Relevansi Administrasi Pembangunan di Ne
Relevansi Administrasi Pembangunan di Negara Berkembang dalam Konteks Otonomi
Khusus di Papua
oleh Astri Sulistiani, Imas Qurhothul Ainiyah, Sarah Permata Amy, Teguh Denggano Patiguna
Essay ini memaparkan mengenai Relevansi Administrasi Pembangunan di Negara
Berkembang. Administrasi pembangunan menurut Siagian (1999: 5) adalah keseluruhan proses
pelaksanaan daripada rangkaian kegiatan yang bersifat pertumbuhan dan perubahan yang
berencana menuju modernitas dalam berbagai aspek kehidupan bangsa dalam rangka nation
building. Menurut Bintoro Tjokroamidjojo (1974: 14) administrasi pembangunan memiliki dua
ciri pokok yaitu orientasi kepada usaha-usaha ke arah perubahan keadaan yang lebih baik
diberbagai bidang kehidupan dengan melaksanakan kegiatan pembangunan serta perbaikan dan
penyempurnaan administrasi dikaitkan dengan aspek perkembangan bidang lain seperti ekonomi,
sosial dan politik. Ruang lingkup administrasi pembangunan menurut Bintoro Tjokroamidjojo
(1974: 14) terdiri dari Development of administration dan Administration of development.
Development of administration
meliputi penyempurnaan administrasi Negara seperti
kepemimpinan, koordinasi, pengawasan, administrasi fungsionil kepegawaian, keuangan, sarana
lain serta perlembagaan dalam arti sempit. Administration of development, meliputi
penyempurnaan administrasi perencanaan dan pelaksanaan pembangunan seperti proses
perumusan kebijakan-kebijakan dan program-program pembangunan yang tercermin dalam suatu
rencana pembangunan atau kerangka kebijakan yang konsisten dalam proses administrasi
maupun ketatanegaraan.
Administrasi pembangunan pada awal pembentukannya ditujukan kepada Negara-negara
berkembang, yaitu Negara-negara dunia ketiga yang memperoleh kedaulatan dengan berbagai
cara untuk lepas dari pemerintah kolonial. Administrasi Pembangunan muali berkembang setelah
berakhirnya Perang Dunia II yang didahului dengan adanya Marshall Plan yaitu perjanjian antara
Negara-negara maju untuk membantu Negara dunia ketiga dalam membenahi permasalahan
mengenai tata kelola pemerintahan. Nilai-nilai potensial dalam administrasi pembangunan dapat
digunakan
sebagai
pedoman
bagi
Negara-negara
berkembang
dalam
melaksanakan
pembangunan nasional. Beberapa nilai potensial tersebut antara lain adalah desentralisasi,
reformasi birokrasi, dan downsizing (pemangkasan struktur birokrasi). Penulis dalam essay ini
akan lebih berfokus untuk membahas relevansi nilai-nilai administrasi pembangunan untuk
memperbaiki birokrasi di Indonesia dalam konteks otonomi khusus di Papua.
Otonomi merupakan sebah kebijakan yang diawali dengan adanya transfer wewenang
dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah melalui desentralisasi kewenangan. Rondinelli
dan Bank Dunia (1999) memaparkan bahwa desentralisasi adalah transfer kewenangan dan
tanggungjawab fungsi-fungsi pemerintahan dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah,
lembaga semi-pemerintah, maupun kepada swasta. Desentralisasi merupakan alat mencapai
tujuan pemberian pelayanan publik yang lebih baik dan menciptakan proses pengambilan
keputusan yang lebih demokratis. Dalam rangka mewujudkan pelayanan publik yang lebih baik
tersebut, pemerintah mengeluarkan kebijakan otonomi daerah dengan mendorong proses
demokratisasi melalui partisipasi masyarakat dalam menyelesaikan masalah-masalah lokal
menggunakan segala potensi dan kreativitas yang dimiliki daerah. Menurut Scott A. Bollens
(2001), kelebihan dari otonomi daerah adalah kalangan minoritas dapat lebih terlibat aktif dalam
politik, menawarkan prospek bagi minoritas untuk mempertahankan kebudayaannya,
meningkatkan kesempatan untuk lahir dan terbangunnya koalisi antar-etnis, dan memberikan
kesempatan yang luas bagi negara-negara yang berpotensi terpecah-belah untuk mengusahakan
jalan keluar secara konstitusional.
Otonomi daerah di Indonesia digunakan sebagai strategi dalam pemerataan
pembangunan. Hal ini disebabkan karena berbagai pertimbangan yaitu Indonesia merupakan
negara kepulauan yang tentunya menimbulkan perbedaan secara geografis di setiap daerahnya.
Selain itu, penerapan desentralisasi ini untuk mengupayakan perkembangan pemerintah daerah
untuk memanfaatkan sumber daya alam di daerahnya, salah satunya adalah melalui pengelolaan
sumber daya. Pengelolaan sumber daya ini tentunya dapat bermanfaat bagi pembangunan
ekonomi di daerah tesebut.
Adanya desentralisasi ini juga membantu pemerintah dalam melakukan pembangunan
nasional. Sebab, pemerintah pusat umumnya mengurusi urusan-urusan yang bersifat umum
seperti kesehatan, pendidikan, fiskal, agama, pertahanan dan keamanan dan moneter dalam
penyelenggaraan negara. Adanya desentralisasi ini tentunya diharapkan mampu untuk
menyelesaikan masalah yang spesifik di masyarakat yang mungkin tidak dapat dijangkau oleh
pemerintah. Sebab, dengan adanya desentralisasi dimana merupakan penyerahan wewenang
kepada pemerintah daerah, yang memiliki peran unuk melayani masyarakat dan pemerintah
daerah juga merupakan pihak yang dekat dengan masyarakat. Sehingga dengan adanya
desentralisasi ini pemerintah dapat mendengarkan keluhan-keluhan masyarakat dan mampu
memenuhi kebutuhan masyarakat. Hal ini tentunya sejalan dengan tujuan desentralisasi yang
diharapkan.
Pada prinsipnya, desentralisasi memiliki beberapa tujuan seperti yang dikemukakan oleh
Sady (dalam Tjokroamidjojo, 1974), yaitu pertama, mengurangi beban pemerintah pusat, dan
campur tangan tentang masalah-masalah kecil pada tingkat lokal. Demikian pula memberikan
peluang untuk koordinasi pelaksanaan pada tingkat lokal. Kedua, desentralisasi juga ditujukan
untuk meningkatkan partisipasi rakyat serta dukungan mereka dalam kegiatan usaha
pembangunan sosial ekonomi. Demikian pula pada tingkat lokal, dapat merasakan keuntungan
dari pada kontribusi kegiatan pengelolaan potensi lokal. Ketiga, penyusunan program-program
untuk perbaikan sosial ekonomi pada tingkat lokal sehingga dapat lebih realistis. Keempat,
melatih rakyat untuk bisa mengatur urusannya sendiri (self government) dan terakhir sebagai
proses pembinaan kesatuan nasional. (Tjokroamidjojo, 1974: 82)
Berkaitan dengan desentralisasi meskipun memiliki beberapa manfaat, namun dalam
perkembangannya terkadang tidak sesuai dengan perencanaan yang ada. Berkaitan dengan hal
tersebut, daerah Papua merupakan daerah di wilayah timur Indonesia yang dapat dikatakan
terisolir. Papua merupakan daerah dengan penduduk miskin cukup banyak. Kemiskinan di Papua
disebabkan karena masyarakatnya sebagian besar memanfaatkan sumber daya hutan sebagai
sandaran utama untuk memenuhi kebutuhan hidup dan sumber mata pencaharian bagi sebagian
besar masyarakat pribumi. Sehingga apabila dilihat dari aspek ekonomi, hampir 50% dari 2,1
juta jiwa di Papua di bawah garis kemiskinan versi Perserikatan Bangsa Bangsa dan untuk
memenuhi kebutuhan hidup, 70% tergantung pada sumber daya hutan.
Selain itu, pembangunan infrastruktur di Papua sangat minim yang mengakibatkan
kesulitan dalam menjangkau wilayah Papua karena prasarana transportasi yang kurang memadai.
Dalam kaitannya dengan pembangunan nasional, Indonesia perlu memperhatikan kawasan timur
khususnya Papua, dimana pelaksanaan pembangunan disana dapat dikatakan lambat karena
berbagai faktor yang mendasarinya. Salah satu faktor yang mendasar yang dikaitkan dengan
desentralisasi adalah pemerintah daerah Papua mengalami kesulitan untuk mengatasi urusannya
sendiri sehingga masih bergantung pada pemerintah pusat terutama soal dana. Pembangunan
nasional sendiri dapat dimulai dengan meningkatkan kesejahteraan masyarakat yang pada
umumnya dilihat dari aspek ekonomi.
Ketergantungan pemerintah daerah Papua terhadap pemerintah pusat terlihat dari
perhatian khusus pemerintah pusat dengan melakukan pemberian otonomi khusus kepada
pemerintah daerah Papua. Dalam proses pembangunan di Papua yang dibantu oleh pemerintah
pusat terlihat dengan meningkatnya transfer dana baik di Provinsi Papua maupun di Papua Barat.
Penerimaan transfer dana dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah papua sebesar IDR
4.8 triliun pada tahun 2008. Pada tahun tersebut total pendapatan lokal mengalami peningkatan
sebesar satu hingga dua triliun. Sementara itu, pemerintah kota menerima transfer dana sebesar
IDR 17,0 trilun (http://bapesdalh.papua.go.id). Tidak hanya itu, status Papua juga berubah
menjadi Daerah Otonomi Khusus. Sasaran dari pemberian otonomi khusus adalah membantu
status kesetaraan Papua dan masyarakat pribumi dari daerah lain di Indonesia dalam hal standar
kehidupan dan kesempatan-kesempatan.
Tujuan dari otonomi khusus ini adalah sebagai alternatif pembangunan dengan
memberikan sebuah kesempatan untuk berinvestasi secara berkesinambungan agar tercipta
pembangunan ekonomi yang kokoh di tingkat Provinsi dan Kabupaten di Papua. Sasaran yang
dituju adalah kuantitas sumber daya yang ada dan membuka daerah baru yang lebih luas dan
terintegrasi, guna meningkatkan ekonomi yang terintegrasi dan bernilai tambah bagi
perekonomian daerah setempat. Dalam pelaksanaan otonomi khusus tersebut dimana berkaitan
dengan tujuannya, pemerintah pusat tentunya harus selektif dalam memberikan otonomi khusus
tersebut. Sebab, pemberian otonomi khusus ini dapat menimbulkan berbagai polemik. Polemik
tersebut dapat berupa kecemburuan antar daerah dimana adanya kecemburuan ini akan
menimbulkan konflik.
Arti otonomi khusus menurut UU No. 21/2001 tentang otonomi khusus bagi propinsi
Papua dalam Bab I perihal ketentuan umum Pasal 1 membatasi arti otonomi khusus adalah
kewenangan khusus yang akui dan diberikan kepada Provinsi Papua untuk mengatur dan
mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi dan
hak-hak dasar masyarakat Papua.
Dalam bab IV tentang kewenangan daerah, pasal 4 disebutkan batas-batas kewenangan
yaitu “Kewenangan provinsi Papua mencakup kewenangan dalam seluruh bidang pemerintahan,
kecuali kewenangan bidang politik luar negeri, pertahanan keamanan,moneter, dan fiskal, agama
dan peradilan serta kewenangan tertentu di bidang lain yang ditetapkan sesuai dengan peraturan
perundang-undangan.” Jadi otonomi khusus artinya pengakuan dan pemberian kewenangan yang
mencakup kewenangan dalam seluruh bidang pemerintahan kecuali lima urusan yang disebutkan
diatas. Jadi keseluruhan urusan pemerintah diberikan kepada pemerintah daerah, sedangkan lima
hal lain yang masih ada di tangan pemerintah pusat.
Pemberian Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua dimaksudkan untuk mewujudkan
keadilan, penegakan supremasi hukum, penghormatan terhadap HAM, percepatan pembangunan
ekonomi, peningkatan kesejahteraan dan kemajuan masyarakat Papua, dalam rangka kesetaraan
dan keseimbangan dengan kemajuan provinsi lain. Otonomi khusus melalui UU 21/2001
menempatkan orang asli Papua dan penduduk Papua pada umumnya sebagai subjek utama.
Orang asli Papua adalah orang yang berasal dari rumpun ras Melanesia yang terdiri dari sukusuku asli di Provinsi Papua dan/atau orang yang diterima dan diakui sebagai orang asli Papua
oleh masyarakat adat Papua. Sedangkan penduduk Papua, adalah semua orang yang menurut
ketentuan yang berlaku terdaftar dan bertempat tinggal di Provinsi Papua.
Keberadaan Pemerintah, Pemerintah Provinsi, Pemerintah Kabupaten/Kota, serta
perangkat di bawahnya, semua diarahkan untuk memberikan pelayanan terbaik dan
pemberdayaan rakyat. Undang-undang ini juga mengandung semangat penyelesaian masalah dan
rekonsiliasi, antara lain dengan pembentukan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi. Pembentukan
komisi ini dimaksudkan untuk menyelesaikan berbagai permasalahan yang terjadi di masa lalu
dengan tujuan memantapkan persatuan dan kesatuan nasional Indonesia di Provinsi Papua
(Karoba)
Selain itu, adanya otonomi khusus menjadikan pemerintah daerah yang menerima
otonomi khusus menjadi bergantung dengan pemerintah pusat terutama masalah terkait dana.
Tetapi, adanya otonomi khusus ini dapat berdampak terhadap pembangunan nasional. Dalam
melakukan pembangunan nasional tentunya perlu pemerataan kesejahteraan masyarakat di setiap
daerah di Indonesia. Adanya otonomi khususnya ini juga, dapat membantu pemerintah daerah
untuk termotivasi supaya menjadi lebih baik lagi. Dalam pemberian otonomi khusus ini terdapat
indikator yang mempengaruhinya dalam pemilihan daerah yang berhak menerima otonomi
khusus yaitu kesejahteraan masyarakat. Upaya kesejahteraan masyarakat dapat diukur melalui
tiga indikator yaitu kewenangan, kelembagaan, dan keuangan. Karakteristik geografis, sejarah,
kultur, dan individu di Papua terdapat dalam UU 21/2001 (nasional.kompas.com). Undang-
Undang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua Nomor 21 tahun 2001 merupakan pengakuan
Pemerintah RI untuk melindungi hak ulayat orang Papua akan tanah, air, dan kekayaan Papua.
Sebuah prasyarat untuk mengangkat orang Papua dari ketertinggalan dibanding saudaranya di
kawasan tengah dan timur (www.kemitraan.or.id). Salah satu amanat penting dalam perumusan
kedua UU itu adalah akselerasi pembangunan. Idealnya, UU Otsus dan turunannya yang
bermuara kepada kesejahteraan harus memberi wewenang khusus, kelembagaan khusus, dan
keuangan khusus (nasional.kompas.com)
Akan tetapi, pemberian otonomi khusus tersebut masih mengalami permasalahan yaitu
sasaran yang ingin dicapai oleh pemerintah belum menunjukkan dampak yang positif.
Penyebabnya adalah tingginya transfer dana dari pemerintah pusat kepada pemerintah lokal telah
menarik masyarakat Indonesia untuk melakukan migrasi di Papua. Migrasi masyarakat luar
Papua yang tinggi tersebut merubah membuat masyarakat Papua menjadi minoritas. Meskipun
dengan datangnya masyarakat luar tersebut juga bermanfaat dalam hal berbagi keterampilan dan
pengetahuan dan pengembangan kemampuan. Daya dukung institusi dan kualitas sumber daya
manusia yang rendah menyebabkan pembangunan infrastruktur menjadi terhambat. Pada
umumnya pemerintah Kabupaten dan juga Pemerintah Provinsi masih baru dan belum
berpengalaman. Para pembuat kebijakan di beberapa Kabupaten baru memprioritaskan
pengembangan pendapatan ekonomi jangka pendek yang diperoleh industri ekstraktif.
Pada dasarnya, proses pembangunan oleh Pemerintah Indonesia di Tanah Papua baru
efektif dimulai pada awal tahun 1980an. Itupun masih sangat bersifat sporadis, belum sempat
terencana secara matang seperti yang telah dilakukan di provinsi lainnya dengan format
REPELITA-GBHN. Terlambatnya mengawali proses pembangunan tersebut lebih disebabkan
oleh kesibukan Pemerintah dalam hal penyelesaian masalah politik kembalinya Irian Barat ke
Pangkuan Ibu Pertiwi. Bersamaan dengan itu, akselerasi pertumbuhan yang terjadi di berbagai
daerah di Indonesia tidak dapat diimbangi oleh kemajuan pembangunan di Tanah Papua Kondisi
ini, diperburuk oleh pola sentralistik di bawah pengaruh kekuasaan Orde Baru, yang
ternyata telah menggiring eksistensi masyarakat Papua ke dalam situasi enclave. Praktis, hal
ini menjadi motif utama bagi munculnya ketidakpuasan yang menyuburkan intensitas
pergerakan
kemerdekaan
politik bagi sebagian komponen masyarakat, setelah merasa
dikecewakan dalam peristiwa Pepera Tahun 1969 (www.kemitraan.or.id).
Kemiskinan
dan
keterbelakangan
yang
mendalam
di
Papua,
sudah
pada
tempatnya, diakui sebagai kegagalan pendekatan pembangunan Papua selama masa Orde Baru.
Dibanding kawasan Indonesia lainnya, Papua merupakan kawasan dengan
keterbelakangan
yang
paling
tinggi.
Kondisi
keterbelakangan ini,
secara
kondisi
internal,
disebabkan lima hal utama, yaitu bahwa pada saat menjadi bagian dari Indonesia, sebagian
besar masyarakat Papua hidup dalam kondisi keterbelakangan, atau dalam bahasa akademis
disebut primitive; tidak
terdapat
infrastruktur
fisik,
dalam
arti
transportasi
dan
telekomunikasi, yang memadai, bahkan pada tingkat paling minimal; rendahnya tingkat
kesejahteraan dan kesehatan karena rendahnya tingkat pendidikan; rendahnya kemampuan dari
sumberdaya manusia di kawasan ini untuk dapat secara langsung masuk ke dalam “mesin”
pembangunan yang berjalan dengan “mode” masyarakat dengan kondisi seperti di Jawa dan
kawasan lain yang lebih maju dari Papua; serta rendahnya kemampuan dari sumberdaya manusia
di
jajaran
elit
lokal
untuk
menjadi
bagian
dari
sistem
kepemerintahan
modern.
(www.kemitraan.or.id)
Keterkaitan antara administrasi pembangunan dalam hal ini adalah terlihat pada upayaupaya yang digunakan oleh pemerintah Papua dalam memanfaatkan potensi lokal untuk
membangun daerahnya. Untuk meningkatkan pembangunan dan potensi yang dimiliki oleh
Papua, pemerintah pusat mengeluakan kebijakan otonomi khusus kepada daerah Papua.
Kebijakan otonomi khusus memberikan kesempatan kepada pemerintah Papua untuk
berinvestasi secara berkesinambungan agar tercipta pembangunan ekonomi yang kokoh di
tingkat Provinsi dan Kabupaten di Papua.
·
Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa relevansi nilai-nilai administrasi
pembangunan masih belum terlihat. Berkaitan dengan konteks otonomi khusus daerah Papua,
sejatinya otonomi khusus dimaksudkan untuk mewujudkan keadilan, penegakan supremasi
hukum, penghormatan terhadap HAM, percepatan pembangunan ekonomi, peningkatan
kesejahteraan dan kemajuan masyarakat Papua, dengan mengandalkan potensi daerah sendiri
dalam rangka kesetaraan dan keseimbangan dengan kemajuan provinsi lain. Namun
kenyataannya, masih ada permasalahan yang terjadi sampai saat ini. Salah satunya adalah
sasaran yang ingin dicapai oleh pemerintah belum menunjukkan dampak yang positif.
Penyebabnya adalah tingginya transfer dana dari pemerintah pusat kepada pemerintah lokal telah
menarik masyarakat Indonesia untuk melakukan migrasi di Papua. Migrasi masyarakat luar
Papua yang tinggi tersebut merubah membuat masyarakat Papua menjadi minoritas. Meskipun
datangnya imigran dari luar Papua dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi, namun ini juga
menghambat pribumi untuk dapat berkembang, karena sampai saat ini masih banyak masyarakat
pribumi Papua yang masih terbelakang. Selain itu, masih banyaknya konflik juga menghambat
pembangunan di daerah Papua.
Daftar Pustaka
Hayati, Tri dkk, 2005. Administrasi Pembangunan: Suatu Pendekatan Hukum dan
Perencanaannya. FH UI
Siagian, Sondang P., 1999. Administrasi Pembangunan: Konsep, Dimensi dan Strateginya.
Jakarta : PT Bumi Aksara.
Tjokroamidjojo, Bintoro. 1974. Pengantar Administrasi Pembangunan. Jakarta: LP3ES.
http://bapesdalh.papua.go.id/page/62/tantangan-pembangunan-di-papua-dan-langkah-ke-depan-dibawahmp3ei.htm diakses 3 juni 2015
http://nasional.kompas.com/read/2012/07/03/04083978/Menakar.Otonomi.Khusus.Aceh.dan.Papua
diakses 3 juni 2015
http://www.kemitraan.or.id/sites/default/files/Kinerja%20Otsus%20Papua.pdf diakses pada 3 juni 2015
Karoba, Sem, dkk. 2005. PAPUA MENGGUGAT :Teori PolitikOtonomisasi NKRI di
PAPUA BARAT. Yogyakarta: watch PAPUA dan Galang press.
Khusus di Papua
oleh Astri Sulistiani, Imas Qurhothul Ainiyah, Sarah Permata Amy, Teguh Denggano Patiguna
Essay ini memaparkan mengenai Relevansi Administrasi Pembangunan di Negara
Berkembang. Administrasi pembangunan menurut Siagian (1999: 5) adalah keseluruhan proses
pelaksanaan daripada rangkaian kegiatan yang bersifat pertumbuhan dan perubahan yang
berencana menuju modernitas dalam berbagai aspek kehidupan bangsa dalam rangka nation
building. Menurut Bintoro Tjokroamidjojo (1974: 14) administrasi pembangunan memiliki dua
ciri pokok yaitu orientasi kepada usaha-usaha ke arah perubahan keadaan yang lebih baik
diberbagai bidang kehidupan dengan melaksanakan kegiatan pembangunan serta perbaikan dan
penyempurnaan administrasi dikaitkan dengan aspek perkembangan bidang lain seperti ekonomi,
sosial dan politik. Ruang lingkup administrasi pembangunan menurut Bintoro Tjokroamidjojo
(1974: 14) terdiri dari Development of administration dan Administration of development.
Development of administration
meliputi penyempurnaan administrasi Negara seperti
kepemimpinan, koordinasi, pengawasan, administrasi fungsionil kepegawaian, keuangan, sarana
lain serta perlembagaan dalam arti sempit. Administration of development, meliputi
penyempurnaan administrasi perencanaan dan pelaksanaan pembangunan seperti proses
perumusan kebijakan-kebijakan dan program-program pembangunan yang tercermin dalam suatu
rencana pembangunan atau kerangka kebijakan yang konsisten dalam proses administrasi
maupun ketatanegaraan.
Administrasi pembangunan pada awal pembentukannya ditujukan kepada Negara-negara
berkembang, yaitu Negara-negara dunia ketiga yang memperoleh kedaulatan dengan berbagai
cara untuk lepas dari pemerintah kolonial. Administrasi Pembangunan muali berkembang setelah
berakhirnya Perang Dunia II yang didahului dengan adanya Marshall Plan yaitu perjanjian antara
Negara-negara maju untuk membantu Negara dunia ketiga dalam membenahi permasalahan
mengenai tata kelola pemerintahan. Nilai-nilai potensial dalam administrasi pembangunan dapat
digunakan
sebagai
pedoman
bagi
Negara-negara
berkembang
dalam
melaksanakan
pembangunan nasional. Beberapa nilai potensial tersebut antara lain adalah desentralisasi,
reformasi birokrasi, dan downsizing (pemangkasan struktur birokrasi). Penulis dalam essay ini
akan lebih berfokus untuk membahas relevansi nilai-nilai administrasi pembangunan untuk
memperbaiki birokrasi di Indonesia dalam konteks otonomi khusus di Papua.
Otonomi merupakan sebah kebijakan yang diawali dengan adanya transfer wewenang
dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah melalui desentralisasi kewenangan. Rondinelli
dan Bank Dunia (1999) memaparkan bahwa desentralisasi adalah transfer kewenangan dan
tanggungjawab fungsi-fungsi pemerintahan dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah,
lembaga semi-pemerintah, maupun kepada swasta. Desentralisasi merupakan alat mencapai
tujuan pemberian pelayanan publik yang lebih baik dan menciptakan proses pengambilan
keputusan yang lebih demokratis. Dalam rangka mewujudkan pelayanan publik yang lebih baik
tersebut, pemerintah mengeluarkan kebijakan otonomi daerah dengan mendorong proses
demokratisasi melalui partisipasi masyarakat dalam menyelesaikan masalah-masalah lokal
menggunakan segala potensi dan kreativitas yang dimiliki daerah. Menurut Scott A. Bollens
(2001), kelebihan dari otonomi daerah adalah kalangan minoritas dapat lebih terlibat aktif dalam
politik, menawarkan prospek bagi minoritas untuk mempertahankan kebudayaannya,
meningkatkan kesempatan untuk lahir dan terbangunnya koalisi antar-etnis, dan memberikan
kesempatan yang luas bagi negara-negara yang berpotensi terpecah-belah untuk mengusahakan
jalan keluar secara konstitusional.
Otonomi daerah di Indonesia digunakan sebagai strategi dalam pemerataan
pembangunan. Hal ini disebabkan karena berbagai pertimbangan yaitu Indonesia merupakan
negara kepulauan yang tentunya menimbulkan perbedaan secara geografis di setiap daerahnya.
Selain itu, penerapan desentralisasi ini untuk mengupayakan perkembangan pemerintah daerah
untuk memanfaatkan sumber daya alam di daerahnya, salah satunya adalah melalui pengelolaan
sumber daya. Pengelolaan sumber daya ini tentunya dapat bermanfaat bagi pembangunan
ekonomi di daerah tesebut.
Adanya desentralisasi ini juga membantu pemerintah dalam melakukan pembangunan
nasional. Sebab, pemerintah pusat umumnya mengurusi urusan-urusan yang bersifat umum
seperti kesehatan, pendidikan, fiskal, agama, pertahanan dan keamanan dan moneter dalam
penyelenggaraan negara. Adanya desentralisasi ini tentunya diharapkan mampu untuk
menyelesaikan masalah yang spesifik di masyarakat yang mungkin tidak dapat dijangkau oleh
pemerintah. Sebab, dengan adanya desentralisasi dimana merupakan penyerahan wewenang
kepada pemerintah daerah, yang memiliki peran unuk melayani masyarakat dan pemerintah
daerah juga merupakan pihak yang dekat dengan masyarakat. Sehingga dengan adanya
desentralisasi ini pemerintah dapat mendengarkan keluhan-keluhan masyarakat dan mampu
memenuhi kebutuhan masyarakat. Hal ini tentunya sejalan dengan tujuan desentralisasi yang
diharapkan.
Pada prinsipnya, desentralisasi memiliki beberapa tujuan seperti yang dikemukakan oleh
Sady (dalam Tjokroamidjojo, 1974), yaitu pertama, mengurangi beban pemerintah pusat, dan
campur tangan tentang masalah-masalah kecil pada tingkat lokal. Demikian pula memberikan
peluang untuk koordinasi pelaksanaan pada tingkat lokal. Kedua, desentralisasi juga ditujukan
untuk meningkatkan partisipasi rakyat serta dukungan mereka dalam kegiatan usaha
pembangunan sosial ekonomi. Demikian pula pada tingkat lokal, dapat merasakan keuntungan
dari pada kontribusi kegiatan pengelolaan potensi lokal. Ketiga, penyusunan program-program
untuk perbaikan sosial ekonomi pada tingkat lokal sehingga dapat lebih realistis. Keempat,
melatih rakyat untuk bisa mengatur urusannya sendiri (self government) dan terakhir sebagai
proses pembinaan kesatuan nasional. (Tjokroamidjojo, 1974: 82)
Berkaitan dengan desentralisasi meskipun memiliki beberapa manfaat, namun dalam
perkembangannya terkadang tidak sesuai dengan perencanaan yang ada. Berkaitan dengan hal
tersebut, daerah Papua merupakan daerah di wilayah timur Indonesia yang dapat dikatakan
terisolir. Papua merupakan daerah dengan penduduk miskin cukup banyak. Kemiskinan di Papua
disebabkan karena masyarakatnya sebagian besar memanfaatkan sumber daya hutan sebagai
sandaran utama untuk memenuhi kebutuhan hidup dan sumber mata pencaharian bagi sebagian
besar masyarakat pribumi. Sehingga apabila dilihat dari aspek ekonomi, hampir 50% dari 2,1
juta jiwa di Papua di bawah garis kemiskinan versi Perserikatan Bangsa Bangsa dan untuk
memenuhi kebutuhan hidup, 70% tergantung pada sumber daya hutan.
Selain itu, pembangunan infrastruktur di Papua sangat minim yang mengakibatkan
kesulitan dalam menjangkau wilayah Papua karena prasarana transportasi yang kurang memadai.
Dalam kaitannya dengan pembangunan nasional, Indonesia perlu memperhatikan kawasan timur
khususnya Papua, dimana pelaksanaan pembangunan disana dapat dikatakan lambat karena
berbagai faktor yang mendasarinya. Salah satu faktor yang mendasar yang dikaitkan dengan
desentralisasi adalah pemerintah daerah Papua mengalami kesulitan untuk mengatasi urusannya
sendiri sehingga masih bergantung pada pemerintah pusat terutama soal dana. Pembangunan
nasional sendiri dapat dimulai dengan meningkatkan kesejahteraan masyarakat yang pada
umumnya dilihat dari aspek ekonomi.
Ketergantungan pemerintah daerah Papua terhadap pemerintah pusat terlihat dari
perhatian khusus pemerintah pusat dengan melakukan pemberian otonomi khusus kepada
pemerintah daerah Papua. Dalam proses pembangunan di Papua yang dibantu oleh pemerintah
pusat terlihat dengan meningkatnya transfer dana baik di Provinsi Papua maupun di Papua Barat.
Penerimaan transfer dana dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah papua sebesar IDR
4.8 triliun pada tahun 2008. Pada tahun tersebut total pendapatan lokal mengalami peningkatan
sebesar satu hingga dua triliun. Sementara itu, pemerintah kota menerima transfer dana sebesar
IDR 17,0 trilun (http://bapesdalh.papua.go.id). Tidak hanya itu, status Papua juga berubah
menjadi Daerah Otonomi Khusus. Sasaran dari pemberian otonomi khusus adalah membantu
status kesetaraan Papua dan masyarakat pribumi dari daerah lain di Indonesia dalam hal standar
kehidupan dan kesempatan-kesempatan.
Tujuan dari otonomi khusus ini adalah sebagai alternatif pembangunan dengan
memberikan sebuah kesempatan untuk berinvestasi secara berkesinambungan agar tercipta
pembangunan ekonomi yang kokoh di tingkat Provinsi dan Kabupaten di Papua. Sasaran yang
dituju adalah kuantitas sumber daya yang ada dan membuka daerah baru yang lebih luas dan
terintegrasi, guna meningkatkan ekonomi yang terintegrasi dan bernilai tambah bagi
perekonomian daerah setempat. Dalam pelaksanaan otonomi khusus tersebut dimana berkaitan
dengan tujuannya, pemerintah pusat tentunya harus selektif dalam memberikan otonomi khusus
tersebut. Sebab, pemberian otonomi khusus ini dapat menimbulkan berbagai polemik. Polemik
tersebut dapat berupa kecemburuan antar daerah dimana adanya kecemburuan ini akan
menimbulkan konflik.
Arti otonomi khusus menurut UU No. 21/2001 tentang otonomi khusus bagi propinsi
Papua dalam Bab I perihal ketentuan umum Pasal 1 membatasi arti otonomi khusus adalah
kewenangan khusus yang akui dan diberikan kepada Provinsi Papua untuk mengatur dan
mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi dan
hak-hak dasar masyarakat Papua.
Dalam bab IV tentang kewenangan daerah, pasal 4 disebutkan batas-batas kewenangan
yaitu “Kewenangan provinsi Papua mencakup kewenangan dalam seluruh bidang pemerintahan,
kecuali kewenangan bidang politik luar negeri, pertahanan keamanan,moneter, dan fiskal, agama
dan peradilan serta kewenangan tertentu di bidang lain yang ditetapkan sesuai dengan peraturan
perundang-undangan.” Jadi otonomi khusus artinya pengakuan dan pemberian kewenangan yang
mencakup kewenangan dalam seluruh bidang pemerintahan kecuali lima urusan yang disebutkan
diatas. Jadi keseluruhan urusan pemerintah diberikan kepada pemerintah daerah, sedangkan lima
hal lain yang masih ada di tangan pemerintah pusat.
Pemberian Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua dimaksudkan untuk mewujudkan
keadilan, penegakan supremasi hukum, penghormatan terhadap HAM, percepatan pembangunan
ekonomi, peningkatan kesejahteraan dan kemajuan masyarakat Papua, dalam rangka kesetaraan
dan keseimbangan dengan kemajuan provinsi lain. Otonomi khusus melalui UU 21/2001
menempatkan orang asli Papua dan penduduk Papua pada umumnya sebagai subjek utama.
Orang asli Papua adalah orang yang berasal dari rumpun ras Melanesia yang terdiri dari sukusuku asli di Provinsi Papua dan/atau orang yang diterima dan diakui sebagai orang asli Papua
oleh masyarakat adat Papua. Sedangkan penduduk Papua, adalah semua orang yang menurut
ketentuan yang berlaku terdaftar dan bertempat tinggal di Provinsi Papua.
Keberadaan Pemerintah, Pemerintah Provinsi, Pemerintah Kabupaten/Kota, serta
perangkat di bawahnya, semua diarahkan untuk memberikan pelayanan terbaik dan
pemberdayaan rakyat. Undang-undang ini juga mengandung semangat penyelesaian masalah dan
rekonsiliasi, antara lain dengan pembentukan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi. Pembentukan
komisi ini dimaksudkan untuk menyelesaikan berbagai permasalahan yang terjadi di masa lalu
dengan tujuan memantapkan persatuan dan kesatuan nasional Indonesia di Provinsi Papua
(Karoba)
Selain itu, adanya otonomi khusus menjadikan pemerintah daerah yang menerima
otonomi khusus menjadi bergantung dengan pemerintah pusat terutama masalah terkait dana.
Tetapi, adanya otonomi khusus ini dapat berdampak terhadap pembangunan nasional. Dalam
melakukan pembangunan nasional tentunya perlu pemerataan kesejahteraan masyarakat di setiap
daerah di Indonesia. Adanya otonomi khususnya ini juga, dapat membantu pemerintah daerah
untuk termotivasi supaya menjadi lebih baik lagi. Dalam pemberian otonomi khusus ini terdapat
indikator yang mempengaruhinya dalam pemilihan daerah yang berhak menerima otonomi
khusus yaitu kesejahteraan masyarakat. Upaya kesejahteraan masyarakat dapat diukur melalui
tiga indikator yaitu kewenangan, kelembagaan, dan keuangan. Karakteristik geografis, sejarah,
kultur, dan individu di Papua terdapat dalam UU 21/2001 (nasional.kompas.com). Undang-
Undang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua Nomor 21 tahun 2001 merupakan pengakuan
Pemerintah RI untuk melindungi hak ulayat orang Papua akan tanah, air, dan kekayaan Papua.
Sebuah prasyarat untuk mengangkat orang Papua dari ketertinggalan dibanding saudaranya di
kawasan tengah dan timur (www.kemitraan.or.id). Salah satu amanat penting dalam perumusan
kedua UU itu adalah akselerasi pembangunan. Idealnya, UU Otsus dan turunannya yang
bermuara kepada kesejahteraan harus memberi wewenang khusus, kelembagaan khusus, dan
keuangan khusus (nasional.kompas.com)
Akan tetapi, pemberian otonomi khusus tersebut masih mengalami permasalahan yaitu
sasaran yang ingin dicapai oleh pemerintah belum menunjukkan dampak yang positif.
Penyebabnya adalah tingginya transfer dana dari pemerintah pusat kepada pemerintah lokal telah
menarik masyarakat Indonesia untuk melakukan migrasi di Papua. Migrasi masyarakat luar
Papua yang tinggi tersebut merubah membuat masyarakat Papua menjadi minoritas. Meskipun
dengan datangnya masyarakat luar tersebut juga bermanfaat dalam hal berbagi keterampilan dan
pengetahuan dan pengembangan kemampuan. Daya dukung institusi dan kualitas sumber daya
manusia yang rendah menyebabkan pembangunan infrastruktur menjadi terhambat. Pada
umumnya pemerintah Kabupaten dan juga Pemerintah Provinsi masih baru dan belum
berpengalaman. Para pembuat kebijakan di beberapa Kabupaten baru memprioritaskan
pengembangan pendapatan ekonomi jangka pendek yang diperoleh industri ekstraktif.
Pada dasarnya, proses pembangunan oleh Pemerintah Indonesia di Tanah Papua baru
efektif dimulai pada awal tahun 1980an. Itupun masih sangat bersifat sporadis, belum sempat
terencana secara matang seperti yang telah dilakukan di provinsi lainnya dengan format
REPELITA-GBHN. Terlambatnya mengawali proses pembangunan tersebut lebih disebabkan
oleh kesibukan Pemerintah dalam hal penyelesaian masalah politik kembalinya Irian Barat ke
Pangkuan Ibu Pertiwi. Bersamaan dengan itu, akselerasi pertumbuhan yang terjadi di berbagai
daerah di Indonesia tidak dapat diimbangi oleh kemajuan pembangunan di Tanah Papua Kondisi
ini, diperburuk oleh pola sentralistik di bawah pengaruh kekuasaan Orde Baru, yang
ternyata telah menggiring eksistensi masyarakat Papua ke dalam situasi enclave. Praktis, hal
ini menjadi motif utama bagi munculnya ketidakpuasan yang menyuburkan intensitas
pergerakan
kemerdekaan
politik bagi sebagian komponen masyarakat, setelah merasa
dikecewakan dalam peristiwa Pepera Tahun 1969 (www.kemitraan.or.id).
Kemiskinan
dan
keterbelakangan
yang
mendalam
di
Papua,
sudah
pada
tempatnya, diakui sebagai kegagalan pendekatan pembangunan Papua selama masa Orde Baru.
Dibanding kawasan Indonesia lainnya, Papua merupakan kawasan dengan
keterbelakangan
yang
paling
tinggi.
Kondisi
keterbelakangan ini,
secara
kondisi
internal,
disebabkan lima hal utama, yaitu bahwa pada saat menjadi bagian dari Indonesia, sebagian
besar masyarakat Papua hidup dalam kondisi keterbelakangan, atau dalam bahasa akademis
disebut primitive; tidak
terdapat
infrastruktur
fisik,
dalam
arti
transportasi
dan
telekomunikasi, yang memadai, bahkan pada tingkat paling minimal; rendahnya tingkat
kesejahteraan dan kesehatan karena rendahnya tingkat pendidikan; rendahnya kemampuan dari
sumberdaya manusia di kawasan ini untuk dapat secara langsung masuk ke dalam “mesin”
pembangunan yang berjalan dengan “mode” masyarakat dengan kondisi seperti di Jawa dan
kawasan lain yang lebih maju dari Papua; serta rendahnya kemampuan dari sumberdaya manusia
di
jajaran
elit
lokal
untuk
menjadi
bagian
dari
sistem
kepemerintahan
modern.
(www.kemitraan.or.id)
Keterkaitan antara administrasi pembangunan dalam hal ini adalah terlihat pada upayaupaya yang digunakan oleh pemerintah Papua dalam memanfaatkan potensi lokal untuk
membangun daerahnya. Untuk meningkatkan pembangunan dan potensi yang dimiliki oleh
Papua, pemerintah pusat mengeluakan kebijakan otonomi khusus kepada daerah Papua.
Kebijakan otonomi khusus memberikan kesempatan kepada pemerintah Papua untuk
berinvestasi secara berkesinambungan agar tercipta pembangunan ekonomi yang kokoh di
tingkat Provinsi dan Kabupaten di Papua.
·
Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa relevansi nilai-nilai administrasi
pembangunan masih belum terlihat. Berkaitan dengan konteks otonomi khusus daerah Papua,
sejatinya otonomi khusus dimaksudkan untuk mewujudkan keadilan, penegakan supremasi
hukum, penghormatan terhadap HAM, percepatan pembangunan ekonomi, peningkatan
kesejahteraan dan kemajuan masyarakat Papua, dengan mengandalkan potensi daerah sendiri
dalam rangka kesetaraan dan keseimbangan dengan kemajuan provinsi lain. Namun
kenyataannya, masih ada permasalahan yang terjadi sampai saat ini. Salah satunya adalah
sasaran yang ingin dicapai oleh pemerintah belum menunjukkan dampak yang positif.
Penyebabnya adalah tingginya transfer dana dari pemerintah pusat kepada pemerintah lokal telah
menarik masyarakat Indonesia untuk melakukan migrasi di Papua. Migrasi masyarakat luar
Papua yang tinggi tersebut merubah membuat masyarakat Papua menjadi minoritas. Meskipun
datangnya imigran dari luar Papua dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi, namun ini juga
menghambat pribumi untuk dapat berkembang, karena sampai saat ini masih banyak masyarakat
pribumi Papua yang masih terbelakang. Selain itu, masih banyaknya konflik juga menghambat
pembangunan di daerah Papua.
Daftar Pustaka
Hayati, Tri dkk, 2005. Administrasi Pembangunan: Suatu Pendekatan Hukum dan
Perencanaannya. FH UI
Siagian, Sondang P., 1999. Administrasi Pembangunan: Konsep, Dimensi dan Strateginya.
Jakarta : PT Bumi Aksara.
Tjokroamidjojo, Bintoro. 1974. Pengantar Administrasi Pembangunan. Jakarta: LP3ES.
http://bapesdalh.papua.go.id/page/62/tantangan-pembangunan-di-papua-dan-langkah-ke-depan-dibawahmp3ei.htm diakses 3 juni 2015
http://nasional.kompas.com/read/2012/07/03/04083978/Menakar.Otonomi.Khusus.Aceh.dan.Papua
diakses 3 juni 2015
http://www.kemitraan.or.id/sites/default/files/Kinerja%20Otsus%20Papua.pdf diakses pada 3 juni 2015
Karoba, Sem, dkk. 2005. PAPUA MENGGUGAT :Teori PolitikOtonomisasi NKRI di
PAPUA BARAT. Yogyakarta: watch PAPUA dan Galang press.