Komitmen Religius Masyarakat Nelayan Dia

BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Mengungkap persoalan keberagamaan dalam masyarakat nelayan tradisional pada dasarnya adalah
membicarakan cumulative body of knowledge nelayan dalam konteks kehidupan lokal. Secara
kategoris, kehidupan komunitas nelayan berbeda dengan kehidupan komunitas masyarakat
lainnya, seperti masyarakat petani atau pedagang urban. Perbedaan itu terlihat tidak hanya terletak
pada gaya hidup dan pola pikir, tetapi juga pada nilai-nilai kebudayaan mereka (Quote)
Cunha (1997) mengatakan bahwa kelahiran pengetahuan tradisional nelayan banyak didasari
karakteristik konteks fisik lautan yang mengelilinginya.Pengetahuan ini diproduksi secara kultural
dan diakumulasi melalui pengalaman dan terus menerus dievalusi dan diciptakan kembali
berdasarkan fitur lingkungan laut yang bergerak dan unpredictable (Baidawi, 2009:1). Oleh karena
itu, wajar jika realitas keyakinan masyakarat nelayan bergantung kepada laut, misalnya, konsepsi
tentang adanya kekuatan luar biasa pada laut yang tidak bisa lepas dari kehidupan masyarakat
nelayan di negeri ini Praktik keberagamaan terntentu yang erat kaitannya dengan masyarakat
nelayan terjadi hampir di setiap masyarakat.
Di Indramayu, tepatnya di Desa Limbangan dan Karangsong, praktik keberagamaan sejenis itu
juga terjadi. Namun, sejak berlangsungnya proses penyebaran dan pelembagaan Islam, sebagian
besar masyarakat nelayan memeluk Islam. Akan tetapi, apakah komitmen religius mereka murni
berlandaskan Islam? Lalu bagaimanakah mereka mengkonstruksi pengalaman sosio-kultural
mereka dengan kondisi kehidupan yang dekat dengan laut?
Sejarah mencatat bahwa banyak para wali menyebarkan Islam menggunakan berbagai instrumen

kesenian sehingga yang lahir kemudian adalah agama Islam yang tercampur dengan tradisi lokal.
Sama halnya seperti di daerah Jawa, alur penyebaran Islam di Indramayu salah satunya yaitu
berangkat dari pesisir dan terus berlanjut memberikan pengaruhnya ke wilayah pedalaman (Syam,
2005:63). Contohnya, Sunan Gunung Djati yang menyebarkan Islam melalui media kesenian
masyarakat setempat. Hal ini menyebabkan terjadinya proses tarik menarik antara budaya lokal
dan budaya luar. Tak jarang, proses ini menghasilkan dinamika budaya masyarakat setempat. Oleh
karena itu, tidak mengherankan jika di dalam kehidupan masyarakat pesisir terdapat praktikpraktik sinkretisme dan atau akulturasi budaya, seperti menjalankan ritual di dalam ajaran Islam,
namun masih tetap mempercayai berbagai keyakinan lokal.
Ritual-ritual tradisi setempat itu diwariskan turun temurun dari leluhur, seperti pesta laut atau
Nadran, membakar kemenyan sebelum melaut, menggunakan jimat-jimat tertentu untuk
menguatkan fisik dan sebagainya merupakan beberapa tradisi lokal yang diyakini oleh para
nelayan mampu menambah berkah. Mereka mempercayai bahwa ada suatu kekuatan gaib yang
tidak terjelaskan oleh akal, tidak mampu mereka visualisasikan, tapi mereka sungguh-sungguh
meyakininya dalam hati. Kenyataan demikian mengantarkan penulis untuk meneliti lebih jauh
bagaimana komitmen beragama masyarakat nelayan yang berada di antara persinggungan agama
Islam dan kebudayaan setempat, serta menelisik lebih jauh tentang respon mereka terhadap
perubahan sosial.

Jika melihat kajian yang dilakukan oleh para ahli, tampak adanya tipologi kajian Islam dalam
konteks lokal, yang dikategorikan sebagai kajian yang memandang hubungan antara tradisi Islam

dan lokal bercorak sinkretik dan bercorak akulturatif. Kajian yang dilakukan oleh Geertz termasuk
kajian yang bercorak Islam sinkretik. Sementara itu, beberapa ahli lainnya, seperti Hefner,
Woodward, Muhaimin, Budiwanti, dan Hilmy mengkaji tentang Islam akulturatif (Syam, 2005:2).
Namun, kedua tipologi tersebut baru sebatas menjelaskan tradisi Islam lokal masyarakat
pedalaman atau pegunungan, sementara masyarakat pesisir belum dijelaskan. Selain itu, para ahli
hanya mengambil daerah Jawa sebagai objek penelitiannya. Berdasarkan kenyataan di atas, penulis
mencoba menarik benang merah dari kedua tipologi tersebut. Akan tetapi, dari literatur-literatur
penelitian yang ada, para ahli banyak menggunakan teori Berger tentang konstruksi sosial dalam
melihat keberagamaan nelayan.
Bagi penulis, akhir penelitian haruslah berupa pemberdayaan. Oleh karena itu, untuk menemukan
alternatif pemberdayaan bagi masyarakat nelayan maka penulis bermaksud meneliti mereka dari
aspek komitmen. Selain itu, studi kasus yang dilakukan bukan di daerah pedalaman Jawa,
melainkan daerah pesisir Indramayu. Dalam konteks keberagamaan masyarakat pesisir
Indramayu, tidak berbeda jauh dengan Jawa, terdapat tataran yang memang dianggap sebagai
“sinkretisme”. Menyadari fenomena yang ada, tampak bahwa ada gejala penguatan terhadap
praktik penyelenggaraan tradisi lokal, seirama dengan semakin intensifnya gerakan pemurnian
Islam, fundamentalisme, dan pengembangan Islam dewasa ini (Syam, 2005:5).
B. Rumusan Masalah
Penulis melihat bahwa terdapat aktivitas nelayan yang mencerminkan adanya dialektika antara
Islam dan tradisi lokal dalam kehidupan keberagamaan masyarakat nelayan Indramayu. Masalah

tersebut memunculkan pertanyaan penelitian sebagai berikut:
1. Bagaimana komitmen religius kaum nelayan Indramayu dalam menjalankan ajaran Islam dan
atau tradisi lokal, simbol-simbol yang digunakan, serta nilai-nilai yang dijaga untuk
mempertahankan komitmen itu?
2. Bagaimanakah kaum nelayan menyikapi perubahan sosial? Apakah mempengaruhi komitmen
religius mereka atau tidak?
C. Ruang Lingkup Masalah
Kajian mengenai kehidupan keberagamaan masyarakat pesisir tentu saja luas. Oleh karena itu,
untuk mengerucutkan permasalahan maka penulis memfokuskan kajiannya kepada masyarakat
nelayan di desa Limbangan dan Karangsong. Lebih lanjut lagi, penulis memfokuskan
pembahasannya pada bagaimana komitmen nelayan di daerah tersebut menjalankan ajaran agama
Islam dan atau tradisi lokal, kontruksi sosial yang terbangun—yang menyebabkan komitmen itu
terbentuk—dan respon mereka terhadap perubahan sosial.
D. Tujuan dan Kegunaan Penelitian
Sesuai dengan masalah yang telah dirumuskan di atas, penelitian ini bertujuan untuk:

1. Mengetahui bagaimana komitmen religius kaum nelayan Indramayu dalam menjalankan ajaran
Islam dan tradisi lokal, simbol-simbol yang digunakan, serta nilai-nilai yang dijaga untuk
mempertahankan komitmen itu
2. Mengungkap sikap kaum nelayan dalam menjalankan ritual agamanya di tengah arus perubahan

masyarakat
Sedangkan kegunaan yang diharapkan dari penelitian ini adalah:
1. Memberikan pengetahuan tentang komitmen religius nelayan Indramayu yang berada di antara
persinggungan Islam dan tradisi setempat
2. Memberikan sumbangan pemikiran dalam pengembangan potensi sumber daya masyarakat
pesisir, khususnya hubungan antara komitmen agama dan etos kerja
3. Memberikan pemahaman alternatif tentang hakikat dan dinamika Islam dalam masyarakat
pesisir Indramayu
E. Kerangka Teori
1. Pendekatan Psikologis:
Teori Dimensi Komitmen Religius Glock Dalam psikologi agama, Glock mengembangkan skema
tentang dimensi religius (Glock, 1996:14). Ia berpendapat bahwa dalam menjalankan agama
terdapat perbedaan eksplisit antara apa yang manusia percaya sebagai kebenaran, apa yang mereka
lakukan sebagai bagian dari wujud keimanan, bagaimana pengalaman emosi atau kesadaran
berlangsung dalam agama mereka, apa yang mereka ketahui tentang kepercayaan, dan bagaimana
kehidupan sehari-hari mereka dipengaruhi oleh agama.
Dari analisisnya, Glock memperkenalkan lima dimensi komitmen beragama, yaitu religious belief
(dimensi ideologis); practice (dimensi ritual); feeling (dimensi pengalaman); knowledge (dimensi
intelektual); dan effect (dimensi konsekuensial). Religious belief (dimensi ideologis) merujuk
kepada seberapa kuat keyakinan itu tertanam dan sepenting apa keyakinan itu dalam kehidupan

seseorang.
Dalam agama nontradisional, dimensi ini dapat dilihat dari keyakinan seseorang terhadap Tuhan
dan sejauh mana komitmennya terhadap seperangkat aturan dalam ajaran tersebut. Begitupun
dalam agama primitif, dimensi tersebut dapat merujuk kepada roh-roh dalam objek fisik. Religious
Practice (dimensi ritual) merujuk pada suatu perilaku seseorang dalam mewujudkan
keyakinannya, yaitu suatu tindakan khusus yang menunjukkan bahwa itu adalah bagian dari
agamanya. Dalam islam, misalnya dikenal shalat, puasa, dan mengaji, sementara dalam agama
katolik dikenal ritual menerima Eucharist. Rule (ajaran) agama bisa jadi berbeda satu sama lain
tergantung institusinya. Semakin terorganisir, semakin spesifik simbol-simbol yang ada, seperti
pakaian, garis otoritas, dan sebagainya (Glock, 1996:17).

Religious feeling (dimensi pengalaman) fokus pada inner mental dan emosi seorang individu.
Bahasa lainnya adalah “religious experiences”, yaitu suatu hasrat untuk meyakini kebenaran suatu
agama, dan ketakutan akan “tidak menjadi religius”. Pengalaman religius tidak dapat dilihat oleh
orang lain dan hanya individu-individu yang merasakannya. Selain itu, dikenal juga religious
knowledge (dimensi intelektual). Dimensi ini berkaitan dengan informasi mengenai sejarah agama
tersebut. Apakah seseorang mengetahui banyak tentang asal-usul agamanya, atau tidak sama
sekali. Terakhir yaitu religious effect (dimensi konsekuensial) merujuk kepada suatu perilaku
tertentu, tetapi bukan suatu perilaku yang menjadi bagian formal dari ritual agamanya. Sebagai
contoh, seorang pemabuk yang berhenti memimun alkohol akibat dari efek religius yang

diterimanya (Glock, 1996:20).
Dalam kaitannya dengan masyarakat pesisir Indramayu, dapat dilihat bagaimana para nelayan
mempraktikan ritual-ritual Islam dan tradisi lokal. Kemudian, bagaimana ritual tersebut
memberikan pengaruh pada dimanika kehidupan para nelayan, dan apakah perubahan sosial turut
mempengaruhi dimensi religius para nelayan.
2. Pendekatan Kebudayaan
2.1 Teori Parsudi Suparlan Tentang Nilai Budaya
Menurut Prof.Parsudi Suparlan, kebudayaan adalah pedoman bagi kehidupan masyarakat yang
diyakini kebenarannya. Sebagai pedoman, kebudaayn harus berupa pengetahuan dan keyakinankeyakinan. Kebudayaan kerap digunakan sebagai instrumen untuk menginterpretasi lingkungan
hidup. Ia menghasilkan tindakan-tindakan bermanfaat bagi pengembangan sumber daya yang ada
dalam sebuah lingkungan masyarakat. Bagi Suparlan, nilai budaya terdiri atas dua kategori: (1)
yang mendasar dan tidak terpengaruh oleh kehidupan sehari-hari dan pendukung kebudayaan
tersebut. Ia dinamakan world view, dan (2) yang mempengaruhi dan dipengaruhi coraknya oleh
kegiatan-kegiatan sehari-hari dari para pendukung kebudayaan yang dinamakan etos (ethos) (Ali,
2002:75).
2.2 Teori Geertz
Dalam kajian kehidupan keberagamaan, banyak ahli yang menggunakan konsepsi Geertz (1970:
87-125) tentang agama yang melihatnya sebagai pola bagi tindakan (pattern of behavior). Menurut
Geertz, agama merupakan pedoman yang dijadikan sebagai kerangka interpretasi tindakan
manusia. Selain itu, agama juga merupakan pola dari tindakan, yaitu sesuatu yang hidup dalam

diri manusia yang tampak dalam kehidupan kesehariannya. Geertz melihat agama sebagai inti
kebudayaan. Nilai-nilai keagamaan tersebut terwujud dalam kehidupan masyarakat.
3. Pendekatan Sosiologis:
3.1 Teori Konstruksi Sosial
Dalam teori konstruksi sosial yang dikembangkan oleh Berger, terdapat tiga konsep, yaitu
objektivikasi, eksternalisasi, dan internalisasi. Eksternalisasi adalah penyesuaian diri dengan dunia
sosiokultural sebagai produk manusia. Objektivikasi adalah interaksi sosial dalam dunia

intersubjektif yang dilembagakan atau mengalami proses insitusionalisasi. Internalisasi yaitu
ketika individu mengindektifikasi diri di tengah-tengah lembaga sosial atau organisasi sosial
tempat individu tersebut juga menjadi anggotanya (Baidawi, 2009:15). Berangkat dari pemahaman
Berger maka ritus-ritus yang ada dalam masyarakat nelayan Indramayu adalah hasil konstruksi
sosio-religio-kultural.
F. Metodologi Penelitian
1. Dasar Penelitian
Dasar dari penelitian ini secara metodologis adalah penelitian kualitatif. Obejak-objek penelitian
dideskripsikan secara jelas dan menyeluruh, kemudian dianalisis sesuai dengan kerangka teori
yang ada. Penelitian ini melibatkan berbagai pendekatan dari beberapa disiplin ilmu, seperti
antropologi, psikologi, dan sosiologi. Sedangkan dalam teknik pengumpulan dan penganalisisan
data-data akan mempergunakan teknik-teknik sebagai berikut:

1. Pengamatan atau Observasi
Penulis melakukan pengamatan dengan cara melihat fenomena-fenomena sosial yang ada di dalam
masyarakat. Karena karakter masyarakat pesisir yang kurang bisa terbuka dengan pihak luar maka
pengamatan terhadap kegiatan ritual yang bersifat sinkretik tidak bisa dilakukan. Akhirnya, penulis
hanya mengamati bagaimana nelayan menjalankan ritual islam, yaitu suasana shalat Jum’at di
mesjid Nur Bahri, Limbangan dan kegiatan nelayan di Pelabuhan Karangsong.
2. Wawancara Teknik
wawancara digunakan untuk mengumpulkan keterangan tentang kehidupan manusia dalam suatu
masyarakat serta pendiriannya. Oleh karena itu, wawancara dilakukan untuk memperkaya data dan
menyempurnakan hasil observasi. Pada penelitian kali ini, wawancara dilakukan dengan
menggunakan metode terencana dan tidak terencana. Metode terencana digunakan ketika penulis
mewawancarai para tokoh agama dan pendidikan dengan kehidupan beragama para nelayan,
ritual-ritual apa saja yang biasa dilakukan, dan bagaimana sikap mereka terhadap perubahan sosial,
sedangkan metode tidak terencana diterapkan ketika meminta keterangan kepada para nelayan.
Hal ini dimaksudkan agar penggalian informasi secara mendalam tentang suatu topik tidak
terkesan kaku dan dipaksakan sehingga informan dapat menuturkan keterangan-keterangan yang
diketahuinya secara bebas.
2. Tahapan Penelitian
Sebelum pengumpulan data dilaksanakan, terlebih dahulu dilakukan studi kepustakaan guna
mencari referensi mengenai konsep agama dan kebudayaan dalam masyarakat pesisir secara

umum. Kemudian, tahap pengumpulan data dilakukan dilakukan di dua daerah:
1. Desa Limbangan

Desa ini terletak di kecamatan Jantinyuat Indramayu. 70% penduduknya adalah nelayan. Sisanya
masyarakat dari kalangan pertanian.
2. Desa Karangsong
Desa ini terletak di kecamatan Indramayu. Para nelayan tinggal bersama penduduk yang berprofesi
lain. Namun, di desa ini juga terdapat salah satu pemukiman nelayan yang eksklusif, terpisah dari
kehidupan para pekerja lainnya. Nelayan ini merupakan nelayan pindahan dari Muara Angke,
Jakarta. Observasi dan wawancara dilakukan pada waktu yang berbeda.
Penelitian hari pertama dilakukan di desa Limbangan dengan mewawancarai seorang kepala
madrasah, kepala SD tempat anak-anak nelayan bersekolah, guru SD, dan nelayan, kemudian
mengamati aktivitas shalat Jum’at di mesjid. Penelitian hari kedua dilakukan di desa Karangsong
dengan mewawancarai para nelayan yang hendak melaut, seorang aktivis nelayan, seorang juragan
kapal, dan budayawan lokal.
3. Metode Analisis Data
Karya tulis ini adalah jenis penelitian deskriptif-analitis. Data-data yang telah dikumpulkan lewat
penelitian dideskripsikan dan dianalisis agar permasalahan penelitian dapat dijawab secara
sistematis dan terarah.
G. Sistematika Pembahasan

Penelitian Ini terdiri dari lima bab dan disusun sesuai dengan sistematika pembahasan sebagai
berikut:
Bab I adalah bab yang memuat pendahuluan, terdiri dari latar belakang masalah, rumusan masalah,
tujuan dan kegunaan penelitian, sistematika, menjelaskan tentang kerangka teori yang memuat
beragam teori dengan berbagai pendekatan, seperti psikologi, kebudayaan, dan sosiologi. Di bab
ini juga memuat tentang metodologi penelitian yang berisi dasar penelitian, tahapan penelitian,
dan metode analisis data.
Bab II berisikan tentang gambaran umum Desa Limbangan dan Desa Karangsong. Deskripsi
tentang desa ini diarahkan ke berbagai aspek, seperti ekonomi, pendidikan, dan sosial
kemasyarakatan.
Bab III yaitu berupa ulasan mengenai sejarah masuknya Islam ke Indramayu. Hal ini dipaparkan
demi mengetahui asal mula terjadinya persinggungan antara tradisi lokal dan Islam.
Bab IV berisi analisis-sintesis mengenai komitmen spiritual nelayan yang diwujudkan dalam lima
dimensi: dimensi ideologis, dimensi ritual, dimensi pengalaman, dimensi intelektual, dan dimensi
efek. Di bab ini juga dibahas bagaimana konstruksi keyakinan itu diciptakan berdasarkan teori
Berger yang melihatnya dari eksternalisasi, objektivikasi, dan internalisasi untuk menemukan apa
yang melatarbelakangi komitmen religius para nelayan terbentuk. Selanjutnya, dibahas juga
mengenai perubahan sosial yang turut mempengaruhi komitmen masyarakat nelayan.

Bab V merupakan bab terakhir yang berisi penutup, yaitu terdiri dari kesimpulan dan saran

BAB II GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN
A. Desa Limbangan
Desa Limbangan, yaitu sebuah desa yang terletak di kecamatan Juntinyuat, kabupaten Indramayu.
Di sebelah utara, desa ini berbatasan dengan Laut Jawa, sebelah selatan berbatasan dengan Desa
Lombang, sebelah timur berbatasan dengan Tirtamaya, dan sebelah barat berbatasan dengan Desa
Majakerta kecamatan Balongan. Kepala Keluarga di Desa Limbangan berjumlah 3500 kepala
keluarga. Menurut penuturan budayawan lokal setempat, Supali Kasim, masyarakat Limbangan
100% beragama Islam, terdiri dari 70% berprofesi sebagai nelayan dan sisanya adalah masyarakat
pertanian. Interaksi antara keduanya berjalan selaras.
Namun, akhir-akhir ini dikatakan bahwa sebagian masyrakat pertanian memilih beralih profesi
menjadi nelayan karena menganggap perolehan rizkinya lebih banyak. Di desa ini terdapat
sekolah, mesjid, madrasah, dan perpustakaan mesjid. Menurut penuturan Kepala Sekolah Dasar,
Bapak Muhidar, Desa Limbangan saat ini sudah banyak berubah. Di awal 1980-an, dari segi
pendidikan, belum banyak anak-anak nelayan yang bersekolah, tapi sekarang sudah jauh lebih baik
walaupun dalam perjalanannya, banyak yang di antaranya putus sekolah karena lebih memilih
orangtuanya membantu melaut.
Begitupun dengan aspek ekonomi, terlihat bahwa rumah-rumah nelayan sudah banyak yang
dibangun dari batu, bukan lagi bilik. Beberapa bahkan dibangun dengan arsitektur modern. Hal ini
disebabkan oleh banyaknya anak perempuan nelayan yang bekerja sebagai TKW di luar negeri,
kemudian pulang dengan rizki yang lebih melimpah.
B. Desa Karangsong
Desa ini terletak di kecamatan Indramayu, berbatasan dengan Laut Jawa di sebelah utara, Desa
Paoman dan Margadadi di sebelah selatan, Pabean Udik di sebelah barat, dan Desa Tambak di
sebelah timur. Sama halnya dengan Desa Limbangan, tercatat bahwa sekitar 90% para nelayannya
beragama Islam. Sebagian ada yang tinggal di komplek Serikat Nelayan Tradisional (khusus
pemukiman nelayan), dan sebagian lagi berbaur dengan profesi lainnya, seperti pedagang dan
pendidik.
Kepala keluarga di desa ini berjumlah 3500 kepala keluarga. Kondisi desa Karangsong relatif lebih
baik dibandingkan di Limbangan karena cukup dekat dengan kota. Fasilitas di Desa Karangsong
sudah relatif lebih baik. Di sana terdapat sekolah dasar, mesjid, dan madrasah. Dari segi ekonomi,
sama seperti di Limbangan, rumah nelayan sudah lebih baik.
Hal yang menggembirakan yaitu adanya Serikat Nelayan Tradisional (SNT), sebuah organisasi
yang memperjuangkan hak-hak nelayan. Organisasi ini diketuai oleh Kajidin. Ia menuturkan
bahwa nelayan Karangsong mulai menyadari pentingnya sebuah organisasi. Begitupula dalam hal
pendidikan, para nelayan sudah mulai sadar untuk menyekolahkan anak-anaknya, walaupun dalam
perjalanannya beberapa putus sekolah karena membantu orangtua melaut.

BAB III MELACAK PEMBENTUKAN TRADISI ISLAM DI INDRAMAYU: Dialektika
Islam dan Tradisi Lokal
A. Penyebaran dan Pelembagaan
Islam di Indramayu Islam datang, berkembang dan melembaga di Nusantara melalui proses yang
panjang. Pergumulan di dalam proses Islamisasi di Nusantara, sekurang-kurangnya menghasilkan
empat teori (Syam, 2005:59). Pertama, teori G.W.J Drewes yang yang menyatakan bahwa Islam
datang dari anak benua India. Kedua, teori yang menyatakan bahwa Islam datang dari Bengal,
diungkapkan oleh S.Q Fatimi dengan ditemukannya nisan Fatimah binti Maimun. Ketiga, teori
yang menyatakan bahwa Islam datang ke Indonesia melalui Colomader dan Malabar.
Terakhir, taori yang menyatakan bahwa Islam datang dari sumber aslinya, yaitu Arab. Sementara
itu, mengenai waktu datangnya, terdapat dua pendapat. Ada yang menyatakan pada abad ke-8
Miladiyah Satu hijriah, dan ada yang yang menyatakan bahwa Islam datang ke Indonesia pada
abad ke-13 ketika kerajaan-kerajaan Islam berkembang secara politis. Sementara itu, baru sekitar
abad ke-15 Islam menyentuh Indramayu. Penyebaran Islam di Indramayu tidak lepas dari jasa
Pangeran Cakra Buana atau Walangsungsang atau Mbah Kuwu Sangkan dari Cirebon.
Selanjutnya, penyebaran Islam diteruskan oleh Sunan Gunung Djati, keponakan Pangeran Cakra
Buana.
Sejarah penyebaran Indramayu memang tak lepas dari sejarah penyebaran Islam di Cirebon.
Dalam menjalankan pemerintahannya, Sunan Gunung Djati menggunakan sistem desentralisasi.
Adapun pola kekuasaan Kerajaan Islam Cirebon menggunakan pola Kerajaan Pesisir, di mana
pelabuhan mempunyai peranan yang sangat penting dengan dukungan wilayah pedalaman menjadi
penunjang yang vital. Program-program yang dijalankan dalam memipin pemerintahan di Cirebon,
menurut Sunarjo (1983) adalah intensitas pengembangan agama Islam ke segenap penjuru Tatar
Sunda, termasuk ke Indramayu.
Setelah membangunan kekuatan-kekuatan ekonomi, Sunan Gunung Djati sebagai kepela
pemerintahan melakukan penataan pemerintahan baik di pusat maupun di wilayah-wilayah nagari.
Untuk kelancaran pemerintahan, maka Sultan menempatkan kerabat-kerabat dan ulama-ulama
sebagai unsur pimpinan pemerintahan baik pusat maupun daerah. Menyadari posisi Cirebon
sebagai pusat penyebaran agama Islam, pusat kekuasaan politik, serta pusat perekonomian yang
sangat strategis, maka Sunan Gunung Djati mempercepat pengembangan kota tersebut. Untuk hal
itu, maka ia menjalin hubungan dengan Kerajaan Islam Pesisir Utara Jawa yaitu Kerajaan Islam
Demak. Dalam berdakwah, Sunan Gunung Djati berkomunikasi dengan budaya lokal setempat. Ia
menggunakan media kesenian, seperti wayang, rudat, berokan, dan barang. Penyebaran Islam juga
dilakukan pada abad ke-19 ketika sebagian anak-anak Indramayu dimasukkan ke pesantren di
Buntet, Kempek, Cirebon. Hal demikian juga terjadi pada masyarakat pesisir Indramayu. Islam
datang melalui wali sanga dan para santri dari Pesantren Kempek Cirebon. Dari sinilah
pergumulan antara tradisi Islam dan tradisi lokal bermula.
BAB IV KOMITMEN RELIGIUS MASYARAKAT NELAYAN INDRAMAYU

A. Masyarakat Pesisir dan Kaum Nelayan Fokus penelitian masyarakat pesisir kali ini adalah kaum
nelayan, yaitu suatu komunitas masyarakat yang secara ekonomi menggantungkan kehidupannya
terhadap kekayaan laut. Biasanya mereka tinggal di pesisir pantai/laut. Dari kajian Geertz dan
penulis-penulis lain yang mengikutinya, masyarakat pesisir pada umumnya mempunyai ciri-ciri
yang menonjol.
Dari segi ideologi keagamaan, mayoritas Islam “santri”, dari segi etiket kebahasaan, relatif kasar,
dalam berkomunikasi cenderung straight forward (langsung pada sasaran), dan dari segi orientasi
kerja, lebih menonjol pada pilihan menjadi “wirausaha”. Dalam kaitannya dengan kebudayaan
Indramayu, masyarakat pesisir tidak dikategorikan sebagai beragama Islam “santri”. Sebaliknya,
mereka cenderung mencampuradukkan agama dengan tradisi lokal atau yang biasa disebut dengan
sinkretisme (Thohir, 2009:1). Berdasarkan uraian Glock mengenai dimensi religius maka
komitmen religius masyarakat nelayan dapat dilihat dari lima dimensi yang ada, yaitu dimensi
idelogis, praktis, pengalaman, intelektual dan efek. Selain itu, terdapat juga beberapa variabel yang
mendukung dalam meneliti komitmen religius mereka, seperti afliasi organisasi agama, doktrin
kepercayaan, jenis ritual, dan frekuensi ritual (Glock, 1996:77).
Namun, sebelum menguraikan hal itu lebih lanjut, perlu dipertanyakan hal-hal sebagai berikut:
Apakah kaum nelayan itu hidup secara menetap dalam kawasan nelayan, dan apakah tinggal secara
tersendiri/terpisah dengan masyarakat lain yang non-nelayan?; atau mereka hanya berbeda dalam
hal pekerjaan, tetapi tidak (berbeda) dalam hal pemukiman? Studi kasus yang penulis lakukan di
desa Karangsong dan Limbangan Indramayu menunjukkan bahwa kehidupan masyarakat nelayan
bisa dibuat kluster sebagai berikut:
Masyarakat: Nelayan Limbangan
Kawasan Laut: Inklusif
Lingkungan Sosial: Tetap
Masyarakat: Nelayan Karangsong
Kawasan Laut: Inklusif
Lingkungan sosial:Tetap
Penggambaran kluster di atas dimaksudkan untuk melihat bagaimana karakteristik lingkungan
sosial para nelayan. Kluster di atas menunjukkan bahwa kedua daerah yang diteliti adalah daerah
yang inklusif dan tetap. Artinya, para nelayan tidak hidup dalam komplek tersendiri melainkan
berbaur bersama masyarakat yang memiliki profesi lain. Hal ini memungkinkan terjadinya arus
informasi dan perubahan komitmen religius masyarakat pesisir. B. Kehidupan Beragama Nelayan
di Desa-desa Transisi (Ideological and feeling dimension) Agama adalah satu pedoman hidup atau
tuntutan hidup manusia dalam berhubungan dengan Tuhan dan manusia.
Sementara itu, keberagamaan diartikan sebagai sikap, tindakan, dan perilaku seseorang atau
masyarakat yang mencerminkan unsur-unsur dan nilai-nilai agama. Seperti telah disebutkan

sebelumnya bahwa penelitian kualitatif ini dilakukan di dua desa pesisir Indramayu, yaitu
Limbangan dan Karangsong. Dari segi keberagamaan, masing-masing memiliki permasalahannya
tersendiri. Namun, karakteristik masyarakat yang ada tidak jauh berbeda. Berdasarkan wawancara
yang dilakukan dengan Haji Solahudin, kehidupan para nelayan di desa Limbangan masih
berpegang teguh pada tradisi lokal.
Dari pengamatannya selama ini di mesjid, aktivitas keberagamaan masyarakat nelayan dinilai
kurang. Pasalnya, para nelayan lebih banyak menghabiskan aktivitasnya di laut. Selama satu atau
dua bulan mereka melaut secara berkelompok bersama sebagian anggota keluarga atau kawankawannya. Berdasarkan pengalaman berinteraksinya dengan nelayan dapat dikatakan bahwa
komitmen agama Islam pada masyarakat nelayan belum begitu kuat. Hal ini dapat dilihat dari
frekuensi shalatnya, seberapa sering ia shalat di mesjid, mengaji, dan membantu aktivitas-aktivitas
keberagamaan lainnya.
Namun, beberapa sudah ada yang rajin melakukan ritual Islam dan menyekolahkan anak-anaknya
di sekolah madrasah. Di Limbangan sendiri sudah berdiri mesjid sejak tahun 1985 dan terus
dikelola kebanyakan oleh masyarakat pertanian. Begitu juga madrasah dan perpustakaan bukubuku Islam. Berdasarkan observasi yang dilakukan oleh penulis, keadaan mesjid di Limbangan
pada saat shalat Jum’at terbilang penuh hingga memenuhi teras.
Namun, menurut Sri (25), putri dari imam mesjid Limbangan, kebanyakan jama’ah yang shalat
Jum’at di mesjid adalah kalangan petani dan sedikit nelayan yang rajin datang. Sementara itu,
Syamita, takmir mesjid di Limbangan mengakui bahwa para nelayan beberapa pernah dilihatnya
shalat di atas perahu. Sebagian ada yang ke mesjid namun belum bisa merepresentasikan tingginya
ketaatan para nelayan terhadap ajaran Islam. Sebaliknya, dalam soal keyakinan, para nelayan di
daerah Limbangan lebih mempercayai kekuatan alam, yaitu kekuatan laut. Haji Solahudin, kepala
madrasah di limbangan, berpendapat bahwa keberagamaan masyarakat nelayan lebih tepat disebut
sebagai keyakinan spiritual.
Duliman, seorang nelayan yang ditemui di rumahnya juga mengakui hal ini. Ia mengatakan:
“Yah, Mbak, kalau gak nadran, perahunya banyak yang malik, nabrak batu, gelombangnya
besar”
Penuturan Duliman tentang upacara sedekah laut atau yang biasa disebut Nadran menunjukkan
bahwa para nelayan meyakini akan adanya kekuatan supranatural yang tidak bisa divisualisasikan,
tetapi hanya bisa dirasa. Artinya, kalau mereka tidak menjalankan pesta laut maka mereka yakin
akan banyak perahu yang terbalik serta kecelakaan di laut lainnya.
Sementara itu, dalam soal ketaatan menjalankan ibadah Islam, Duliman mengungkapkan bahwa
sebagian besar nelayan shalat hanya sesempatnya saja karena mereka melaut. Menariknya,
Duliman mengaku bahwa jika kapal ia dan kelompoknya diterpa angin badai, tak jarang salah
seorang anggota kelompoknya mengumandangkan azan di atas kapal. Hal ini terbilang ironi
mengingat di satu sisi, Duliman dan kawan-kawannya sesama nelayan rutin mengikuti upacara
sedekah laut yang bersifat sinkretik, tapi di sisi lainnya mereka juga ingat Allah saat maut
menghadang.

Dari paparan si atas, dapat disimpulkan bahwa dimensi ideologis masyarakat nelayan berada di
antara persinggungan Islam dan keyakinan mereka terhadap kekuatan alam yang besar. Apa yang
terjadi di Desa Limbangan, tidak berbeda jauh dengan Desa Karangsong. Karakteristik masyarakat
nelayan Karangsong juga salah satunya adalah mempercayai kekuatan besar yang tidak bisa
divisualisasikan, tapi hanya diyakini dalam hati. Kajidin, seorang aktivis serikat nelayan mengakui
hal itu.
Kondisi nelayan yang berbulan-bulan berada di laut, diterpa gelombang, hujan badai, dan bertaruh
nyawa membuat para nelayan sadar bahwa laut menyimpan suatu kekuatan besar. Kajidin
mengakui bahwa para nelayan memiliki serangkaian ritual tradisi lokal sebelum melaut. Mereka
biasa bertanya kepada orang pintar kapan waktu yang pas untuk melaut.
Hal senada juga diungkapkan Dulbani, nelayan di pantai Karangsong. Biasanya, para nelayan akan
tersugesti setelah bertanya pada orang pintar, begitupun setelah melakukan sedekah laut.
Kebiasaan nelayan yang sampai sekarang sulit dihilangkan menurut Kajidin adalah meminum
minuman keras dan mengunjungi warung remang-remang selepas melaut selama satu hingga dua
bulan. Mereka sesungguhnya paham bahwa minuman keras dilarang dalam agama Islam, namun
mereka tetap melakukannya dengan alasan miras adalah obat manjur untuk mengatasi pegal linu.
C. Tradisi Islam Lokal di Pesisir Karangsong dan Limbangan (Ritualistic Dimension)
Masyarakat pesisir memiliki ciri khas dalam kegiatan-kegiatan upacaranya. Berbeda dengan
masyarakat pedalaman, masyarakat pesisir lebih adaptif terhadap ajaran Islam (Syam, 2005:165).
Namun, terdapat akulturasi budaya Hindu-Budha yang diwariskan oleh nenek moyang mereka
sehingga yang lahir kemudian adalah sinkretisme atau mencampuradukkan Islam dengan tradisi
setempat. Oleh karena itu, tak jarang ritual-ritual yang ada yaitu perpaduan antara warisan
kepercayaan animisme, Hindu, Budha, dan Islam. Beberapa rangkaian upacaranya diselipkan
petikan ayat-ayat al-Qur’an. Berikut merupakan ritual-ritual sakral di pesisir Limbangan dan
Karangsong:
1) Nadran atau Pesta Laut
Nadran atau pesta laut merupakan salah satu tradisi yang dilestarikan oleh para nelayan di tengah
berbagai gelombang perubahan dengan caranya tersendiri, baik dilakukan melalui proses
akulturasi, sinkretisme, atau kedua-duanya. Nadran merupakan hasil akulturasi budaya Islam dan
Hindu yang diwariskan sejak ratusan tahun secara turun-temurun. Kata “nadran” sendiri, menurut
para nelayan, berasal dari kata “nazar” yang dalam agama Islam berarti “pemenuhan janji”.
Adapun inti upacara nadran adalah mempersembahkan sesajen (yang merupakan ritual dalam
agama Hindu untuk menghormati roh leluhurnya) kepada penguasa laut agar diberi limpahan hasil
laut, dan merupakan ritual tolak bala (keselamatan). Menariknya, upacara ini setiap tahunnya
menghabiskan dana puluhan hingga ratusan juta karena masyarakat pesisir meyakininya sebagai
suatu ritual wajib yang apabila tidak dikerjakan maka akan menimbulkan berbagai marabahaya.
Ada beberapa rangkaian ritual dalam pesta laut ini. Sewaktu pergelaran tari Jaipong dilakukan oleh
puluhan penari, para juru kunci membakar kemenyan dan menyiapkan sebutir telur ayam

kampung. Sebelum dilarung ke laut, perhau terlebih dahulu diberkati. Proses dimulai ditandai
dengan pelemparan telur ayam kampung perahu. Perahu yang telah diisi sesajen kemudian
dilarung ke laut. Sesajen yang diberikan oleh masyarakat disebut ancak, yaitu anjungan berbentuk
replika perahu yang berisi kepala kerbau, kembang tujuh rupa, buah-buahan, makanan khas, dan
lain sebagainya.
Sebelum dilepaskan ke laut, ancak diarak terlebih dahulu mengelilingi tempat-tempat yang telah
ditentukan sambil diiringi dengan berbagai suguhan seni tradisional, seperti tarling, genjring,
bouroq, barongsai, telik sandi, jangkungan, ataupun seni kontemporer. Di desa Limbangan, barubaru ini kebijakan mengenai Nadran berubah. Biasanya, Nadran dilakukan setahun sekali, namun
karena pihak KUD melihat nadran yang menghabiskan dana puluhan hingga ratusan juta maka
Nadran diadakan menjadi dua tahun sekali. Namun, dalam perjalanannya kebijakan ini diprotes
keras oleh para nelayan karena menurut mereka, kecelakaan laut lebih banyak terjadi karena ritual
nadran diadakan dua tahun sekali. Dari sini tampak bahwa para nelayan sangat memegang teguh
aspek spiritual mereka melalui penyelenggaraan Nadran. Mereka rela tidak melaut selama satu
hingga dua bulan demi melaksanakan nadran yang menghabiskan dana puluhan hingga ratusan
juta.
Penulis melihat fenomena ini sebagai sesuatu yang kontraproduktif. Di satu sisi para nelayan matimatian melaut untuk mendapatkan hasil laut sebanyak mungkin, namun di sisi lain mereka juga
rela menghabiskan penghasilan mereka demi upacara sedekah laut. Kepercayaan mereka terhadap
kekuatan laut terbilang sudah sangat mengakar. Dengan demikian, mereka lebih teguh memegang
komitmen religius yang bersifat sinkretis dibandingkan dengan komitmen mereka terhadap Islam
yang murni.
2) Bertanya Kepada Orang Pintar Sebelum Melaut
Nelayan terkenal dengan tradisinya yang selalu bertanya kepada orang pintar sebelum membuat
perahu, membuat jaring, hingga waktu keberangkatan. Orang pintar yang dimaksud adalah
seseorang yang dianggap “mandi” atau sakti ucapannya. Mereka diyakini bisa menerawang dan
hanya mau terbuka kepada para nelayan yang hendak meminta petunjuk. Di desa Karangsong dan
Limbangan, tradisi tersebut masih lekat dan sudah mendarah daging.
Duliman menuturkan bahwa semua nelayan memiliki cara-cara tersendiri dalam melakukan ritual
ini. Biasanya, setelah membersihkan perahu, dengan ditemani oleh orang pintar atau paranormal,
mereka membakar kemenyan dan membacakan wirid-wirid tersendiri. Mereka beranggapan
bahwa asap dari bakaran itu akan menyampaikan do’a mereka ke langit. Tujuannya tidak lain
adalah untuk ngalap berkah agar hasil yang diperoleh bisa lebih banyak. Sisi sinkretisme terlihat
dari do’a-do’a yang dipanjatkan. Ritual ini diturunkan turun temurun dari para leluhur dan sulit
dihilangkan karena telah menjadi budaya yang mengakar di kalangan nelayan. Selain itu pula, do’a
membakar kemenyan diambil dari potongan ayat-ayat al-Qur’an atau dzikr-dzikr umat Islam pada
umumnya. Namun, jumlah dzikrnya memiliki aturan tersendiri. Seperti “subhanallah” yang dibaca
seribu kali dan sebagainya. Masing-masing nelayan memiliki “pakem” tersendiri dalam
melaksanakan ritual ini. Ritual ini tidak bisa sembarangan diperlihatkan ke orang selain anggota
kelompok si nelayan.

Selain itu, nelayan percaya bahwa hal demikian membuat mereka tersugesti dan etos kerjanya bisa
lebih baik. Bila ada satu kelompok yang mendapatkan hasil laut melimpah maka kelompok lain
akan bertanya kepada “dukun” siapa nelayan itu meminta do’a. Selain dalam soal pekerjaan,
bertanya kepada orang pintar juga dilakukan ketika keluarga nelayan akan melaksanakan hajatan,
seperti khitanan anak, pernikahan, dan waktu keberangkatan putri mereka ketika hendak merantau
bekerja di luar negeri.
Fakta yang penulis temukan tentang orang pintar ini adalah bahwasanya, para nelayan terkadang
tidak sungguh-sungguh mengetahui apakah orang pintar itu memang benar-benar orang pintar.
Sirajudin, seorang juragan kapal mengakui hal ini. Sebagai bos kapal, ia seringkali “membohongi”
para nelayan tentang waktu melaut, padahal dirinya bukan merupakan orang pintar sungguhan.
Bagaimanapun, menurutnya, para nelayan lebih mudah tersugesti dengan orang-orang yang sudah
terlanjur ia percaya. Bertanya pada orang pintar diharapkan dapat memperoleh hasil terbaik.
Namun, sangat disayangkan sepulang melaut, banyak di antara nelayan yang menghabiskan
uangnya untuk foya-foya, mabuk-mabukan dan bermain perempuan di warung remang-remang.
3) Menggunakan Jimat Untuk Menguatkan Fisik
Nelayan biasa menggunakan jimat-jimat tertentu ketika bekerja. Jimat tersebut didapatkan dari
orang pintar, seperti secarik kertas bertuliskan al-qur’an gundul yang dibungkus kain putih, batu
alam, dan keris. Hal ini juga tak jarang mereka dapat dari hasil ziarahnya ke Cirebon. Jimat tersebut
ditengarai memberikan kekuatan yang tidak bisa dicerna oleh akal. Misalnya, seorang nelayan
yang diberi jimat batu alam, akan mampu mengangkat hasil laut di pelabuhan yang bebannya
berton-ton. Kajidin mengaku bahwa nelayan biasanya tersugesti dengan hal-hal semacam ini.
Bahkan, beberapa kejadian tidak masuk akal lainnya sering dialami oleh para nelayan berkat jimat
tersebut. Contohnya, perahu yang seharusnya diterjang ombak, terdorong dengan sendirinya ke
daratan, atau seorang nelayan yang sudah tenggelam bisa selamat, sampai ke darat dengan
berpegangan pada sebatang pohon mengambang. Kepercayaan memelihara jimat ini menandakan
bahwa para nelayan lebih memilih menggunakan cara pragmatis untuk meningkatkan etos kerja.
4) Melekan dan Sambetan
Kawin dengan kapal (melekan) merupakan tradisi nelayan sebelum melaut. Nakhoda kapal berjaga
sepanjang malam, berbaring di atas kapal dengan mata terbuka. Ritual ini biasa disebut dengan
melekan. Di waktu subuh mereka akan berangkat, setelah sebelumnya melakukan ritual sambetan,
yaitu mencipratkan air ke tubuh perahu sambil mengucapkan dzikr selamatan yang dipetik dari
ayat-ayat al-Qur’an. Air sambetan dibuat dari air ditambah cabe kunyit lalu direbus. Jika mereka
gagal, perahu yang akan disalahkan.
5) Ngalap Berkah ke Makam Wali dan Makam Orangtua
Banyak para nelayan yang meminta berkah ke makam wali di Cirebon, yaitu makam Sunan
Gunung Djati. Mereka biasa berziarah di sana dan memanjatkan do’a-do’a di depan makam. Wali
dalam hal ini diyakini sebagai orang suci atau seseorang yang memiliki kharisma di masanya.
Ziarah ke makam nenek atau kakek juga menjadi tradisi masyarakat setempat. Mereka biasa
menyediakan dan makan sesajen di samping makam sambil berbicara di depan kuburan siang hari.

Tujuannya adalah meminta restu untuk melakukan serangkaian aktivitas, seperti anak nelayan
yang hendak pergi merantau ke luar negeri sebagai TKW.
6) Sesajen di Perempatan dan Waktu Malam Takbiran
Seperti kebanyakan masyarakat pesisir lainnya, kaum nelayan Indramayu juga masih mempercayai
adanya makhluk halus. Di desa Limbangan, setiap malam takbiran, para keluarga nelayan bisa
menaruh sesajen di suatu ruangan tertentu, seperti nasi, kembang tujuh rupa, buah-buahan, dan
lain-lain. Mereka percaya bahwa setiap malam takbiran, orangtua mereka yang sudah meninggal
mengunjungi rumah mereka, berkumpul di malam takbiran. Sesajen itu kadang dibiarkan hingga
membusuk, kadang juga esok paginya dimakan bersama-sama. Dari sini terlihat sisi sinkretisme
juga karena memanfaatkan momen Lebaran, yaitu hari raya Islam, sekaligus menyediakan sesajen
untuk para orangtua yang sudah meninggal. Ritual ini tidak pernah ketinggalan dilakukan. Dengan
demikian, ada komitmen religius yang kuat yang diwariskan dari satu generasi ke generasi lain.
Selain malam takbiran, terutama di desa Limbangan, banyak yang masih mempercayai makhluk
halus di perempatan jalan. Biasanya, jika ada anak yang sakit, mereka akan menaruh sesajen di
perempatan jalan dan dibiarkan begitu saja. Namun, semakin zaman berkembang, sebagian sudah
menyadari bahwa pergi ke dokter lebih baik ketimbang menaruh sesajen di perempatan. Kajidin
menuturkan bahwa di Karangsong, masyarakat mengerti mengapa bisa terjadi sinkretisme. Ia
bahkan berkata bahwa tradisi lokal di daerahnya adalah berasal dari tradisi Hindu yang diwariskan
oleh generasi tua.
Kemudian, karena dakwah Sunan Gunung Djati lah terjadi sinkretisme. Namun, menurutnya lagi,
tidak bisa semudah itu mengubah tradisi. Bagaimanapun, setiap individu memiliki haknya masingmasing dalam meyakini kebenaran menurut kacamatanya. Dari ritual-ritual yang dilakukan
masyarakat setempat dapat disimpulkan bahwa para nelayan lebih berkomitmen menjalankan
tradisi lokal yang dicampur dengan ajaran Islam.
D. Pengaruh Perubahan Sosial-Budaya Terhadap Komitmen Religius Masyarakat Nelayan
Di dalam kehidupan ini memang tidak ada sesuatu yang tidak mengalami perubahan. Salah satu
yang juga berubah, meskipun lambat adalah budaya. Perubahan budaya tentunya tidak hanya
menyangkut budaya material, akan tetapi juga perubahan pada sistem kognitif, sistem tindakan
dan simbol-smbolnya (Syam, 242:2005). Sekalipun masyarakat nelayan Indramayu
mengkonstruksi pandangan Islam dan tradisi lokalnya, ritual-ritual tradisi lokal tersebut ternyata
tidak berakar dari tradisi yang kaku.
Di antara ritual-ritual yang telah disebutkan, beberapa di antaranya terdapat perubahan.
1. Perubahan Budaya: Dari Tradisi Lokal ke Tradisi Islam Lokal
Ritual-ritual yang telah dijelaskan di atas sejatinya dari masa ke masa terus mengalami perubahan.
Di Karangsong, misalnya, pada ritual wayang di Nadran, bacaan-bacaan yang dibacakan dipetik
dari ayat-ayat al-Qur’an, bukan lagi literatur-literatur Hindu. Dalang yang memainkannya pun
adalah seorang ustad yang pernah naik haji. Begitupula dengan menaruh sesajen di perempatan,

sebagian nelayan di daerah Karangsong sudah paham bahwa pergi ke puskesmas atau rumah sakit
itu lebih aman, kecuali jika sudah tidak ada jalan lagi, mereka akan pergi ke pengobatan alternatif.
Parsudi Suparlan (2005) mengatakan:
“Dengan kata lain, pada waktu agama yang coraknya universal menjadi lokal maka terjadilah
perubahan-perubahan dalam isi ajarannya, yaitu menjadi berisikan ajaran-ajaran mengenai
keyakinan yang bukan hanya universal tetapi juga lokal. Yaitu, mencakup juga keyakinan bersama
yang dipunyai oleh masyarakat suku bangsa tersebut mengenai kebenaran yang mengacu pada
kebudayaannya, sebelum diterimanya agama besar sebagai agama mereka”
Sekalipun para nelayan melakukan ritus-ritus sakral yang sinkretis, mereka menerima dakwah
Islam dengan terbuka. Para nelayan tidak berkeberatan jika anak-anak mereka disekolahkan di
sekolah madrasah. Pendirian madrasah dan mesjid sesungguhnya berkat jasa para elit agama yang
berasal dari kalangan NU dan Muhammadiyah. Walaupun demikian, menurut Haji Sholahudin,
akan tampak perbedaan antara nelayan yang menjalankan agama Islam, dengan nelayan yang lebih
percaya hal-hal sinkretik ketika tahlilal diselenggarakan.
Para nelayan yang beraliran sinkretik lebih memilih untuk diam atau membawakan makanan saja,
tapi tidak ikut berdzikr. NU (Nahdhatul Ulama) sesungguhnya lebih mudah diterima di kalangan
nelayan karena karakteristiknya yang kompromi terhadap tradisi lokal. Ada dialektika tersendiri
antara hubungan keduanya.
Proses interaksi antara masyarakat yang menjalankan tradisi lokal dengan ustad-ustad dari
kalangan NU berjalan harmonis. Adapun hubungan antara NU dan Muhammadiah di Karangsong
tidak sekentara dahulu. Sekarang masyarakat nelayan sudah bergerak masing-masing dan tidak
mempersoalkan hal tersebut. Akan tetapi, kalau dilihat prosentasenya, masyarakat nelayan lebih
memilih NU sebagai ormas yang dekat dengan tradisi lokal.
Namun, dalam soal afiliasi politik, masyarakat Karangsong lebih memilih PDIP, bukan partai
Islam. Hal ini dikarenakan adanya perpindahan nelayan dari Muara Angke yang digagas oleh
Megawati Soekarno Putri. Berdasarkan penuturan H.Solahudin, dalam hal dakwah, masyarakat
nelayan Indramayu umumnya lebih percaya kepada kyai yang memiliki keahlian khusus, seperti
mengobati orang sakit dan ahli hikmah. Mereka secara tidak langsung terpengaruh untuk
melaksanakan shalat karena teladan dari sang kyai, dan nilai plus yang dimilikinya.
Namun, untuk kasus di Limbangan hal semacam itu tidak terjadi. Perubahan yang terjadi pada
masyarakat pesisir dalam menerima Islam dengan lebih terbuka adalah karena banyaknya
masyarakat pendatang. Salah satu hal yang paling konkret adalah kedatangan H.Solahudin sendiri.
Semenjak H.Solahudin menggagas pendirian mesjid dan madrasah, denyut aktivitas
keberagamaan semakin terasa. Namun, faktanya, H.Solahudin bukanlah seorang nelayan. Ia adalah
seorang alumni IAIN Cirebon yang berasal dari keluarga kalangan pertanian. Selepas melakukan
KKN (Kuliah Kerja Nyata) di desa Limbangan, beliau mengabdi, membentuk keluarga, dan
menetap di sana.

Haji Solahudin dan kawan-kawan tentu tidak serta merta secara radikal melarang ritual-ritual
sinkretisme. Bagi beliau, bercakap-cakap ringan, memberikan sedekah, melaksanakan gotong
royong di desa dapat memperkuat tali silaturahim sehingga bisa memberikan turunan dakwah.
Dalam proses perubahan itu, Haji Solahudin bertindak sebagai aktor yang memberikan
pemahaman baru tentang Islam. Namun, sebagai orang yang menghargai masyarakat setempat, ia
tak ingin memaksakan pemahamannya sehingga terjadi konflik. Hal yang paling penting menurut
beliau adalah menyampaikan. Perkara diterima atau tidak, itu sudah menjadi urusan masingmasing.
2. Permasalahan-permasalahan di Lapangan
Karena zaman yang semakin berkembang tentunya terdapat perubahan sosial-budaya dalam
kehidupan keberagamaan masyarakat nelayan. Karena akses informasi yang sudah semakin mudah
di desa-desa maka tak jarang terjadi konflik sosial-budaya yang menyebabkan nilai-nilai Islam
luntur. Kebiasaan nelayan yang mabuk sehabis melaut sulit dihilangkan. Begitu juga dengan
mendatangi rumah remang-remang. Budaya foya-foya dan yang bersifat hedonisme akan
menghambat etos kerja nelayan. Tentu saja ini menjadi tugas aktor keagamaan dalam memberikan
transmisi nilai pada masyarakat nelayan.
Dalam memberikan nilai-nilai keagamaan, kyai, sebagai simbol dalam struktur masyarakat
nelayan, menunjukkan peran yang amat vital karena ia diyakini memiliki kharisma yang mampu
memberikan pengaruh tertentu dalam masyarakat. Namun, akhir-akhir ini, kyai di daerah
Karangsong mengalami perubahan yang cenderung ke arah politik praktis. Supali Kasim,
pengamat budaya di Indramayu, mengatakan bahwa ada satu aliran tarekat yang semula komitmen
dalam mendekatkan diri pada Allah sekarang banyak yang terjun ke dunia politik. Mereka
menamakan dirinya kelompok Asy-syahadatain yang percaya bahwa kelompoknya adalah turunan
nabi dan berhak mendapatkan otoritas karena nabi adalah icon pimpinan Islam. Peran tokoh-tokoh
agama akhirnya mengalami pergeseran. Padahal mereka adalah figur yang menjadi teladan dalam
masyarakat tradisional. Berbeda dengan di Limbangan, Haji Sholahudin tidak memiliki
kecenderungan ke arah politik. Pada akhirnya, beliau tetap disegani sekalipun bukan merupakan
tokoh kyai yang dipercayai memiliki kekuatan supranatural.
3. Pembinaan Nilai Agama Islam Bagi Generasi Penerus
Adanya organisasi keagamaan di desa Limbangan dan Karangsong turut mempengaruhi keadaan
masyarakat nelayan, terutama kesadaran mereka akan pentingnya pendidikan agama bagi anakanak mereka. Mereka tanpa dipaksa, menyekolahkan anak-anak mereka ke madrasah dan bahkan
ada yang memasukkannya di pesantren-pesantren Cirebon sehingga ketika pulang kembali,
mereka memberikan pemahaman Islam yang lebih terhadap orangtua mereka.
Haji Solahudin mengemukakan hal serupa. Ia mengatakan bahwa nelayan sudah cukup sadar untuk
mengerti pentingnya pendidikan agama di madrasah-madrasah. Haji Solahudin berpendapat
bahwa hal ini merupakan langkah awal yang baik untuk mengembalikan komitmen keislaman
mereka lewat anak-anak mereka. Jika pola pikir masyarakat nelayan sulit diubah dan lebih memilih
komitmen terhadap sinkretisme maka para aktor Islam di sana lebih menekankan pendidikan
agama Islam kepada generasi penerusnya.

Dahulu, para nelayan bahkan tidak sampai tamat SD, tetapi sekarang sudah cukup banyak nelayan
yang sadar untuk menyekolahkan anak-anak mereka ke sekolah umum juga. Walaupun salah satu
alasannya terbilang unik, yaitu untuk menjadi seorang nakhoda kapal, seseorang harus bisa
mengerti penunjuk arah atau peta. Di sekolah umum ini pun ada mata pelajaran agama yang
diajarkan kepada anak-anak nelayan. Pembinaan nilai-nilai agama dirasa perlu karena di dalamnya
terkandung ajaran moral yang antara lain berisi kejujuran, kebenaran, dan pengabdian (Taryati,
1994:116)
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari kajian sebelumnya kiranya dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:
Pertama, komitmen religius para nelayan di daerah Karangsong dan Limbangan kiranya
merepresentasikan karakteristik masyarakat pesisir Indramayu secara umum. Komitmen mereka
tercermin dari frekuensi mereka dalam menjalankan ajaran agama Islam, adanya simbol-simbol
dan organisasi Islam, serta praktik-praktik di luar Islam yang cenderung ke arah sinkretisme.
Dakwah yang dilakukan oleh para wali di Indramayu menyebabkan terjadinya akulturasi budaya,
yaitu perpaduan dua budaya atau lebih yang menghasilkan kebudayaan baru namun tetap tidak
menghilangkan cirinya masing-masing. Akibat dari akulturasi Hindu dan Islam inilah akhirnya
menghasilkan percampuran antara Islam dan tradisi lokal. Melalui medan budaya, pewarisan
tradisi silakukan dari generasi ke generasi.
Melihat religious belief (dimensi ideologis) dan ritualistic (dimensi ritual), dari data-data yang ada,
nelayan di daerah Limbangan dan Karangsong lebih berkomitmen untuk menjalankan tradisi Islam
lokal ketimbang ritual Islam yang murni. Terbukti dari ritus-ritus yang mereka lakukan, seperti
nadran yang menghabiskan puluhan hingga ratusan juta, menggunakan jimat, ziarah ke makam
wali dan para orangtua yang sudah meninggal, menyediakan sesajen, serta bertanya kepada orang
pintar.
Pada akhirnya, dari ritual-ritual yang dilakukan, hakikatnya adalah memperoleh berkah. Dalam
melihat fenomena ini, penulis melihat bahwa terdapat cara-cara pragmatis dalam pelaksanannya
yang tidak sejalan dengan peningkatan etos k