1965 dan Masa Depan Hukum Indonesia

1965 dan Masa Depan Hukum di Indonesia
Oleh : Prof. Dr. Suteki, SH., M.Hum dan Rian Adhivira, SH.1
Abstrak
Peristiwa 1965 adalah sebuah penanda, tentang berakhirnya jargon-jargon revolusi dan
dimulainya era pembangunan. Akan tetapi proyek raksasa yang disebut sebagai pembangunan itu
terlalu mahal harganya; pencekalan atas kebebasan berpendapat, berserikat dan berkumpul, teror,
pembunuhan, dan yang paling mengerikan adalah legitimasinya atas pembantaian 3.000.000
orang di tahun 1965-68 yang disertai dengan pemenjaraan terhadap 1.500.000 orang lainya.
Jumlah tersebut belum termasuk keluarga yang ditinggalkan, perkosaan massal, kerja paksa, dan
lain sebagainya, yang merubah seluruh tatanan politik Indonesia pada masa itu. Peristiwa 1965
dengan demikian, adalah titik pijak legitimasi atas berdirinya rezim represif otoritarian selama 32
tahun lamanya.
Tulisan ini hendak memberikan refleksi atas kejadian 1965 dan sumbangsihnya dalam pemikiran
hukum. Apakah hukum itu dan untuk siapa dia ada? Satjipto sempat menyatakan bahwa hukum
untuk manusia, tapi masalahnya, manusia macam apa? Konsekuensinya, berkaca dari peristiwa
1965, terdapat dua golongan: mereka yang memiliki hak untuk memiliki hak, dan mereka yang
tidak memiliki hak untuk memiliki hak. Pada titik inilah tragedi 1965 menjadi tidak mungkin
dilewatkan untuk masa depan hukum Indonesia, bahwa tidak mungkin membangun Hukum
Indonesia dengan melupakan nyawa jutaan orang yang bisa dan boleh dihilangkan atas nama
kebenaran rezim. Apa yang dipertaruhkan bukan hanya tseks yang berisi aturan, melainkan
wajah dengan segala kisahnya.


I
1965 adalah anomie bagi sistem hukum Indonesia. Berdasarkan peristiwa tersebut, tata hukum
menjadi tidak lagi berlaku, yang berlaku, sebagaimana dikatakan oleh Schmitt, adalah keputusan
kongkrit (Schmitt, 2005:1). Keputusan tersebut diambil melalui peneguhan kedaulatan, melalui
distingsi antara kawan-lawan (Schmitt, 2007:26,27). Distingsi tersebut menimbulkan satu
konsekuensi, yaitu melalui status manusia seseorang dalam keberanggotaan dalam komunitas
politiknya. Tanpa adanya keberanggotaan dalam satu komunitas politik, maka seseorang tidak
mempunyai apa yang disebut sebagai hak untuk memiliki hak-hak. Dalam terminologi Agamben,
distingsi tersebut merupakan pembagian atas zona hidup seseorang, apakah dia termasuk dalam
bios atau zoe (Agamben, 1998:1). Zona kehidupan yang pertama adalah hidup yang penuh, yaitu
hidup dalam ranah ke-publik-an sedangkan zona hidup yang kedua adalah zona hidup dalam

1

Suteki adalah Guru Besar Hukum & Masyarakat Universitas Diponegoro Semarang. Rian Adhivira adalah
mahasiswa Magister Ilmu Hukum Universitas Diponegoro Semarang. Tulisan ini ditujukan untuk Konferensi
Asosiasi Filsafat Hukum Indonesia tanggal 17-18 November 2015 di Universitas Muhammadiyah Surakarta dan
kami persembahkan untuk (alm) Busono Wiwoho dan Heriyani Busono Wiwoho.


artian biologi, yaitu hidup yang semata-mata privat, hidup untuk bertahan hidup pada keesokan
harinya. Anomie hukum tersebut, adalah akhir sekaligus genesis dari hukum.
Sebagaimana telah diketahui, pasca 1965, Pancasila sebagai batas komunitas politik dibaca
dengan cara yang sama sekali berbeda. Akan tetapi yang paling menyakitkan dari peristiwa 1965
sesungguhnya bukan pada malam 1 Oktober itu, melainkan kekerasan yang terjadi setelahnya.
Atas dalih malam 1 Oktober dimana beberapa jenderal terbunuh, aksi pembalasan dilakukan
secara meluas dan sistematis,2 yang ditujukan kepada tertuduh golongan kiri. Upaya Soekarno
untuk meredam kerusuhan dengan mengadakan Mahmillub, memberlakukan larangan
berkumpul, tidak banyak membantu. Tidak ada yang bisa dia lakukan kecuali melalui pidatopidatonya sepanjang akhir 65 hingga Pelengkap Nawaksara, upayanya dalam menolak
pembubaran PKI, penghentian pembunuhan, dan klarifikasi bahwa tidak ada jenderal yang
dicongkel mata dan penyayatan penisnya berakhir sia-sia. Jargon-jargon Nasakom, ManipolUsdek, Panca-Azimat, beserta mimpi-mimpi revolusi sudah tidak lagi memiliki banyak arti,
bersamaan dengan digulungnya para pengikut utamanya: PKI. Terlebih semenjak Maret 1966,
kekuasaan secara de facto praktis sudah berpindah kepada Soeharto. Apabila malam 1 Oktober
adalah legitimasi politik, maka TAP XXV/MPRS/1966 adalah dasar legalitas dari segala bentuk
diskriminasi yang dianggap kiri.
Golongan kiri dipukul, setelah pembunuhan yang menurut Sarwo Edhie telah sukses mengambil
sebanyak 3 juta orang, tahun 1969, lebih dari 1,5 juta orang menjalani pembuangan (Kammen &
McGregor, 2012;9), yang paling terkenal diantara semuanya adalah Pulau Buru. Tidak pernah
ada pengadilan terhadap tuduhan tersebut, juga tidak pernah ada kejelasan hingga kapan para
tahanan tersebut menjalani masa pembuanganya. Hasil-hasil penelitian menunjukkan adanya

praktik-praktik kekerasan yang dilakukan oleh negara melalui militer –khususnya angkatan
darat- maupun secara horizontal, dari lembaga negara, Komnas HAM dan Komnas Perempuan
telah melakukan penelitian maupun penyelidikan terhadap kekerasan yang terjadi, penelitian
secara swadaya juga telah banyak menunjukkan hal yang kurang lebih sama.
Secara singkat, menjadi kiri pada tahun-tahun pasca 1965 adalah permasalahan bertahan hidup,
yang apesnya , tidak hanya menimpa orang per orang secara begitu saja, melainkan juga anakturunanya baik PKI, organisasi underbouw, maupun mereka yang secara serampangan
dituduhkan begitu saja. Apa yang tersisa dari malam-malam penuh kengerian tersebut adalah
PKI itu jahat, dan Gerwani, adalah iblis perempuan yang memakai kemben, menari telanjang,
mencongkeli mata dan menyayat penis para jenderal. Berulang-ulang, memori tersebut
diteguhkan dengan peringatan hari kesaktian dan pemutaran film Pengkhianatan G30S.
Pernyataan diatas menunjukkan bahwa rezim Soeharto adalah peneguhan atas keadaan
kekecualian (state of exception), dimana atas dasar pemulihan ketertiban melalui tindakan yang

2

Mengacu pada hasil penyelidikan Komnas HAM

dianggap perlu,3 kewenangan kekuasaan negara bertambah kuat dibarengi dengan pembatasan
hak warganegara. Situasi ini tidak lagi memerlukan fakta, karena kebenaran yang ada adalah
melalui peneguhan itu sendiri. Sebagai contoh, Soeharto, yang telah menerima hasil visum et

repertum para dokter dari pembunuhan para jenderal membiarkan gambaran penis disayat dan
mata dicongkel menyebarluas dalam media massa yang kala itu berada dalam kontrol angkatan
darat (Roosa, 2008:9).4 Meminjam istilah Ariel Heryanto, masyarakat Orde Baru adalah
masyarakat simulakra , dari penanda-penanda absurd yang kebenaranya disahihkan oleh kekuatan
militer (Heryanto, 2006: 112). Padahal, persis dari gambaran tersebutlah, basis legitimasi dari
kekerasan yang terjadi dibanyak tempat, bahwa gerwani adalah kelompok wanita amoral yang
hobinya menyayat penis.

Angka-angka adalah masalah statistik. Apa yang tidak bisa disingkirkan adalah pengalaman
personal mengenai kisah-kisah pribadi dari rasa rindu maupun kehilangan. Tulisan ini tampaknya
tidak bisa menghindar dari godaan untuk menampilkan beberapa kisah tersebut. Pengalaman
penyiksaan dialami selama menjadi tahanan politik oleh Pak ES, dari kota K, tentu saja tanpa
pengadilan dan kejelasan kapan akan bebas:
Setelah saya ditangkap, saya dimasukkan ke sel. Harusnya ruangan itu hanya sepuluh
orang, tapi diisi seratus orang, sehingga tidak bisa duduk selonjor, semua duduk jongkok.
Orang yang merasa kehilangan hak-haknya pasti terasa sangat sengsara. Makan hanya
paling banyak delapan sendok. Pertama saya ditangkap di gedung z di Kota K, saya
ditangkap 17 Oktober 1965, dan datang untuk membebaskan teman saya yang semenjak
saya datang langsung boleh pulang.
Datang disitu digebuki tanpa dikasih makan dan hanya makan dari kiriman rumah. Kita

makan dari kiriman makan rekan tahanan yang dibagi ramai-ramai. Minum dan makan
adalah dari kiriman rumah, tidak disediakan. Hal inilah yang banyak mematahkan
semangat orang-orang. Setiap hari banyak orang yang mati, umpamanya Pak Lurah x,
dihajar, kemudian mati, dan orang-orang lihat itu bagaimana dia mati. Orang yang
dianggap tokoh setiap jam 11 sampai jam 1 dipanggil, dihajar, diroyok, sambil mengucap
Allahu Akbar . Saya bingung, ngapain menghajar orang sambil mengucap Allahu Akbar ?
Salah kita apa? Apakah kami pernah membunuh santri? Apakah saya pernah membunuh
santri? Lha wong saya pulang kesini saja belum tentu sebulan sekali karena dari SMP
3

Salah satu Frasa dalam Surat Perintah Sebelas Maret 1966, selengkapnya:
1. Mengambil segala tindakan jang danggap perlu, untuk terdjaminnja keamanan dan ketenangan serta
kestabilan djalannya revolusi, serta menjamin keselamatan pribadi dan kewibawaan Pimpnan
Presiden/Panglima Tertinggi/Pemimpin Besar Revolusi/Mandataris MPRS demi keutuhan Bangsa dan
Negara Republik Indonesia, dan melaksanakan dengan pasti segala adjaran pemimpin Besar Revolusi.
2. Mengadakan koordinasi pelaksanaan perintah dengan Panglima-Panglima Angkatan-Angkatan lain
dengan sebaik-baiknja.
3. Supaya melaporkan segala sesatu jang bersangkutan-paut dalam tugas dan tanggung-djawabnya
seperti disebutkan diatas.
4

Berdasarkan hasil penelitian Weiringa, para perempuan yang memberikan pengakuan adalah hasil dari
penangkapan yang disertai dengan penyiksaan. Para perempuan tersebut dipaksa untuk telanjang kemudian
difoto, dan dipaksa mengakui perilaku yang dituduhkan (Weiringa, 2010; 432). Hasil penelitian Komnas Perempuan
menyertakan pula hasil visum tersebut dalam bagian lampiranya.

hingga kuliah saya di luar kota. Pertanyaan itu tidak masuk akal, dimana menyimpan
senjata? Dimana siletnya? Katanya mau membunuh para kyai? Lha boro-boro punya
senjata! Kalau tidak jawab terus digebuki. Kata mereka orang komunis akan membunuh
orang-orang beragama, tapi lihat dong, nyatanya, siapa yang dibunuh?5
Pengalaman lain adalah tentang rasa hilang anggota keluarga, dimana sang ibu adalah anggota
Gerwani dan ayahnya adalah pegiat organisasi. Sang ibu kembali namun tidak dengan ayahnya.
Semasa remaja, dirinya kerap dijenggung dan dikatak dasar anak PKI! Dasar anak gerwani!
Dengan sang ibu sebagai Gerwani, sementara disekolah maupun melalui film Pengkhianatan
G30S PKI digambarkan sebagai sosok amoral.
Ucapan dasar anak PKI dan dasar anak Gerwani itu saya terima sebagai kalimat makian
yang mengganggu saya. Saya melawan, semakin besar, saya melawan secara fisik,
dengan berkelahi. Pada titik tertentu saya bertanya, apakah arti ucapan itu? Jenggungan
kepala pada saya itu dilakukan tidak hanya oleh orang lain, tapi juga oleh keluarga, kami
diasingkan tanpa tahu apa kesalahan kami. Saya bertanya pada ibu saya, tapi tidak
mendapat jawaban dari ibu saya yang kemudian membuat saya mencari sendiri, apa arti

dari semua itu. Kelamaan saya jadi tahu bahwa PKI itu adalah hal itu, dan Gerwani
adalah itu, dan saya bertanya betulkah ayah ibu saya adalah anggota organisasi macam
itu. Suatu ketika saya malu betul, pada ibu saya, dianggap dan diperlakukan sebagai
perempuan Gerwani, yang dalam film Pengkhianatan G30S PKI itu adalah kelompok
perempuan yang tidak bermoral. Gambaran yang sama juga saya peroleh dari pelajaran
sejarah di sekolah, sampai SMA, yang membuat saya jijik terhadap ibu saya. Inilah yang
membuat saya melawan terhadap ibu saya, segala ucapan, perintah, dan larangan dari ibu
saya adalah omong kosong. (…)
Sampai hari ini saya belum bisa menjawab kepada anak-anak saya, kenapa setiap kali
lebaran, setiap kali berziarah, anak-anak saya tidak pernah saya ajak ke makam bapak
saya. Bagaimana saya mau mengajak? Pusara bapak saya pun saya tidak tahu. Saya
belum bisa menjawab, karena saya tidak bisa membayangkan bagaimana respon anak
saya kalau saya mengatakan bahwa kakek kamu dibunuh, saya yakin mereka akan
kembali bertanya, siapa yang membunuh, kapan, dan kenapa kakek dibunuh? Pertanyaan
yang sampai hari ini juga saya sendiri belum bisa temukan jawabnya.6
Masalah-masalah diatas menunjukkan bagaimana hidup selama dan setelah 1965, bahwa
permasalahan kekerasan yang terjadi pada masa itu tidak hanya permasalahan struktur, namun
juga personal. Kisah yang seolah sederhana seperti kenapa saya ditangkap, maupun dimana
kubur bapak, bagaimana menjelaskan pada anak, sesungguhnya tidak dapat dilepaskan dari
urgensi atas pentingnya penyelesaian mengenai 1965. Momentum peneguhan kedaulatan

diataslah yang kemudian yang menentukan apakah seseorang masuk atau dicoret dari komunitas
politiknya. Akibatnya jelas, mereka yang tidak termasuk dalam komunitas politik boleh dibunuh
beserta impunitas atas pembunuhan tersebut. Semenjak 1965, praktis kehidupan berubah, sudah
tidak ada lagi Nas, A maupun Kom, politik massa pada massa demokrasi terpimpin digantikan
5
6

Mantan Tapol golongan B yang kemudian dibuang ke Pulau Buru, korespondensi pribadi.
Penyintas merupakan anak Tapol, Korespondensi pribadi.

dengan depolitisasi massa yang berujung pada asas tunggal yang puncaknya dikukuhkan melalui
TAP II/MPR/1978 dan UU 3/1985. 7 Atau dengan kata lain, Indonesia pada masa Orde Baru
tidak berbeda dari TMII, merangkum Sabang hingga Merakuke melalui tafsir tunggal dan
pendekatan represif terhadap oposisi. Merubah jargon politik sebagai panglima menjadi
pembangunan. Semenjak 1965, 1 Oktober menjadi semacam hari peringatan atas kekecualian
tersebut, dan secara berulang menegaskan distingsi kawan-lawan, bahwa PKI adalah lawan yang
harus dibasmi atas potensialitas laten-nya. Pancasila menjadi dalih, setiap gerak oposisi politik
dengan segera dikategorikan sebagai tidak Pancasilais, dan dapat sewaktu-waktu dikenakan
tuduhan subversif.8 Tanah dapat dirampas dengan menggunakan dalih fungsi sosial hak atas
tanah, terhadap perlawanan mudah saja, tuduhkan pada mereka kalau mereka itu komunis

ditambah dengan teror dari militer (Yusriadi,2009, Pompe, 2012: 217-222).9 1 Oktober 1965
beserta dengan tindakan kekerasan setelahnya menjadi basis legitimasi dari rezim otoritarian
Orde Baru. Dengan kata lain, rezim Orde Baru berdiri diatas darah dengan Pancasila yang
diteguhkan sebagai pembatas komunitas, dan musuh yang terus ditegaskan.
II
Inilah yang membuat posisi masa depan hukum menjadi menarik. Keadilan dan Hukum berasal
memiliki kedekatan semantik, yaitu dikaion yang berarti hak atau hukum, dan dikaiosyne yang
berarti adil (Douzinas, 2000;47). Hukum berdasarkan pengertian yang demikian adalah
berdekatan dengan adil dan bersinonim dengan hak. Hukum adalah hak, karena hanya melalui
hukum hak-hak dapat dijaminkan. Pada satu pihak, universalitas HAM yang mewarisi corak
hukum kodrat menanggap bahwa hak adalah melekat pada setiap manusia, akan tetapi pada sisi
yang lain, hak-hak tersebut sesungguhnya bergantung pada komunitas politik tertentu.10
Douzinas menggambarkan relasi keberanggotaan komunitas politik tersebut layaknya
ketergantungan anak terhadap orang tuanya (Douzinas, 2007:96). Hak dijaminkan melalui

7

Termasuk implementasi P4 dalam bentuk pelatihan kepada seluruh siswa dan pegawai negeri sipil. Pelatihan
semacam ini sesungguhnya tidak jauh berbeda dari apa yang diterapkan Soekano melalui slogan Manipol-Usdek
yang juga wajib diikuti oleh seluruh siswa hingga pegawai negeri sipil. Kesamaan lain adalah penggunaanya untuk

melawan musuh politik. Meski memiliki kesamaan, namun yang menjadi ciri khas dari P4 adalah rujukanya pada
peran militer sebagai bagian dari pembangunan. Ciri utama tersebut menjadi pembeda karena dalam ManipolUsdek, Pancasila dipergunakan untuk memobliisasi secara dinamis lawan-lawan negara (nekolim). Sementara
pada P4 adalah terutama untuk mengaburkan pandangan sosial dengan dalih Pancasila dengan mengambil jalan
Komunis sebagai musuh bersama (Morfit, 1981).
8
UU 11/Pnps/1963 UU ini selama Orde Baru menjadi alat untuk mengadili oposisi politik (Gultom, 2003).
9
Misalkan pada kasus Kedung Ombo, para petani yang menolak pembebasan lahan oleh Soeharto ia katakan
sebagai mantan komunis, untuk meluluskan ganti rugi tanah dengan harga yang sangat minim.
10
Tema Partikularitas tersebut dilain pihak menjadi dalih selama Orde Baru untuk menghindari tanggung jawab
atas kejahatan HAM secara internasional dengan menggambarkan bahwa HAM universal adalah kebaratan dan
jahat, dan tentu saja, tidak sesuai dengan Pancasila Orde Baru (Marzuki, 2014: 107).

hukum, dan tiada hak, bahkan yang dijaminkan oleh hukum sekalipun, dapat berjalan tanpa
keberanggotaan pada komunitas politik, (Douzinas, 2007:99).11
Hal ini dapat dipahami dalam konteks daya paksa, karena penguasaan daya paksa inilah yang
menentukan dapat terwujud atau tidaknya hak seseorang, sebagaimana analogi ketergantungan
anak terhadap orangtua Douzinas yang disebutkan tadi. Mereka yang tidak menjadi anggota atau
dicoret keanggotaanya tidak lagi memiliki hak paling primordial, yaitu hak untuk memiliki hakhak. Pola tersebut adalah sekaligus eksklusi atas status kemanusiaan seseorang, seberapa

penuhkah status kemanusiaan seseorang. Manusia yang tidak penuh adalah manusia yang tidak
memiliki jaminan atas haknya, sebagaimana dialami oleh para golongan kiri. Agamben
menyebutnya sebagai homo sacer, mereka yang dibenarkan untuk dibunuh dengan impunitas
atasnya (Agamben, 1998;72).
Praktik eksklusi ini, menurut Agamben adalah potensialitas dari peneguhan kedaulatan, yang
membuktikan tipisnya batasan antara negara yang demokratis akan otoriter. Refleksi ini
sekaligus mempertanyakan untuk apakah hukum itu, rumusan Satjipto bahwa hukum adalah
untuk manusia sesungguhnya masih separoh jalan saja, pertanyaan selanjutnya adalah untuk
manusia macam apa hukum itu ada. Pengalaman pada masa tahun 1965 secara tepat
menunjukkan praktik-praktik itu dilakukan, eksklusi golongan kiri dengan label anti-Pancasila
dan kekerasan yang dilakukan terhadapnya. Pembunuhan-pembunuhan massal maupun
pembuangan dalam kamp konsentrasi seperti Pulau Buru, Nusakambangan, Plantungan, dan lain
sebagainya tidak lain adalah konsekuensi dari eksklusi tersebut (Agamben, 1998). Perlawanan
terhadap eksklusi adalah sekaligus klaim atas hak, rekognisi dari keberanggotaan seseorang atas
komunitas politiknya, sebagaimana dikatakan Douzinas:
Rights play a key role here: they recognise, finesse and adjudicate the claims of groups
and people and adjust them to changes in social life. In this vision, law aims to become
identical with the natural life of society, to map the social landscape by replicating
accurately within intself the facts of social life and helping reproduce the existing order
(2007; 104).
Apa yang dikatakan Douzinas tersebut berkaitan dengan peneguhan kedaulatan yang
dipergunakan untuk membalik posisi korban-pelaku. Mereka yang tadinya dituduh sebagai
pelaku (pemberontak, tidak-Pancasilais) bergeser menjadi korban, dan demikian pula sebaliknya,
mereka yang tadinya korban (negara, militer, penjagal) berubah menjadi pelaku. Maka registrasi
politik pada masa ini kembali mengalami perubahan, layaknya revolusi Perancis yang
menggulingkan monarki. Douzinas menyatakan
When the radically excluded protest the wrong they suffer, they present themselves as
representatives of the whole society, as stand-ins for the universal. We, the nobodies,
they proclaim, are everything against those who stand only for their particular interests.
11

Arendt dalam Douzinas mengatakan : a man who is nothing but a man has lost the very qualities which make it
possible to treat him as a man.

Political conflict brings together the structured whole and the excluded representative of
the universal into one place and rewrites the rules of inclusion and exclusion. The
inclusion of the invisible part overthrows the rules of the game and interrupts the natural
order of domination. A new order is precipitated and transforms social visibility. The
irruption of the excluded is the political event par excellence: it changes the political
scene and then disappears. Before the transformation, political change is a matter of
policing and consensus. After the change, politics returns to normality; its terrain has
been modified, however, through the inclusion of the new group or subject and the
redefinition of the rules of political legitimacy (2007;106).
Masalah akan masa depan hukum Indonesia nampak disini. Pernah ada satu masa dimana hukum
yang sekaligus hak (dikaion) dapat disingkirkan dengan kekerasan yang ditujukan melalui
eksklusi dari status keanggotaan seseorang dan kelompoknya. Pertanyaan yang muncul, apakah
setelah adanya pergeseran pada masa reformasi meluluskan hal tersebut? Masa reformasi adalah
bentuk protes atas otoritarianisme, akan tetapi proyek reformasi tersebut menunjukkan sekaligus
dua muka. Pada satu sisi masa reformasi merupakan masa dimana wacana mengenai HAM
meningkat dengan pesat, hal ini tampak pada regulasi nasional maupun ratifikasi internasional
terhadap instrumen-instrumen HAM.12 Akan tetapi pada sisi yang lain, reformasi abai untuk
membereskan basis legitimasi dari berdirinya rezim yang mereka tolak itu, yaitu peristiwa 1965.
Pernah ada Pengadilan HAM ad hoc untuk Timor Timur maupun Tanjung Priok, juga Pengadilan
HAM abepura,13 namun belum pernah ada kemajuan yang berarti untuk permasalahan 1965.
Pertanyaan mengenai kenapa ayah saya dibunuh, kenapa saya disiksa, dimana kuburan ibu saya
ditangkap, belum menemukan jawabanya. Dengan demikian, adakah masa depan bagi hukum
yang tidak mengakui masa lalunya?
Berkaca pada pengalaman lain, di Chile, pasca jatuhnya Pinochet, Presiden Aylwin melalui
Supreme Decree 355 membentuk KKR –meski bekerja dalam definisi yang terbatas- untuk
menunjukkan praktik kekejaman dan reparasi korban. Begitupula di Afrika Selatan dimana
Konstitusi 1993 dan Konstitusi 1996 meniadakan sistem Apartheid, dan melalui kerja komisi
kebenaran melalui Act 34/1995. Baik Chile maupun Afrika Selatan dengan keunikanya masingmasing tetap menunjukkan tiga hal; reparasi korban, pengungkapan kebenaran, dan penuntutan
terhadap pelaku. Ketiga hal tersebut luput dalam semangat reformasi, betul memang, jargonjargon HAM menempati posisi yang penting, dan bahwa betul telah ada putusan penting
12

UU 39/1999, UU 26/2000, UU 11/2005, UU 12/2005, dan lain sebagainya.
Meskipun dalam pengadilan tersebut tidak pernah ada pelaku (Marzuki, 2012) maupun reparasi korban. Hal ini
karena untuk mendapatkan reparasi, UU 26/2000 mengharuskan adanya pelaku, dan pencantuman bentuk
reparasi dalam amar putusan.
Pasal 35 UU 26/2000:
(1) Setiap korban dan saksi dalam pelanggaran hak asasi manusia yang berat dan atau ahli warisnya dapat
memperoleh kompensasi, restitusi, dan rehabilitasi.
(2) Kompensasi, restitusi, dan rehabilitasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dicantumkan dalam amar
putusan pengadilan HAM.
(3) Ketentuan mengenai kompensasi, restitusi dan rehabilitasi diatur lebih lanjut dengan Peraturan
pemerintah.

13

mengenai pemulihan hak14 akan tetapi pada sisi lain, perampasan hak yang terjadi sebelumnya
tidak diselesaikan, menyisakan para korban tanpa adanya hak dengan berbagai pertanyaan
personalnya. Kini para penyintas hidup bersama dengan para jagal, mereka yang
memperjuangkan klaim atas hak berjalan berdampingan dengan penyeru kebencian.
Dilain pihak, hukum yang ada tampaknya tumpul, penyelesaian melalui Pengadilan HAM
memiliki kelemahan dalam reparasi, begitupula dengan jalur KKR, RUU usulan pemerintah
nampaknya hanya berminat pada dua hal: pengungkapan kebenaran dan reparasi korban saja,
namun tidak dengan menghukum pelaku,15 yang menunjukkan pembunuhan dan impunitas
atasnya . Permasalahan basis legitimasi tersebut sesungguhnya terdapat dalam TAP
XXV/MPRS/1966 yang sialnya sulit untuk dihapuskan karena pertama, MPR tidak lagi memiliki
kewenangan membuat TAP, dan kedua, MK tidak memiliki kewenangan untuk menguji TAP
yang berada diantara UUD dan UU. TAP tersebut memiliki keberadaan yang penting karena
kasus-kasus yang berkaitan dengan diskriminasi golongan kiri selalu merujuk pada TAP

14

Putusan Mahkamah konstitusi mengenai hak pilih dalam Putusan Nomor 011-017/PUU-1/2003, putusan
Mahkamah agung atas gugatan TUN Nona Nani Nurani melawan Kepala Pemerintahan Kecamatan Koja Jakarta
Utara mengenai KTP seumur hidup yang menjadi yurisprudensi dalam Putusan MA No, 400 K/TUN/2004, Putusan
Mahkamah Agung yang membatalkan Keppres 28/1975 dalam Putusan MA No. 25 P/HUM/2007.
15
Pasal 28 RUU KKR 2015:
Perkara Pelanggaran Hak Asasi Manusia yang Berat yang telah diungkapkan dan diselesaikan oleh Komisi
tidak dapat diajukan lagi kepada pengadilan hak asasi manusia ad hoc, termasuk bantuan, rehabilitasi,dan
Kompensasi yang diterima oleh korban dari lembaga atau instansi yang dibiayai oleh Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara.
Ketentuan ini membuat kewenangan sub-poena ini mubazir karena kepada pelaku tidak ada kewajiban apapun
untuk mengungkapkan kebenaran. Sementara, perkara yang dianggap telah selesai tidak dapat lagi diajukan secara
yudisial. Hal ini berbeda dengan sub-poena di Afrika Selatan yang memberikan Amnesti dengan ketentuan
pengungkapan kebenaran dan penilaian dari Komisi Amnesti terhadap pelaku –bukan perkara-.
Section 20 (7) a, b, c Act 34/1995:
a. No person who has been granted amnesty in respect of any act, omission or offence shall be criminally or
civilly liable in respect of such act, omission or offence and no body or organisation or the State shall
liable in respect of such act, omission or offence and no person shall be vicariously liable, for such act,
omission, or offence.
b. Where amnesty is granted to any person in respect of any act, omission or offence, such amnesty shall
have no influence upon the criminal liability of any other person contingent upon the liability of the firstmentioned person.
c. No person, organisation or state shall be civilly or vicariously liable for an act, omission or offence
comitted between 1 March 1960 and the cut-off date by a person who is deceased, unless amnesty could
not have been granted in terms of this Act in respect of such an act, omission or offence.
Di Chile, sekalipun tidak memiliki kewenangan Sub-poena karena dibentuk melalui dekrit, menyatakan bahwa
seluruh hasil investigasi diberikan kepada pengadilan yang berwenang, sehingga tidak menghilangkan pidananya.
Article 2 Supreme Decree 355:
In no case is the commisson to assume jurisdictional functions proper to the courts nor to interfene in
cases already before the courts. Hence it will not have the power to take a position on whether particular
individuals are legally responsible for the events that it is considering.
If while carrying out its functions the Commission receives evidence about actions that appear to be
criminal, it will submit it to the appropriate court.

tersebut.16 Hingga kini, baru Gus Dur yang berani untuk mengusulkan pencabutan TAP
tersebutm yang tentu saja tidak berhasil sebelum akhirnya ia dimakzulkan. Diluar KKR,
kewenangan untuk memberikan rehabilitasi sesungguhnya dimiliki secara prerogatif oleh
Presiden dengan pertimbangan Mahkamah Agung, dan hal ini sesungguhnya pernah dilakukan
pada masa Megawati dengan surat dari Bagir Manan yang menyatakan rekomendasi bagi
Presiden untuk melakukan rehabilitasi, 17 tetapi Megawati hingga akhir masa jabatanya tidak
menanggapi surat tersebut.
Menurut Arendt, terdapat dua jaminan dari politik yaitu permaafan dan jaminan masa lalu.
Permaafan adalah adanya potensi kesalahan dari perbuatan manusia sehingga atas kesalahan
tersebut ia harus menebusnya dengan memohon maaf, atau dengan penghukuman. Sementara
untuk mengantisipasi masa depan, yang diperlukan adalah janji akan ketidakberulangan yang
sekaligus merupakan hari depan (Arendt, 1998: 237-245). Tanpa ada pengakuan mengenai
kesalahan (baca: kekejaman) pada masa lalu, maka hampir tidak mungkin untuk membuat janji
bahwa peristiwa tersebut tidak akan berulang. Dan sulit rasanya membayangkan masa depan
hukum di Indonesia, dimana perayaan atas kekejaman, glorifikasi atas kesewenangan dibiarkan
tanpa penyelesaian dan membiarkan para korban tanpa pemulihan atas status kemanusiaanya,
membiarkan kuburan masih menjadi misteri, dan kekejaman seolah tidak pernah terjadi
.
Daftar Pustaka
Agamben, Giorgio. 1998. Homo Sacer, Sovereign Power and Bare Life. Stanford University
Press. California.
Arendt, Hannah. 1998. The Human Condition. The University of Chicago Press. Chicago &
London.
Douzinas, Costas. 2007. Human Rights and Empire, The Political Philosophy of
Cosmopolitanism. Routledge-Cavendish. New York.

16
17

Merujuk pada putusan-putusan dalam catatan kaki nomor 14
Bagian menimbang paragraf 3-4 dalam surat itu Mahkamah Agung menyatakan:
Menimbang bahwa, Mahkamah Agung banyak menerima surat-surat baik dari perorangan maupun dari
berbagai kelompok masyarakat yang menyatakan diri sebagai korban Orde Baru, yang pada pokoknya
mengharapkan agar memperoleh rehabilitasi.
Menimbang bahwa, wewenang memberikan rehabilitasi tidak ada pada Mahkamah Agung, karena hal
tersebut merupakan hak prerogatif yang ada pada saudara Presiden.
Menimbang bahwa, sekalipun demikian dengan dilangadsi keinginan untuk memberikan penyelesaian dan
kepastian hukum yang sama, serta didorong oleh semangat rekonsiliasi bangsa kita, maka Mahkamah
Agung dengan ini memberikan pendapat dan mengharapkan Saudara Presiden untuk mempertimbangkan
dan mengambil langkah-langkah konkrit ke arah penyelesaian tuntutan yang sangat diharapkan tersebut.

_______________. 2000. The End of Human Rights, Critical Legal Thought at The Turn of the
Century. Hart Publishing. Portland.
Firdiansyah, D. Andi Nur Aziz. Ringkasan Eksekutif Laporan Penyelidikan Pelanggaran Hak
Asasi Manusia Berat. Komnas HAM RI. Jakarta. Tanpa Tahun.
Marzuki, Suparman. 2014. Politik Hukum Hak Asasi Manusia. Erlangga. Jakarta.
_______________. 2012. Pengadilan HAM di Indonesia, Melanggengkan Impunity. Penerbit
Erlangga. Jakarta
Heryanto, Ariel. 2006. State Terrorism and Political Identity in indonesia, Fatally Belonging.
Routledge. London & New York.
Kammen, Douglas & Katharine McGregor. 2012. The Contours of Mass Violence in Indonesia
1965-68. Asian Studies Association of Australia & University of Hawaii Press. Honolulu.
Michael Morfit. The Indonesian State Ideology According to the New Order Government. Asian
Survey Vol. 21. No.8 (August 1981). University of California Press. Hlm 838-851
Yusriadi. 2009. Industrialisasi dan Perubahan Fungsi Sosial Hak atas Tanah. Genta.
Yogyakarta.
Pompe, Sebastian. 2012. Runtuhnya Institusi Mahkamah Agung. Leip. Jakarta.
Roosa, John. 2008. Dalih Pembunuhan Massal, Gerakan 30 September dan Kudeta Suharto .
ISSI & Hasta Mitra. Jakarta
Weiringa, Saskia E. 2012. Penghancuran Gerakan Perempuan; Politik Seksual di Indonesia
Pascakejatuhan PKI. Galang Press. Yogyakarta.
Schmitt, Carl. 2005. Political Theology, Four Chapters on the Concept of Sovereignty.
University of Chicago Press. Chicago & London.
___________. 2007. The Concept of The Political. University of Chicago Press. Chicago &
London.

Dokumen yang terkait

Keanekaragaman Makrofauna Tanah Daerah Pertanian Apel Semi Organik dan Pertanian Apel Non Organik Kecamatan Bumiaji Kota Batu sebagai Bahan Ajar Biologi SMA

26 317 36

FREKUENSI KEMUNCULAN TOKOH KARAKTER ANTAGONIS DAN PROTAGONIS PADA SINETRON (Analisis Isi Pada Sinetron Munajah Cinta di RCTI dan Sinetron Cinta Fitri di SCTV)

27 310 2

ANALISIS SISTEM PENGENDALIAN INTERN DALAM PROSES PEMBERIAN KREDIT USAHA RAKYAT (KUR) (StudiKasusPada PT. Bank Rakyat Indonesia Unit Oro-Oro Dowo Malang)

160 705 25

Analisis Sistem Pengendalian Mutu dan Perencanaan Penugasan Audit pada Kantor Akuntan Publik. (Suatu Studi Kasus pada Kantor Akuntan Publik Jamaludin, Aria, Sukimto dan Rekan)

136 695 18

DOMESTIFIKASI PEREMPUAN DALAM IKLAN Studi Semiotika pada Iklan "Mama Suka", "Mama Lemon", dan "BuKrim"

133 700 21

Representasi Nasionalisme Melalui Karya Fotografi (Analisis Semiotik pada Buku "Ketika Indonesia Dipertanyakan")

53 338 50

KONSTRUKSI MEDIA TENTANG KETERLIBATAN POLITISI PARTAI DEMOKRAT ANAS URBANINGRUM PADA KASUS KORUPSI PROYEK PEMBANGUNAN KOMPLEK OLAHRAGA DI BUKIT HAMBALANG (Analisis Wacana Koran Harian Pagi Surya edisi 9-12, 16, 18 dan 23 Februari 2013 )

64 565 20

PENERAPAN MEDIA LITERASI DI KALANGAN JURNALIS KAMPUS (Studi pada Jurnalis Unit Aktivitas Pers Kampus Mahasiswa (UKPM) Kavling 10, Koran Bestari, dan Unit Kegitan Pers Mahasiswa (UKPM) Civitas)

105 442 24

Pencerahan dan Pemberdayaan (Enlightening & Empowering)

0 64 2

KEABSAHAN STATUS PERNIKAHAN SUAMI ATAU ISTRI YANG MURTAD (Studi Komparatif Ulama Klasik dan Kontemporer)

5 102 24