Pengaruh Alih Fungsi Lahan Pertanian ke

Pengaruh Alih Fungsi Lahan Pertanian ke Lahan
Nonpertanian Terhadap Produksi dan Produktivitas
Padi Di Kabupaten Bandung

I.

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Konversi lahan atau alih fungsi lahan pertanian menjadi lahan nonpertanian
sebenarnya bukan masalah baru. Pertumbuhan penduduk dan pertumbuhan
perekonomian menuntut pembangunan infrastruktur baik berupa jalan, bangunan
industri dan pemukiman, hal ini tentu saja harus didukung dengan ketersediaan lahan.
konversi lahan pertanian dilakukan secara langsung oleh petani pemilik lahan ataupun
tidak langsung oleh pihak lain yang sebelumnya diawali dengan transaksi jual beli
lahan pertanian. Faktor-faktor yang mempengaruhi pemilik lahan mengkonversi lahan
atau menjual lahan pertaniannya adalah harga lahan, proporsi pendapatan, luas lahan
produktivitas lahan, status lahan dan kebijakan-kebijakan oleh pemerintah.
Konversi lahan pertanian tidak menguntungkan bagi pertumbuhan sektor
pertanian karena dapat menurunkan kapasitas produksi dan daya serap tenaga kerja
yang selanjutnya berdampak pada penurunan produksi pangan, dan pendapatan per

kapita keluarga tani. Konversi lahan pertanian juga mempercepat proses marjinalisasi
usaha tani sehingga menggerogoti daya saing produk pertanian domestik.
Konversi lahan pertanian merupakan isu strategis dalam rangka pemantapan
ketahanan pangan nasional, peningkatan kesejahteraan petanidan pengentasan
kemiskinan, serta pembangunan ekonomi berbasis pertanian. Berbagai peraturan yang
berkaitan dengan pemanfaatan lahan sebenarnya telah diterbitkan pemerintah untuk
mengendalikan konversi lahan pertanian namun pengalaman menunjukkan bahwa
peraturan-peraturan tersebut kurang efektif. Pada masa pemerintahan otonomi daerah,

peraturan-peraturan yang umumnya diterbitkan oleh pemerintah pusat dan pemerintah
propinsi, semakin kurang efektif karena pemerintah kabupaten/kotamadya memiliki
kemandirian yang luasdalam merumuskan kebijakan pembangunannya
B. Rumusan Masalah
1. Apa yng dimaksud dengan alih fungsi lahan?
2. Bagaimana pengruh alih fungsi lahan terhadap produksi dan produktivitas padi di
Kabupaten Bandung?
C. Tujuan
Adapun tujuan dari dibuatnya makalah ini adalah agar mahasiswa paham dan
mengerti mengenai konversi atau alih fungsi lahan dari lahan pertanian ke
nonpertanian. Hal ini merupakan masalah yang menarik untuk dibahas karena

menyangkut dengan keberlangsungan sistem pertanian yang ada di Indonesia
khususnya di Kabupaten Bandung.

II.

TINJAUAN PUSTAKA

Kawasan perkotaan dapat diartikan sebagai kawasan yang mempunyai kegiatan
utama bukan pertanian dengan susunan fungsi kawasan sebagai tempat permukiman
perkotaan, pemusatan dan distribusi pelayanan jasa pemerintahan, pelayanan sosial.
Dalam rencana tata ruang kawasan perkotaan sendiri, diatur alokasi pemanfaatan
ruang untuk berbagai penggunaan (perumahan, perkantoran, perdagangan, ruang
terbuka hijau, industri, sempadan sungai, dsb) berdasarkan prinsip-prinsip keadilan,
keseimbangan, keserasian, keterbukaan (transparansi) dan efisiensi, agar tercipta
kualitas permukiman yang layak huni dan berkelanjutan. Rencana tata ruang
merupakan landasan pengelolaan pembangunankawasan perkotaan atau ekonomi
( Anonimous, 2009).
Hal ini mulai terjadi sejak dikeluarkannya paket-paket kebijakan yangmendorong
investor dalam dan luar negeri menanamkan modalnya di bidangnonpertanian sekitar
pertengahan 1980-an. Keperluan lahan nonpertanian mengikuti trend peningkatan

investasi tersebut. Keperluan lahan untuk bidang nonpertanian semakin meningkat
pula seiring dengan booming pembangunan perumahan pada awal tahun 1990-an.
Pemerintah memberikan berbagai fasilitas untuk mendorong pembangunan wilayah.
Laju alih fungsi lahan dari yang semula digunakan untuk pertanian menjadi
perumahan dan industri tidak dapat dihindari. Departemen Pertanian sudah
memperkirakan tantangan berat sektor pertanianterkait dengan keterbatasan lahan.
(Sudaryanto, 2002).
Pertumbuhan perekonomian menuntut pembangunan infrastruktur baik berupa
jalan, bangunan industri dan pemukiman. Dengan kondisi demikian,permintaan
terhadap lahan untuk penggunaan non pertanian tersebut semakin meningkat,
akibatnya banyak lahan sawah terutama yang berada di sekitar perkotaan mengalami
alih fungsi ke penggunaan lain. Kurangnya insentif pada usahatani lahan sawah dapat
menyebabkan terjadi alih fungsi lahan pertanian kefungsi lainnya (Ilham dkk, 2003).
Pertumbuhan ekonomi yang ditandai dengan berkembangnya industri, prasarana
ekonomi, fasilitas umum, dan permukiman dimana semuanya memerlukan lahan telah
meningkatkan permintaan lahan untuk memenuhi kebutuhan nonpertanian. Namun

pertumbuhan ekonomi juga meningkatkan kondisi sosial ekonomi pada lahan
nonpertanian. Kondisi inilah yang membuat konversi lahan pertanian terus meningkat
seiring dengan laju pertumbuhan dan pembangunan ekonomi yang tidak mungkin

dapat dihindari (Sudaryanto, 2002).

III.

PEMBAHASAN

Lestari (2009) mendefinisikan alih fungsi lahan atau lazimnya disebut sebagai
konversi lahan adalah perubahan fungsi sebagian atau seluruh kawasan lahan dari
fungsinya semula (seperti yang direncanakan) menjadi fungsi lain yang berdampak
negatif (masalah) terhadap lingkungan dan potensi lahan itu sendiri. Alih fungsi lahan
dalam artian perubahan/penyesuaian peruntukan penggunaan, disebabkan oleh faktorfaktor yang secara garis besar meliputi keperluan untuk memenuhi kebutuhan
penduduk yang makin bertambah jumlahnya dan meningkatnya tuntutan akan mutu
kehidupan yang lebih baik.
Alih fungsi lahan sawah ke penggunaan lain telah menjadi salah satuancaman
yang serius terhadap keberlanjutan swasembada pangan. Intensitas alihfungsi lahan
masih sulit dikendalikan, dan sebagian besar lahan sawah yangberalihfungsi tersebut
justru yang produktivitasnya termasuk kategori tinggi – sangat tinggi. Lahan-lahan
tersebut adalah lahan sawah beririgasi teknis atau semiteknis dan berlokasi di
kawasan pertanian dimana tingkat aplikasi teknologi dankelembagaan penunjang
pengembangan produksi padi telah maju (Murniningtyas,2007).

Irawan (2005), mengemukakan bahwa konversi yang lebih besar terjadipada
lahan sawah dibandingkan dengan lahan kering karena dipengaruhi oleh tigafaktor,
yaitu:
1) pembangunan kegiatan non pertanian seperti kompleks perumahan,pertokoan,
perkantoran, dan kawasan industri lebih mudah dilakukan padatanah sawah yang
lebih datar dibandingkan dengan tanah kering;
2) akibat pembangunan masa lalu yang terfokus pada upaya peningkatanproduk padi
maka infrastruktur ekonomi lebih tersedia di daerahpersawahan daripada daerah
tanah kering;
3) daerah persawahan secara umum lebih mendekati daerah konsumenatau daerah
perkotaan yang relatif padat penduduk dibandingkan daerah tanah kering yang
sebagian besar terdapat di wilayah perbukitan dan pegunungan.
Alih fungsi lahan sawah dilakukan secara langsung oleh petani pemilik lahan
ataupun tidak langsung oleh pihak lain yang sebelumnya diawali dengantransaksi jual

beli lahan sawah. Proses alih fungsi lahan sawah pada umumnyaberlangsung cepat
jika akar penyebabnya terkait dengan upaya pemenuhankebutuhan sektor ekonomi
lain yang menghasilkan surplus ekonomi (land rent) jauh lebih tinggi (misalnya
untuk pembangunan kawasan industri, kawasanperumahan, dan sebagainya) atau
untuk pemenuhan kebutuhan mendasar(prasarana umum yang diprogramkan

pemerintah, atau untuk lahan tempat tinggalpemilik lahan yang bersangkutan
(Murniningtyas, 2007).
Secara ekonomi alih fungsi lahan yang dilakukan petani baik melalui
transaksipenjualan ke pihak lain ataupun mengganti pada usaha non padi
merupakankeputusan yang rasional. Sebab dengan keputusan tersebut petani
berekspektasipendapatan totalnya, baik dalam jangka pendek maupun dalam jangka
panjangakan meningkat (Ilham dkk, 2003).
Alih Fungsi Lahan Pertanian 2004-2011
Alih fungsi lahan pertanian di Kabupaten Bandung selama 2004-2011 adalah sebesar
1.898,32 Ha atau 4,96% dari seluruh sawah di Kabupaten Bandung. Alih fungsi
terbesar terjadi di Kecamatan Ciparay sebesar 195,23 Ha, kemudian berturut turut
Ciwidey sebesar 176,47 Ha, Pacet sebesar 152,93 Ha, Banjaran sebesar 150,03 Ha,
Rancaekek sebesar 126,43 Ha, Cileunyi sebesar 117,41 Ha, Soreang sebesar 112,98
Ha dan Bojongsoang sebesar 112,56 Ha. Sedangkan alih fungsi lahan pertanian
terkecil adalah Kecamatan Cimenyan sebesar 4,51 Ha atau 0,01%.
Produksi Padi
Produksi padi sawah di Kabupaten Bandung tahun 2004-2011 cenderung
berfluktuatif, pada tahun 2004 produksi padi sebesar 425.914 ton, menurun menjadi
235.000 ton pada tahun 2005, kemudian pada tahun 2006 meningkat menjadi 394.391
ton dan pada tahun 2011 meningkat menjadi 472.843 ton. Jika dilihat produksi 2004

dan 2011 nampak bahwa pengkatan produksi terjadi dari semula tahun 2004 sebesar
425.914 ton dan pada tahun 2011 sebesar 472.843 ton atau meningkat sebesar
11,02%.
Produktivitas

Untuk mengetahui produktivitas lahan pertanian dilakukan perhitungan jumlah
produksi dibandingkan luas panen, produktivitas rata-rata tertinggi didapat pada
Kecamatan Kutawaringin sebesar 6,27 ton/Ha, yang berarti setiap Hektar lahan sawah
menghasilkan 6,27 ton padi. Sedangkan produktivitas rata-rata terkecil terjadi pada
Kecamatan Kertasari yaitu sebesar 5,24 ton/Ha. Jika melihat kelompok produktivitas
padi, maka didapat kelompok produktivitas tertinggi pada selang 6,16 - 6,33 adalah
Kecamatan Ciparay, Katapang dan Kutawaringin, sedangkan kelompok produktivitas
terendah adalah Kecamatan Kertasari dan Baleendah dengan selang produktivitas
5,22 – 5,40 ton/Ha.
Panen Per Tahun
Untuk mengetahui jumlah panen pertahun suatu daerah, dihitunglah perbandingan
luas panen dibandingkan luas sawah, dengan perhitungan ini didapatkan banyaknya
panen tertinggi adalah Kecamatan Kutawaringin dengan nila rata-rata 2,84 dan
terendah adalah Kecamatan Rancabali sebesar 0,46. Jika melihat kelompok
banyaknya panen, maka didapat kelompok banyaknya panen tertinggi pada selang

2,47 – 2,87 adalah Kecamatan Soreang, Cicalengka, Majalaya, Katapang,
Pameungpeuk, Kutawaringin, sedangkan kelompok banyaknya panen terendah pada
selang 0,44 – 0,84 adalah Kecamatan Rancabali.
Kehilangan Padi Akibat Alih Fungsi Lahan Pertanian Tahun 2004-2011
Alih fungsi lahan pertanian yang terjadi pada tahun 2004-2011 sebesar 1.898,32 Ha
berdampak signifikan pada hilangnya produksi padi yaitu sebesar 20.705,95
ton/tahun. Kehilangan terbesar terjadi di Kecamatan Ciparay yang mengalami alih
fungsi terbesar yaitu 195,23 Ha, jika dihitung dengan produksi padi per tahun didapat
kehilangan padi sebesar 2.253,29 ton/tahun atau 3,67% dibandingkan produksi 2011.
Sedangkan kehilangan terkecil terjadi di Kecamatan Cimenyan yang mengalami alh
fungsi terkecil yaitu 4,51 Ha dan jika dihitung dengan produksi padi per tahun
didapat kehilangan padi sebesar 57,14 ton/tahun atau 2% dibandingkan produksi
2011.
Potensi Kehilangan Padi Akibat Rencana Alih Fungsi Lahan Pertanian

Potensi alih fungsi lahan pertanian yang terjadi pada tahun 2011-2027 sebesar
17.940,21 Ha berdampak pada hilangnya produksi padi sejumlah 204.876,37
ton/tahun. Potensi kehilangan terbesar terjadi di Kecamatan Rancaekek yang
direncanakan alih fungsi terbesar yaitu seluas 2.320,94 Ha, jika dihitung dengan
produksi padi per tahun didapat potensi kehilangan padi sebesar 24.979,82 ton atau

64,85% dibandingkan produksi 2011. Potensi kehilangan terkecil terjadi di
Kecamatan Cilengkrang yang direncanakan alih fungsi terkecil yaitu seluas 27,18 Ha,
jika dihitung dengan produksi padi per tahun didapat potensi kehilangan padi sebesar
193,67 ton atau 6,01% dibandingkan produksi 2011.
Alih fungsi lahan pertanian ke non pertanian di Kabupaten Bandung sulit
dihindari akibat adanya tekanan kenaikan jumlah penduduk yang berdampak pada
bertambahnya kebutuhan akan ruang. Beberapa temuan studi alih fungi lahan
pertanian adalah sebagai berikut:
1) Pertumbuhan Penduduk Kabupaten Bandung pada periode tahun 2004-2011
meningkat sebesar 527.650 jiwa atau bertambah rata-rata 2,7% pertahun.
Beberapa Kecamatan yang mengalami pertumbuhan tinggi adalah Kecamatan
Katapang,

Bojongsoang,

Cileunyi,

Baleendah,

Cimenyan,


cangkuang,

Cilengkrang dan Margaasih.
2) Kepadatan penduduk pada tahun 20042011 cukup tinggi, kepadatan tinggi terjadi
pada Kecamatan Margahayu, Dayeuhkolot, Margaasih, Katapang, Majalaya,
Baleendah, Pamengpeuk, Cileunyi dan Soreang. Sedangkan kenaikan kepadatan
tinggi terjadi pada Kecamatan Katapang, Cileunyi, Bojongsoang, Baleendah,
Paseh, Cimenyan, Cangkuang dan Cilengkrang.
3) Kabupaten Bandung mengalami alih fungsi lahan pertanian ke non pertanian,
selama 2004-2011 terjadi alih fungsi seluas 1.898,34 Ha lahan sawah. Beberapa
Kecamatan yang mengalami alih fungsi besar yaitu: Kecamatan Ciparay, Ciwidey,
Pacet, Banjaran, Rancaekek, Cileunyi dan Bojongsoang.
4) Lahan yang direncanakan beralih fungsi hampir setengah lahan sawah, dari
perbandingan citra 2011 dengan RTRW didapat lahan pertanian yang dilindungi

adalah sebesar 18.498,04 Ha saja atau 50,78% dan lahan pertanian yang
direncanakan menjadi non pertanian atau dialihfungsikan adalah sebesar
17.940,21 Ha atau sebesar 49,25%. Rencana alih fungsi ini berdampak pada
potensi kehilangan padi sebesar 204.876,37 ton/tahun.

5) Rencana pengembangan sawah baru sebesar 14.032,42 Ha hingga saat ini belum
terlaksana.
6) Belum dilaksanakannya amanat Undangundang perlindungan lahan pertanian
berkelanjutan di Kabupaten Bandung, baik perubahan RTRW maupun penetapan
lahan pertanian berkelanjutan oleh Distanbunhut.
7) Dinas Pertanian sampai saat ini belum memiliki peta rencana perlindungan lahan
pertanian pangan berkelanjutan yang seharusnya menjadi masukan penyusunan
RTRW perubahan tahun 2013.
8) Masih lemahnya perda Irigasi yang seharusnya dapat melindungi lahan pertanian
beririgasi, perda ini masih mengijinkan perubahan lahan pertanian menjadi non
pertanian asalkan lahan tersebut diperuntukan menjadi lahan non pertanian di
perda RTRW.

IV.

PENUTUP

A. Kesimpulan
1. Konversi lahan pertanian atau alih fungsi lahan pada dasarnya merupakanakibat
adanya

persaingan

dalam

pemanfaatan

dan

kepemilikan

lahan

antara

sektorpertanian maupun nonpertanian. Oleh karena itu, dengan adanya konversi

lahanmaka akan berdampak pada kondisi perumahan dan lingkungan fisik,
kesehatandan tingkat pendapatan, serta akan berpengaruh pada tingkat
kesejahteraanmasyarakat petani itu sendiri. Selain itu konversi lahan pertanian
juga akanmenyebabkan keterbatasan sumberdaya alam, pertumbuhan penduduk,
danpertumbuhan

ekonomi.Kebutuhan

lahan

untuk

kegiatan

nonpertanian

cenderung terus meningkatseiring dengan peningkatan jumlah penduduk dan
perkembangan strukturperekonomian. Alih fungsi lahan pertanian sulit dihindari
akibat kecenderungantersebut. Beberapa kasus menunjukkan jika di suatu lokasi
terjadi alih fungsilahan, maka dalam waktu yang tidak lama lahan di sekitarnya
juga beralih fungsisecara progresif.
2. Kabupaten Bandung sangat rawan terjadi alih fungsi lahan pertanian ke non
pertanian, potensi alih fungsi lahan ini terjadi akibat cukup tingginya laju
pertumbuhan penduduk yaitu sebesar 2,7%. Pertumbuhan penduduk akan
meningkatkan kebutuhan akan ruang, yang sebagian besar menempati lahan
pertanian.
3. Alih

fungsi

lahan

pertanian

ke

penggunaan

nonpertanian

dapat

berdampak terhadap turunnya produksi pertanian, serta akan berdampak pada
dimensi yang lebih luas dimana berkaitan dengan aspek-aspek perubahan
orientasi ekonomi,sosial, budaya, dan politik masyarakat.

DAFTAR PUSTAKA
Supriyadi, Anton. 2004. Kebijakan Alih Fungsi Lahan dan Proses Konversi Lahan
Pertanian. Fakultas Pertanian. Bogor: Institut Pertanian Bogor.
Syafa’at, N., H.P. Saliem dan Saktyanu, K.D. 1995. Faktor-Faktor
yang Mempengaruhi Konversi Sawah di Tingkat Petani. Pusat Penelitian Sosial
Ekonomi Pertanian, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian,
DepartemenPertanian. Bogor.
Jamal, E, 1999. Analisis Ekonomi dan Kelembagaan Alih Fungsi Lahan Sawah
diKabupaten Karawang, Jawa Barat
Kustiwan, Iwan. 1997. Permasalahan Konversi Lahan Pertanian dan Implikasinya
terhadap Penataan Ruang Wilayah di W ilayah Pantura Jawa Barat , Jurnal
Kustiwan, Iwan dan Zafir Pontoh. 2008. Pengantar Perencanaan Perkotaan, ITB
Muslina, dan Pratami. 1999. Perencanaan Strategis Sektor Pertanian Dalam
Kerangka Pengembangan Wilayah (Studi Kasus: Kabupaten Bandung), Institut
Teknologi Bandung.