Analisis Kendala Pengembangan Perbankan Syari’ah Di Kota Padang Sidempuan (Studi Kasus Pada Bank Sumut Syari’ah Kc. Padang Sidempuan)

9

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1

Pengertian Bank
Pengertian bank menurut UU No. 10 tahun 1998, adalah suatu badan

usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan, dan
menyalurkannya kepada masyarakat dalam bentuk kredit atau bentuk-bentuk
lainnya dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak. Menurut Jonny
Manurung dan Adler Haymans Manurung (2009;7), bank adalah lembaga
keuangan yang menerima setoran dari individu atau badan lainnya. Bank
merupakan lembaga keuangan sebagai tempat interaksi paling sering antar
individu atau badan penerima pinjaman dengan individu atau badan pemberi
pinjaman.
2.2

Perbankan Syari’ah
2.2.1


Pengertian Perbankan Syari’ah
Dalam Undang-Undang No. 21 tahun 2008 pasal 1 ayat 12 tentang

perbankan syari’ah menyatakan bahwa yang dimaksud dengan prinsip
syari’ah adalah prinsip hukum Islam dalam kegiatan perbankan
berdasarkan fatwa yang dikeluarkan oleh lembaga yang memiliki
kewenangan dalam penetapan fatwa dibidang syari’ah. Dari pengertian
bank di atas, maka dapat diambil kesimpulan bahwa bank syari’ah adalah
badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dan menyalurkannya
kepada masyarakat berdasarkan prinsip syari’ah Islam dengan memberi
imbalan berkonsepkan bagi hasil (profit and loss sharing).

9

10

Menurut Andri Soemitra (2009;61), bank syari’ah adalah bank
yang menjalankan kegiatan usahanya berdasarkan prinsip syari’ah, dan
menurut jenisnya terdiri atas Bank Umum Syari’ah (BUS), Unit Usaha

Syari’ah (UUS) dan Bank Pembiayaan Rakyat Syari’ah (BPRS). Bank
Umum Syari’ah adalah bank syari’ah yang dalam kegiatannya memberi
jasa dalam lalu lintas pembayaran. BUS dapat berusaha sebagai bank
devisa dan non-devisa. Unit Usaha Syari’ah (UUS) adalah unit kerja dari
kantor pusat bank umum konvensional yang berfungsi sebagai kantor
induk dari kantor atau unit yang melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan
prinsip syari’ah. Sedangkan Bank Pembiayaan Rakyat Syari’ah (BPRS)
adalah bank yang dalam kegiatannya tidak memberikan jasa dalam lalu
lintas pembayaran. BPRS hanya boleh dimiliki oleh Warga Negara
Indonesia (WNI) dan atau badan hukum Indonesia, pemerintah daerah atau
kemitraan antara WNI atau badan hukum Indonesia dengan pemerintahan
daerah.
2.2.2

Kegiatan dan Produk Perbankan Syari’ah
Dalam kegiatan perbankan syari’ah untuk melayani nasabahnya,

secara teknis hampir sama dengan perbankan konvensional. Karakteristik
sistem perbankan syari’ah yang beroperasi berdasarkan prinsip bagi hasil
memberikan alternatif (alternative-solution) sistem perbankan yang saling

menguntungkan bagi masyarakat dan bank, serta menonjolkan aspekaspek

keadilan

mengedepankan

dalam
nilai-nilai

bertransaksi,
kebersamaan

investasi
dan

yang

beretika,

persaudaraan


dalam

11

berproduksi, dan menghindari kegiatan spekulatif dalam bertransaksi
keuangan. Dengan menyediakan beragam produk serta layanan jasa
perbankan yang beragam dengan skema keuangan yang lebih bervariatif,
perbankan syari’ah menjadi sistem perbankan yang kredibel dan dapat
dinikmati oleh golongan masyarakat Indonesia tanpa terkecuali. Secara
garis besar kegiatan perbankan syari’ah terbagi ke dalam tiga kategori
yang dibedakan berdasarkan fungsinya, yakni penghimpunan dana dari
masyarakat, menyalurkan dana kepada masyarakat dan memberikan
pelayanan jasa yang bervariatif.
1. Penghimpunan dana dari masyarakat
Bank syari’ah menghimpun dana dari masyarakat dengan cara
menawarkan berbagai jenis produk. Berdasarkan fatwa Dewan
Pengawas Syari’ah Nasional (DSN), ada dua prinsip penghimpunan
dana dari masyarakat, yaitu tabungan wadi’ah, tabungan mudharabah.
Dengan menghimpun dana dari masyarakat, maka bank syari’ah akan

memberikan intensif dalam bentuk bonus yang tidak disyaratkan di
muka dan bersifat sukarelauntuk akad wadi’ah dan bagi hasil sesuai
nisbah yang disepakati untuk akad mudharabah.
1) Prinsip wadi’ah
Wadi’ah adalah titipan murni dari pihak penitip (nasabah) ke pihak
yang

dititipi

(bank

syari’ah),

yang

mana

penitip

dapat


mengambilnya kapanpun dia kehendaki. Akad wadi’ah terbagi
kepada dua jenis, yaitu wadi’ah yad amanah dan wadi’ah

12

yaddhamanah. Pada akad wadi’ah yad amanah, pihak bank tidak
boleh menggunakan atau memamfaatkan barang/aset yang dititipi,
melainkan hanya untuk menjaganya. Sedangkan wadi’ah yad
dhamanah , pihak bank boleh memamfaatkan barang/aset yang
dititipi, hal ini didasarkan bahwa bank bertanggung jawab atas
segala kerusakan atau kehilangan yang terjadi pada barang titipan.
Bank berhak atas keuntungan yang diperoleh dari pemamfaatan
barang dan bertanggung jawab penuh atas kerugian (resiko) yang
mungkin terjadi. Produk wadi’ah diaplikasikan bank syari’ah mirip
seperti produk giro dan tabungan pada bank konvensional.
2) Prinsip Mudharabah
Dalam mengaplikasikan prinsip mudharabah, penyimpan atau
deposan bertindak sebagai shahibul maal (pemilik dana) dan bank
sebagai mudharib (pengelola). Dana tersebut digunakan untuk

melakukan mudharabah atau ijarah. Hasil usaha ini akan dibagi
hasilkan berdasarkan nisbah yang disepakati. Dalam hal bank
menggunakannya

untuk

mudharabah

kedua,

maka

bank

bertanggung jawab penuh atas kerugian yang terjadi. Rukun
mudharabah terpenuhi sempurna jika ada pemilik dana, pengelola,
usaha yang akan dibagi hasilkan, nisbah dan ijab kabul. Prinsip
mudharabah ini diaplikasikan pada produk tabungan berjangka dan
deposito berjangka.


13

2. Penyaluran Dana kepada Masyarakat
Bank syari’ah menyalurkan dananya kepada pihak yang membutuhkan
dana (user of fund), agar tidak terjadi idle fund. Bank syari’ah dapat
menyalurkan dananya ke masyarakat dengan menawarkan berbagai
produk dalam bentuk pembiayaan dan penempatan dana lainnya.
Berikut beberapa produk penyaluran dana kepada masyarakat dari
perbankan syari’ah :
1) Prinsip Jual-beli (Ba’i)
Prinsip

jual-beli

dilaksanakan

sehubungan

dengan


adanya

perpindahan kepemilikan barang atau benda. Tingkat keuntungan
bank ditentukan di depan dan menjadi bagian kesepakatan harga
atas barang yang dijual. Transaksi jual-beli dapat dibedakan
berdasarkan bentuk pembiayaan dan waktu penyerahan barangnya,
yakni sebagai berikut :
a. Pembiayaan murabahah, murabahah al-ba’it tsaman ajil atau
lebih dikenal sebagai murabahah yang berasal dari kata
ribhu(keuntungan) adalah transaksi jual-beli , dimana bank
menyebut jumlah keuntungannya. Harga jual dicantumkan
dalam akad dan jika telah disepakati tidak dapat berubah
selama berlakunya akad. Murabahah dilakukan dengan cara
menyerahkan barang kepada nasabah, tentunya setelah akad
dilakukan, sementara pembayaran dilakukan secara tangguh
atau cicilan.

14

b. Pembiayaan salam, adalah transaksi jual-beli dimana barang

yang

diperjualbelikan

belum

ada.

Pemesan

barang

menyerahkan uangnya di tempat dilakukannya akad dan barang
diserahkan secara tangguh. Bank bertindak sebagai pembeli,
sementara nasabah sebagai penjual atau produsen. Dan
biasanya produk ini diaplikasikan pada barang-barang produksi
pertanian (Askarya. 2006).
c. Pembiayaan istisna, produk ini menyerupai produk salam, tapi
dalam istisna pembayaran dapat dilakukan dalam beberapa kali
(termin) pembayaran. Skim istisna’ umumnya diaplikasikan

pada pembiayaan manufaktur dan konstruksi. Ketentuan umum
istisna ialah, spesifikasi barang pesanan harus lebih jelas,
seperti jenis, macam, ukuran, mutu, dan jumlahnya.
2) Prinsip Ijarah
Transaksi ijarah dilandasi dengan adanya perpindahan mamfaat
(hak guna), bukan perpindahan kepemilikan (hak milik). Ijarah
dalam perbankan dikenal dengan operational lease, yaitu kontrak
sewa antara pihak yang menyewa dan pihak penyewa. Biaya
pemeliharaan atas aset yang menjadi objek sewa menjadi
tanggungan pihak yang menyewakan. Dalam transaksi ijarah
dilakukan antra lessor dan lesse atas objek sewa untuk
mendapatkan imbalan atas barang yang disewakan. Bank sebagai

15

lessor yang menyewakan objek sewa, akan mendapatkan imbalan
dari lesse.
3) Prinsip Bagi-hasil (Syirkah)
Syirkah adalah pembagian atas hasil yang telah dilakukan oleh
pihak-pihak yang melakukakan perjanjian, yaitu pihak nasabah dan
pihak bank syari’ah. Pembagian hasil usaha ditetapkan dengan
menggunakan nisbah, yaitu persentase yang disetujui oleh kedua
pihak

dalam

menentukan

bagi

hasil

atas

usaha

yang

dikerjasamakan.
a. Pembiayaan musyarakah, merupakan akad kerja sama usaha
antara dua pihak atau lebih dalam menjalankan usaha, dimana
masing-masing pihak menyertakan modalnya sesuai dengan
kesepakatan, dan bagi hasil atas usaha bersama diberikan
sesuai dengan kontribusi dana atau kesepakatan bersama pada
saat akad dilakukan.
b. Pembiayaan mudharabah, merupakan akad pembiayaan antara
bank syari’ah sebagai shahibul maal dan nasabah sebagai
mudaribuntuk melaksanakan kegiatan usaha, dimana bank
syari’ah memberikan modal sebanyak 100%, dan nasabah
menjalankan usahanya. Hasil usaha mudharabah tersebut akan
dibagi antra bank dengan nasabah ssesuai kesepakatan pada
waktu akad.
3. Pelayanan Jasa

16

Bank syari’ah juga menawarkan produk pelayanan jasa untuk
membantu transaksi yang dibutuhakan oleh pengguna jasa bank
syari’ah. Dengan memberikan pelayanan jasa bank, bank syari’ah akan
memperoleh pendapatan dari pelayanan jasa yang dilakukan atau yang
disebut dengan fee based income.Berikut adalah jasa-jasa perbankan
syari’ah yang ditawarkan kepada nasabhnya :
1) Wakalah, ialah pelimpahan kekuasaan seseorang kepada orang lain
dalam menjalankan amanat tertentu. Dalam aplikasi perbankan
syari’ah terjadi apabila nasabah memberikan kuasa kepada bank
untuk mewakili dirinya melakukan pekerjaan jasa tertentu, seperti
pembukuan L/C, inkaso dan transfer uang.
2) Kafalah, ialah jaminan (guarante), beban, atau tanggungan yang
diberikan oleh penanggung (bank) kepada pihak ketiga untuk
memenuhi kewajiban pihak kedua atau yang ditanggung (nasabah).
Dapat juga berarti mengalihkan tanggung jawab seseorang yang
yang dijamin dengan berpegang pada tanggung jawab orang lain
sebagai penjamin. Atas jasanya tersebut penjamin dapat meminta
imbalan tertentu dari orang yang dijamin (Ascarya. 2007).
3) Hawalah, atau hiwalah ialah merupakan pemindahan (pengalihan)
tanggung jawab pembayaran hutang dari seseorang yang berhutang
kepada orang lain.
4) Rahn, merupakan penyerahan barang yang digunakan sebagai
agunan (jaminan) untuk mendapatkan fasilitas pembiayaan. Akad

17

ini dilaksanakan oleh nasabah (rahin) yang memberikan jaminan
(marhun) kepada bank syari’ah (murtahin).
5) Qard, ialah fasilitas pembiayaan yang diberikan oleh bank syari’ah
dalam membantu pengusaha kecil. Bank syari’ah memberikan
pinjaman qard dalam bentuk qardhul hasan dengan tujuan lebih
kepada sosial. Dana qard berasal dari dana bank dan dana
kebajikan yang terkumpul dari berbagai sumber, antara lain :
Zakat, infak, sedekah, denda, bantuan dari pihak lain dan dana
lainnya.
6) Sharf, merupakan pelayanan jasa bank syari’ah dalam pertukaran
matauang atau antara Valas dengan Rupiah. Pertukaran ini
dibolehkan asalkan digunakan untuk tujuan spekulasi dan sesuai
dengan syarat yang dibenarkan Islam.
2.3

Perbedaan Perbankan Syari’ah denga Konvensional
Dari segi teknis penerimaan uang, perbankan syari’ah dan konvensional

relatif tidak ada bedanya, yakni persamaan dalam mekanisme transfer, teknologi
komputer yang digunakan maupun dalam hal syarat-syarat umum untuk
mendapatkan pembiayaan, seperti pembiayaan yang harus ada KTP, proposal,
laporan keuangan dan sebagainya. Pada umumnya, perbedaan mendasar antara
bank syari’ah dengan konvensional salah satunya terletak pada konsep cara
menerima dan memberi imbalan (bunga)

kepada nasabahnya. Dalam Islam,

bunga bank dianggap riba (tambahan) dalam transaksi atau pinjam-meminjam,

18

dan sangat dilarang oleh Allah SWT. Berikut dalah tebel perbedaan-perbedaan
antara bank syari’ah dan bank konvensional :
Tabel 2.1
Perbedaan Perbankan Syari’ah dengan Konvensional
No
Aspek
1 Legalitas
2 Lembaga
peradilan
3
4
5
6
7
8

9
10

Bank Syari’ah
Hukum positif dan syari’ah
Pengadilan tinggi Badan
Arbitrase Muamalah
Indonesia
Struktur
Direksi dan komisaris Dewan
organisasi
Pengawas Syari’ah (DPS)
Jenis bisnis
Halal
Oriented
Profit dan fallah
Prinsip
Bagi sewa (take risk) jual-beli
operasional
dan sewa
Hubungan dengan Kemitraan, sejajar
nasabah
Lingkungan kerja Syari’ah, etika (akhlak),
dan budaya
siddik, amanah, tablig dan
perusahaan
fathonah
Laporan
Cash basis
keuangan
Sektor moneter
Terkait
dengan sektor riil

Bank Konvensional
Hukum positif
Pengadilan tinggi

Direksi dan komisaris
Halal dan haram
Profit
Bunga (no risk)
Debitur vs kreditur
tak seimbang
Etika dan umum

Accrual basis
Terpisah

Sumber : Kautsar Rizal Salman. 2012;60-61.

2.4

Eksistensi Perbankan Syari’ah
Di era modern ini perbankan syari’ah telah mengalami perkembangan

yang terbilang pesat dan menyebar ke banyak negara, bahkan ke negara-negara
barat. The Islamic Bank International of Denmark tercatat sebagai bank syari’ah
pertama yang beroperasi di Eropa, yakni pada tahun 1983 ( Amir machmud dan
Rukmana. 2010;19).
Eksistensi lembaga keuangan syari’ah dalam perekonomian didasarkan
pada ajaran Islam yang tercantum dalam Al-qur’an, yang sebagaimana artinya :

19

1. Prinsip At-taawun, prinsip saling bekerjasama untuk kebaikan dan
keadilan bersama, seperti firman Allah SWT dalam Al-qur’an yang
sebagaimana artinya :
...“dan tolong-menolonglah kamu dalam berbuat kebajikan dan
taqwa, dan janganlah tolong-menolong dalam berbuat dosa dan
pelanggaran dan bertaaqwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah
amar berat siksa-Nya” (Qs:5;2).
2. Prinsip menghindari Iktinaz, yaitu menahan uang dan membiarkannya
menganggur yang dapat menghambat kelancarann transaksi dalam
masyarakat. Allah berfirman yang sebagaimana artinya :
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan
harta sesamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan
perniagaan yang berlaku sengan suka sama suka diantara kamu
dan janganlah kamu membunuh dirimu sesungguhnya Allah
adalah Maha Penyayang kepamu”(Qs:4;29).
3. Prinsip menghindari riba, Allah SWT melarang sangat jelas riba
melalui firman-Nya, yang sebagaimana artinya :
“Hai orang-orang yang beriman bertaqwalah kamu kepada Allah
dan tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orangorang yang beriman -279- Maka jika kamu tidak mengerjakannya,
maka ketahuilah Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu dan jika
kamu bertaubat, maka bagimu harta pokokmu dan kamu tidak
menganiaya dan tidak pula dianiaya”(Qs:2;278-279).

20

4. Prinsip keadilan dan transparansi.
5. Menunaikan zakat.
Eksistensi perbankan syari’ah di Indonesia pada awalnya didasarkan pada
Undang-Undang (UU) perbankan No. 7 tahun 1992 dimana bank diberikan
kebebasan untuk menentukan jenis imbalan yang akan diambil dari nasabahnya
baik bunga maupun bagi hasil. Eksistensi perbankan syari’ah semakin dipertegas
setelah disahkannya UU No. 10 tahun 1998 tentang perbankan syari’ah sebagai
perubahan dari UU No. 7 tahun 1992 (Asytuti. 2011). UU ini membuka
kesempatan bagi siapa saja yang ingin mendirikan bank syari’ah maupun
mengkonversi diri ke bank syari’ah. Dengan tegas pasal 6 UU No. 10 tahun 1998
membolehkan bank umum yang melakukan kegiatan secara konvensional dapat
juga melakukan kegiatan bisnis berdasarkan syari’at Islam. Selanjutnya eksistensi
perbankan syari’ah diperkukuh lagi dengan UU No. 23 tahun 1999 kemudian
diubah ke UU No. 3 tahun 2004. Keberadaan perbankan syari’ah semakin
diperkuat lagi setelah dikeluarkannya UU No. 21 tahun 2008 yang bertujuan
memberi penjelasan mengenai UU lain yang terkait dengan aktivitas perbankan
syari’ah.
2.5

Teori Kendala Pengembangan Perbankan Syari’ah
Dibalik perkembangan perbankan syari’ah yang begitu pesat masih

terdapat kendala-kendala dalam pengembangannya. Kendala-kendala tersebut
diantaranya, Sumber Daya Manusia (Insani) yang berkualitas dan kompetitif (Anif
Punto Utomo, dkk. 2014), infrastruktur, regulasi dan lain-lain. Menurut

21

Muhammad (2006;92) ada beberapa permasalahan-permasalahan pengembangan
perbankan syari’ah di Indonesia, yaitu :
1. Kesiapan masyarakat Islam dalam menerima kehadiran bank berasaskan
syari’ah. Ada asumsi dasar selama ini keliru dipahami, yakni mayoritas
masyarakat Muslim sudah demikian jauhnya dirasuki virus riba dan
sekaligus sangat menghayati sekularisme, khususnya dalam aspek
keuangan. Akibatnya adalah, selalu saja ada dalih yang diangkat untuk
mengelak dari ajakan kembali ke ajaran Islam murni dan konsekuen. Hal
ini tidak saja terjadi pada masyarakat awam saja, tetapi juga terjadi di
kalangan mereka yang cukup memahami fiqh dan syari’at Islam. Dalam
tataran konsep dan semangat, mereka dengan antusiasme, tetapi pada
tataran praktis, mereka bersifat sebaliknya. Kendati demikian tidak ada
yang menolak kehadiran bank Islam, tetapi sangat sedikit yang mau
melakukan bisnis dengan bank Islam.
2. Adanya kenyataan empiris manajemen rata-rata lembaga keuangan atau
bank Islam. Terlepas dari ketidakpastian sebagain besar masyarakat
Muslim untuk berbisnis dengan pola syari’ah Islam, maka seyogiyanya
manejemen harus secara kritis mampu melakukan evaluasi perkembangan
usaha, termasuk dalam konteks kompetisi dengan lembaga konvensional.
3. Adanya anggapan sebagian masyarakat perihal kemurnian bank syari’ah
yang beroperasi

saat ini. Dalam kemurnian ini, pengamat buku ini

memberikan dua catatan, yaitu :

22

1) Anggapan itu ada benarnya,tetapi ini menyagkut sistem makro
perbankan nasional yang memang tidak mudah direvisi semudah
membalikkan telapak tangan. Keberatan yang diajukan oleh sebagian
anggota masyarakat adalah perihal keterlibatan bank syari’ah dalam
transaksi dengan perbankan konvensional yang masih berdasarkan
riba.
2) Adanya indikasi bahwa manajemen beberapa BPRS baik itu terpaksa
maupun tidak,, melakukan transaksi yang sangat berbau riba. Hal ini
sudah menjadi rahasia umum, sehingga terasa sangat berat bagi
manajemen untuk mengajak masyarakat untuk menghindarkan dari
riba, sementara pihak yang mengajak tidak bersih dari riba.
4. Hambatan yuridis
Banyak yang mengklaim bahwa satu diantara faktor yang menghambat
laju pertumbuhan lembaga keuangan syari’ah adalah aspek yuridis.
Kendati UU No. 7 1992 sudah membuka peluang beroperasinya bank
berdasarkan syari’ah Islam, tetapi peluang tersebut masih mempunyai
hambatan yang terselubung. Namun patut disyukuri, bahwa pada tahuntahun lalu, sudah

peluang jauh lebih besar lagi untuk kehadiran dan

kemajuan lembaga keuangan syari’ah.
2.6

Penelitian Terdahulu
Beberapa penelitian sebelumnya yang sedikit lebihnya berkaitan dengan

permasalahan penelitian ini, yaitu :

23

1. Skripsi yang ditulis oleh Grand Abdul Hakim. F (2010) tentang
analisis kendala penerapan Bank Syari’ah di Lubuk Raja Oku
Sumatera Selatan (studi kasus Desa Battuwinangun). Jenis penilitian
adalah kualitatif -kuantitatif dan menggunakan pendekatan deskriptif
analisis. Dengan menggunakan sampel 130 kepala keluarga yang
berprofesi sebagai pengusaha perkebunan karet. Penelitian ini
menyimpulkan bahwa para pengusaha perkebunan karet pada dasarnya
memiliki pandangan positif terhadap perbankan dengan sistem bagi
hasil. Namun belum adanya sosialisasi dan kerja sama dengan pihak
lembaga-lembaga keuangan syari’ah menjadi kendala utama penerapan
perbankan syari’ah di Desa ini.
2. Skripsi yang ditulis oleh Saiful Ramadhan (2014) dengan judul analisis
potensi menabung dan preferensi masyarakat Kota Padang Sidempuan
terhadap perbankan syari’ah. Penelitian ini menggunakan data
sekunder dan data primer, sedangkan metode penarikan sampel yang
digunakan adalah quota sampling yang menghasilkan 100 responden
yang menjadi sampel dari penelitian ini. Penelitian ini menyimpulkan
bahwa mayoritas masyarakat setuju, dengan penerapan sistem bagi
hasil bank syari’ah di Kota Padang Sidempuan sudah cukup baik
dalam beda hasil dengan bunga dan kesesuaian porsi bagi hasil yang
diberikan.
3. Penelitian (tesis) Muhaimin (2001) tentang eksistensi perbankan
syari’ah dan pengembangannya di Indonesia (kajian terhadap

24

operasional perbankan syari’ah di Nusa Tenggara Barat). Penelitian ini
meenggunakan metode kualitatif dan jenis data yang digunakan, yaitu
data primer dan sekunder. Penelitian ini menggunakan teknik
observasi,

wawancara

dan

studi kepustakaan. Peneleitian ini

menyimpulkan, bahwa : Pertama, masih diperlukan beberapa hukum
dalam upaya pengembangan perbankan syari’ah di Indonesia,
diantaranya tentang perpajakan, penyelesaian sengketa, likuiditas,
instrumen moneter yang berkaitan dengan perbankan syari’ah, prinsip
kehati-hatian dan lain-lain. Kedua, faktor-faktor yang menyebabkan
bank syari’ah di Lombok kurang berkembang dikarenakan : aspek
internal, SDM yang kurang profesional dan amanah, dan aspek
eksternal yaitu masyarakat yang masih kurang memahami prinsipprinsip perbankan syari’ah. Respon masyarakat terhadap kehadiran
bank berkonsepkan bagi hasil secara moral cukup mendukung, namun
tidak diikuti tindakan yang nyata dengan menabunga di bank syari’ah.
2.7

Kerangka Teori dan Konseptual
Menurut Suparyanto (2009), kerangka teori atau kerangka berfikir atau

landasan teori adalah kesimpulan dari tinjauan pustaka yang berisi tentang
konsep-konsep teori yang dipergunakan atau berhubungan dengan penelitian yang
akan dilaksanakan. Sedangkan kerangka konsep adalah abstraksi atau gambaran
yang dibangun dengan menggeneralisasi suatu pengertian.
Berkaitan dengan rumusan masalah penelitian ini, Penulis akan
menggambarkan perkembangan perbankan syari’ah di Kota Padang Sidempuan

25

dengan data-data yang diperoleh, kemudian mencari tahu kendala-kendala apa
sajakah yang masih dihadapi perbankan syari’ah di Kota ini. Dengan
mengidentifikasi dan analisa kendala-kendala yang dihadapi, maka dapat diambil
strategi atau kebijakan-kebijakan apa yang harus dilakukan dalam mencapai
tujuan yang telah ditetapkan atau meminimalisir kelemahan dan kekurangan yang
ada.
Strategi dalam mencapai tujuan organisasi dapat dirumuskan sebelumnya
dengan melakukan suatu analisis terhadap keseluruhan indikasi dalam organisasi
tersebut. Dengan melakukan analisis pemimpin dapat menemukan formula
strategi yang baik untuk mengarahkan organisasi (perusahaan) maju ke depan, dan
bukan hanya terpaku pada rutinitas organisasi saja. Selain itu, kegiatan analisis
organisasi juga dapat digunakan dalam pengambilan keputusan dan pemecahan
masalah.
Salah satu contoh analisis organisasi (perusahaan) yang relatif efisien
untuk digunakan adalah adalah analisis SWOT. Proses SWOT melibatkan
penentuan tujuan yang spesifik dari spekulasi bisnis atau proyek dan
mengidentifikasi faktor internal dan eksternal yang mendukung dan yang tidak
dalam mencapai tujuan tersebut.
Analisis SWOT adalah identifikasi berbagai faktor secara sistematis untuk
merumuskan strategi perusahaan. Analisis SWOT dapat diterapkan dengan cara
menganalisis dan memilah berbagai hal yang mempengaruhi keempat faktornya.
Kemudian menerapkannya ke dalam matrix SWOT, dimana aplikasinya adalah
bagaimana kekuatan mampu mengambil keuntungan dari peluang yang tersedia,

26

bagaimana cara mengatasi kelemahan yang dimiliki untuk mengambil keuntungan
dari peluang yang ada, bagaimana kekuatan mampu menghadapi ancaman yang
ada dan bagaimana cara mengatasi kelemahan yang mampu membuat ancaman
menjadi nyata atau menciptakan sebuah ancaman baru (wiki. 2012).
Dengan menggunakan analisa SWOT organisasi ataupun perusahaan akan
mampu mengembangkan kekuatan potensial dengan memamfaatkan peluang,
serta menekan kelemahan yang dapat menjadi ancaman. Menurut Fredy Rangkuti
(dalam Hifni Rohman) analisa ini didasarkan pada hubungan atau interaksi antra
unsur-unsur internal, yaitu kekuatan dan kelemahan, terhadap unsur-unsur
eksternal yaitu peluang dan ancaman.

Kerangka Konseptual

Lingkungan Internal :
Kekuatan/Potensi,Kelem
ahan/Kendala
Strategi
Pengembangan

Lingkungan Eksternal :
Peluang dan Ancaman

Gambar 2.1
Kerangka Konseptual Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Strategi Pengembangan