai-nilai Budaya DIY, 1989


(1)

27

memberi bantuan kepada orang sakit. Kegiatan Muhammadiyah dengan „Aisyah ini berjalan baik, terutama karena banyak orang Islam baik menjadi anggota maupun simpatisan memberikan zakatnya kepada organisasi ini. Di samping „Aisyiah, kegiatan lain dalam bentuk kelembagaan yang berada di bawah organisasi Muhammadiyah ialah (1) PKU (Penolong Kesengsaraan Umum) yang bergerak dalam usaha membantu orang-orang miskin, yatim piatu, korban bencana alam dan mendirikan klinik-klinik kesehatan; (2) Hizb AI-Wathan, gerakan kepanduan Muhammadiyah yang dibentuk pada tahun 1917 M. oleh K.H. Ahmad Dahlan; (3) Majlis Tarjih, yang bertugas mengeluarkan fatwa terhadap masalah-masalah yang terjadi di masyarakat.

Konsep ideologi yang dikembangkan oleh KH. Ahmad Dahlan di samping dua sumber pokok yaitu al-Qur‟an dan Hadist, ia juga menggunakan kitab-kitab Ahlus Sunnah Waljama‟ah dalam bidang aqidah dan dari imam Syafi‟i dalam ilmu fiqih.44

Sedangkan teologinya, menurut KH. Mas Mansyur sebagaimana yang dikutip oleh Yusron, KH. Ahmad Dahlan kembali pada pendapat para ulama salaf dan dia tdak suka berpikir secara mendalam tentang hal itu. Pemikirannya memang banyak menunjukkan segi paraktis dari agama. 45

Muhammadiyah sangat mengedepankan demokratis, hal ini terbukti pada kepemimpinnannya, siapapun boleh memimpin. Pemilihan kepemimpinan Muhammadiyah melalui muktamar lima tahun sekali atas dasar kesepakatan anggota. Siapa yang dianggap mampu dalam memimpin maka ialah yang terpilih, tanpa mengedepankan keluarga ataupun kerabat. Dengan cara demokratis ini pula, Muhammadiyah dapat berkembang dengan cepat menyebar keseluruh Indonesia bahkan dunia.

b. Organisasi Nahdlatul Wathan (NW)

Organisasi NW didirikan oleh TGH. Muhammad Zainuddin Abdul Majid pada tanggal 1 Maret 1953 di desa Pancor, Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat. Dilihat dari segi usia organisasi NW lahir lebih muda dibandingkan dengan

44

M Yusron Asrofi, KH. Ahmad Dahlan Pemikiran, hlm. 35

45


(2)

28

organisasi sosial keagamaan yang lain di Indonesia seperti organisasi Muhammadiyah 1912, Persatuan Islam (Persis) 1923, dan Nahdlatul Ulama 1926. Meskipun lahir lebih muda, namun pada praktiknya organisasi NW telah beroperasi sejak tahun 1934. Cikal bakal organisasi NW adalah sebuah pesantren Al-Mujahidin, yang didirikan oleh Tuan Guru tahun 1934 ketika kembali dari Makkah.

Konsep ideologi NW, beraqidah Islam Ahlus Sunnah Wa –Jama‟ah

dengan menerapkan mazhab Syafi‟i sebagai mazhab tunggal organisasi. Sedangkan teologinya mengacu pada teologi al-Asy‟ari dan al-Maturidi, tetapi tidak seluruhnya apa yang telah dirumuskan oleh Asy„ari itu diterima, begitu pula terhadap paham yang dikembangkan oleh al-Maturidi. Persepsinya tentang akal berfungsi sebagai sumber informasi tentang Allah, dan yang berhubungan dengan Allah tetap dalam posisi lemah. Sedangkan al-Maturidi berpandangan bahwa akal berfungsi sebagai alat, potensi untuk memahami ayat-ayat yang tersurat dan tersirat, akal berfungsi untuk mempertimbangkan baik dan buruk memelalui petunjuk wahyu. Dengan akal manusia diberi beban perintah dan larangan. Akal mampu mengetahui Allah walaupun melalui proses waktu yang panjang. Di sinilah wahyu dan rasul diperintahkan, meskipun kehadirannya bukan merupakan kewajiban. Mengenai wahyu, menurut ketiganya (al-Asy‟ari, al-Maturidi dan Zainuddin) sepaham bahwa wahyu al-Qur‟an yang di dalamnya terkandung materi teologi, sumber argumen dan metodologi, kredibilitasnya tidak dapat diragukan karena membawa dilalai yang qoth‟i. Sekaligus dianggap pemikiran dharuri.46

Di samping itu, organisasi NW juga mengembangkan tarekat hizib NW dan mempraktikkan ajaran sufi yang menekankan loyalitas dan ketaatan kepada tuan guru. Tuan Guru adalah guru yang paling tinggi posisinya dalam hirarki masyarakat NW. Sedangkan asas organisasi NW adalah Pancasila sesuai dengan undang-udang nomor 8 tahun 1985. Tujuan organisasi NW adalah li i‟ila

ikalimatillah wa izzal-Islam wa al-Muslimin (menegakkan kalimat Allah dan

kejayaan Islam dan kaum Muslimin).

46


(3)

29

Sebagaimana organisasi-organisasi sosial keagamaan yang lain, organisasi NW terfokus pada tiga bidang pembangunan yaitu bidang pendidikan, sosial dan dakwah. Di bidang pendidikan NW secara berkelanjutan mendirikan lembaga pendidikan anak cabang di berbagai daerah di Lombok mulai dari tingkat sekolah dasar sampai perguruan tinggi. Dari sejak tahun 1934-2010 NW telah berhasil membangun 1500 cabang lembaga pendidikan yang tersebar di dalam dan luar daerah. Sementara di bidang sosial, NW telah mendirikan beberapa panti asuhan untuk anak yatim dan anak-anak terlantar. Mereka ditampung di panti asuhan NW dan disekolahkan secara gratis.

Di bidang dakwah NW aktif membangun dan menghidupkan majlis dakwah dan majlis ta‟lim melalui para tuan guru NW yang terdapat di desa masing-masing. NW juga memiliki program pengajian keliling desa yang bersifat harian, mingguan, bulanan dan tahunan secara bergantian. Masih terkait dengan dakwah NW juga menciptakan tradisi ritual seperti membaca wasiat Tuan Guru yang terus dipraktikkan dalam kehidupan sehari-hari oleh jamaah NW, yaitu

hiziban, tarekat hizib NW, wirid dan zikiran, berzanji.

E.Kesimpulan

Berdasarkan analisis pembahasan di atas, maka dapat diambil benang merah sebagai berikut:

1) Strategi pengembangan dakwah, keduanya menggunakan pendekatan kultural, selain itu TGH. Muhammad Zainuddin Abdul Majid menggunakan struktural. Pendekatan kultural keduanya konsen pada bidang sosial, dalam hal ini mereka memperhatikan fakir miskin dan anak yatim, hal ini diwujudkan dengan mendirikan panti asuhan dan rumah sakit. Di bidang pendidikan, ia mendirikan lembaga pendidikan moderen.

2) Untuk memperkuat dan memperlancarkan jalan dakwahnya, keduanya mendirikan organisasi kemasyarakatan. KH. Ahmad Dahlan mendirikan organisasi kemasyarakatan yaitu Muhammadiyah. Ideologi organisasi ini adalah al-qur‟an dan hadist di samping itu secara aqidah menggunakan kitab-kitab

Ahlus Sunnah Waljama‟ah, dalam ilmu fiqih mengacu kepada Imam Syafi‟i.

Sedangkan teologinya mengacu kepada pendapat ulama salaf. TGH. Muhammad Zainuddin Abdul Majid mendirikan organisasi kemasyarakatan yaitu Nahdlatul


(4)

30

Wathan (NW). Ideologi organisasi ini adalah beraqidah islam Ahlus Sunnah wa

Al-Jamaah, dalam ilmu Fiqih mengacu kepada Imam Syafi‟i. Sedangkan

teologinya mengacu pada teologi al-Asy‟ari dan al-Maturidi, namun tidak semua apa yang telah dirumuskan oleh Asy‟ari dan al-Maturidi, oleh Zainuddin diambil hanya beberapa saja seperti paham tentang wahyu, sifat-aifat Allah dan tentang perbuatan manusia.

Secara prinsip kedua tokoh tersebut memiliki persamaan ideologi yaitu di samping al-qur‟an dan hadist, keduanya mengacu pada aqidah Ahlus Sunnah

Wa Al-Jamaah dan Mazhab Imam Syafi‟i dalam bidang fiqih.. Namun meskipun

sama-sama menganut faham Ahlus Sunnah Wa Al-Jamaah, kedua tokoh ini memiliki perbedaan dalam penerapannya, KH. Ahmad Dahlan tidak menciptakan suatu tradisi di kalangan Muhammadiyah, sementara TGH. Muhammad Zainuddin Abdul Majid melalui organisasi NW mengembangkan tarekat hizib NW dan mempraktikkan ajaran sufi yang menekankan loyalitas dan ketaatan kepada tuan guru.

Dalam pengambilan hukum, kedua tokoh ini memiliki perbedaan. KH. Ahmad Dahlan memakai sumber pokok al-qur‟an dan hadist ditambah dengan hasil kupasan dari kitab-kitab yang telah dibaca, kemudian diperbandingkan dan diambillah hukum yang paling sesuai dengan al-qur‟an dan hadist. Dan ia tidak fanatik terhadap satu Mazhab, sedangkan TGH. Muhammad Zainuddin Abdul Majid secara tegas menganut Mazhab Imam Syafi‟i.


(5)

31

DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, M. Amin, Studi Agama: Normativitas atau Historisitas? Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999

Adaby Darban, Ahmad, Sejarah kauman: Menguak Identitas Kampung

Muhammadiyah, Yogyakarta, Tarawang, 2000

Adnan, Afifuddin, Diktat Pelajaran Ke-NW-an untuk Madrasah dan Sekolah Menengah NW, Pancor: Biro Dakwah Yayasan Pendidikan Haji Muhammad Zainuddin Abdul Madjid, 1983

Ali Aziz, Moh., “Ilmu Dakwah” Ed. Rev. Cet.2; Jakarta : Kencana 2009

al-Karim Zaidan, Abd, “Ushul al-Da‟wah”, Beirut: Muassasah al-Risalah, 1976

Atjeh, Aboebakar, “ Beberapa Tjatatan Mengenai Dakwah Islam”, Semarang:

Ramadhani, 1971

Baharuddin, Nahdlatul Wathan dan Perubahan Sosial, Yogyakarta: Genta Press, 2007 Baidhawy, Zakiyuddin, Pentingnya Dakwah Kultural, dalam artikel Tim Dakul UMS

Buletin Dwi Bulanan Pewarah No. 19 edisi Agustus-September 1996. Mataram: Yayasan Patut Patuh Patju.

Canard, “Da‟wa”. The Encyclopaedia of Isam. B. Lewis (et al.) Vol. II. Leiden: E.J. Brill, 1991

Donald L. Harrison, Effect of strategic planning education on attitudes and perceptions

of independent community pharmacy owners/ managers Journal of the

Amerrican Pharmacist Association, Sept/Oct 2007.47:5. JAPhA.

Hayyi Nu‟man, Abdul, Nahdlatul Wathan Organisasi Pendidikan dan Dakwah

Islamiyah Pancor: Pengurus Daerah Nahdlatul Wathan Lombok Timur, 1988

Helmy, Masdar, “ Dakwah Dalam Alam Pembangunan”, Semarang : Toha Putra, 1973

http://desmocidici.wordpress.com/2008/08/24/imetode-dakwah-al-hikmah-menurut-surat-an-nahl-ayat-125/

http://id.shvoong.com/humanities/religion-studies/2239130-pendekatan-dakwah/

Karim, Abdul, Dakwah Kultural Menurut Tokoh Muhammadiyah, PPs. Unmuh Malang, Malang, 2003

Masnun, Tuan Guru KH. Muhammad Zainuddin Abdul Madjid Gagasan dan Gerakan

Pembaharuan Islam di Nusa Tenggara Barat, Pustaka Al-Miqdad, 2007

Moertopo, Ali, Strategi kebudayaan, Jakarta : CSIS, 1971

Muchtarom, Zaini, Dasar-Dasar Manajemen Dakwah Islam, Yogyakarta: Al-Amin Press, 1978


(6)

32

Muhammad Abu al-fath Al-Bayanuni, “al-Madkhal ila „ilm al-Da‟wah”, Beirut: Muassasah al-Risalah, 1993

Munir Mulkhan, Abdul,"Strategi Kolektivitas Muballigh dalam Dakwah Jama„ah" makalah disampaikan pada Acara Silaturahmi Muballigh Muhammadiyah Se-Jawa Tengah, di UMS,1997,

Nasaruddi Latif, HSM., “ Teori dan Praktik Dakwah Islamiyah”, Jakarta: Firma Dara,

1971

Nile Green, Islam for the indentured Indian: a Muslim missionary in colonial South

Africa, Bulletin of SOAS, 71, 3 (2008), 529–553. E School of Oriental and

African Studies. Printed in the United Kingdom.

Nur, Muhammad (ed.), Visi Kebangsaan Religius:Refleksi, 2004

R. Woodward, Mark., Islam Jawa: Kesalehan Normatif Versus Kebatinan, Yogyakarta: Lkis,1999

Salam, Junus,Riwayat Hidup K.H.A. Dahlan: Amal dan Perjuangannya, cetakan ke 2, Jakarta: Depot Pengajaran Muhammadiyah, 1968

Siagian, Sondang p, Menegemen Stratejik, Jakarta: PT. Bumi Aksara, 1995 Soelarto, B, Garebeg Di Kasultanan Yogyakarta, Yogyakarta, Kanisius, 1993

Sunar Prasetyono, Dwi, Trobosan Strategis Menggali Sumber-sumber kekayaan dalam

Bisnis, Yogyakarta:CV. DIVA Pres, 2005

Suryabrata, Sumadi, Metode Penelitian, Jakarta: Raja Walipress, 1997

Syukri, Asmuni, Strategi Komunikasi Sebuah pengantar, Bandung :Armiko, 1984

Tjandra, Mifedwil dkk, Perangkat Alat-alat dan Pakaian Serta Makna simbolis

Upacara Keagamaan Di Lingkungan Keraton Yogyakrta, Yogyakarta: