Tinjauan Yuridis Mengenai Jual Beli Alat-Alat Kimia Pada Pabrik Kelapa Sawit (Studi Pada CV. Madani Sejahtera)

BAB II
TINJAUAN HUKUM MENGENAI PERJANJIAN
A. Pengertian dan Sejarah Perkembangan Perjanjian
Sebelum kita membahas lebih jauh mengenai pembahasan skripsi ini,
ada baiknya terlebih dahulu untuk kita meninjau apa sebenarnya yang
dimaksud dengan perjanjian tersebut.
Teradapat definisi tentang perjanjian telah diberikan masing-masing
bergantung kepada bagian-bagian mana dari perjanjian [beberapa ahli
menyebutnya kontrak (perjanjian yang dibuat secara tertulis)] yang dianggap
sangat penting, dan bagian-bagian tersebutlah yang ditonjolkan dalam definisi
tersebut.
Salah satu definisi perjanjian adalah yang diberikan oleh salah satu
kamus, bahwa perjanjian adalah suatu kesepakatan yang diperjanjikan
(promissory agreement) di antara dua belah pihak yang dapat menimbulkan,
memodifikasi, atau menghilangkan hubungan hukum.7
Selanjutnya ada juga yang memberikan pengertian kepada suatu
perjanjian, atau serangkaian perjanjian dimana hukum memberikan ganti rugi
terhadap wanprestasi terhadap perjanjian tersebut, atau terhadap pelaksanaan
kontrak tersebut oleh hukum dianggap sebagai suatu tugas. 8

7

8

Black, Henry Campbell, 1968 : 394.
Gifis, Steven H., 1984 : 94

Universitas Sumatera Utara

Akan tetapi Kitab Undang-Undang Hukum Perdata memberikan
pengertian kepada perjanjian yaitu “Suatu perjanjian adalah suatu perbuatan
dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang
lain atau lebih.” Vide Pasal 1313 Kitab Undang-Udang Hukum Perdata.
Pasal di atas menerangkan secara sederhana tentang pengertian
perjanjian yang menggambarkan tentang adanya dua pihak yang saling
mengikatkan diri. Pengertian ini sebenarnya tidak begitu lengkap, tetapi
dengan pengertian ini, sudah jelas bahwa dalam perjanjian itu terdapat satu
pihak mengikatkan diri kepada pihak lain.
Pengertian ini sebenarnya seharusnya menerangkan juga tentang adanya
dua pihak yang saling mengikatkan diri tentang sesuatu hal. Artinya kalau
hanya disebutkan bahwa satu pihak mengikatkan diri kepada pihak lain, maka
tampak seolah-olah yang dimaksud adalah perjanjian sepihak, tetapi kalau

disebutkan juga tentang adanya dua pihak yang saling mengikatkan diri,
maka pengertian perjanjian ini meliputi perjanjian sepihak maupan perjanjian
dua pihak.9
1.

Sejarah Hukum Perjanjian di Zaman Romawi
Sebagaimana tercatat dalam sejarah hukum bahwa hukum Romawi
kuno tertulis yang paling tua yang pernah sampai ke tangan kita saat ini
adalah apa yang di tulis dalam dokumen yang dikenal dengan “Hukum
12 (Dua Belas) Pasal” (Twelve Tables), yang merupakan kodifikasi
hukum yang tertua yang ada pada zaman Romawi yang pernah diketahui
9

Ahmadi Miru; Sakka Pati, Hukum Perikatan: Penjelasan Makna Pasal 1233 Sampai
1456 BW, PT Rajagrafindo Persada, Jakarta, 2008, hlm 63-64.

Universitas Sumatera Utara

oleh sejarah. Hukum tentang Twelve Tables tersebut yang disebut juga
dengan “Hukum dari Raja” (The Law of The King) yang dibuat sekitar

tahun 451 – 450 Sebelum Masehi, yang ditulis di lempengan tembaga,
merupakan gambaran bagaimana kaidah-kaidah hukum dan kebiasaan
yang saat itu berlaku di Romawi.
Sedangkan mengenai perjanjian, khususnya tentang perjanjian
mengenai utang-piutang, diatur dalam Pasal III (Table III) (mengenai
utang-piutang) ayat (1), yang merupakan cikal bakal lembaga sandera,
pengakuan hutang murni, dan fiat eksekusi untuk pengakuan hutang
seperti yang dikenal saat ini.
Ketika Romawi di bawah Raja Trajan, sebuah panggung teater
beratap dibangun kembali di sekitar tahun 100 Masehi untuk
pertunjukan-pertunjukan musik. Pada dinding dari teater tersebut,
dilengkapi dengan Kitab Undang-Undang Gortyn yang terkenal. Kitab
Undang-Undang ini

ditulis di sekitar abad ke lima Sebelum Masehi.

Ketentuan-ketentuan dalam Kitab UndangUndang Gortyn ini merefleksi
berlakunya adat kebiasaan kolektif yang merupakan perubahan dari
hukum primitif kepada hukum yang lebih modern di zaman Romawi.
Di masa Romawi, kontrak dikenal dengan istilah “nexus”. Di

samping itu, dikenal pula obligation dan pact (convention). Pact atau
Convention merupakan perjanjian di antara 2 (dua) pihak atau lebih.
Manakala kepada Pact atau Convention diberikan suatu Obligation
(kewajiban), maka Pact atau Convention tersebut baru menjadi kontrak.

Universitas Sumatera Utara

Obligation itu sendiri terdiri dari dua bentuk, yaitu perjanjian dan
wrong/delict10
Mengenai perjanjian standar telah dikenal dalam Hukum Romawi.
Yang banyak digunakan adalah perjanjian standar yang disebut dengan
Sociates (partnership). Umumnya partnership dibuat antara orang –
orang

yang

mempunyai

hubungan


pertemanan

atau

hubungan

kekeluargaan. Sedangkan bentuk partnership yang paling tua dalam
sejarah hukum Romawi adalah apa yang disebut dengan ”Ercto Non
Cito”, yang menyatakan bahwa jika salah seorang meninggal dunia,
maka ahli warisnya segera masing – masing menjadi partner terhadap
harta orang yang meninggal tersebut.
Salah satu penemuan hukum dalam Hukum Romawi yang sangat
fantastis adalah doktrin kontrak konsensual, yakni perjanjian sudah
dianggap ada pada saat terdapatnya kata sepakat, tanpa memerlukan
suatu formalitas tertentu. Bentuk perjanjian yang paling tua yang
memakai doktrin ini adalah perjanjian jual beli, yang sudah dijalankan
siat konsensualnya sejak tahun 200 Sebelum Masehi. Di samping
terhadap perjanjian jual beli.
Mengenai cara mengeksekusi perjanjian jika debitur cidera janji
dari perjanjian yang telah dibuatnya, hukum Romawi yang paling tua

membenarkan dilakukan penyanderaan terhadap si debitur dan si sandera
baru dilepas setelah debitur membayar kewajibannya menurut perjanjian.
Kemudian, berkembang cara ganti rugi finansial dalam jumlah yang

10

Sir Henry Sumner Maine, 1986 : 268.

Universitas Sumatera Utara

besar atau permohonan kepailitan oleh pihak kreditur. Di samping itu,
dalam hukum Romawi dikenal pula paksaan untuk menjalankan
perjanjian

(specific

performance)

bagi


pihak

yang

melakukan

wanprestasi, yang disebut dengan istilah Actio Arbitraria.11
2. Sejarah Hukum Kontrak di Negara- Negara Eropa Kontinental
Sistem hukum di negara-negara yang berlaku tradisi hukum Eropa
Kontinental, termasuk di Belanda dan karenanya juga di Indonesia,
mempunyai dasar yang yang berasal dari hukum Romawi, yang berawal
dari Peraturan 12 (Dua Belas) Pasal (The Twelve Tables) di Romawi pada
sekitar tahun 450 Sebelum Masehi.
Kemudian, banyak kodifikasi hukum perdata dibuat, kodifikasi
mana juga memuat hukum kontrak, terutama dilakukan setelah masa
Revolusi Perancis. Akan tetapi, sebelumnya ada juga kodifikasikodifikasi, salah satunya yang sangat monumental adalah apa yang
disebut dengan Corpus Juris Civillis yang dipublikasi di Konstantinopel
pada tahun 533 Masehi oleh Justinian, yang merupakan seorang Raja
Romawi yang berkedudukan di Konstantinopel.
Salah satu hal yang menonjol dalam sejarah hukum Eropa

Kontinental adalah diberlakukannya suatu Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata, yang di dalamnya terdapat banyak pasal yang mengatur tentang
perjanjian. Ketentuan-ketentuan hukum perjanjian tersebut banyak
dipengaruhi oleh hukum Romawi. Dalam Kode Sipil Perancis, seperti
juga yang terdapat dalam Kode-kode Sipil di negara Eropa Kontinental
11

Munir Fuady, Kontrak (Dari Sudut Pandang Hukum Bisnis) Buku Kedua, PT Citra
Aditya Bakti, Bandung, 2003, hlm 4-12.

Universitas Sumatera Utara

lainnya, kedudukan perjanjian sangat mendapat tempat. Bahkan,
kekuatan suatu perjanjian (misalnya yang dibuat oleh pribadi-pribadi)
sama dengan kekuatan undang-undang (yang dibuat oleh parlemen dan
pemerintah). Dari pertama perkembangan hukum perdata di Eropa
Kontinental, sampai kepada para ahli hukum metafisis pada abad ke – 19,
semua mengulang-ulang doktrin bahwa kontrak sama kekuatannya
dengan undang-undang yang dibuat oleh parlemen.
Pada prinsipnya kontrak di negara-negara yang berlaku sistem

hukum Eropa Kontinental, termasuk Indonesia bersifat konsensual (Solo
Consensus), sehingga pada umumnya perjanjian tidak perlu ditulis, tetapi
secara lisan sudah cukup. Bahkan, dengan isyarat/sikap tindak pun masih
mungkin tercipta suatu kontrak, yakni yang disebut dengan “tacit
agreement”. Hanya terhadap perjanjian-perjanjian tertentu saja, yang
jumlahnya sangat terbatas, oleh hukum di negara-negara yang berlaku
sistem hukum Eropa Kontinental dipersyaratkan perjanjian tertulis.
Namun di kemudian hari, semakin lama semakin banyak jenis
perjanjian yang mengharuskan dibuat secara tertulis bahkan ada juga
perjanjian yang harus disertakan dengan akta notaris.
Di kebanyakan negara-negara yang berlaku sistem hukum Eropa
Kontinental, perjanjian diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata, baik pengaturannya secara umum maupun pengaturannya
terhadap perjanjian – perjanjian tertentu, seperti jual beli, sewa menyewa,
tukar menukar dan sebagainya.12

12

Ibid, hlm 32-33.


Universitas Sumatera Utara

3. Sejarah Hukum Perjanjian di Indonesia
Sebagaimana diketahui bahwa sebelum para penjajah Indonesia
memberlakukan hukumnya di Indonesia ini, yang berlaku adalah hukum
adat dari berbagai wilayah hukum adat di Indonesia, yang satu wilayah
dengan wilayah lainnya saling berbeda-beda. Hukum perjanjian
merupakan salah satu bagian dari hukum adat tersebut.
Perjanjian yang paling meluas dilakukan dalam hukum adat tentu
perjanjian jual beli, tetapi tempo dulu sebelum mata uang meluas dipakai,
perjanjian tukar-menukarlah atau disebut dengan barter yang banyak
dilakukan. Misalnya para petani padi membawa hasil panennya yang
berupa beras ke pasar untuk ditukar atau dibarter dengan barang-barang
keperluan rumah tangga lainnya semisal dengan pakaian.
Pada prinsipnya hukum perjanjian yang berkembang baik di dalam
hukum adat dan terekam secara meluas adalah perjanjian yang berkenaan
dengan tanah, sedangkan perjanjian yang bukan mengenai tanah banyak
terjadi antara lain di bidang hukum perkawinan dan keluarga, hibah,
hibah wasiat, utang piutang, pinjam meminjam, tukar menukar, jual beli
atau jaminan benda bergerak. Umumnya perjanjian yang tidak berkaitan

dengan tanah dilakukan secara lisan saja dan bersifat perjanjian riil.
Maksudnya, ialah jika baru merupakan kata sepakat saja dalam arti
belum ada tindakan tertentu dari para pihak, seperti penyerahan barang
atau

harga,

atau

pembayaran

uang

panjar

misalnya,

maka

perjanjiantersebut dianggap tidak pernah ada. Dalam hal ini kata sepakat

Universitas Sumatera Utara

meskipun merupakan suatu unsur dalam perjanjian, tetapi bukan
merupakan unsur perjanjian yang terpenting.
Sedangkan perjanjian mengenai tanah atau yang berkenaan dengan
tanah juga memiliki sifat yang riil, tetapi sering perjanjian tersebut dibuat
dalam bentuk tertulis, meskipun perjanjian tertulis tersebut dibuat dalam
bentuk yang sangat sederhana.
Perjanjian mengenai tanah atau yang bersinggungan dengan tanah
juga memiliki sifat tunai dan terang. “Tunai” dalam arti kata perjanjian
tersebut timbul bersamaan dengan peralihan hak atas tanah dan
pemberian kontra prestasi, seperti membayar harga tanah, atau setidaktidaknya setelah pembayaran uang panjar. “Terang” dalam artian
pelaksanaan perjanjian tersebut haruslah dilakukan di hadapan pejabat
tertentu, in casu

di

hadapan penguasa adat/kepala desa setempat.

Dengan perkataan lain, suatu perjanjian atas tanah adat haruslah dibuat
secara transparan.
Prinsip-prinsip perjanjian atas tanah atau perjanjian yang
berkenaan dengan tanah versi hukum adat, sampai batas-batas tertentu
masih eksis bahkan sampai seteah berlakunya Undang-Undang Pokok
Agraria Nomor 5 Tahun 1960 dan berbagai peraturan perundangundangan yang lainnya di bidang pertanahan. Sedangkan mengenai
perjanjian yang tidak ada hubungannya dengan tanah, kecuali perjanjian
dalam bidang hukum keluarga, umumnya sudah tidak lagi menggunakan
prinsip hukum adat, tetapi oleh pengadilan maupun dalam praktek seharihari sudah menggunakan kaidah-kaidah hukum perjanjian dalam Kitab

Universitas Sumatera Utara

Undang-Undang Hukum Perdata Indonesia tepatnya pada Buku III. Di
Indonesia Kitab Undang-Undang Hukum Perdata mulai berlaku sejak
tahun 1848 berdasarkan asas konkordansi.13
Adapun yang merupakan prinsi – prinsip utama dari hukum
perjanjian menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata antara lain
adalah Kebebasan Berkontrak, Prinsip Konsensual, Prinsip Obligatoir,
Prinsip Pacta Sunt Servanda.
Kebebasan berkontrak pada dasarnya merupakan perwujudan dari
kehendak

bebas,

pancaran

hak

asasi

manusia

yang

mana

perkembangannya dilandasi semangat liberalisme yang mengagungkan
kebebasan individu. Perkembangan ini seiring dengan penyusunan BW
(Burgerlijk Wetboek) di negeri Belanda dan semangat liberalisme ini juga
dipengaruhi semboyan Revolusi Perancis “liberte, egalite et fraternite”
yang artinya kebebasan, persamaan, dan persaudaraan. Menurut paham
individualisme setiap orang bebas untuk memperoleh apa yang
dikehendaki, sementara itu di dalam hukum perjanjian ini diwujudkan
dalam asas kebebaasan berkontrak.
Buku III Kitab Undang – Undang Hukum Perdata menganut sistem
terbuka, yang artinya hukum memberi keleluasaan kepada para pihak
untuk mengatur sendiri pola hubungan hukumnya. Apa yang diatur
dalam Buku III Kitab Undang-Undang Hukum Perdata hanya sekedar
mengatur dan melengkapi (regelend recht-aanvullendrecht). Hal ini
berbeda dengan pengaturan Buku II Kitab Undang – Undang Hukum

13

Ibid, hlm 48-50.

Universitas Sumatera Utara

Perdata yang menganut sistem tertutup atau bersifat memaksa (dwinged
recht), dimana para pihak dilarang menyimpangi aturan-aturan yang ada
di dalam Buku II Kitab Undang-Undang Hukum Perdata tersebut.14
Dengan demikian menurut asas kebebasan berkontrak ini
seseorang pada umumnya mempunyai pilihan bebas untuk mengadakan
perjanjian. Di dalam asas ini terkandung suatu pandangan bahwa orang
bebas untuk melakukan atau tidak melakukan perjanjian, bebas dengan
siapa saja ia mengadakan perjanjian, bebas tentang apa yang
diperjanjikan dan bebas untuk menetapkan syarat-syarat perjanjian.15
Konsensualisme sebagaimana terdapat dalam Pasal 1320 Kitab
Undang -Undang Hukum Perdata angka (1) kesepakatan dimana menurut
asas ini perjanjian itu telah lahir cukup dengan adanya kata sepakat.
Disini yang ditekankan adalah adanya persesuaian kehendak (meeting of
mind) sebagai inti dari hukum perjanjian. Hal ini tersimpul dari
kesepakatan para pihak, namun demikian pada situasi tertentu terdapat
perjanjian

yang

tidak

mencerminkan

wujud

kesepakatan

yang

sesungguhnya. Hal ini disebabkan adanya cacat kehendak (wilsgebreke)
yang mempengaruhi timbulnya perjanjian. Dalam Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata cacat kehendak meliputi antara lain Kesesatan (dwaling),
Penipuan (Bedrog), Paksaan (dwang).16

Firman Floranta Adonara, Aspek – Aspek Hukum Perikatan, Mandar Maju, Bandung,
2014, hlm 90.
15
Peter Mahmud Marzuki, Batas – Batas Kebebasan Berkontrak, Yurika, Jakarta, 2003,
hlm. 195 – 196.
16
Djasadin Saragih, Sekilas Perbandingan Hukum Kontrak Civil Law dan Common Law,
Lokakarya ELIPS. Project Materi Perbandingan Hukum Perjanjian, Kerja sama FH Unair
dengan FH UI, Hotel Sahid Surabaya, 1993. Hlm. 5.
14

Universitas Sumatera Utara

Obligatoir adalah suatu prinsip yang mengajarkan bahwa

jika

suatu perjanjian telah dibuat, maka pihak telah terikat, tetapi
keterikatannya itu hanya sebatas timbulnya hak dan kewajiban sematamata, dan haknya belum beralih sebelum dilakukan penyerahan
(levering).
Pacta Sunt Servanda dalam pandangan Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata daya mengikat perjanjian dapat dicermati dalam rumusan
Pasal 1338 ayat (1) Kitab Undang-Undang Perdata yang menyatakan
bahwa “Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai
undang-undang bagi mereka yang membuatnya”. Pengertian berlaku
sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya menunjukkan
bahwa undang-undang sendiri mengakui dan menempatkan posisi para
pihak dalam perjanjian sejajar dengan pembuat undang-undang.17
Menurut L.J. van Apeldoorn, ada analogi tertentu antara perjanjian
atau kontrak dengan undang-undang. Hingga batas tertentu para pihak
yang terikat perjanjian bertindak sebagai pembentukan undang-undang
(legislator swasta). Tentunnya selain persamaan tersebut di atas, terdapat
perbedaan di antara keduanya, yaitu terkait dengan daya berlakunya.
Undang-undang dengan segala proses dan prosedurnya berlaku dan
mengikat untuk semua orang dan bersifat abstrak. Sementara itu
perjanjian mempunyai daya berlaku terbatas pada para pihak, selain itu
dengan perjanjian para pihak bermaksud melakukan perbuatan konkrit18

17

Firman Floranta Adonara, Op.cit., 2014, hlm 101.
L.J. van Apeldoorn, Pengantar Ilmu Hukum, Pradnya Paramita, Jakarta, 2004, hlm.
155.
18

Universitas Sumatera Utara

Selanjutnya, dalam perkembangan dari hukum perjanjian, asas
kebebasan berkontrak banyak dibatasi oleh berbagai hal, antara lain oleh
berbagai perundang-undangan yang berlaku. Misalnya, dengan keluarnya
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek
Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, maka banyak pembatasan
yang diberikan kepada para pihak dalam mebuat klausula-klausula dalam
suatu perjanjian di bidang perdagangan19
B. Jenis-Jenis Perjanjian
1.

Perjanjian Sepihak dan Timbal Balik
Perjanjian sepihak ialah suatu perjanjian yang dinyatakan oleh
salah satu pihak saja, tetapi mempunyai akibat dua pihak, yaitu pihak
yang memiliki hak tagih yang dalam bahasa bisnis disebut kreditur, dan
pihak yang dibebani kewajiban yang dalam bahasa bisnis disebut
debitur.20
Contoh perjanjian sepihak adalah “hibah” yang diatur dalam Pasal
1666 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, yang menyatakan bahwa :
“Suatu persetujuan dengan mana si penghibah, sewaktu hidupnya
dengan cuma-cuma dan tidak dapat ditarik kembali, menyerahkan suatu
benda guna keperluan si penerima hibah yang menerima penyerahan
itu.”21

19

Munir Fuady, Op.cit., 2003, hlm 51.
I Ketut Oka Setiawan, Hukum Perikatan, Sinar Grafika, Jakarta, 2015, hlm. 49.
21
R. Subekti, Kitab Undang – Undang Hukum Perdata, PT Pradnya Paramita, Jakarta,
2001, hlm. 436.
20

Universitas Sumatera Utara

Contoh lain dari perjanjian sepihak terjadi dalam wasiat
(testament) yang diatur dalam Pasal 875 Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata yang berbunyi :
“... Suatu akta yang memuat pernyataan seseorang tanpa apa yang
dikehendakinya akan terjadi setelah ia meninggal dunia, dan yang
olehnya dapat dicabut kembali lagi.”22
Dengan kedua ketentuan tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa
isi perjanjian sepihak itu berupa pernyataan sepihak, tetapi menimbulkan
akibat bagi kedua pihak, yaitu penghibah atau pemberi wasiat, dengan
pernyataannya menjadikan dirinya sebagai pihak yang terbebani
kewajiban (debitur), terhadap pemberi atau penerima wasiat.
Mengenai Perjanjian Timbal Balik ini ialah perjanjian yang
memuat hak pada salah satu pihak, dan hak tersebut sekaligus menjadi
kewejiban bagi pihak lawannya. Contoh dari Perjanjian Timbal Balik ini
adalah perjanjian jual beli yang diatur dalam Pasal 1457 Kitab UndangUndang Perdata, yang menyatakan bahwa :23
“Jual beli adalah suatu perjanjian, dengan mana pihak yang satu
mengikatkan dirinya untuk menyerahkan suatu kebendaan dan pihak
yang lain untuk membayar harga yang telah dijanjikan”.24
Perjanjian Cuma – Cuma dan atas Beban

2.

Kedua jenis perjanjian ini diatur dalam Pasal 1314 Kitab Undang –
Undang Hukum Perdata yang menyebutkan bahwa :

22

Ibid, hlm. 232.
I Ketut Oka Setiawan, Op.cit., 2015, hlm. 49-50.
24
R. Subekti, Op.cit., hlm. 366.

23

Universitas Sumatera Utara

“... Suatu persetujuan adalah suatu persetujuan dengan mana pihak
yang satu dengan pihak yang satu memberikan suatu keuntungan kepada
pihak yang lain, tanpa menerima suatu manfaat bagi dirinya sendiri.
Suatu persetujuan atas beban, adalah suatu persetujuan yang mewajibkan
masing-masing pihak memberikan sesuatu, berbuat sesuatu atau tidak
berbuat sesuatu”.25
Berdasarkan ketentuan diatas, dapat dikatakan bahwa perjanjian
cuma-cuma adalah perjanjian yang memberikan keuntungan bagi salah
satu pihak. Misal ketentuan Pasal 1666 Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata tentang hibah dan Pasal 845 tentang warisan, yang isinya telah
dibahas sebelumnya.26
Adapun Perjanjian atas Beban adalah Perjanjian yang menyatakan
prestasi dari pihak yang selalu terdapat tegen prestasi dari pihak
lawannya dan antara kedua prestasi itu ada hubungannya atas suatu titel
tertentu, misalnya, jual beli, tukar menukar, dan lain sebagainya.
3.

Perjanjian Bernama dan Tidak Bernama
Mengenai kedua jenis ini dapat dilihat dalam Pasal 1319 Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata, yaitu :
”Semua persetujuan, baik yang mempunyai suatu nama khusus,
maupun yang tidak terkenal, dengan suatu nama tertentu, tunduk pada
peraturan-peraturan umum yang termuat dalam bab ini dan bab yang
lalu”.27

25

R. Subekti, Op.cit., hlm. 338.
I Ketut Oka Setiawan, Op.cit. hlm. 51.
27
R. Subekti, Op.cit., hlm. 339.

26

Universitas Sumatera Utara

Berdasarkan ketentuan pasal di atas, terdapat dua macam
perjanjian, yaitu perjanjian yang oleh undang-undang diberikan suatu
nama khusus yang dapat disebut sebagai Perjanjian Bernama
(benoemde). Adapun perjanjian yang dalam undang-undang tidak dikenal
dengan suatu nama tertentu, yang dapat disebut sebagai Perjanjian Tidak
Bernama (onbenoemde).
Mengenai Perjanjian Bernama, nama itu tidak saja disebutkan
dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, seperti jual beli, sewa
menyewa, tukar menukar, perjanjian kerja, dan lain sebagainya. Kitab
Undang-Undang Hukum Dagang juga menyebukan Perjanjian Bernama,
seperti perjanjian wesel, perjanjian asuransi dan lain sebagainya, bahkan
akan ada juga undang-undang yang memberikan nama tersendiri. Kecuali
undang-undang itu memberi nama, juga undang-undang itu memberi
pengaturannya.
Mengenai Perjanjian Tidak Beranama, dalam kehidupan seharihari mempunyai sebutan atau nama tertentu yang tidak diatur dalam
undang-undang, contohnya seperti perjanjian sewa beli.
Dengan demikian, Perjanjian Bernama adalah perjanjian-perjanjian
yang dikenal dengan nama tertentu dan memiliki pengaturan secara
khusus dalam undang-undang. Sedangkan Perjanjian Tidak Bernama
adalah perjanjian-perjanjian yang tidak diberi nama dan pengaturan
khusus dalam budang undang-undang.

Universitas Sumatera Utara

4.

Perjanjian Konsensual dan Riil
Perjanjian Konsensual adalah perjanjian yang dilakukan oleh dua
pihak atau lebih, di mana bila mereka telah mencapai persesuaian
(persetujuan) kehendak untuk mengadakan perikatan. Berdasarkan
ketentuan Pasal 1338 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata perjanjian
tersebut sudah mempunyai kekuatan mengikat bagaikan undang-undang
bagi mereka.28
Mengenai perjanjian Riil terjadi sebaliknya yaitu perjanjian yang
hanya berlaku sesudah terjadi penyerahan barang. Misalnya perjanjian
penitipan barang yang diatur dalam Pasal 1694 Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata yang berbunyi :
“Penitipan adalah terjadi, apabila seseorang menerima suatu barang
dari seseorang lain, dengan syarat bahwa ia akan menyimpannya dan
mengembalikannya dalam wujud asalnya”.29
Contoh lainnya adalah perjanjian pinjam pakai yang diatur dalam
Pasal 1740 Kitab Undang-Undang Hukum perdata yang menegaskan
bahwa :
“Pinjam Pakai adalah suatu perjanjian dengan mana pihak yang
satu memberikan suatu barang kepada pihak yang lainnya, untuk dipakai
dengan Cuma-cuma, dengan syarat bahwa yang menerima barang itu
setelah memakainya atau setelah lewatnya suatu waktu tertentu akan
mengembalikannya”.30

28

I Ketut Oka Setiawan, Op.cit., hlm. 51-52.
Prof. R. Subekti, S.H., Op.cit., hlm. 441.
30
Ibid, hlm. 448.
29

Universitas Sumatera Utara

Dengan demikian, Perjanjian Riil adalah Perjanjian antara dua
orang atau lebih, di mana ketrikatan mereka ditentukan, bukan karena
konsensus (kesepakatan), tetapi terjadi setelah dilakukan penyerahan
(perbuatan riil) atas barang yang dijanjikan itu. Berdasarkan hal itu,
Perjanjian Riil merupakan suatu perjanjian yang mengingkari asas
konsensus.
Perjanjian Obligatoir dan Kebendaan

5.

Perjanjian

Obligatoir

adalah

perjanjian

yang

menyoalkan

keseakatan para pihak untuk melakukan penyerahan suatu benda kepada
pihak lain. Hal ini dianut oleh sistem dalam Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata. Misalnya, dalam jual beli, walau telah tercapai
kesepakatan antara penjual dengan pembeli tentang barang dan harga,
belumlah mengakibatkan beralihnya hak milik atas benda itu dari tangan
penjual ke tangan pembeli.
Untuk itu diperlukan Perjanjian Kebendaan, yaitu suatu perjanjian
dengan mana seseorang menyerahkan haknya atas suatu benda kepada
pihak lain, atau suatu perjanjian yang membebankan kewajiban pihak,
untuk menyerahkan benda tersebut kepada pihak lain. Penyerahan itu
sendiri merupakan perjanjian kebendaan.31
Dalam jual beli benda tetap, perjanjian jual belinya disebut
perjanjian jual beli sementara, sedangkan

dalam jual beli benda

bergerak, Perjanjian Obligatoir dan Perjanjian Kebendaan berlangsung
dalam waktu bersamaan. Eksistensi dari kedua perjanjian itu sangat erat

31

I Ketut Oka Setiawan, Op.cit., hlm. 53.

Universitas Sumatera Utara

bahkan sangat menentukan karena bila Perjanjian Obligatoir-nya
(konsensusnya) cacat, maka sudah barang tentu perjanjian kebendaannya
(penyerahannya) juga menjadi cacat.
6.

Pejanjian Formal
Perjanjian Formal adalah suatu perjanjian yang tidak hanya harus
memenuhi asas konsensus, tetapi juga harus dituangkan dalam suatu
bentuk tertentu atau harus disertai dengan formalitas tertentu. Contoh :
perjanjian kuasa pembebanan hak tanggungan. Perjanjian ini harus dibuat
dalam bentuk autentik yang dibuat di hadapan Pejabat Pembuat Akta
Tanah (PPAT) atau Notaris.
Perjanjian Liberatoir

7.

Perjanjian Liberatoir atau perjanjian yang menghapuskan perikatan
adalah perjanjian antara dua pihak yang isinya adalah untuk
menghapuskan perikatan yang ada diantara mereka. Contohnya
disebutkan dalam Pasal 1438 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
yang menyatakan bahwa :
“Pembebasan sesuatu utang tidak dipersangkakan, tetapi harus di
buktikan”.
Contoh lainnya diatur dalam Pasal 1442 :
“Pembebasan sesuatu utang atau pelepasan menurut perjanjian,
yang diberikan kepada si berutang utama membebaskan para penanggung
utang...”.32

32

R. Subekti, Op.cit., hlm. 362.

Universitas Sumatera Utara

8.

Perjanjian Pembuktian
Perjanjian Pembuktian adalah perjanjian yang memuat keinginan
para pihak untuk menetapkan alat-alat bukti yang dapat digunakan dalam
hal terjadi perselisihan antara pihal kelak. Di dalam perjanjian itu dapat
juga ditetapkan kekuatan pembuktian sebagaimana dikehendaki oleh
pihak-pihak terhadap alat bukti tertentu. Misalnya tanda terima uang
yang sulit untuk ditemukan maka seringkali para pihak dalam perjanjian
menetukan bahwa perjanjian-perjanjian yang mereka tutup mengandung
pernyataan adanya pembayaran, dan mereka mengakui mempunyai
kekuatan (alat bukti) juga sebagai kuitansi (tanda terima uang).
Jadi, para pihak menerima (menganggap) akta yang bersangkutan
(misalnya jual beli, sewa menyewa, dan lain lain) berlaku juga sebagai
tanda bukti penerimaan uang (kuitansi) pembayaran pembelian atau uang
sewa. Dengan contoh tersebut, dapat diduga bahwa pada umumnya
perjanjian seperti ini merupakan bagian (onderdeel) dari perjanjian lain
yang lebih luas.
Oleh karena itu, perjanjian ini bermanfaat dalam proses perkara,
dan

disebut

juga

sebagai

Perjanjian

Hukum

Acara

(proses

rechtseliijkspreken). Pelanggaran terhadap perjanjian seperti ini hanya
berakibat hukum dalam bidang hukum acara sehingga tuntutn ganti rugi
atas dasar pelanggarannya bersifat sulit untuk diterima. Kecuali itu,
ketentuan Buku III Kitab Undang-Undang Hukum Perdata hanya secara
analogi dapat diterapkan pada perjanjian seperti ini.

Universitas Sumatera Utara

Perjanjian Untung – Untungan

9.

Perjanjian untung-untungan adalah perjanjian yang yang prestasi
atau objeknya ditentukan kemudian. Hal ini dapat dijumpai dalam
ketentuan Pasal 1774 Kitab Undang – Udang Hukum Perdata yang
berbunyi :
“Suatu perjanjian untung-untungan adalah suatu perjanjian yang
hasilnya mengenai untung ruginya, baik bagi semua pihak, maupun bagi
sementara pihak, bergantung kepada suatu kejadian yang belum tentu.
Demikian adalah perjanjian penanggungan, bunga cagak hidup, perjudian
dari pertaruhan. Perjanjian yang pertama diatur dalam Kitab UndangUndang Hukum Dagang”.33
10. Perjanjian Campuran
Perjanjian Campuran adalah perjanjian yang mempuyai ciri-ciri
dari dua atau lebih perjanjian bernama. Jenis perjanjian ini tidak diatur
dalam undang-undang, tetapi di dalamnya mempunyai nama sendiri,
yang unsur-unsurnya mirip atau sama dengan unsur-unsur perjanjian
bernama, yang terjalin satu sedemikian rupa sehingga tak dapat dipisahpisahkan sebagai perjanjian yang berdiri sendiri.
11. Perjanjian Garansi
Perjanjian Garansi adalah suatu perjanjian di mana salah satu pihak
menjamin pihak lain (orang ketiga) yang ada di luar perjanjian bahwa
lawan janjinya akan melakukan suatu perbuatan atau tidak melakukan

33

Ibid, hlm. 455.

Universitas Sumatera Utara

suatu perbuatan terhadap pihak lain (orang ketiga) itu, dan kalau sampai
lawan janjinya tidak berprestasi maka ia bertanggung jawab untuk itu.34
12. Perjanjian Bersyarat
Perjanjian Bersyarat adalah perjanjian yang digantungkan pada
suatu peristiwa yang akan datang dan peristiwa tersebut belum tentu akan
terjadi. Perjanjian bersyarat ini dapat dibagi dua, yaitu perjanjian dengan
syarat tangguh dan perjanjian syarat batal.
Suatu perjanjian disebut perjanjian dengan syarat tangguh jika
untuk lahirnya perjanjian tersebut digantungkan pada suatu peristiwa
tertentu yang akan datang dan belum tentu akan terjadi, sedangkan suatu
perjanjian disebut perjanjian dengan syarat batal jika untuk batalnya atau
berakhirnya perjanjian tersebut digantungkan pada suatu peristiwa yang
akan datang dan belum tentu akan terjadi.
13. Perjanjian dengan Ketepatan Waktu
Berbeda dengan perjanjian bersyarat, perjanjian dengan ketetapan
waktu ini tidak menangguhkan terjadinya atau lahirnya perjanjian,
melainkan menangguhkan perlaksanaan perjanjian.
Sebagai contoh bahwa dalam suatu perjanjian para pihak
menetapkan suatu waktu tertentu untuk melakukan pembayaran. Ini
berarti perjanjiannya sudah lahir hanya pembayarannya yang ditentukan
pada suatu waktu yang akan datang. Dengan demikian, pihak kreditur
tidak boleh menagih pembayaran tersebut dalam waktu yang telah
disepakati telah sampai. Akan tetapi, jika debitur membayar sebelum

34

I Ketut Oka Setiawan, Op.cit., hlm. 53-58.

Universitas Sumatera Utara

jangka waktu tersebut telah sampai, pembayaran tersebut tidak dapat
ditarik kembali.
Penetapan waktu tertentu untuk melaksanakan suatu prestasi
tertentu dainggap selalu dibuat untuk kepentingan debitur, kecuali secara
nyata jangka waktu tersebut dibuat untuk kepentingan kreditur.
14. Perjanjian Mana Suka atau Alternatif
Perjanjian mana suka atau alternatif ini mungkin jarang kita temui
dalam prkatik, tetapi hal ii dimungkinkan dalam hukum perjanjian.
Dalam hal ini terjadi perjanjian mana suka ini, debitur
diperkenankan untuk memilih salah satu dari beberapa pilihan yang
ditentukan dalam perjanjian, misalnya yang menjadi pilihan dalam
perjanjian tersebut apakah debitur akan menyerahkan dua ekor kuda atau
tiga ekor kerbau, atau tiga ekor sapi. Dengan demikian, apabila debitur
menyerahkan salah satu dari tiga kemungkinan tersebut, debitur
dinyatakan telah memenuhi prestasi, namun debitur tidak boleh memaksa
kreditur untuk menerima sebagian dari alternatif yang satu dan sebagian
dari alternatif yang lain. Jadi, pada contoh di atas, debitur tidak boleh
memaksa kreditur untuk menerima dua ekor kerbau dan satu ekor sapi,
walaupun mungkin harganya sama atau bahkan lebih mahal.
15. Kontrak Tanggung Renteng atau Tanggung Menanggung
Suatu perjanjian dikatakan tanggung menanggung jika di dalam
perjanjian tersebut terdiri atas beberapa orang kreditur, dan dalam
perjanjian tersebut secara tegas dinyatakan bahwa masing-masing
kreditur berhak untuk menagih seluruh utang atau pembayaran seluruh

Universitas Sumatera Utara

utang kepada salah seorang kreditur akan membebaskan debitur pada
kreditur lainnya. Dengan demikian, apabila debitur belum digugat di
depan pengadilan, debitur berhak memilih kepada siapa dia akan
membayar utangnya.
16. Perjanjian yang Dapat Dibagi dan Tak Dapat Dibagi
Suatu perjanjian digolongkan dapat dibagi atau tidak dapat dibagi
tergantung kepada perjanjian yang prestasinya berupa barang atau jasa
yang dapat dibagi atau tidak dapat dibagi, baik secara nyata maupun
secara perhitungan. Namun demikian, walaupun barang atau jasa tersebut
sifatnya dapat dibagi, suatu perjanjian dianggap tidak dapat dibagi jika
berdasarkan maksud perjanjian penyerahan barang atau pelaksanaan jasa
tersebut tidak dapat dibagi.
17. Perjanjian dengan Ancaman Hukuman
Ancaman hukuman merupakan suatu klausul perjanjian yang
memberikan jaminan kepada kreditur bahwa debitur akan memenuhi
prestasi, dan ketika debitur tidak memenuhi prestasi tersebut, debitur
diwajibkan melakukan sesuatu atau menyerahan sesuatu.
Ancaman hukuman ini boleh diubah oleh hakim manakala debitur
telah memenuhi sebagian prestasinya, ancaman hukuman ini hanya
merupakan pestasi tambahan jika debitur wanprestasi. Karena itu,
sifatnya yang hanya tambahan, apabila ancaman hukumannnya batal,
tidak secara otomatis membatalkan perjanjiannya. 35

35

Ahmadi Miru, Hukum Kontrak dan Perancangan Kontrak, Rajawali Pers, Jakarta, 2013,
hlm. 53-61.

Universitas Sumatera Utara

C. Peran dan Fungsi Perjanjian
Peran dari membuat suatu perjanjian seperti juga membuat undang –
undang : mengatur hubungan hukum dan melahirkan seperangkat hak dan
kewajiban. Perbedaannya, jika undang-undang mengatur seluruh masyarakat,
maka perjanjian hanya mengatur pihak-pihak yang terlibat saja. Demikian
pula dalam perjanjian peran utamanya adalah mengatur hubungan hukum dari
mereka yang mengikatkan diri satu sama lain.
Jika dalam pelaksanaannya hubungan hukum itu menimbulkan sengketa,
maka perjanjian menghadirkan diri sebagai alat bukti di pengadilan.
Perjanjian membuktikan adanya hubungan hukum diantara para pihak, karena
mereka nyata-nyata telah menyetujuinya. Selain untuk menuntut pemenuhan
hak dan kewajiban, perjanjian juga merupakan dasar untuk menuntut ganti
rugi

yang disebabkan pelanggaran. Sengketa-sengketa hukum yang

bersumber dari perjanjian umumnya disebabkan karena tidak adanya
kesesuaian kepahaman mengenai hak dan kewajiban para pihak seperti yang
telah diatur dalam perjanjian.
Dalam perjanjian, para pihak telah menentukan hak dan kewajiban
mereka dalam klausul-klausulnya, yaitu aturan tentang bagaimana mereka
menjalani hubungan hukum mereka untuk mencapai visi misi bersama,
misalnya perjanjian usaha bersama. Perjanjian merupakan alat untuk
memperoleh seperangkat hak dan kewajiban perdata, sehingga para pihak
mempunyai landasan hukum dalam melaksanakan perbuatan mereka.
Dalam sengketa perjanjian, klausul-klausul mengenai hak dan kewajiban
merupakan bukti hukum yang dapat meluruskan persoalan, yaitu tentang

Universitas Sumatera Utara

bagaimana suatu hubungan seharusnya dilaksanakan, serta hak dan kewajiban
mana saja yang dilanggar. Perjanjian merupakan pedoman bagi hakim dalam
meluruskan persoalan dan menjatuhkan hukuman. Dan dalam banyak kasus,
perjanjian tertulis merupakan bukti yang paling penting di persidangan.
Dan Fungsi dari suatu perjanjian adalah guna sebagai barang bukti kita
sudah mengadakan perjanjian jual beli ehingga kita dapat megembalikan atau
melakukan protes terhadap barang yang sudah dibeli. Selain itu surat
perjanjian juga berguna untuk menggugat seseorang apabila orang tersebut
melakukan suatu tindakan yang menyalahi dengan isi suatu perjanjian.36
D. Syarat Sah Perjanjian
Secara umum perjanjian lair pada saat tercpainya kesepakatan
(konsensus) para pihak mengenai hal yang pokok atau unsur esensial dari
perjanjian terseut. Sebagai contoh, apabila dalam perjanjian jual beli telah
tercapai kata kesepakatan tentang harga dan barang, lahirlah perjanjianm
sedangan hal-hal yang tidak diperjanjikan oleh pihak akan diatur oleh
undang-undang.
Walaupun dikatakan bahwa perjanjian lahir pada saat terjadinya
kesepakatan mengenai hal pokok dalam perjanjian tersebut, namun masih ada
hal lain yang harus diperhatikan, yaitu syarat sahnya perjanjian sebagaimana
diatur dalam Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang
berbunyi :

36

Salim HS., Abdullah, Wiwiek Wahyuningsih, Perancangan Kontrak & Memorandum of
Understanding (MoU), Sinar Grafika, Jakarta, 2008, hlm. 25.

Universitas Sumatera Utara

“Untuk sahnya persetujuan-persetujuan diperlukan empat syarat yakni
sepakat mereka yang mengikatkan diri; kecakapan untuk membuat suatu
perikatan; suatu hal tertentu; dan suatu sebab yang halal”.
Keempat syarat di atas biasa juga disingkat dengan sepakat, cakap, hal
tertentu, dan sebab yang halal,

keempat syarat sahnya perjanjian

sebagaimana diatur dalam Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
diatas akan diuraikan lebih lanjut sebagai berikut.
1.

Kesepakatan
Kesepakatan diperlukan dalam mengadakan perjanjian, ini berarti
bahwa kedua belah pihak haruslah mempunyai kebebasan kehendak,
artinya masing-masing pihak tidak mendapat suatu tekanan yang
mengakibatkan adanya cacat dalam mewujudkan kehendaknya.
Menurut Badrulzaman, pengertian sepakat dilukiskan sebagai
pernyataan kehendak yang disetujui oleh kedua belah pihak. Pihak yang
menawarkan dinamakan tawaran (offerte) sedangkan pihak yang
menerima tawaran disebut akseptasi (acceptatie).
Mengngingat kesepakatan harus diberikan secara bebas (sukarela),
maka Kitab Undang – Undang Hukum Perdata menyebutkan ada 3 (tiga)
sebab kesepakatan tidak diberikan secara sukarela yaitu karena adanya
paksaan, kekhilfan (dwaling) dan penipuan (bedrog). Hal ini diatur dalam
Pasal 1321 yang menyebutkan :
“Tiada sepakat yang sah apabila sepakat ini diberikan karena
kekhilafan atau diperolehnya dengan paksaan dan penipuan”.

Universitas Sumatera Utara

Kekhilafan (dwaling) menyangkut hal-hal yang pokok dari yang
dijanjikan itu. Dalam hal ini meliputi mengenai obyeknya, misalnya
membeli lukisan asli Afandi. Khilaf yang kedua mengenai subyeknya,
misalnya, mengontrak penyanyo Raisa, ternyata yang datang penyanyi
lain hanya mirip dengan Raisa. Kekhilafan mengenai orangnya
dinamakan error in perona dan mengenai hakikat barangnya dinamakan
error in substantia.
Paksaan dalam hal ini haruslah berupa paksaan rohani (bukan
fisik). Misalnya, akan diancam atau ditakut-takuti akan dibuka
rahasianya. Lain halnya bila dilaporkan ke Pengadilan, tidaklah termasuk
perjanjian itu cacat kesepakatanny, walaupun hal itu tergolong rohani
(psikis), sebab Pengadilan merupakan tempat (rumah) mencari keadilan,
tidak layak ditakuti. Mengenai paksaan haruslah mengenai paksaan yang
bukan absolut. Sebab dalam hal yang demikian itu perjanjian sama sekali
tidak terjadi, misalnya, kalau seseorang yang lebih kuat memegang
tangan seseorang yang lebih lemah dan membuat ia mencantumkan tanda
tangan di bawah sebuah perjanjian.37
Penipuan (bedrog), dinyatakan dalam Pasal 1328 Kitab UndangUndang Hukum Perdata :
“Merupakan suatu alasan untuk membatalkan suatu persetujuan
apabila tipu muslihat yang dipakai oleh salah satu pihak, adalah
sedemikian rupa hingga terang dan nyata bahwa pihak yang lain tidak

37

Ibid, hlm. 9-10.

Universitas Sumatera Utara

telah membuat perikatan itu jika tidak dilakukan tipu muslihat tersebut.
Penipuan tidak dipersangkakan, tetapi harus dibuktikan”.
2.

Kecakapan
Orang-orang atau pihak-pihak dalam membuat suatu perjanjian
haruslah cakap menurut hukum, hal ini ditegaskan dalam Pasal 1329
Kitab Undan-Undang Hukum Perdata berikut.
“Setiap orang adalah cakap untuk membuat perikatan-perikatan,
jika oleh undang – undang tidak dinyatakan tidak cakap”.
Undang-undang yang dimaksud menyatakan tidak cakap itu adalah
Pasal 1330 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, yakni orang-orang
yang belum dewasa; mereka yang ditaruh di bawah pengampuan; orangorang perempuan dalam hal-hal yang ditetapkan oleh undang-undang,
dan pada umumnya semua orang kepada siapa undang-undang telah
melarang membuat persetujuan-persetujuan tertentu.
Mengenai orang-orang yang belum dewasa, kriterianya ditentukan
oleh Pasal 330 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, yaitu “belum
dewasa adalah mereka yang belum mencapai umur genap dua puluh satu
tahun dan sebelumnya belum kawin”. Bila perkawinan mereka putus
(cerai) sebelum umur mereka genap dua puluh satu tahun maka mereka
tidak kembali lagi dalam status belum dewasa.
Dengan dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
tentang Perkawinan maka di Indonesia menjadi jelas ukuran seorang
dewasa seperti yang disebutkan dalam Pasal 50 ayat (1) undang-undang
itu, yaitu :

Universitas Sumatera Utara

“Anak yang belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun atau
belum pernah melangsungkan perkawinan, yang tidak berada di bawah
kekuasaan orang tua, berada di bawah kekuasaan wali”.
Pernyataan dari pasal tersebut dapat disimpulkan bahwa anak yang
belum dewasa itu adalah anak yang berusia belum mencapai 18 tahun
atau belum pernah melangsungkan perkawinan.
Mengenai mereka yang ditaruh di bawah pengampuan, Pasal 433
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menyatakan, bahwa :
“Setiap orang dewasa, yang selalu berada dalam keadaan dungu,
sakit otak atau mata gelap harus ditaruh di bawah pengampuan, pun jika
ia kadang-kadang cakap mempergunakan pikirannya. Seseorang dewasa
boleh juga ditaruh di bawah pengampuan karena keborosannya”.
Dalam keadaan yang disebutkan di atas, pembentuk undangundang memandang bahwa yang bersangkutan tidak mampu menjalani
tanggung jawabnya dan oleh karena itu tidak cakap bertindak untuk
mengadakan perjanjian.
Apabila orang-orang yang belum dewasa dan mereka yang
diletakkan di bawah pengampuan melakukan perbuatan hukum (termasuk
memuat perjanjian), menurut hukum haruslah diwakili oleh orang tua
atau walinya. Untuk mereka yang disebutkan dalam Pasal 433 Kitab
Undang-Undang

Hukum

Perdata

maka

yang

mewakili

adalah

pengampunya atau kuratornya. Status mereka tidak cakap maka haruslah
dimintakan kepada pengadilan atau dengan perkataan lain, tidaklah
dengan sendirinya keadaan yang disebutkan itu terpenuhi mereka

Universitas Sumatera Utara

menjadi kehilangan kecakapan, kecuali dimintakan ke pengadilan
sebelumnya mana dikabulkan.
Dalam hal ditetapkan oleh undang-undang tidak cakap untuk
membuat perjanjian, dapat dijumpai antara lain dalam Pasal 105, 108,
dan 110 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang menyebutkan
bahwa istri tanpa bantuan suami tidak dapat melakukan perbuatan hukum
(termasuk membuat perjanjian). Dengan kata lain, ketentuan pasal
tersebut status seorang istri kehilangan kecakapan bantuan suami.
Hal tersebut telah ditiadakan melalui ketentuan Surat Edaran
Mahkamah Agung Republik Indonesia (SEMA RI) Nomor 3 Tahun
1963. MA menyatakan bahwa SEMA RI Nomor 3 Tahun 1963 tidak
bermaksud meniadakan undang-undang (Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata). Akan tetapi hal ini ditujukan kepada Ketua Pengadilan Negeri
dan Pengadilan Tinggi dalam rangka melakukan pembinaan terhadap
hakim-hakim bawahannya, agar tidak merujuk lagi pada ketentuan Pasal
105, 106, dan 110 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.38
3.

Hal Tertentu
Syarat ketiga dari suatu perjanjian haruslah memenuhi “hal
tertentu”, maksudnya adalah suatu perjanjian haruslah memiliki obyek
(bepaald onderwerp) tertentu yang sekurang-kurangnya dapat ditentukan.
Obyek perjanjian itu diatur dalam Pasal 1333 Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata menyatkan :

38

Ibid., hlm. 10-11.

Universitas Sumatera Utara

“Suatu persetujuan harus mempunyai pokok suatu barang yang
paling sedikit ditentukan jenisnya. Tidaklah menjadi halangan bahwa
jumlah barang tidak tentu, asal saja jumlah itu terkemudian dapat
ditentukan atau dihitung”.
Dalam hal yang disebutkan belakangan itu, maksudnya tidaklah
atang itu harus sudah ada, atau sudah ada di tangannya si berutang pada
waktu perjanjian itu dibuat. Begitu juga jumlahnya tidak perlu
disebutkan, asal saja kemudian dapat dihitung atau ditetapkan. Misalnya,
perjanjian membeli hasil panen kopi dari suatu ladang dalam tahun yang
akan datang adalah sah karena telah memenuhi syarat hal tertentu (Pasal
1333 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata), tetapi sebaliknya membeli
mobil tanpa keterangan lain tidaklah memenuhi hal tertentu.39
Obyek tertentu dapat berupa benda, yang sekarang ada dan nanti
akan ada, kecuali warisan. Hal ini diterangkan oleh Pasal 1334 Kitab
Undang – Undang Hukum Perdata yang antara lain menyebutkan, bahwa:
“... tetapi tidaklah diperkenankan untuk melepaskan suatu warisan
yang belum terbuka, ataupun untuk minta diperjanjikan sesuatu hal
mengenai warisan itu sekalipun dengan sepakatnya orang yang nantinya
akan meninggalkan warisan yang menjadi pokok persetujuan itu ...”.
4.

Sebab (Causa) yang Halal
Perkataan “sebab” yang dalam bahasa Belanda disebut oorzaak,
dan dalam bahasa Latin disebut causa, merupakan syarat keempat dari
suatu perjanjian yang disebutkan dalam Pasal 1320 Kitab Undang-

39

I Ketut Oka Setiawan, Op.cit., hlm. 67-68.

Universitas Sumatera Utara

Undang Hukum Perdata sebagai “sebab yang halal”. Menurut
Badrulzaman, causa dalam hal ini bukanlah hubungan sebab akibat,
sehingga pengertian causa di sini tidak mempunyai hubungan sama
sekali dengan ajaran causaliteit, bukan juga merupakan sebab yang
mendorong para pihak untuk mengadakan perjanjian. Karena apa yang
menjadi motif dari seseorang untuk mengadakan perjanjian itu tidak
menjadi perhatian.
Misalnya apabila, seorang membeli rumah karena mencegah nilai
uangnya turun, hal ini tidak menjadi perhatian hukum. Perhatian hukum
adalah membeli rumah tersebut, si pembeli ingin memiliki rumah itu dan
si penjual ingin memperoleh uang dari penjualan tersebut. Jadi, sesuatu
yang menyebabkan seseorang membuat suatu perjanjian atau dorongan
jiwa untuk membuat suatu perjanjian tidak diperhatikan undang-undang.
Hukum pada asasnya tidak menghiraukan apa yang berada dalam
gagasan seseorang atau apa yang dicita-citakan seseorang, yang menjadi
perhatian hukum atau undang-undang tindakan orang-orang dalam
masyarakat.
Yurisprudensi menafsirkan causa sebagai isi atau maksud dari
perjanjian. Causa menempatkan perjanjian di bawah pengawasan hakim.
Karena hakim dapat menguji, apakah tujuan perjanjian itu dapat
dilaksanakan dan apakah isi perjanjian tidak bertentangan dengan
undang-undang, ketertiban umum, dan kesusilaan (Pasal 1335 – 1337
Kitab Undang – Undang Hukum Perdata).

Universitas Sumatera Utara

Adakalanya suatu perjanjian tanpa sebab atau dibuat karena
sesuatu sebab yang palsu atau terlarang. Sebab terlarang di sini
maksudnya adalah sebab yang dilarang oleh undang-undang, kesusilaan,
atau ketertiban umum (Pasal 1337 Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata). Perjanjian yang demikian tidak mempunyai kekuatan (Pasal
1335 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata). Misalnya, bila seseorang
membeli pisau untuk membunuh seseorang, unsur “membeli pisau”
memenuhi causa yang halal, namun hal ini menjadi tidak memenuhi
causa yang halal, bila soal membunuh itu dimasukkan dalam perjanjian
(dalam konsensu). Si Penjual hanya bersedia menjual pisuanya, jika si
pembeli mau memakai untuk membunuh orang, maka dalam hal ini
perjanjian menjadi batal demi hukum karena memuat sesuatu sebab yang
terlarang40
E. Konsekuensi Perjanjian
Yang Merupakan Konsekuensi hukum dari tidak terpenuhinya salah satu
atau lebih dari syarat-syarat sahnya perjanjian tersebut bervariasi mengikuti
syarat mana yang dilanggar. Konsekuensi hukum tersebut adalah sebagai
berikut
Batal Demi Hukum (Nietig, null and void)

1.

Semisal dalam hal dilanggarnya syarat obyektif dalam Pasal 1320
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Syarat Obyektif tersebut adalah:

40

a.

Perihal tertentu, dan

b.

Kuasa yang legal.

Ibid., hlm. 68-69.

Universitas Sumatera Utara

2.

Dapat Dibatalkan (Vernietigbaar, Voidable)
Semisal dalam hal tidak terpenuhi seujektif dalam Pasal 1320
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Syarat subjektif tersebut adalah:

3.

a.

Kesepakatan kehendak, dan

b.

Kecakapan berbuat.

Perjanjian Tidak Dapat Dilaksanakan (Unenforceable)
Perjanjian yang tidak dapat dilaksanakan adalah perjanjian yang
tidak begitu saja batal tetapi tidak dapat dilaksanakan, melainkan masih
mempunyai status hukum tertentu. Bedanya dengan perjanjian yang batal
(demi hukum) adalah bahwa perjanjian yang tidak dapat dilaksanakan
masih mungkin dikonversi menjadi perjanjian yang sah. Sedangkan
bedanya dengan perjanjian yang dapat dibatalkan (voidable) adalah
bahwa dalam perjanjian yang dapat dibatalkan , perjanjian tersebut sudah
sah, mengikat dan dapat dilaksanakan sampai dengan dibatalkan
perjanjian tersebut, sementara perjanjian yang tidak dapat dilaksanakan
belum mempunyai kekuatan hukum sebelum dikonversi menjadi
perjanjian yang sah.
Contoh perjanjian yang tidak dapat dilaksanakan adalah perjanjian
yang seharusnya dibuat secara tertulis, tetapi dibuat secara lisan, tetapi
kemudian perjanjian tersebut ditulis oleh para pihak.

4.

Sanksi Administratif
Ada juga syarat perjanjian yang apabila tidak dipenuhi hanya
mengakibatkan dikenakan sanksi administratif saja terhadap salah satu
pihak atau kedua belah pihak dalam perjanjian tersebut. Misalnya apabila

Universitas Sumatera Utara

terhadap suatu perjanjian memerlukan izin atau pelaporan terhadap
instansi tertentu, seperti izin / pelaporan kepada Bank Indonesia untuk
suatu perjanjian offshore loan.41
F. Wanprestasi di Dalam Perjanjian
1.

Pengertian
Pada umumya hak dan kewajiban yang lahir dari perikatan
dipenuhi oleh pihak-pihak baik debitur maupun kreditur. Akan tetapi
dalam praktik kadang-kadang debitur tidak memenuhi apa yang menjadi
kewajibannya dan inilah yang disebut dengan “wanprestasi”. Perkataan
wanprestasi berasal dari bahasa Belanda yang berarti “prestasi buruk”.
Selain itu, perkataan wanpestasi sering juga dipadankan pada kata lalai
atau alpa, ingkar janji, atau melanggar p