BADAN PERTANAHAN NASIONAL REPUBLIK INDON (1)

TUGAS MATA KULIAH
SOSIOLOGI PERTANAHAN
KONDISI PERTANAHAN MASYARAKAT DI LERENG MERAPI
DALAM PERSPEKTIF PERILAKU

DISUSUN OLEH :
Kelompok II / Kelas A :
1. Ario Aditia Pratama
2. Hermawan Dwi Astanto
3. Qusnul Syamsuddin D.S.

NIM. 14232799
NIM. 14232811
NIM. 14232823

Dosen Pengampu :
Aristiono Nugroho, A.Ptnh.,M.Si

KEMENTERIAN AGRARIA DAN TATA RUANG/
BADAN PERTANAHAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA
SEKOLAH TINGGI PERTANAHAN NASIONAL

PROGRAM DIPLOMA IV PERTANAHAN
YOGYAKARTA
2016
Kondisi Pertanahan dan Masyarakat di Lereng Merapi

Dalam Perspektif Perilaku

A. Pendahuluan
1. Asal Usul Teori Perilaku
Kata paradigma berasal dari bahasa Inggris “paradigm” yang berarti model
pola. Kata paradigma dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia diartikan sebagai suatu
model dalam ilmu pengetahuan atau kerangka berpikir. Istilah perilaku sosial sendiri
menunjuk pada pola tingkah laku individu dalam melakukan hubungan sosial.
Menurut Yesmil Anwar dan Adang, paradigma adalah cara pandang atau
kerangka berfikir yang berdasarkan fakta atau gejala yang diinterpretasikan atau
dipahami.1 Paradigma perilaku sosial adalah paradigma sosiologi yang memusatkan
kajiannya pada proses interaksi individu dengan lingkungannya baik sosial maupun
non-sosial dengan menggunakan konseptual bahwa individu sebagai aktor sosial tidak
sepenuhnya memiliki kebebasan.
Paradigma perilaku sosial muncul sebagai alternatif ilmu pengetahuan tentang

paradigma sosiologi. Dapat dikatakan bahwa paradigma perilaku sosial adalah
pengembangan dari 2 (dua) paradigma sosiologi sebelumnya yaitu paradigma fakta
sosial dan paradigm definisi sosial. Paradigma perilaku sosial dicetuskan oleh B.F.
Skinner dengan cara mengembangkan ilmu sosial dengan pendekatan behaviorisme.
Teori, gagasan dan praktek yang dilakukannya telah memegang peranan penting
dalam pengembangan sosiologi behavior.
Untuk mendapatkan kontras antara paradigma perilaku sosial ini dengan kedua
paradigma terdahulu, di sini akan diperlihatkan perbedaan antara pandangan Skinner
sebagai pengemuka exemplarnya dengan kedua pandangan paradigm yang lain itu.
Skinner melihat paradigma fakta sosial dan definisi sosial sebagai perspektif yang
bersifat mistik, dalam arti mengandung sesuatu yang bersifat teka-teki, tidak dapat
diterangkan secara rasional. Kritik Skinner tertuju kepada masalah substansial dari
kedua paradigma itu, yakni eksistensi objek studinya sendiri. Menurut Skinner, kedua
paradigm itu membangun objek studi berupa sesuatu yang bersifat mistik. Maksudnya
fakta sosial yang terdiri atas struktur sosial dan pranata sosial yang menjadi objek
studi paradigma fakta sosial serta sesuatu yang terjadi dalam pemikiran manusia
berupa “tanggapan kreatif” terhadap sesuatu rangsangan atau stimulus dari luar
1 Yesmil Anwar & Adang. Pengantar Sosiologi Hukum. Jakarta: Grasindo Persada, 2008, hlm. 40

dirinya, yang menjadi objek penyelidikan paradigm definisi sosial oleh Skinner dinilai

keduanya sebagai sesuatu objek yang bersifat mistik. Menurutnya, dengan
memusatkan perhatian kepada kedua hal tersebut, berarti menjauhkan sosiologi dari
objek studi berupa barang yang konkrit-realistis.menurutnya, objek studi sosiologi
yang konkrit-realistis itu adalah: perilaku manusia yang nampak serta kemungkinan
perulangannya (behavior of man and contingencies of reinforcement).
Ide pengembangan paradigm perilaku sosial ini pada awalnya sudah
dimaksudkan untuk menyerang kedua paradigm lainnya itu. karena itu tak
mengherankan bila perbedaan pandangan antara paradigm perilaku sosial dengan
kedua lainnya itu merupakan sesuatu yang tak terelakkan. Dalam bukunya Beyond
Freedom and Dignity, Skinner menyerang langsung paradigm definisi sosial dan
secara tak langsung terhadap paradigm fakta sosial, seperti tercermin dalam uraian
berikut. Konsep kultur yang didefinisikan oleh paradigm fakta sosial dinilainya
mengandung ide yang bersifat tradisional khususnya mengenai nilai-nilai sosial
(social-values). Menurutnya pengertian kultur yang diciptakan itu tidak perlu disertai
dengan unsur mistik seperti ide dan nilai sosial itu. alasannya karena orang tidak dapat
melihat secara nyata ide dan nilai-nilai dalam mempelajari masyarakat yang jelas
terlihat adalah bagaimana manusia hidup, memelihara anaknya, cara berpakaian,
mengatur kehidupan bersamanya dan sebagainya.
Kebudayaan masyarkat tersusun dari tingkah laku. Dengan kata lain
kebudayaan adalah tingkah laku yang terpola. Untuk memahami tingkah laku yang

terpola itu tidak diperlukan konsep-konsep seperti ide-ide dan nilai-nilai. Yang
diperlukan

adalah

pemahaman

terhadap

“kemungkinan

penguatan

terhadap

penggunaan paksa” itu. Walaupun menyinggung pandangan paradigm fakta sosial
yang memang memandang tingkah laku manusia ditentukan oleh norma dan nilai
sosial, tetapi kecaman tajamnya itu sebenarnya ditujukan terhadap paradigm definisi
sosial.
2. Substansi dan Perkembangan Teori

Pokok persoalan yang menjadi pusat perhatian paradigma perilaku sosial
adalah antar hubungan antara individu dengan lingkungannya. Lingkungan tersebut
terbagi menjadi dua macam, yaitu lingkungan sosial dan lingkungan non-sosial.

Prinsip yang menguasai hubungan antar individu dengan obyek sosial adalah sama
dengan prinsip yang menguasai hubungan antar individu dengan obyek non-sosial.2
Paradigma ini memusatkan perhatiannya terhadap proses interaksi dengan
menggunakan konseptual yang berbeda dengang paradigma lain. Dalam paradigma
perilaku sosial, individu sebagai aktor sosial kurang memiliki kebebasan.
Sebagaimana yang telah dikemukakan oleh B.F. Skinner yang menyatakan bahwa
tindakan manusia tidak selamanya bebas atau self-controled beings, tetapi ditentukan
oleh lingkungan.3 Tingkah laku manusia bersifat mekanik dimana tanggapan yang
dilakukannya sangat ditentukan oleh rangsangan atau stimulus yang datang dari faktor
lingkungannya. Hal tersebut tentu saja berbeda jauh dengan konseptual yang
digunakan oleh paradigma yang lainya. Seperti halnya konseptual yang digunakan
oleh paradigma definisi sosial diamana aktor adalah dinamis dan mempunyai
kekuatan kreatif dalam proses interaksi. Aktor menginterpretasikan stimulus yang
diterimanya menurut caranya mendefinisikan stimulus yang yang diterimanya
tersebut. Begitupun juga terdapat perbedaan antara konseptual paradigma perilaku
sosial dengan dengan paradigma definisi sosial. Meskipun keduanya sama-sama

memandang bahwa individu sebagai aktor sosial itu tidak memiliki kebebasan penuh.
Perbedaan tersebut terletak pada sumber pengendalian tingkah laku individunya. Jika
paradigma perilaku sosial lebih mengedepankan faktor lingkungannya, maka
paradigma fakta sosial lebih mengedepankan faktor struktur makroskopik dan pranata
sosial.
Pokok persoalan sosiologi menurut paradigma ini adalah tingkah laku individu
dalam rangka melangsungkan hubungan dengan lingkungannya baik lingkungan
sosial maupun lingkungan non-sosial yang kemudian menghasilkan perubahan
terhadap tingkah laku. Intinya terdapat hubungan fungsional antara perubahan yang
terjadi dilingkungan individu yang bersangkutan dengan tingkah laku individu
tersebut. Menurut paradigma perilaku sosial, data empiris mengenai kenyataan sosial
hanyalah perilaku-perilaku individu yang nyata (overt behavior). Paradigma perilaku
sosial menekankan pada pendekatan objektif empiris atas kenyataan sosial. Dari
ketiga paradigma tersebut, paradigma ini lebih dekat dengan gambaran kenyataan
sosial dengan asumsi-asumsi implisit yang mendasari pendekatan konstruksi sosial.
Terdapat dua teori yang termasuk ke dalam paradigma ini, yaitu:
2 George Ritzer. Sosiologi Ilmu Pengetahuan Berparadigma Ganda. Jakarta: Rajawali Pers, 2014, hlm. 72
3 A. Ibrahim Indrawijaya, Teori Perilaku dan Budaya Organisasi. Bandung: Rafika Aditama. 2010, hlm. 29

1. Teori Behavioral sosiologi

Behaviral sosiologi merupakan sebuah teori yang berasal dari konsep
psikologi perilaku yang kemudian diterapkan ke dalam konsep sosiologi. Teori ini
memusatkan perhatiannya kepada hubungan antara akibat dari tingkah laku yang
terjadi di dalam lingkungan aktor dengan tingkah laku aktor. Akibat-akibat dari
tingkah laku tersebut dijadikan sebagai variabel independen.
Teori Behavioral sosiologi berusaha untuk menerangkan hubungan
historis antara akibat tingkah laku masa lalu yang terjadi dalam lingkungan aktor
dengan tingkah laku aktor yang terjadi sekarang. Artinya, teori tersebut
menerangkan bahwa tingkah laku yang terjadi dimasa sekarang merupakan akibat
dari tingkah laku yang terjadi di masa sebelumnya.
Melalui bukunya Sociology : A Mulitple Paradigm Science, George Ritzer
sendiri mengungkapkan kebingungannya atas proposisi bahwa “dengan
mengetahui apa yang diperoleh dari suatu tingkah laku nyata di masa lalu maka
akan dapat diramalkan apakah seorang aktor akan bertingkah laku yang sama
(mengulanginya) dalam situasi sekarang.
Konsep dasar yang menjadi pemahaman Behavioral sosiologi adalah
“reinfocement” yang dapat diartikan sebagai ganjaran (rewad). Suatu ganjaran
yang membawa pengaruh akan diulang dan begitupun juga sebaliknya, suatu
ganjaran yang tidak membawa pengaruh bagi si aktor tidak akan diulang. Contoh
yang sederhana adalah makanan yang dapat dinyatakan sebagai ganjaran yang

umum dalam masyarakat. Tapi bila seseorang sedang tidak lapar maka makan
tidak akan diulang. Namun bila aktor sosial tersebut sedang lapar, maka makanan
akan menjadi faktor pemaksa untuk melakukan perulangan.
2. Teori Pertukaran Sosial (Exchange )
Teori pertukaran sosial yang dibangun oleh Homans diambil dari konsepkonsep dan prinsip-prinsip psikologi perilaku (behavioral psichology). Selain itu
juga homans mengambil konsep-konsep dasar ilmu ekonomi seperti biaya (cost),
imbalan (reward) dan keuntungan (profit). Dasar ilmu ekonomi tersebut
menyatakan bahwa manusia terus menerus terlibat antara perilaku-perilaku
alternatif, dengan pilihan yang mencerminkan cost and reward (atau profit) yang
diharapkan yang berhubungan garis-garis perilaku alternatif itu.

Homans mempunyai tujuan agar gambaran mengenai perilaku manusia
dalam pertukaran ekonomi di pasar diperluas, sehingga juga mencakup
pertukaran sosial. Tindakan sosial dilihat dari equivalen dengan tindakan
ekonomis dimana satu tindakan tersebut bersifat rasional dan memeperhitungkan
untung rugi. Kemudian aktor juga mempertimbangkan keuntungan yang lebih
besar daripada biaya yang dikeluarkannya dalam melakukan interkasi sosial.
Teori Pertukaran sosial menyatakan bahwa semakin tinggi ganjaran
(reward) yang diperoleh maka makin besar kemungkinan tingkah laku akan
diulang. Begitu pula sebaliknya semakin tinggi biaya (cost) atau ancaman

hukuman (punishment) yang akan diperoleh, maka makin kecil kemungkinan
tingkah laku serupa akan diulang. Selain itu juga terdapat hubungan berantai
antara berbagai stimulus dan perantara berbagai tanggapan.
3. Land and Social Mapping
Pemetaan sosial (social mapping), merupakan upaya mengidentifikasi dan
memahami struktur sosial tata hubungan antar lembaga dan atau individu pada
lingkungan sosial tertentu. Pemetaan sosial dapat juga diartikan sebagai social
profiling atau “pembuatan profil suatu masyarakat“ Identifikasi kelembagaan dan
individu ini dilakukan secara akademik melalui suatu penelitian lapangan, yakni
mengumpulkan data secara langsung, menginterpretasikannya dan menetapkan
tata hubungan antara satu dengan lain satuan sosial dalam kawasan komunitas
yang diteliti (Dody Prayogo,2003).
Identifikasi tata hubungan ini dapat dikaitkan dengan keberadaan pranata
sebagai salah satu institusi di dalam kelembagaan sosial atau organisasi sosial dan
atau sekitar komunitas yang dimaksud. Identifikasi tata hubungan inilah yang
disebut dengan pemetaan atau mapping, yang memberikan gambaran posisi
pranata terhadap lembaga lain di dalam komunitas tersebut, sekaligus memberi
gambaran bagaimana sifat hubungan antara pranata dengan lembaga-lembaga
tersebut.


Adapun

tujuan

utama

membuat

pemetaan

sosial

adalah diperolehnya program prioritas dan alokasi sumber dalam penguatan
kelompok sosial masyarakat dari pengaruh budaya-budaya luar secara efisien,
efektif dan berkelanjutan .
Gunung Merapi adalah gunung berapi di bagian tengah Pulau Jawa dan
merupakan salah satu gunung api teraktif di Indonesia. Lereng sisi selatan berada

dalam administrasi Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta, dan sisanya
berada dalam wilayah Provinsi Jawa Tengah, yaitu Kabupaten Magelang di sisi

barat, Kabupaten Boyolali di sisi utara dan timur, serta Kabupaten Klaten di sisi
tenggara. Kawasan hutan di sekitar puncaknya menjadi kawasan Taman Nasional
Gunung Merapi sejak tahun 2004.(wikipedia.org)
Gunung Merapi merupakan salah satu gunung aktif di Indonesia yang
terletak di kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta. Gunung Merapi
meletus terakhir pada 26 Oktober 2010. Selain itu, bencana tersebut juga
mengakibatkan perubahan sosial. Banyak orang kehilangan harta bendanya
termasuk rumah mereka, sehingga menyebabkan mereka harus tinggal ditempat
pengungsian.
Korban erupsi Merapi tidak hanya mengalami kerugian berupa material
saja tetapi banyak diantara mereka yang merasa sedih bahkan tertekan akibat
harus kehilangan orang-orang yang disayanginya karena meninggal akibat
terkena awan panas. Selain itu banyak anak-anak yang harus ketinggalan mata
pelajaran karena sekolah diliburkan. Dampak lain dari erupsi Merapi pada bulan
oktober tahun lalu menyebabkan sejumlah warga kehilangan ternak dan pekerjaan
sehari-hari.Untuk saat ini, pemerintah sudah menyediakan hunian sementara bagi
para korban erupsi Merapi, pemerintah juga telah mengganti hewan-hewan ternak
warga lereng gunung Merapi yang hilang atau mati saat erupsi Merapi terjadi.
Dampak positif akibat erupsi gunung Merapi yaitu adanya batu dan pasir
dari erupsi gunung Merapi yang dapat dimanfaatkan oleh warga sebagai bahan
bangunan atau untuk dijual. Hal ini menyebabkan perubahan sosial dimana warga
yang dahulunya bekerja sebagai petani kini mereka harus menjadi penambang
pasir. Dampak positif lain yaitu daerah Lava Tour dijadikan objek wisata dan
telah diresmikan oleh Dinas Kebudayaan Kabupaten Sleman. Perubahan sosial
yang terjadi dengan cepat, menyebabkan sebuah kebingungan dan menimbulkan
suatu kejutan kebudayaan atau cultural shock bagi masyarakat. Perubahan sosial
yang terjadi pada kehidupan sosial masyarakat kawasan daerah Lava Tour
antara lain, perubahan pada pola interaksinya, perubahanmatapencaharian dan
sistem ekonomi, sistem kemasyarakatan, dan organisasi- organisasi sosial.
Selain itu, dari segi ekonomi penggunaan tanah di Lereng gunung ini
digunakan untuk pertanian. Pertanian yang ada diwilayah ini dimanfaatkan
sebagai kebun campuran. Tanaman yang ada di dalam kebun campuran ini tidak

dibudidayakan oleh masyarakat melainkan tumbuh sendiri. Hal ini dikarenakan
pasca erupsi Merapi, tanah diwilayah ini menjadi relatif subur sehingga tanaman
alam tumbuh dengan sendirinya seperti sengon, bambu dan rumput kalanjana.
Ketika erupsi Merapi, keadaan ekonomi masyarakat mengalami
kelumpuhan. Erupsi telah menghanguskan harta benda mereka. Selain itu, erupsi
juga telah menghilangkan mata pencaharian mereka di bidang pertanian dan
peternakan. Pasca erupsi, masyarakat dipindah ke Hunian Tetap dan secara
perlahan-lahan masyarakat bangkit kembali, dan membangun kemampuan
ekonominya melalui berbagai macam usaha. Tanah yang berada di wilayah lereng
secara keseluruhan dikuasai oleh masyarakat setempat dengan batas-batas yang
jelas. Akibat erupsi Gunung Merapi maka batas-batas penguasaan tanah menjadi
tidak jelas akan tetapi masyarakat masih tetap mengenali terutama yang berkaitan
dengan batas penguasaan tanah mereka.
B. Perilaku Masyarakat
Gunung Merapi merupakan gunung berapi yang aktif dengan siklus erupsi
antara 2 – 5 tahun (periode pendek) dan setiap 5 – 7 tahun untuk periode menengah.
Kenyataannya penduduk di lereng Merapi sudah mengetahui bahwa setiap tahun
Merapi akan meletus kecil dan setiap 7 – 8 tahun sekali akan meletus besar. Namun
dikarenakan telah turun temurun dan berabad-abad masyarakat melangsungkan
hidup dan menyesuaikan diri terhadap gunung Merapi, maka sebagian besar warga
masih tetap bermukim di sekitar kawasan bencana tersebut. Terlepas dari potensi
bahayanya, lahan di sekitaran Gunung Merapi memiliki tingkat kesuburan yang
tinggi, sehingga cocok untuk usaha pertanian. Hal ini pula yang mendorong
masyarakat untuk tetap dapat mempertahankan tempat tinggalnya meskipun berada
pada wilayah rawan bencana. Apalagi saat ini sumberdaya lahan semakin terbatas,
lapangan pekerjaan yang semakin susah untuk diperoleh dan perlu menyesuaikan
diri terhadap lingkungan yang baru apabila berpindah dari lereng Merapi,
menyebabkan masyarakat tidak ingin berpindah dari lereng Merapi.
Perilaku masyarakat diatas yang menyebabkan himbauan mengungsi dari
BMKG tidak diikuti oleh sebagian masyarakat. Padahal suasana awas Merapi
mengharuskan masyarakat di daerah rawan mengungsi ke daerah yang dianggap
aman. Bahkan hingga saat menjelang letusan masih ada masyarakat di daerah rawan

bencana belum melakukan pengungsian. Namun setelah petugas dari Kopasus
melakukan penyisiran pada semua lokasi untuk menyelamatkan semua yang bisa
diselamatkan, sedangkan pihak petugas dari unsur lain sudah tidak masuk ke lokasi
Merapi baru masyarakat yang bertahan untuk tidak mengungsi tergerak untuk
mengungsi. Masyarakat lebih percaya pada himbauan Kopasus karena masyarakat
yakin jika Kopasus sudah turun tangan berarti sudah mencapai kondisi paling rawan.
Selain menyelamatkan nyawa mereka, faktor lain yang menentukan
masyarakat mengungsi adalah bagaimana menyelamatkan harta benda yang dimiliki
termasuk hewan ternak yang dipelihara. Masyarakat tidak mau mengungsi ketika
diberi himbauan untuk mengungsi dan memilih bertahan dengan alasan untuk
menjaga ternak mereka. Untuk menyelamatkan warga dari bencana pada kondisi dan
daerah yang dianggap rawan, Pemerintah dengan tim penyelamat bencana memaksa
penduduk untuk mengungsi sehingga terpaksa meninggalkan ternak yang
dimilikinya. Saat kritis tersebut, warga tidak diperbolehkan untuk kembali ke desa
untuk melihat ternaknya. Namun, dengan beberapa cara tertentu warga selalu
kembali ke desanya untuk memberi pakan dan minum secukupnya pada ternaknya
setiap hari. Perilaku masyarakat seperti ini dikarenakan masyarakat desa
mempertahanakan sekuat tenaga keberadaan hewan ternaknya tersebut walaupun
nyawa terancam serangan awan panas. Kondisi ini sudah berlangsung sejak lama,
karena merupakan symbol prestise sosial disamping bernilai ekonomi.
Selain berdampak kepada masyareakat di kawasan sekitar lereng Gunung
Merapi, Erupsi Merapi juga membawa dampak kepada kawasan lainya. Meskipun
tidak berada di kawasan sekitar lereng namun, awan panas dan aliran lava erupsi
Gunung Merapi juga membawa dampak negatif terhadap masyarakat lainya. Hal ini
juga telah dihimbau oleh BMKG untuk dapat melaksanakan pengungsian. Namun
dengan alasan untuk menjaga harta dan ternak mereka, himbauan ini juga tidak
dilaksanakan.
Saat terjadi bencana Merapi, para penduduk yang berasal dari lereng Merapi,
disediakan tempat mengungsi di GOR Maguharjo. Para pengungsi berasal dari
lokasi yang terkena dampak paling parah. Tetapi tidak semua penduduk tinggal di
lokasi pengungsian karena mereka memiliki keluarga sehingga mereka lebih
memilih mengungsi ke rumah keluarganya. Erupsi Merapi menyebabkan kawasan

pemukiman dan pertanian hangus terkena lahar panas. Hal ini menyebabkan para
penduduk yang sebagian besarnya berprofesi sebagai petani kehilangan lahan
bertani. Anak-anak juga menderita dikarenakan ketinggalan pelajaran dan trauma
terhadap kejadian yang dialaminya. Para petani yang biasanya beraktivitas setiap
hari di lahan pertaniannya menjadi tidak nyaman karena hidup di pengungsian.
Selain tidak bekerja dan hanya makan tidur, para petani juga malu karena hanya
menunggu uluran tangan pihak lain. Mereka tidak betah tinggal di pengungsian dan
ingin segera kembali ke desa asal. Disamping itu, kondisi pengungsian yang juga
tidak layak untuk hidup sebagai pribadi yang memerlukan privasi. Akhirnya
masyarakat yang tadinya produktif menjadi tidak produktif. Tetapi pemerintah juga
tidak bisa mengembalikan pengungsi ke daerahnya masing-masing mengingat
kondisi daerah yang rusak parah termasuk bangunan rumah, infrastruktur umum dan
lahan pertanian yang tertimbun pasir dan material lain yang cukup tebal. Untuk
menghindari kejenuhan yang dapat berakibat negative maka pemerintah dan
lembaga terkait menyiapkan hunian sementara ( huntara ).
Penduduk yang tinggal di huntara yang sebagian besar berprofesi sebagai
petani dan peternak, tetap menginginkan untuk kembali bertani lagi seperti
kebiasaan mereka sehari-hari pada kondisi normal. Namun bila harus tinggal di
huntara dan harus melakukan usaha tani dengan teknologi yang tidak biasa mereka
lakukan selama ini, petani mengharapkan adanya pendampingan serta bantuan benih
atau semprotan lainnya. Oleh karena itu, perlu adanya kesiapan lahan bagi para
petani dan lahan bagi para peternak untuk kegiatan usaha mereka. Maka untuk
konsumsi sehari-hari disediakan teknologi vertikultular untuk tanaman hortikultura
di halaman sempit yang terdapat di kawasan huntara. Petani berharap jika tidak
tersedia fasilitas lahan pertanian maka mereka akan menggarap kembali lahan yang
ditinggalkan di lokasi lama yang terkena bencana.
C. Pemenuhan Kebutuhan
Kebutuhan dasar manusia merupakan unsur-unsur yang dibutuhkan oleh
manusia dalam mempertahankan keseimbangan fisiologis maupun psikologis, yang
tentunya bertujuan untuk mempertahankan kehidupan dan kesehatan. Kebutuhan
dasar manusia menurut Abraham Maslow dalam Teori Hierarki, menyebutkan bahwa
setiap manusia memiliki lima kebutuhan dasar yaitu kebutuhan fisiologis, keamanan,
cinta, harga diri, dan aktualisasi diri. Manusia memiliki kebutuhan dasar yang

bersifat heterogen. Setiap orang pada dasarnya memiliki kebutuhan yang sama, akan
tetapi karena budaya, maka kebutuhan tersebut pun ikut berbeda. Dalam memenuhi
kebutuhan manusia menyesuaikan diri dengan prioritas yang ada. Lalu jika gagal
memenuhi kebutuhannya, manusia akan berpikir lebih keras dan bergerak untuk
berusaha mendapatkannya.
Kebutuhan universal tersebut harus terpenuhi. Apabila tidak terpenuhi maka
akan mengakibatkan hal-hal yang tidak menguntungkan. Pemenuhan kebutuhan
hidup manusia digolongkan dua macam, yaitu kebutuhan yang timbul atau
kemunculannya bersumber pada aspek-aspek biologis atau organisme tubuh manusia
(sering dikenal kebutuhan hidup mendasar), dan kebutuhan yang timbul karena
pergaulan antar manusia dalam masyarakat. Di bawah ini merupakan beberapa jenis
tentang kebutuhan hidup mendasar atau primer, kebutuhan sosial, dan kebutuhan
integratif ;
a. Kebutuhan Hidup Mendasar/Primer
Kebutuhan hidup mendasar ialah kebutuhan manusia yang erat
hubungannya dengan kebutuhan jasmani. Kebutuhan hidup mendasar itu,
kemunculannya bersumber pada aspek-aspek biologi atau organisme tubuh
manusia. Beberapa kebutuhan mendasar misalnya sebagai berikut.
1. Makanan/minuman/air
2. Istirahat dan kesehatan
3. Buang air besar/kecil
4. Kebutuhan biologis
5. Perlindungan dari cuaca/iklim
b. Kebutuhan Sosial/Psikologis
Kebutuhan sosial, yaitu kebutuhan-kebutuhan yang timbul karena
pergaulan antar manusia dalam masyarakat. Sebagian dari kebutuhan sosial itu
merupakan sarana untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan primer ataupun
kebutuhan sekunder. Kebutuhan sosial itu meliputi hal-hal sebagai berikut.
1. Kebutuhan akan kegiatan-kegiatan bersama.
2. Kebutuhan berkomunikasi.
3. Kebutuhan akan keteraturan sosial.
4. Kebutuhan akan pendidikan.

c. Kebutuhan Integratif
Kebutuhan integratif, yaitu kebutuhan terpadu yang terdiri atas berbagai
macam kebutuhan seperti yang telah diterangkan di atas. Pada hakikatnya setiap
individu dan masyarakat suatu bangsa pasti memiliki kebutuhan integratif.
Masalahnya hanya kuantitasnya saja yang berbeda. Kenyataannya kebutuhan
individu masyarakat dari suatu bangsa itu semakin hari semakin bertambah
banyak dan beraneka ragam. Kebutuhan integratif itu muncul dan terpencar dari
hakikat manusia sebagai makhluk pemikir dan bermoral, yang fungsinya
mengintegrasikan berbagai unsur kebudayaan sebagai sebuah sistem yang
mencakup kebutuhan-kebutuhan sebagai berikut.
1. Kebutuhan akan adanya prinsip benar dan salah.
2. Kebutuhan akan perasaan keyakinan diri.
3. Kebutuhan pengungkapan kebersamaan.
4. Kebutuhan pengungkapan etika, estetika, dan kebutuhan rekreasi.
Kaitannya dengan upaya memenuhi kebutuhan, kegiatan yang dilakukan
di Lereng gunung merapi ini cukup banyak, apalagi setelah terjadi erupsi
Merapi. Selain pemenuhan kebutuhan pangan,pakaian dan papan untuk
pengganti material mereka yang hancur terkena bencana, dengan kesadaran dan
bantuan dari pemerintah setempat menggalakan pembuatan sarana dan
prasarana secara swadaya. Hal ini dilakukan supaya kelangsungan hidup mereka
berjalan dengan lancar. Untuk kegiatan penunjang perekonomian, masyarakat di
Lereng merapi menopang perekonomian dengan cara merubah mata
pencaharian mereka, yakni dengan penambang pasir dan adanya wisata alam
buatan pada lereng merapi . Setelah terjadi lahar dingin pada lereng gunung
merap tersebut, mengakibatkan melimpahnya pasir dan bebatuan. Kemudian di
daerah Lava Tour yang banyak dikunjungi oleh wisatawan yang berasal dari
dalam maupun luar negeri, membuat akses jalan di kawasan Lava Tour menjadi
lebih bagus.
Setelah adanya bencana erupsi Merapi yang mengharuskan mereka
berkumpul dalam satu area pemukiman yang telah dibuat oleh pemerintah
maupun LSM yang memberi bantuan berupa tempat tinggal sementara.Untuk
pakaian, mereka mendapatkan sumbangan berupa pakaian bekas yang masih

layak untuk dipakai. Hal seperti ini, merubah pola pemukiman masyarakat yang
berimbas pada pola interaksinya. Pada saat memiliki nasib yang sama yaitu
sedang menghadapi suatu masalah yang sama dan harus mencari jalan keluar
bersama, maka rasa solidaritas dalam kelompok pada masyarakat dari berbagai
desa di lereng gunung Merapi yang mengungsi meningkat. Kebutuhan ekonomi
dan sosial ini, memang sangat dibutuhkan karena perubahan alam itu sendiri.
Apalagi dalam segi pendidikan, para siswa yang putus sekolah maupun
tidak

bisa

melanjutkan

pendidikanya

menjadi

terbengkalai.

Mereka

membutuhkan bangunan atau sarana pendidikan baru untuk melanjutkan
pendidikanya. Dengan adanya bantuan dan partisipasi masyarakat, pelan-pelan
sarana dan prasarana akan terbangun demi kelangsungan pendidikan anak-anak
mereka. Yang tak kalah penting juga kebutuhan akan legitimasi, khususnya bagi
kepala desa yang bertugas memotivasi masyarakat dalam melaksanakan
kegiatan ekonomi sosial. Masyarakat desa sering kali menjadikan kepala
desanya sebagai actor atau tokoh utama dalam perhelatan sosial ekonomi desa.
Para actor ini merupakan panutan, orang terpercaya dan diyakini sebagai
pembawa keberuntungan bagi desanya. Oleh karena itu, melihat peran sentral
seorang kepala desa, legitimasi akan kekuasaan mutlak untuk terus dilanjutkan
karena berpengaruh terhadap kelangsungan hidup masyarakat lereng merapi.
D. Potensi Disintegrasi
Disintegrasi menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah suatu keadaan
tidak bersatu padu atau keadaan terpecah belah; hilangnya keutuhan atau persatuan;
perpecahan. Disintegrasi secara harfiah difahami sebagai perpecahan suatu bangsa
menjadi bagian-bagian yang saling terpisah (Webster’s New Encyclopedic
Dictionary 1994). Pengertian ini mengacu pada kata kerja disintegrate, “to lose unity
or intergrity by or as if by breaking into parts”. Potensi disintegrasi bangsa Indonesia
menurut data empiris relatif tinggi. Salah satu indikasi dari potensi ini adalah
homogenitas ethnik dan linguistic yang rendah.(Wikipedia.org)
Secara historis, masyarakat modern lahir dalam lingkup disintegrasi, sehingga
negerinya pun berwatak disintegratif. Padahal lembaga-lembaga ekonomi dan
kebudayaannya merupakan institusi lokal. Karena itu, tidak berlebihan jika

dikatakan bahwa masyarakat modern merupakan produk undang-undang disintegrasi
yang berdampingan dengan agama dan melahirkan disintegrasi dalam berbagai hal.
Pola disintegrasi sosial: Pertama, kebodohan dan kemiskinan, jaminan
pendidikan untuk orang banyak yang tidak tersedia. Kedua, penyimpangan yang
mengganggu kepentinagn umum dengan modus operandi yang beragam,
penyimpangan lain yaitu ketergantungan obat dan heroin dan penyakit menular
seksual. Ketiga, rendahnya ketaatan publik terhadap berbagai peraturan dan suatu
komunal. Nilai kemanusiaan menipis. Keempat, tidak berfungsinya institusi-institusi
sosial dan jaringan sosial karena persoalan birokrasi. Pelayanan publik tidak dapat
berlangsung dengan baik, dilanda sistim birokrasi. Korupsi melanda berbagai pihak
dalam pelayanan publik.
Basis sosial disintegrasi : Proses disintegrasi terakumulasi menjadi suatu
penyakit yang parah, kecenderungan "penarikan diri" masyarakat dari sistem dan
struktur yang ada meyulitkan usaha pemecahan masalah. Kecenderungan untuk
memisahkan diri dari sistem general itu, dapat dipahami dari beberapa proses sosial
politik yang terjadi, seperti kebijaksanaan bahasa nasional yang dijadikan alat
politik, awal dari proses penjajahan identitas lokal yakni menghilangkan akar kultur
lokal dalam rangka persatuan dan kesatuan.
Gejala disintegrasi :
1. Secara umum gejala disintegrasi sosial ditandai oleh hal-hal berikut ini :
a) sebagian masyarakat tidak mematuhi aturan dan norma yang ada
b) muncul silang pendapat di antara anggota masyarakat tentang tujuan
yang akan dicapai
c) wibawa dan karisma para pemimpin semakin pudar
d) sanksi dan hukuman yang tidak dilaksanakan secara benar dan
konsekuen
2. Bentuk disintegrasi
Adapun bentuk-bentuk disintegrasi sosial antara lain:
a) Pemberontakan atau pergolakan daerah
b) Aksi protes dan demontrasi
c) Kriminalitas
d) Kenakalan remaja

Potensi

disintegrasi

pada

masyarakat

Lereng

gunung

merapi

ini,

memungkinkan terdapat beberapa hal antara lain :
Pertama, kebodohan dan kemiskinan, disini artinya pada kawasan lereng
gunung merapi banyak kehilangan mata pencaharian dan pendidikan. Seperti yang
telah dijelaskan di awal, mata pencaharian masyarakat lereng gunung merapi yang
awalnya adalah petani dan peternak serta bercoccok tanam, semua lahan mereka
telah habis tersapu lahar dingin. Keadaan tersebut membuat tanah-tanah petani
menjadi rusak dan tercampur dengan pasir dan batu besar. Sulit untuk memulihkan
kembali kondisi lahan mereka seperti awal. Kemudian Adanya kebodohan ini
diakibatkan siswa dan anak-anak tidak bisa melanjutkan pendidikan karena
bangunan sekolah hancur terkena abu vulkanik yang mengerikan. Hancurnya sarana
pendidikan membuat harapan mereka punah untuk melanjutkan masa depan yang
lebih baik. Hal seperti inilah awal dari timbulnya kebodohan karena hilangnya hak
kependidikan anak-anak musnah.
Kedua, penyimpangan yang mengganggu kepentingan umum. Untuk hal ini
hampir dikatakan tidak ada penyimpangan yang berarti jika imbasnya adalah
kepentingan umum karena setelah erupsi merapi, harapan mereka akan kehidupan
yang lebih baik menjadi hilang. Akan tetapi, memang terdapat semangat kembali
untuk menjadikan kelangsungan hidup pulih kembali dengan tidak melakukan
tindakan kriminalitas. Walaupun mereka bergantung pada bantuan dan uluran tangan
pemerintah, pola perilaku masyarakat lereng gunung merapi ini sangat mandiri
untuk membentuk desa kambali seperti semula.
Ketiga, tidak berfungsinya institusi-institusi sosial dan jaringan sosial.
Bangunan sarana dan prasarana pemerintahan seperti Kantor Kepala Desa, bangunan
kelompok tani dan paguyuban tertentu yang rusak akibat hancur mengakibatkan
terhentinya roda pemerintahan di beberapa desa. Masyarakat yang biasanya
melakukan kegiatan administrasi tentang kependudukan, sekarang menjadi hilang.
Para aparatur Desa juga tidak bisa melakukan pekerjaanya untuk membangun
pemerintahan desa. Kemudian untuk kelompok tani dan paguyuban tertentu yang
terdapat pada beberapa desa juga tidak bisa menjalankan usahanya, sehingga
perekonomian macet dan hampir tidak bisa mencari sumber pangan. Semua kondisi

diatas adalah potensi disintegrasi yang bisa melumpuhkan sendi-sendi ekonomi dan
sosial masyarakat di Lereng gunung merapi. Jika tidak ada keberlanjutan atau
tindakan pemerintah secara aktif dan berkesinambungan untuk membantu
membangkitkan keadaan di beberapa desa dengan sempurna.
E. Keberlanjutan Perilaku
Dampak Erupsi Gunung Merapi sangat terasa oleh masyakat Yogyakarta.
Dalam bencana Erupsi Merapi ini diketahui terdapat 14 desa habis terlahap letusan
gunung merapi. Yaitu desa Kalibening, Kaliurang, Kapuhan, Keningar, Lencoh,
Ngargomulyo, Paten, Samiran, Sengi, Sewukan, Sumber, Seruteleng dan Tlogolele.
Selain itu berbagai jenis gas seperti Sulfur Dioksida (SO2), gas Hidrogen Sulfida
(H2S), Nitrogen Dioksida (NO2), serta debu dalam bentuk partikel debu (Total
Suspended Particulate atau Particulate Matter) berterbangan bebas di udara. Partikel
debu tersebut selain membahayakan kesehatan, juga membahayakan lalu lintas
penerbangan. Sejumlah penerbangan keluar dan ke dalam negeri dibatalkan karena
adanya abu vulkanik ini. Terbang melewati awan abu tersebut mengancam
keselamatan karena partikel abu dapat menyebabkan kerusakan mesin. Misalnya
pada tanggal 28 Oktober 2010, pesawat udara Thomas Cook Skandinavia terbang
melewati awan Merapi dari Indonesia ke Arab Saudi, dan terpaksa diberhentikan di
Batam untuk dilakukan chek up. Hasilnya ditemukan bahwa mesin mengalami
kerusakan dan harus diganti. Hal ini juga semakin diperparah dengan jauhnya
jangkauan debu dan abu tersebut. Karena kabarnya abu vulkanik mencapai telah
Bogor.
Disamping itu, Erupsi Merapi juga melahirkan aliran Lahar dingin yang
bersifat asam sehingga berdampak terhadap kerusakan lingkungan terutama Candi
Borobudur. Aliran Lahar dingin ini dapat menyebabkan pengikisan terhadap Candi.
Namun, selain berdampak negatif, aliran lahar dingin ini juga membawa dampak
positif berupa material vulkanik yang sangat baik untuk kesuburan tanah.
Erupsi Merapi memberikan dampak sosial terhadap masyarakat Yogyakarta,
tidak hanya yang barada di kawasan sekitar Lereng Gunung Merapi. Bencana erupsi
merapi telah merenggut kurang lebih 206 jiwa di kawasan sekitar Merapi hingga
tanggal 12 November 2010. Jumlah ini belum dapat dipastikan dan akan terus
bertambah karena adanya korban tewas yang masih belum ditemukan. Sedangkan

jumlah pengungsi yang berasal dari D.I.Y dan Jawa Tengah diperkirakan sekitar
384.136 orang yang menyebar 635 titik pengungsian. Selain itu, para korban yang
dirawat ada sekitar 486 pasien yang dirawat di beberapa RS di Klaten, Magelang,
Boyolali, Sleman, dan Kota Magelang ( data per tanggal 12 November 2010). Di
samping menyebabkan korban jiwa, erupsi merapi juga menyebabakan sejumlah
warga kehilangan ternak, rumah, pekerjaan sehari – hari serta harta benda.
Kerugian material yang diderita akibat erupsi merapi diperkirakan mencapai 5
triliun rupiah. Kegiatan di semua sektor macet total. Dari sektor perikanan,
pariwisata, pertanian, UMKM, perhotelan dan ekonomi tidak berjalan sebagaimana
mestinya.Dari sektor perikanan sendiri kerugian yang diderita mencapai 11 miliar
rupiah. Dari sektor pertanian mengalami kerugian sekitar Rp 247 miliar, terutama
pada salak pondoh yang rugi Rp 200 miliar.Sedangkan pada sektor UMKM, terdapat
sekitar 900 UMKM di Sleman, dari 2.500 UMKM, untuk sementara berhenti total.
Kebanyakan usahannya adalah peternakan, holtikultura, dan kerajinan.
Dampak Erupsi Merapi melahirkan trauma dan gangguan psikologis bagi
masyarakat. Hal ini lebih banyak disebabkan karena kehilangan harta dan ternak
serta lahan pertanian mereka yang merupakan wariasan turun temurun.
Pembangunan kembali kawasan yang terkena dampak juga tidak dapat dilakukan
dengan instan, sehingga semakin memperparah kondisi psikologis masyarakat.
Tragedi bencana erupsi Merapi yang menimpa warga Jawa Tengah dan
Yogyakarta masih menyisakan luka dan duka yang cukup mendalam dikalangan
masyarakat setempat, baik secara fisik maupun psikologis.Secara fisik yang pastinya
sudah cukup banyak hal-hal yang diterima oleh masyarakat.Dari mulai kehilangan
rumah, kehilangan sanak saudara maupun harta serta bendanya.Pasca erupsi Gunung
Merapi 26 Oktober 2010, sumber ekonomi masyarakat sebagai penompang
kehidupan sehari-hari luluh lantah, bahkan sejumlah desa juga turut porak
poranda.Hal ini menunjukan adanya kegelisahan dan trauma yang cukup mendalam
bagi masyarakat setempat yang secara langsung merasakan dahsyatnya letusan
Gunung Merapi.Sehingga hal itulah juga yang merambah kepada kondisi psikologis
warga masyarakat yang terletak di sekitar Gunung Merapi. Berikut dibawah ini
dampak-dampak yang dirasakan masyarakat pada saat terjadinya letusan Gunung
Merapi, yaitu:

a. Stres
Masyarakat atau warga yang mengalami akibat dari erupsi Merapi,
mengalami stress diantaranya: gelisah, tegang, cemas, mengalamin kelelahan,
ketegangan otot dan sulit tidur. Ada pula yang tekanan darah dan detak
jantungnya meningkat, sakit kepala, perut mulas, gatal-gatal, dan diare.Stres juga
dapat merubah perilaku seseorang, misalnya masyarakat menjadi lebih mudah
marah, lebih suka menyendiri, nafsu makan berkurang, merasa tidak berdaya,
tidak bersemangat, frustrasi, atau merasa tidak percaya diri.
b. Depresi
Depresi adalah suatu gangguan mental yang paling sering terjadi pada
para korban bencana alam dahsyat, seperti erupsi Merapi ini yang lebih hebat dari
tahun 1930. Setelah mengalami depresi, selanjutnya korban akan mengalami
pasca trauma. Depresi berupa perasaan sedih yang berat berkepanjangan, putus
asa, merasa tidak tertolong lagi.Biasanya karena kehilangan sesuatu yang dicintai,
kehilangan anggota keluarga, rumah, sawah ladang, ternak dan harta benda
lainnya.Kehilangan kebersamaan hidup sekeluarga dengan tetangga, dan
kehilangan kecantikan atau kegagahan karena luka bakar.
c. Trauma
Trauma adalah perasaan menghadapi sebuah kejadian atau serangkaian
kejadian yang berbahaya, baik bagi fisik maupun psikologis seseorang, yang
membuatnya tidak lagi merasa aman, menjadikannya merasa tidak berdaya dan
peka dalam menghadapi bahaya.30 Pengalaman traumatis bisa menyebabkan
berbagai dampak ringan, seperti korban menjadi peragu dalam berbuat sesuatu.
Keragu-raguan ini disebabkan rasa takut mengalami peristiwa yang sama, dan
pada tahap awal bisa dikatakan wajar jika rasa takutnya tidak digeneralisir. Pada
kenyataannya ketakutan karena trauma sering menjalar ke berbagai hal. Sebagai
contoh seseorang yang pernah mengalami musibah banjir akan merasakan takut
jika melihat sungai, hal tersebut mengakibatkan dirinya takut ketika melewati
jembatan. Begitu pula yang dialami oleh korban bencana gunung meletus, dirinya
akan merasa takut dengan segala suara gemuruh.
d. Pasca Trauma

Gangguan stres pasca trauma adalah merupakan gangguan mental pada
seseorang yang muncul sesudah orang itu mengalami suatu pengalaman traumatik
dalam kehidupan maupun suatu peristiwa yang mengancam keselamatan jiwanya.
Gangguan stress pascatrauma dapat didefinisikan sebagai keadaan yang
melemahkan fisik dan mental secara ekstrim yang timbul setelah seseorang
melihat, mendengar, atau mengalami suatu kejadian trauma yang hebat dan atau
kejadian yang mengancam kehidupannya. Keadaan ini ditandai dengan suasana
perasaan murung, sedih, kurangnya semangat dalam melakukan kegiatan seharihari maupun kegiatan yang menimbulkan kesenangan, dan bila sudah berat dapat
menimbulkan gangguan dalam fungsi peran dan kehidupan sosial.

F. Penutup
1.

Kesimpulan
Dilihat dari kondisi Lingkungan, Sosial, Ekonomi, Kesehatan dan
Psikologis maka dapat disimpulkan bahwa :
1) Kenyataannya masyarakat di kawasan lereng Merapi telah mengetahui
dampak yang akan mereka terima dengan bermukim di kawasan sekitar
Gunung

Merapi.

Akan

tetapi

hal

itu

tidak

menghindarkan

masyarakatkan untuk tetap mempertahankan tempat tinggalnya itu.
Bukan hanya berharap terhadap kesuburan tanahnya saja. Namun
alasan sosial seperti tanah yang merupakan warisan turun temurun pun
merupakan alasan tersendiri masyarakat untuk dapat mempertahankan
diri meskipun adanya ancaman bencana.
2) Erupsi Merapi melahirkan berbagai dampak negatif bagi masyarakat
dalam hal lingkungan, sosial, ekonomi, kesehatan dan psikologis.
Namun, disamping itu erupsi merapi juga membawa dampak positif
terutama terhadap kesuburan tanah.
2.

Saran
Adapun saran-saran yang dapat kami berikan adalah sebagai berikut :
1) Untuk mencegah terjadinya kerugian yang lebih banyak dikemudian
hari maka dihimbau kepada pemerintah untuk dapat melakukan
relokasi masyarakat di kawasan Lereng Gunung Merapi.

2) Untuk merelokasi masyarakat di kawasan lereng Gunung Merapi
diharapkan adanya sosialisasi yang baik dan menarik perhatian
masyarakat sehingga bersedia untuk dapat mengikuti program relokasi.
3) Masyarakat juga harus selalu diingatkan akan potensi bencana
meskipun pada kenyataannya mereka telah mengetahui dampak negatif
dari bermukim di kawasan lereng merapi tersebut.
4) Dalam hal proses restorasi, pemerintah dihimbau untuk melakukan
langkah preventif terhadap kemungkinan-kemungkinan negatif yang
akan timbul dikemudian hari.

Daftar Pustaka
Anonimus.2006.Disintegrasi dan Integrasi Masyarakat.(online).
http://akarsejarah.wordpress.com/2010/09/30/disintegrasi-integrasi-dan-tipologimasyarakat/
Diakses kamis, 11 februari 2016. Pukul 14.22 wib.
Anwar, Yesmil & Adang. 2008. Pengantar Sosiologi Hukum. Jakarta: Grasindo Persada.
-------------------------------, 2013. Sosiologi Untuk Universitas. Bandung: Refika Aditama.
Indrawijaya, A. Ibrahim. 2010. Teori Perilaku dan Budaya Organisasi. Bandung: Rafika
Aditama.
Nugroho, Aristiono;, dan Sutaryono. 2015. Ecotourism Lereng Merapi Pasca Konsolidasi
Tanah. Yogyakarta: STPN Press.
Ritzer, George. 2002. Sosiologi Ilmu Pengetahuan Berparadigma Ganda. Jakarta: PT. Raja
Grafindo Persada.
Ritzer, George. 2014. Sosiologi Ilmu Pengetahuan Berparadigma Ganda, terjemahan
Alimandan. Jakarta: Rajawali Pers.
Soelaeman, Munandar. 1989. Ilmu Sosial Dasar. Bandung: Universitas Padjajaran.
Wikipedia.org