Catatan untuk Tata Cara Pengakuan Masyar

Catatan untuk Lampiran (Rencana) Peraturan Presiden tentang Tata
Cara Pengakuan Masyarakat Hukum Adat dan Wilayah Adatnya dan
beberapa rencana kebijakan sejenis1
1. Tata cara pengakuan sebagaimana yang terbuat pada Butir II
(penetapan subyek MA sebelum pengakuan atas hak ulayatnya),
merujuk pada fakta sosio-antropologis ttg ‘masyarakat adat’ di tingkat
lapangan, tidak relevan dan atau efektif.
2. Ada dua hal pokok yang membuat tata cara yang demikian itu tidak
efektif. Pertama, sangat tergantung pada kemauan politik Pimpinan
Daerah; dan kedua, tidak sesuai dengan realitas sosio-antropologis
yang berkenaan dengan hak-hak masyarakat hukum adat itu sendiri.
Karena, siapa dan apa yang disebut dengan ‘masyarakat adat’ dan
‘hak masyarakat adat’ itu tidaklah tunggal. Kadang ‘masyarakat adat’
bisa merujuk kepada sekedar ‘keluarga luas’. Apakah keberadaan
‘keluarga luas’ ini memang perlu dikukuhkan keberadaannya melalui
keputusan kepala daerah ataupun perda?2
3. Pada dasarnya jenis hak MHA yang harus/akan diakui, sebagaimana
yang diamanatkan oleh Pasal 18B ayat itu, sangat beragam. Secara
kategoris hak-hak itu bisa merupakan hak-hak sosial-budaya, hak
sosial-politik, dan hak-hak sosial-ekonomi.
4. Hak-hak MHA atas tanah (adat) itu juga sangat beragam. Sekurangkurangnya, dari jenis haknya, ada yang bersifat perdata dan ada pula

yang bersifat publik. Sedangkan dari sudut subyek haknya, ada pula
hak-hak yang bersifat personal dan/atau keluarga (hak perdata) dan
yang bersifat komunal (baik yang bersifat perdata maupun publik).
5. Oleh sebab itu, kebijakan yang dibutuhkan untuk pengakuan itu juga
(bisa) beragam. Saat ini, untuk pengakuan atas hak-hak sosial politik

1 Disusun oleh R. Yando Zakaria, Angggota Tim Pakar GN – PSDA, Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK), Republik Indonesia. 17 Mei 2016.
2 Lihat
2
Lihat
https://www.academia.edu/23078865/Strategi_Pengakuan_Hak_Masyarakat_A
https://www.academia.edu/23078865/Strategi_Pengakuan_Hak_Masyarakat_A
dat_Perspektif_Sosio-antropologis


1

MHA (hak yang bersifat publik) sudah ada nomenklatur desa adat (UU
6/2014 tentang Desa).

6. Untuk kebutuhan pengakuan hak atas tanah/hutan, ada yang bersifat
perdata (individual dan kelompok) ada pula yang bersifat publik. Untuk
pengakuan hak atas tanah yang bersifat perdata (baik individual
ataupun) kelompok dapat ditempuh tanpa pengakuan/penetapan
keberadaan MHA, melainkan langsung pengakuan/petetapan atas
persal tanah/hutan yang bersangkutan. Seperti yang pernah dilakukan
melalui Permenagraria 5/1999 dulu, dengan syarat kriteria untuk
menguji keberadaan subek hukum MHA itu tidak usah akumulatif,
sebagaimana yang sudah terjadi dalam penetapan desa adat versi UU
Desa 6/2014.
7. Keharusan yang sama untuk subyek-subyek hukum tanah adat
komunal yang bersifat perdata dan yang bersifat public adalah suatu
pengaturan yang sangat berlebihan, untuk tidak mengatakan sebagai
suatu ‘strategi pengingkaran pengakuan tanah adat’ itu sendiri.
8. Model pengakuan hak atas tanah/hutan yang bersifat publik
harus

didahului

dan/atau


memerlukan

yang

pengakuan/penetapan

keberadaan MHA sebagai subyek hak atas tanah/hutan hanya relevan
bagi tanah-tanah adat yang dibebani hak komunal dan/atau tanah adat
yang bersifat publik itu (lihat Draf Lampiran Butir II, Angka 3, huruf c.).
9. Contoh: tanah adat/tanah ulayat di Minangkabau. Ada tanah ulayat
kaum (komunal, perdata); ulayat kaum (komunal, perdata), dan juga
ulayat nagari (komunal, publik). Yang relevan dengan tata cara
pengakuan yang didahului dengan penetapan subyek hanyalah pada
ulayat nagari. Tidak relevan untuk ulayat kaum dan ulayat suku.
10. Oleh sebab itu, terkait dengan muatan Peraturan Daerah Propinsi
terkait Tata Cata Pengakuan Hak Masyarakat Hukum Adat dan
Wilayah Adatnya, diperluakan sebagau peraturan yang mengharuskan
tersedianya peta pengetahuan tentang macam-mcam subyek, obyek,
dan jenis hak masyarakat hkum adat di kabupaten/kota yang




2

bersangkutan, yang akan digunakan dalam verfikasi dan validasi
permohonan darii subyek hukum yang bersangkutan.
11. Proses

Identifikasi,

Verifikasi

dan

Validasi,

serta

penetapan


(seharusnya PENGAKUAN) subyek sebaiknya cukup diurus oleh satu
instansi

tertentu

saja,

dalam

hal

ini

adalah

Kantor

BPN


Kabupaten/Kota. Instansi lain harus tunduk pada keputusan instansi
yang diberi kewenangan dalam menetapakan subyek, obyek, dan jenis
obyek ha katas tanah adat dari suatu masyarakat hukum adat yang
ada di wilayah kerjanya.



3