Filsafat ilmu materi kuliah

BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Ahli gizi dituntut untuk senantiasa profesional dalam melakukan
pekerjaannya. Salah satu syarat yang harus dipenuhi seorang profesional
adalah cara berpikir yang scientific dan logis serta bersikap kritis. Dengan
berpikir secara scientific dan logis, maka akan memberikan pemahaman pada
calon sarjana gizi dalam memahami ilmu yang menjadi kompetensi dan juga
akan memahami permasalahan yang dihadapi klien sehingga pada akhirnya
derajat kesehatan klien akan turut meningkat. Bersikap kritis, maksudnya
adalah ahli gizi harus mampu menemukan serta memecahkan permasalahan
gizi yang ada di lingkungan sekitarnya.
Filsafat ilmu mempelajari tentang konsep dasar dan masalah-masalah
tentang

pengantar

filsafat

ilmu,


dasar-dasar

pengetahuan,

ontologi,

epistimologi, aksiologi, pengetahuan sains, pengetahuan filsafat, sikap
ilmuwan, esensi ilmu gizi dan dietisien. Dengan memahami ilmu, esensi dan
manfaat ilmu pengetahuan akan memudahkan seorang sarjana gizi dalam
mengidentifikasi dan menguraikan permasalahan dan membantu mengurangi
permasalahan gizi.
1.2 Rumusan Masalah
Bagaimanakah peran filsafat dan peran ilmu gizi dalam mengatasi masalah
kesehatan masyarakat?
1.3 Tujuan
1.3.1 Tujuan Umum
Menjelaskan peran filsafat dan peran ilmu gizi dalam mengatasi
masalah kesehatan masyarakat.
1.3.2 Tujuan Khusus
1.


Menjelaskan tentang introduction to the course: nutrition
philosophy.

2.

Menjelaskan tentang pengantar filsafat.

3.

Menjelaskan tentang aksiologi dan ontologi.

4.

Menjelaskan tentang epistemologi.

5.

Menjelaskan tentang etika ilmu.


6.

Menjelaskan tentang tanggung jawab moral keilmuan.

7.

Menjelaskan tentang sejarah ilmu gizi.

8.

Menjelaskan tentang peran ilmu gizi.

9.

Menjelaskan tentang cabang keilmuan gizi.

10. Menjelaskan tentang tantangan ilmu gizi.
11. Menjelaskan tentang gizi dan kesehatan.
12. Menjelaskan tentang filsafat dietisien.
13. Menjelaskan tentang aplikasi metode ilmiah.

14. Menjelaskan tentang metode ilmiah dalam fungsi dietisien.
BAB 2
PEMBAHASAN
2.1 Introduction to the Course: Nutrition Philosophy
Filsafat ilmu mempelajari tentang konsep dasar dan masalah-masalah
tentang

pengantar

filsafat

ilmu,

dasar-dasar

pengetahuan,

ontologi,

epistimologi, aksiologi, pengetahuan sains, pengetahuan filsafat, sikap

ilmuwan, esensi ilmu gizi dan dietisien. Dengan memahami ilmu, esensi dan
manfaat ilmu pengetahuan akan memudahkan seorang sarjana gizi dalam
mengidentifikasi dan menguraikan permasalahan dan membantu mengurangi
permasalahan gizi.
Ahli gizi dalam menjalankan profesinya haruslah:
1.

Berfikir secara scientific dan menalar secara logis
Hal ini perlu dilakuan oleh ahli gizi, karena akan memberikan
pemahaman dalam memahami ilmu yang menjadi kompetensi dan juga
akan memahami permasalahan yang dihadapi klien sehingga pada
akhirnya derajat kesehatan klien akan turut meningkat. Mampu menalar
secara logis maksudnya mampu menempatkan suatu masalah pada
tempatnya dan menilai secara proposional.

2.

Mengatasi masalah secara sistematis

Dengan mengatasi masalah secara sistematis, maka permasalahan yang

timbul akan lebih mudah diidentifikasi dan diselesaikan. Sistematis
maksudnya dilakukan secara prosedural sesuai dengan kaidah-kaidah
ilmiah yang berlaku.
3.

Bersikap kritis
Maksudnya adalah ahli gizi harus peka terhadap lingkungan sekitar,
mampu menemukan serta memecahkan permasalahan gizi yang ada di
lingkungan sekitarnya.

Filsafat ilmu mengajari kita untuk memahami manfaat dan esensi ilmu
pengetahuan. Dengan memahami ilmu, esensi dan manfaat ilmu pengetahuan
akan memudahkan kita, sebagai calon sarjana gizi dalam mengidentifikasi
dan menguraikan permasalahan dan membantu mengurangi permasalahan
gizi.
2.2 Pengantar Filsafat
2.2.1 Pengertian Filsafat
Kata “filsafat” merupakan serapan dari kata bahasa arab “falsafah”,
yang berasal dari bahasa yunani “philosophia”, dimana “philia” berarti
persahabatan, cinta dan ”sophia”berarti pengetahuan, kebijaksanaan.

Sehingga, philosophia berarti cinta pada kebijaksanaan. Menurut AlFarabi, filsafat merupakan ilmu pengetahuam tentang alam sebagaimana
hakikat yang sebenarnya. Sedangkan menurut Plato, filsafat merupakan
pengetahuan tentang segala yang ada. Aristoteles (murid Plato)
berpendapat bahwa filsafat adalah ilmu yang menyelidiki sebab dan asas
segala benda. Filsafat diartikan sebagai suatu cara berpikir yang radikal
dan menyeluruh, ataupun cara berpikir yang mengupas sesuatu sedalamdalamnya.
2.2.2 Sifat Dasar Filsafat
Menurut Simon (2005) , ada 5 sifat dasar filsafat, yaitu:
1.

Berpikir radikal.
Maksud dari berpikir radikal bukan berarti hendak mengubah,
membuang, atau menjungkirbalikkan segala sesuatu, namun dalam
arti sebenarnya, yaitu berpikir secara mendalam, untuk mencapai

akar persoalan yang dipermasalahkan. Hanya apabila akar suatu
permasalahan telah ditemukan, permasalahan itu dapat dimengerti
sebagaimana mestinya. Maka dari itu, dengan berpikir radikal, maka
seorang filsuf akan dapat memperjelas realitas, lewat penemuan serta
pemahaman akar realitas itu sendiri.

2.

Mencari asas.
Filsafat tidak hanya mengacu pada bagian tertentu dari suatu realitas,
melainkan keseluruhan realitas tersebut. Dalam memandang
keseluruhan realitas itu, seorang filsuf akan senantiasa mencari asas
yang paling hakiki dari keseluruhan realitas. Mencari asas pertama
juga berarti menemukan sesuatu yang menjadi esensi realitas.
Dengan menemukan esensi suatu realitas, maka realitas itu akan
diketahui dengan pasti dan menjadi jelas.

3.

Memburu kebenaran.
Berfilsafat berarti memburu kebenaran hakiki tentang sesuatu. Filsuf
adalah pemburu kebenaran. Kebenaran yang diburunya adalah
kebenaran hakiki dan tidak meragukan. Untuk memperoleh
kebenaran

yang


sungguh-sungguh

atau

hakiki

dan

dapat

dipertanggung jawabkan, maka setiap kebenaran yang telah diraih
harus senantiasa terbuka. Kebenaran tentang sesuatu yang sudah
ditemukan oleh seorang filsuf akan selalu diteliti ulang oleh yang
lain demi mencari kebenaran yang lebih hakiki dan dapat
dipertanggungjawabkan.
4.

Mencari kejelasan.
Penyebab lahirnya filsafat antara lain karena adanya keraguan.

Untuk menghilangkannya, diperlukan kejelasan. Hal ini diperkuat
oleh pendapat Geisler dan Feinberg yang mengatakan bahwa ciri
khas penelitian filsafat ialah adanya usaha keras demi meraih
kejelasan intelektual (intelectual clarity). Mengejar kejelasan berarti
mengeliminasi segala sesuatu yang tidak jelas, yang kabur, dan yang
gelap, bahkan juga yang serba rahasia dan berupa teka-teki.

5.

Berpikir rasional.

Berpikir secara rasional adalah berpikir logis, sistematis, dan kritis.
Berpikir logis bukan hanya bisa diterima oleh akal sehat, tapi juga
bisa mengambil kesimpulan dan keputusan yang tepat dan benar dari
premis yang digunakan. Pemikiran yang sistematis, maksudnya
adalah pemikiran-pemikiran yang saling berkaitan secara logis.
Berpikir kritis, berarti membakar kemauan untuk terus menerus
mengevaluasi argumen-argumen yang mengklaim diri benar.
2.2.3 Kegunaan Filsafat dan Ontologi
Kegunaan filsafat antara lain:

1.

Belajar mengembangkan diri secara luas untuk memahami pemikiran
orang lain (out of the box)

2.

Belajar mengembangkan daya nalar secara kritis untuk menjelaskan
fenomena yang dihadapi manusia untuk kepentingan kehidupan.

3.

Memungkinkan orang berpikir secara komprehensif, memberi peran
yang wajar kepada konsep, mendasar/radikal, konsisten/runtut,
koheren/logis, sisematis, bebas, dan bertaggungjawab.

4.

Membantu seseorang untuk menempatkan bidang ilmunya dalam
perspektif lebih luas dan mendasar.

5.

Memberikan

pendasaran

rasional

tentang

hakikat

eksistensi

pengetahuan, nilai-nilai, dan masyarakat.
6.

Bagi orang beragama, filsafat memnberikan pendasaran rasional bagi
kepercayaannya, sehingga imannya lebih kokoh karena apa yang
dipercayainya menjadi rasional dan dapat dipertanggungjawabkan.

7.

Memecahkan

masalah-masalah

etis

yang

disebabkan

oleh

perkembangan pesat suatu ilmu pengetahuan.
Ontologi merupakan salah satu cabang filsafat yang membahas
tentang apa yang ingin kita ketahui dan seberapa jauh kita ingin tahu.
Ontologi mempelajari esensi dari teori yang ada. Manfaat ontologi,
antara lain:
1.

Membantu untuk mengembangkan dan mengkritisi berbagai
bangunan sistem pemikiran yang ada.

2.

Bisa mengeksplorasi secara mendalam dan jauh pada berbagai ranah
keilmuan maupun masalah, baik itu sains hingga etika.

2.2.4 Cabang Filsafat
Menurut Donal Butler dalam Hamdi (2012) membagi filsafat menjadi
empat cabang yaitu:
1.

Metafisika. Sebagai cabang filsafat yang menelaah hakikat
kenyataan meliputi ontology, atau metafisika yang menelaah hakikat
dari hakikat; kosmologi atau metafisika yang menelaah hakikat
kosmos atau alam semesta; antropologi filosofis (phyloshopical
anthropology) atau metafisika yang menelaah hakikat manusia dan;
teologi rasional atau metafisika yang menelaah hakikat Tuhan.

2.

Epistimologi. Sebagai cabang filsafat yang menelaah hakikat
pengetahuan.

3.

Logika. Sebagai cabang filsafat yang menelaah hakikat bentukbentuk penalaran yang tepat. Yang terdiri atas 2 bagian yaitu (1)
logika deduktif atau bentuk-bentuk penarikan kesimpulan dari umum
ke khusus; (2) logika induktif atau bentuk-bentuk penarikan
kesimpulan dari khusus ke umum.

4.

Aksiologi. Sebagai cabang filsafat yang menelaah hakikat nilai yang
meliputi 3 bagian yaitu (1) etika atau aksiologis tentang hakikat baik
dan jahat; (2) estetika atau aksiologis tentang hakikat indah dan
jelek; (3) religi atau hakikat hubungan manusia dengan Tuhan atau
yang dituhankan.

2.2.5 Hubungan Antara Filsafat Dengan Ilmu Gizi
Cara berpikir yang scientific, logis, dan kritis merupakan cikal
bakal berkembangnya semua ilmu pengetahuan, termasuk ilmu gizi. Cara
berpikir scientific, logis, dan kritis ini juga merupakan cara berpikir
seorang filsuf. Ilmu gizi tidak akan bisa berkembang jika ilmuwannya
memiliki sikap apatis dan cara berpikir yang tidak rasional. Maka dari
itulah, filsafat dan ilmu gizi saling berhubungan, dimana filsafat menjadi
dasar bagi semua perkembangan ilmu pengetahuan, khususnya ilmu gizi.
2.3 Aksiologi dan Ontologi

2.3.1 Definisi Aksiologi dan Ontologi
Menurut Suriasumantri (1985) aksiologi adalah teori nilai yang
berkaitan dengan kegunaan dari pengetahuan yang di peroleh. Jadi
aksiologi adalah bagian dari filsafat yang menaruh perhatian tentang baik
dan buruk, benar dan salah, serta tentang cara dan tujuan. Aksiologi
mencoba merumuskan suatu teori yang konsisten untuk perilaku etis.
Menurut Bramel (dalam Amsal 2009) aksiologi terbagi tiga bagian:
1.

Moral Conduct, yaitu tindakan moral. Bidang ini melahirkan disiplin
khusus yaitu etika.

2.

Estetic expression, yaitu ekspresi keindahan. Bidang ini melahirkan
keindahan.

3.

Socio-politcal life, yaitu kehidupan sosial politik, yang akan
melahirkan filsafat sosial politik.
Menurut Suriasumantri (1985), ontologi membahas tentang apa

yang ingin kita ketahui, seberapa jauh kita ingin tahu, atau, dengan kata
lain suatu pengkajian mengenai teori tentang “ada”. Telaah ontologis
akan menjawab pertanyaan-pertanyaan :
a) apakah obyek ilmu yang akan ditelaah,
b) bagaimana wujud yang hakiki dari obyek tersebut, dan
c) bagaimana hubungan antara obyek tadi dengan daya tangkap manusia
(seperti

berpikir,

merasa,

dan

mengindera)

yang

membuahkan

pengetahuan.
2.3.2 Ilmu dan Moral
Ilmu adalah pengetahuan yang didapat melalui proses tertentu yang
disebut dengan metode keilmuan. Ilmu pengetahuan merupakan
kumpulan pengetahuan yang benar disusun secara sistem dan metode
untuk mencapai tujuan yang berlaku universal dan dapat diuji
kebenarannya. Suatu ilmu pengetahuan haruslah diatur secara sistematis
dan langkah-langkah pencapaiannya dapat dipertanggungjawabkan
secara teoritis. Karakteristik ilmu antara lain bersifat rasional/masuk akal,
didukung berdasarkan fakta empiris, disusun secara sistematis, bersifat
objektif, dan dapat dikritik.

Moral berasal dari bahasa latin, “mos” yang berarti adat atau cara
hidup. Menurut KBBI, moral adalah ajaran tentang baik buruk yang
diterima umum mengenai perbuatan, sikap, kewajiban, dan sebagainya;
akhlak; budi pekerti; susila.
Moral tidak bisa dilepaskan dari ilmu, karena tanpa memiliki
moral, seorang illmuwan akan menjadi biadab. Ilmu memang tak
terbatas, namun moral kita sebagai manusialah yang membatasi
pengembangan ilmu yang ada. Ilmu layaknya sebuah pisau, dimana ia
bisa menjadi bermanfaat, namun juga bisa membahayakan. Moral-lah
yang mengatur dan mengontrol agar ilmu yang telah dikembangkan itu
digunakan untuk kebaikan.
2.3.3 Objek Aksiologi
Aksiologi membahas nilai kegunaan pengetahuan dan mempelajari
tentang nilai manfaat. Nilai filsafat mengajarkan nilai yang ada dalam
kehidupan yang berfungsi sebagai pengontrol sifat keilmuan manusia.
Aksiologi berkutat pada masalah nilai atau moral yang berlaku di
kehidupan manusia. Dari aksiologi inilah, muncul dua cabang filsafat
yang membahas kualitas hidup manusia, yaitu etika (berkaitan dengan
moral) dan estetika (berkaitan dengan keindahan).
2.3.4 Metode Ilmiah Dalam Ontologi
Ditinjau dari aspek ontologi, segala sesuatu tidak berasal dari satu
substansi belaka dan tidak bisa dianggap berdiri sendiri, melainkan harus
ada hubungan sebab-akibat (kausalitas). Ontologi mempersoalkan
hubungan sebab-akibat ini. Untuk menjelaskan persoalan sebab-akibat
ini, diperlukan suatu metode yang bisa menjelaskan hubungan sebabakibat ini secara logis dan dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya.
Metode ini disebut metode ilmiah.
Metode ilmiah merupakan proses sistematik (urutan langkah
standar) untuk mengkaji: hasil pengamatan, merumuskan masalah,
menduga

penyebab

masalah,

menguji

kebenaran

penyebabnya,

menyimpulkan, dan mencari solusinya. Metode ilmiah akan membantu
ilmuwan menguji kebenaran teori yang akan digunakan, termasuk

diantaranya memastikan ada-tidaknya hubungan sebab akibat yang
terjadi pada sesuatu yang diteliti itu.
Dalam aspek ontologi, metode ilmiah merupakan bagian yang
sangat penting, dimana berperan sebagai prosedur standar melakukan
penelitian, baik menggunakan paradigma positivistik (berujung pada
penelitian kuantitatif) ataupun paradigma konstruktivisme (berujung pada
penelitian kualitatif). Tanpa menggunakan metode ilmiah, hasil dari
penelitian yang telah dilakukan akan dianggap tidak valid dan tidak bisa
dianggap sebagai suatu ilmu, karena salah satu karakteristik dari ilmu
sendiri adalah disusun secara sistematis.

2.4 Epistemologi
2.4.1 Definisi epistemologi
Menurut Dagobert D. Runes epistemologi adalah cabang filsafat
yang membahas sumber, struktur, metode-metode dan validitas
pengetahuan. Azyumardi Azra menambahkan, bahwa epistemologi
sebagai “ilmu yang membahas tentang keaslian, pengertian, struktur,
metode dan validitas ilmu pengetahuan”. Jadi, epistemologi dapat
didefinisikan sebagai cabang filsafat yang mempelajari sumber, struktur,
metode dan kevalidan pengetahuan.
2.4.2 Menganalisis Sains
Kata sains berasal dari bahasa latin “scientia” yang berarti
pengetahuan. Menurut Conant sains adalah suatu deretan konsep serta
skema

konseptual

yang berhubungan satu sama lain, dan tumbuh

sebagai hasil eksperimentasi dan observasi,

serta berguna untuk

diamati dan dieksperimentasikan lebih lanjut. Dari pengertian tersebut
dapat dipahami bahwa sains diperoleh melalui eksperimen dan observasi,
sehingga kebenarannya dapat dipertanggungjawabkan. Menganalisis
sains dapat berarti mempelajari sains secara sungguh-sungguh dengan
sikap kritis, dan berusaha untuk selalu mengembangkannya. Dalam
menganalisis sains, seorang ilmuwan haruslah objektif, kritis, dan
inovatif.
2.4.3 Contoh dari Pengetahuan Sains
Sains seringkali dimaknai sempit oleh sebagian besar orang
sebagai ilmu pengetahuan alam (IPA). Padahal, sains sendiri sangatlah
luas cakupannya, bukan hanya ilmu alam saja. Sains secara garis besar
terbagi menjadi dua rumpun besar, yaitu ilmu alam/eksakta dan ilmu
moral. Yang termasuk dalam ilmu alam, antara lain biologi, fisika,
astronomi, geografi, dan sebagainya. Sedangkan yang termasuk dalam
ilmu moral antara lain ilmu sosial dan ilmu humaniora, misalnya
sosiologi, antropologi, dan sebagainya. Keseluruhan dari pengetahuan
tersebut merupakan pengetahuan sains, dimana ilmu-ilmu tersebut

diperoleh melalui rangkaian eksperimen dan observasi sesuai metode
ilmiah.
2.5 Etika Ilmu
2.5.1 Definisi Etika
Etika berasal dari bahasa Yunani “ethos” yang berarti watak,
kesusilaan, atau adat. Menurut KBBI, Etika adalah ilmu tentang apa yang
baik dan apa yang buruk dan tentang hak dan kewajiban moral (akhlak).
Etika dan moral saling berkaitan, dimana etika merupakan ilmunya,
sedangkan moral merupakan objek dari etika, dalam bentuk perilaku
yang dilakukan.
2.5.2 Etika Ilmuwan dan Fungsi Beretika
Tanggung jawab etis diperlukan untuk mengontrol kegiatan dan
penggunaan ilmu pengetahuan. Menurut Zubair (2002) dalam kaitan hal
ini, terjadi keharusan untuk memperhatikan kodrat manusia, martabat
manusia, menjaga keseimbangan ekosistem, bertanggung jawab pada
kepentingan umum, kepentingan generasi mendatang, dan bersifat
universal. Keempat hal inilah yang merupakan etika seorang ilmuwan
dalam mengembangkan penemuan-penemuannya.
Fungsi beretika, antara lain:
1.

Membantu untuk memberikan penilaian-penilaian yang tepat, yang
dapat dipertanggungjawabkan secara intelektual.

2.

Membuat manusia berpikir kritis, karena dapat memahami tuntutantuntutan normatif dalam masyarakat, mengambil sikap, dan
mengintegrasikannya dalam kepribadian.

2.5.3 Hubungan Etika Ilmu dan Masyarakat
Pandangan para ahli filsuf bahwa ilmu bebas nilai dan objektif
yang menyatakan bahwa ilmu merupakan alat untuk mempertahankan
keadaan dan cara pikir yang mendorong terhadap kemajuan bangsa
manusia. Pandangan ini benar, namun aktualisasi ilmu tidak bebas nilai.
Hal ini disebabkan karena aktualisasi ilmu sendiri dibatasi oleh etika dan
nilai-nilai yang ada pada masyarakat. Ada moral yang perlu
diaktualisasikan oleh manusia, termasuk oleh para ilmuwan. Misalnya,

perkembangan

ilmu

pengetahuan

terkini

sudah

mampu

untuk

menciptakan hewan-hewan transgenik yang diperoleh secara rekayasa
genetika. Hal ini bisa diaktualisasikan pada hewan dan tumbuhan, namun
tidak bisa diaktualisasikan pada manusia, karena berbenturan dengan
nilai-nilai yang ada di masyarakat, dimana bila tercipta manusia
transgenik, maka itu akan dianggap tidak etis oleh masyarakat.
Bukan hanya aktualisasi ilmu saja yang tidak terlepas dari nilai
masyarakat, metode mendapatkan ilmu-pun tidak terlepas dari nilai
masyarakat. Misalnya seorang ilmuwan ingin mengetahui dampak
minuman keras terhadap kejadian sirosis hati. Tidaklah mungkin ia
mengambil sampel seorang manusia yang diberi intervensi berupa
konsumsi minuman keras, karena itu tidak etis.
Dari uraian diatas, dapat disimpulkan bahwa etika ilmu berasal dari
masyarakat sendiri. Semua anggapan pantas-tidaknya suatu hal berasal
dari nilai-nilai yang berkembang di masyarakat itu sendiri. Ilmu memang
bebas nilai, namun aktualisasi ilmu dan cara memperoleh ilmu tersebut
berkaitan erat dengan nili-nilai yang ada di masyarakat.
2.5.4 Masyarakat Berbudaya Ilmu Pengetahuan
Masyarakat berbudaya ilmu pengetahuan/masyarakat ilmiah adalah
masyarakat yang telah menjadikan ilmu pengetahuan sebagai budayanya.
Membangun masyarakat ilmiah ialah merubah cara berpikir atau pola
pikir masyarakat untuk berpikir kritis , rasional dan bersifat pragmatis
yaitu mencari kebenaran terhadap suatu permasalahan hidup masyarakat,
agar kehidupan masyarakat menjadi lebih baik dan semakin maju dengan
berkembangnya ilmu pengetahuan.
Dalam membangun masyarakat ilmiah juga di perlukan sikap-sikap
yang berlandaskan ilmiah. Sikap yang berlandaskan ilmiah itu adalah
pola pikir yang bersikap kritis dalam mencari suatu kebenaran, tidak
hanya berlandaskan pada teori-teori yang telah ada, melainkan dapat juga
melakukan berbagai observasi atau penelitian di ruang lingkup
masyarakat. Ciri-ciri masyarakat ilmiah yaitu: obyektif, analitis, kreatif
dan konstruktif, terbuka dan berlapang dada untuk menerima kritik,

menghargai waktu, dinamis, berorientasi ke masa depan, berpacu masa
kini, dan kritis.
2.6 Tanggung Jawab Moral Keilmuan
2.6.1 Sumber Ilmu
Secara garis besar ada empat sumber utama dalam memperoleh
ilmu, yaitu akal, pengalaman, intuisi, dan wahyu.
a. Rasionalisme
Aliran

ini

menyatakan

bahwa

akal

adalah

dasar

kepastian

pengetahuan. Pengetahuan yang benar diperoleh dan diukur dengan
akal. Manusia memperoleh pengetahuan melalui kegiatan menangkap
objek.
b. Empirisme
Kata ini berasal dari kata Yunani empeirikos, artinya pengalaman.
Menurut aliran ini manusia memperoleh pengetahuan melalui
pengalamannya. Dan bila dikembalikan kepada kata Yunaninya,
pengalaman yang dimaksudkan ialah pengalaman indrawi.
c. Intuisi.
Kemampuan ini mirip dengan insting, tetapi berbeda dengan
kesadaran dan kebebasannya. Intuisi adalah suatu pengetahuan yang
langsung, yang mutlak dan bukan pengetahuan yang nisbi. Intuisi
bersifat personal dan tidak bisa diramalkan. Sebagai dasar untuk
menyusun pengetahuan secara teratur, intuisi tidak dapat diandalkan.
d. Wahyu
Wahyu adalah pengetahuan yang disampaikan oleh Allah SWT kepada
manusia lewat perantaraan para nabi. Wahyu Allah (agama) berisikan
pengetahuan, baik mengenai kehidupan seseorang yang terjangkau
oleh pengalaman, maupun yang mencakup masalah transendental,
seperti latar belakang dan tujuan penciptaan manusia, dunia dan
segenap isinya serta kehidupan diakhirat nanti.
2.6.2 Menerapkan Etika Keilmuan, Sikap Ilmuwan
Dalam menerapkan keilmuannya, seorang ilmuwan haruslah
memiliki etika yang senantiasa dilakukan setiap saat. Hal ini disebabkan

karena ilmu tidak hanya memerlukan kemampuan intelektual namun juga
keluhuran moral. Sikap yang harus dimiliki ilmuwan antara lain:
1. Tidak ada rasa pamrih.
2. Bersikap selektif, mampu mengadakan pemilihan terhadap
pelbagai hal yang dihadapi.
3. Adanya rasa percaya terhadap kenyataan, alat-alat indra serta
budi.
4. Memiliki sikap bahwa setiap pendapat atau teori terdahulu telah
mencapai kepastian.
5. Terus melakukan penelitian.
6. Berakhlak baik, dengan tujuan kebahagiaan manusia.
2.6.3 Kesadaran Moral
Menurut Driyarkara (2006), kesadaran moral adalah kesadaran
manusia tentang diri sendiri, didalam mana sering dilihat dengan
berhadap baik dan buruk. Dalam hal ini manusia dapat membedakan
antara halal dan yang haram, yang boleh dan yang tidak boleh dilakukan,
meskipun dapat dilakukan.
2.7 Sejarah Ilmu Gizi
2.7.1 Sejarah Ilmu Gizi di Dunia
1.

Abad sebelum masehi.
Diawali dari pendapat Hippocrates (460-377 SM), yang dikenal
sebagai Bapak Ilmu Kedokteran, dalam salah satu tulisannya
berspekulasi tentang peran makanan dalam “pemeliharaan kesehatan
dan penyembuhan penyakit” yang menjadi dasar perkembangan ilmu
dietetika yang belakangan dikenal dengan “Terapi Diet’

2.

Abad ke-16.
Mulai berkembang doktrin bukan saja pemeliharaan kesehatan yang
dapat dicapai dengan pengaturan makanan tetapi kemudian
berkembang juga tentang hubungan antara makanan dan panjang
umur. Misalnya pendapat Cornaro (1366-1464) dan Francis Bacon
(1561-1626) bahwa “makan yang diatur dengan baik dapat
memperpanjang umur”.

3.

Abad ke-17 dan ke-18.
Adanya berbagai penemuan tentang

sesuatu yang dimakan

(makanan) yang berhubungan dengan kesehatan semakin banyak
dan jelas, baik yang bersifat kebetulan maupun yang dirancang yang
kemudian mendorong berbagai ahli kesehatan waktu itu

untuk

melakukan berbagai percobaan.
4.

Abad ke-18 .
Berbagai penemuan ilmiah dimulai, termasuk ilmu-ilmu yang
mendasari ilmu gizi. Satu diantaranya yang terpenting adalah
penemuan adanya hubungan antara proses pernapasan yaitu proses
masuknya O2 ke dalam tubuh dan keluarnya CO2, dengan proses
pengolahan makanan dalam tubuh oleh Antoine Laurent Lavoisier
(1743-1794). Dikalangan ilmuwan gizi dikenal sebagai Bapak Ilmu
Gizi Dunia.

Penemuan Ilmu-Ilmu yang mendasari terbentuknya Ilmu Gizi, antara lain
1.

Tahun 1687 muncul penetapan standar makanan. Dimana penetapan
ini mengatur tentang makanan yang baik untuk tubuh dan yang tidak
baik untuk tubuh.

2.

Dr. Lind (1747) menemukan jeruk manis untuk menanggulangi
sariawan / scorbut, belakangan diketahui jeruk manis banyak
mengandung vitamin C. Sehingga Vitamin C dikenal juga sebagai
pencegah Sariawan/Scorbut.

3.

Florence Nightingale (1854 ) menyimpulkan penderita-penderita
akibat perang yang merupakan pasiennya, dalam hal pemberian
makanan kepada pasien harus sesuai dengan kebutuhan pasien untuk
mempercepat proses penyembuhannya.

4.

Liebig (1803-1873) melakukan analisis protein, karbohidrat dan
lemak yang merupakan komponen utama penghasil energi tubuh.

5.

Vait (1831-1908), Rubner (1854-1982), Atwater (1844-1907),dan
Lusk (1866-1932) dikenal sebagai pakar dalam pengukuran energi
dengan kalorimeter. (kkal)

6.

Hopkin (1861-1947), dan Eljkman (1858-1930) adalah perintis
penemuan vitamin dan membedakannya vitamin yang larut dalam air
dan vitamin yang larut dalam lemak.

7.

Mendel (1872-1935) dan Osborn (1859-1929) merupakan penemuan
vitamin dan analisis kualitas protein. Mereka memperjelas posisi
vitamin dalam makanan dan peranannya dalam tubuh manusia serta
kualitas protein yang dilihat dari struktur yaitu asam amino yang
essensial maupun yang non essensial.

8.

Pada abad ke 20 Mc Collum dan Charles G King melanjutkan
penelitian vitamin kemudian terus berkembang hingga muncul
science of nutrition (ilmu gizi) yang merupakan cabang ilmu
pengetahuan kesehatan (kedokteran) yang berdiri sendiri. Ilmu Gizi
membahas sifat-sifat nutrien yang terkandung dalam makanan,
pengaruh metaboliknya serta akibat yang timbul

bila terdapat

kekurangan zat gizi. ( Soekirman, 2000)
9.

Ilmu gizi menurut Thomas dan Earl (1994) adalah “The nutrition
sciences are the most interdisciplinary of all sciences”. Artinya ilmu
gizi merupakan

ilmu yang melibatkan

berbagai disiplin ilmu

pengetahuan, karena dalam perkembangan selanjutnya permasalahan
gizi mulai bermunculan

secara kompleks dan tidak dapat

ditanggulangi oleh para ahli gizi dan sarjana gizi saja.
2.7.2 Sejarah Ilmu Gizi di Indonesia
Perkembangan ilmu gizi di Indonesia tak bisa dipisahkan dari
peran seorang yang sangat penting, yaitu Cristian Eijkman (1958-1930).
Beliau merupakan perintis penemuan vitamin, khususnya vitamin B1.
Atas temuannya itu, maka beliau dianugerahi penghargaan nobel fisiologi
kedokteran pada tahun 1929. Sejak itulah ilmu gizi mulai berkembang di
Indonesia.
Penelitian di bidang gizi sudah berlangsung semenjak zaman
penjajahan

belanda.

Diawali

dengan

pembentukan

laboratorium

kesehatan pada 15 Januari 1888 di Batavia oleh Belanda, dengan tujuan
menanggulangi penanggulangan penyakit beri-beri di Asia, khususnya di

Hindia-Belanda. Tahun 1938 laboratorium tersebut berganti nama
menjadi Lembaga Eijkman untuk menghormati jasa Eijkman yang
menemukan zat anti beri-beri (vitamin B1). Pada tahun 1934, IVV (Hed
Institud en Voor Volk Suceding atau lembaga makanan rakyat) mulai
melakukan penelitian.
Sejak tahun 1950 IVV berganti nama menjadi Kementerian
Kesehatan RI atau LMR (Lembaga Makanan Rakyat) yang diketuai oleh
Prof. dr. Poerwo Soedarmo (Bapak persagi dan bapak gizi Indonesia).
LMR kemudian membentuk kader/tenaga gizi dan pengalaman ilmu gizi
kepada masyarakat. Hingga akhirnya pada tahun 1960 Prof. dr. Poerwo
Soedarmo mencetak tenaga ahli gizi dari AKZI dan FKUI
2.7.3 Perkembangan Ilmu Gizi di Indonesia dan di Dunia
Periodisasi perkembangan ilmu gizi terdiri atas era naturalis, era analisis
kimiawi, era biologi, era seluler, dan era nutrigenomik
1.

Era naturalis (400 SM-1750 M)
Hipokrates (460-360 SM) mengemukakan hipotesisnya bahwa tubuh
mengeluarkan panas dari dalam tubuh. Hipokrates dikenal sebagai
bapak ilmu kedokteran, dimana kalimat bijaknya yang terkenal
adalah ”let food be your medicine and medicine be thy food”

2.

Era analisis kimiawi (1750-1900)
Pakar kimia dan pakar ilmu kedokteran bekerjasama dalam hal ini,
dimana pakar kimia meneliti komposisi makanan dan pakar ilmu
kedokteran meneliti mekanisme dan proses pencernaan makanan
menjadi komponen yang berguna dan dapat dioksidasi. Penemuan
penting pada masa ini antara lain:


Metabolisme makanan oleh oksigen menghasilkan karbon
dioksida, air, dan panas.



Penemuan kalorimetri dan konsep energi/kalori oleh Antonie
Lavoisier.



Penemuan proses ksidasi karbohidrat, lemak, dan protein oleh
Liebig (abad 19); sementara nilai konversi ditemukan Wilbur
Atwater (1844-1907).



William Rose (1887-1984) meneliti kimia dan biologi mutu
protein berdasarkan susunan asam amino.

3.

Era biologi (1900-sekarang)
Ditandai dengan penelitian evaluasi nilai protein dan komposisi
asam amino esensial menggunakan tikus percobaan. Selain itu,
dilakukan juga penelitian tentang kebutuhan protein manusia. Di era
ini juga lahirlah konsep vitamin. Vitamin yang ditemukan antara lain
vitamin C, B1, A, D, E, dan K.

4.

Era seluler (1950-sekarang)
Pada masa ini, ilmu gizi fokus pada fungsi zat mikro (vitamin dan
mineral) sebagai kofaktor enzim dan hormon dan perannya dalam
sistem metabolik. Ditemukan juga peranan karbohidrat dan lemak
dalam penyakit diabetes mellitus, namun tidak konsisten untuk setiap
penelitian.

5.

Era nutrigenomik (2000-sekarang)
Dipicu oleh inkonsistensi hasil penelitian hubungan karbohidrat,
lemak dengan atherosklerosis pada masing-masing individu,
sehingga mengarah pada kecurugaan bahwa terdapat interaksi antara
gen dan makanan.

2.8 Peran Ilmu Gizi
2.8.1 Pemaknaan Ilmu Gizi
Ilmu gizi merupakan ilmu yang mempelajari pangan, nutrisi, dan
substansi lainnya yang berkaitan dengan fungsi, interaksi, dan
kesetimbangan serta hubungannya dengan kesehatan dan penyakit
beserta prosesnya di tubuh organisme, meliputi makan, pencernaan,
absorbsi, transpor, pergerakan, dan eksresi sisa makanan. Ilmu gizi
mempelajari pangan dan zat-zat pangan yang bermanfaat bagi kesehatan,
proses yang terjadi sejak dikonsumsi, dicerna, diserap sampai digunakan
tubuh & dampaknya terhadap tumbuh kembang, produktivitas kerja &
kelangsungan hidup manusia serta faktor yang berpengaruh.

2.8.2 Peran Ilmu Gizi Dalam Mengatasi Masalah Kemanusiaan
Ilmu gizi sangat berperan penting dalam mengatasi masalah
kemanusiaan, dimana salah satu masalah utama di bidang kemanusiaan
adalah kemiskinan, yang umumnya akan beriringan dengan masalah
kesehatan. Masalah kesehatan yang terjadi di kalangan orang miskin
umumnya adalah masalah tentang gizi, dimana ahli gizi sangat
dibutuhkan untuk mengatasinya.
Masalah gizi merupakan masalah yang kompleks, dimana tidak
dapat diselesaikan hanya dari satu bidang saja, bidang kesehatan,
misalnya. Masalah gizi merupakan masalah yang harus diselesaikan
lintas sektor, dimana bukan hanya ahli gizi saja yang berperan, melainkan
pemerintah (selaku pembuat kebijakan), NGO, bidang kesehatan, bidang
sosial, dan ketenagakerjaan perlu untuk bekerjasama dalam mengatasi
masalah gizi ini.
Ilmu gizi akan menentukan seberapa besar kebutuhan zat gizi tiap
orang, makanan apa yang bisa dibeli dan dikonsumsi oleh masyarakat
tersebut sesuai kondisi ekonomi, perawatan dan intervensi apa yang perlu
dilakukan untuk pasien yang mengalami masalah gizi, dan juga
memberikan penyuluhan-penyuluhan yang ditujukan bagi masyarakat
setempat terkait gizi.
2.9 Cabang Keilmuan Gizi
2.9.1 Cabang Keilmuan Gizi
Menurut Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI No.
154 tahun 2014, Ilmu gizi digolongkan sebagai ilmu terapan. Rumpun
ilmu terapan merupakan rumpun ilmu pengetahuan dan teknologi yang
mengkaji dan mendalami aplikasi ilmu bagi kehidupan manusia. Secara
garis besar, ada dua cabang ilmu gizi, yaitu:
1.

Ilmu gizi yang berkaitan dengan kesehatan perorangan.
Cabang ini meliputi gizi klinis (clinical nutrition), dimana cabang
gizi ini lebih menitikberatkan pada kuratif daripada preventif dan
promotif

2.

Ilmu gizi yang berkaitan dengan kesehatan masyarakat.
Cabang ini meliputi gizi masyarakat, dimana cabang gizi ini lebih
menitikberatkan pada pencegahan (preventif) dan peningkatan
(promotif). Gizi masyarakat berkaitan dengan gangguan gizi pada
kelompok masyarakat.

2.9.2 Peminatan Ilmu Gizi dan Turunan Keilmuannya
Ada empat peminatan ilmu gizi, dimana masing-masing peminatan
tersebut memiliki beberapa turunan ilmu gizi, yaitu:
1.

Peminatan gizi seluler.
Turunannya meliputi ilmu kimia analitik, kimia organik, biokimia,
biologi sel, imunologi, dan lain-lain.

2.

Peminatan organ khusus.
Turunannya meliputi ilmu anatomi, fisiologi, patologi, genetika, dan
sebagainya.

3.

Peminatan pangan.
Turunannya meliputi ilmu teknologi pangan, taksiologi, dan lain-lain

4.

Peminatan masyarakat.
Turunannya meliputi ilmu epidemiologi, demografi, antropologi, dan
sebagainya.

2.9.3 Tantangan Perkembangan Keilmuan Gizi
Tantangan perkembangan keilmuan gizi di era global ada delapan,
yaitu:
1.

Masalah gizi ganda.
Dimana masalah gizi yang dimaksud adalah gizi kurang dan gizi
berlebih. Hal ini disebabkan karena buruknya pengaturan diet dan
juga gaya hidup yang tidak sehat.

2.

Peningkatan polutan lingkungan.
Polutan lingkungan yang dimaksud mulai dari asap kendaraan,
radikal bebas, sinar UV berlebih, resistensi hama, dan juga berbagai
zat kimia asing yang ada di makanan kita.

3.

Munculnya penyakit infeksi baru
Penyakit infeksi baru, seperti SARS, ebola, flu burung, flu babi, flu
singapura, DBD, dan lain-lain mulai bermunculan, namun penyakit
infeksi yang lama seperti diare dan typhus masih belum dapat
terselesaikan.

4.

Penderita penyakit kronis semakin bertambah.
Penderita penyakit kronis seperti penderita PJK (penyakit jantung
koroner), diabetes, hipertensi dan sebagainya semakin banyak,
karena faktor gaya hidup yang tidak sehat dan juga akibat pola
makan yang tidak diatur dengan baik.

5.

Mobilitas penduduk tinggi.
Tingginya mobilitas penduduk mengakibatkan perubahan gaya
hidup, dimana orang akan lebih sering makan di luar denga
pertimbangan lebih praktis dan cepat. Umumnya mereka akan
memilih mengkonsumsi junk food.

6.

Mobilitas pangan tinggi.
Adanya perdagangan bebas, menyebabkan makanan dari daerah
mana saja akan mudah kita temui di sekeliling kita, misalnya jeruk
california, apel fuji, jeruk mandarin, dan sebagainya. Mobilitas
makanan yang tinggi ini akan meningkatkan kemungkinan masuknya
berbagai kontaminan asing, seperti zat kimia yang digunakan dalam
pestisidanya.

7.

Perkembangan IPTEK, media, dan sarana yang cepat.
Perkembangan IPTEK, media, dan sarana transportasi juga
berpengaruh pada gaya hidup kita, dimana dalam keseharian kita
akan semakin lama duduk dibandingkan melakukan aktivitas fisik.
Hal ini juga akan mempengaruhi kondisi kesehatan kita.

8.

Persaingan SDM gizi global.

2.10 Tantangan Ilmu Gizi
2.10.1 Permasalahan Gizi di Dunia
Permasalahan yang berkaitan dengan gizi menurut WHO (2004),
adalah:

1.

Tekanan darah tinggi (hipertensi) merupakan faktor resiko
kematian yang menyumbang 13% kematian dunia.

2.

Anak underweight, dimana bertanggungjawab atas 2 juta kematian
anak per tahun, terutama di negara miskin.

3.

2 juta anak per tahun mati akibat permasalahan lingkungan seperti
air bersih, sanitasi, dan higine.

4.

Faktor konsumsi seperti kurangnya konsumsi buah dan sayur,
kurang aktivitas fisik, konsumsi alkohol dan merokok, tingginya
IMT, kolestrol tinggi, dan hipertensi merupakan faktor resiko yang
bertanggung jawab atas setengah kematian karena penyakit jantung
(penyebab utama kematian dunia).

5.

Overweight dan obesitas merupakan penyebab kematian ke-lima
terbesar di dunia. Overweight dan obesitas bertanggung jawab atas
kematian 7-8% orang di dunia.

2.10.2 Permasalahan Gizi di Indonesia
Permasalahan gizi di Indonesia lebih berkutat pada masalah
kekurangan gizi pada balita terutama stunting. Masalah gizi kurang
pada balita di Indonesia mencakup bayi lahir dengan berat badan rendah
(10,2%), wasting (19,6%), dan juga stunting (37,2%). Bahkan,
persentase balita stunting Indonesia menempati posisi nomor 4 dunia
2.10.3 Perbandingan Permasalahan Gizi di Negara Maju dan Berkembang
Dari data Global Nutrition Report, dapat disimpulkan bahwa
permasalahan gizi di negara berkembang umumnya berkutat pada
masalah gizi pada balita (wasting, stunting, dan overweight) dan juga
anemia pada wanita usia subur. Sedangkan, untuk negara maju
(Amerika Serikat dan Jerman) permasalahan gizi ada pada orang
dewasa yang overweight. Akar permasalahan pada negara berkembang
sehingga menyebabkan masalah gizi pada balita adalah kurangnya
asupan yang diberikan pada wanita usia subur, pada saat ia hamil, dan
juga asupan pada balita tersebut sehingga pertumbuhan dari balita
terganggu. Sedangkan, akar permasalahan pada negara maju adalah
faktor gaya hidup yang ingin serba cepat, mudah dan enak, sehingga

konsumsi mereka lebih kepada junkfood, minuman berkalori (seperti
soda), dan kurang melakukan aktivitas fisik karena kemajuan IPTEK,
media, dan transportasi.
2.11 Gizi dan Kesehatan
2.11.1 Definisi Kesehatan
Kesehatan adalah keadaan sejahtera dari aspek fisik, mental, dan
sosial dan tidak hanya tidak adanya penyakit atau kecacatan (WHO,
1946). Sedangkan, menurut UU No. 36 tahun 2009 tentang kesehatan,
kesehatan adalah keadaan sehat fisik, jasmani (mental) dan spritual
serta sosial, yang memungkinkan setiap induvidu dapat hidup secara
produktif secara sosial dan ekonomis. Sehingga, dapat disimpulkan
bahwa seseorang bisa dikatakan sehat apabila ia sehat secara fisik, sehat
mental, sehat spiritual, dan sehat secara sosial, sehingga ia mampu
mengerjakan berbagai hal yang produktif secara sosial dan ekonomi.
2.11.2 Hubungan Antara Ilmu Gizi dan Kesehatan
Ilmu gizi mempelajari pangan dan zat-zat pangan yang bermanfaat
bagi kesehatan, proses yang terjadi sejak dikonsumsi, dicerna, diserap
sampai digunakan tubuh & dampaknya terhadap tumbuh kembang,
produktivitas kerja & kelangsungan hidup manusia serta faktor yang
berpengaruh. Ilmu kesehatan mengkaji proses terjadinya gangguan
kesehatan, faktor penyebabnya, dan upaya yang dilakukan untuk
mencegahnya. Makanan berkaitan erat dengan kondisi kesehatan
seseorang, dimana kelebihan/kekurangan dan komposisi makanan
mempengaruhi fungsi dan struktur organ tubuh dan gangguan
kesehatan. Demikian pula sebaliknya, gangguan kesehatan akan
mempengaruhi struktur dan fungsi organ dan kebutuhan jumlah beserta
komposisi makanan.
2.12 Filsafat Dietisien
2.12.1 Peran Dietisien
Peranan dietisien dalam pelayanan kesehatan secara garis besar ada
tujuh, yaitu:

1.

Penyedia pelayanan kesehatan.
Dietisien

dalam

melakukan

pelayanan

kesehatan

saling

berkoordinasi dengan tenaga kesehatan lainnya. Bersama-sama
tenaga kesehatan lainnya, seorang dietisien akan ikut memberi
intervensi pada pasien berupa diet tertentu sesuai penyakit yang
dideritanya.
2.

Pendidik.
Tak seperti nutritionist, seorang dietisien punya kewenangan untuk
memberi penyuluhan-penyuluhan kepada pasien tentang pola
makan yang benar, diet apa yang harus dikonsumsi dan apa saja
yang tidak boleh dikonsumsi, dan juga seberapa banyak porsi
makan yang dianjurkan dikonsumsi dalam sehari. Dietisien
memiliki kewenangan tersebut.

3.

Advokat.
Klien seorang dietisien akan diberi berbagai anjuran terkait pola
makan, jenis makanan yang dikonsumsi, dan juga jumlah makanan
yang perlu dikonsumsi setiap harinya.

4.

Manajer.
Maksudnya, sebagai manajer atas makanan yang dikonsumsi oleh
klien. Dietisien berhak mengatur makanan apa saja yang boleh dan
tidak boleh dikonsumsi oleh sang klien. Semua itu dilakukan
semata-mata untuk menjaga kesehatan klien.

5.

Kolaborator.
Dietisien dalam melakukan pelayanan kesehatan harus mampu
untuk bekerjasama dengan tenaga kesehatan lainnya. Posisi
dietisien dalam pelayanan kesehatan adalah sejajar dengan peranan
tenaga kesehatan lainnya.

6.

Pemimpin.

7.

Peneliti.
Seorang dietisien harus peka terhadap keadaan sekitar, memiliki
sikap yang kritis, dan tidak pernah berhenti untuk belajar. Ilmu gizi

tidak akan pernah tetap diam di tempat, melainkan akan senantiasa
berkembang.
2.12.2 Hakikat Dietisien
Dietisien

merupakan

seorang

nutritionist

yang

memiliki

kompetensi mandiri dalam mendiagnosis, memberi terapi nutrisi, dan
memulihkan kondisi kesehatan klien (kompetensi klinis), melalui
pendekatan dietetik bersama profesi kesehatan lainnya. Dietisien
memiliki lima fungsi utama, yaitu:
1.

Pelayanan kesehatan.

2.

Bisnis, industri, dan pemasaran produk.

3.

Kesehatan masyarakat.

4.

Food service management.

5.

Organization management.

2.12.3 Posisi Dietisien Dengan Profesi Kesehatan Lainnya
Posisi seorang dietisien dengan profesi kesehatan lainnya adalah
sejajar, dimana semua profesi kesehatan memiliki kedudukan yang
sama dalam hal penanganan kepada seorang pasien.
2.13 Aplikasi Metode Ilmiah
2.13.1 Pengertian Metode Ilmiah
Metode ilmiah dapat diartikan sebagai suatu prosedur langkah
demi langkah untuk menyelesaikan masalah ilmiah. Metode ilmiah
adalah suatu proses sistematik (urutan langkah standar) untuk mengkaji:
hasil pengamatan, merumuskan masalah, menduga penyebab masalah,
menguji

kebenaran

penyebabnya,

menyimpulkan

dan

mencari

solusinya. Metode ilmiah sangat membantu ilmuwan dalam menguji
kebenaran teori yang akan digunakan.
2.13.2 Fungsi Metode Ilmiah
Fungsi (melaksanakan) metode ilmiah harus secara berurutan,
dimana tahapannya adalah:
1.

Observe.
Yaitu melakukan pengamatan dengan kritis, dengan menggunakan
pertanyaan apa, dimana, kapan, siapa, mengapa,dan bagaimana.

2.

Problems.
Yaitu memikirkan masalah apa yang menarik, masalah apa yang
seharusnya tidak terjadi, dan tidak biasa dijumpai.

3.

Formulate hypothesis.
Memikirkan dugaan jawaban atas pertanyaan/masalah yang
timbul/dijumpai.

4.

Develop testable hyphotesis.
Mengembangkan cara menguji kebenaran dengan langkah-langkah
ilmiah.

5.

Data gathering.
Mengumpulkan data-data atau fakta-fakta untuk menguji kebenaran
dugaan penyebab.

6.

Develop theory.
Menyimpulkan konsep sebab-akibat dan beserta solusinya.

2.13.3 Metode Ilmiah Dalam Menyelesaikan Masalah Gizi
Dalam memecahkan permasalahan gizi, diperlukan suatu langkahlangkah ilmiah agar permasalahan gizi tersebut cepat tuntas. Metode
ilmiah yang dilakukan oleh seorang dietisien, yaitu:
1.

Melakukan pengamatan masalah gizi secara objektif, sehingga
kemungkinan terjadinya bias dapat diminimalisir.

2.

Merumuskan masalah gizi secara kritis. Kritis disini juga bermakna
mampu mengetahui masalah mana yang perlu diprioritaskan.

3.

Menegakkan diagnosa (penyebab) masalah gizi secara kritis dan
objektif.

4.

Memilih solusi masalah secara tepat dan kritis.

2.14 Metode Ilmiah Dalam Fungsi Dietisien
Metode ilmiah bukan hanya digunakan untuk meneliti ataupun
hanya digunakan dalam penelitian, melainkan harus menjadi pola pikir
semua profesional, karena seorang profesional harus:
1.

Berfikir kritis.

2.

Objektif.

3.

Inovatif-kreatif.

4.

Mengembangkan ilmu sepanjang hayat.

2.14.1 Penerapan Metode Ilmiah Dalam Meningkatkan Derajat Kesehatan
Klien
Dalam usaha meningkatkan derajat kesehatan pasien, penerapan metode
ilmiah bagi seorang dietisien mutlak diperlukan. Dietisien pada
dasarnya memiliki dua ranah, yaitu clinical care dan nutrition care
process.
1.

Penerapan metode ilmiah pada dietetic clinical care.


Berpikir kritis mengenai fenomena sosial-budaya-lingkungan
yang terkait dengan isu-isu gizi



Pembelajar sepanjang hayat.


Membaca jurnal ilmiah gizi dengan sikap kritis dan sikap
ilmiah.



Ahli dalam melaksanakan penelitian ilmiah.



Kritis dalam menanggapi dan mengamati fenomena alam
dan sosial budaya.



Menggunakan pendekatan ilmiah dalam menangani klien


Unbiased observers (objektif dan kritis).



Mempraktekkan prosedur NCP terbaru.



Pembuatan

kesimpulan

berdasarkan

bukti

dalam

melakukan dietetic therapy.


Mengidentifikasi

problem

klinis

yang

menarik

bagi

pengembangan ilmu dietetik dan prosedur klinis dietisien.
2.

Penerapan metode ilmiah dalam nutrition care process.


Dalam melakukan assesment gizi, dilakukan prosedural secara
objektif, unbiassed, dan up to date.



Dalam melakukan diagnosis gizi, hendaknya melakukan uji
hipotesis kerja secara cermat & ilmiah.



Dalam melakukan intervensi gizi, hendaknya memilih metode
yang paling mutakhir berbasis scientific evidence.



Dalam memonitor dan mengevaluasi gizi, hendaknya memilih
metode yang mutakhir, unbiassed, dan ilmiah.
BAB 3
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Peran filsafat dalam mengatasi masalah kesehatan masyarakat sangat
besar. Filsafat dapat diartikan sebagai suatu cara berpikir yang radikal dan
menyeluruh atau dengan kata lain cara berpikir yang mengupas sesuatu
sedalam-dalamnya. Dengan demikian, maka pemikiran filsafat merupakan
kunci dari terbentuknya beragam jenis pengetahuan yang ada sekarang,
termasuk pengetahuan yang digunakan untuk mengatasi masalah gizi.
Ilmu gizi memiliki peranan yang sangat penting dalam mengatasi
masalah kesehatan. Ilmu gizi mempelajari pangan dan zat-zat pangan yang
bermanfaat bagi kesehatan, proses yang terjadi sejak dikonsumsi, dicerna,
diserap sampai digunakan tubuh & dampaknya terhadap tumbuh kembang,
produktivitas kerja & kelangsungan hidup manusia serta faktor yang
berpengaruh. Makanan yang dikonsumsi dan gaya hidup (lifestyle)
merupakan salah satu faktor utama penentu kesehatan seseorang. Apabila
seseorang memiliki pola makan yang sehat, nutrisi yang masuk dan energi
yang dikeluarkan seimbang (input=output), dibarengi dengan gaya hidup
yang sehat, maka kesehatan orang tersebut akan terjaga. Dengan demikian,
peranan ilmu gizi dalam mengatasi masalah kesehatan sangat besar.

DAFTAR RUJUKAN
Amsal, Bakhtiar. 2009. Filsafat Ilmu. Jakarta: Rajawali pers.
Blackburn, Simon. 2005. Truth: a Guide for The Perplexed. London: Penguin
Books.
Driyarkara, N.. 2006. Karya lengkap Driyarkara : esai-esai filsafat pemikir yang
terlibat penuh dalam perjuangan bangsanya. Jakarta: Gramedia Pustaka
Utama.
Hamdi, Muhammad. 2012. Book Report Filsafat Ilmu. Bandung: UPI SPs Press.
Suriasumantri, Jujun S. 1985. Filsafat Ilmu: sebuah pengantar populer. Jakarta:
Sinar Harapan.
Zubair, Achmad Charris. 2002. Dimensi Etik dan Asketik Ilmu Pengetahuan
Manusia, Yogyakarta: Lembaga Studi Filsafat Islam.