Gambaran Histopatologi pada Pasien Karsinoma Nasofaring Tahun 2012-2014 di RSUP. H. Adam Malik Medan

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.2 Karsinoma Nasofaring
2.2.1 Definisi Karsinoma Nasofaring
Karsinoma nasofaring (KNF) adalah tumor ganas yang tumbuh didaerah nasofaring
(fosa Rossenmuller ) dan atap nasofaring (Roezin, 2009).
2.2.2 Epidemiologi
KNF dapat terjadi pada setiap usia, namun sangat jarang dijumpai penderita di bawah
usia 20 tahun dan usia terbanyak antara 45 – 54 tahun. Laki-laki lebih banyak dari wanita
dengan perbandingan antara 2 – 3 : 1. Kanker nasofaring tidak umum dijumpai di Amerika
Serikat dan dilaporkan bahwa kejadian tumor ini di Amerika Serikat adalah kurang dari 1
dalam 100.000 (S Leu-Yi, 2009)
Disebahagian provinsi di Cina, dijumpai kasus KNF yang cukup tinggi yaitu 15-30
per 100.000 penduduk. Selain itu, di Cina Selatan khususnya Hong Kong dan
Guangzhou,dilaporkan sebanyak 10-150 kasus per 100.000 orang per tahun.Insiden tetap
tinggi untuk keturunan yang berasal Cina Selatan yang hidup di negara-negara lain. Hal ini
menunjukkan sebuah kecenderungan untuk penyakit ini apabila dikombinasikan dengan
lingkungan pemicu (Leu-Yi, 2009).
Di Indonesia, KNF menempati urutan ke-5 dari 10 besar tumor ganas yang terdapat
di seluruh tubuh dan menempati urutan ke -1 di bidang Telinga, Hidung dan Tenggorok
(THT). Hampir 60% tumor ganas kepala dan leher merupakan KNF. Dari data Departemen

Kesehatan, tahun 1980 menunjukan prevalensi 4,7 per 100.000 atau diperkirakan 7.000-8.000
kasus per tahun (Pusdatin Kemenkes RI, 2009 dan Tambunan, 2000)
2.2.3. Etiologi
Terjadinya KNF mungkin multifaktorial, proses karsinogenesisnya mungkin
mencakup banyak tahap. Faktor yang mungkin terkait dengan timbulnya KNF adalah:
(Bailey, 2001)

Universitas Sumatera Utara

1. Kerentanan Genetik
Walaupun karsinoma nasofaring tidak termasuk tumor genetik, tetapi kerentanan terhadap
karsinoma nasofaring pada kelompok masyarakat tertentu relatif lebih menonjol dan
memiliki agregasi familial. Analisis korelasi menunjukkan gen HLA (human leukocyte
antigen) dan gen pengkode enzim sitokrom p4502E (CYP2E1) kemungkinan adalah gen
kerentanan terhadap karsinoma nasofaring, mereka berkaitan dengan sebagian besar
karsinoma nasofaring.
2. Infeksi Virus Eipstein-Barr
Banyak perhatian ditujukan kepada hubungan langsung antara karsinoma nasofaring dengan
ambang titer antibody virus Epstein-Barr (EBV). Serum pasien-pasien orang Asia dan Afrika
dengan karsinoma nasofaring primer maupun sekunder telah dibuktikan mengandung

antibody Ig G terhadap antigen kapsid virus (VCA) EB dan seringkali pula terhadap antigen
dini (EA); dan antibody Ig A terhadap VCA (VCA-IgA), sering dengan titer yang tinggi.
Hubungan ini juga terdapat pada pasien di Amerika yang mendapat karsinoma nasofaring
aktif. Bentuk-bentuk anti-EBV ini berhubungan dengan karsinoma nasofaring tidak
berdifrensiasi (undifferentiated) dan karsinoma nasofaring non-keratinisasi
(nonkeratinizing) yang aktif (dengan mikroskop cahaya) tetapi biasanya tidak berhubung

dengan tumor sel skuamosa atau elemen limfoid dalam limfoepitelioma.
3. Faktor Lingkungan
Penelitian akhir-akhir ini menemukan zat-zat berikut berkaitan dengan timbulnya karsinoma
nasofaring yaitu golongan Nitrosamin,diantaranya dimetilnitrosamin dan dietilnitrosamin,
Hidrokarbon aromatic dan unsur Renik, diantaranya nikel sulfat.
2.2.4. Klasifikasi & Histopatologi
Berdasarkan klasifikasi histopatologi menurut WHO pada tahun 1978, KNF dibagi
menjadi tipe 1 karsinoma sel skuamosa dengan keratinisasi, tipe 2 gambaran histologinya
karsinoma tidak berkeratin dengan sebagian sel berdiferensiasi sedang dan sebagian lainnya
dengan sel yang lebih ke arah diferensiasi baik, tipe 3 karsinoma tanpa diferensiensi adalah
sangat heterogen, sel ganas membentuk sinsitial dengan batas sel tidak jelas. Jenis KNF
yang banyak dijumpai adalah tipe 2 dan tipe 3. Jenis tanpa keratinisasi dan tanpa diferisiensi


Universitas Sumatera Utara

mempunyai sifat radiosensitif dan mempunyai titer antibodi terhadap virus Epstein-Barr,
sedangkan jenis karsinoma sel skuamosa dengan berkeratinisasi tidak begitu radiosensitif dan
tidak menunjukkan hubungan dengan virus Epstein-Barr (Chang, 2011). Berikut ini
gambaran histopatologi karsinoma nasofaring:
1.

Keratinizing Squamous Cell Carcinoma

Pada keratinizing squamous cell carcinoma dijumpai adanya diferensiasi dari sel
squamous dengan intercellular bridge atau keratinisasi. Tumor tumbuh dalam bentuk pulau-

pulau yang dihubungkan dengan stroma yang desmoplastik dengan infiltrasi sel-sel radang
limfosit, sel plasma, neutrofil dan eosinofil yang bervariasi. Sel-sel tumor berbentuk
poligonal dan bertingkat. Batas antar sel jelas dan dipisahkan oleh intercellular bridge . Selsel pada bagian tengah pulau menunjukkan sitoplasma eosinofilik yang banyak
mengindikasikan keratinisasi. Dijumpai adanya keratin pearls.

2.


Non Keratinizing Squamous Cell Carcinoma

Pada pemeriksaan histopatologi non keratinizing squamous cell carcinoma memperlihatkan
gambaran stratified dan membentuk pulau-pulau. Sel-sel menunjukkan batas antar sel yang
jelas dan terkadang dijumpai intercellular bridge yang samar-samar. Dibandingkan dengan
undifferentiated carcinoma ukuran sel lebih kecil, rasio inti sitoplasma lebih kecil, inti lebih

hiperkhromatik dan anak inti tidak menonjol.

3.

Undifferentiated Carcinoma

Gambaran undifferentiated carcinoma berupa kelompokan sel-sel berukuran besar
yang tidak berdiferensiasi, batas sel tidak jelas, inti bulat sampai oval, vesikular inti,
membesar dan khromatin pucat, terdapat anak inti yang besar, sitoplasma sedang, dijumpai
latar belakang sel-sel radang limfosit diantara sel-sel epitel. Sel-sel tumor sering tampak
terlihat tumpang tindih. Beberapa sel tumor dapat berbentuk spindel. Dijumpai infiltrat sel
radang dalam jumlah banyak, khususnya limfosit, sehingga dikenal juga sebagai
lymphoepithelioma. Dapat juga dijumpai sel-sel radang lain, seperti sel plasma, eosinofil,


epitheloid dan multinucleated giant cell (walaupun jarang).
Terdapat dua bentuk undifferentiated carcinoma yaitu tipe Regauds (terdiri dari
kumpulan sel-sel epiteloid dengan batas yang jelas yang dikelilingi oleh jaringan ikat fibrous
dan sel-sel limfosit) dan tipe Schmincke (sel-sel epitelial neoplastik tumbuh difus dan
bercampur dengan sel-sel radang. Tipe ini sering dikacaukan dengan large cell malignant

Universitas Sumatera Utara

lymphoma ). Inti sel tumor berbeda antara karsinoma nasofaring dan large cell malignant
lymphoma . Pada karsinoma nasofaring memiliki gambaran vesikular, dengan pinggir inti

yang rata dan berjumlah satu, dengan anak inti yang jelas berwarna eosinophil. Pada
malignant lymphoma biasanya pinggirnya lebih iregular, khromatin kasar dan anak inti lebih

kecil dan berwarna basofilik atau amphofilik.

4.

Basaloid Squamous Cell Carcinoma


Tipe ini memiliki dua komponen yaitu sel-sel basaloid dan sel-sel squamous. Sel-sel
basaloid berukuran kecil dengan inti hiperkhromatin dan tidak dijumpai anak inti dan
sitoplasma sedikit. Tumbuh dalam pola solid dengan konfigurasi lobular dan pada beberapa
kasus dijumpai adanya peripheral palisading. Komponen sel-sel squamous dapat in situ atau
invasif. Batas antara komponen basaloid dan squamous jelas.
2.2.5. Gejala Klinis Karsinoma Nasofaring
2.2.5.1 Gejala Dini
KNF bukanlah penyakit yang dapat disembuhkan, maka diagnosis dan pengobatan
yang sedini mungkin memegang peranan penting (Roezin, 2007).
Gejala pada telinga dapat dijumpai sumbatan Tuba Eutachius. Pasien mengeluh rasa
penuh di telinga, rasa dengung kadang-kadang disertai dengan gangguan pendengaran. Gejala
ini merupakan gejala yang sangat dini. Radang telinga tengah sampai pecahnya gendang
telinga. Keadaan ini merupakan kelainan lanjut yang terjadi akibat penyumbatan muara tuba,
dimana rongga telinga tengah akan terisi cairan. Cairan yang diproduksi makin lama makin
banyak, sehingga akhirnya terjadi kebocoran gendang telinga dengan akibat gangguan
pendengaran (Roezin, 2009).
Gejala pada hidung adalah epistaksis akibat dinding tumor biasanya rapuh sehingga
oleh rangsangan dan sentuhan dapat terjadi pendarahan hidung atau mimisan. Keluarnya
darah ini biasanya berulang-ulang, jumlahnya sedikit dan seringkali bercampur dengan ingus,

sehingga berwarna merah muda. Selain itu,sumbatan hidung yang menetap terjadi akibat
pertumbuhan tumor ke dalam rongga hidung dan menutupi koana. Gejala menyerupai pilek
kronis, kadang-kadang disertai dengan gangguan penciuman dan adanya ingus kental. Gejala
telinga dan hidung ini bukan merupakan gejala yang khas untuk penyakit ini, karena juga

Universitas Sumatera Utara

dijumpai pada infeksi biasa, misalnya pilek kronis, sinusitis dan lain-lainnya. Mimisan juga
sering terjadi pada anak yang sedang menderita radang (Roezin, 2009).
2.2.5.2. Gejala Lanjut
Pembesaran kelenjar limfe leher yang timbul di daerah samping leher, 3-5 sentimeter
di bawah daun telinga dan tidak nyeri. Benjolan ini merupakan pembesaran kelenjar limfe,
sebagai pertahanan pertama sebelum tumor meluas ke bagian tubuh yang lebih jauh. Benjolan
ini tidak dirasakan nyeri, sehingga sering diabaikan oleh pasien. Selanjutnya sel-sel kanker
dapat berkembang terus,menembus kelenjar dan mengenai otot di bawahnya. Kelenjarnya
menjadi melekat pada otot dan sulit digerakan. Keadaan ini merupakan gejala yang lebih
lanjut lagi.
Pembesaran kelenjar limfe leher merupakan gejala utama yang mendorong pasien
datang ke dokter. Gejala akibat perluasan tumor ke jaringan sekitar. Perluasan ke atas ke arah
rongga tengkorak dan kebelakang melalui sela-sela otot dapat mengenai saraf otak dan

menyebabkan ialah penglihatan ganda (diplopia), rasa baal (mati rasa) didaerah wajah sampai
akhirnya timbul kelumpuhan lidah, leher dan gangguan pendengaran serta gangguan
penciuman. Keluhan lainnya dapat berupa sakit kepala hebat akibat penekanan tumor ke
selaput otak rahang tidak dapat dibuka akibat kekakuan otot-otot rahang yang terkena tumor.
Biasanya kelumpuhan hanya mengenai salah satu sisi tubuh saja (unilateral) tetapi pada
beberapa kasus pernah ditemukan mengenai ke dua sisi tubuh (Roezin, 2009).
Gejala akibat metastasis apabila sel-sel kanker dapat ikut mengalir bersama aliran
limfe atau darah, mengenai organ tubuh yang letaknya jauh darinasofaring, hal ini yang
disebut metastasis jauh. Yang sering ialah pada tulang, hati dan paru. Jika ini terjadi,
menandakan suatu stadium dengan prognosis sangat buruk (Roezin, 2009).
2.2.6. Stadium Karsinoma Nasofaring
Untuk menentukan stadium, dipakai sistem TNM menurut UICC ( Union for International
Cancer Control) tahun 2002.

Tabel 2.1. T = Tumor, menggambarkan keadaan tumor primer, besar dan
perluasannya
T

Tumor primer


T0

Tidak tampak tumor

Universitas Sumatera Utara

T1

Tumor terbatas di nasofaring

T2

Tumor meluas ke jaringan lunak
T2A
parafaring
T2B

parafaring

T3


Tumor menginvasi struktur tulang dan/atau sinus paranasal

T4

Tumor dengan perluasan intrakranial dan/atau terdapat keterlibatan saraf kranial,
fossa infratemporal, hipofaring, orbita atau ruang mastikator

Tabel 2.2. N = Nodul, menggambarkan keadaan kelenjar limfe regional
N

Pembesaran kelenjar getah bening regional

NX

Pembesaran kelenjar getah bening tidak dapat dinilai

N0

Tidak ada pembesaran


N1

Metastasi kelenjar getah bening unilateral, dengan ukuran terbesar kurang atau sama
dengan 6 cm, di atas fossa supraklavikula

N2

Metastasis kelenjar getah bening bilateral, dengan ukuran terbesar kurang atau sama
dengan 6 cm, di atas fossa supraklavikula

N3

Metastasis kelenjar getah bening bilateral, dengan ukuran lebih besar dari 6 cm atau
terletak di dalam fossa supraklavikula
N3A
N3B

Tabel 2.3. M = Metastase, menggambarkan metastase jauh
M

Metastasis jauh

MX

Metastasis jauh tidak dapat
dinilai

Tabel 2.4. Stadium penyakit
Stadium 0

T1

N0

M0

Stadium I

T1

N0

M0

Stadium

T2a

N0

M0

T1

N1

M0

IIa
Stadium

Universitas Sumatera Utara

IIb

Stadium

T2a

N1

M0

T2b

N0, N1

M0

T1

N2

M0

T2a,

N2

M0

T3

N2

M0

T4

N0, N1, N2

M0

Semua

N3

M0

Semua N

M1

III

T2b

Stadium
IVa
Stadium
IVb
Stadium
IVc

T
Semua
T

2.2.7. Diagnosis
Persoalan diagnostik sudah dapat dipecahkan dengan pemeriksaan CT-Scan daerah
kepala dan leher, sehingga pada tumor primer yang tersembunyi pun tidak akan terlalu sulit
ditemukan. Pemeriksaan foto tengkorak potongan anteroposterior, lateral dan Waters
menunjukan massa jaringan lunak di daerah nasofaring. Foto dasar tengkorak
memperlihatkan destruksi atau erosi tulang di daerah fossa serebri media. Pemeriksaan darah
tepi, fungsi hati, ginjal dan lain -lain dilakukan untuk mendeteksi metastasis (Nasir,2008).
Pemeriksaan serologi IgA anti EA dan IgA anti VCA untuk infeksi virus E-B telah
menunjukkan kemajuan dalam mendeteksi karsinoma nasofaring. Tetapi pemeriksaan ini
hanya digunakan untuk menentukan prognosis pengobatan.
Diagnosis pasti ditegakkan dengan melakukan biopsi nasofaring. Biopsi dapat
dilakukan dengan dua cara yaitu dari hidung atau dari mulut. Biopsi dari hidung dilakukan
tanpa melihat jelas tumornya (blind biopsi). Cunam biopsi dimasukkan melalui rongga
hidung menelusuri konka media ke nasofaring kemudian cunam diarahkan ke lateral dan
dilakukan biopsy. Biopsi melalui mulut dengan memakai bantuan kateter nelaton yang
dimasukkan melalui hidung dan ujung kateter yang berada didalam mulut ditarik keluar dan

Universitas Sumatera Utara

diklem bersam-sama ujung kateter yang di hidung. Demikian juga dengan kateter dari hidung
disebelahnya, sehingga palatum mole tertarik keatas. Kemudian dengan kaca laring dilihat
daerah nasofaring. Biopsi dilakukan dengan melihat tumor melalui kaca tersebut atau
memakai nasofaringoskop yang dimasukkan melalui mulut, massa tumor akan terlihat lebih
jelas. Biopsi tumor nasofaring umumnya dilakuan dengan anestsi topical dengan Xylocain
10%.Bila dengan cara ini masih belum didapatkan hasil yang memuaskan maka dilakukan
pengerokan dengan kuret daerah lateral nasofaring dalam nakrosis. Endoskopi dapat
membantu dokter untuk melihat bagian dalam tubuh dengan hanya menggunakan thin,fexible
tube. Pasien disedasi semasa tuba dimasukkan melalui mulut ataupun hidung untuk menguji
area kepala ataupun leher. Apabila endoskopi telah digunakan untuk melihat
nasofaring,disebut nasofaringoskopi (Longmore, 2009).
2.2.8. Terapi bagi Karsinoma Nasofaring
Radioterapi masih merupakan pengobatan utama dan ditekankan pada penggunaan
megavoltage dan pengaturan dengan komputer. Pengobatan tambahan yang diberikan dapat
berupa diseksi leher, pemberian tetrasiklin, faktor transfer, interferon, kemoterapi, seroterapi,
vaksin dan anti virus. Semua pengobatan tambahan ini masih dalam pengembangan,
sedangkan kemoterapi masih tetap terbaik sebagai terpai adjuvant (tambahan) (Longmore,
2009).
Pemberian adjuvant kemoterapi Cis-platinum, bleomycin dan 5-fluorouracil saat ini
sedang dikembangkan dengan hasil sementara yang cukup memuaskan. Demikian pula telah
dilakukan penelitian pemberian kemoterapi praradiasi dengan epirubicin dan cis-platinum,
meskipun ada efek samping yang cukup berat, tetapi memberikan harapan kesembuhan yang
lebih baik. Kombinasi kemoterapi dengan mitomycin C dan 5-fluorouracil oral setiap hari
sebelum diberikan radiasi yang bersifat radiosensitizer memperlihatkan hasil yang memberi
harapan akan kesembuhan total pasien karsinoma nasofaring (Longmore, 2009).
Pengobatan pembedahan diseksi leher radikal dilakukan terhadap benjolan di leher
yang tidak menghilang pada penyinaran (residu) atau timbul kembali setelah penyinaran
selesai, tetapi dengan syarat tumor induknya sudah hilang yang dibuktikan dengan
pemeriksaan radiologi dan serologi. Operasi sisa tumor (residu) atau kambuh (residif)
diindikasikan, tetapi sering timbul komplikasi yang berat akibat operasi (Roezin, 2007).

Universitas Sumatera Utara

Perawatan paliatif harus diberikan pada pasien dengan pengobatan radiasi. Mulut rasa
kering disebakan oleh keusakan kelenjar liur mayor maupun minor sewaktu penyinaran.
Tidak banyak yang dilakukan selain menasihatkan pasien untuk makan dengan banyak kuah,
membawa minuman kemanapun pergi dan mencoba memakan dan mengunyah bahan yang
rasa asam sehingga merangsang keluarnya air liur. Gangguan lain adalah mukositis rongga
mulut karena jamur, rasa kaku di daerah leher karena fibrosis jaringan akibat penyinaran,
sakit kepala, kehilangan nafsu makan dan kadang-kadang muntah atau rasa mual (Roezin,
2007). Kesulitan yang timbul pada perawatan pasien pasca pengobatan lengkap dimana tumor
tetap ada (residu) akan kambuh kembali (residif). Dapat pula timbul metastasis jauh pasca
pengobatan seperti ke tulang, paru, hati, otak. Pada kedua keadaan tersebut diatas tidak
banyak tindakan medis yang dapat diberikan selain pengobatan simtomatis untuk
meningkatkan kualitas hidup pasien. Pasien akhirnya meninggal dalam keadaan umum yang
buruk , perdarahan dari hidung dan nasofaring yang tidak dapat dihentikan dan terganggunya
fungsi alat-alat vital akibat metastasis tumor (Roezin, 2007).
2.2.9. Prognosis
Prognosis karsinoma nasofaring secara umum tergantung pada pertumbuhan lokal dan
metastasenya. Karsinoma skuamosa berkeratinasi cenderung lebih agresif aripada yang non
keratinasi dan tidak berdiferensiasi, walau metastase limfatik dan hematogen lebih sering
pada ke-2 tipe yang disebutkan terakhir. Prognosis buruk bila dijumpai limfadenopati,
stadium lanjut, tipe histologik karsinoma skuamus berkeratinasi. Prognosis juga diperburuk
oleh beberapa faktor seperti stadium yang lebih lanjut,usia lebih dari 40 tahun, laki-laki dari
pada perempuan dan ras Cina daripada ras kulit putih (Longmore, 2009) .
2.2.10. Komplikasi
Toksisitas dari radioterapi dapat mencakup xerostomia, hipotiroidisme, fibrosis dari
leher dengan hilangnya lengkap dari jangkauan gerak, trismus, kelainan gigi, dan hipoplasia
struktur otot dan tulang diiradiasi. Retardasi pertumbuhan dapat terjadi sekunder akibat
radioterapi terhadap kelenjar hipofisis. Panhypopituitarismdapat terjadi dalam beberapa
kasus.Kehilangan pendengaran sensorineural mungkin terjadi dengan penggunaan cisplatin
dan radioterapi. Toksisitas ginjal dapat terjadi pada pasien yang menerima cisplatin. Mereka
yang menerima bleomycin beresiko untuk menderita fibrosis paru. Osteonekrosis dari

Universitas Sumatera Utara

mandibula merupakan komplikasi langka radioterapi dan sering dihindari dengan perawatan
gigi yang tepat (Longmore, 2009).
2.2.11 Pencegahan
Pemberian vaksinasi pada penduduk yang bertempat tinggal di daerah dengan risiko
tinggi. Penerangan akan kebiasaan hidup yang salah serta mengubah cara memasak makanan
untuk mencegah kesan buruk yang timbul dari bahan-bahan yang berbahaya. Penyuluhan
mengenai lingku ngan hidup yang tidak sehat, meningkatkan keadaan sosial-ekonomi dan
berbagai hal yang berkaitan dengan kemungkinankemungkinan faktor penyebab. Akhir
sekali, melakukan tes serologik IgA-anti VCA dan IgA anti EA bermanfaat dalam
menemukan karsinoma nasofaring lebih dini (Longmore, 2009)

Universitas Sumatera Utara