Peranan Kementerian Luar Negeri Indonesia Dalam Menangani Masalah Hukum Yang Menimpa Tenaga Kerja Indonesia Di Arab Saudi

(1)

PERANAN KEMENTERIAN LUAR NEGERI INDONESIA DALAM

MENANGANI MASALAH HUKUM YANG MENIMPA TENAGA KERJA

INDONESIA DI ARAB SAUDI

S K R I P S I

Diajukan Untuk Melengkapi Tugas-Tugas dan Memenuhi Syarat-Syarat Untuk Memperoleh

Gelar Sarjana Hukum

Oleh :

CHAIRIAH ULFA NIM : 070200048

DEPARTEMEN : HUKUM INTERNASIONAL

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2 0 1 1


(2)

ABSTRAK

Penulisan skripsi ini dilatar belakangi oleh ketertarikan penulis terhadap masalah Kementerian Luar Negeri Indonesia dalam Menangani Masalah hukum yang menimpa Tenaga Kerja Indonesia di Arab Saudi. Dalam penulisan skripsi ini yang menjadi permasalahan adalah Tinjauan tentang Kementerian Luar Negeri, tenaga kerja Indonesia di Arab Saudi dan Peranan Kementerian Luar Negeri Indonesia dalam Menangani Masalah hukum yang menimpa Tenaga Kerja Indonesia di Arab Saudi.

Adapun metode penelitian dilakukan dengan pengembilan data, dan pengumpulan data yang dilakukan dengan mencari informasi berdasarkan dokumen-dokumen maupun literatur yang berkaitan dengan penelitian, dimana Bahan atau data yang dicari berupa data sekunder yang terdiri dari bahan hukum primer antara lain Undang-undang No. 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan, Undang-Undang No.31 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri berikutnya Bahan hukum sekunder.

Berdasarkan hasil penelitian penulis bahwa dalam permasalahan TKI di Arab Saudi, sistem hukum negara Indonesia tidak dapat menjangkau permasalahan yang terjadi di Arab Saudi. Sehingga untuk menangani kasus-kasus TKI yang terjadi di Arab Saudi tidak hanya didasarkan atas peraturan hukum yang telah dikeluarkan pemerintah Indonesia. Namun dalam pelaksanaannya harus disesuaikan dengan peraturan negara setempat, yaitu sistem hukum Arab Saudi (Syariah) selaku negara yang menjadi tempat terjadinya masalah/kasus. Solusi dalam permasalahan ini adalah dibuatnya suatu pernyataan kehendak bersama (statement of intent) sebagai kesepakatan antar pemerintah serta Joint Working Group dan MoU Ketenagakerjaan antar kedua Negara. Pemerintah menegaskan sikap untuk tidak mentoleransi segala bentuk kekerasan terhadap TKI sekecil apapun jumlahnya. Hanya dengan sikap seperti itulah Pemerintah dapat menjalankan tugasnya untuk memberikan jaminan pemenuhan dan perlindungan hak asasi manusia kepada setiap warga negaranya, tanpa terkecuali Mengikuti hukum permintaan dan penawaran, Arab Saudi telah mendapatkan penawaran yang cukup banyak sehingga permintaan mereka terhadap TKI mulai dibatasi karena banyak hal. Saat ini Pemerintah Indonesia menyadari belum adanya pengaturan terkait perlindungan terhadap satu juta TKI yang bekerja di Arab Saudi. Terkait detail waktu dan tempat, hal ini masih didiskusikan oleh Pemerintah Indonesia dan Kerajaan Arab Saudi. Kemlu akan memberikan pendampingan hukum bagi TKI. Melaksanakan proses pra pemberangkatan dan penempatan TKI sesuai prosedur dan mekanisme yang telah digariskan oleh Undang-Undang Ketenagakerjaan.


(3)

DAFTAR ISI

ABSTRAK

KATA PENGANTAR DAFTAR ISI

BAB I : PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Perumusan Masalah ... 6

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan ... 7

D. Keaslian Penulisan ... 8

E. Tinjauan Kepustakaan ... 8

F. Metode Penelitian ... 15

G. Sistematika Penulisan ... 17

BAB II : TINJAUAN UMUM TENTANG KEMENTERIAN LUAR NEGERI A. Sejarah Perkembangan Kementerian Luar Negeri ... 19

B. Kementerian Luar Negeri sebagai Perwakilan Indonesia ... 22

C. Struktur Kementerian Luar Negeri………. 24

D. Tugas dan Fungsi Kementerian Luar Negeri Menurut UU NO.39 Tahun 2008 Tentang Kementerian Negara ……… 25

BAB III: TINJAUAN UMUM TENTANG TENAGA KERJA INDONESIA DI ARAB SAUDI A. Pengertian Tenaga Kerja Indonesia ... 28

B. Latar Belakang Pengiriman Tenaga Kerja Indonesia ke Arab Saudi ... 32

C. Kebijakan Penempatan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri ... 38

D. Keadaan dan Perkembangan Tenaga Kerja Indonesia di Arab Saudi menurut Hukum Internasional ... 41


(4)

BAB IV : PERANAN KEMENTERIAN LUAR NEGERI INDONESIA DALAM MENANGANI MASALAH HUKUM YANG MENIMPA TENAGA KERJA INDONESIA DI ARAB SAUDI

A. Proses Migrasi Tenaga Kerja di Luar Negeri ... . 53 B. Konfensi-konfensi tentang Tenaga Kerja ……… 61 C. Perjanjian Bilateral tentang Tenaga Kerja ………. 67 D. Peranan Kementerian Luar Negeri terhadap Perlindungan Hukum Bagi

Tenaga Kerja Indonesia di Arab Saudi……… 70 BAB V : KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan ... 82 B. Saran... ... 83 DAFTAR PUSTAKA


(5)

ABSTRAK

Penulisan skripsi ini dilatar belakangi oleh ketertarikan penulis terhadap masalah Kementerian Luar Negeri Indonesia dalam Menangani Masalah hukum yang menimpa Tenaga Kerja Indonesia di Arab Saudi. Dalam penulisan skripsi ini yang menjadi permasalahan adalah Tinjauan tentang Kementerian Luar Negeri, tenaga kerja Indonesia di Arab Saudi dan Peranan Kementerian Luar Negeri Indonesia dalam Menangani Masalah hukum yang menimpa Tenaga Kerja Indonesia di Arab Saudi.

Adapun metode penelitian dilakukan dengan pengembilan data, dan pengumpulan data yang dilakukan dengan mencari informasi berdasarkan dokumen-dokumen maupun literatur yang berkaitan dengan penelitian, dimana Bahan atau data yang dicari berupa data sekunder yang terdiri dari bahan hukum primer antara lain Undang-undang No. 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan, Undang-Undang No.31 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri berikutnya Bahan hukum sekunder.

Berdasarkan hasil penelitian penulis bahwa dalam permasalahan TKI di Arab Saudi, sistem hukum negara Indonesia tidak dapat menjangkau permasalahan yang terjadi di Arab Saudi. Sehingga untuk menangani kasus-kasus TKI yang terjadi di Arab Saudi tidak hanya didasarkan atas peraturan hukum yang telah dikeluarkan pemerintah Indonesia. Namun dalam pelaksanaannya harus disesuaikan dengan peraturan negara setempat, yaitu sistem hukum Arab Saudi (Syariah) selaku negara yang menjadi tempat terjadinya masalah/kasus. Solusi dalam permasalahan ini adalah dibuatnya suatu pernyataan kehendak bersama (statement of intent) sebagai kesepakatan antar pemerintah serta Joint Working Group dan MoU Ketenagakerjaan antar kedua Negara. Pemerintah menegaskan sikap untuk tidak mentoleransi segala bentuk kekerasan terhadap TKI sekecil apapun jumlahnya. Hanya dengan sikap seperti itulah Pemerintah dapat menjalankan tugasnya untuk memberikan jaminan pemenuhan dan perlindungan hak asasi manusia kepada setiap warga negaranya, tanpa terkecuali Mengikuti hukum permintaan dan penawaran, Arab Saudi telah mendapatkan penawaran yang cukup banyak sehingga permintaan mereka terhadap TKI mulai dibatasi karena banyak hal. Saat ini Pemerintah Indonesia menyadari belum adanya pengaturan terkait perlindungan terhadap satu juta TKI yang bekerja di Arab Saudi. Terkait detail waktu dan tempat, hal ini masih didiskusikan oleh Pemerintah Indonesia dan Kerajaan Arab Saudi. Kemlu akan memberikan pendampingan hukum bagi TKI. Melaksanakan proses pra pemberangkatan dan penempatan TKI sesuai prosedur dan mekanisme yang telah digariskan oleh Undang-Undang Ketenagakerjaan.


(6)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Hubungan diplomatik antara telah banyak peningkatan yang dicapai diantara kedua negara. Indonesia, yang mana mayoritas penduduknya banyak hal mewarnai hubungan bilateral tersebut. Salah satu isu yang mewarnai hubungan bilateral RI-Arab Saudi saat ini adalah permasalahan Warga Negara Indonesia Overstayer (WNIO) yang berada di Arab Saudi.

Warga Negara Indonesia Overstayer merupakan WNI yang melakukan kunjungan atau tinggal di Arab Saudi dengan berbagai keperluan namun telah habis masa ijin tinggalnya. Para Warga Negara Indonesia Overstayer memiliki berbagai alasan melakukan hal ini antara lain para Tenaga Kerja Indonesia (TKI) yang kabur dari majikannya karena disiksa, gaji tidak dibayar atau ingin bekerja pada majikan lain dengan gaji besar. Namun, ada pula Warga Negara Indonesia

Overstayer yang sebenarnya adalah WNI yang menggunakan visa untuk melakukan ibadah

umroh tetapi setelah masa visa tersebut habis masih ingin tetap tinggal di Arab Saudi dan bekerja disana secara ilegal. Seluruh Warga Negara Indonesia Overstayer bermasalah ini biasanya tidak mengikuti prosedur yang diterapkan Pemerintah Arab Saudi terkait keimigrasian. Alasan para Warga Negara Indonesia Overstayer tidak mau mengurus perijinan karena keterbatasan dana untuk berurusan dengan birokrasi. Untuk menghindari masalah lebih lanjut, para Warga Negara Indonesia Overstayer ini memilih untuk tinggal di kolong jembatan.


(7)

Salah satu kolong jembatan yang banyak dijadikan sebagai tempat berlindunganya para Warga Negara Indonesia Overstayer ini adalah jembatan Kandara. Berbagai Warga Negara Indonesia Overstayer dengan berbagai macam permasalahan berkumpul disini dan menunggu untuk di deportasi ke Indonesia. Tidak jarang juga banyak Warga Negara Indonesia Overstayer yang harus mendekam di penjara beberapa bulan karena berbagai masalah yang ia hadapi. Masalah keterbatasan dana membuat mereka hanya dapat mengandalkan proses deportasi yang dilakukan pemerintah baik yang dilakukan Pemerintah Indonesia ataupun Pemerintah Arab Saudi. Namun, proses deportasi tidak semudah yang dibayangkan. Jumlah Warga Negara Indonesia Overstayer telah mencapai ribuan orang sehingga hal ini menjadi kebingungan pemerintah Indonesia maupun pemerintah Arab Saudi karena biaya yang diperlukan untuk melakukan deportasi juga sangat besar.

Di sisi lain, permasalahan Warga Negara Indonesia Overstayer tersebut tentunya menimbulkan pekerjaan berat untuk Pemerintah Arab Saudi sebagai pemilik wilayah yuridiksi. Penambahan warga negara ilegal tersebut telah mengakibatkan peningkatan kemiskinan dan kriminalitas di Arab Saudi sehingga banyak Warga Negara Indonesia Overstayer yang harus berurusan hukum disana. Permasalahan ini semakin berlarut ketika pihak pemerintah Arab Saudi meminta pemerintah Indonesia untuk memulangkan para Warga Negara Indonesia Overstayer tersebut dengan biaya yang seluruhnya ditanggung oleh Pemerintah Indonesia.

Aspek perlindungan terhadap penempatan tenaga kerja di luar negeri sangat terkait pada sistem pengelolaan dan pengaturan yang dilakukan berbagai pihak yang terlibat pada pengiriman tenaga kerja Indonesia keluar negeri. Untuk langkah penempatan tenaga kerja di luar negeri, Indonesia telah menetapkan mekanisme melalui tiga fase tanggung jawab penempatan yakni fase pra penempatan, selama penempatan dan purna penempatan. Pengaturan tentang penempatan


(8)

tenaga kerja Indonesia ke luar negeri adalah Undang-undang No. 39 Tahun 2004 Tentang Penempatan Dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia Di Luar Negeri. Pada konsideran menimbang huruf c, d dan e, disebutkan bahwa tenaga kerja Indonesia di luar negeri sering dijadikan obyek perdagangan manusia, termasuk perbudakan dan kerja paksa, korban kekerasan, kesewenang-wenangan, kejahatan atas harkat dan martabat manusia serta perlakuan lain yang melanggar hak asasi manusia. Oleh karena itu negara wajib menjamin dan melindungi hak asasi warga negaranya yang bekerja baik di dalam maupun di luar negeri berdasarkan prinsip persamaan hak, demokrasi, keadilan sosial, kesetaraan dan keadilan gender, anti diskriminasi dan anti perdagangan manusia. Dalam hal penempatan tenaga kerja Indonesia Arab Saudi merupakan suatu upaya untuk mewujudkan hak dan kesempatan yang sama bagi tenaga kerja untuk memperoleh pekerjaan dan penghasilan yang layak, yang pelaksanaannya dilakukan dengan tetap memperhatikan harkat, martabat, hak asasi manusia dan perlindungan hukum serta pemerataan kesempatan kerja dan penyediaan tenaga kerja yang sesuai dengan kebutuhan nasional.1

Pada fase pra penempatan tenaga kerja di Arab Saudi, sering dimanfaatkan calo tenaga kerja untuk maksud menguntungkan diri calo sendiri, yang sering mengakibatkan calon tenaga kerja yang akan bekerja di luar negeri menjadi korban dengan janji berbagai kemudahan untuk dapat bekerja diluar negeri, termasuk yang melanggar prosedur serta ketentuan pemerintah, akhirnya sering memunculkan kasus tenaga kerja Indonesia ilegal. Pada fase selama penempatan sangat sering persoalan tenaga kerja Indonesia yang berada di luar negeri, mengakibatkan permasalahan yang cukup memprihatinkan berbagai pihak. Hal ini menunjukan bahwa apabila penyelesaian tenaga kerja diserahkan pada posisi tawar-menawar (bargaining position) maka

1


(9)

pihak tenaga kerja akan berada pada posisi yang lemah. Sebagai misal, kasus kematian yang tidak wajar sampai pada kasus penganiayaan, berbagai pelecehan tenaga kerja sampai mengakibatkan adanya rencana pihak Indonesia untuk menghentikan pengiriman tenaga kerja keluar Arab Saudi oleh karena dirasakan bahwa pengiriman tenaga kerja keluar negeri akan menemui berbagai macam kendala. Pada permasalahan purna penempatan dalam mekanisme pemulangan sering terjadi bahwa disana-sini tenaga kerja yang baru pulang dari luar negeri berhadapan dengan berbagai masalah keamanan dan kenyamanan diperjalanan sampai tujuan, yang sering ditandai dengan terjadinya pemerasan terhadap hasil jerih payah yang diperoleh dari Arab Saudi.2

Sebagaimana telah dikatakan sebelumnya, akar permasalahan tenaga kerja Indonesia di Arab Saudi adalah proses pra penempatan di hulu yang belum sempurna. Masalah tenaga kerja Indonesia tidak dapat bekerja merupakan akibat dari kombinasi, minimnya pendidikan tenaga kerja Indonesia, proses pelatihan dan pembekalan yang belum maksimal serta lemahnya pengawasan terhadap pelaksanaan proses pelatihan dan pembekalan itu sendiri oleh instansi terkait di dalam negeri. Akibatnya, tenaga kerja Indonesia dengan pendidikan minimum tadi tidak memiliki kecakapan yang dibutuhkan untuk melaksanakan pekerjaan ketika berada di Arab Saudi, seperti : kecakapan untuk mengoperasikan alat-alat rumah tangga berteknologi tinggi, kemampuan untuk bercakap-cakap dalam bahasa setempat dan memahami instruksi dari majikan serta pemahaman yang minim akan budaya lokal dan tata karma setempat. Kondisi-kondisi semacam ini pada giliranya akan melahirkan masalah baru bagi tenaga kerja wanita antara lain ketidakpuasan majikan atas kinerja tenaga kerja yang tidak setara dengan uang yang telah dikeluarkannya untuk merekrut tenaga kerja Indonesia dari agensi tenaga kerja setempat.

2


(10)

Ketidakpuasan inilah kemudian kerap dieskpesikan dalam bentuk penganiayaan fisik dan psikologis terhadap tenaga kerja wanita Indonesia, yang lantas membuat tenaga kerja Indonesia tidak betah dan lari dari rumah pengguna jasanya.

Penciptaan mekanisme sistem penempatan tenaga kerja di Arab Saudi dimaksudkan sebagai upaya untuk mendorong terwujudnya arus penempatan yang berdaya guna dan berhasil guna, karena berbagai sumber masalah sering menghadang tenaga kerja tanpa diketahui sebelumnya oleh yang bersangkutan seperti : 1) Sistem dan mekanisme yang belum mendukung terjadinya arus menempatan yang efektif dan efisien; 2) Pelaksanaan penempatan yang kurang bertanggung jawab; 3) Kualitas tenaga kerja Indonesia yang rendah; 4) Latar belakang budaya negara yang akan dituju yang berbeda.

Dalam proses bertemunya penawaran dan permintaan tenaga kerja dari satu negara dengan negara lain tentu akan terjadi suatu transformasi nilai, sehingga problema sosial dan hukum sering dihadapi oleh tenaga kerja pendatang. Berbagai permasalahan sering dihadapi oleh tenaga kerja Indonesia yang bekerja di Arab Saudi demikian ini baik yang terjadi pada fase pra penempatan, selama penempatan maupun pasca penempatan. Dalam setiap fase tersebut selalu terlibat segitiga pola hubungan yaitu tenaga kerja, pengusaha penempat tenaga kerja serta pemerintah selaku pembuat kebijakan. Khusus untuk hak-hak tenaga kerja yang penting adalah memperoleh jaminan perlindungan hukum sesuai dengan peraturan perundang-undangan atas tindakan yang dapat merendahkan harkat dan martabatnya serta pelanggaran atas hak-hak yang ditetapkan sesuai dengan peraturan perundang-undangan selama penempatan di luar negeri dan memperoleh jaminan perlindungan keselamatan dan keamanan kepulangan Tenaga Kerja Indonesia (TKI) ke tempat asal.


(11)

Untuk memperkecil problema yang dihadapi para tenaga kerja di Arab Saudi serta melindungi harkat dan martabat tenaga kerja tersebut maka pengaturan tentang penempatan tenaga kerja Indonesia ke luar negeri dalam Undang-undang No. 39 Tahun 2004 merupakan jalan keluar.

Dengan uraian diatas, maka penulis tertarik untuk membuat karya tulis dalam bentuk skripsi dengan judul “Peranan Kementerian Luar Negeri Indonesia dalam Menangani Masalah hukum yang menimpa Tenaga Kerja Indonesia di Arab Saudi.”

B. Perumusan Masalah

Adapun yang merupakan permasalah yang timbul dalam penulisan ini adalah sebagai berikut :

1. Bagaimana tinjauan umum tentang Kementerian Luar Negeri? 2. Bagaimana perkembangan tenaga kerja Indonesia di Arab Saudi?

3. Bagaimana peranan Kementerian Luar Negeri Indonesia dalam menangani masalah hukum yang menimpa Tenaga Kerja Indonesia di Arab Saudi?

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan 1. Tujuan Penulisan

Tujuan penulis melaksanakan penelitian ini adalah :

1. Untuk mengetahui tinjauan umum tentang Kementerian Luar Negeri. 2. Untuk mengetahui perkembangan tenaga kerja Indonesia di Arab Saudi.

3. Untuk mengetahui peranan Kementerian Luar Negeri Indonesia dalam menangani masalah hukum yang menimpa Tenaga Kerja Indonesia di Arab Saudi.


(12)

Adapun manfaat Penulisan skripsi yang akan penulis lakukan adalah: a. Secara Teoritis

Guna mengembangkan khasanah ilmu pengetahuan hukum tenaga kerja Indonesia, khususnya mengenai peran Kementerian Luar Negeri Indonesia dalam Menangani Masalah hukum yang menimpa Tenaga Kerja Indonesia di Arab Saudi.

b. Secara Praktis

Memberikan sumbangan pemikiran yuridis tentang peranan Kementerian Luar Negeri Indonesia dalam Menangani Masalah hukum yang menimpa Tenaga Kerja Indonesia di Arab Saudi kepada Almamater Fakuktas hukum Universitas Sumatera Utara sebagai bahan masukan bagi rekan-rekan mahasiswa.

D. Keaslian Penulisan

Adapun judul tulisan ini adalah Peranan Kementerian Luar Negeri Indonesia dalam Menangani Masalah hukum yang menimpa Tenaga Kerja Indonesia di Arab Saudi, judul skripsi ini belum pernah ditulis, sehingga tulisan ini asli dalam hal tidak ada judul yang sama. Dengan demikian ini keaslian skripsi ini dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah.

Penulisan ini disusun berdasarkan literature-literatur yang berkaitan dengan TKI di Arab Saudi. Oleh karena itu, penulisan ini adalah asli karya penulis.

E. Tinjauan Kepustakaan

Tenaga kerja adalah tiap orang yang mampu melaksanakan pekerjaan baik didalam maupun diluar hubungan kerja guna menghasilkan barang atau jasa untuk memenuhi kebutuhan masyarakat. Hal ini sesuai dengan undang-undang Nomor 14 tahun 1969, pasal 1 tentang


(13)

ketentuan-ketentuan pokok mengenai tenaga kerja. GBHN 1988 dalam bidang peranan wanita dalam pembangunan bangsa, wanita baik sebagai warga negara maupun sebagai sumber instansi bagi pembangunan mempunyai hak, kewajiban dan kesempatan yang sama dengan pria disegala bidang kehidupan bangsa dalam segenap kegiatan pembangunan.

Demikian juga jika tenaga kerja wanita yang bekerja di perusahaan atau pabrik maupun yang menjual jasa dari tenaganya, harus mendapat perlindungan yang baik atas keselamatan, kesehatan, serta kesusilaan, pemeliharaan moril kerja serta perlakuan yang sesuai dengan martabat manusia dan moral agama. Hal ini telah diterapkan dalam pasal 10 UU No. 1969, yang berlaku baik tenaga kerja pria maupun wanita yang menyebutnya bahwa pemerintah membina perlindungan kerja yang mencakup :

a. Norma Keselamatan Kerja

b. Norma Kesehatan Kerja dan hygiene perusahaan c. Norma Kerja

d. Pemberian ganti kerugian, perawatan dan rehabilitas dalam hal kecelakaan kerja

Pemerintah mempunyai kewajiban membina perlindungan kerja bagi tenaga kerja Indonesia, dan tidak membedakan antara tenaga kerja laki-laki dan tenaga kerja wanita. Undang-undang No. 14 tahun 1969, pasal 2 menyebutkan bahwa : “Didalam menjalankan Undang-undang-Undang-undang ini serta peraturan pelaksaannya tidak boleh diadakan diskriminasi”. Namun dalam kenyataan menunjukkan bahwa ada peraturan-peraturan atau ketentuan yang hanya diperuntukkan sifat kodrat wanita, yang pada saat tertentu mengalami haid, hamil, melahirkan dan sebagainya. Mengingat hal demikian pemerintah membina perlindungan kerja yang khusus bagi tenaga kerja wanita.


(14)

Faktor utama mobilitas tenaga kerja antar negara dipengaruhi hal yang dominan adalah faktor ekonomi. Masalah kesempatan kerja semakin penting dan mendesak, karena diperkirakan pertumbuhan angkatan kerja lebih cepat dari pertumbuhan kesempatan kerja. Hal ini akan mengakibatkan tingkat pengangguran yang semakin meningkat lebih-lebih dalam era krisis ekonomi dan moneter yang menlanda Indonesia saat ini yang ditandai dengan penyerapan angkatan kerja yang sangat sedikit, tingginya angka Pemutusan Hubungan Kerja (PHK), nilai tukar rupiah yang cernderung melemah. Dalam kondisi yang demikian alternatif yang paling tepat dilakukan adalah mencari pekerjaan di luar negeri.3

Faktor lain mobilitas tenaga kerja ke luar negeri, dikemukakan oleh Iman Syahputra Tunggal, Amin Widjaja Tunggal : “Dengan semakin meluasnya pola perekonomian pasar dan pesatnya globalisasi perdagangan, keuangan, teknologi dan migrasi tenaga kerja antar negara maka dalam menganalisa konteks ekonomi perlu diletakkan pada konteks sistem sosial (social

system) secara keseluruhan dari suatu negara, dan tentu saja dalam konteks global atau

internasional. Lebih lanjut disebutkan bahwa sistem sosial disini adalah hubungan yang saling terkait antara apa yang disebut faktor-faktor ekonomi dan faktor-faktor non ekonomi. Termasuk dalam faktor non ekonomi adalah sikap masyarakat dan individu dalam memandang kehidupan (norma budaya), kerja dan wewenang, struktur administrasi dan struktur birokrasi dalam sektor pemerintah/publik maupun swasta, pola-pola kekerabatan dan agama, tradisi budaya dan lain-lain.4

Perlu disimak pula analisa sistem sosial di kaitkan dengan komitmen Indonesia dalam menjelaskan aspek tenaga kerja yang bekerja diluar negeri penempatannya jangan dipandang dari segi ekonomisnya saja yaitu sebagai penghasil devisa, melainkan sebagai upaya pemenuhan

3 Todaro, Michael P, Pembangunan Ekonomi di Dunia Ketiga, Erlangga, 1998, hlm 90. 4

Iman Syahputra Tunggal, Amin Widjaja Tunggal, Peraturan perundang-undangan


(15)

hak warga negara untuk memperoleh pekerjaan yang layak. Sehingga dalam penyelenggaraan harus dikedepankan aspek perlindungan bagi tenaga kerja Indonesia yang bekerja di luar negeri untuk itu tenaga kerja Indonesia agar ditempatkan dalam kedudukannya sebagai manusia dengan segenap harkat dan martabatnya. Sebagaimana ditengarai oleh Aris Ananta bahwa kehadiran tenaga kerja dari Indonesia dibutuhkan oleh negara lain saat sekarang, cenderung menawarkan pekerjaan yang sering disebut dengan pekerjaan 3-D (Dirty, Difficult, and Dangerous) yang dikarenakan penduduk negara maju cenderung enggan atau jual mahal terhadap pekerjaan tersebut. Pada sisi lain dengan jumlah tenaga kerja yang berlebih Indonesia mempunyai kelebihan tenaga kerja yang murah. Pada saat ini adanya suatu kenyataan bahwa Indonesia mengalami kelebihan tenaga kerja tidak terampil, dengan upah penghasilan yang rendah.5

Disamping itu, banyak negara yang lebih maju dari pada Indonesia telah mencapai tahap pengimpor tenaga kerja tidak terampil. Dari sisi ini, penawaran tenaga kerja tidak terampil dari Indonesia mendapatkan permintaan tenaga kerja tidak terampil dari negara yang lebih maju sehingga pasar tenaga kerja tidak terampil memang ada dan diduga memang amat besar. Dalam bahasa yang lebih teknis, dikatakan bahwa terdapat latent demand and supply untuk tenaga kerja tidak terampil dan murah dari Indonesia.6

Pada konteks perpindahan tenaga kerja sampai pada negara lain ditinjau dengan subsistem ekonomi merupakan aktivitas adaptasi terhadap lingkungan fisik masyarakat. Hal ini sebagaimana dikatakan oleh Satjipto Rahardjo bahwa Ekonomi bertugas mendayagunakan sumber-sumber daya untuk kelangsungan hidup masyarakat. Perbuatan ekonomi adalah perbuatan yang didasarkan pada asas-asas rasionalitas seseorang yang akan mengambil suatu keputusan yang rasional akan berhadapan dengan suatu lingkungan tertentu. Lingkungan itulah

5

Lalu Husni, Pengantar Hukum Ketenagakerjaan Indonesia, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2000, hlm 39.

6


(16)

yang menjadi penghambat untuk mengambil keputusan secara rasional tersebut. Pengambilan keputusan secara rasional tidak dapat sepenuhnya dilakukan secara bebas.7

Salah satu hal yang menyulitkan dalam penyelesaian kasus ketenagakerjaan antara Tenaga kerja Indonesia dan majikan adalah pekerjaan pada sector informal, khususnya piñata laksana rumah tangga, tidak diatur dalam hukum perburuhan/ketenagakerjaan nasional di sebagian besar negara tujuan penempatan, karena sifatnya yang dipandang “informal”. Khususnya untuk Arab Saudi, konsep “pembantu rumah tangga sebagai bagian dari keluarga” membuat profesi piñata laksana rumah tangga tidak dapat digolongkan sebagai suatu pekerjaan professional yang diatur secara resmi dalam Dekrit kerajaaan Nomor M/51, tahun 2005, bagian VI yang merupakan dasar hukum perburuhan Arab Saudi. Akibatnya, selain tidak adanya standarisasi perlindungan bagi tenaga kerja Indonesia, sengketa antara tenaga kerja Indonesia dengan majikan pun menjadi sulit untuk dibawa ke ranah hukum ketenagakerjaan. Instrument hukum terkuat yang dapat dijadikan pegangan dalam penyelesaian kasus antara tenaga kerja Indonesia dan majikannya hanyalah perjanjian kerja antara keduanya, yang mana dalam praktek masih terdapat banyak tenaga kerja Indonesia yang tidak memahami isi perjanjian tersebut, termasuk hak-hak dan kewajibannya berdasarkan perjanjian karena rendahnya kualitas pelatihan dan pembekalan pada saat pra penempatan.8

Untuk mengatasi masalah kekosongan hukum ini dan dalam rangka memenuhi mandate pasal 11 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2004 yang mensyaratkan penempatan tenaga kerja Indonesia di Arab Saudi oleh pemerintah hanya dapat dilakukan atas dasar perjanjian tertulis antara pemerintah Indonesia dengan pemerintah Negara pengguna tenaga kerja Indonesia atau

7

Manulang Sendjun H, Pokok-pokok Hukum Ketenagakerjaan di Indonesia, Penerbit Rineka Cipta, Jakarta, 1995, hlm 60.

8

Nasution, S dan Thomas, M, Buku Penuntun Membuat Tesis, Skripsi, Disertasi dan Makalah, Penerbit Bina Aksara, Jakarta, 2009, hlm 47.


(17)

pengguna berbadan hukum di Negara tujuan, Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi serta Kementerian Luar Negeri RI terus mendorong terbentuknya perjanjian bilateral di bidang penempatan atau perlindungan tenaga kerja Indonesia dengan Negara tujuan.9

Selain masalah-masalah ketenagakerjaan, tenaga kerja Indonesia juga rentan mengalami masalah keimigrasian pada masa penempatan. Sistem kafala yang diterapkan di Negara-negara Timur tengah menempatkan majikan sebagai sponsor yang bertanggungjawab atas biaya perekrutan, pemeriksaan kesehatan, dan kepemilikan iqaman tenaga kerja Indonesia. Tenaga kerja Indonesia akan membutuhkan persetujuan dari sponsornya untuk dapat pindah pekerjaan atau meninggalkan wilayah Negara penempatannya. Hal ini berpengaruh besar ketika tenaga kerja Indonesia lari dari rumah majikan karena bermasalah dan kemudian ditampung oleh perwakilan RI, mereka ridak dapat dengan mudah dan cepat direpatriasi ke tanah air, terkecuali pihak majikan lamanya bersedia untuk melepaskan tenaga kerja wanita Indonesia tersebut sehingga exit permit untuk kepulangan tenaga kerja wanita Indonesia ke tanah air dapat diurus. Ketika hal ini terjadi, maka masalah ketenagakerjaan bergeser menjadi masalah keimigrasian. Selain masalah sponsor, masalah keimigrasian juga timbul ketika tenaga kerja wanita Indonesia

Hal ini merupakan salah satu bentuk dari diplomasi perlindungan tenaga kerja Indonesia yang terus diupayakan oleh pemerintah. Hingga saat ini, baru 9 (Sembilan) negara yang telah memiliki perjanjian bilateral dengan Indonesia yaitu : Malaysia, Korea selatan, Yordania, Kuwait, Taiwan, Persatuan Emirat Arab, Australia, Jepang dan Mesir. Namun publik perlu memahami bahwa perjanjian bilateral yang dibuat antara pemerintah Indonesia dengan pemerintah Negara tujuan serta merta mengesampingkan hukum dan ketentuan perburuhan nasional yang berlaku di Negara tujuan.

9

Undang-undang No. 39 Tahun 2004 Tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri.


(18)

berangkat dengan paspor palsu atau paspor asli dengan identitas diri yang dipalsukan. Hal ini terungkap antara lain ketika ditemukannya sejumlah anak di bawah umur atau kurang dari 21 tahun yang ditempatkan ke Arab Saudi untuk bekerja pada pengguna perseorangan dan mengarah pada indikasi adanya upaya tindak pidana perdagangan orang yang dilakukan oleh oknum calo, sponsor yang mengirimkan mereka. Untuk tindak lanjut penanganan kasus-kasus tersebut secara hukum, perwakilan RI terkait beserta Kementerian Luar Negeri senantiasa berkoordinasi penuh dengan badan Reserse Kriminal Kepolisian RI dan Dinas Sosial di daerah asal tenaga kerja wanita Indonesia agar penanganan kasus dilakukan secara komprehensif hingga tahap reintegrasi dan rehabilitas sosial.10

Pada umumnya, praktek perlindungan dan bantuan kekonsuleran dilakukan oleh seorang Konsul pada Perwakilan Konsuler. Namun, fungsi kekonsuleran juga dapat dilakukan oleh pejabat fungsi konsuler pada sebuah perwakilan diplomatik. Perlindungan dan bantuan kekonsuler ini akan sangat membantu tenaga kerja Indonesia dalam hal TKI mengalami masalah hukum, terlebih bila yang bersangkutan ditangkap, dipenjara atau ditahan oleh aparatur penegak hukum di Negara tujuan. Saat mengalami penangkapan, penahanan mengenai batasan-batasan perlindungan itu sendiri. Meskipun masih terdapat distorsi mengenai perbedaan perlindungan diplomatik dan perlindungan kekonsuleran di kalangan masyarakat hukum Internasional maupun kalangan ahli hukum telah menerima perlindungan diplomatik sebagai salah satu kebiasaan internasional. Perlindungan ini dapat berbentuk tuntutan hukum di pengadilan/arbitrasi internasional, tekanan politik atau ekonomi, penyelesaian sengketa secara damai dan sebagainya.11

10

Sendjun H Manulang, Op.Cit, hlm 5. 11

Ridwan Halim, Sri Subiandini Gultom, Sari Hukum Tenaga kerja (buruh) Aktual, Penerbit PT. Pradnya Paramita, Jakarta, 2001, hlm 84.


(19)

Perlindungan diplomatik hanya dapat dilaksanakan bila dua hal telah terpenuhi, yaitu mekanisme nasional di Negara penerima telah ditempuh total dan perlindungan diberikan terkait dengan individu yang memiliki kewarganegaraan Negara pemberi perlindungan sejak tanggal terjadinya “injury” hingga tanggal “official presentation of the claim” oleh negara tersebut (continous nationality).12

1. Tipe Penelitian

Selain kedua jenis perlindungan tersebut diatas, sesuai dengan amanat Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2004, fungsi perlindungan TKI oleh perwakilan RI juga dikembangkan dengan memberikan peran lebih pada perwakilan untuk melakukan penilaian terhadap mitra usaha/agen asing dan pengguna TKI, pembinaan dan pengawasan terhadap perwakilan PPTKIS di luar negeri, memberikan bantuan hokum bagi TKI, pembelaan atas pemenuhan hak-hak TKI sesuai perjanjian kerja/peraturan ketenagakerjaan Negara tujuan dan melegasasi dokumen-dokumen yang dibutuhkan untuk penempatan TKI ke luar negeri.

F. Metode Penelitian

Penelitian ini termasuk dalam penelitian kepustakaan yang bersifat normatif, yaitu penelitian yang menggunakan data sekunder. Data sekunder tersebut meliputi :

Penelitian yang akan dilakukan adalah penelitian hukum normatif.13

12

Syahputra Iman, Widjaja Amin, Peraturan perundang-undangan Ketenagakerjaan Baru di Indonesia, Penerbit Harvarindo, Jakarta, 2000, hlm 79.

13

Soejano Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, UI Press, Jakarta, 1986, hlm 9-10.

Langkah pertama dilakukan penelitian normatif yang didasarkan pada bahan hukum primer dan sekunder yaitu inventarisasi peraturan-peraturan yang berkaitan dengan hukum internasional. Penelitian bertujuan menemukan landasan hukum yang jelas dalam meletakkan persoalan


(20)

ini dalam perspektif Undang-Undang No.31 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri.

2. Data dan Sumber Data

Bahan atau data yang dicari berupa data sekunder yang terdiri dari 14

a. Bahan hukum primer yaitu bahan-bahan hukum yang isinya mempunyai kekuatan mengikat kepada masyarakat. Dalam penelitian ini antara lain Undang-undang No. 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan, Undang-Undang No.31 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri.

:

b. Bahan hukum sekunder yaitu bahan hukum yang isinya menjelaskan mengenai bahan hukum primer. Dalam penelitian ini adalah buku-buku, makalah, artikel dari surat kabar dan majalah, dan internet.

3. Teknik Pengumpulan Data

Untuk memperoleh suatu kebenaran ilmiah dalam penulisan skripsi, maka digunakan metode pengumpulan data dengan cara15

a. Studi Kepustakaan, yaitu mempelajari dan menganalisis secara digunakan sistematis buku-buku, surat kabar, makalah ilmiah, majalah, internet, peraturan perundang-undangan dan bahan-bahan lain yang berhubungan dengan materi yang dibahas dalam skripsi ini.

:

4. Analisis Data

Metode yang digunakan untuk menganalisis data adalah analisis kualitatif, yaitu data yang diperoleh kemudian dikemudian disusun secara sistematis dan selanjutnya dianalisis secara kualitatif untuk mencapai kejelasan masalah yang akan dibahas dan hasilnya

14

Ibid, hlm 51-52.

15


(21)

tersebut dituangkan dalam bentuk skripsi. Metode kualitatif dilakukan guna mendapatkan data yang bersifat deskriptif analistis, yaitu data-data yang akan diteliti dan dipelajari sesuatu yang utuh.

G. Sistematika Penulisan

Skripsi ini diuraikan dalam 5 bab, dan tiap-tiap bab berbagi atas beberapa sub-sub bab, untuk mempermudah dalam memaparkan materi dari skripsi ini yang dapat digambarkan sebagai berikut :

BAB I : PENDAHULUAN, bab ini merupakan gambaran umum yang berisi tentang Latar Belakang Masalah, Perumusan Masalah, Tujuan Penulisan dan Manfaat Penulisan, Keaslian Penulisan, Tinjauan Kepustakaan, Metode Penelitian, dan Sistematika Penulisan.

BAB II : TINJAUAN UMUM TENTANG KEMENTERIAN LUAR NEGERI. Dalam bab ini berisi tentang Sejarah perkembangan Kementerian Luar Negeri, Kementerian Luar Negeri sebagai Perwakilan Indonesia, Struktur Kementerian Luar Negeri, Tugas dan fungsi Kementerian Luar Negeri menurut UU Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara.

BAB III : TINJAUAN UMUM TENTANG TENAGA KERJA INDONESIA DI ARAB SAUDI. Bab ini berisikan tentang Pengertian Tenaga Kerja Indonesia, Latar Belakang Pengiriman Tenaga Kerja Indonesia ke Arab Saudi, Kebijakan Penempatan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri, Keadaan dan Perkembangan Tenaga kerja Indonesia di Arab Saudi menurut Hukum Internasional.

BAB IV : PERANAN KEMENTERIAN LUAR NEGERI INDONESIA DALAM MENANGANI MASALAH HUKUM YANG MENIMPA TENAGA KERJA


(22)

INDONESIA DI ARAB SAUDI. Bab ini berisi tentang Proses Migrasi Tenaga Kerja di Luar Negeri, Konfensi-konfensi tentang Tenaga Kerja, Perjanjian Bilateral tentang Tenaga Kerja dan Peranan Kementerian Luar Negeri terhadap Perlindungan Hukum Bagi Tenaga Kerja Indonesia di Arab Saudi.

BAB V : KESIMPULAN DAN SARAN. Merupakan bab penutup dari seluruh rangkaian bab-bab sebelumnya, yang berisikan kesimpulan yang dibuat berdasarkan uraian skripsi ini, yang dilengkapi dengan saran-saran.


(23)

BAB II

TINJAUAN UMUM TENTANG KEMENTERIAN LUAR NEGERI

A. Sejarah Perkembangan Kementerian Luar Negeri

Dalam sejarah perkembangan Kementerian luar negeri dapat dijelaskan bahwa:16

1. Mengusahakan simpati dan dukungan masyarakat internasional, menggalang solidaritas teman-teman disegala bidang dan dengan berbagai macam upaya memperoleh dukungan dan pengakuan atas kemerdekaan Indonesia

Tahun 1945-1950

Tugas utama Kemlu melalui diplomasi :

2. Melakukan perundingan dan membuat persetujuan :

a. Persetujuan Linggarjati – pengakuan atas RI meliputi Jawa dan Madura

b. Tahun 1948 Perjanjian Renville – pengakuan atas RI meliputi Jawa dan Sumatera c. Tahun 1949 Perjanjian KMB – Indonesia dalam bentuk negara Federal > Tahun 1950

Diplomasi Indonesia berhasil mengembalikan keutuhan wilayah RI dengan membatalkan Perjanjian Konferensi Meja Bundar (KMB)

Masa 5 tahun pertama kemerdekaan Indonesia merupakan masa yang menentukan dalam perjuangan penegakan kemerdekaan yang merupakan bagian sejarah yang menentukan Karakter atau Watak politik luar negeri Indonesia. Semangat Diplomasi Perjuangan yang memungkinkan Indonesia pada akhirnya meraih dukungan luas masyarakat internasional di PBB pada tahun 1950.

Tahun 1966-1998

16


(24)

Tugas diplomasi Kemlu yang menonjol antara lain : 1. Pengakuan Irian Barat

2. Pengakuan terhadap Indonesia sebagai negara kepulauan dalam perjuangan hukum laut - UNCLOS (United Nation Convention on Law of the Sea)

3. Meningkatkan Kerjasama ASEAN

4. Mencari Pengakuan internasional thd Timtim

5. Ketua Gerakan Non Blok untuk memperjuangkan kepentingan negara-negara berkembang

6. Ketua APEC dan G-15

7. Meningkatkan kerjasama pembangunan Tahun 1998 – Sekarang :

Tugas utama Kemlu diarahkan untuk : 1. Memagari potensi disintegrasi bangsa 2. Upaya membantu pemulihan ekonomi 3. Upaya peningkatan citra Indonesia

4. Meningkatkan kualitas pelayanan dan perlindungan WNI

Pada 6 Januari 2010, Kementerian Luar Negeri telah menyerahkan secara langsung Dokumen Usulan Reformasi Birokrasi Kementerian Luar Negeri kepada Tim Reformasi Birokrasi Nasional di Kementerian PAN dan RB. Dokumen Usulan Reformasi Birokrasi ini disampaikan sebagai persyaratan awal Kementerian Luar Negeri mengikuti program Reformasi Birokrasi Nasional. Namun dengan adanya perubahan kebijakan nasional serta landasan hukum tentang Reformasi Birokrasi yang semula berupa Peraturan Menteri PAN dan RB menjadi Peraturan Presiden maka terjadi kevakuman di tingkat nasional yang berimbas kepada


(25)

Kementerian/Lembaga termasuk Kemlu menunggu terbitnya Peraturan Presiden. Pada 21 Desember 2010 Presiden RI telah menetapkan Perpres No. 81 Tahun 2010 mengenai

Grand Design Reformasi Birokrasi sebagai cetak biru Reformasi Birokrasi Nasional. Selanjutnya

Menteri Negara PAN dan RB menetapkan Permenpan No. 20 Tahun 2011 mengenai Road Map Reformasi Birokrasi sebagai pedoman arah pelaksanaan RB Kementerian/Lembaga (K/L). Berdasarkan kedua ketentuan tersebut, dokumen yang wajib disampaikan ke Tim Reformasi Birokrasi Nasional yang diketuai oleh MenPAN dan RB meliputi Dokumen Usulan Reformasi Birokrasi dan Dokumen Road Map Reformasi Birokrasi K/L.17

1. Mewujudkan pemerintahan yang bersih dan bebas KKN, melalui pengembangan atau penguatan sistem manajemen yang transparan, akuntabel dan adil.

Tujuan Reformasi Birokrasi Kemlu adalah mewujudkan Birokrasi Kemlu yang profesional, berintegritas, berkinerja tinggi, bebas dan bersih KKN (Korupsi, Kolusi, Nepotisme), mampu melayani publik, bersikap netral, sejahtera, berdedikasi dan memegang teguh nilai-nilai dasar dan kode etik aparatur negara. Hal ini sejalan dengan tujuan pelaksanaan Reformasi Birokrasi Nasional, sebagaimana tertuang dalam Grand Design Reformasi Birokrasi 2010-2025. Sedangkan sasaran Reformasi Birokrasi Kemlu berfokus pada tiga hal utama yaitu:

2. Meningkatkan kualitas pelayanan publik baik melalui upaya memperjuangkan kepentingan nasional di fora internasional maupun perlindungan bagi WNI dan BHI di dalam dan di luar negeri.

3. Meningkatkan kapasitas dan akuntabilitas kinerja dengan memastikan dijalankannya sistem administrasi dan manajemen pemerintahan secara taat azas oleh semua unit kerja, baik di Pusat maupun Perwakilan RI di luar negeri.

17


(26)

B. Kementerian Luar Negeri sebagai Perwakilan Indonesia

Perwakilan Diplomatik adalah lembaga kenegaraan di luar negeri yang bertugas dalam membina hubungan politik dengan negara lain. Tugas ini dilakukan oleh perangkat diplomatik yang meliputi duta besar, duta, kuasa usaha dan atase-atase. Istilah diplomatik (diplomacy), dalam hubungan internasional ”berarti sarana yang sah (legal), terbuka dan terang-terangan

yang digunakan oleh sesuatu negara dalam melaksanakan politik luar negerinya”. Untuk

menjalin hubungan diantara negara-negara itu, biasanya negara tersebut saling menempatkan perwakilannya (Kedutaan atau Konsuler).18

Dalam praktek internasional ada dua jenis perwakilan diplomatik :19

1. Kedutaan Besar, yang ditugaskan tetap pada suatu negara tertentu untuk saling memberikan hubungan rutin antar negara tersebut.

2. Perutusan Tetap, yang ditempatkan pada suatu organisasi internasional (PBB).

Tingkatan dan Kepangkatan Perwakilan Diplomatik : Tingkatan dan kepangkatan perwakilan diplomatik menurut Kongres di Aachen tahun 1918 sbb :

a. Duta Besar (Ambassador) adalah tingkatan tertinggi dalam perwakilan diplomatik. Duta Besar memiliki kekuasaan penuh dan luar biasa dan ditempatkan pada negara yang punya hubungan erat dan banyak hubungan timbal balik. Dlm beberapa hal duta besar dapat memutuskan sesuatu yang menyangkut negaranya tanpa berkonsultasi dengan kepala negaranya terlebih dahulu.

b. Duta (Gerzant) adalah setingkat lebih rendah dari duta besar, biasanya ditempatkan pada negara yang tidak banyak hubungan timbal balik dan derajat kereratan hubungan lebih rendah dari pada negara yang mengirim duta besar. Segala persoalan yang menyangkut ke

1

1


(27)

dua negara, seorang duta harus dikonsultasikan terlebih dahulu dengan pemerintah negaranya.

c. Menteri Presiden (Minister President) adalah mereka yang tidak dianggab sebagai wakil kepala negara, tetapi hanya ditempatkan untuk mengurus urusan-urusan negaranya.

d. Kuasa Usaha (Charge D’affair), kuasa usaha tidak diperbantukan kepada kepala negara, tetapi kepada menteri luar negeri negara penerima. Berhubungan dengan kepala negara-negara penerima melalui menteri luar negeri negara-negara penerima.

e. Atase-atase, adalah tenaga ahli kedutaan, ada atase militer, atase perekonomian, atase

pendidikan dan kebudayaan, dll.

Berakhirnya Fungsi Misi Perwakilan Diplomatik :20 a. Sudah habis masa jabatan

b. Ia ditarik oleh pemerintah negaranya

c. Karena tidak disenangi (di persona non grata )

d. Negara penerima perang dengan negara pengirim. Hak Kekebalan (immunitet) Korps Diplomatik :

1) Hak Ekstra teritorialitas, hak kekebalan dalam daerah perwakilan seperti daerah

kedutaan besar, daerah kedutaan termasuk halaman dan bangunannya dimana terpancang bendera dan lambang negara itu. Gedung perwakilan diplomatik tidak boleh digeledah atau dimasuki oleh petugas kehakiman, polisi, tanpa seizin kepala perwakilan diplomatik bersangkutan. Arsip-arsip, surat-surat ataupun telegram tidak boleh dibuka oleh polisi, hakim tersebut. Warga negara yang mencari perlindungan di gedung perwakilan diplomatik tidak dapat ditangkap begitu saja melainkan harus melalui perundingan

2


(28)

dengan kepala perwakilan setempat. Kecuali pelaku kejahatan, yang memang harus diserahkan pada polisi setempat.

2) Hak Kekebalan atau Kebebasan Korps Diplomatik, setiap anggota diplomatik tunduk

kepada hukum dan peraturan kepolisian setempat namun tidak dapat dituntut di muka pengadilan. Mereka dibebaskan dari pajak dan bea cukai, bebas mendirikan tempat ibadah di lingkungan kedutaan.

C. Struktur Kementerian Luar Negeri

Negara Indonesia sebagai negara yang merdeka dan berdaulat berhak menentukan nasibnya sendiri serta kebijaksanaan luar negerinya. Bangsa atau negara tidak mungkin sanggup memenuhi semua kebutuhan warganya karena itu, diperlukan suatu kerjasama hubungan internasional yaitu hubungan antar bangsa dalam segala aspeknya yang dilakukan oleh suatu negara untuk mencapai kepentingan nasional negara itu.21

Bangsa Indonesia dalam membina hubungan dengan negara lain menerapkan prinsip-prinsip politik luar negeri yang bebas dan aktif yang diabdikan bagi kepentingan nasional, terutama untuk kepentingan pembangunan disegala bidang serta ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial. Pembangunan hubungan luar negeri Indonesia ditujukan untuk peningkatan persahabatan dan kerjasama bilateral, regional dan multilateral melalui berbagai macam forum sesuai dengan kepentingan dan kemampuan nasional, oleh karena itu, Indonesia harus membangun citra yang positif diluar negeri.22

21

Kalsum, Tenaga Kerja dan Perlindungan.diunduh dari:www.gogle.com. diakseskan tanggal 26 Juli 2011

22


(29)

Untuk menandai hubungan dengan negara lain, harus didahului dengan pembukaan utusan konsuler atau diplomatik yang bersifat bilateral. Hubungan Internasional diselenggarakan oleh kesatuan diplomatik sebagai unsur departemen luar negeri yang harus mampu menguraikan aspirasi nasional diluar negeri. Tugas-tugas yang dijalankan menteri luar negeri harus dapat dipertanggungjawabkan secara hukum kepada presiden sebagai kepala pemerintahaan.23

Dengan dilaksanakannya restrukturisasi, maka struktur organisasi Kementerian Luar Negeri pun berubah. Kementerian Luar Negeri yang sekarang terdiri dari Sekretariat Jenderal (Sekjen) dan Insepektorat Jenderal (Irjen). Berdasarkan Keputusan Menteri Luar Negeri RI Nomor SK.053/OT/II/2002/01Tahun 2002, ditetapkan Susunan Organisasi Kementerian Luar Negeri sebagai berikut : Menteri Luar Negeri RI, membawahi :Staf Ahli:Unit Pengendalian Krisis:Inspektorat Jenderal:Sekretariat Jenderal;Badan Pengkajian Pengembangan Kebijakan;Perwakilan RI.Sekretariat Jenderal terdiri dari :Biro Administrasi Menteri;Biro Perencanaan dan Organisasi;24

D. Tugas dan Fungsi Kementerian Luar Negeri Menurut UU No.39 Tahun 2008 Tentang Kementerian Negara

Kementerian Luar Negeri mempunyai tugas membantu Presiden dalam menyelenggarakan sebagian urusan pemerintahan di bidang politik dan hubungan luar negeri.25 Kementerian Luar Negeri menyelenggarakan fungsi :26

a. perumusan kebijakan nasional, kebijakan pelaksanaan, dan kebijakan teknis di bidang politik dan hubungan luar negeri;

23

Ibid

2

25

Sendjun, Pokok-Pokok Hukum Ketenagakerjaan di Indonesia. Jakarta: Rineka Cipta, 2001, hlm 89.

26


(30)

b. pelaksanaan urusan pemerintahan sesuai dengan bidang tugasnya;

c. pengelolaan barang milik/kekayaan negara yang menjadi tanggungjawabnya; d. pengawasan atas pelaksanaan tugasnya;

e. penyampaian laporan hasil evaluasi, saran dan pertimbangan di bidang tugas dan fungsinya kepada Presiden.

Menurut UU No.39 Tahun 2008 Tentang Kementerian Negara Tugas

Pasal 7

Kementerian mempunyai tugas menyelenggarakan urusan tertentu dalam pemerintahan untuk membantu Presiden dalam menyelenggarakan pemerintahan negara.

Bagian Kedua Fungsi

Pasal 8

(1) Dalam melaksanakan tugasnya, Kementerian yang melaksanakan urusan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) menyelenggarakan fungsi:

a.perumusan, penetapan, dan pelaksanaan kebijakan di bidangnya;

b.pengelolaan barang milik/kekayaan negara yang menjadi tanggung jawabnya; c.pengawasan atas pelaksanaan tugas di bidangnya; dan

d.pelaksanaan kegiatan teknis dari pusat sampai ke daerah.

(2) Dalam melaksanakan tugasnya, Kementerian yang melaksanakan urusan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2) menyelenggarakan fungsi:

a.perumusan, penetapan, dan pelaksanaan kebijakan di bidangnya;

b. pengelolaan barang milik/kekayaan negara yang menjadi tanggung jawabnya; c.pengawasan atas pelaksanaan tugas di bidangnya;

d.pelaksanaan bimbingan teknis dan supervise atas pelaksanaan urusan Kementerian di daerah; dan

e.pelaksanaan kegiatan teknis yang berskala nasional.

(3) Dalam melaksanakan tugasnya, Kementerian yang melaksanakan urusan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (3) menyelenggarakan fungsi:

a. perumusan dan penetapan kebijakan di bidangnya;

b. koordinasi dan sinkronisasi pelaksanaan kebijakan di bidangnya;

c. pengelolaan barang milik/kekayaan negara yang menjadi tanggung jawabnya; dan d. pengawasan atas pelaksanaan tugas di bidangnya.


(31)

BAB III

TINJAUAN UMUM TENTANG TENAGA KERJA INDONESIA DI ARAB SAUDI

A. Pengertian Tenaga Kerja Indonesia

Mobilitas angkatan kerja Indonesia keluar negeri di kenal dengan sebutan TKI (Tenaga Kerja Indonesia). Pada waktu itu yang disebut TKI adalah laki-laki. Ketika muncul angkatan kerja wanita ke luar negeri, mereka disebut TKI, untuk mempertegas bahwa ada tenaga kerja wanita diantara TKI. Istilah ini menunjukkan bahwa ada pembedaan diantara keduanya. TKI identik dengan komoditi (misalnya, komoditi non-migas). Ironisnya, meski TKI dipandang kurang memiliki akses dalam penungkatan produksi, akan tetapi kenyataannya presentase remitan yang dikirim lebih besar dari TKI.27

Depnaker (Departemen Tenaga Kerja) merupakan lembaga pemerintah yang berfungsi sebagai penyalur informasi kesempatan kerja yang ada di dalam dan di luar negeri. Lembaga ini juga menyiapkan pelatihan-pelatihan bagi calon tenaga kerja yang akan di salurkan. Pelatihan semacam itu juga diberikan oleh lembaga-lembaga penyalur tenaga kerja swasta ini pada dasarnya membantu calon tenaga kerja memperoleh pekerjaan dangan sedikit keuntungan dari biaya pendidikan yang dikeluarkan oleh calon tenaga kerja.28

Jasa (manfaat), baik jasa orang (manfaat syekhsh) maupun manfaat pekerjaan (manfaat

amal), merupakan salah satu sumber ekonomi sebuah negara, selain perdagangan, industri dan

pertanian. Bahkan, dapat dikatakan jasalah yang menjadikan perdagangan, industri dan pertanian dapat berjalan. Karena itu, jasa merupakan sumber ekonomi yang sangat penting bagi Negara.

27

Rachmad Safa’at, Buruh Perempuan: Perlindungan Hukum dan Hak Asasi Manusia. Malang: IKIP Malang. 1998, hlm. 31

28


(32)

Karenanya, islam telah mengatur pemanfaatan jasa ini dengan sangat detail, yang kemudian secara khusus di bahas dalam hukum-hukum ijarah. Dalam akad ijarah ini ada empat komponen :29

Selama jasa tersebut halal, maka akad ijarah tersebut juga diperbolehkan, baik akad tersebut dilakukan antara pria dengan pria, atau wanita dengan wanita, maupun pria dengan wanita. Karena itu, islam tidak melarang wanita menjadi tenaga kerja, baik dengan memberikan jasa pribadinya, seperti arsitek misalnya.

1. Ajair (Buruh) 2. Musta’jir (Majikan) 3. Manfaat (Jasa)

4. ‘Iwadh (Kompensasi/upah)

30

Namun demikian, bekerja untuk mencari nafkah, menghidupi dan mencukupi kebutuhan keluarganya adalah wajib. Akan tetapi, bagi kaum wanita, bekerja untuk mencari nafkah atau membantu suaminya mencukupi kebutuhan keluarganya akan tetapi tidak wajib, melainkan mubah. Meski dengan catatan, tidak mengabaikan fungsi dan tugas utamanya sebagai seorang ibu dan pengurus rumah tangga (umm warabbat al-bait).31

Perempuan bekerja, bukan hal asing lagi di jaman sekarang. Mulai dari bidang berat seperti di perindustrian dengan menjadi tenaga yang menggerakkan roda-roda mesin, menjadi kuli bangunan hingga ke bidang yang memang sesuai dengan fitrahnya seperti menjadi perawat atau guru. Semua seakan berlomba-lomba untuk mendapatkan lahan pekerjaan di sektor publik. Bahkan karena tidak mencukupinya lahan di dalam negeri, banyak dari para perempuan yang eksodus ke luar negeri dengan menjadi TKI atau Tenaga Kerja Wanita. Apabila kita mau

29

Bayu Insani dan Ida Raihan, TKW dalam Perbincangan, PT Leutika, 2008, Yogyakarta, hlm 60.

30

Ibid

31


(33)

mencermati mereka yang disebut TKI ini biasanya berprofesi sebagai pembantu rumah tangga di negeri orang.32. Nasib TKI atau nama kerennya working women, baik yang di dalam negeri maupun di luar negeri sesungguhnya tidak jauh berbeda. Perbedaannya mungkin bagi mereka yang jadi TKI di luar negeri mempunyai prestise tersendiri karena pernah ke Singapura, Malaysia, Hongkong atau bahkan Arab Saudi, ketika pulang membawa hasil lebih banyak. Namun demikian, di samping kesuksesan para TKI yang mampu membawa devisa bagi negara tersebut, sesungguhnya nasib ribuan yang lainnya jauh merana. Banyak diberitakan media massa bahwa ada TKI asal Lampung yang terancam hukuman mati di Singapura. Belum lagi yang ramai diberitakan baru-baru ini adalah TKI yang bekerja di Arab Saudi yang disiksa oleh majikannya. Dan masih banyak lagi kasus TKI yang tidak terekspos.33

Tenaga kerja adalah tiap orang yang mampu melaksanakan pekerjaan baik didalam maupun diluar hubungan kerja guna menghasilkan barang atau jasa untuk memenuhi kebutuhan masyarakat. Hal ini sesuai dengan undang-undang Nomor 14 tahun 1969, pasal 1 tentang ketentuan-ketentuan pokok mengenai tenaga kerja. GBHN 1988 dalam bidang peranan wanita dalam pembangunan bangsa, wanita baik sebagai warga negara maupun sebagai sumber instansi bagi pembangunan mempunyai hak, kewajiban dan kesempatan yang sama dengan pria disegala bidang kehidupan bangsa dalam segenap kegiatan pembangunan.34

Demikian juga jika tenaga kerja Indonesia yang bekerja di perusahaan atau pabrik maupun yang menjual jasa dari tenaganya, harus mendapat perlindungan yang baik atas keselamatan, kesehatan, serta kesusilaan, pemeliharaan moril kerja serta perlakuan yang sesuai dengan martabat manusia dan moral agama. Hal ini telah diterapkan dalam pasal 10 UU No.

32

33

Kalyanamitra, “Tenaga Kerja Wanita Indonesia : Pahlawan Devisa Tanpa Perlindungan”.

diakseskan tanggal 26 Juli 2011

34


(34)

1969, yang berlaku baik tenaga kerja pria maupun wanita yang menyebutnya bahwa pemerintah membina perlindungan kerja yang mencakup :

a. Norma Keselamatan Kerja

b. Norma Kesehatan Kerja dan hygiene perusahaan c. Norma Kerja

d. Pemberian ganti kerugian, perawatan dan rehabilitas dalam hal kecelakaan kerja

Pemerintah mempunyai kewajiban membina perlindungan kerja bagi tenag kerja Indonesia, dan tidak membedakan antara tenaga kerja laki-laki dan tenaga kerja wanita. Undang-undang No. 14 tahun 1969, pasal 2 menyebutkan bahwa : “ Didalam menjalankan Undang- undang-undang ini serta peraturan pelaksaannya tidak boleh diadakan diskriminasi”. Namun dalam kenyataan menunjukkan bahwa ada peraturan-peraturan atau ketentuan yang hanya diperuntukkan sifat kodrat wanita, yang pada saat tertentu mengalami haid, hamil, melahirkan dan sebagainya. Mengingat hal demikian pemerintah membina perlindungan kerja yang khusus bagi tenaga kerja Indonesia.

B. Latar Belakang Pengiriman Tenaga Kerja Indonesia ke Arab Saudi

Tenaga Kerja Indonesia yang sering disebut Tenaga Kerja Indonesia bekerja dalam berbagai jenis pekerjaan, seperti sebagai pekerja di pabrik, pengasuh anak, pembantu rumah tangga, sopir, dan lain sebagainya. Jadi, Tenaga Kerja Indonesia adalah warga negara Indonesia yang bekerja di luar negeri yang disebut juga buruh migran. Buruh migran atau Tenaga Kerja Indonesia (TKI) yang dikirim ke luar negeri bukanlah hal baru. Pengiriman tenaga kerja migran seiring dengan meningkatnya peran pemerintah dalam proses pengirimannya. Hal ini terlihat dari dikeluarkannya 18 produk hukum yang berupa peraturan dan keputusan menteri tentang


(35)

keberadaan dan pengerahan buruh migran. Ke-8 produk hukum itu kemudian diperbarui menjadi 10 keputusan setelah tahun 1990-an. Sebelumnya Indonesia hanya memiliki 2 peraturan tentang keberadaan tenaga kerja migrant Indonesia, yaitu UU. No. 14/1969 tentang Pokok-pokok Ketenagakerjaan dan Permen No. 1/1970. 35

Dalam berbagai keputusan menegaskan seluruh pengiriman buruh migran hanya diperbolehkan dengan izin Depnaker. Semakin meningkatnya tenaga kerja migran Indonesia keluar negeri para tenaga migran dipandang hanya sekedar komoditi ekspor non migas. Untuk itu banyak usaha perseorangan atau kelompok mendirikan perusahaan jasa, yaitu Perusahaan Jasa Tenaga Kerja Indonesia (PJTKI) demi memburu keuntungan mudah diperoleh dengan mengirim warga Indonesia menjadi buruh ke luar negeri, seiring dengan meningkatnya permintaan dari beberapa negara asing, seperti Arab Saudi, Malaysia, Hongkong, Singapura, dan lain-lain. Permintaan itu tidak lepas dari murahnya harga para tenaga kerja migran Indonesia di luar negeri. Terlebih-lebih bagi Tenaga Kerja Indonsia (TKI) Indonesia.36

Kebanyakan para Tenaga Kerja Indonesia memiliki kelemahan yaitu kurang penguasaan dalam pengetahuan dan keterampilan, sebab Tenaga Kerja Indonesia yang dikirim ke luar negeri kebanyakan lulusan Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP).

37

Negara Arab Saudi merupakan salah satu Negara pemesan Tenaga Kerja Indonesia. Negara Hongkong banyak diminati oleh para Tenaga Kerja Indonesia alasan utamanya di Negara tersebut para Tenaga Kerja Indonesia mendapat upah yang tinggi dibandingkan dengan upah di Negara Malaysia atau Arab Saudi dan tiap-tiap akhir pekan para Tenaga Kerja Indonesia tersebut mendapat hari libur satu hari. Alasan lainnya tindak kejahatan yang dilakukan majikan selama ini

35

Soetomo, Masalah TKI dan Upaya Pemecahannya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008, hlm 57.

36

Nopri, Hipyan. “Penghentian Kebijakan Pengiriman TKI Non-Profesional-Mungkinkah?”

37


(36)

sangat kecil dibandingkan dengan sikap majikan dari Arab Saudi. Dengan alasan-alasan inilah para Tenaga Kerja Indonesia mencari dollar ke Hongkong.38

Masalah perlindungan tenaga kerja dalam pelaksanaannya masih jauh dari harapan. Persoalan buruh atau Tenaga Kerja Indonesia semakin hari semakin komplek, seperti proses perekrutan, pemberangkatan, hubungan kerja, kondisi kerja di negara penempatan, pemulangan, perselisihan, dan pemutusan hubungan kerja, serta tindakan kekerasan oleh majikan mereka. Standar atau persyaratan kualifikasi bagi tenaga kerja dilakukan oleh penyelenggara penempatan tenaga kerja, bukan oleh pemerintah. Dalam hal ini memberi celah bagi Perusahaan Jasa Tenaga Kerja Indonesia membuat standar yang merugikan tenaga kerja migran, celah yang dimaksud adalah memberikan kekuasaan yang penuh bagi Perusahaan Jasa Tenaga Kerja Indonesia untuk membuat peraturan tentang tenaga kerja migran sesuai dengan kebutuhan Perusahaan Jasa Tenaga Kerja Indonesia sendiri dan kurang memperhatikan kepentingan tenaga kerja migran.39

Untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan penting bagi Tenaga Kerja Indonesia dan Perusahaan Jasa Tenaga Kerja Indonesia melakukan perjanjian kerja, dengan adanya perjanjian kerja yang dibuat secara tertulis akan memberikan kekuatan sebagai bukti otentik dan kekuatan hukum dalam perlindungan bagi Tenaga Kerja Indonesia saat nanti bekerja di luar sampai kembali ke Indonesia. Sebab salah satu isi dalam perjanjian kerja adalah adanya tanggung jawab baik pihak Tenaga Kerja Indonesia ataupun pihak Perusahaan Jasa Tenaga Kerja Indonesia apabila salah satu pihak telah melalaikan kewajibannya.

40

Proses pelaksanaan pengiriman Tenaga Kerja Indonesia (TKI) ke Arab Saudi dengan kegiatannya diawali saat perusahaan menerima order dari negara yang membutuhkan tenaga

38

39

Istikah, Malang, UMM, Dampak Kepergian Tenaga Kerja Wanita ke Luar Negeri Terhadap Keluarga, dalam Skripsi, 1996, Malang.

40


(37)

kerja dari Indonesia sampai pada pengiriman ke tempat tujuan. Secara rinci proses pelaksanaan pengiriman Tenaga Kerja Indonesia ke luar negeri adalah sebagai berikut:41

1. Penerimaan Order (Tenaga Kerja Indonesia)

Telah diketahui bahwa dalam kegiatan pengiriman Tenaga Kerja Indonesia ke luar negeri telah bekerja sama dengan perusahaan jasa di negara yang bersangkutan. Karena telah bekerja sama dengan perusahaan jasa asing dari negara-negara yang membutuhkan tenaga kerja, maka PT Rajasa Intamani bekerja atas order yang diberikan oleh perusahaan jasa asing tersebut. Perusahaan jasa asing memberikan order pada PT Rajasa Intamani untuk mengirimkan orang-orang atau tenaga kerja sesuai dengan permintaan. Berdasarkan order atau pesanan dari perusahaan jasa asing inilah PT mulai menerima orang-orang yang ingin bekerja menjadi tenaga kerja.

2. Pendaftaran

Para pekerja yang berminat untuk bekerja di luar negeri harus mendaftar di kantor PT Rajasa Intamani. Pendaftaran dapat dilakukan secara perorangan datang langsung ke kantor atau melalui sponsor.

Mayoritas para pendaftar dibawa oleh sponsor. Saat pendaftaran pekerja harus memenuhi syarat-syarat yang diajukan oleh PT Rajasa Intamani. Adapun syarat-syarat pendaftaran tersebut, antara lain:

a. Fotokopi identitas diri (KTP) b. Fotokopi ijasah terakhir

c. Surat persetujuan orang tua atau suami bagi wanita yang sudah berumah tangga.

41

Saptari, Ratna dan Holzner, Brigitte, Perempuan Kerja dan Perubahan Sosial, Jakarta, Pustaka Utama, Grafiti, 1997, hlm 38.


(38)

3. Tes Seleksi Kesehatan dan Psikotes

Setelah pekerja melakukan pendaftaran, proses selanjutnya perusahaan melakukan pemeriksaan kesehatan dan psikotes. Ada dua tempat tes untuk calon tenaga kerja Indonesia. Tes untuk kesehatan dilakukan di laboratorium rumah sakit yang ditunjuk oleh perusahaan dan untuk tes psikotes di perusahaan. Dalam pemeriksaan kesehatan setiap pekerja diperiksa berbagai kesehatannya seperti kesehatan jantung atau penyakit-penyakit lain yang mungkin diderita oleh pekerja. Jenis penyakit yang tidak memungkinkan pekerja untuk dikirim keluar negeri apabila pekerja menderita penyakit paru-paru dan diabetes, dengan alasan kedua jenis penyakit sangat riskan apabila bekerja di luar negeri. Jenis penyakit lain yang ringan seperti penyakit kulit, sakit gigi, amandel, dan lain-lain dilakukan pengobatan

terlebih dahulu oleh perusahaan sampai dinyatakan sehat. Adapun biaya check up kesehatan dan pengobatan apabila menderita sakit serta perlu perawatan para tenaga kerja Indonesia itu sendiri yang mengeluarkan biaya. Adapun psikotes yang dilakukan adalah tes-tes untuk mengetahui jenis pekerjaan yang diinginkan dan mental dari pekerja. Tes jenis pekerjaan yang diinginkan ini disesuaikan dengan pendidikan dan kemampuan pekerja, sedangkan tes mental adalah tes untuk mengetahui seberapa kuat mental pekerja apabila bekerja di luar negeri. Tes mental ini penting dilakukan oleh perusahaan sebab orang yang bekerja di luar negeri jauh dari saudara dan tempat tinggalnya. Pekerja harus dapat hidup mandiri di luar negeri. Dalam hal ini, biasanya perusahaan memberikan gambaran yang susah-susah atau bekerja yang berat di luar negeri sehingga pekerja dapat mengukur dirinya sendiri apa pekerja sanggup untuk bekerja di luar negeri atau tidak. Apabila pekerja merasa tidak sanggup bekerja di luar sebelum pemberangkatan pekerja dapat mengundurkan diri.


(39)

4. Pelatihan Keterampilan dan Bahasa

Pelatihan keterampilan kerja diselenggarakan dan diarahkan untuk membekali, meningkatkan, dan mengembangkan kompetensi kerja guna meningkatkan kemampuan, produktivitas, dan kesejahteraan (Pasal 9 UU No. 13 Tahun 2003). Latihan-latihan yang dimaksud antara lain tenaga kerja dilatih mempergunakan alat-alat yang serba elektronik, latihan menguasai bahasa negara yang akan menerima tenaga kerja, dan kegiatan-kegiatan lain yang berhubungan dengan pekerjaan yang akan ditekuni. Misalnya memasak masakan Hongkong, cara mengasuh bayi atau lanjut usia.

Dalam rekrutmen ini tergantung dari kemampuan pekerja dan keputusan perusahaan yang menempatkan pekerja dapat bekerja di Negara tertentu. Sebagai contohnya, ada seorang Tenaga Kerja Indonesia ingin bekerja sebagai pengasuh lanjut usia, di sisi lain ia memiliki tubuh sedang. Oleh perusahaan Tenaga Kerja Indonesia tersebut disarankan untuk bekerja sebagai pengasuh bayi bukan lanjut usia sebab pengasuh lanjut usia membutuhkan tenaga kerja Indonesia yang berbadan kuat dan tinggi. Akhirnya perusahaan yang menentukan Tenaga Kerja Indonesia tersebut bekerja sebagai pengasuh bayi.

Selain pelatihan kerja, para Tenaga Kerja Indonesia juga dilatih dalam bahasa. Latihan bahasa ini sangat penting dilakukan oleh Tenaga Kerja Indonesia sebab dari bahasa ini dapat terjalin komunikasi antara orang yang mempekerjakan dengan Tenaga Kerja Indonesia. Karena para Tenaga Kerja Indonesia akan dikirim ke Hongkong, maka latihan bahasa yang diberikan adalah bahasa yang digunakan sehari-hari di Hongkong. Adapun bahasa yang digunakan adalah bahasa Kantonis, yaitu bahasa yang serumpun dengan bahasa Mandarin.


(40)

5. Penyeleksian Perusahaan Jasa Luar Negeri pada Tenaga Kerja Indonesia

Setelah perusahaan melakukan memberikan latihan dan calon Tenaga Kerja Indonesia telah siap untuk bekerja, perusahaan menghubungi perusahaan jasa asing yang bersangkutan dan dilakukan penyeleksian oleh perusahaan jasa asing tersebut.

Cara perusahaan asing menyeleksi para calon Tenaga Kerja Indonesia ada dua cara, yaitu: a. Wawancara langsung melalui internet dan telepon

b. Calon Tenaga Kerja Indonesia telah diambil gambarnya dalam film yang memberikan gambaran tentang keterampilan-keterampilan yang dimiliki calon Tenaga Kerja Indonesia dan dikirim melalui internet ke perusahaan jasa asing tersebut.

6. Pengiriman Tenaga Kerja Indonesia ke Tempat Tujuan

Tanggung jawab PT Rajasa Intamani setelah adanya persetujuan perusahaan jasa asing atas Tenaga Kerja Indonesia adalah mengirimkan Tenaga Kerja Indonesia tersebut ke negara tujuan. Biasanya pengiriman tenaga kerja ini dilakukan oleh PT Rajasa Intamani dengan menggunakan sarana transportasi udara yang di berangkatkan dari bandara Soekarno- Hatta.

Berdasarkan uraian di atas dapat dipahami bahwa proses pelaksanaan pengiriman TKI ke negara-negara yang membutuhkan sudah mendekati kesesuaian dengan Pasal 31 UU No. 39 Tahun 2004 Yang merupakan penjelasan tahap pra penempatan Tenaga Kerja Indonesia. Kesesuaian tersebut meliputi: perekrutan dan seleksi, pendidikan dan pelatihan kerja, pemeriksaan kesehatan dan psikologi, pengurusan dokumen, uji kompentensi, pembekalan akhir pemberangkatan (PAP), dan pemberangkatan.

C. Kebijakan Penempatan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri

Penempatan tenaga kerja Indonesia di luar negeri merupakan suatu upaya untuk mewujudkan hak dan kesempatan yang sama bagi tenaga kerja untuk memperoleh pekerjaan dan


(41)

penghasilan yang layak, yang pelaksanaannya dilakukan dengan memperhatikan harkat, martabat, hak asasi manusia, dan perlindungan hukum serta pemerataan kesempatan kerja dan penyediaan tenaga kerja yang sesuai dengan hukum nasional.42

Selanjutnya pasal 35 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2004 menyatakan bahwa calon tenaga kerja migran yang diizinkan untuk bekerja ke luar negeri harus memenuhi syarat minimal berumur 18 tahun dan berpendidikan sekurangkurangnya lulus SLTP atau sederajat. Untuk calon tenaga kerja migran yang akan bekerja pada pengguna perseorangan sekurang-kurangnya berusia 21 tahun. Keputusan Presiden RI Nomor 29 Tahun 1999 tentang Badan Koordinasi Penempatan Tenaga Kerja Indonesia (BPTKI). BPTKI adalah lembaga pemerintah non struktural yang melaksanakan sebagian kebijaksanaan pemerintah dalam bidang penempatan tenaga kerja Untuk mewujudkan kondisi tersebut, dalam beberapa tahun terakhir pemerintah (formal) menetapkan beberapa kebijakan yaitu: Undang RI Nomor 34 Tahun 2004, Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2004, Keputusan Presiden RI Nomor 29 Tahun 1999, Peraturan Presiden R.I. No.81 Tahun 2006, dan Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia Nomor: PER.04/MEN/II/2005.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 34 Tahun 2004, menetapkan penempatan tenaga kerja migran merupakan kegiatan pelayanan untuk mempertemukan tenaga kerja migran sesuai bakat, minat dan kemampuannya dengan pemberi kerja diluar negeri yang meliputi keseluruhan proses perekrutan, pengurusan dokumen, pendidikan dan pelatihan, penampungan, persiapan pemberangkatan, pemberangkatan sampai ke negara tujuan, dan pemulangan dari negara tujuan.

42


(42)

Indonesia. BPTKI diketuai oleh menteri bidang ketenagakerjaan, dan bertanggung jawab kepada presiden.

Peraturan Presiden R.I. Nomor 81 Tahun 2006 tentang Badan Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia merumuskan tentang kemudahan pelayanan yang dilakukan bersama-sama dengan instansi pemerintah terkait baik Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Daerah. Bidang tugas masing-masing instansi pemerintah meliputi ketenagakerjaan, keimigrasian, verifikasi dokumen kependudukan, kesehatan, kepolisian dan bidang lain yang dianggap perlu. Sementara, pos pelayanan akan melakukan pelayanan untuk memperlancar pemberangkatan dan pemulangan tenaga kerja migran yang dikoordinasikan oleh Balai Pelayanan dan Penempatan dan Perlindungan tenaga kerja migrant (BP3TKI). Pos Pelayanan dibentuk dalam rangka kelancaran pelaksanaan pemberangkatan dan pemulangan tenaga kerja migran di pintu-pintu embarkasi dan debarkasi (Depnakertrans, 2007).

Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia Nomor: PER.04/MEN/II/2005 tentang penyelenggaraan Pembekalan Akhir Pemberangkatan tenaga kerja migran ke luar negeri memutuskan bahwa pembekalan akhir pemberangkatan yang selanjutnya disebut PAP adalah kegiatan pemberian informasi kepada calon tenaga kerja migran yang akan berangkat bekerja ke luar negeri agar calon tenaga kerja migran mempunyai kesiapan mental dan pengetahuan untuk bekerja diluar negeri, memahami hak dan kewajibannya serta dapat mengatasi masalah yang dihadapi.

Instrumen kebijakan ini disesuaikan dengan maksud pemerintah untuk meningkatkan kuantitas tenaga kerja migran. Nilai tukar berpengaruh terhadap upah yang akan diterima tenaga kerja migran Indonesia yang bekerja di luar negeri, karena upah yang mereka terima dalam bentuk mata uang asing sesuai dengan tempat kerja mereka. Depresiasi nilai tukar rupiah


(43)

terhadap mata uang asing, akan meningkatkan upah yang akan mereka terima dalam bentuk rupiah. Hal ini dapat meningkatkan keinginan tenaga kerja Indonesia untuk bekerja di luar negeri.

D.Keadaan dan Perkembangan Tenaga Kerja Indonesia di Arab Saudi menurut Hukum Internasional

Semua orang pasti sepakat, alasan utama kebanyakan TKI bekerja ke luar negeri adalah faktor ekonomi. Kebanyakan mereka adalah orang miskin. Jasa tenaga kerja mereka tidak dapat disalurkan di dalam negeri karena negara tidak menyediakan lapangan kerja yang cukup. Dengan bahasa lain, negara sebenarnya telah gagal merealisasikan kesejahteraan bagi warga negaranya.43

Berdasarkan data resmi pemerintahan, pengangguran di Indonesia kini mencapai 8,59 juta orang atau 7,41 persen dari total angkatan kerja di nusantara sebanyak 116 juta orang. Bisa jadi jumlah pengangguran jauh lebih banyak dari itu. Bahkan setiap tahun ada 1,1 juta sarjana menganggur.44

Anehnya, kebijakan pemerintah bukannya membuka lapangan pekerjaan seluas-luasnya, akan tetapi mereka memikirkan bagaimana menjual mereka ke luar negeri sehingga negera bisa memperoleh devisa. Dalam Strategi Nasional Penanggulangan Kemiskinan (SNPK), pengiriman TKI disebut sebagai upaya menekan angka pengangguran.45

Setelah mereka di berangkatkan ke luar negeri, keadaan mereka disana tidak dilindungi sama sekali. Pengiriman TKI selama ini bukanlah urusan Negara, tapi PJTKI dengan pengguna

43

Sastrohadiwiryo, B. Siswanto, Manajemen Tenaga Kerja Indonesia, Pendekatan Administratif Dan

Operasional, PT. Bumi Aksara, Jakarta, 2005, hlm 44. 44

diakses tanggal 27 Juli 2011

45


(44)

jasa. Akibatnya, jika ada persoalan Negara selalu terlambat merespon permasalahan para pencari devisa tersebut.46

Kapitalisme yang dianut Indonesia untuk memberikan kesejahteraan kepada rakyat telah gagal. Meskipun Indonesia kaya Sumber Daya Alam (SDA), namun karena kebijakan privatisasi kapitalis, hasil SDA hanya banyak memberi keuntungan pada pihak swasta atau asing. Semestinya SDA milik rakyat ini dikelola oleh negara untuk memenuhi kebutuhan asasi semua rakyat, laki-laki maupun perempuan.

Sementara itu, di negara tujuan, peraturan di sana tidak memberikan jaminan perlindungan hukum kepada para TKI. Hanya sedikit negara yang telah meratifikasi perlindungan terhadap para pekerja asing. Sebagian di beberapa Negara TKI dianggap sebagai budak yang dapat diperlakukan semaunya oleh para majikannya sendiri.

Belum lagi, tidak dipungkiri, banyak majikan yang bertindak kejam, jauh dari sifat kemanusiaan. Mereka melakukan itu karena negaranya sendiri seolah memberi toleransi. Apabila tidak, tidak akan mungkin kasus TKW sampai mencapai angka puluhan ribu kasus.

47

Apabila negara dapat memberikan jaminan pemenuhan kebutuhan pokok dan asasi setiap rakyat, tidak ada perempuan yang rela meninggalkan keluarga dan menanggung risiko besar dengan menjadi TKI. Namun kemiskinan telah memaksa ribuan perempuan untuk bekerja di luar negeri meningglkan suami, anak dan keluarganya.48

Permasalahan TKI itu memang rumit. Masalah itu bisa berasal dari TKI-nya karena tidak mempunyai pengetahuan dan keterampilan untuk bekerja di negara tujuan. Bisa juga kesepakatan antara calon majikan dengan PJTKI tidak membahas mengenai jaminan keamanan, seperti

46

Ibid 47

Soepomo, Iman, Hukum Perburuhan Bidang Kesehatan Kerja (Perlindungan Kerja), Pradnya Paramitha, Jakarta, 1991, hlm 104.

48


(45)

hukum pancung yang menimpa kepada Ruyati sepertinya bukan hukum pancung yang terakhir kepada para tenaga kerja wanita (TKW) Indonesia yang bekerja di Arab Saudi. Tercatat masih ada sekira 23 TKI yang nasibnya dengan hukum pancung. Meski, misalnya, 23 TKI itu sudah dipancung satu per satu, itu tidak akan membuat pemerintah Indonesia menghentikan pengiriman TKI.49

Kalau diselisik, kejadian yang menimpa Ruyati pada saat ini, pada tahun 2010 sudah pernah terjadi kasus serupa, di mana TKI asal Cianjur, Jawa Barat, bernama Kikim Komalasari ditemukan tewas di sebuah tong sampah Kota Abha, Arab Saudi. Kikim diduga dibunuh sang majikan setelah diperkosa. Kejadian yang demikian rupanya tidak dijadikan pelajaran oleh pemerintah, dan mungkin saja pemerintah menganggap itu sebagai hal yang biasa sehingga pemerintah tetap mengirimkan TKI ke Arab Saudi.50

Pemerintah Indonesia meski ditekan dari banyak pihak untuk menghentikan pengiriman TKI ke Arab Saudi namun tetap tidak mendengar desakan itu bisa jadi pemerintah menganggap kejadian seperti Ruyati, Kikim Komalasari, dan kasus-kasus penyiksaan dan pembunuhan lainnya sebagai 1: 1.000. Artinya pembunuhan yang terjadi hanya terjadi pada satu TKI di antara 1.000 TKI lainnya. Jadi tidak semua TKI mengalami nasib seperi Ruyati atau Kikim Komalasari sehingga masalah TKI di luar negeri masih dianggap aman-aman saja.51

Ketika kasus yang menimpa Kikim Komalasari terjadi, pemerintah Indonesia pernah mempertimbangkan untuk menghentikan pengiriman TKI ke Arab Saudi. Namun bila pemerintah menghentikan pengiriman TKI ke Arab Saudi, pemerintah berpikir hal yang demikian akan berimbas kepada masalah lapangan kerja di Indonesia. Pergi ke Arab Saudi

49

Toha, Halili, dan Hari Pramono, Hubungan Kerja Antara majikan Dan Buruh, Cetakan Pertama, Penerbit Bina Aksara, Jakarta, 1997, hlm 110.

50

Ibid 51

Tim Kontan, Ada Apa Dengan Buruh, Majalah Kontan Vol. II/EDISI XXIII, 07-20 Mei 2006, Jakarta, 2006.


(46)

merupakan sebuah kesempatan lapangan kerja yang sangat mudah dan cepat. Bila itu ditutup tentu akan terjadi penyempitan lapangan kerja. Pernah tercatat, jumlah tenaga kerja Indonesia di Arab Saudi mencapai 1 juta, dan 750.000 adalah perempuan. Bayangkan bila sejuta lapangan kerja ditutup, tentu akan menyebabkan semakin banyaknya pengangguran dan berujung pada semakin beratnya beban negara.

Selain itu bila dihentikannya pengiriman TKI maka devisa negara akan menurun. Pada tahun 2006 para Tenaga Kerja Indonesia yang bekerja di luar negeri selama setahun menyumbangkan devisa kepada negara sebesar Rp60 triliun. Dengan devisa itu mampu memberi makan kepada sekira 30 juta orang di Indonesia. Apa yang dihasilkan para tenaga kerja itu sebuah prestasi yang luar biasa sebab jumlahnya kedua terbesar setelah peringkat utama dari sektor minyak bumi dan gas (migas).

Masalah tenaga kerja keluar negeri memang sejak dahulu menjadi dilema bagi pemerintah. Di satu sisi pemerintah tidak mampu menciptakan lapangan kerja di dalam negeri, di sisi lain para tenaga kerja Indonesia yang bekerja di luar negeri tidak mempunyai skill yang cukup. Skill dan pendidikan yang rendah itulah yang membuat para tenaga kerja tidak mampu membela diri.

Apa yang terjadi pada Ruyati merupakan sebuah keprihatinan bagi kita semua, lebih-lebih hukum pancung yang menimpanya hanya berselang beberapa hari selepas Presiden Republik Indonesia Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) menyampaikan pidato soal pentingnya perlindungan terhadap buruh migran di markas ILO, organisasi buruh internasional, Jenewa, Swiss. Pidato dengan tema Forging A New Global Employment Framework for Social Justice

and Eguality dalam konferensi ILO itu dengan gagah SBY menyampaikan, buruh migran di


(47)

SBY mengajak semua negara untuk memperhatikan dan memberikan pelindungan terhadap pelaku pekerja di sektor domistik atau rumah tangga.52

Apa yang terjadi di ILO itu, pemerintah Arab Saudi bisa saja mereka mendengar dan menyimak, namun apa yang disuarakan dari ILO itu tidak membuat Arab Saudi serta merta melaksanakan aturan-aturan itu. Mengapa demikian? Bisa jadi aturan-aturan yang datang dari Barat oleh Arab Saudi dianggap sebagai aturan orang kafir atau thogut sehingga sampai kapanpun Arab Saudi tidak mau meratifikasinya. Misalnya saja Arab Saudi tidak mau meratifikasi Konvensi PBB tahun 1990 tentang Perlindungan Hak-Hak Buruh Migran dan Anggota Keluarganya.

53

Kalaupun Arab Saudi menyatakan adanya aturan hukum internasional yang mengacu pada HAM, itu hanya lips service semata. Ketika pada Oktober 2010, Ketua MA Kerajaan Arab Saudi Saleh Bin Abdullah Bin Humeid berkunjung ke pimpinan MPR, ia mengatakan bahwa Arab Saudi sudah mempunyai organisasi HAM (Hak Asasi Manusia) yang melindungi seluruh tenaga kerja. Saleh Bin Abdullah Bin Humeid membuka pengadilan untuk menangani masalah tenaga kerja. Bila adalah masalah pada tenaga kerja, pemerintah Arab Saudi sudah membentuk lembaga tempat tenaga kerja mengadukan dan melaporkan, misalnya bila menghadapi masalah gaji atau pun kasus penyiksaan.54

Namun apa yang dikatakan itu terbalik dengan realitas yang ada. Dengan adanya kasus Ruyati menunjukan bahwa Arab Saudi dalam melindungi para tenaga kerja hanya sebatas konsep dan lips service semata. Akibat dari tidak bersedianya Arab Saudi mengikuti hukum dan aturan

5

53

Eggy Sudjana, Nasib dan Perjuangan Buruh di Indonesia, Renaissan, Jakarta, 2005, hlm 37

54


(48)

internasional tersebut maka Indonesia yang warganya tertimpa masalah di negeri itu mengalami kesulitan ketika mencoba menggunakan kekuatan hukum internasional.55

Bila Arab Saudi tidak sudi menggunakan hukum internasional dalam masalah tenaga kerja maka kita pun juga bisa mensiasati menggunakan hukum Islam. Misalnya dengan kapasitasnya sebagai ulama besar, Presiden Gus Dur menelepon Raja Arab Saudi ketika ada kasus TKI yang terancam hukuman mati. Berkat sosok Gus Dur sebagai ulama maka hukuman bagi Siti Zaenab, akhirnya dibatalkan. Contoh lainnya adalah, meski Arab Saudi sudah jelas menggunakan nilai-nilai yang terkandung dalam agama Islam dalam masalah hukum, namun itu perlu kita jelaskan lagi pentingnya kesejahteraan dan perlindungan kepada para tenaga kerja sesuai dengan tuntunan Nabi, yakni sebuah hadits yang mengatakan, "Bayarlah upah buruh sebelum kering keringatnya". Tidak hanya itu, kita paparkan kembali bahwa dalam syirah nabawiyyah banyak pengalaman Nabi yang membebaskan budak. Membebaskan budak ini dalam konteks sekarang adalah memberi perlindungan, pengayoman, kesejahteraan, cuti di hari libur, dan dianggap sebagai saudara sendiri kepada tenaga kerja.

56

Pengamat hukum internasional Hikmahanto Juwana mendesak pemerintah agar bersikap tegas terhadap Pemerintah Arab Saudi terkait eksekusi mati tenaga kerja Indonesia (TKI) Indonesia, Ruyati binti Satubi. Menurut dia, jika pemerintah memiliki komitmen tinggi terhadap perlindungan para tenaga kerja Indonesia di Arab Saudi, tidak bisa sekadar memanggil Duta Besar Arab Saudi. Ketegasan pemerintah dapat diwujudkan dengan melakukan penghentian pengiriman TKI ke Arab Saudi. Dan pemerintah juga dapat melakukan tindakan diplomatik untuk memperlihatkan ketidaksenangan Indonesia atas perlakuan warganya. Tindakan diplomatik tersebut, dapat berupa pemanggilan pulang Dubes Indonesia di Arab Saudi atau

55

Ibid


(1)

dalam permasalahan ini adalah dibuatnya suatu pernyataan kehendak bersama (statement of intent) sebagai kesepakatan antar pemerintah serta Joint Working Group dan MoU Ketenagakerjaan antar kedua negara.

3. Tindakan Kementerian Luar Negeri Indonesia dan Arab Saudi dalam menangani permasalahan TKI diwujudkan dalam kebijakan yang bersifat umum yaitu kebijakan yang terdiri atas serangkaian keputusan yang diekspresikan melalui pernyataan-pernyataan kebijakan dan tindakan-tindakan dari pejabat terkait. Selain itu, diwujudkan juga dalam kebijakan yang bersifat administratif, yaitu kebijakan yang dibuat oleh anggota-anggota birokrasi pemerintah yang bertugas melaksanakan hubungan luar negeri negaranya, berupa dokumen-dokumen tertulis dalam bentuk aturan hukum yang dipublikasikan secara umum. Yang terakhir adalah upaya pemerintah Indonesia dan Arab Saudi untuk mewujudkan adanya perjanjian bilateral dalam bidang ketenagakerjaan khususnya bidang informal.

B. Saran

Adapun saran yang dapat penulis kemukakan disini sebagai bahan pertimbangan guna penyempurnaan dikemudian hari adalah:

1. Masalah utama munculnya permasalahan WNI tersebut adalah tidak adanya perjanjian internasional yang mengatur WNI bermasalah antara Indonesia dengan Arab Saudi. Ketika ada suatu permasalahan, Pemerintah Indonesia masih mengandalkan UU 37 Tahun 1999 sebagai pijakan utama. Penulis melihat, UU ini belum mengatur masalah teknis di lapangan. Sehingga, dibutuhkan pijakan hukum yang lebih spesifik mengatur masalah pekerja Indonesia di Arab Saudi.

2. Pemerintah Indonesia dan Arab Saudi hendaknya dapat duduk bersama membuat suatu pernyataan kehendak bersama (statement of intent) sebagai kesepakatan antar pemerintah.


(2)

Selain itu, kedua pemerintahan juga harus membentuk Joint Working Group dan MoU Ketenagakerjaan antar kedua negara. Dalam MoU tersebut harus mencakup perincian kesediaan Pemerintah Arab Saudi untuk membuat peraturan yang mengakomodasi hak pekerja, seperti batas waktu maksimal delapan jam bekerja per hari, hak lembur, hak cuti, dan berbagai hak lainnya.

3. Kita harus bisa melihat kapasitas dan potensi keterampilan dari setiap TKI sehingga penyaluran Tenaga Kerja Indonesia (TKI) dapat terwujud lebih terarah demi menghindari adanya tindak kekerasan terhadap Tenaga Kerja Indonesia (TKI) yang tengah bekerja di luar negeri.


(3)

DAFTAR PUSTAKA

I. Buku

Asikin, Zainal, Dasar-dasar Hukum Ketenagakerjaan (Pengertian, Sifat dan Hakekat Hukum Ketenagakerjaan, Radja Grafindo Persada, Jakarta, 1993.

Asyhadie, Zaeni, Hukum Kerja, Hukum Ketenagakerjaan Bidang Hubungan Kerja, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2007.

Bethan, Ignas, TKW di Timur Tengah, Penerbit Asy – Syaamil Press & Grafika, Bandung,1993. Fauzan, Achmad, Konvensi ILO yang berlaku Mengikat Indonesia – penerbit yrama widya,

2005.

Halim, Ridwan & Gultom, Sri Subiandini, Sari Hukum Tenaga kerja (buruh) Aktual, Penerbit PT. Pradnya Paramita, Jakarta, 2001.

Hasibuan, Syaiful Jalil, himpunan konvensi perburuhan internasional, 1996.

Husni, Lalu, Pengantar Hukum Ketenagakerjaan Indonesia, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2000.

Insani, Bayu dan Raihan, Ida, TKW dalam Perbincangan, PT Leutika, 2008, Yogyakarta.

Istikah, Malang, UMM, 1996, Dampak Kepergian Tenaga Kerja Wanita ke Luar Negeri Terhadap Keluarga, dalam Skripsi.

Majalah Tenaga Kerja, Sistem Penempatan tenaga Kerja Indonesia ke Luar Negeri, Vol. 37, 2010.

Manulang Sendjun H, Pokok-pokok Hukum Ketenagakerjaan di Indonesia, Penerbit Rineka Cipta, Jakarta, 1995.

Manulang, Sedjun H., Pokok-Pokok Ketenagakerjaan Indonesia, Penebit Rineka Cipta, Jakarta, 1997.

Nasution, Bahder Johan, Hukum Ketenagakerjaan Indonesia (Buku Pegangan Pekerja Untuk Mempertahankan hak-haknya), Citra Aditya Bakti, Bandung, 1994.

Nasution, M. Darwin, Hukum Ketenagakerjaan, Kebebasan Berserikat Bagi Pekerja, Mandar Maju, Bandung 2005.

Nasution, S dan Thomas, M, Buku Penuntun Membuat Tesis, Skripsi, Disertasi dan Makalah, Penerbit Bina Aksara, Jakarta, 2009.


(4)

Rudy, T. May, 2003. Hubungan Internasional Kontemporer Dan Masalahmasalah Global, (Isu,Konsep, Teori, dan Paradigma). Bandung : Refika Aditama

Rusli, Hardijan, Hukum Ketenagakerjaan 2003, Ghalia Indonesia, Jakarta 2004. Saeni, Asyhadie, Hukum Kerja. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada. 2007.

Safa’at, Rachmad, Buruh Perempuan: Perlindungan Hukum dan Hak Asasi Manusia. Malang: IKIP Malang. 1998.

Saptari, Ratna dan Holzner, Brigitte, Perempuan Kerja dan Perubahan Sosial, Jakarta, Pustaka Utama, Grafiti, 1997.

Sastrohadiwiryo, B. Siswanto, Manajemen Tenaga Kerja Indonesia, Pendekatan Administratif Dan Operasional, PT. Bumi Aksara, Jakarta, 2005.

Sendjun, Pokok-Pokok Hukum Ketenagakerjaan di Indonesia. Jakarta: Rineka Cipta. 2001. Soejano Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta : UI Press, 1986.

Soetomo, Masalah TKI dan Upaya Pemecahannya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008.

Soepomo, Iman, Hukum Perburuhan Bidang Kesehatan Kerja (Perlindungan Kerja), Pradnya Paramitha, Jakarta, 1991.

Sudjana, Eggy, Nasib dan Perjuangan Buruh di Indonesia, Renaissan, Jakarta, 2005. Susilastuti, Dewi, H. Dkk., Feminisasi Pasar Tenaga Kerja, Yogyakarta, PPK UGM, 1994. Syahputra Tunggal, Iman & Widjaja Tunggal, Amin, Peraturan perundang-undangan

Ketenagakerjaan Baru di Indonesia, Penerbit Harvarindo, Jakarta, 1999.

Syahputra Iman, Widjaja Amin, Peraturan perundang-undangan Ketenagakerjaan Baru di Indonesia, Penerbit Harvarindo, Jakarta, 2000.

Tenaga Kerja Wanita Indonesia: Pahlawan Devisa Tanpa Perlindungan (Anania Topika~. Jakarta: Kalyanamitra, 2005.

Tim Kontan, Ada Apa Dengan Buruh, Majalah Kontan Vol. II/EDISI XXIII, 07-20 Mei 2006, Jakarta, 2006.

Todaro, Michael P, Pembangunan Ekonomi di Dunia Ketiga, Erlangga, 1998.

Toha, Halili, dan Hari Pramono, Hubungan Kerja Antara majikan Dan Buruh, Cetakan Pertama, Penerbit Bina Aksara, Jakarta, 1997.


(5)

Tunggul, Hadi Setia, Pengantar Hukum Ketenagakerjaan Indonesia. Jakarta : Harvavindo, 2009. Widyaningsih, Rience G. & Kartasapoerta, Pokok-Pokok Hukum Ketenagakerjaan. Cet. I;

Bandung : Armico, 1992.

Yatim, H. Kelana, Kisah Sukses TKI di Arab Saudi, Penerbit Yayasan Pena Bangsa, 1993.

II. Perundang-undangan

1. Undang-undang No. 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan

2. Undang No.31 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri

IV. Internet

http://ardaninggar.wordpress.com. diakses tanggal 26 Juli 2011 http://www.haluankepri.com. diakses tanggal 26 Juli 2011 diakseskan tanggal 26 Juli 2011 diakseskan tanggal 26 Juli 2011 diakses tanggal 27 Juli 2011 diakseskan tanggal 27 Juli 2011


(6)

http://www.kbr68h.com, diakses tanggal 9 Agustus 2011

2011

diakseskan tanggal 10 Agustus 2011

Irawan, A. Tenaga Kerja Indonesia Ilegal dan Solusinya. diakseskan tanggal 26 Juli 2011

Kalsum, 2009. Tenaga Kerja dan Perlindungan.diunduh dari:www.gogle.com. diakseskan tanggal 26 Juli 2011

Kalyanamitra, “Tenaga Kerja Wanita Indonesia : Pahlawan Devisa Tanpa Perlindungan”.

Konvensi ILO (International Labour Organization)

Nopri, Hipyan. “Penghentian Kebijakan Pengiriman TKI Non-Profesional-Mungkinkah?” http://pengamat-internasional.blogspot.com/ diakseskan tanggal 26 Juli 2011