KIRIM LEBIH BANYAK MAHASISWA KE LUAR NEGERI ALIH-ALIH STUDI BANDING PEJABAT.

Art ikel ini dimuat di jurnah WAHANA M edia Pemat ang Alumni Udayana ,No.83 Th XXIX, Agustus 2013

Kirim Mahasiswa Lebih Banyak ke Luar Negeri Alih-alih Studi Banding Pejabat
Oleh I Wayan Pastika

Kegiatan studi banding pada awalnya merupakan suatu metode pengumpulan data yang
diterapkan pada ilmu-ilmu sosial. Data dan pemaparan awal sudah tersedia, tetapi diperlukan
langkah-langkah pengayaan dari berbagai sumber lain sehingga nantinya ada suatu model yang
dapat diterapkan setelah dilakukan analisis dengan panduan kerangka teori dan metodologi yang
gayut. Metode studi banding mulai diterapkan secara luas dan mendalam setelah berakhirnya
Perang Dunia II dan didorong oleh arus globalisasi dan kemajuan teknologi informasi yang
mulai menguat.

Konsep Dasar
Pendekatan lapangan atau datang langsung ke sumber data, bukanlah satu-satunya
pendekatan. Apabila informasi atau data sudah cukup tersedia dalam bentuk dokumen baik cetak
maupun elektronik dari sumber lain, maka mereka yang melakukan studi banding dapat
membandingkan data awal yang dimilikinya dengan data dokumen dari sumber lain itu, tanpa
harus pergi ke mana-mana. Namun, untuk kesahihan data diperlukan sedikitnya tiga sumber,
bergantung pada persoalan yang mau dikaji: dokumen atau teks, informan kunci, dan informan
pendukung. Dua sumber yang disebutkan terakhir dapat diklasifikasikan secara triangulasi:

informan perancang, informan pelaksana dan informan pengguna. Semua informan itu memang
harus ditemui langsung di lapangan, tetapi pelaku studi dapat menugasi peneliti pembantu untuk
melakukannya. Misalnya, dalam kasus studi banding anggota DPR-RI, para pejabat KBRI di
seluruh dunia dapat ditugasi untuk bertatap muka atau melakukan wawancara dengan ketiga tipe

Art ikel ini dimuat di jurnah WAHANA M edia Pemat ang Alumni Udayana ,No.83 Th XXIX, Agustus 2013

informan tersebut, termasuk mendapatkan dokumen atau teks terkait. Jika ada keragu-raguan
tentang kesahihan data yang dikumpulkan oleh staf KBRI, maka DPR hanya perlu mengirim tiga
orang anggotanya dan ditemani oleh seorang staf ahlinya. Ketiga orang delegasi DPR yang
dikirim adalah mereka yang menguasai topik dan kompleksitas permasalahan dalam bidang yang
ditangani. Jika teknik semacam itu dapat diterapkan, maka studi dapat dilakukan dengan lebih
fokus dan hemat biaya.
Diperlukan langkah-langkah akademik yang sistematis apabila kegiatan studi banding
ingin dilakukan: identifikasi persoalan, pengumpulan dan pengorganisasian data, penapsiran
data, tindakan yang didasarkan atas data, dan refleksi. Dalam identifikasi persoalan, pelaku studi
banding menyiapkan instrumen yang valid terlebih dulu sehingga dapat menukik pada
permasalahan yang ingin dikaji. Sementara itu, dalam pengumpulan dan pengorganisasian data
dapat dilakukan dengan teknik perekaman, pemilahan dan pemilihan. Penapsiran atau
interpretasi terhadap data dapat dilakukan pada saat pengolahan data baik secara kualitatif

maupun kuantitatif. Data yang telah terkumpul dan diolah tersebut, mungkin tidak semuanya
dapat digunakan untuk pengayaan dalam pemecahan persolan sehingga harus diputuskan tingkat
keberterimaannya. Refleksi atau penapsiran ulang terhadap data yang telah dianalisis perlu
dilakukan untuk melihat sejauhmana data itu kontekstual dengan lingkungan sosial.

Penolakan Masyarakat
Bagaimanakah metode studi banding diterapkan oleh anggota legislatif dan pejabat
eksekutif? Masyarakat telah banyak mengeluhkan kegiatan tersebut karena proses dan hasilnya
tidak pernah disampaikan secara terbuka sehinggga mereka menganggap bahwa kegiatan studi
banding atau kunjungan kerja (kunker) hanya merupakan akal-akalan untuk mendapatkan wisata

Art ikel ini dimuat di jurnah WAHANA M edia Pemat ang Alumni Udayana ,No.83 Th XXIX, Agustus 2013

gratis. Jejak pendapat yang dilakukan Bali Post (dimuat 11 Maret 2013) dengan mengambil Bali
sebagai sampel membuktikan kekecewaan masyarakat terhadap kegiatan studi banding atau
kunker itu; 54% responden menyatakan bahwa mereka tidak yakin kalau kunker itu dilakukan
sungguh-sungguh untuk dijadikan masukan sehingga hasilnya dapat diterapkan.
Menurut data dari Koalisi Swadaya Masyarakat (ICW, Indonesia Budget Centre, dan
Pusat Studi Hukum dan Kebijakan), selama tahun 2010 saja DPR-RI melakukan kegiatan studi
banding sebanyak 58 kali dengan menghabiskan dana Rp 100 miliar. Kalau saja studi banding ke

luar negeri dapat didelegasikan kepada staf KBRI bersama dengan tiga orang delegasi DPR
ditambah seorang staf ahli, dengan metode seperti disebutkan di atas, maka lebih banyak dana
dapat dihemat. Penghematan itu dapat dialihkan untuk mengirim lebih banyak mahasiswa cerdas
kita belajar ke luar negeri, seperti yang telah dilakukan oleh Malaysia selama dekada 1980-an
dan 1990-an. Marzuki Alie, Ketua DPR-RI, pernah menanggapi keluhan masyarakat dengan
mengatakan bahwa kalau anggota DPR tidak boleh melakukan studi banding ke luar negeri,
mengapa mahasiswa Indonesia boleh belajar ke luar negeri. Cara berpikir seperti itu tentu akan
menjadi bahan tertawaan di Malaysia, karena mereka telah menuai hasil kemajuan ekonomi yang
salah satunya disebabkan oleh kemajuan pendidikan dan penelitian.
Studi banding tidaklah haram dilakukan sepanjang kegiatan itu mampu meningkatkan
mutu capaian dan hasilnya dapat dirasakan oleh masyarakat. Kalau saja proses dan hasil studi
banding disampaikan ke masyarakat melalui saluran yang ada, baik saluran birokrasi maupun
media massa, maka masyarakat akan bersikap positif pada kegiatan tersebut. Namun, sangat
disayangkan informasi semacam itu juga tidak tersedia pada situs web DPR-RI (dpr.co.id). Tidak
dimanfaatkan momentum itu, padahal tersedia banyak pilihan untuk berkomunikasi, boleh jadi
karena kualitas informasi dari hasil studi banding memang tidak berbobot karena ada kelemahan

Art ikel ini dimuat di jurnah WAHANA M edia Pemat ang Alumni Udayana ,No.83 Th XXIX, Agustus 2013

perencanaan dan sumber daya manusia. Bukti-bukti yang disebutkan terakhir itu sudah pernah

diungkap oleh para mahasiswa Indonesia yang belajar di Jerman, Prancis dan Belanda, ketika
mereka menyisihkan waktu belajarnya untuk mengobservasi kegiatan studi banding delegasi
DPR-RI. Di kota Berlin, Jerman, misalnya, ketika 11 orang delegasi DPR-RI berbiaya Rp 2,3
miliar mengunjungi Deutsches Institut für Nörmung pada 19 November 2012, ternyata delegasi
mengunjungi alamat yang salah karena lembaga itu tidak mengurusi standardisasi kompetensi
profesi, tatapi standardisasi produk dan proses produksi; padahal maksud studi banding ke
Jerman itu adalah menggagas RUU Keinsinyuran. Di samping itu, anggota delegasi tidak
memiliki kemampuan berkomunikasi yang memadai, baik dalam bahasa Inggris maupun
penguasaan topik, sehingga sering satu pertanyaan diulang-ulang oleh anggota lainnya. Praktik
semacam itu bisa jadi juga merupakan wajah umum studi banding atau kunker para pejabat kita,
sehingga memang tidak ada hasil yang bisa diharapkan meskipun dananya sangat besar. Oleh
karena itu, masyarakat tidak dapat dipersalahkan ketika mengkritisi kegiatan itu yang
dianggapnya sebagai ajang pelesiran atas biaya negara.
Jadi, kalau sebuah pertanyaan diajukan “Masih perlukah studi banding tanpa hasil
sebanding?”, maka pertanyaan itu lebih tepat dijawab oleh kalangan pejabat eksekutif dan
legislatif karena merekalah yang lebih sering melakukannya. Jawaban masyarakat terhadap
pertanyaan tersebut sudah jelas: studi banding merupakan kegiatan wisata yang dibiayai negara.
Suatu studi banding yang benar apabila didasarkan atas analisis kebutuhan, jenjang pengutamaan
dan kebermanfaatan jangka panjang serta didukung oleh langkah-langkah perencanaan,
pelaksanaan, penetapan hasil, evaluasi dan hasilnya dapat diakses oleh masyarakat. Akhirnya,

sudah saatnya pemilih memilih caleg atau pejabat yang padat program, bukan yang padat modal.
Penulis, guru besar ilmu bahasa di FS Unud