Gambaran Beberapa Faktor Risiko Karsinoma Nasofaring di RSUP H. Adam Malik Medan di Tahun 2014

(1)

Gambaran Beberapa Faktor Risiko Karsinoma Nasofaring

di RSUP. H. Adam Malik Medan di Tahun 2014

Oleh :

Aditya Prakoso

110100111

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2014


(2)

LEMBAR PENGESAHAN

Gambaran Beberapa Faktor Risiko Karsinoma Nasofaring di RSUP H. Adam Malik Medan di Tahun 2014

NAMA : Aditya Prakoso

NIM : 110100111

____________________________________________________________________

Pembimbing Penguji I

Dr. T. Sofia Hanum, Sp.THT-KL(K) dr. Zairul Arifin,

Sp.A, DAFK

NIP : 195104281978022001 NIP : 194604061969021001

Penguji 2

dr. H. Syaiful Bahri, SpM

Medan, 12 Januari 2014 Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara

Prof. dr. Gontar Alamsyah Siregar, Sp.PD-KGEH NIP . 19540220198011001


(3)

ABSTRAK

Latar Belakang : Karinoma nasofaring adalah tumor ganas yang paling sering tumbuh di daerah nasofaring. Karsinoma adalah kanker yang berasal dari sel-sel epitel dinding dalam dan luar nasofaring. Penyakit ini dipengaruhi oleh banyak faktor risiko seperti konsumsi ikan asin. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran beberapa faktor risiko KNF di RSUP H. Adam Malik Medan tahun 2014.

Metode: Penelitian ini adalah penelitian deskriptif dengan menggunakan data primer dari penderita KNF di RSUP H. Adam Malik Medan. Data yang diambil meliputi usia, jenis kelamin, suku, pekerjaan, riwayat keluarga, riwayat konsumsi ikan asin, dan riwayat merokok. Sample penelitian adalah seluruh pasien karsinoma nasofaring yang ada di Poli THT-KL dan Ruang Rawat Inap RSUP H. Adam Malik Medan selama bulan September-November 2014 yang memenuhi kriteria inklusi.

Hasil: Hasil penelitian didapati sebanyak 63 pasien dengan proposi terbanyak adalah laki-laki (74.6%) yang berusia 50-59 tahun (44.4%) dengan suku Batak (52.4%). Faktor risiko KNF yang dapat diubah yang paling banyak dijumpai adalah konsumsi ikan asin (100%), merokok (76.2%) dan penderita yang bekerja sebagai petani (38.1%).

Kesimpulan: Dari hasil penelitian disimpulkan bahwa faktor risiko yang paling banyak dijumpai adalah laki-laki berusia 50-59 tahun suku batak yang bekerja sebagai petani dengan riwayat merokok dan mengkonsumsi ikan asin.


(4)

ABSTRACT

Background: Nasopharyngel carinoma was the most common malignant tumor of the nasopharynx. A carinoma is a cancer that starts in ephitelial cells of the inner and outer wall of nasopharynx. There are many risk factor that contribute in this disease example the habit of consumption salted fish. This study aimed todetermine the description of nasopharyngel carcinoma risk factor at Adam Malik Gener Hospital in 2014.

Methods: This research is descriptive research using primary data for

nasopharyngeal carcinoma patient at Adam Malik General Hospital. The data including age, sex, tribe, job, family history , salted fsih consumption, and smoking history. The sample were all nasopharyngeal carcinoma patient in Polyclinic of Ear, Nose, Throat – Head and Neck and inpateint unit of Adam Malik General Hospital during September-November 2014 that meet the inclusion criteria.

Result: the result of study found 63 patient with the highest proportion were men (74.6%) aged 50-59 years (44.4%) with the batak tribe (52.4%). The most commonly found of modifiable risk factor is salted fish consumption (100%), smoking (76.2%), and the patient who work as a farmer (38.1%).

Conclusion: Based on the end result, we can concluded that the most commonly risk facotr found were man aged 50-59 years with the batak tribe who works as a farmer with a history of smoking and eating salted fish.

Keyword: Nasopharyngeal carcinoma, risk factor, Adam Malik General Hospital Medan


(5)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur saya panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena atas berkah, rahmat, dan karunia-Nya saya dapat menyelesaikan karya tulis ilmiah saya yang berjudul’ Gambaran Beberapa Faktor Risiko Karsiona Nasofaring di RSUP H. Adam Malik Medan Tahun 2014. Sebagai salah satu area kompetensi dasar yang harus dimiliki seorang sarjana kedokteran, penelitian ini disusun sebagai rangkaian tugas akhir dalam menyelesaikan pendidikan program studi Pendidikan Dokter Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.

Penulis menyadari bahwa karya tulis ilmiah ini masih belum sempurna, baik dari segi materi maupun tata cara penulisannya. Oleh karena itu, dengan segala kerendahan hati, penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun demi perbaikan. Penulis rasakan semua itu sebagai suatu ujian dan pengalaman yang sangat berharga dalam kehidupan penulis. Hanya kesabaran, keteguhan, dan ketekunan yang penulis coba lakukan untuk terselesainya karya ini hingga terselesaikannya laporan hasil penelitian ini.

Penulis sadar dengan kekurangan diri penulis untuk melakukan banyak hal sendirian, maka itu penulis telah melibatkan beberapa orang, kelompok, atau elemen lain untuk membantu, mendukung, dan memberikan saran yang sangat berharga bagi penulis. Kepada merekalah penulis ucapkan banyak terima kasih. Beberapa yang dapat penulis sebut telah mempunyai peranan yang sangat besar dalam penulisan ini akan disebut sebagai berikut:

1. Kepada Prof. dr. Gontar Alamsyah Siregar, SpPD-KGEH, selaku Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.

2. Kepada dr. T. Sofia Hanum, Sp.THT-KL(K) selaku Dosen Pembimbing dalam karya tulis ilmiah ini yang telah meluangkan banyak waktu, tenaga, pemikiran, dan atas segala bimbingan, saran, serta kesabaran ilmu yang telah diberikan kepada penulis hingga terselesaikannya karya tulis ilmiah ini.


(6)

3. Kepada dr. Zairul Arifin, Sp.A, DAFK, dan dr. H. Syaiful Bahri, Sp.M selaku Dosen Penguji yang telah memberikan saran dan nasihat-nasihat dalam penyempurnaan penulisan karya tulis ilmiah ini.

4. Kepada Dr.dr. Farhat, M.Ked(ORL-HNS), Sp.THT-KL (K) FICS, dan dr. Elvita Rahmi Daulay, M.Ked(Rad), Sp.Rad (K)RI yang telah memberikan dukungan hingga penulis dapat menyelesaikan karya tulis ilmiah ini.

5. Kedua Orangtua tercinta, ayahanda Ir. Tresna Widya K. dan ibunda Deliarna yang telah membesarkan dengan penuh pengorbanan, hati yang ikhlas, serta selalu memberi doa, semangat, dukungan moril, dan kasih sayang yang tiada terhingga yang diberikan kepada penulis.

6. Kepada abang penulis , Andhika Pratama, ST, dan adik penulis, Adinda Tracy Salsabila atas segala doa dan semangat yang telah diberikan kepada penulis. 7. Kepada Nazzala Fahada yang senantiasa memberi dukungan dan semangat

kepada penulis

8. Kepada para sahabat penulis yang terkasih dan tercinta, Roni Abimanyu, Archie Amanta Aulia Barizon, Nadhira Lesarina, Aisha Citra, Echa Hana, Ridha Aryani, Chairul Nurdin Azali, Stanley Phan, dan sahabat penulis lainnya yang telah memberikan dukungan moril.

9. Kepada keluarga besar SCOPH PEMA FK USU , abangda Faridz Syahrian, abangda Doni Fitra Yogi, abangda Harmen Reza, Insan Rery, Khalisaturrahmi, Tririn Rinanati, Mikha Yolanda, Syifa Assegaf, dan keluargaku SCOPHies lainnya yang tidak bisa disebutkan satu-persatu, terima kasih atas waktunya berbagi ilmu , berbagi pengalaman, dan semangat yang telah luar biasa diberikan kepada penulis.

10.Kepada keluarga besar Tim Basket FK USU yang selalu mendukung penulis selama ini.

11.Kepada Departemen THT-KL RSUP H. Adam Malik Medan yang telah memberikan begitu banyak kemudahan dan izin dalam memudahkan penelitian ini.


(7)

12.Serta semua pihak baik langsung maupun tidak langsung yang telah memberikan bantuan dalam penulisan laporan penelitian ini. Kepada semua pihak tersebut penulis haturkan banyak terima kasih.

Akhir kata penulis mengucapkan terima kasih atas semua dan apapun yang telah diberikan kepada penulis.

Medan, 17 Desember 2014 Penulis,

Aditya Prakoso NIM. 110 100 111


(8)

DAFTAR ISI

HALAMAN PERSETUJUAN………. i

ABSTRAK………. ii

ABSTRACT……….. iii

KATA PENGANTAR………... iv

DAFTAR ISI………. vi

DAFTAR SINGKATAN……….. vii

DAFTAR TABEL………. viii

DAFTAR GAMBAR………. ix

DAFTAR LAMPIRAN………. x

BAB 1 PENDAHULUAN... 1

1.1. Latar Belakang……… 1

1.2. Rumusan Masalah……….. 3

1.3. Tujuan Penelitian……… 3

1.4. Manfaat Penelitian………... 4

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA………. 5

2.1. Anatomi Nasofaring………. 5

2.2. Histologi Nasofaring………. 7

2.3. Definisi Karsinoma Nasofaring……… 7

2.4. Prevalensi Karsinoma Nasofaring………. 8

2.5. Klasifikasi Karsinoma Nasofaring………. 8

2.6. Etiologi………. 10

2.7. Patofisiologi………. 11

2.8. Faktor Risiko Karsinoma Nasofaring………. 13

2.9. Gejala Klinis………. 17

2.9.1. Gejala Dini………. 17

2.9.2. Gejala Lanjut……….. 18


(9)

2.11 Penatalaksanaan……….. 20

2.12 Komplikasi……….. 22

2.13 Pencegahan……….. 22

2.14 Prognosis……….. 23

BAB 3 KERANGKA KONSEP DAN DEFINISI OPERASIONAL … 24

3.1. Kerangka Konsep Penelitian………... 24

3.2. Definisi Operasional……… 25

BAB 4 METODE PENELITIAN……….. 29

4.1. Jenis Penelitian………. 29

4.2. Waktu dan Tempat Penelitian……….. 29

4.3. Populasi dan Sampel………. 29

4.3.1. Populasi………. 29

4.3.2. Sampel Penelitian……….. 29

4.3.3. Kriteria Inklusi dan Eksklusi………. 30

4.4. Metode Pengumpulan Data……… 30

4.5. Pengolahan dan Analisis Data……… 30

BAB 5 HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 5.1 Hasil Penelitian……….. 31

5.1.1 Deskripsi Lokasi Penelitian……… 31

5.1.2 Deskripsi Karakteristik Sampel………. 31

5.2 Pembahasan……… 37

BAB 6 KESIMPULAN DAN SARAN 6.1 Kesimpulan……… 42

6.2 Saran……….. 43

DAFTAR PUSTAKA……… 45


(10)

DAFTAR SINGKATAN

ACTH : Adenocorticotropic Hormone CRH : Corticotropin Releasing Hormone

CR2 : Complemen Receptor Type 2

CYP450 : Cytochrome P450

DDT : Dichloro-diphenyl-trichloroethan

FK USU : Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara HLA : Human Leukocyte Antigen

HLA-A :

HLA-B

HLA-DQB*0301 :

HLA-DR

HLA-DRB1*08 :

HLA-DRB1*12 :

KNF : Karinoma Nasofaring

IgA : Immunoglobulin A

IgG : Immunoglobulin G

SCOPH : Standing Committee On Public Health TSGs : Tumor Supresor Genes


(11)

DAFTAR TABEL

Nomor Judul Halaman

3.1 Kerangka Konsep penelitian 24 3.2 Definisi Operasional Variabel Penelitian 25 5.1 Distribusi Frekuensi Faktor Risiko Sampel Berdasarkan Usia 32 5.2 Distribusi Frekuensi Faktor Risiko Sampel Berdasarkan Jenis Kelamin 32

5.3 Distribusi Frekuensi Faktor Risiko Sampel Berdasarkan Suku 33 5.4 Distribusi Frekuensi Faktor Risiko Sampel Berdasarkan Pekerjaan 33 5.5 Distribusi Frekuensi Faktor Risiko Sampel Berdasarkan Riwayat

Keluarga 34

5.6 Distribusi Frekuensi Faktor Risiko Sampel Berdasarkan Konsumsi

Ikan Asin 35

5.7 Distribusi Frekuensi Faktor Risiko Sampel Berdasarkan Riwayat


(12)

DAFTAR GAMBAR

Nomor Judul Halaman


(13)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 : Lembar Persetujuan Pengisian Kuesioner……… 51 Lampiran 2 : Tabulasi Data Kuesioner………... ………...… 54 Lampiran 3 : Sertifikat Medikolegal……… … 57 Lampiran 4 : Surat Izin Penelitian RSUP H. Adam Malik Medan……… 58 Lampiran 5 : Riwayat Hidup……….. 59


(14)

ABSTRAK

Latar Belakang : Karinoma nasofaring adalah tumor ganas yang paling sering tumbuh di daerah nasofaring. Karsinoma adalah kanker yang berasal dari sel-sel epitel dinding dalam dan luar nasofaring. Penyakit ini dipengaruhi oleh banyak faktor risiko seperti konsumsi ikan asin. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran beberapa faktor risiko KNF di RSUP H. Adam Malik Medan tahun 2014.

Metode: Penelitian ini adalah penelitian deskriptif dengan menggunakan data primer dari penderita KNF di RSUP H. Adam Malik Medan. Data yang diambil meliputi usia, jenis kelamin, suku, pekerjaan, riwayat keluarga, riwayat konsumsi ikan asin, dan riwayat merokok. Sample penelitian adalah seluruh pasien karsinoma nasofaring yang ada di Poli THT-KL dan Ruang Rawat Inap RSUP H. Adam Malik Medan selama bulan September-November 2014 yang memenuhi kriteria inklusi.

Hasil: Hasil penelitian didapati sebanyak 63 pasien dengan proposi terbanyak adalah laki-laki (74.6%) yang berusia 50-59 tahun (44.4%) dengan suku Batak (52.4%). Faktor risiko KNF yang dapat diubah yang paling banyak dijumpai adalah konsumsi ikan asin (100%), merokok (76.2%) dan penderita yang bekerja sebagai petani (38.1%).

Kesimpulan: Dari hasil penelitian disimpulkan bahwa faktor risiko yang paling banyak dijumpai adalah laki-laki berusia 50-59 tahun suku batak yang bekerja sebagai petani dengan riwayat merokok dan mengkonsumsi ikan asin.


(15)

ABSTRACT

Background: Nasopharyngel carinoma was the most common malignant tumor of the nasopharynx. A carinoma is a cancer that starts in ephitelial cells of the inner and outer wall of nasopharynx. There are many risk factor that contribute in this disease example the habit of consumption salted fish. This study aimed todetermine the description of nasopharyngel carcinoma risk factor at Adam Malik Gener Hospital in 2014.

Methods: This research is descriptive research using primary data for

nasopharyngeal carcinoma patient at Adam Malik General Hospital. The data including age, sex, tribe, job, family history , salted fsih consumption, and smoking history. The sample were all nasopharyngeal carcinoma patient in Polyclinic of Ear, Nose, Throat – Head and Neck and inpateint unit of Adam Malik General Hospital during September-November 2014 that meet the inclusion criteria.

Result: the result of study found 63 patient with the highest proportion were men (74.6%) aged 50-59 years (44.4%) with the batak tribe (52.4%). The most commonly found of modifiable risk factor is salted fish consumption (100%), smoking (76.2%), and the patient who work as a farmer (38.1%).

Conclusion: Based on the end result, we can concluded that the most commonly risk facotr found were man aged 50-59 years with the batak tribe who works as a farmer with a history of smoking and eating salted fish.

Keyword: Nasopharyngeal carcinoma, risk factor, Adam Malik General Hospital Medan


(16)

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Karsinoma nasofaring (KNF) adalah tumor ganas yang paling sering tumbuh di daerah nasofaring. Karsinoma adalah kanker yang berasal dari sel-sel epitel dinding dalam dan luar nasofaring (American Cancer Society,2013)

Karsinoma Nasofaring merupakan tumor ganas yang jarang di jumpai di Amerika Utara dan daerah Eropa dengan insiden kurang dari 1 per 100.000 populasi per tahun. Karsinoma Nasofaring lebih sering terjadi di daerah China Selatan dan daerah Afrika dengan tingkat kejadian 30-50 per 100.000 populasi per tahun. Alasan dari perbedaan letak geografis tersebut belum sepenuhnya di ketahui , namun faktor genetik, latar belakang etnik , dan pengaruh lingkungan di percayai memegang peran sebagai penyebab dan perkembangan penyakit tersebut (Chan ET, 2006).

Prevalensi karsinoma nasofaring di Indonesia adalah 3,9 per 100.000 penduduk setiap tahunnya. Di Rumah Sakit H. Adam Malik Medan, Provinsi Sumatera Utara, penderita karsinoma nasofaring ditemukan pada lima kelompok suku, dimana suku yang terbanyak menderita karsinoma nasofaring ialah Suku Batak, yaitu 46,7% dari 30 kasus (Lutan dan Zachreini, 1999)

Penyakit ini menduduki posisi pertama sebagai tumor ganas kepala dan leher yang banyak di temukan di Indonesia yaitu berkisar 60%. serta menduduki urutan ke-5 dari seluruh kasus keganasan (Roezin A et al,2001).

Hipotesis pertama kali di kemukakan oleh Jackson pada tahun 1901. Ia mengemukakan bahwa iritasi debu pada pekerja gabus dapat merusak epitel saluran nafas . Semenjak itu patogenesis KNF mulai di teliti lebih lanjut, khususnya untuk perbedaan geografis serta variasi rasial. Beberapa tahun belakangan, banyak di temukan bahwa ada hubungan antara faktor genetik dan lingkungan dengan resiko terjadinya KNF (McDermott et al,2001).


(17)

Penelitian terhadap kasus ini mendapat banyak perhatian . Hal tersebut di karenakan adanya interaksi yang kompleks dari etiologi penyakit seperti faktor genetik, lingkungan, dan virus Epstein-Barr .

Hubungan antara virus Epstein-Barr dengan Karsinoma Nasofaring di terangkan di beberapa penelitian, dimana didapatkan titer virus Epstein-Barr yang cukup tinggi di seluruh penderita penyakit ini (Ganguly,2003). Selain itu, diduga ikan yang diasinkan, makanan yang di awetkan, merokok, asap memasak, faktor genetik dan lingkungan juga menjadi faktor resiko dari kejadian karsinoma nasofaring (Rozein A et al, 2001)

Merokok sejak tahun 1950 telah di nyatakan sebagai penyebab kanker. Merokok menyebabkan kematian sekitar 4 sampai 5 juta pertahunnya. Diperkirakan pada tahun 2030 jumlahnya mencapai 10 juta kematian pertahun (Vineis P et al,2004). Banyak penelitian yang menunjukan bahwa merokok meningkatkan risiko karsinoma nasofaring sebanyak 2 hingga 6 kali. Sekitar 60% karsinoma nasofaring tipe I memiliki hubungan dengan merokok, sedangkan risiko karsinoma nasofaring tipe II dan tipe III tidak memiliki hubungan yang berarti dengan merokok (Cheng ET et al, 2006).

Paparan non-viral yang paling konsiten dan memiliki hubungan yang kuat dengan risiko karsinoma nasofaring ialah konsumsi ikan asin . Mengkonsumsi ikan asin meningkatkan 1,7 hingga 7,5 kali lebih tinggi dibandingkan penderita yang tidak mengkonsumsi ikan asin. Mengkonsumsi ikan asin lebih dari tiga kali dalam satu bulan meningkatkan resiko karsinoma nasofaring (Ondrey FG et al, 2003). Penelitian pada hewan percobaan berupa tikus memperkuat teori tersebut. Hal ini dikarenakan proses pengawetan dengan garam tidak efisien sehingga terjadi akumulasi nitrosamine yang di kenal sebagai bahan karsinogen pada hewan (Chang ET et al, 2006). Enam puluh dua persen pasien karsinoma nasofaring mengkonsusmi makanan fermentasi yang di awetkan. Banyaknya mengonsumsi nitrosamin dan nitrit yang biasa di dapatkan dari konsumsi daging, ikan, dan sayuran yang di awetkan selama masa kecil meningkatkan risiko karsinoma nasofaring (Yang X et al, 2005).


(18)

Genetik juga memiliki peran sebagai faktor risiko penyebab karsinoma nasofaring. Kerabat pertama, kedua, dan ketiga pasien karsinoma nasofaring memiliki risiko terkena karsinoma nasofaring (Ondrey FG et al,2003). Orang yang memiliki keluarga tingat pertama karsinoma nasofaring memiliki resiko 4 hingga 10 kali terkena karsinoma nasofaring dibandinga yang tidak (Guo X et al, 2009).

Tindakan preventif untuk karsinoma nasofaring hingga kini merupakan suatu permasalahan yang sulit di pecahkan . Hal ini karena etiologi yang masih belum pasti, gejala dini yang tidak khas serta letak nasofaring yang tersembunyi (Damayanti S, 1989). Berdasarkan penyebab diatas, penulis ingin mengetahui bagaimana gambaran faktor risiko karsinoma nasofaring di RSUP H. Adam Malik Medan Tahun 2014.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan diatas, dapat dirumuskan masalah sebagai berikut:

Bagaimana gambaran beberapa faktor risiko karsinoma nasofaring di RSUP H.Adam Malik Tahun 2014?

1.3 Tujuan Penelitian

1.3.1 Tujuan Umum

Untuk mengetahui gambaran beberapa faktor risiko penyebab karsinoma nasofaring.

1.3.2 Tujuan Khusus

1. Mengetahui gambaran usia dengan karsinoma nasofaring.

2. Mengetahui gambaran jenis kelamin dengan karsinoma nasofaring. 3. Mengetahui gambaran suku dengan karsinoma nasofaring.

4. Mengetahui gambaran pekerjaan dengan karsioma nasofaring.

5. Mengetahui gambaran riwayat keluarga dengan karsinoma nasofaring. 6. Mengetahui gambaran konsumsi ikan asin dengan karsinoma nasofaring


(19)

7. Mengetahui gambaran riwayat merokok dengan karsinoma nasofaring.

1.4 Manfaat Penelitian

1. Bagi instansi kesehatan

Diharapkan hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai bahan informasi guna membantu tenaga kesehatan untuk memberikan pelayanan yang optimal.

2. Bagi pendidikan

Diharapkan agar penelitian ini dapat dijadikan sebagai bahan referensi bagi penelitian selanjutnya

3. Bagi masyarakat

Diharapkan agar penelitian ini dapat meningkatkan pengetahuan masyarakat tentang faktor risiko karsinoma nasofaring.

4. Bagi peneliti

Sebagai pengalaman yang sangat berharga dalam proses pembuatan karya tulis ilmiah serta meningkatkan pengetahuan peneliti akan faktor risiko karsinoma nasofaring.


(20)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi Nasofaring

Nasofaring adalah bagian atas tenggorokan (faring) yang terletak di belakangan hidung. Nasofaring berbentuk seperti sebuah kotak berongga. Dan terletak di bagian lunak atap mulut (soft palate) dan terletak di belakang hidung.

Gambar 2.1 Anatomi Rongga Hidung (American Cancer Society, 2013)

Nasofaring berfungsi untuk melewatkan udara dari hidung menuju ke tenggorokan yang akhirnya ke paru-paru (American Cancer Society, 2013).

Bagian atas nasofaring dibentuk oleh korpus sfenoid dan prosesus basilar os oksipital. Sebelah anterior oleh koana dan pallatum mole, dan sebelah posterior dibentuk oleh vertebra vertikalis, sebelah inferior nasofaring dilanjutkan oleh


(21)

orofaring. Orificium tuba eustachius terletak pada dinding lateral dari nasofaring, dibelakang ujung konka inferior. Di sebelah atas dan belakang dari orifisium tuba eustachius terdapat penonjolan yang dibentuk oleh kartilago eustachius. Dibawah dari ujung posterior penonjolan tersebut terdapat suatu lipatan yang kuat yaitu membran salpingofaringeal. Lipatan membran mukosa yang tidak terlalu menonjol yaitu membran salpingopalatina, meluas ke bagian bawah di depan orifisium eustachius. Kantung disudut faring diantara tepi posterior kartilago eustachius dan dinding posterior dikenal sebagai fosa rosenmuller. Jaringan adenoid juga sering kali ditemukan disekitar orifisium tuba. Atap serta dinding posterior nasofaring merupakan tempat kedudukan jaringan limfoid. Nasofaring sendiri diliputi oleh epitel torak bersilia berlapis semu.

Jaringan adeniod di nasofaring terutama ditemukan pada dinding atas dan posterior, walaupun dapat meluas ke fosa rossenmuller dan orifisium tuba eustachius. Adenoid terdiri dari jaringan limfoid, yang termasuk dalam retikulum jaringan ikat fibrosa yang kuat walaupun lunak. Keadan patologi pada adenoid ditandai oleh adanya hiperplasia jaringan limfoid nasofaring. Epitel yang menutupi permukaan adenoid yang terbuka dan masuk ke dalam resesus dan kripta adalah lapisan epitel torak bersilia berlapis semu, yang merupakan lanjutan dari epitel pernapasan dari dalam hidung dan mukosa sekitar nasofaring (Ballenger JJ, 1994)

Nasofaring diperdarahi melalu cabang arteri karotis eksterna, yaitu faringeal desenden dan asenden serta cabang faringeal arteri sfenopalatina. Darah vena keluar dari pembuluh darah balik faring di permukaan luar dari dinding muskuler yang menuju pleksus pterigoid dan vena jugularis interna(Ballenger JJ, 1994).

Daerah nasofaring mendapat persarafan dari saraf sensorik yang terdiri dari saraf glossofaringeus (N.IX) serta cabang maxilla dari nervus trigeminus (N.V), yang menuju kebagian anterior nasofaring (Ballenger JJ, 1994)

Sistem limfatik nasofaring tersusun atas pembuluh getah bening yang saling bersilangan dibagian tengah dan menuju ke kelenjar rouviere yang terletak dibagian ujung dari retrofaring, seterusnya akan menuju ke kelenjar limfa disepannjang vena


(22)

jugularis dan kelenjar limfa yang terletak dipermukaan supraficial (Ballenger JJ, 1994).

2.2 Histologi Nasofaring

Ketika lahir, epitel nasofaring tersusun atas epitel kolumner pseudokompleks yang melapisi sebagian besar jalan nafas bagian atas. Seiring dengan bertambahnya usia, area epitel tersebut digantikan oleh epitel skuamous kompleks, sehingga sebelum mencapai umur 10 tahun seluruh mukosa nasofaring kecuali yang melapisi dasar adenoid, telah digantikkan oleh epitel skuamous kompleks. Beberapa peneliti mengemukakan bahwa perubahan tersebut teradi tidak di program secara genetik, namun perubahan tersebut merupakan gambaran dari reaksi metaplastik terhadap perubahan lingkungan. Sepanjang dinding nasofaring lateral, tersisa bercak-bercak kecil epitel kolumner pseudokompleks, saling bercampur dengan mukosa skuamous kompleks di regio nasofaring, dimana dua jenis epitel ini bertemu (White MC, 1998)

2.3 Definisi Karsinoma Nasofaring

Karsinoma nasofaring (KNF) adalah tumor ganas yang paling sering tumbuh di daerah nasofaring. Karsinoma adalah kanker yang berasal dari sel-sel epitel dinding dalam dan luar nasofaring (American Cancer Society, 2013).

2.4 Prevalensi Karsinoma Nasofaring

Kasus karsinoma nasofaring di kebanyakan Negara di dunia termasuk Amerika Serikat, masih tergolong jarang. Hanya 1 dari 100.000 penduduk setiap tahunnya yang terkena penyakit ini. Di Amerika Serikat hanya 2900 kasus yang terjadi pada tahun 2013 (American Cancer Society, 2013).

Namun, penyakit ini sering terjadi di Asia dan Afrika Utara. Insiden di Cina Selatan dan Asia Tenggara sekitar 20 sampai 40 per 100.000 jiwa. Di Indonesia, kasus karsinoma nasofaring merupakan kasus tumor yang peling sering di jumpai di telinga, hidung, dan tenggorokan. Survei Departemen Kesehatan pada tahun 1980 menyatakan angka kejadian karsinoma nasofaring 4,7 per 100.000 penduduk atau di


(23)

perkirakan sekitar 8000 hingga 9000 kasus per tahun di seluruh Indonesia (Yang X et al, 2005). Di Bagian THT FK-UI RSCM di periode 1988 hingga 1992 diperoleh sebanyak 511 penderita karsinoma nasofaring (Rozein, 1995). Di RSUP H. Adam Malik Medan pada periode 1998-2000 diperoleh sebanyak 130 penderita karsinoma nasofaring dari 1370 pasien baru onkologi kepala dan leher (Lutan, 2003).

2.5 Klasifikasi Karsinoma Nasofaring

Karsinoma nasofaring bisa diklasifikasikan berdasarakan stadium klinisnya maupun secara hist opatologinya. Cara menentukan stadium klinis karsinoma nasofaring digunakan sistem TNC menurut UICC (1992).

a) T (Tumor Primer)

T0 = Tidak tampak tumor

T1 = Tumor terbatas pada satu lokasi saja (lateral, porterosuperior, atap, dll) T2 = Tumor terdapat pada dua lokasi atau lebih tetapi masih di dalam

rongga nasofaring

T3 = Tumor telah keluar dari rongga nasofaring (ke rongga hidung atau orofaring

T4 = Tumor telah keluar dari nasofaring dan telah merusak tulang tengkorak atau mengenai saraf-saraf otak

Tx = Tumor tidak jelas besarnya karena pemeriksaan tidak lengkap b) N (Pembesaran kelenjar getah bening regional)

N0 = Tidak ada pembesaran kelenjar getah bening

N1 = Terdapat pembesaran kelenjar getah bening homolateral dan masih bisa digerakkan

N2 = Terdapat pembesaran kelenjar getah bening kontralateral/bilateral dan masih bias digerakkan

N3 = Terdapat pembesaran baik secara homolateral/kontralateral/bilateral yang sudah melekat pada jaringan sekitar

c) M (Metastasis jauh)


(24)

M1 = Terdapat metastasis jauh

Dari keterangan di atas, maka karsinoma nasofaring dikelompokkan menjadi 4 stadium, yaitu:

a. Stadium I : T1 N0 M0 b. Stadium II : T2 N0 M0

c. Stadium III : T1/2/3 N1 M0 atau T3 N0 M0

d. Stadium IV : T4 N0 M0 atau T1/2/3/4 N2/3 M0 atau T1/2/3/4 N0/1/2/3 M1 (Bambang SS, 1992).

Secara histopatologi , karsinoma nasofaring dibagi menjadi tipe 1 (karsinoma sel skuamosa dengan keratinasi), tipe 2 (karsinoma sel skuamosa tanpa kertainasi), dan tipe 3 (karsinoma tanpa diferensiasi). Tipe-tipe ini hanya dapat dibedakan di bawah mikroskop. Namun begitu, ketiga tipe tersebut berkembang dari sel yang sama, yaitu sel epitel permukaan nasofaring (American Cancer Society, 2013).

2.6 Etiologi

Penyebab karsinoma nasofaring adalah multifaktoral . Namun faktor-faktor yang berhubungan dengan terjadinya karsinoma nasofaring adalah:

1. Faktor Genetik

Karsinoma nasofaring memang tidak termasuk dalam tumor genetik.Namun kerentanan terhadap kasus ini terhadap kelompok masyarakat tertentu relatif lebih menonjol dan memiliki agregasi keluarga. Beberapa penelitian menunjukan bahwa gen HLA (Human Leukocyte Antigen) serta gen pengkode enzim sitokrom p4502E (CYP2E1) adalah gen yang rentan terhadap karsinoma nasofaring (Nasir, 2009).

Pasien dengan karsinoma nasofaring di Cina berasal dari sub populasi dengan genetik yang khas. Hingga kini HLA adalah satu-satunya sistem genetik yang memiliki hubungan yang erat dengan kanker ini. Lokus HLA yang menyebabkan karsinoma nasofaring adalah lokus HLA-A, B, dan DR yang terletak pada rantai pendek kromosom 6 (Chew, 1997)

Penelitian di Medan didapati bahwa frekwensi alel gen yang paling tinggi pada penderita karsinoma nasofaring adalah gen DRB1*12 dan


(25)

HLA-DQB*0301 dimana alel gen yang paling berpotensi menyebabkan timbulnya karsinoma nasofaring pada suku Batak adalah alel gen HLA-DRB1*08 (Munir D, 2007)

2. Infeksi Virus Eipstein-Barr

Terdapat indikasi kuat bahwa virus eipstein-barr memiliki hubungan langsung terhadap kasus karsinoma nasofaring. Pada pemeriksaan serum pasien asia serta afrika dengan karsinoma primer maupun sekunder memiliki hasil positif untuk antibody Ig G terhadap antigen kapsid virus (VCA) eipstein-barr . Selain itu juga didapatkan Ig A terhadap VCA (VCA-IgA) dengan titer yang tinggi (Nasir, 2009). 3. Faktor Lingkungan

Penelitian terkini menunjukan bahwa terdapat zat-zat yang dapat memicu terjadinya karsinoma nasofaring yaitu golongan nitrosamin seperti yang terdapat pada ikan asin, hidrokarbon polikistik yang terdapat pada asap rokok dan unsur renik pada bahan-bahan yang mengandung renik (Nasir, 2009).

2.7 Patofisiologi

Suatu keganasan pada umumnya dapat terjadi melalu dua mekanisme, yaitu disebabkan oleh lamanya waktu kematian sel yang disebabkan oleh gangguan apoptosis, dan menurunnya waktu siklus sel sehingga sel yang di hasilkan semakin banyak. Gangguan pada gen penekan tumor (TSGs) dan gangguan pada berbagai protoonkogen yang menghambat penghentian siklus sel. Pada keadaan fisiologi berbagai kegiatan pembelahan sel diatur oleh protoonkogen, dimana apabila terjadi mutasi maka dapat timbul suatu onkogen. Onkogen dapat memicu terjadinya kanker karena pembelahan dan pertumbuhan sel terjadi secara patologis.

Virus Epstein-Barr (VEB) sangat dihubungkan dengan kejadian karsinoma nasofaring. VEB dapat menular antar manusia. Infeksi awalnya terjadi pada usia anak-anak. Infeksi akut virus ini biasanya akan sembuh dengan sendirinya. Pada infeksi laten, VEB banyak dijumpai di cairan saliva manusia, sehingga penularannya dapat terjadi secara oral maupun kontak makanan. Pada infeksi laten, DNA dari VEB akan tetap ada didalam sel yang diinfeksinya sebagai episom dalam waktu yang lama


(26)

yaitu sekitar 20-25 tahun tanpa menimbulkan gejala yang kemudian dapat memicu poliferasi sel dan menyebabkan keganasan (Jawetz et al,1996; Pathamanathan dan Raab-Traub, 1999).VEB menginfeksi jaringan epitel di nasofaring dan limfosit B melalui reseptor CR2 (complemen receptor type 2) atau molekul CD21 yang dapat berikatan dengan VEB ( Young et al, 1986). Percobaan in vitro menunjukan bahwa virus ini merupakan aktivator poliferasi poliklonal sel B, dan mengakibatkan sel B yang terinfeksi menjadi tidak dapat dihancurkan, yang selanjutnya dapat berubah menjadi ganas (Jawetz et al., 1996).

Faktor hormonal dan lingkungan berperan dalam patogenesis penyakit ini. Hormon laki-laki lebih didominasi oleh testosteron yang dimana memberikan suatu efek imunosupresif dengan penekanan poliferasi limfosit dan pengurangan produksi limfosit (Bilbo dan Nelson, 2001). Akibat dari respon imun yang tidak optimal maka infeksi dari VEB terus berlanjut hingga menjadi keganasan.

Laki-laki di wilayah timur memiliki kecenderungan untuk lebih banyak beraktifitas di luar rumah dibandingkan dengan perempuan. Hal ini dapat menyebabkan laki-laki akan menerima stres lebih dari perempuan baik itu stres fisik seperti terpapar panas dan dingin, stres psikis seperti rasa emosi, takut, maupun stres sosial seperti konflik pribadi. Keadaan tersebut dapat memicu hipothalamus memproduksi corticotropin releasing hormone (CRH) yang akan merangsang ptuitary gland untuk memproduksi adrenal corticotropic hormon (ACTH). Produksi ACTH akan merangsang kelenjar adrenal untuk menghasilkan glucocorticoid yang selanjutnya dapat mengurangi produksi sitokin sehingga dapat mempengaruhi respon imun humoral maupun seluler (Glaser, 1998).

Zat kimia tertentu diduga berperan dalam terjadinya KNF, seperti nitrosamin. Dimana zat ini banyak ditemukan dalam ikan asin. Bahan kimia ini merupakaan pro-karsinogen dan dapat menjadi suatu mediator untuk mengaktifkan VEB. Mengkonsumsi makanan yang mengandung zat tersebut seperti ikan asin pada usia dibawah 10 tahun , memiliki risiko menderita KNF di usia dewasa (Ning et al, 1990; Ward et al, 2000). Insektisida mengandung bahan kimia seperti dichlorodiphenyl


(27)

trichloroethane (DDT) yang memberikan efek bagi kesehatan. DDT dapat mengakibatkan penurunan dari produksi sel NK pada binatang percobaan namun tidak mempengaruhi respon imun humoral. Di Amerika Serikat, dijumpai adanya peningkatan risiko non-hodgkin lymphoma dan kanker paru akibat dari paparan DDT. (Longnecker et al, 1997).

2.8 Faktor Risiko Karsinoma Nasofaring

Faktor risiko adalah segala sesuatu yang dapat mempengaruhi seseorang mendapati sebuah penyakit seperti kanker. Beda tipe kanker maka berbeda faktor risikonya. Beberapa faktor risiko ada yang dapat dihindari, dan ada yang tidak dapat dihindari. Merokok adalah salah satu contoh faktor risiko yang dapat di hindari. Sedangkan umur dan riwayat keluarga merupakan faktor yang tidak dapat di hindari.

Penelitian membuktikan bahwa ada beberapa faktor risiko yang membuat seseorang menderita karisnoma nasofaring, yaitu :

1. Usia

Sebagian besar penderita KNF berusia diatas 20 tahun, dengan rentang usia terbanyak antara umur 50-70 tahun (Maalej et al,.1995; Munir D, 2006)

Di Sumatera Utara, didapati bahwa kelompok usia 50-59 tahun. Umur penderita yang paling muda adalah 21 tahun sedangkan yang paling tua 77 tahun. (Munir D, 2007). Menurut Nasution (2008), berdasarkan penelitian di RSUP H. Adam Malik Medan, dan RSU Dr. Pringadi Medan, usia terbanyak adalah pada kelompok usia 50-59 tahun sebanyak 28 (29,2%) penderita.

2. Jenis Kelamin

Karsinoma nasofaring lebih sering terjadi pada jenis kelamin laki-laki dibandingkan perempuan, dengan ratio perbandingan laki-laki dengan perempuan 2:1 (American Cancer Society, 2013).

Di Sumatera Utara, Indonesia, di dapati bahwa pada Suku Batak jumlah pasien laki-laki dengan perempuan yang menderita karsinoma nasofaring memiliki perbandingan laki-laki 60% dan wanita 40% ( Munir D, 2006). Sedangkan menurut Nasution (2008), kasus karsinoma nasofaring di RSUP H. Adam Malik Medan, dan


(28)

RSU Dr. Pringadi Medan didapati penderita laki-laki sebanyak 74% dan perempuan sebanyak 26%.

3. Suku dan Bangsa

Karsinoma nasofaring lebih sering terjadi di daerah Asia (suku mongoloid) dibandingkan di daerah Eropa. Sebagai contoh penduduk asli Cina yang berdomisili di Cina Selatan memiliki faktor risiko yang tinggi untuk menderita karsinoma nasofaring. Namun apabila mereka berpindah ke daerah dengan angka kejadian karsinoma nasofaring yang lebih rendah maka faktor risiko mereka akan turun, namun tetap lebih tinggi dibandingkan penduduk lokal tersebut. Namun faktor risiko mereka akan menurun dengan semakin lamanya mereka menetap di lokasi tersebut. Serta generasi selanjutnya yang di lahirkan mereka di tempat dengan angka kejadian karsinoma nasofaring yang rendah akan memiliki faktor risiko yang kecil untuk terkena nasofaring karsinoma (American Cancer Society, 2013). Di Sumatera Utara, Indonesia, karsinoma nasofaring paling banyak dijumpai pada Suku Batak, yaitu 46,7% dari 30 kasus (Lutan dan Zachreini 1999). Menurut Nasution (2008), suku batak menduduki urutan pertama dengan 56.3% dari kasus yang didapati di RSUP H. Adam Malik dan RSU Dr. Pringadi Medan, sedangkan suku jawa merupakan suku kedua penderita KNF dengan 29.2% kasus.

Menurut Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2011, jumlah populasi suku batak pada tahun 2000 berjumlah 4.827.000 dari 11.649.655 (41.44%) penduduk Sumatera Utara, dengan estimasi pada tahun 2010 Suku Batak di Sumatera Utara menjadi 5.602.000 penduduk dari 12.982.204 (41.4%) penduduk di Sumatera Utara dan merupakan suku dengan penduduk terbanyak di Sumatera Utara.

4. Makanan

Penduduk Asia, dan Afrika Utara, dimana merupakan daerah yang terdapat banyak kasus karsinoma nasofaring , rata-rata penduduknya mengkonsumsi makanan makanan ikan dan daging dengan kadar garam yang tinggi (ikan asin). Namun, di Cina angka kejadian karsinoma nasofaring sudah mulai menurun dengan mulai maraknya makanan khas barat disana (American Cancer Society, 2013).


(29)

Mengkonsumsi ikan asin meningkatkan risiko 1,7 hingga 7,5 kali lebih tinggi untuk terkena penyakit ini dibanding dengan yang tidak mengkonsumsi ikan asin. Konsumsi ikan asin lebih dari tiga kali dalam sebulan meningkatkan risiko karsinoma nasofaring (Ondrey FG et al, 2003)

Di Sumatera Utara, Indonesia, didapati sebanyak 74,54% dari penderita memiliki kebiasaan memakan ikan asin hampir setiap hari sebelum umur 10 tahun (Munir D, 2007). Menurut Nasution (2008), di Sumatera Utara didapati sebanyak 79,2 % penderita KNF mengkonsumsi ikan asin dibawah usia 10 tahun.

5. Riwayat Keluarga

Riwayat keluarga terdahulu yang pernah terkena karsinoma nasofaring akan meningkatnya faktor risiko karsinoma nasofaring. Namun masih belum di ketahui secara pasti apakah karena genetik , pola hidup yang serupa, maupun karena keduanya (American Cancer Society, 2013).

Bila ditinjau secara genetika, kerabat pertama, kedua, dan ketiga pasien karsinoma nasofaring memiliki risiko terkena karsinoma nasofaring (Ondrey FG et al,2003). Orang yang memiliki keluarga tingat pertama karsinoma nasofaring memiliki resiko 4 hingga 10 kali terkena karsinoma nasofaring dibandinga yang tidak (Guo X et al, 2009).

Di Semarang, Indonesia, penelitian yang di lakukan di Rumah Sakit Umum Pusar Dokter Kariadi, Semarang dan Laboratorium Biologi Molekular FK UGM, didapati bahwa sebanyak 80% penderita KNF tidak memiliki riwayat keluarga yang menderita kanker (Nuryadin, 2012).

Di Sumatera Utara, Indonesia, didapati bahwa sebanyak 96,9% penderita karsinoma nasofaring memiliki keluarga yang pernah terdiagnosa kanker (Nasution, 2008).

6. Merokok

Rokok memiliki lebih dari 4000 bahan dimana telah diketahui sedikitnya 50 bahan yang terkandung bersifat karinogenik seperti polycyclic aromatic,


(30)

nitrosamines, aromatic amines, aza-arenes, aldehydes, dan lainnya (Haugen, 2000). Menurut Chang ET et al (2006) yang meningkatkan risiko terkena karsinoma nasofaring merokok dapat meningkatkan resiko terkena karsinoma nasofaring sebanyak 2-6 kali. Sekitar 60% karsinoma nasofaring tipe 1 berhubungan dengan kebiasaan merokok.

Beradasarkan jenisnya, rokok dibagi menjadi 4 yaitu rokok kretek dimana berisi tembakau dicampur dengan cengkeh, rokok putih dimana hanya berisi tembakau, rokok linting dimana dibuat dari daun nipah dan tembakau, serta rokok campuran dimana merupakan konsumsi dari ketiga jenis rokok tersebut. Berdasarkan lamanya merokok, merokok dapat dikelompokan sebagai berikut; merekok kurang 10 tahun, merokok selama 10-20 tahun, dan merokok selama lebih dari 20 tahun. Sedangkan klasifikasi jumlah rokok yang di konsumsi perhari dapat dikelompokan sebagai berikut ; ringan (1-10 batang perhari), Sedang (11-20 batang perhari), dan Berat (diatas 20 batang perhari) (Solak et al, 2005)

Di Semarang, Indonesia, didapati sebanyak 60% penderita karsinoma nasofaring memiliki riwayat merokok, sedangkan 40% lainnya tidak memiliki riwayat merokok (Nuryadin, 2012).

Di Sumatera Utara, Indonesia, didapati sebanyak 69,8% penderita karsinoma nasofaring memiliki riwayat merokok, dan sebanyak 51% penderita memulai merokok di usia 10-19 tahun (Nasution, 2008)

7. Pekerjaan

Faktor Lingkungan berkaitan erat dengan pekerjaan sehari-hari. Faktor lingkungan yang diduga kuat berperan mencetus karsinoma nasofaring adalah debu, asap rokok, uap zat kimia, asap kayu bakar, dan lainnya (Yu et al, 1990). Karsinoma nasofaring juga dapat terjadi karena seringnya kontak dengan bahan karsinogen seperti gas kimia , asap industri, asap kayu, dan ekstrak tumbuhan (Mc Dermott et al, 2001). Menurut penelitian Nasution (2008), pasien terbanyak di Sumatera Utara yang terkena karsinoma nasofaring yang berobat ke RSUP H Adam Malik medan dan RSUP Pringadi medan adalah petani dengan jumlah dengan jumlah 31 (32.3%)


(31)

kasus, sedangkan guru memiliki jumlah paling sedikit dengan jumlah 1(1%) kasus. Menurut Munir (2007), di Sumatera Utara, golongan pekerjaan penderita karsinoma nasofaring terbanyak adalah petani dengan 20 (36,3%) kasus, sedangkan yang paling sedikit adalah pegawai swasta dengan 11(20%) kasus.

2.9 Gejala Klinis

Pasien KNF jarang ditemukan asimptomatik. Kebanyakan pasien memiliki berbagai gejala yang onsetnya berbeda-beda dan kadang tidak diperhatikan oleh pasien selama berbulan-bulan (Chew, 1997).

Gejala klinis dibagi menjadi 2 yaitu gejala dini, dan gejala lanjut.

2.9.1 Gejala Dini

a. Gejala telinga

Gejala telinga bisa berupa kurang pendengaran tipe hantaran, rasa penuh di telinga, seperti terisi air, berdengung atau tinitus. Gangguan pendengaran terjadi apabila terjadi perluasan tumor ke sekitar tuba yang mengakibatkan sumbatan. Letak tuba relatif dekat dengan fossa Rosenmuller atau tumor primer, tetapi gejala telinga relatif jarang dibanding gejala tumor metastase di leher (Sudyartono dan Wiratno, 1996).

b. Gejala hidung

Epistaksis yang hebat jarang dijumpai sebagai gejala dini, namun lebih sering dijumpai pada KNF stadium lanjut dengan atau tanpa erosi dasar tengkorak. Sekret hidung dan saliva bercampur darah ketika membuang ludah sering dijumpai. Erosi ke antrum maksila menyerupai sinusitis. Sumbatan hidung total adalah gejala lanjut, apabila terjadi pada stadium dini, maka seringkali disebabkan oleh infeksi sekunder. Rinitis alergi terjadi sebagai akibat nekrosis tumor dan khas pada KNF stadium lanjut (Chew, 1997).


(32)

2.9.2 Gejala Lanjut

Pembesaran leher atau tumor leher merupakan penyebaran yang terdekat secara limfogen dari karsinoma nasofaring. Penyebaran ini dapat menjadi unilateral maupun bilateral. Spesifitas tumor leher sebagai metastase karsinoma nasofaring adalah letak tumor di ujung prosesus mastoid, di belakang angulus mandibula, di dalam muskulus sternokleidomastoideus, keras dan tidak mudah bergerak. Kecurigaan bertambah besar bila pada pemeriksaan rongga mulut, lidah, faring, tonsil, hipofaring dan laring tidak ditemukan kelainan (Roezin et al, 2006). Perluasan tumor ke intra kranial yang menyebar sepanjang fossa medialis, disebut perluasan petrosfenoid. Biasanya melalui foramen laserum dan mengenai grup anterior saraf otak, yaitu Nervus II sampai Nervus VI (Ahmad, 2002).

2.10 Diagnosis

a. Anamnesis dan pemeriksaan fisik

Terdapat satu patokan untuk pemeriksa agar curiga terhadap akan adanya karsinoma nasofaring, seperti di bawah ini:

1. Setiap tumor di leher , ingat akan kemungkinan adanya karsinoma nasofaring , lebih-lebih bila terletak dibawah mastoid dan dibelakangan angulus mandibula. 2. Dugaan akan karsinom nasofaring akan semakin lebih kuat jika diterdapat gejala hidung, mata, telinga, dan saraf.

3. Dugaan karsinoma nasofaring hampir lengkap bila seluruh gejalanya lengkap. Bila kita memakai pedoman yang berpatokan pada tumor leher tersebut, maka kita sudah mendapatakan stadium lanjut, hal ini dikarenakan tumor leher merupakan perluasan dari tumor induk (Bambang SS, 1992)

b. Pemeriksaan penunjang

Ada beberapa pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan untuk memudahkan penegakan suatu diagnosa karisnoma nasofaring, yaitu:

1. CT scan kepala dan leher

Dengan pemeriksaan ini tumor primer yang letaknya tersembunyi dapat lebih mudah ditemukan


(33)

2. Pemeriksaan serologi IgA untuk infeksi virus Epstein-Barr

Pada pemeriksaan ini, hasil yang didapat hanya dapat dipakai untuk menentukan suatu prognosis pengobatan, dikarenakan spesifitasnya yang rendah. Titer yang di dapat berkisar 80 hingga 1280, dan terbanyak pada titer 160 (Rozein et al , 2006)

c. Biopsi

Biopsi merupakan alat diagnostik pasti untuk menegakan karsinoma nasofaring. Biopsi dapat dilakukan dengan 2 cara, yaitu dari mulut dan dari hidun g. Biopsi yang dilakukan melalui hidung disebut juga dengan blind biopsy karena dilakukan tanpa melihat dengan jelas tumornya. Cunam biopsi dimasukan ke dalam rongga hidung, lalu menyusuri konka media ke nasofaring, setelah itu cunam diarahkan ke lateral dan dilakukan biopsi.

Biopsi yang dilakukan melalui mulut dengan bantuan kateter nelaton yang dimasukan melalu hidung dan ujung dari kateter berada dalam mulut ditarik keluar lalu diklem bersama dengan ujung kateter yang berada di hidung sehingga palatum molle tertarik ke atas. Setelah itu, dengan bantuan kaca laring kita lihat daerah nasofaring. Biopsi dilakukan dengan melihat kaca terserbut atau dengan bantuan nasofaringoskop yang dimasukan melalui hidung sehingga masa tumor dapat terlihat dengan jelas. Biopsi tumor dapat dilakukan dengan anastesi topikal yaitu xylocain 10% (Rozein et al , 2006).

d. Bila masih belum didapatkan hasil yang memuaskan, maka dapat dilakukan pengkuretan daerah lateral nasofaring dalam narkosis (Rozein et al , 2006).

2.11 Penatalaksanaan

Pengobatan kanker pada umumnya meliputi tindakan bedah atau operasi, radioterapi , imunoterapi , penggunaan obat-obatan sitostatika, dan hormon

a. Pembedahan

Pembedahan dapat dilakukan melalui pembedahan transpalatal (Diefenbach, Welson) maupun transmaksiler paranasal (Moure Ferguson), namun begitu terapi


(34)

bedah ini tidak terlalu berkembang, dan hasilnya menjadi kurang efektif. Terapi bedah dapat juga dilakukan pada tumor metastase dengan membuang kelenjar limfe yang berada di leher. Operasi ini bertujuan untuk membuang kelenjar limfe yang ada permukaan tetapi sulit untu membuang kelenjar di daerah retrofaring dan parafaring (Guigay J et al, 2006)

b. Radioterapi

Terapi radiasi ditujukan pada daerah tumor induk dan pada daerah perluasannya. Radioterapi dikenal 2 macam, yaitu brakiterapi dan teleterapi. Brakiterapi adalah jenis radioterapi yang dimana sumber sinar dekat dengan tumor dan dipasang dalam tubuh penderita, sedangkan teleterapi bila sumber sinar jauh dari tumor dan di luar tubuh penderita. Teknik penyinaran dengan menggunakan teleterapi diberikan bila ada perluasan tumor ke depan yaitu daerah hidung dan sekitarnya serta belum ada metastase ke kelenjar limfe leher (Guigay J et al, 2006).

c. Obat-obatan Sitostatika

Obat-obatan sitostatika dapat diberikan sebagai obat tunggal maupun kombinasi. Obat tunggal pada umumnya dikombinasikan dengan radioterapi. Obat yang dapat dipergunakan sebagai sitostatika tunggal adalah Bleocyne, Fluorouracyne, methotrexat, metomycine C, Endoxan, dan Cisplastin. Obat ini memberikan efek adiktif dan sinergistik dengan radiasi dan dapat diberikan pada permulaan seri pemberian radiasi. Obat ini bisa juga diberikan sebelum dan sesudah penyinaran sebagai sandwich terapy.

Obat kombinasi dapat diberikan sebagai pengobatan lanjutan setelah radiasi, serta sangat penting pada pengobatan karsinoma yang mengalami kekambuhan. Banyak kombinasi obat ganda yang dipakai antara lain kombinasi: ABUD (Adriamycin, Bleomycin, Umblastin dan Decarbazine), BCMF (Bleomycin, Cyclophosphamide, Methotrexat dan Fluoroacil), dan COMA (Cyclophosphamide, Vincristine, Methotrexat, dan Adriamycin) (Guigay J et al, 2006).


(35)

d. Imunoterapi

Imunoterapi telah banyak dilakukan di klinik onkologi, namun masih dalam research and trial. Untuk karsinoma nasofaring, penelitian telah dilakukan dengan menggunakan interferon dan Poly ICLC (Guigay J et al, 2006).

e. Obat Antivirus

Acyclovir mampu menghambat sinteis DNA virus, sehingga obat antivirus ini penting pada karsinoma nasofaring anaplastik yang merupakan VEB carrying tumor dengan pemeriksaan DNA EBV positif (Guigay J et al, 2006).

2.12 Komplikasi

Toksisitas dari radioterapi mencakup xerostomia, fibrosis dari leher, hipertiroidisme, trismus, kelainan gigi, serta hipoplasia struktur otot dan tulang yang diradiasi. Gangguan pertumbuhan dapat terjadi akibat radioterapi terhadap kelenjar hipofisis. Kehilangan pendengaran sensorineural mungkin dapat terjadi sejalan dengan penggunaan obat cisplatin dan radioterapi. Toksisitas ginjal dapat terjadi kepada pasien yang diberikan ciplastin. Bleomycin meningkatkan risiko menderita fibrosis paru. Osteonekrosis dari mandibula merupakan komplikasi yang langka dari radioterapi dan dapat dihindari dengan perawatan gigi yang tepat (Nasir,2009)

2.13 Pencegahan

Penyebab karsinoma nasofaring yang belum sepenuhnya jelas, maka pencegahan hanya dapat dilakukan dengan menhindarkan dari paparan faktor risiko yang dapat diubah, seperti menghindari polutan-polutan maupun makanan yang dapat menyebabkan karsinoma nasofaring, serta perubahan sosial ekonomi (Rozein et al, 2006)

2.14 Prognosis

Pasien yang berobat ke institusi kesehatan memiliki gejala utama yaitu pembesaran kelenjar getah bening yang dimana sudah merupakan stadium lanjut. Jika sudah terdapat metastase , maka angka harapan hidupnya kira-kira 10%. Dari


(36)

beberapa penelitian, rata-rata angka harapan hidup pasien karsinoma nasofaring sekitar 30 hingga 48% (Witte dan Bryan, 1998)

Angka harapan hidup secara terperinci dibagi atas stadium dari penderita tersendiri. Dimana semakain tinggi stadiumnya , maka semakin kecil angka harapan hidup pasien tersebut. Stadium 1 memiliki angka harapan hidup tertinggi yaitu 72%, staduim 2 sebesar 64%, stadium 3 sebesar 62%, sedangkan stadium 4 sebesar 38% (American Cancer Society, 2013).


(37)

BAB 3

KERANGKA KONSEP DAN DEFINISI OPERASIONAL

3.1. Kerangka Konsep Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran beberapa faktor risiko karsinoma nasofaring. Model kerangka konsep pada penelitian ini adalah model etiologik, maka kerangka konsep penelitian dapat digambarkan sebagai berikut :

_____________________

Gambar 3.1. Kerangka konsep penelitian

Pada kerangka konsep model etiologi diatas merokok, ikan asin, usia, suku/ras, jenis kelamin , dan riwayat keluarga merupakan variabel bebas, sedangkan karsinoma nasofaring merupakan variabel tergantung.

Karsinoma Nasofaring

Usia Suku Jenis Kelamin Riwayat Keluarga

Ikan Asin Merokok Pekerjaan


(38)

3.2. Definisi Operasional

Variabel Definisi Cara Ukur Hasil Ukur Skala

Ukur

Umur Jumlah tahun

hidup responden sejak responden lahir sampai pada

saat diwawancarai. Wawancara dengan menggunakan kuesioner

1. 20-29 tahun 2. 30-39 tahun 3. 40-49 tahun 4. 50-59 tahun 5. >60 tahun

Ordinal

Suku Suku adalah suatu

golongan manusia yang mengidentifikasik an dirinya dengan

sesamanya Wawancara dengan menggunakan kuesioner Nominal Jenis kelamin Jenis kelamin adalah penampilan fisik

dan biologis dari responden Wawancara dengan menggunakan kuesioner. 1.Laki-laki 2.Perempuan Nominal Riwayat Keluarga Riwayat keluarga adalah riwayat keturunan keluarga yang didiagnosis menderita karsinoma Wawancara dengan menggunakan kuesioner 1. Ada 2. Tidak Ada


(39)

nasofaring

Merokok Merokok adalah

membakar tembakau yang kemudian dihisap asapnya, baik menggunakan rokok maupun pipa. Rokok kretek adalah rokok yang

berisi tembakau dicampur dengan

cengkeh. Rokok putih adalah rokok yang berisi tembakau . Rokok

linting adalah rokok yang dibuat

sendiri dari daun nipah dan tembakau. Rokok

campuran adalah rokok kretek , rokok putih, dan

rokok linting. Wawancara dengan menggunakan kuesioner dengan isi pertanyaan : merokok/tidak merokok, usia mulai merokok, lama merokok, jumlah batang rokok yang dihisap per hari,

dan jenis rokok

Status merokok 1.Merokok 2.Tidak Merokok Lama merokok 1.1-10 tahun 2.11-20 tahun

3. > 20 tahun

Jumlah rokok/hari 1.1-10 batang 2.11-20 batang

3. >20 batang

Jenis rokok 1.Kretek 2. Putih 3. Linting 4. Campuran Ordinal

Ikan Asin Ikan Asin adalah

makanan yang terbuat dari ikan

yang awetkan dengan Wawancara dengan menggunakan kuesioner Status konsumsi ikan asin 1. Mengkonsumsi ikan asin 2.Tidak Ordinal


(40)

Karsinoma Nasofaring

Karsinoma Nasofaring adalah tumor ganas epitel yang tumbuh di daerah nasofaring.

Pasien yang telah tegak diagnosa

karsinoma nasofaring.

Data yang di dapat merupakan data pasien karsinoma

nasofaring

Ordinal

Tabel 3.2. Definisi Operasional Variabel Penelitian

menambahkan banyak garam kedalamnya. Mengkonsumsi ikan asin Lama mengkonsumsi ikan asin 1. Jarang (< 1 kali

perbulan) 2. Kadang-Kadang (

<2-3 kali perbulan) 3. Sering ( sedikitnya 1x dalam

seminggu)

Pekerjaan Pekerjaan adalah

Upaya yang dilakukan untuk memenuhi kesejahteraannya Wawancara dengan bantuan kuesioner Pekerjaan: 1. Petani 2. Buruh Pabrik

3. Nelayan 4. PNS 5. Swastaa 6. Tidak Bekerja


(41)

BAB 4

METODE PENELITIAN 4.1 Jenis Penelitian

Jenis penelitian ini adalah penelitian survey yang bersifat desktriptif dengan desain cross-sectional secara prospektif. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran beberapa faktor risiko karsinoma nasofaring di RSUP H.Adam Malik Medan Tahun 2014 dimana akan dilakukan pengumpulan data berdasarkan kuesioner di departemen THT-KL di RSUP. H. Adam Malik dan di Ruang Rawat Inap RSUP H. Adam Malik Medan.

4.2 Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian dilakukan pada bulan September-November2014. Penelitian ini dilakukan di Poli THT-KL, dan di Ruang Rawat Inap di RSUP. H. Adam Malik Medan

4.3 Populasi dan Sampel 4.3.1 Populasi

Populasi dari penelitian ini adalah seluruh penderita karsinoma nasofaring yang ada di RSUP. H. Adam Malik Medan dari bulan Septermber-November 2014.


(42)

4.3.2 Sampel Penelitian

Cara pemilihan sampel untuk penelitian ini adalah secara consecutive sampling dimana seluruh subjek penelitian yang datang dan memenuhi kriteria penelitian dimasukan dalam penelitian dalam penelitian dan dalam kurun waktu tertentu.

Teknik pengambilan sampel penelitian ini secara total sampling, dimana semua subjek yang memenuhi kriteria pemilihan dimasukan .

4.3.3 Kriteria Inklusi dan Eksklusi

A. Kriteria Inklusi dari penelitian ini adalah:

1. Pasien karsinoma nasofaring di Poli THT-KL, dan di Ruang Rawat Inap di RSUP. H. Adam Malik Medan pada bulan September-November 2014.

2. Persetujuan dari pasien.

B. Kriteria Eksklusi dari penelitian ini adalah:

Pasien karsinoma nasofaring yang menolak menjadi subjek penelitian.

4.4 Metode Pengumpulan Data

Data yang digunakan pada penelitian ini adalah data primer. Data primer adalah data yang diperoleh langsung dari pasien melalui pengisian kuesioner.

Kuesioner sebagai alat bantu dalam pengumpulan data, terdiri dari pertanyaan tertutup untuk mengumpulkan data karateristik dan tindakan responden penelitian.

4.5 Pengolahan dan Analisis Data

Data yang terkumpul akan dianalisis secara deskriptif dengan bantuan SPSS versi 17. Data yang telah terkumpul akan disajikan dalam bentuk tabel distribusi frekuensi.


(43)

BAB 5

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

5.1 Hasil Penelitian

Hasil Penelitian ini diperoleh dari wawancara dengan menggunakan bantuan kuesioner kepada penderita karsinoma nasofaring di RSUP H. Adam Malik Medan

5.1.1 Deskripsi Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan di RSUP H. Adam Malik yang beralamat di Jalan Bunga Lau no. 17 Medan, Kelurahan Kemenangan, Kecamatan Medan Tuntungan. RSUP H. Adam Malik merupakan rumah sakit kelas A sesuai dengan SK Menkes No.335/Menkes/SK/VIII/1990. Disamping itu, RSUP H. Adam Malik adalah Rumah Sakit Rujukan untuk wilayah pembangunan A. RSUP H. Adam Malik juga ditetapkan sebagai Rumah Sakit Pendidikan berdasarakan Keputusan Menteri Kesehatan RI No.502/Menkes/IX/1991 tanggal 6 September 1991, dan secara resmi pusat pendidikan Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara dipindahkan ke RSUP H. Adam Malik pada tanggal 11 Januari 1993.


(44)

Data penelitian merupakan hasil wawancara dengan bantuan kuesioner yang berjumlah 63 kasus karsinoma nasofaring.

a. Usia

Tabel 5.1 Distribusi Frekuensi Faktor Risiko Sampel Berdasarkan Usia

Umur Frekuensi (n) Persen (%)

20-29 1 1.6

30-39 3 4.8

40-49 21 33.3

50-59 28 44.4

>=60 10 15.9

Total 63 100

Dari tabel 5.1 dapat dilihat bahwa usia penderita karsinoma nasofaring terbanyak adalah kelompok usia 50-59 tahun dengan jumlah 28 kasus (44.4%) dan yang paling sedikit adalah usia 20-29 tahun dengan jumlah 1 kasus (1.6%).

B. Jenis Kelamin

Tabel 5.2 Distribusi Frekuensi Faktor Risiko Sampel berdasarkan Jenis Kelamin

Jenis Kelamin Frekuensi (n) Persen (%)

Laki-Laki 47 74.6

Perempuan 16 25.4

Total 63 100

Pada tabel 5.2 dapat dilihat bahwa jumlah penderita karsinoma nasofaring paling banyak ditemukan pada laki-laki yaitu sebanyak 47 kasus (74.6%), dan pada perempuan sejumlah 16 kasus (25.4%).

c. Suku


(45)

Suku Frekuensi (n) Presentasi (%)

Batak 33 52.4

China 1 1.6

Jawa 12 19

Melayu 17 27

Total 63 100%

Pada tabel 5.3 dapat dilihat bahwa jumlah kasus karsinoma nasofaring terbanyak didapati pada pasien dengan Suku Batak sebanyak 33 kasus (52.4%), sedangkan yang paling sedikit didapati pada pasien keturunan Cina sebanyak 1 kasus (1.6%) .

d. Pekerjaan

Tabel 5.4 Distribusi Frekuensi Faktor Risiko Karsinoma Nasofaring Berdasarkan Pekerjaan

Pekerjaan Frekuensi (n) Persen (%)

Petani 24 38.1

Buruh Pabrik 4 6.3

Nelayan 3 4.8

PNS 11 17.5

Swast 16 25.4

Tidak Bekerja 5 7.9

Total 63 100

Dari tabel 5.4 dapat dilihat bahwa kelompok pekerjaan yang paling banyak menderita karsinoma nasofaring adalah petani sebanyak 24 kasus (38.1%), dan yang paling sedikit adalah nelayan sebanyak 3 kasus (4.8%).

e. Riwayat Keluarga

Tabel 5.5 Distribusi Frekuensi Faktor Risiko Karsinoma Nasofaring Berdasarkan Riwayat Keluarga


(46)

Karakteristik Frekuensi (n) Persen (%) Riwayat Keluarga

Karsinoma Nasofaring

Ada 3 4.8

Tidak ada 60 95.2

Dari tabel 5.5 didapati bahwa pasien yang memiliki keluarga dengan riwayat karsinoma nasofaring sebanyak 3 kasus (4.8%), sedangkan pasien yang tidak memiliki riwayat keluarga karsinoma nasofaring sebanyak 60 kasus (95.2%).

f. Konsumsi Ikan Asin

Data distribusi frekuensi faktor risiko karsinoma nasofaring berdasarkan konsumsi ikan asin selengkapnya dapat dilihat pada tabel 5.6.

Tabel 5.6 Distribusi Frekuensi Faktor Risiko Karsinoma Nasofaring Berdasarkan Konsumsi Ikan Asin

Karakteristik Frekuensi (n) Persen (%)

Konsumsi Ikan Asin

Ya 63 100

Tidak 0 0

Frekuensi Konsumsi Ikan Asin di Bawah 10 Tahun

Jarang 9 14.3

Kadang-Kadang 27 42.9

Sering 27 42.9

Dari tabel 5.6 dapat dilihat bahwa seluruh sampel memiliki riwayat mengkonsumsi ikan asin dibawah umur 10 tahun. Karakteristik frekuensi dari konsumsi ikan asin dibawah umur 10 tahun dalam penelitian ini dibagi atas 3 kategori: jarang, kadang-kadang, dan sering. Dari hasil penelitian didapati hasil yang


(47)

sama banyaknya antara penderita yang sering mengkonsumsi ikan asin maupun penderita yang kadang-kadang mengkonsumsi ikan asin dibawah umur 10 tahun,yaitu sebanyak 27 kasus (42.9%) , sedangkan hanya 9 kasus (14.3%) yang jarang mengkonsumsi ikan asin dibawah usia 10 tahun.

f. Merokok

Tabel 5.6 Distribusi Frekuensi Faktor Risiko Karsinoma Nasofaring Berdasarkan Riwayat Merokok

Karakteristik Frekuensi (n) Persen (%)

Merokok

Ya 48 76.2

Tidak 15 23.8

Lama Merokok

<10 Tahun 5 10.4

10-20 Tahun 18 37.5

>20 Tahun 25 52.1

Jenis Rokok

Kretek 39 81.3

Putih 9 18.8

Jumlah Per-hari

1-10 10 20.8

10-20 25 52.1

>20 13 27.1

Dari tabel 5.6 didapati bahwa jumlah pasien yang merokok sejumlah 48 kasus (76.2%), sedangkan kelompok yang tidak merokok sebanyak 15 kasus (23.8%). Dari total pasien yang merokok paling banyak telah merokok selama lebih dari 20 tahun


(48)

dengan jumlah pasien sebanyak 25 kasus (52.1%), dengan jenis rokok kretek sebanyak 39 kasus (81.3%), dan mengkonsumsi 10-20 batang rokok perhari sebanyak 25 kasus (52.1%).

5.2 Pembahasan

Pada tabel 5.1. diperoleh bahwa kelompok usia terbanyak yang terkena karsinoma nasofaring adalah dari kelompok usia 50-59 tahun sebanyak 28 kasus (44.4%) , sedangkan kelompok usia 20-29 sebanyak 1 kasus (1.6%).

Umur termuda penderita KNF bervariasi tergantung pada penelitian yang dilakukan. Pada penelitian ini didapatkan 25 tahun merupakan usia termuda penderita KNF, sedangkan pada tahun 2007 di Sumatera Utara didapati penderita KNF termuda berusia 21 tahun (Munir D, 2007)

Nasution (2008), pada penelitiannya menemukan hasil yang serupa yaitu penderita karsinoma nasofaring di RSUP H. Adam Malik Medan dan RSU Dr. Pringadi Medan selama tahun 2007 terbanyak adalah usia 50-59 tahun sebanyak 28 penderita (29.2%).

Munir (2007), pada penelitiannya juga memperolah hasil yang sama yaitu kelompok usia terbanyak menderita karsinoma nasofaring di Sumatera Utara adalah usia 50-59 tahun.

Infeksi VEB awalnya terjadi pada anak-anak. Infeksi akut biasanya tidak menimbulkan gejala dan dapat sembuh dengan sendirinya. VEB menginfeksi jaringan epitel yang berada di nasofaring (Young et al, 1986). Pada infeksi laten, DNA dari VEB akan tetap ada didalam sel yang diinfeksinya sebagai episom dalam waktu yang lama yaitu sekitar 20-25 tahun tanpa menimbulkan gejala yang kemudian dapat memicu poliferasi sel dan menyebabkan keganasan (Jawetz et al,1996; Pathamanathan dan Raab-Traub, 1999). Dengan demikian dapat dipahami bahwa proses keganasan yang terjadi pada KNF akan timbul setelah infeksi laten yang menyebabkan jumlah penderita akan meningkat pada usia dewasa.

Pada tabel 5.2. frekuensi penderita karsinoma nasofaring laki-laki lebih banyak daripada perempuan. Frekuensi penderita karsinoma nasofaring pada laki-laki


(49)

sebanyak 47 kasus (74.6%), sedangkan perempuan sebanyak 16 kasus (25.4%). Hal ini sesuai dari beberapa laporan dari penelitian serupa, yang menyatakan bahwa laki-laki lebih banyak menderita karsinoma nasofaring dibanding perempuan (; Munir, 2007; Nasution, 2008; American Cancer Society, 2013)

Faktor penting yang dapat mempengaruhi hasil diatas adalah faktor hormon dan lingkungan. Hormon laki-laki lebih didominasi oleh testosteron yang dimana memberikan suatu efek imunosupresif dengan penekanan poliferasi limfosit dan pengurangan produksi limfosit (Bilbo dan Nelson, 2001). Akibat dari respon imun yang tidak optimal maka infeksi dari VEB terus berlanjut hingga menjadi keganasan.

Laki-laki di wilayah timur memiliki kecenderungan untuk lebih banyak beraktifitas di luar rumah dibandingkan dengan perempuan. Hal ini dapat menyebabkan laki-laki akan menerima stres lebih dari perempuan baik itu stres fisik seperti terpapar panas dan dingin, stres psikis seperti rasa emosi, takut, maupun stres sosial seperti konflik pribadi. Keadaan tersebut dapat memicu hipothalamus memproduksi corticotropin releasing hormone (CRH) yang akan merangsang ptuitary gland untuk memproduksi adrenal corticotropic hormon (ACTH). Produksi ACTH akan merangsang kelenjar adrenal untuk menghasilkan glucocorticoid yang selanjutnya dapat mengurangi produksi sitokin sehingga dapat mempengaruhi respon imun humoral maupun seluler (Glaser, 1998).Penurunan respon imun tersebut mungkin merupakan salah satu faktor penyebab laki-laki lebih banyak menderita KNF dibandingkan perempuan.

Pada Tabel 5.3 suku terbanyak yang menderita karsinoma nasofaring adalah Suku Batak sebanyak 33 kasus (52.4%). Dapat dilihat juga frekuensi yang terendah yaitu dari suku china sebanyak 1 kasus (1.6%).

Luthan dan Zacherini (1999) dan Nasution (2008), pada penelitiannya menemukan bahwa penderita karsinoma nasofaring di Sumatera Utara terbanyak berasal dari Suku Batak.

Menurut Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2011, jumlah populasi suku batak pada tahun 2000 berjumlah 4.827.000 dari 11.649.655 (41.44%) penduduk Sumatera


(50)

Utara, dengan estimasi pada tahun 2010 Suku Batak di Sumatera Utara menjadi 5.602.000 penduduk dari 12.982.204 (41.4%) penduduk di Sumatera Utara dan merupakan suku dengan penduduk terbanyak di Sumatera Utara. Dengan tingginya jumlah penduduk Suku Batak di Sumatera Utara maka memungkinkan untuk tingginya jumlah penderita KNF yang berasal dari Suku Batak di RSUP H. Adam Malik Medan tahun 2014.

Pada tabel 5.4 didapati distribusi karakterisik pasien berdasarakan kategori pekerjaan ditemukan bahwa pasien dengan pekerjaan petani merupakan jumlah terbanyak, yaitu sejumlah 24 kasus (38.1%), dan yang paling sedikit adalah nelayan yaitu sebanyak 3 kasus (4.8%).

Munir D (2007) dan Nasution (2008) dalam penelitiannya diperoleh bahwa penderita KNF yang paling banyak adalah petani.

Hal ini mungkin terjadi karena paparan dari insektisida yang dipakai oleh petani sehari-harinya. Insektisida mengandung bahan kimia seperti dichlorodiphenyl trichloroethane (DDT) yang memberikan efek bagi kesehatan. DDT dapat mengakibatkan penurunan dari produksi sel NK pada binatang percobaan namun tidak mempengaruhi respon imun humoral. Di Amerika Serikat, dijumpai adanya peningkatan risiko non-hodgkin lymphoma dan kanker paru (Longnecker et al, 1997).

Pada Tabel 5.5. didapati bahwa penderita karsinoma nasofaring sebanyak 60 responden (95.2%) tidak memiliki keluarga yang menderita penyakit serupa,sedangkan hanya 3 responden (4.8%) KNF yang memiliki riwayat keluarga penyakit serupa.

Nuryadin (2012), pada penelitiannya menemukan bahwa sebanyak 80% penderita KNF tidak memiliki keluarga dengan riwayat keluarga KNF.

Hal ini bertentangan dengan American Cancer Society (2013) yang mengatakan bahwa riwayat keluarga terdahulu yang pernah terkena karsinoma nasofaring akan meningkatkan risiko suatu keluarga untuk terkena penyakit serupa.

Hingga saat ini HLA merupakan satu-satunya sistem genetik yang memiliki hubungan dengan karsinoma nasofaring (Chew, 1997). Pola hidup dalam keluarga


(51)

memegang peran dalam kejadian KNF, dimana kebiasaan mengkonsumsi ikan asin orang tua mungkin diturunkan kepada anak sehingga terdapat faktor risiko untuk menderita KNF.

Pada tabel 5.6. didapati sebanyak 63 responden (100%) memiliki riwayat mengkonsumsi ikan asin dibawah usia 10 tahun. Dari hasi penelitian didapati hasil yang sama banyaknya antara penderita yang sering mengkonsumsi ikan asin maupun penderita yang kadang-kadang mengkonsumsi ikan asin dibawah umur 10 tahun,yaitu sebanyak 27 kasus (42.9%) , sedangkan hanya 9 kasus (14.3%) yang jarang mengkonsumsi ikan asin dibawah usia 10 tahun.

Munir (2007), pada penelitiannya didapatkan bahwa sebanyak 74,54% penderita KNF memiliki riwayat mengkonsumsi ikan asin dibawah usia 10 tahun. Nasution (2008), pada penelitiannya didapati bahwa sebanyak 79,2% penderita KNF mengkonsumsi ikan asin dibawah usia 10 tahun.

Zat kimia tertentu diduga berperan dalam terjadinya KNF, seperti nitrosamin. Dimana zat ini banyak ditemukan dalam ikan asin. Bahan kimia ini merupakaan pro-karsinogen dan dapat menjadi suatu mediator untuk mengaktifkan VEB. Mengkonsumsi makanan yang mengandung zat tersebut seperti ikan asin pada usia dibawah 10 tahun , memiliki risiko menderita KNF di usia dewasa (Ning et al, 1990; Ward et al, 2000).

Pada tabel 5.7. didapati jumlah pasien yang merokok sejumlah 48 kasus (76.2%) , sedangkan kelompok yang tidak merokok sebanyak 15 kasus (23.8%) . Dari total pasien yang merokok paling banyak telah merokok selama lebih dari 20 tahun dengan jumlah pasien sebanyak 25 kasus (52.1%), dengan jenis rokok kretek sebanyak 39 kasus (81.3%) , dan mengkonsumsi 10-20 batang rokok perhari sebanyak 25 kasus (52.1%).

Nasution (2008), pada penelitiannya disimpulkan bahwa terdapat hubungan yang bermakna merokok dengan karsinoma nasofaring. Rokok memiliki lebih dari 4000 bahan dimana telah diketahui sedikitnya 50 bahan yang terkandung bersifat karinogenik seperti polycyclic aromatic, nitrosamines, aromatic amines, aza-arenes,


(52)

aldehydes, dan lainnya (Haugen, 2000). Menurut Chang ET et al (2006) merokok dapat meningkatkan resiko terkena karsinoma nasofaring sebanyak 2-6 kali.


(53)

BAB 6

KESIMPULAN DAN SARAN 6.1 Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian yang diperoleh maka dapat disimpulkan sebagai berikut:

1. Usia penderita KNF di RSUP H. Adam Malik Medan tahun 2014 terbanyak adalah usia 50-59 tahun dengan jumlah 28 kasus (44.4%), sedangkan yang paling sedikit adalah usia 20-29 tahun sebanyak 1 kasus (1.6%).

2. Jenis kelamin penderita KNF di RSUP H. Adam Malik Medan tahun 2014 terbanyak adalah laki-laki dengan jumlah 47 kasus (74.6%), dan pada perempuan sebanyak 16 kasus (25.4%).

3. Suku penderita KNF di RSUP H. Adam Malik Medan tahun 2014 terbanyak adalah Suku Batak dengan jumlah 33 kasus (52.4%), sedangkan yang paling sedikit adalah Suku Cina dengan jumlah 1 kasus (1.6%).

4. Pekerjaan penderita KNF di RSUP H. Adam Malik Medan tahun 2014 terbanyak adalah petani dengan jumlah 24 kasus (38.1%), sedangkan yang paling sedikit adalah nelayan dengan jumlah 3 kasus (4.8%).

5. Riwayat keluarga penderita KNF di RSUP H. Adam Malik Medan tahun 2014 yang menderita KNF berjumlah 3 kasus (4.8%), sedangkan yang tidak me nderita KNF berjumlah 60 kasus (95.2%).

6. Penderita KNF di RSUP H. Adam Malik Medan tahun 2014 dengan riwayat mengkonsumsi ikan asin berjumlah 63 kasus (100%).

7. Penderita KNF di RSUP H. Adam Malik Medan tahun 2014 yang memiliki riwayat merokok berjumlah 48 kasus (76.2%), sedangkan yang tidak merokok berjumalah 15 kasus (23.8%) .

6.2 Saran

1. Bagi instansi kesehatan

Terdapat berbagai faktor risiko karsinoma nasofaring yang dapat dicegah sebagai upaya menurunkan faktor risikonya seperti pengkonsumsian rokok,


(54)

ikan asin, dan pemakaian zat kimia yang bersifat karsinogenik. Diharapkan kepada instansi kesehatan dapat melakukan tindakan preventif dan promotif untuk menurunkan risiko penyakit ini.

2. Bagi pendidikan

Masih terdapat banyak faktor risiko karsinoma nasofaring lainnya yang belum diketahui secara pasti, karenanya dibutuhkan penelitian-penelitian lainnya guna mengetahui faktor risiko lainnya.

3. Bagi Masyarakat

Dengan mengetahui gambaran faktor risiko karsinoma nasofaring maka diharapkan masyarakat dapat menghindarkan diri dari paparan faktor risiko yang dapat dicegah.


(55)

DAFTAR PUSTAKA

Ahmad A, 2002, Diagnosis dan Tindakan Operatif Pada Pelaksanaan Karsinoma Nasofaring, Simposium Perkembangan Multimodulitas Penatalaksanaan Karsinoma Nasofaring dan Pengobatan Suportif, Hotel Millenium, Jakarta. American Cancer Society, 2013. Nasopharyngeal Cancer. Available from:

[Accesse May 13]

Ballenger J.J, 1994. Penyakit Telinga, Hidung, Tenggorok, Kepala dan Leher. Edisi ke 13. Binarupa Aksara, Jakarta.

Badan Pusat Statistik. 2011. Kewarganegaraan, Suku Bangsa, Agama dan Bahasa Sehari-hari Penduduk Indonesia; Hasil Sensus Penduduk 2010. Jakarta: Badan Pusat Statistik.

Bambang S.S, 1992. Diagnostik dan Pengelolaan Kanker Telinga , Hidung, Tenggorok, dan Kepala Leher. Semarang: Fakultas Kedokteran Universitas Diponogoro. Hal 2-32.

Bilbo, S.D. and Nelson. R.J. 2001, ‘Sex steroid hormone enhance immune function in Male and Female Siberian Hamsters’. Am J Physiol Regulatory Integrative Comp Physiol, Vol. 280, pp.207-213.

Chang ET, Adami H-O, 2006. The Enigmatic Epidemiology of Nasipharyngeal Carcinoma. Cancer epidemology biomarkers. Available from:

Chew, C.T. 1997. Nasopharynx (the post nasal space). Di dalam: Kerr, A.G., editor. Scott-Brown’s Otolaryngology. Volume ke-5, Ed ke-6. Oxford: Butterworth Heinemann. hlm. 5/13/1-22.

Damayanti S, 1989. Karsinoma Nasofaring. Dalam : Nurbaiti Iskandar, Editor. Tumor Telinga-Hidung-Tenggorok Diagnosis dan Penatalaksanaan, Jakarta: FK UI ; 71-84


(56)

Ganguly NK, Satyanarayana K, Srivastava VK et al, 2003. Epidemiological and etiological factors associated with nasopharyngeal carcinoma. ICMR Bulletin (33): 9. Available from :

Glaser, R., Kiecolt K.J. 1998, ‘ Stress associated Immune Modulation: Revelance to viral Infection and Chronic Fatigue Syndrome’. The American Journal of Medicine, Vol. 105 (3A), pp. 35-42.

Guigay, J., Temam, S., Bourhis, J., Pignon, J.P. dan Armand, J.P. 2006. Nasopharyngeal carcinoma and therapeutic management: the place of chemotherapy. Annals of Oncology 17. Available From :

Guo X, Johnson RC, Deng H, et al, 2009. Evaluation of Non-viral Risk Factors for Nasopharyngeal Carcinoma in a High Risk Population of Southern China. Int.J.Cancer; 124,2942-7. Available From :

Haugen A, 2000. Etiology of Lung Cancer, TextBook of Lung Cancer, Edited: Hansen HH, Denmark, pp. 1-9.

Hsu W-L, Chen J-Y, Chien Y-C,et al, 2009. Independent Effect of EBV and Cigarrette Smoking on Nasopharyngeal Carcinoma: A 20-Year-Follow-Up- Study on 9.622 Males without Family History in Taiwan. Cancer Epidemiology Biomarkers 18: 1218-26. Available From :

Jawetz, E, Melnick, J.L., et al. 1996, ‘ Virologi’. Dalam Mikrobiologi Kedokteran. Alih bahasa Nugroho, E. Maulani, R.F. Edisi ke 20, EGC, Jakarta, pp. 351-76. Longnecker, M.P., Rogan, W.J., Lucier,G., 1997, ‘ The Human Healts effects of DDT and PCBs, and an overview of organochlorines in public healths’. Annu. Rev. Public Healh., Vol.18 pp. 211-244.


(57)

Lutan R, Zachreini I, 1999, ‘ Immunohistochemical corelation between nasopharyngeal Carcinoma and Epstein Barr Virus’. Asean Otorhinolaryngology-Head and Neck Surgery Journal, Vol3(3), pp.257-9 Lutan, R. 2003. Diagnosis dan penatalaksanaan karsinoma nasofaring. Di dalam:

Kumpulan Naskah KONAS XIII PERHATI, Bali: hlm.16.

McDermott AL, Dutt SN, Watkinson JC, 2001. The Etiology Of Nasopharyngeal Carcinoma. Clin Otolaryngoly 26:82-92. Available from:

Maalej, M,. Daoud, J., Bouaounia, N., et al. 1995, ‘Clinical and evolutive aspects of nasopharyngeal T4N0 neoplasm’. Bull Cancer, Vol.82 (9), pp.728-31

Munir D. 2006, ‘ Beberapa aspek KNF Suku Batak di Medan dan Sekitarnnya’. MKN, Vol.39 (3), pp.12-17

Munir D,2007, Disertasi, ‘Asosiasi Antara Alel Gen HLA-DRB1 dan HLA-DQB1 dengan Kerentanan Timbulnya Karsinoma Nasofaring pada Suku Batak, Universitas Sumatera Utara.

Nasir N,2009. Karsinoma Nasofaring. Kedokteran Islam. Available From : [Accesse May 13]

Nasution, I.I. 2008. Hubungan Merokok dengan Karsinoma Nasofaring [Tesis]. Medan: Universitas Sumatera Utara, Program Pasca Sarjana.

Ning, J.P., et al. 1990,’ Consumption of salted fish and other risk factor for nasopharyngeal carcinoma in Tiajin, a low risk region for NPC in the people’s Republic of China’. J Natl Cancer Inst, Vol. 82 (4), pp. 135-8

Nuryadin,I. 2012. Profil Imunopositivitas Protein EBV Pada Penderita Karsinoma Nasofaring dan Individu Sehat Beresiko. Semarang: Universitas Diponogoro. Ondrey FG, Wright SK, 2003. Neoplasms of the Nasopharynx. Ballenger’s

Otorhinolaryngology Head and Neck Surgery. 16th. P 1407-22. Available From :


(58)

Pathmanathan, R. dan Raab-Traub, 1999, ‘ Epstein-Barr Virus’ in Nasopharyngeal Carcinoma, third edition, V.F.H. Chong, S.Y. Taso, Amour Publishing, Singapore, pp.14-21.

Roezin, A. 1995. Deteksi dan pencegahan karsinoma nasofaring. Di dalam: Susworo, R., Tjarta, A., Boedina, S., Poetiray, E.D.C., Kurniawan, A.N., Djoerban, Z. dan Aziz, M.F., editor. Pencegahan dan Deteksi Dini Penyakit Kanker. Jakarta: Perhimpunan Onkologi Indonesia. hlm. 274-88.

Rozein A, Syafril A,2001. Karsinoma Nasofaring, Dalam Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala Leher, edisi kelima. Balai penerbit FK UI, Jakarta : 146

Solak ZA, Kabaroglu C, Cok g , et al, 2005, Effect of Different level of Cigarette Smoking on Lipid Peroxidation , Gluthation Enzymes and Paraoxanese 1 activity in Health People, Clin Exp Med, vol 5. pp 99-105

Sudyartono, T., Wiratno. 1996. Manifestasi klinik sebagai dasar diagnosis karsinoma nasofaring. Di dalam: Kumpulan Naskah Ilmiah PIT PERHATI. Malang: hlm. 841-59.

Vineis P, Alavanja M, Buffler P et al, 2004. Tobacco and Cancer: Recent Epidemiological Evidence. J Nat Cancer Inst. 96(2).99-106. Available From :

Ward, C.J., Lin, F.J., et al. 2000,’ Dietery exposure to nitrite and nitrosamines and risk of nasopharyngeal carcinoma in taiwan’. Int J Cancer, Vol. 86 (5), pp.603-9

Wei, W.I. 2006. Nasopharyngeal cancer. Di dalam: Bailey, B.J., Johnson, J.T. and Newlands, S.D., editor. Head and Neck Surgery Otolaryngology. Ed ke-4. Philadelphia: Lippincot Williams and Wilkins. hlm. 1657-71.


(59)

Witte MC, Bryan H.N, 1998. Nasopharyngeal Cancer. In: Bailey, Byron J. Head and Neck Surgery Otolaryngology. 2nd Ed. Philadelphia: Lippincott-Raven. P.1637-53

Yang X, Diehl S, Pfelffer R, et al, 2005. Evaluation of Risk Factors for Nasopharyngeal Carcinoma in High-Risk Nasopharyngeal Families in Taiwan. Cancer Epidemiology Biomarkers; 14:900-5. Available From :

Young, L.S., et al. 1986,’ Eipstein-Barr Virus receptorson human pharyngeal epitelia’. Lancet, Vol. 1, pp 240-2.

Yu MC et al , 1990 , Occupational and Other Non Dietary Risk Factor for NPC , Int. Journal Cancer , Vol . 45, pp . 1033-9


(1)

Lampiran 2

TABULASI DATA KUESIONER

No Uru t Umur (Tahu n)

Suku Jenis Kelamin Pekerj aan Riwaya t Merok ok Riwaya t konsum si ikan asin Riwaya t Keluar ga dengan KNF Lama Merok ok Jenis Rokok Jumla h Konsu msi Roko k Setiap harin ya

1 >=60 Batak Laki-Laki Tidak Bekerj

a

Ya Ya Tidak Ada

10-20 Tahun

Kretek 10-20

2 50-59 Batak Perempua n

Tidak Bekerj

a

Tidak Ya Tidak Ada

- - -

3 50-59 Batak Laki-Laki Swasta Ya Ya Tidak Ada

>20 Tahun

Kretek >20 4 >=60 Batak Laki-Laki Petani Ya Ya Tidak

Ada

10-20 Tahun

Putih >20 5 40-49 Batak Laki-Laki Swasta Ya Ya Ada 10-20

Tahun

Kretek 10-20 6 40-49 Batak Laki-Laki PNS Ya Ya Tidak

Ada

>20 Tahun

Kretek 10-20 7 50-59 Jawa Perempua

n

Tidak Bekerj

a

Tidak Ya Tidak Ada

- - -

8 50-59 Melay u

Laki-Laki Swasta Ya Ya Tidak Ada

>20 Tahun

Kretek >20 9 >=60 Melay

u

Laki-Laki Swasta Ya Ya Tidak Ada

>20 Tahun

Putih 10-20 10 20-29 Batak Laki-Laki Swasta Ya Ya Tidak

Ada

<10 Tahun

Kretek 1-10 11 40-49 Melay

u

Laki-Laki PNS Ya Ya Tidak Ada

<10 Tahun

Kretek 1-10 12 50-59 Batak Laki-Laki Swasta Ya Ya Tidak

Ada

>20 Tahun

Kretek 10-20 13 40-49 Melay

u

Laki-Laki Nelaya n

Ya Ya Tidak Ada

>20 Tahun

Kretek >20 14 40-49 Batak Laki-Laki PNS Ya Ya Tidak

Ada

>20 Tahun

Putih 10-20 15 50-59 Batak Laki-Laki Petani Ya Ya Tidak

Ada

10-20 Tahun

Kretek 10-20 16 50-59 Batak Laki-Laki Petani Ya Ya Tidak

Ada

>20 Tahun

Putih 10-20 17 40-49 Jawa Laki-Laki Buruh

Pabrik

Ya Ya Tidak Ada

10-20 Tahun

Putih >20 18 50-59 Melay

u

Laki-Laki Swasta Ya Ya Tidak Ada

>20 Tahun

Kretek 1-10 19 40-49 Melay

u

Laki-Laki Buruh Pabrik

Ya Ya Tidak Ada

10-20 Tahun

Kretek 10-20 20 50-59 Melay

u

Laki-Laki PNS Ya Ya Tidak Ada

10-20 Tahun


(2)

21 >=60 Melay u

Laki-Laki Swasta Ya Ya Tidak Ada

>20 Tahun

Kretek >20 22 50-59 Batak Laki-Laki Nelaya

n

Ya Ya Tidak Ada

>20 Tahun

Kretek 10-20 23 50-59 Batak Laki-Laki Petani Ya Ya Tidak

Ada

>20 Tahun

Kretek >20 24 40-49 Batak Perempua

n

PNS Tidak Ya Tidak Ada

- - -

25 50-59 Melay u

Laki-Laki Petani Ya Ya Tidak Ada

10-20 Tahun

Kretek 10-20 26 40-49 Jawa Perempua

n

Buruh Pabrik

Ya Ya Tidak Ada

<10 Tahun

Putih 1-10 27 50-59 Melay

u Perempua n Tidak Bekerj a

Tidak Ya Tidak Ada

- - -

28 50-59 Melay u

Laki-Laki Swasta Ya Ya Tidak Ada

>20 Tahun

Kretek 10-20 29 40-49 Batak Laki-Laki Swasta Ya Ya Tidak

Ada

>20 Tahun

Kretek >20 30 50-59 Melay

u

Laki-Laki PNS Ya Ya Tidak Ada

>20 Tahun

Kretek 1-10 31 >=60 Batak Laki-Laki Petani Ya Ya Tidak

Ada

10-20 Tahun

Putih 1-10 32 50-59 Batak Laki-Laki Petani Ya Ya Tidak

Ada

10-20 Tahun

Kretek 10-20 33 >=60 Batak Laki-Laki Petani Ya Ya Tidak

Ada

>20 Tahun

Kretek 10-20 34 40-49 Jawa Perempua

n

Petani Ya Ya Tidak Ada

<10 Tahun

Kretek 1-10 35 >=60 Melay

u

Laki-Laki Swasta Ya Ya Tidak Ada

>20 Tahun

Kretek 10-20 36 50-59 Batak Laki-Laki Petani Ya Ya Tidak

Ada

10-20 Tahun

Kretek >20 37 40-49 Melay

u

Laki-Laki Petani Ya Ya Tidak Ada

>20 Tahun

Kretek 10-20 38 50-59 Batak Laki-Laki Swasta Ya Ya Ada >20

Tahun

Kretek >20 39 40-49 Batak Perempua

n

Swasta Tidak Ya Tidak Ada

- - -

40 30-39 Melay u

Laki-Laki PNS Ya Ya Tidak Ada

10-20 Tahun

Kretek 10-20 41 40-49 Jawa Laki-Laki Petani Ya Ya Tidak

Ada

<10 Tahun

Kretek 1-10 42 30-39 Batak Laki-Laki Swasta Ya Ya Tidak

Ada

10-20 Tahun

Kretek 10-20 43 >=60 Jawa Laki-Laki Buruh

Pabrik

Ya Ya Tidak Ada

>20 Tahun

Kretek >20 44 30-39 Jawa Perempua

n

PNS Tidak Ya Tidak Ada

- - -

45 50-59 China Laki-Laki Swasta Ya Ya Tidak Ada

10-20 Tahun

Kretek 10-20 46 50-59 Batak Laki-Laki Petani Ya Ya Tidak

Ada

10-20 Tahun

Putih 10-20 47 40-49 Melay

u

Perempua n

Petani Tidak Ya Tidak Ada


(3)

48 50-59 Batak Laki-Laki Petani Ya Ya Tidak Ada

>20 Tahun

Kretek >20 49 50-59 Melay

u

Perempua n

PNS Tidak Ya Tidak Ada

- - -

50 >=60 Jawa Laki-Laki Petani Ya Ya Tidak Ada

>20 Tahun

Kretek 10-20 51 50-59 Batak Laki-Laki Nelaya

n

Ya Ya Tidak Ada

10-20 Tahun

Kretek 10-20 52 >=60 Jawa Laki-Laki Petani Ya Ya Tidak

Ada

>20 Tahun

Kretek 10-20 53 50-59 Batak Laki-Laki Petani Ya Ya Tidak

Ada

>20 Tahun

Kretek >20 54 40-49 Batak Laki-Laki PNS Tidak Ya Tidak

Ada

- - -

55 40-49 Batak Laki-Laki Petani Ya Ya Ada >20 Tahun

Kretek 10-20 56 50-59 Batak Perempua

n

Petani Tidak Ya Tidak Ada

- - -

57 40-49 Batak Laki-Laki Petani Ya Ya Tidak Ada

10-20 Tahun

Putih 10-20 58 50-59 Batak Perempua

n

Petani Tidak Ya Tidak Ada

- - -

59 40-49 Jawa Laki-Laki Petani Ya Ya Tidak Ada

10-20 Tahun

Kretek 1-10 60 40-49 Jawa Perempua

n

Petani Tidak Ya Tidak Ada

- - -

61 40-49 Jawa Perempua n

Tidak Bekerj

a

Tidak Ya Tidak Ada

- - -

62 50-59 Batak Perempua n

PNS Tidak Ya Tidak Ada

- - -

63 50-59 Batak Perempua n

Swasta Tidak Ya Tidak Ada


(4)

(5)

(6)

Lampiran 5

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

Data Pribadi

Nama Lengkap

: Aditya Prakoso

NIM

: 110100111

Tempat dan Tanggal Lahir

: Jakarta, 18 Juli 1993

Agama

: Islam

Status Perkawinan

: Belum Menikah

Nama Ayah

: Ir. Tresna Widya K.

Nama Ibu

: Deliarna

Pekerjaan

: Mahasiswa

Riwayat Pendidikan:

1. Tahun 1999-2004 : SD Islam Al-Azhar Jakapermai, Bekasi.

2. Tahun 2004-2005 : Tamat SDN 010, Pondok Kelapa, Jakarta.

3. Tahun 2005-2008 : Tamat SMPN 109, Jatiwaringin, Jakarta

4. Tahun 2008-2011 : Tamat SMAN 61, Pondok Bambu, Jakarta