Peranan Developer dalam Perjanjian Jual Beli Rumah Melalui Kredit Pemilikan Rumah (KPR) (Studi pada Perumahan Syukur Indah)

(1)

PERANAN DEVELOPER DALAM PERJANJIAN JUAL BELI

RUMAH MELALUI KREDIT PEMILIKAN RUMAH (KPR)

(Studi pada Perumahan Syukur Indah)

SKRIPSI

Disusun dan Diajukan Untuk Melengkapi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

Oleh :

DEVI OLISA BTR-BTR

NIM : 080200390

DEPARTEMEN : HUKUM KEPERDATAAN

Program Kekhususan Hukum Perdata Dagang

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(2)

PERANAN DEVELOPER DALAM PERJANJIAN JUAL-BELI RUMAH MELALUI KREDIT PEMILIKAN RUMAH (KPR)

(Studi pada Perumahan Syukur Indah)

S K R I P S I

Disusun dan Diajukan Untuk Melengkapi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

Oleh :

DEVI OLISA BTR-BTR NIM : 080200390

DEPARTEMEN : HUKUM KEPERDATAAN Program Kekhususan Hukum Perdata Dagang

Disetujui Oleh :

Ketua Departemen Hukum Keperdataan

Dr. H. Hasim Purba, SH., M.Hum NIP. 19660303 198508 1 001

Pembimbing I Pembimbing II

Sinta Uli, SH, M.Hum Puspa Melati SH, M.Hum 195506261986012001 196801281994032001

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(3)

KATA PENGANTAR

Alhamdulillahi robbil alamin, segala puji dan syukur Penulis ucapkan pada Allah SWT sang Khalik, Sang Maha Pemberi Jalan kepad umat, yang telah mencurahkan rahmat dan karunia yang begitu besar kepada Penulis sehingga penulisan skripsi ini dapat diselesaikan dengan baik. Begitu pula shalawat dan salam Penulis haturkan kepada junjungan kita Nabi Muhammad SAW semoga kita menfdapat syafaatnya di hari akhirat kelak.

Adapun judul skripsi yang penulis kemukakan ialah “PERANAN DEVELOPER DALAM PERJANJIAN JUAL-BELI RUMAH MELALUI KREDIT PEMILIKAN RUMAH (KPR) (Studi pada Perumahan Syukur Indah)” Skripsi ini membahas tentang bagaimana syarat, pelaksanaan dan hubungan developer dalam perjanjian jual beli rumah melalui kredit pemilikan rumah (KPR). Skripsi ini disusun guna melengkapi dan memenuhi tugas dan syarat untuk meraih gelar Sarjana Hukum di Universitas Sumatera Utara, dimana hal tersebut merupakan kewajiban setiap mahasiswa/I yang ingin menyelesaikan perkuliahannya.

Penulis telah mencurahkan segenap hati, pikiran dan kerja keras dalam penyusunan skripsi ini. Namun penulis menyadari bahwa di dalam penulisan skripsi ini masih banyak kekurangannya, baik isi maupun kalimatnya. Oleh sebab itu skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan.

Di dalam penyusunan skripsi ini, penulis mendapat bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak. Untuk itu penulis mengucapkan terima kasih kepada :


(4)

1. Bapak Prof. Dr. Runtung, SH, M.Hum., selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

2. Bapak Prof. Dr. Budiman Ginting, SH, M.Hum., selaku Pembantu Dekan I Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

3. Bapak Syafriddin Hasibuan, SH, M.H, DFM, selaku Pembantu Dekan II Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

4. Bapak Muhammad Husni, SH, M.H, selaku Pembantu Dekan III, selaku Pembantu Dekan III Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

5. Bapak Dr. H. Hasim Purba, SH, M.Hum., selaku Ketua Departemen Hukum Keperdataan.

6. Ibu Rabiatul Syahriah, SH, M.Hum., selaku Sekretaris Departemen Hukum Keperdataan.

7. Ibu Sinta Uli SH, M.Hum, selaku Dosen Pembimbing I yang telah banyak meluangkan waktunya dalam memberikan bantuan, bimbingan dan arahan-arahan kepada penulis pada saat penulisan skripsi ini.

8. Ibu Puspa Melati SH, M.Hum, selaku Dosen Pembimbing II yang telah meluangkan waktunya dalam memberikan bantuan, bimbingan dan arahan-arahan kepada penulis pada saat penulisan skripsi ini.

9. Bapak Makdin Munte, selaku Dosen Pembimbing Akademik. Terima kasih atas perhatian, dukungan serta bimbingannya yang telah bapak berikan selama ini.


(5)

10.Seluruh staf pengajar dan pegawai administrasi Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang telah mencurahkan ilmunya dan membantu penulis selama menjalani perkuliahan.

11.Teristimewa kepada Orangtua tercinta, Ayahanda H. J. Butar-Butar SH, M.Hum, Ibunda tercinta Almh. Samiyah Sinaga SS, dan Ibunda saya tercinta juga Ir. Hj. Nurma Ani Mp, yang telah membesarkan dan mendidik Penulis dengan kasih sayang yang tak hentinya memberikan motivasi , semangat dan mendo’akan setiap langkah Penulis dalam menggapai cita-cita.

12.Kepada kakak-kakak Penulis Dina Maya Sarah SS, Destiny Octrina S.Kep, kak Atik dan abangku Deni SH yang telah memberikan motivasi, semangat serta do’a kepada Penulis.

13.Sahabat-sahabatku : Rida Maya Sari Nst, Dwi Nurul Amalia, Ariesya Amalia Hrp, Dirga Syahputra, dan Ari Wibowo, juga sahabat kecilku Anwar Hafiz dan Desi Novita Sari yang telah begitu banyak membantu, memberi dorongan semangat selama penulis menjadi mahasiswa hingga penyelesaian skripsi ini.

14.Semua pihak yang belum sempat penulis sebutkan dan telah banyak membantu dalam penyelesaian skripsi ini.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini tidak luput dari kekurangan dan masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu penulis mengharapkan saran dan kritik yang membangun dan menyempurnakan skripsi ini. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi kita semua. akhir kata dengan kerendahan hati penulis


(6)

mengahrapkan semoga skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi kita semua. Semoga Allah SWT selalu memberikan manfaat bagi kita semua. Semoga Allah SWT selalu memberikan Rahmat dan KaruniaNya kepada kita semua. Amiin.

Medan, Juni 2012

penulis


(7)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ... i

DAFTAR ISI ... v

ABSTRAK ... vii

BAB I : PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Permasalahan ... 8

C. Tujuan Penelitian ... 8

D. Manfaat Penulisan ... 9

E. Metode Penelitian ... 10

F. Keaslian Penulisan ... 13

G. Sistematika Penulisan ... 13

BAB II : HUKUM PERJANJIAN SECARA UMUM... ... 16

A. Pengertian Umum tentang Perjanjian... 16

B. Syarat Sahnya Perjanjian ... 32

C. Asas-asas yang terkandung dalam perjanjian ... 37

D. Hapusnya Perjanjian ... 40

BAB III : KAJIAN HUKUM TENTANG JUAL BELI RUMAH SECARA KRDIT PEMILIKAN RUMAH ... 43

A. Perjanjian Jual Beli Kredit Pemilikan Rumah ... 43

B. Syarat Sahnya Suatu Perjanjian Kredit Pemilikan Rumah………. ... 48


(8)

D. Hak dan Kewajiban Para Pihak dalam Kredit Pemilikan Rumah

... 55

E. Berakhirnya Perjanjian Kredit Pemilikan Rumah ... 60

BAB IV: PERANAN DEVELOPER DALAM PERJANJIAN JUAL BELI RUMAH MELALUI KREDIT PEMILIKAN RUMAH .. 64

A. Syarat- syarat Perjanjian Jual-Beli Rumah Secara Kredit Pemilikan Rumah (KPR) antara Pihak Pembeli dan Pihak Developer ... 64

B. Pelaksanaan Perjanjian Kredit Pemilikan Rumah (KPR) antara Pihak Developer Dengan Pihak Pembeli... 72

C. Peran Developer Dalam Perjanjian Kredit Pemilikan Rumah (KPR) antara Pihak Pembeli dan Pihak Bank ... 78

BAB V : KESIMPULAN DAN SARAN ... 82

a. Kesimpulan ... 85

b. Saran ... 87

DAFTAR PUSTAKA ... 88 LAMPIRAN

1.Peraturan Menteri Negara Perumahan Rakyat Nomor 7/PERMEN/M/2007 tentang Pengadaan Perumahan dan Pemukiman Dengan Dukungan Fasilitas Subsidi Perumahan Melalui KPR Sarusun Bersubsidi

2.Keputusan Menteri Negara Perumahan Rakyat Nomor 09/KPTS/M/1995 tentang Pedoman Pengikatan Jual Beli Rumah.


(9)

ABSTRAK

Devi Olisa Butar-Butar*) Sinta Uli**)

Puspa Melati***)

Rumah adalah kebutuhan primer bagi sebagian besar keluarga, baik yang tinggal di pedesaan maupun di perkotaan yang merupakan suatu kebutuhan primer. Pemenuhan kebutuhan primer tersebut, tidak dapat dipenuhi oleh semua orang untuk membeli secara tunai. Oleh karena itu, diperlukan suatu lembaga keuangan untuk memberikan bantuan dana dalam bentuk penyaluran kredit terutama dalam Kredit Pemilikan Rumah (KPR). Pengaturan mengenai perumahan ini terdapat di dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Pemukiman. Judul dari skripsi ini adalah “peranan developer dalam perjanjian jual beli rumah melalui kredit pemilikan rumah” sementara permasalahan yang dibahas adalah peranan developer dalam jual beli rumah melalui kredit pemilikan rumah yaitu syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh pihak pembeli, bagaimana pelaksanaannya, dan peranan developer kepada pembeli dan pihak bank.

Dengan alasan di atas, dalam penulisan skripsi ini penulis melakukan penelitian yang dilakukan di perumahan Syukur Indah dengan menggunakan metode pendekatan penelitian hukum normatif dan yuridis empiris yaitu suatu cara atau prosedur yang digunakan untuk memecahkan masalah dengan terlebih dahulu menggunakan meneliti data sekunder yang ada kemudian dilanjutkan dengan penelitian data primer dilapangan.

Bentuk perjanjian kredit yang dipakai oleh pembeli, developer dan pihak bank adalah perjanjian baku dimana si pembeli mengisi dan melengkapi syarat-syarat yang sudah ditetapkan dan diberikan kepada pihak developer yang selanjutnya diproses developer apakah data tersebut sudah lengkap atau terjadi manipulasi terhadap data sebelum diserahkan pada pihak bank. Perjanjian jual-beli rumah secara kredit pemilikan rumah (KPR) dilaksanakan dengan itikad baik dan sesuai dengan kesepakatan yang telah di setujui oleh kedua belah pihak. Peranan developer dalam perjanjian jual-beli rumah yaitu sebagai penyedia barang yaitu rumah yang selanjutnya akan di beli oleh pihak konsumen. Peranan developer terhadap bank sebagai penyedia dana yaitu melengkapi persyaratan administrasi agar terjalinnya hubungan kerja sama antara developer dan pihak bank, apabila telah terjalinnya kerjasama, pihak bank memberi dana yang dibutuhkan pembeli dan diadakanlah peralihan hak dari developer kepada pihak pembeli dan dilakukan dihadapan notaries. Pengaturan mengenai jual beli perumahan terdapat dalam Keputusan Menteri Negara Perumahan Rakyat Nomor 09/KPTS/M/1995 tentang Pedoman Pengikatan Jual Beli Rumah, sedangkan pengaturan mengenai kredit pemilikan rumah (KPR) terdapat di dalam Peraturan Menteri Negara Perumahan Rakyat Nomor 7/PERMEN/M/2007 tentang


(10)

Pengadaan Perumahan dan Pemukiman Dengan Dukungan Fasilitas Subsidi Perumahan Melalui KPR Sarusun Bersubsidi.

Kata Kunci : Developer, Perjanjian jual-Beli, Kredit Pemilikan Rumah *) Mahasiswa

**) Dosen Pembimbing I ***) Dosen Pembimbing II


(11)

ABSTRAK

Devi Olisa Butar-Butar*) Sinta Uli**)

Puspa Melati***)

Rumah adalah kebutuhan primer bagi sebagian besar keluarga, baik yang tinggal di pedesaan maupun di perkotaan yang merupakan suatu kebutuhan primer. Pemenuhan kebutuhan primer tersebut, tidak dapat dipenuhi oleh semua orang untuk membeli secara tunai. Oleh karena itu, diperlukan suatu lembaga keuangan untuk memberikan bantuan dana dalam bentuk penyaluran kredit terutama dalam Kredit Pemilikan Rumah (KPR). Pengaturan mengenai perumahan ini terdapat di dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Pemukiman. Judul dari skripsi ini adalah “peranan developer dalam perjanjian jual beli rumah melalui kredit pemilikan rumah” sementara permasalahan yang dibahas adalah peranan developer dalam jual beli rumah melalui kredit pemilikan rumah yaitu syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh pihak pembeli, bagaimana pelaksanaannya, dan peranan developer kepada pembeli dan pihak bank.

Dengan alasan di atas, dalam penulisan skripsi ini penulis melakukan penelitian yang dilakukan di perumahan Syukur Indah dengan menggunakan metode pendekatan penelitian hukum normatif dan yuridis empiris yaitu suatu cara atau prosedur yang digunakan untuk memecahkan masalah dengan terlebih dahulu menggunakan meneliti data sekunder yang ada kemudian dilanjutkan dengan penelitian data primer dilapangan.

Bentuk perjanjian kredit yang dipakai oleh pembeli, developer dan pihak bank adalah perjanjian baku dimana si pembeli mengisi dan melengkapi syarat-syarat yang sudah ditetapkan dan diberikan kepada pihak developer yang selanjutnya diproses developer apakah data tersebut sudah lengkap atau terjadi manipulasi terhadap data sebelum diserahkan pada pihak bank. Perjanjian jual-beli rumah secara kredit pemilikan rumah (KPR) dilaksanakan dengan itikad baik dan sesuai dengan kesepakatan yang telah di setujui oleh kedua belah pihak. Peranan developer dalam perjanjian jual-beli rumah yaitu sebagai penyedia barang yaitu rumah yang selanjutnya akan di beli oleh pihak konsumen. Peranan developer terhadap bank sebagai penyedia dana yaitu melengkapi persyaratan administrasi agar terjalinnya hubungan kerja sama antara developer dan pihak bank, apabila telah terjalinnya kerjasama, pihak bank memberi dana yang dibutuhkan pembeli dan diadakanlah peralihan hak dari developer kepada pihak pembeli dan dilakukan dihadapan notaries. Pengaturan mengenai jual beli perumahan terdapat dalam Keputusan Menteri Negara Perumahan Rakyat Nomor 09/KPTS/M/1995 tentang Pedoman Pengikatan Jual Beli Rumah, sedangkan pengaturan mengenai kredit pemilikan rumah (KPR) terdapat di dalam Peraturan Menteri Negara Perumahan Rakyat Nomor 7/PERMEN/M/2007 tentang


(12)

Pengadaan Perumahan dan Pemukiman Dengan Dukungan Fasilitas Subsidi Perumahan Melalui KPR Sarusun Bersubsidi.

Kata Kunci : Developer, Perjanjian jual-Beli, Kredit Pemilikan Rumah *) Mahasiswa

**) Dosen Pembimbing I ***) Dosen Pembimbing II


(13)

BAB I

PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Perumahan dan pemukiman merupakan kebutuhan dasar manusia dan mempunyai peranan yang sangat strategis dalam pembentukan watak serta pribadi bangsa. Dan perlu dibina serta dikembangkan demi kelangsungan dan peningkatan hidup dan penghidupan masyarakat. Perumahan dan pemukiman tidak dapat dilihat sebagai sarana kebutuhan kehidupan semata-mata, tetapi lebih dari pada itu merupakan proses bermukim manusia dalam menciptakan ruang kehidupan untuk memasyarakatkan dirinya dan merupakan jati diri.

Dalam Garis-garis Besar Haluan Negara, di tetapkan bahwa pembangunan perumahan dan pemukiman merupakan upaya untuk memenuhi salah satu kebutuhan dasar manusia, sekaligus untuk meningkatkan mutu lingkungan kehidupan, memberi arah pada pertumbuhan wilayah, memperluas lapangan kerja serta menggerakkan kegiatan ekonomi dalam rangka peningkatan dan pemerataan kesejahteraan rakyat. Sehubungan dengan itu upaya pembangunan perumahan dan pemukiman terus ditingkatkan untuk menyediakan perumahan dengan jumlah yang makin meningkat, dengan harga yang terjangkau oleh masyarakat terutama yang golongan berpenghasilan rendah dan dengan tetap memperhatikan


(14)

persyaratan minimum bagi perumahan dan pemukiman, termasuk pembangunan kota-kota baru, perlu diperhatikan kondisi dan pengembangan nilai-nilai sosial budaya masyarakat, laju pertumbuhan penduduk dan penyebarannya, pusat-pusat produksi dan tata guna tanah dalam rangka membina kehidupan masyarakat yang maju. Pembangunan perumahan dan pemukiman harus dapat pula mendorong perilaku hidup sehat dan tertib serta ikut mendorong kegiatan pembangunan di sektor lain. Pembangunan perumahan dan pemukiman perlu dilaksanakan secara terpadu dan untuk itu perlu di tingkatkan kerja sama antara pemerintah pusat dan daerah, usaha swasta, koperasi dan masyarakat luas. Untuk membiayai pembangunan perumahan dan pemukiman, maka lembaga pembiayaan yang melayani pembangunan perumahan perlu ditingkatkan dan dikembangkan perannya sehingga dapat mendorong terhimpunnya modal yang memungkinkan pembangunan rumah milik dan rumah sewa dalam jumlah besar. Sejalan dengan itu perlu di ciptakan iklim yang menarik bagi pembangunan perumahan baik oleh masyarakat maupun oleh perorangan antara lain dengan penyediaan kredit yang memadai, pengaturan persewaan dan hipotik perumahan. Di samping itu perlu di dorong partisipasi masyarakat dalam pemupukan dana bagi perumahan.1

Perbankan merupakan salah satu sumber dana diantaranya dalam bentuk perkreditan bagi masyarakat perorangan atau badan usaha untuk memenuhi kebutuhan konsumsinya atau untuk meningkatkan produksinya. Kebutuhan yang

1

Dr. Andi Hamzah, SH, I wayan Suandra, B.A Manalu, Dasar-dasar Hukum Perumahan,


(15)

menyangkut kebutuhan produktifnya misalnya untuk memperluas kegiatan usahanya, sedangkan kepentingan yang bersifat konsumtif misalnya untuk membeli rumah sehingga masyarakat dapat memanfaatkan pendanaan dari Bank yang di kenal Kredit Pemilikan Rumah atau sering dikenal dengan singkatan KPR. Salah satu Bank Milik Negara yang secara luas telah menyediakan pendanaan bagi masyarakat untuk membeli rumah dengan berbagai type dan harga adalah Bank Tabungan Negara (BTN). Bank ini telah membuktikan ikut memberi kontribusi dalam pembangunan Negara, turut mensejahterakan warga negaranya dengan menyediakan Kredit Pemilikan Rumah untuk memenuhi salah satu pokok dalam hidup seseorang, sehingga jutaan masyarakat Indonesia telah memiliki rumah yang memadai dan layak sehingga hidupnya menjadi lebih tentram dan sejahtera. 2 Dalam Undang- Undang Perbankan sendiri pengertian kredit dijabarkan dalam Pasal 1 angka 11, kredit adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam meminjam antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi hutangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga. Jadi kredit adalah penyediaan uang ataupun tagihan-tagihan yang dapat disamakan dengan itu berdasarkan persetujuan pinjam meminjam antara bank dengan pihak lain dalam hal mana pihak peminjam berkewajiban melunasi hutangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga.3

2

Sutarno, SH.M.M, Aspek-aspek Hukum Perkreditan pada Bank, C.V Alfabeta, 2003, Hal 1

3


(16)

Perlu dipahami bahwa sumber dana perbankan yang dipinjamkan kepada masyarakat dalam bentuk kredit tersebut bukan dana milik bank sendiri, karena modal perbankan juga sangan terbatas, tetapi merupakan dana-dana masyarakat yang dipinjam pada bank tersebut sehingga perbankan berusaha dan berlomba-lomba menarik dan mengumpulkan dana masyarakat agar bersedia menyimpan dananya pada bank tersebut dengan berbagai undian, hadiah dan iming-iming lainnya dengan tujuan semata-mata agar masyarakat menyimpan dananya dalam bank untuk waktu yang lama. Di negara-negara berkembang seperti Indonesia ini, kegiatan bank terutama dalam pemberian kredit merupakan salah satu kegiatan bank yang sangat penting dan utama sehingga pendapatan dari kredit yang berupa bunga merupakan komponen pendapatan paling besar dibandingkan dengan pendapatan jasa-jasa diluar bunga kredit yang biasa disebut fee base income. Berbeda dengan bank-bank di negara-negara yang sudah maju laporan keuangan menunjukkan bahwa komponen pendapatan bunga dibanding dengan pendapatan jasa-jasa perbankan lainnya sudah cukup berimbang.4

Jika dilihat dari hukum bisnis sektor perumahan/properti adalah usaha yang beresiko tinggi dengan modal yang cukup besar tentulah memerlukan perencanaan dan strategi yang jitu dan tepat untuk menghindari kerugian, mulai dari penetapan lokasi, pembebasan tanah, pematangan tanah, izin-izin administrasi pembangunannya sampai kepada masalah pemasarannya.

4


(17)

Pemasaran perumahan ini dilakukan dengan banyak cara antara lain pemasangan iklan, penerbitan brosur-brosur dan juga melalui pemasaran penawaran dipameran-pameran perumahan. Pemasaran ini sudah berlangsung sejak rumah masih dalam bentuk rancangan/belum selesai dibangun dan sesudah selesai dibangun. Hebatnya sistem pemasaran yang dilakukan membuat konsumen kadang kala tidak berpikir jauh kedepan dan meneliti dengan seksama status rumah yang sedang dibangun bagaimana keberadaan tanahnya secara hukum dan bagaimana juga status hukum dari si penjual yang dalam hal ini adalah developer. Yang penting bagi si konsumen kadangkala hanyalah bagaimana bentuk rumah yang dipasarkan, fasilitasnya, lokasinya, kenyamanannya tanpa mempertimbangkan keabsahan dari rumah yang ditawarkan tersebut. Sehingga terdengarlah adanya kasus-kasus perumahan fiktif, dimana konsumen telah memesan rumah yang ditawarkan dan membayar cicilannya tetapi rumah tak kunjung dibangun dan tak jarang pula kemudian si developer melarikan diri sehingga tinggalah konsumen yang kebingungan harus menuntut kepada siapa. Masalah lain yang juga sering timbul adalah telah selesainya rumah dibangun namun tidak memenuhi persyaratan tehnis dan administrasi. Dan ada kalanya juga tanah tempat perumahan dibangun ternyata masih dalam sengketa karena si developer belum memenuhi seluruh kewajibannya sebagai developer sebelum mendirikan suatu perumahan.


(18)

Dari pihak developer sendiri tak jarang pula mendapat kerugian dimana rumah telah selesai di bangun namun konsumen kurang berminat, karena harganya terlalu mahal, lokasi yang kurang strategis dan banyak hal lain lagi. Hal ini dapat terjadi jika pemasaran dilakukan setelah rumah selesai dibangun.

Bagi masyarakat dengan golongan menengah ke bawah, membeli rumah secara kontan atau tunai adalah suatu hal yang cukup berat. Apabila tersedia rumah dengan fasilitas kredit pemilikan rumah di komplek yang terkenal cukup elit harga satuan rumah otomastis melebihi rumah jika di jual diluar komplek. Di bangunnya Perumahan Syukur Indah ini sengaja untuk orang-orang yang ingin memiliki rumah pribadi dengan harga yang relatif lebih rendah dari harga jual rumah di komplek lainnya. Perumahan Syukur Indah ini bekerja sama dengan pihak bank yaitu bank BTN yang memang terkenal banyak membantu usaha-usaha ataupun melakukan pinjaman kredit. Di sini penulis ingin mengetahui apa-apa saja syarat yang harus dipenuhi oleh pihak pembeli (konsumen) kepada pihak Penjual (Developer), Bagaimana pelaksanaan perjanjian pembelian rumah secara kredit pemilikan rumah ini oleh pihak developer kepada pihak konsumen, dan apa-apa saja peran si developer ini baik terhadap pembeli dan bagaimana peranannya di bank. Tujuan penulis mengangkat judul ini agar menambah wawasan dan pengetahuan dibidang jual-beli rumah secara kredit perumahan dan peranan si developer di dalamnya dan juga bermanfaat bagi masyarakat, seseorang


(19)

yang hendak akan membeli rumah, pihak developer, para praktisi hukum bahkan untuk penulis sendiri. Dari hal-hal di atas akhirnya Penulis tertarik untuk mengangkat bagaimana jual-beli dengan pihak developer secara kredit pemilikan rumah, dan penulis mengangkat judul Peran developer Dalam Perjanjian Jual-Beli Rumah Melalui Kredit Pemilikan Rumah (KPR). Peraturan mengenai keberadaan developer dan jual beli rumah antara konsumen dan developer terdapat di dalam Keputusan Menteri Negara Perumahan Rakyat Nomor 09/KPTS/M/1995 tentang Pedoman Pengikatan Jual Beli Rumah. Pengaturan mengenai perjanjian terdapat di dalam Buku III Bab Kedua Bagian kesatu dan pengaturan mengenai jual-beli terdapat di dalam Buku III Bab Kelima Bagian Kesatu. Pengaturan mengenai sektor perumahan dapat ditemui dalam UU No. 1 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1992 tentang Ketentuan Pokok Perumahan dan Pemukiman dan UU No. 16 Tahun 1985 tentang Rumah Susun yang mana keduanya mengacu pada UU No. 5 Tahun 1960 tentang Ketentuan Pokok Agraria. Peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang kredit pemilikan rumah ini terdapat di dalam Peraturan Menteri Negara Perumahan Rakyat (Permen) Nomor 7/PERMEN/M/2007 Tentang Pengadaan Perumahan dan Pemukiman Dengan Dukungan Fasilitas Subsidi Perumahan Melalui KPR Sarusun Bersubsidi. Peraturan dan/atau Undang-Undang di atas dapat menjadi kepastian hukum mengenai peranan developer dalam perjanjian jual-beli perumahan secara KPR.


(20)

B. Permasalahan

Berdasarkan uraian dan latar belakang yang telah di paparkan oleh penulis di atas maka penulis merumuskan permasalahan yang akan dibahas pada skripsi ini yakni sebagai berikut:

1. Syarat-syarat apa saja yang harus di penuhi oleh pihak pembeli agar dapat membeli rumah secara Kredit Pemilikian Rumah (KPR) pada pihak developer?

2. Bagaimana pelaksanaan perjanjian pembelian Kredit Pemilikan rumah (KPR) oleh pihak developer kepada pihak pembeli ?

3. Apa-apa saja peran developer dalam sahnya suatu perjanjian jual-beli rumah secara KPR baik terhadap pembeli maupun pihak Bank?

C. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan secara umum yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah sesuai dengan pokok permasalahan yang ada maka tujuan penulisan skripsi ini adalah:

1. Untuk mengetahui syarat-syarat apa saja yang harus dipenuhi oleh pihak pembeli selaku konsumen agar dapat membeli rumah secara Kredit Pemilikan Rumah (KPR) pada pihak penjual selaku developer.


(21)

2. Untuk mengetahui bagaimana pelaksanaan perjanjian pembelian Kredit Pmilikan Rumah (KPR) oleh pihak pembeli kepada pihak developer.

3. Untuk mengetahui apa-apa saja peran developer dalam sahnya suatu perjanjian jual-beli rumah secara Kredit Pemilikan Rumah (KPR) baik terhadap pembeli maupun pihak bank.

D. Manfaat Penulisan

Adapun manfaat dari penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut:

1. Manfaat secara teoritis, yakni berupa :

Hasil penelitian ini akan dapat menambah wawasan dan pengetahuan dibidang karya ilmiah serta diharapkan dapat melengkapi dan mengembangkan perbendaharaan ilmu hukum perdata bagi penulis khususnya di bidang hukum perjanjian yang berkaitan dengan “peranan developer dalam perjanjian jual-beli rumah secara Kredit Pemilikan Rumah (KPR)”.

Hasil penelitian ini dapat menjadi referensi penulis dalam melakukan perjanjian jual-beli rumah secara Kredit Pemilikan Rumah (KPR) terhadap pihak developer.

2.Manfaat secara praktis berupa:

Penelitian ini di harapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran bagi para praktisi, pembuat kebijakan dan developer serta memberikan sedikit


(22)

gambaran bagi berbagai pihak tentang peranan developer dalam perjanjian jual-beli rumah secara Kredit Pemilikan Rumah (KPR).

Penelitian ini merupakan latihan dan pembelajaran dalam menerapkan teori yang diperoleh sehingga menambah pengetahuan, pengalaman dan dokumentasi ilmiah.

E. Metode Penelitian

Dalam penulisan skripsi ini penulis berusaha untuk mengumpulkan informasi dan data-data yang di perlukan untuk menjadi bahan dalam penulisan skripsi ini. Bahan-bahan yang telah dikumpulkan tersebut haruslah mempunyai hubungan satu sama lainnya yang berhubungan dengan judul skripsi ini. Dalam penulisan skripsi ini penulis menggunakan metode:

1. Jenis penelitian

Penelitian yang akan dilakukan adalah penelitian non doktrinal, yaitu penelitian berupa studi empiris untuk menemukan teori-teori mengenai proses terjadinya dan mengenai proses bekerjanya hukum di dalam masyarakat.5 Soerjono Soekanto menyebut penelitian ini sebagai penelitian hukum empiris.6

5

Bambang Sugono,Metodogi Penelitian Hukum, Jakarta, PT. Rajagrafindo Persada,2007, hal 42

6

Ibid.

Penulis juga melakukan metode Library Research (Penelitian Kepustakaan) yang


(23)

sekunder.

7

2.

Data dan Sumber data

Penelitian ini bertujuan menemukan landasan hukum yang jelas

dalam meletakkan persolan ini dalam perspektif hukum perikatan yakni

tentang terhadap jual-beli melalui kredit pemilikan rumah.

Pada umumnya data dibagi dalam dua jenis data yakni data primer

dan data sekunder. Data primer (

primary data

) adalah data yang diperoleh

peneliti langsung dari sumber pertama, yakni perilaku individu atau

masyarakat. Untuk memperoleh data primer, perlu dilakukan pengumpulan

data langsung kepada

masyarakat dengan cara wawancara,

quisioner/angket, pengamatan (observasi) baik secara partisipasi maupun

nonpartisipatif. Data sekunder adalah data yang tidak diperoleh dari

sumber pertama. Data sekunder bisa diperoleh dari dokumen-dokumen

resmi, buku-buku, hasil penelitian, laporan, buku harian,surat kabar,

makalah, dan lain sebagainya.

8

3.

Alat pengumpul data

Pada skripsi ini digunakan 2 (dua) alat pengumpul data yakni:

7

Prof. Dr. Soerjono Soekamto, SH, M.A, Sri Mamudji, SH, M.L.L, Penelitian Hukum

Normatif, Jakarta, PT. Rajagrafindo Persada, 2003, hal 12

8

Edy Ikhsan dan Mahmul siregar, Bahan Ajar Metode Penelitia dan Penulisan Hukum,


(24)

a) Studi kepustakaan, yakni penelitian yang dilakukan berdasarkan bahan-bahan bacaan, dengan cara membaca buku-buku, literatur-literatur, dan peraturan-peraturan yang berhubungan dengan materi yang di bahas dalam skripsi ini.

b) Studi lapangan, yakni penelitian yang dilakukan secara langsung pada objeknya. Pada penulisan skirpsi ini penulis mengadakan penelitian secara langsung dengan mendatangi objek penelitian untuk mendapatkan data-data, informasi-informasi, dan juga keterangan-keterangan yang diperlukan yang dilakukan penulis pada Perumahan Syukur Indah. Wawancara dilakukan pada developer Perumahan Syukur Indah yang bernama H. Jawakil untuk memperoleh informasi-informasi yang dibutuhkan penulis untuk penulisan skripsi ini.

4. Analisis data

Metode yang di gunakan dalam menganalisis data adalah analisis kualitatif, yaitu menganalisis data yang didasarkan atas kualitas data yang digunakan untuk memecahkan permasalahan di dalam penelitian ini yang kemudian dituangkan dalam bentuk deskriptif. Alasannya bahwa penelitian ini bertujuan untuk menggambarkan atau melukiskan secara jelas dan rinci, sistematis dan menyeluruh.

Data primer dan data sekunder yang telah di susun secara sistematis kemudian di analisa secara persfektif dengan menggunakan metode kualitatif.


(25)

Metode kualitatif adalah cara penelitian yang menghasikan penelitian yang

bersifat deskriptif analitis.

F.

Keaslian Penulisan

Penulisan ini didasarkan oleh ide, gagasan, dan pemikiran penulis

secara pribadi dan telah ditelusuri di Kepustakaan dan tidak ada judul yang

sama, kalaupun ada judul yang sama tetapi berbeda dalam permasalahan

dan tempat riset. Oleh karena itu skripsi ini adalah hasil dari karya penulis

sendiri yang disusun dengan cara mempelajari, membaca, mengutip

data-data yang ada pada buku-buku, literatur-literatur, dan peraturan-peraturan

yang berkaitan dengan judul skripsi penulis. Disamping itu juga penulis

melakukan penelitian ke lapangan yaitu Perumahan Syukur Indah. Oleh

karena itu skripsi ini adalah asli.

G.

Sistematika Penulisan

Di dalam penulisan skripsi ini sangatlah diperlukan suatu sistematika

penulisan. Hal ini dilakukan untuk memudahkan penulis dalam melakukan

penulisan ini, dan juga untuk memudahkan pembaca untuk mengerti dan

memahami isi dari skripsi ini. Skripsi ini dibahas dalam lima bab yang

masing-masing terdiri dari sub-sub bab. Adapun rinciannya adalah sebagai

berikut:


(26)

BAB I:PENDAHULUAN

Pendahuluan merupakan gambaran terhadap masalah-masalah yang akan dibahas pada bab-bab selanjutnya. Pada bab ini terdiri atas 7 (tujuh) sub bab yakni latar belakang, perumusan masalah, tujuan penulisan, manfaat penulisan, metode penulisan, keaslian penulisan, sistematika.

BAB II : HUKUM PERJANJIAN SECARA UMUM

Di dalam bab ini penulis membahas tentang Pengertian Umum Tentang Perjanjian, Objek dan Subjek Perjanjian, Lahirnya Perjanjian, Asas-asas Perjanjian, dan Hapusnya Perjanjian.

BAB III KAJIAN HUKUM TENTANG JUAL-BELI RUMAH SECARA KREDIT PEMILIKAN RUMAH (KPR)

Di dalam bab ini penulis akan menguraikan tentang Perjanjian Jual-Beli Kredit Pemilikan Rumah, Syarat Sahnya Suatu Perjanjian Jual-Beli Kredit Pemilikan Rumah, Subjek dan Objek Perjanjian Jual-Beli Kredit Pemilikan Rumah, Hak dan Kewajiban para Pihak dalam Perjanjian Jual-Beli Kredit Pemilikan Rumah, Berakhirnya Perjanjian Jual-Jual-Beli Kredit Pemilikan Rumah.

BAB IV: PERANAN DEVELOPER DALAM PERJANJIAN JUAL-BELI RUMAH MELALUI KREDIT PEMILIKAN RUMAH (KPR).


(27)

Di dalam bab ini penulis akan berusaha menjelaskan dengan urutan sebagai berikut: Syarat Sahnya Perjanjian Kredit Pemilikan Rumah (KPR) antara Pihak Pembeli dengan Pihak Developer, Pelaksanaan Perjanjian Kredit Pemilikan Rumah (KPR) oleh Pihak Pembeli kepada Pihak Developer, dan Peran Developer dalam Perjanjian Jual-Beli Rumah secara Kredit Pemilikan Rumah (KPR) Kepada Pihak Pembeli dan Pihak Bank.

BAB V : KESIMPULAN DAN SARAN

Bab ini menguraikan tentang kesimpulan dari hal-hal yang telah diuraikan dan beberapa saran mengenai peranan developer dalam perjanjian jual-beli rumah secara kredit pemilikan rumah (KPR).


(28)

BAB II

HUKUM PERJANJIAN SECARA UMUM A. Pengertian Umum Tentang Perjanjian

Sebelum penulis menguraikan apa itu perjanjian, ada baiknya jika penulis membicarakan dulu apa yang dimaksud dengan perikatan. Perikatan melahirkan kewajiban dalam lapangan harta kekayaan. Rumusan tersebut membawa konsekuensi bahwa seluruh harta kekayaan seseorang atau badan yang di akui oleh badan hukum, akan dipertaruhkan dan di jadikan jaminan atas setiap perikatan orang perorangan dan atau badan hukum tersebut.9

Perikatan yang bersumber dari Undang-Undang semata-mata adalah perikatan yang dengan terjadinya peristiwa-peristiwa tertentu, ditetapkan melahirkan suatu hubungan hukum diantara pihak-pihak yang bersangkutan, terlepas dari kemauan pihak-pihak tersebut. Perikatan yang bersumber dari Undang-Undang sebagai akibat dari perbuatan orang maksudnya ialah bahwa dengan dilakukannya serangkaian tingkah laku oleh seseorang, maka Undang-Undang melekatkan akibat hukum berupa perikatan terhadap orang tersebut. Tingkah laku seseorang tadi mungkin perbuatan yang menurut hukum (di

Perjanjian adalah sumber dari perikatan. Lahirnya suatu perikatan dapat dibagi atas dua yaitu perikatan yang lahir dari perjanjian dan perikatan yang lahir dari Undang-Undang.

9

Kartini Muljadi, Gunawan Widjaja, Perikatan yang Lahir dari Undang-Undang, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2003, hal 1


(29)

bolehkan Undang-Undang) atau mungkin pula merupakan perbuatan yang

tidak di bolehkan Undang-Undang (melawan hukum).

10

Perikatan yang lahir dari perjanjian pada umumnya yang paling

banyak terjadi dalam kehidupan manusia sehari-hari, dan yang ternyata juga

banyak di pelajari oleh ahli hukum, serta dikembangkan secara luas oleh

para legislator, para praktisi hukum, serta juga para cendikiawan hukum,

menjadi aturan hukum positif yang tertulis, yurisprudensi dan

doktrin-doktrin hukum yang dapat kita temui dari waktu ke waktu.

Perikatan yang

lahir dari Undang-Undang diatur dalam Pasal 1352-1353 KUHpdt.

11

Berbeda

dengan perikatan yang lahir dari Undang-Undang, perikatan yang lahir dari

perjanjian ini tidak mungkin terjadi tanpa dikehendaki oleh para pihak yang

terlibat atau membuat perjanjian tersebut, sedangkan perikatan yang lahir

dari Undang-Undang yang menerbitkan kewajiban bagi salah satu pihak

dalam perikatan tersebut, meskipun sesungguhnya para pihak tidak

menghendakinya.

12

Perikatan dan perjanjian menunjuk pada dua hal yang berbeda.

Perikatan adalah suatu istilah atau pernyataan yang bersifat abstrak, yang

10

Ibid, hal 7-8

11

Kartini Muljadi, Gunawan Widjaja, perikatan yang lahir dari perjanjian, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta,2003

12


(30)

menunjuk pada hubungan hukum dalam lapangan harta kekayaan pada dua

atau lebih orang atau

pihak, dimana hubungan hukum tersebut melahirkan

kewajiban pada salah satu pihak yang terlibat dalam hubungan hukum tersebut.13

Perjanjian merupakan sumber dari perikatan. Perjanjian melahirkan perikatan, yang menciptakan salah satu pihak atau lebih pihak dalam perjanjian. Kewajiban yang dibebankan pada debitor dalam perjanjian, memberikan pada kreditor dalam perjanjian untuk menuntut pelaksanaan prestasi dalam perikatan yang lahir dari perjanjian.14

Jika kita lihat kembali dengan seksama pada Pasal 1313 KUHPdt tersebut ternyata menegaskan kembali bahwa perjanjian mengakibatkan seseorang mengikatkan dirinya terhadap orang lain. Ini berarti dari suatu perjanjian lahirlah kewajiban atau prestasi dari satu atau lebih orang (pihak) kepada satu atau lebih orang (pihak) lainnya, yang berhak atas prestasi tersebut. Rumusan tersebut memberikan konsekuensi hukum bahwa dalam suatu perjanjian akan selalu ada dua pihak, dimana satu pihak adalah pihak yang wajib berprestasi (debitor) dan pihak lainnya adalah pihak yang berhak atas prestasi tersebut (kreditor). Masing-masing pihak tersebut dapat terdiri atas satu atau lebih orang, bahkan dengan

13

Ibid,hal 1

14


(31)

berkembangnya ilmu hukum, pihak tersebut dapat juga terdiri dari badan hukum.15

Pasal ini menerangkan secara sederhana tentang pengertian perjanjian yang menggambarkan tentang adanya dua pihak yang saling mengikatkan diri. Pengertian ini sebenarnya tidak begitu lengkap, tetapi dengan pengertian ini sudah jelas bahwa dalam perjanjian itu terdapat satu pihak mengikatkan diri kepada pihak lain.

Perjanjian adalah salah satu sumber perikatan. Untuk lebih jelasnya lagi kita dapat melihat Pasal 1313 KUHPdt yang berbunyi sebagai berikut :

“suatu persetujuan adalah suatu perbuatan dengan nama satu orang atau lebih mengikatkan diri terhadap satu orang atau lebih”

16

Ketentuan Pasal ini dikatakan kurang memuaskan karena dianggap memiliki beberapa kelemahan. Kelemahan-kelemahan tersebut adalah seperti diuraikan sebagai berikut 17

a.Hanya menyangkut sepihak saja. Hal ini diketahui dari perumusan “satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih lainnya”. Kata kerja “mengikatkan” sifatnya hanya datang dari satu

:

15

Ibid, Hal 92

16

Prof. Dr. Ahmadi Miru, S.H, M.S dan Sakka Pati S.H, M.H, Hukum Perikatan

Penjelasan Makna Pasal 1233 sampai 1456 BW,PT RajaGrafindo Persada,Jakarta, 2008, hal 63

17

Abdulkadir Muhammad SH, Hukum Perikatan, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2000, hal 78


(32)

pihak saja. Tidak dari kedua belah pihak. Seharusnya perumusan itu “saling mengikatkan diri”, jadi ada konsensus antara pihak-pihak.

b. Kata perbuatan mencakup juga tanpa konsensus. Dalam pengertian “perbuatan” termasuk juga tindakan melaksanakan tugas tanpa kuasa (zaakwaarneming), tindakan melawan hukum (onrechtmatige daad) yang tidak mengandung suatu konsensus seharusnya dipakai kata “persetujuan”.

c. Pengertian perjanjian terlalu luas. Pengertian perjanjian di Pasal tersebut terlalu luas, karena mencakup juga pelangsungan perkawinan, janji kawin, yang diatur di lapangan hukum keluarga. Padahal yang di maksud adalah hubungan antara kreditur dan debitur dalam lapangan harta kekayaan saja. Perjanjian yang dikehendaki oleh Buku Ketiga KUHPdt sebenarnya hanyalah perjanjian yang bersifat kebendaan, bukan perjanjian yang bersifat personal.

d.Tanpa menyebut tujuan alam perumusan Pasal itu tidak disebutkan tujuan mengadakan perjanjian, sehingga pihak-pihak mengikatkan diri itu tidak jelas untuk apa.

Atas dasar alasan-alasan yang dikemukakan di atas, maka perlu dirumuskan kembali apa yang dimaksud dengan perjanjian itu. Berdasarkan alasan-alasan tersebut, maka “perjanjian adalah sautu persetujuan dengan mana


(33)

dua orang atau lebih saling mengikatkan diri untuk melaksanakan suatu hal dalam lapangan kekayaan”. Hukum yang mengatur tentang perjanjian ini disebut hukum perjanjian (law of contrac). Perumusan ini erat kaitannya dengan pembicaraan tentang syarat-syarat perjanjian yang diatur dalam Pasal 1320 KUHpdt yang akan dibicarakan kemudian.

Perjanjian juga mengandung pengertian suatu hubungan kekayaan harta benda antara dua orang atau lebih yang memberikan kekuatan hak pada satu pihak untuk memperoleh prestasi dan sekaligus mewajibkan pada pihak yang lain untuk menunaikan prestasi.

Kalau demikian perjanjian adalah hubungan hukum yang telah ada ketentuan Undang-Undangnya, dimana salah satu pihak atau lebih mengikatkan diri dengan satu pihak atau lebih dalam suatu lingkup harta kekayaan dengan memperoleh keuntungan serta memenuhi suatu syarat sahnya perjanjian. Setiap perjanjian baik tertulis maupun tidak tertulis adalah sah dan mengikat bagi kedua belah pihak sehingga masing-masing dari mereka harus menerima hak dan menjalankan kewajiban sesuai dengan kesepakatan yang tertuang dalam suatu perjanjian tersebut.

Di dalam suatu perjanjian hubungan hukum antara pihak yang satu dengan pihak yang lain tidak bisa timbul dengan sendirinya. Hubungan itu tercipta oleh karena adanya “tindakan hukum”. Tindakan atau perbuatan hukum


(34)

yang dilakukan oleh pihak-pihak yang menimbulkan hubungan hukum perjanjian,sehingga terhadap satu pihak diberi hak oleh pihak yang lain untuk memperoleh prestasi sedangkan pihak yang lain itupun menyediakan diri dibebani dengan kewajiban untuk menunaikan prestasi.

Dalam perjanjian, apa yang di perjanjikan tidak hanya merupakan untuk melakukan sesuatu hal saja, tetapi juga dapat berupa menyerahkan suatu barang, atau tidak berbuat sesuatu hal saja, hal ini merupakan prestasi dari suatu perjanjian.18

Perjanjian dapat dibedakan menurut berbagai cara. Pembedaan tersebut adalah sebagai berikut : 19

1. Pejanjian Timbal Balik

Perjanjian timbal balik adalah perjanjian yang menimbulkan kewajiban pokok bagi kedua belah pihak. Misalnya perjanjian jual-beli

2. Perjanjian Cuma-Cuma (Pasal 1314 KUHPdt)

Pasal 1314:

“suatu persetujuan dibuat dengan Cuma-Cuma atau atas beban, suatu persetujuan dengan Cuma-Cuma adalah suatu persetujuan dengan mana pihak yang satu memberikan suatu keuntungan kepada, pihak yang lain,

18

Ibid, hal 78-79

19

Prof. Dr. Mariam Darus Badrulzaman, SH, Prof. Dr. Sutan Remi Syahdeini, SH, Prof. Dr. H. Fatturahman Djamil, MA, Taryana Soenandar, SH, Kompilasi Hukum Perikatan,Bandung, 2001, Hal 66-69


(35)

tanpa menerima suatu manfaat bagi dirinya sendiri. Suatu persetujuan atas beban, adalah suatu persetujuan yang mewajibkan masing-masing pihak memberikan sesuatu, berbuat sesuatu atau tidak berbuat sesuatu”

Perjanjian Cuma-Cuma adalah perjanjian yang memberikan keuntungan bagi salah satu pihak saja, misalnya hibah.

3. Perjanjian Atas Beban

Perjanjian atas beban adalah perjanjian dimana terhadap prestasi dari pihak yang satu selalu terdapat kontra prestasi dari pihak lain, dan antara kedua prestasi itu ada hubungannya menurut hukum.

4. Pejanjian Bernama (Benoemd)

Perjanjian khusus adalah perjanjian yang mempunyai nama sendiri, maksudnya ialah bahwa pejanjian-perjanjian tersebut diatur dan diberi nama oleh pembentuk Undang-Undang berdasarkan tipe yang paling banyak terjadi sehari-hari. Perjanjian khusus terdapat dalam Bab V sampai dengan Bab XVII KUHPdt.

5. Perjanjian Tidak Bernama

Diluar perjanjian bernama, tumbuh pula perjanjian tidak bernama, yaitu perjanjian-perjanjian yang tidak diatur di dalam KUHPdt, tetapi terdapat di dalam masyarakat. Jumlah perjanjian ini tidak terbatas dengan nama yang


(36)

disesuaikan dengan kebutuhan pihak-pihak yang mengadakannya, seperti perjanjian kerjasama, perjanjian pemasaran, perjanjian pengelolaan. Lahirnya perjanjian ini di dalam praktek adalah berdasarkan asas kebebasan berkontrak mengadakan perjanjian atau partij otonomi.

6. Perjanjian Obligatoir

Perjanjian obligatoir adalah perjanjian dimana pihak-pihak sepakat mengikatkan diri untuk melakukan penyerahan suatu benda kepada pihak lain. Menurut KUHPdt perjanjian jual-beli saja belum lagi mengakibatkan beralihnya hak milik atas suatu benda dari penjual kepada pembeli. Fase ini baru merupakan kesepakatan (konsensual) dan harus dilakukan dengan perjanjian penyerahan (perjanjian kebendaan).

7. Perjanjian Kebendaan (Zakelijk)

Perjanjian kebendaan adalah perjanjian dengan mana seseorang menyerahkan haknya atas suatu benda kepada pihak lain, yang memberikan kewajiban (oblige) pihak itu untuk menyerahkan benda tersebut kepada pihak lain (lavering,transfer). Penyerahan itu sendiri merupakan perjanjian kebendaan. Dalam hal perjanjian jual-beli benda tetap, maka perjanjian itu belinya disebutkan juga perjanjian jual-beli sementara (voorling

koopcontract) untuk perjanjian jual-beli benda-benda bergerak, maka


(37)

8. Perjanjian Konsensual

Perjanjian konsensual adalah perjanjian dimana diantara kedua belah pihak telah tercapai persesuaian kehendak untuk mengadakan perikatan. Menurut KUHPdt perjanjian ini sudah mempunyai kekuatan mengikat (Pasal 1338 KUHPdt).

9. Perjanjian Riil

Di dalam KUHPdt ada juga perjanjian-perjanjian yang hanya berlaku sesudah terjadi penyerahan barang, misalnya perjanjian penitipan barang (Pasal 1694 KUHpdt), pinjam pakai (Pasal 1740 KUHPdt). Perjanjian yang terakhir ini dinamakan perjanjian riil. Perbedaan antara perjanjian konsensual dan riil ini adalah sisa dari hukum Romawi yang untuk perjanjian-perjanjian tertentu diambil alih oleh Hukum Perdata kita.

10. Perjanjian Liberatoir

Perjanjian dimana para pihak membebaskan diri dari kewajiban yang ada, misalnya pembebasan hutang (Kwijtschelding) Pasal 1438 KUHPdt.

11. Perjanjian Pembuktian (Bewijsovereenkomst)

Perjanjian dimana para pihak menentukan pembuktian apakah yang berlaku diantara mereka.


(38)

Perjanjian yang objeknya ditentukan kemudian, misalnya perjanjian asuransi Pasal 1774 KUHPdt.

13. Perjanjian Publik

Perjanjian publik yaitu perjanjian yang sebagian atau seluruhnya di kuasai oleh hukum publik, karena salah satu pihak yang bertindak adalah pemerintah, dan pihak lainnnya swasta. Diantara keduanya terdapat hubungan atasan dengan bawahan, (subordinated jadi tidak berada dalam kedudukan yang sama (Co-ordinated), misalnya perjanjian ikatan dinas.

14. Perjanjian Campuran (contractus sui Generis)

Perjanjian campuran ialah perjanjian yang mengandung berbagai unsur perjanjian, misalnya pemilik hotel yang menyewakan kamar (sewa-menyewa) tapi pula menyediakan makanan (jual-beli) dan juga memberikan pelayanan. Terhadap perjanjian campuran itu terdapat berbagai paham, paham pertama mengatakan bahwa ketentuan-ketentuan mengenai perjanjian khusus di terapkan secara analogis sehingga setiap unsur dari perjanjian khusus tetap ada (contractus kombinasi) dan paham kedua mengatakan ketentuan-ketentuan yang dipakai adalah ketentuan-ketentuan dari perjanjian yang paling menentukan (teori absorsi).


(39)

Unsur-unsur perjanjian menurut Asser dalam perjanjian terdiri dari bagian inti (essensialia) dan bagian bukan inti (Naturaliadan Accidentalia). Unsur

Essensialia yaitu unsure yang mutlak harus ada. Unsur ini sangat erat berkaitan dengan syarat sahnya perjanjian (Pasal 1320 KUHPerdata) dan untuk mengetahui ada atau tidaknya perjanjian serta untuk mengetahui jenis perjanjiannya. Contoh : Kesepakatan. Unsur Naturalia yaitu unsure yang lazimnya ada/sifat bawaan perjanjian, sehingga secara diam-diam melekat pada perjanjian, misalnya : Menjamin terhadap cacat tersembunyi, Unsur Accidentalia yaitu unsur yang harus tegas diperjanjikan, Misalnya Pemilihan tempat kedudukan.20

Subjek dalam hukum perjanjian termasuk subyek hukum yang di atur adalah KUHPerdata. Sebagaimana diketahui bahwa hukum perdata mengkualifikasi subjek hukum terdiri dari dua bagian yaitu manusia dan badan hukum. Sehingga yang membentuk perjanjian menurut hukum perdata bukan hanya manusia secara individual ataupun kolektif, tetapi juga badan hukum atau

rechtpersoon. Badan hukum itu sendiri dapat di katakan sesuatu yang menjadi pendukung hak dan kewajiban.21

20

Handri raharjo, SH, Hukum Perjanjian di Indonesia, Pustaka Yustisia, Yogyakarta, 2009, hal 46

21

KamusHukum, J.C.T Simorangkir, sinar Grafika, Jakarta,2000, hal. 111

Menurut R. Surbekti, badan hukum pada pokoknya adalah suatu badan atau perkumpulan yang dapat memiliki hak-hak dan kewajiban melakukan perbuatan seperti orang atau manusia, serta memiliki kekayaan sendiri, dapat menggugat atau digugat didepan hakim. R. Rochmat


(40)

Soemitro mengemukakan badan hukum adalah suatu badan yang dapat mempunyai harta, hak serta kewajiban seperti orang pribadi. Contoh badan hukum itu sendiri adalah koperasi, yayasan dan PT.

Subyek yang memenuhi manusia harus memenuhi syarat yang ditentukan oleh KUHPerdata. Salah satunya adalah kecakapan untuk membuat suatu perikatan. Kecakapan dalam hal ini harus mampu dan berwenang untuk melakukan perjanjian. hal ini telah diatur dalam Pasal 1329 KUHPerdata. Dengan demikian orang tersebut harus sudah dewasa, sehat pikirannya, tidak dibawah pengampuan dan tidak ada larangan atau batasan oleh peraturan hukum untuk melakukan perbuatan hukum yang sah. Dalam KUHPerdata kedewasaan seseorang diatur dalam Pasal 330 KUHPerdata yang berbunyi belum dewasa adalah meraka yang belum mencapai umur genap dua puluh satu tahun, dan tidak lebih dulu kawin. Dalam Pasal tersebut di jelaskan bahwa seseorang di katakan telah dewasa apabila telah berusia 21 tahun atau telah menikah.22

Dalam KUHPerdata juga ada larangan bagi sebagian pihak untuk melakukan perjanjian. walaupun perjanjian dalam pihak telah dewasa dan

Dalam Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan dalam Pasal 7 dijelaskan bahwa seseorang boleh melangsungkan perkawinan apabila pihak pria telah mencapai umur 19 tahun dan pihak wanita telah mencapai umur 16 tahun.

22

Kitab Undang-Undang hukum perdata, R. Surbekti dan R.Tjitrosubidio, Pradyana Paramita, Jakarta, 1992, Pasal 330.


(41)

memiliki kata sepakat, tetapi ada larangan dalam KUHPerdata. Dalam Pasal 1476 KUHPerdata melarang jual-beli antara suami istri apabila diantara mereka ada perjanjian kawin (huwelijke woorwaden) yang mengakibatkan pisahnya harta kekayaan (sceiding van goederen). Pasal 1468 KUHPerdata melarang hakim, jaksa, panitera, pengacara, jurusita dan notaris untuk memiliki hak-hak dan piutang-piutang yang menjadi perkara dimuka pengadilan. Pasal 1469 KUHPerdata melarang pegawai jabatan umum dalam suatu penjualan, ikut serta membeli barang-barang yang di jual itu, baik langsung maupun dengan perantara orang lain, kecuali ada izin istimewa dari presiden khusus untuk benda-benda bergerak. Pasal 1470 KUHPerdata begitu pula mereka di larang menjadi pembeli pada penjual di bawah tangan secara langsung atau perantara, juga dilarang menjadi pembeli terhadap pengurus-pengurus barang-barang milik Negara. Namun dengan izin presiden mereka bebas dari larangan-larangan tersebut.

Objek dalam perjanjian adalah sesuai dengan apa yang tertera dalam kontrak atau perjanjian yang telah disepakati. Misalnya perjanjian jual-beli mobil, maka yang menjadi objek perjanjian tersebut adalah mobil. Dalam perjanjian sewa menyewa rumah, maka yang menjadi objek adalah rumah. Oleh karena itu objek perjanjian dapat dilihat dari isi perjanjian itu.

Menurut Pasal 1457 KUHPerdata memakai istilah zaak (barang/benda) untuk menentukan apa yang menjadi objek perjanjian. objek dari perjanjian ialah tidak hanya barang-barang yang di miliki juga suatu hak atas barang yang bukan


(42)

hak milik. Pasal 1332 KUHPerdata mengatakan yang menjadi pokok persetujuan adalah barang-barang yang dapat diperdagangkan. Juga Pasal 1333 KUHPerdata mengatakan suatu perjanjian harus mempunyai pokok suatu barang yang paling sedikit ditentukan jenisnya, hal ini terkait dengan syarat ketiga dari Pasal 1320 KUHPerdata yaitu suatu hal terentu, yang sahnya suatu perjanjian itu harus menyangkut objek perjanjian dengan benda-benda atau barang-barang tertentu. Menurut Pasal 1334 KUHPerdata barang-barang yang akan ada dikemudian hari juga dapat menjadi objek persetujuan, kecuali warisan yang terbuka.23

a. Syarat tentang barang

Syarat-syarat objektif ada beberapa macam yaitu :

Suatu perjanjian haruslah mempunya objek tertentu, sekurang-kurangnya dapat ditentukan bahwa objek tertentu itu dapat berupa benda yang sekarang ada dan nanti akan ada.

1) Barang itu adalah barang yang dapat diperdagangkan.

2) Barang-barang yang di pergunakan untuk kepentingan umum antara lain seperti jalan umum, pelabuhan umum, gedung-gedung umum dan sebagainya tidaklah dapat dijadikan objek perjanjian.

3) Dapat di tentukan jenisnya.

23


(43)

4) Barang yang akan datang.

Pasal 1332

“Hanya barang-barang yang dapat di perdagangkan saja dapat menjadi pokok persetujuan-persetujuan

5) Objek perjanjian

Pasal 1333:

“Suatu persetujuan harus mempunyai pokok suatu barang yang paling sedikit ditentukan jenisnya.

Tidaklah menjadi halangan bahwa jumlah barang tidak tentu asal saja jumlah itu terkemudian dapat ditentukan atau dihitung”

6) Barang yang akan ada.

Pasal 1334:

“Barang yang baru, akan ada di kemudian hari dapat menjadi pokok suatu persetujuan. Tetapi tidaklah diperkenankan untuk melepaskan suatu warisan yang belum terbuka, ataupun untuk meminta diperjanjikan sesuatu hal mengenai warisan itu, sekalipun dengan sepakatnya orang yang dinantinya akan meninggalkan warisan yang menjadi pokok persetujuan itu; dengan tidak mengurangi ketentuan-ketentuan Pasal 169, Pasal 167 dan Pasal 178 yang dilarang oleh Undang-Undang untuk dijadikan pokok perjanjian adalah benda-benda yang berada diluar perdagangan dan warisan yang belum terbuka.

b. Causa dan ketertiban umum 1. Perjanjian tanpa kausa


(44)

Pasal 1335:

“Suatu persetujuan tanpa sebab, atau telah dibuat karena sesuatu sebab yang palsu atau terlarang, tidak mempunyai kekuatan”

2. Sebab yang halal Pasal 1336:

“Jika tak dinyatakan sesuatu sebab, tetapi ada suatu sebab yang halal, ataupun jika ada sesuatu sebab lain, dari pada yang dinyatakan, persetujuannya namun demikian adalah sah”

3. Sebab terlarang Pasal 1337 :

”Suatu sebab adalah terlarang, apabila dilarang oleh Undang-Undang, atau apabila berlawanan dengan kesusilaan baik atau ketertiban umum”24

Misalnya apabila seseorang membeli tanah karena mencegah nilai uangnya jangan turun tidak menjadi perhatian hukum. Yang menjadi perhatian hukum

Undang-Undang tidak memberikan pengertian mengenai “sebab”

(oorzaak, causa). Sudah jelas bahwa yang dimaksud dengan kausa bukanlah

hubungan sebab akibat, sehingga pengertian kausa disini tidak mempunyai hubungan sama sekali dengan ajaran kausaliteit. Yang dimaksud dengan pengertian kausa bukan sebab yang mendorong para pihak untuk mengadakan perjanjian, karena apa yang menjadi motif dari seseorang untuk mengadakan perjanjian itu menjadi perhatian hukum.

24

Prof. Dr. Mariam Darus Badrulzaman, SH, Prof. Dr. Sutan Remi Syahdeini, SH, Prof. Dr. H. Fatturahman Djamil, MA, Taryana Soenandar, SH, op.cit, hal 79-81


(45)

adalah bahwa dengan membeli tanah tersebut si pembeli ingin memiliki tanah itu dan si penjual ingin memperoleh uang dari penjualan tersebut.25

Menurut yurisprudensi yang di tafsirkan dengan kausa adalah isi atau maksud dari perjanjian. Melalui syarat kausa, di dalam praktek maka ia merupakan upaya untuk menempatkan perjanjian di bawah pengawasan Hakim. Hakim dapat menguji apakah tujuan dari perjanjian tidak bertentangan dengan Undang-Undang ketertiban umum dan kesusilaan (Pasal 1335 sampai dengan Pasal 1337 KUHpdt).26

B. Syarat Sahnya Perjanjian

Untuk sahnya suatu perjanjian di dalam kitab Undang-Undang hukum perdata diperlukan empat (4) syarat:

1. Adanya kata sepakat dari mereka yang mengadakan perjanjian.

2. Adanya kecakapan untuk membuat perjanjian (perikatan).

3. Perjanjian yang diadakan harus mempunyai objek tertentu.

4. Yang diperjanjikan itu adalah suatu sebab yang halal.27

Ad.1 Kesepakatan Mereka Yang Mengikatkan diri.

25

Ibid, hal 81

26

Ibid

27

Mariam Darus Badrulzaman, Penerbit Alumni bandung,KUHPerdata buku III Hukum


(46)

Sepakat maksudnya adalah bahwa dua belah pihak yang mengadakan perjanjian setuju atau seiya sekata mengenai hal-hal pokok dari perjanjian, dengan kata lain mereka saling menghendaki sesuatu yang sama secara timbal balik.

Adanya kemauan atas kesesuaian kehendak oleh kedua belah pihak yang membuat perjanjian, jadi tidak boleh hanya kemauan satu pihak saja, ataupun terjadinya kesepakatan oleh karena tekanan salah satu pihak yang mengakibatkan adanya cacat bagi perwujudan kehendak. Kesepakatan itu di tatanya bebas, artinya tidak ada paksaan, tekanan dari pihak manapun, betul-betul atas kemauan sukarela pihak-pihak. Berpedoman kepada ketentuan Pasal 1321KUHPerdata bahwa: Tiada sepakat yang sah apabila sepakat itu diberikan karena : kekhilafan atau kekeliruan (dwaling), pemerasan dan paksaan (dwang), penipuan (bedrog)”.

Unsur kekhilafan dan kekeliruan di bagi dalam dua bagian, yakni kekhilafan mengenai orangnya di namakan error in persona. Dan kekhilafan mengenai barangnya dinamakan error in subsantia. Mengenai kekhilafan/kekeliruan yang dapat dibatalkan, harus mengenai intisari pokok perjanjian. jadi harus mengenai objek atau prestasi yang dikehendaki. Mengenai kekhilafan/kekeliruan mengenai orangnya tidak menyebabkan perjanjian dapat batal (1322 KUHPdt).

Paksaan (dwang) terjadi jika seseorang memberikan persetujuannya karena ia takut pada suatu ancaman. Dalam hal ini paksaan tersebut harus benar-benar menimbulkan ketakutan bagi yang menerima paksaan, misalnya ia akan di aniaya


(47)

atau akan dibuka rahasianya jika ia tidak menyetujui perjanjian (Pasal 1324 KUHPdt).

Mengenai penipuan (bedrog) ini terjadi,apabila menggunakan perbuatan secara muslihat sehingga pada pihak lain menimbulkan suatu gambaran yang tidak jelas dan benar mengenai suatu hal. Untuk mengatakan terjadi suatu penipuan, maka harus kompleks dari muslihat-muslihat itu.

Surbekti mengatakan penipuan (bedrog) terjadi apabila suatu pihak dengan sengaja memberikan keterangan yang tidak benar disertai dengan kelicikan-kelicikan, sehingga pihak lain terbujuk karenanya untuk memberi perizinan.28

Subjek yang melakukan perjanjian harus cakap (bekwaam) merupakan syarat umum untuk melakukan perbuatan hukum secara sah, yaitu harus sudah Suatu penuipuan adalah apabila ada keterangan-keterangan yang tidak benar (palsu) di sertai dengan kelicikan-kelicikan atau tipu muslihat harus ada rangkaian kebohongan-kebohongan yang mengakibatkan orang jadi percaya, dalam hal ini pihak tersebut bertindak secara aktif untuk menjerumuskan seseorang. Misalnya, perbuatan memperjual-belikan sebuah rumah yang bukan merupakan hak miliknya dengan memalsukan surat-surat.

Ad.2. Kecakapan Para Pihak Pembuat Perjanjian

28


(48)

dewasa, sehat akal pikiran dan tidak dilarang oleh suatu peraturan perUndang-Undangan untuk melakukan suatu perbuatan tertentu.

Subjek hukum terbagi dua yaitu manusia dan badan hukum. Dalam hal ini kita akan membahas subjek hukum manusia. Menurut Pasal 1329 KUHPerdata “setiap orang adalah cakap untuk membuat perikatan, jika oleh Undang-Undang tidak di nyatakan tidak cakap”.

Jadi menurut ketentuan Pasal di atas, semua orang di anggap mampu atau cakap untuk mengikatkan diri dalam suatu persetujuan. Hal ini memberikan kebebasan bagi setiap orang untuk melakukan perbuatan hukum. Ketidakmampuan seseorang untuk melakukan perbuatan hukum harus di nyatakan oleh Undang-Undang.

Ad.3. Mengenai suatu hal tertentu

Mengenai suatu hal tertentu, maksudnya membicarakan tentang objek perjanjian-perjanjian tertentu. Mengenai perjanjian yang menyangkut tentang barang, paling sedikit di tentukan jenisnya “bahwa barang itu sudah ada atau sudah berada di tangan si berutang pada waktu perjanjian dibuat, tidak diharuskan Undang-Undang”. Mengenai jumlahnya juga dapat apa yang menjadi objeknya supaya perjanjian itu dapat dilaksanakan dengan baik.


(49)

Dalam perjanjian pinjam meminjam, kalau seserorang meminjam uang kepada orang lain harus jelas berupa benda uang yang dipinjamkan dan harus jelas kapan harus dikembalikan uang tersebut. Demikian pula dengan perjanjian kredit, pihak pemberi kredit atau pihak bank harus menyebutkan secara jelas jumlah uang yang di pinjamkan dan harus dikembalikan uang tersebut.

Suatu perjanjian yang tidak memiliki atau memenuhi syarat seperti di atas berakibat perjanjian itu batal demi hukum, artinya perjanjian itu tidak ada atau tidak terjadi.

Ad.4. Suatu sebab yang halal

Pengertian sebab yang halal pada syarat keempat ini untuk suatu perjanjian tiada lain daripada isi perjanjian. Jadi dalam hal ini harus di hilangkan salah sangka bahwa yang dimaksud sebab disini adalah suatu sebab yang menyebabkan seseorang membuat perjanjian tersebut. Bukan hal ini yang dimaksud oleh Undang-Undang dengan sebab yang halal.

Sesuatu yang menyebabkan seseorang membuat perjanjian atau dorongan jiwa untuk membuat suatu perjanjian pada asasnya tidak di hiraukan oleh Undang-Undang. Undang-Undang hanya menghiraukan tindakan orang-orang dalam masyarakat. Jadi yang dimaksud dengan sebab atau causa dari suatu perjanjian adalah isi perjanjian itu sendiri.


(50)

Yang dimaksud dengan halal atau yang diperkenankan Undang-Undang menurut Pasal 1337 KUHPerdata adalah persetujuan yang tidak bertentangan dengan Undang-Undang, ketertiban umum dan kesusilaan. Akibat hukum terhadap perjanjian bercausa tidak halal, perjanjian tersebut batal demi hukum atau perjanjian itu dianggap tidak pernah ada. Dengan demikian tidak ada dasar untuk menuntut pemenuhan perjanjian dimuka Hakim. Dalam hal syarat sahnya suatu perjanjian sebagaimana di atas, harus di bedakan antara syarat objektif dan syarat subjektif, bahwa dalam syarat objektif tidak di penuhi maka perjanjian batal demi hukum yang dianggap dari semula tidak pernah ada perjanjian atau perjanjian tersebut tidak pernah di lahirkan. Dengan kata lain bahwa tujuan yang mengadakan perikatan semula adalah gagal, maka dari itu tidak ada suatu alasan bagi pihak untuk menuntut dimuka hakim.

Dalam hal syarat subjektif tidak dipenuhi, perjanjian bukan batal demi hukum tetapi salah satu pihak mempunyai hak untuk membatalkan perjanjian itu. Dalam hal ini yang berhak meminta pembatalan adalah yang merasa dirinya di tipu oleh suatu hal.

Dari keempat syarat sahnya perjanjian di atas tidak ada diberikan suatu formalitas yang tertentu disamping kata sepakat para pihak mengenai hal-hal pokok perjanjian tersebut. Tetapi ada pengecualiannya terhadap Undang-Undang yang dibutuhkan bahwa formalitas tersebut untuk beberapa perjanjian baru dapat


(51)

berlaku dengan sautu formalitas tertentu yang dinamakan perjanjian formal. Misalnya perjanjian perdamaian harus dilakukan secara tertulis.

C. Asas-Asas Yang Terkandung Dalam Perjanjian

Di dalam Buku III KUHPerdata mengatur mengenai asas dalam Hukum Perjanjian. Asas-asas tersebut adalah sebagai berikut:

a. Asas Kebebasan berkontrak

Asas ini menyatakan bahwa setiap orang di perbolehkan mengadakan perjanjian yang berupa dan berisi apa saja asalkan tidak bertentangan dengan kesusilaan dan ketertiban umum. Seperti yang diketahui di halaman sebelumnya bahwa asas ini diatur dalam Pasal 1338 KUHperdata

b. Asas Konsensualisme

Asas ini diatur dalam Pasal 1320 dan Pasal 1338 KUHPerdata. Dalam asas ini di jelaskan bahwa perjanjian itu merupakan kesepakatan bersama dari dua belah pihak. Suatu perjanjian tidak dapat ditarik kembali selain dengan kesepakatan kedua belah pihak, atau karena alasan-alasan yang oleh Undang-Undang di nyatakan cukup untuk itu. Suatu perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik.


(52)

Seseorang yang mengadakan perjanjian dengan pihak lain harus menumbuhkan rasa saling percaya. Tanpa ada kepercayaan, maka perjanjian itu tidak akan mungkin akan diadakan oleh para pihak.

d. Asas Kekuatan Mengikat

Dalam perjanjian terkandung suatu asas kekuatan mengikat. Terikatnya para pihak pada perjanjian itu tidak semata-mata terbatas pada apa yang di perjanjikan tetapi juga terhadap unsur lain sepanjang di kehendaki oleh kebiasaan dan kepatutan serta moral.

e. Asas Persamaan Hukum

Asas ini menempatkan para pihak di dalam persamaan derajat, tidak ada perbedaan, walaupun perbedaan warna kulit, bangsa, kekayaan, ras, dan lain sebagainya. Masing-masing pihak harus saling menghormati sesama makhluk tuhan.

f. Asas Keseimbangan

Asas ini menghendaki kedua belah pihak memenuhi dan melaksanakan perjanjian itu. Salah satu pihak menuntut prestasi, sedangkan pihak lainnya berkewajiban untuk memenuhi perjanjian tersebut.


(53)

Kepastian hukum ini terungkap dari kekuatan mengikat perjanjian itu yaitu sebagai Undang-Undang bagi para pihak.

h. Asas Moral

Asas ini berdasarkan kesusilaan atau moral seseorang sebagai panggilan dari hati nuraninya.

i. Asas Kepatutan

Asas ini di tuangkan dalam Pasal 1339 KUHPerdata. Asas kepatutan ini berkaitan dengan ketentuan mengenai isi perjanjian. melalui asas ini ukuran tentang hubungan ditentukan juga oleh rasa keadilan dalam masyarakat.

j. Asas Kebiasaan

Asas ini menyatakan bahwa perjanjian itu dapat timbul dikarenakan adanya kebiasaan yang berlaku dalam kehidupan masyarakat. Dari asas

ini timbul perjanjian-perjanjian yang tidak ada diatur dalam perdata

misalnya beli sewa.

29

29

Mariam Darus, Kompilasi Hukum Perikatan, Citra Aditya bakti, Bandung, 2001, Hal. 83-89


(54)

Jika dalam pembahasan mengenai musnahnya kebendaan yang

terutang sebagai salah satu alasan hapusnya perikatan, kita berbicara syarat

objektif dalam suatu perjanjian, maka dalam pembahasan mengenai

kebatalan dan pembatalan sebagai alasan untuk menghapus perikatan, kita

berbicara soal syarat subjek perjanjian. Tidak terpenuhinya syarat subjektif

yang dimaksudkan dalam angka 1 dan angka 2 Pasal 1320 KUHPdt,

memberikan alasan kepada salah satu pihak dalam perjanjian untuk

membatalkan perjanjian yang telah dibuat olehnya. Jadi pembatalan atas

suatu perjanjian dapat dimintakan jika tidak telah terjadi kesepakatan bebas

dari para pihak yang membuat perjanjian, baik karena telah terjadi

kekhilafan, paksaan atau penipuan pada salah satu pihak dalam perjanjian

pada saat perjanjian dibuat (Pasal 1321 sampai dengan Pasal 1328

KUHPdt) dan salah satu pihak dalam perjanjian tidak cakap untuk bertindak

dalam hukum (Pasal 1330 sampai dengan Pasal 1331 KUHPdt), dan atau

tidak memiliki kewenangan untuk melakukan tindakan atau perbuatan

hukum tertentu.

30

30

Gunawan Widjaja, Kartini Muljadi, Hapusnya Perikatan,PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2003, hal 185-186


(55)

Dalam hal ini tidak terjadi kesepakatan secara bebas, maka pihak yang telah khilaf, dipaksa, ditipu tersebut, memiliki hak untuk meminta pembatalan perjanjian pada saat ia mengetahui telah terjadi kekhilafan, paksaan, atau penipuan pada dirinya. Sedangkan dalam hal terdapat ketidakcakapan pada salah satu pihak dalam perjanjian, maka pihak yang tidak cakap (setelah ia cakap), dan atau wakilnya yang sah berhak untuk memintakan pembatalan perjanjian yang tidak memenuhi kedua persyaratan subjektif tersebut, maka berarti perjanjian tersebut pun hapus demi hukum.31

Dari pelbagai Pasal dari KUHPdt dapat di simpulkan bahwa pengertian pembatalan perjanjian harus di gambarkan sebagai berikut : ada suatu pembatalan mutlak (absolute nietigheid), apabila suatu perjanjian harus dianggap batal, meskipun tidak di minta oleh suatu pihak. Dan perjanjian seperti ini dianggap tidak ada sejak semula dan terhadap siapaun juga. Batal mutlak adalah suatu perjanjian yang diadakan dengan tidak mengindahkan cara yang di kehendaki

Perjanjian yang dibuat tidak dengan kesepakatan bebas yaitu karena terjadi kekhilafan, paksaan dan penipuan, di dalam KUHPdt dalam rumusan Pasal 1449 secara tegas menyatakan bahwa perjanjian tersebut dapat dibatalkan, berdasarkan tuntutan. Ini berarti perjanjian membawa akibat bahwa perjanjian tersebut diancam dengan kebatalan, dan dapat dibatalkan oleh pihak yang telah mengalami kekhilafan

31


(56)

oleh Undang-Undang secara mutlak, misalnya suatu pemberian hadiah menurut KUHPdt yang tidak dilakukan dengan akte notaris (Pasal 1682 KUHPdt). Juga batal mutlak adalah suatu perjanjian yang causanya bertentangan dengan kesusilaan atau dengan ketertiban umum.


(57)

BAB III

KAJIAN HUKUM TENTANG JUAL-BELI RUMAH SECARA KREDIT PEMILIKAN RUMAH

A. Perjanjian Jual Beli Kredit Pemilikan Rumah

Kredit Pemilikan Rumah (KPR) adalah kredit yang diberikan oleh Bank kepada Debitur untuk di gunakan membeli rumah dan/atau berikut tanah guna di miliki dan di pergunakan sendiri. Perjanjian kredit pemilikan rumah itu sendiri adalah perjanjian yang di buat oleh pihak bank (kreditur) dengan nasabah (debitur) guna terlaksananya pelepasan KPR. Jadi KPR baru dapat terlaksana apabila telah terjadi akad kredit diantara para pihak.

Perjanjian KPR ini dibuat secara tertulis. Hal ini berdasarkan isi dari Instruksi Presidium Kabinet No. 15/EK/10 tanggal 3 Oktober 1966 jo surat Edaran Bank Indonesia Unit I No. 2/539/UPK/Pemb tanggal 8 Oktober 1966 yang menginstruksikan kepada masyarakat perbankan bahwa dalam memberikan kredit dalam bentuk apapun bank-bank wajib mempergunakan akad perjanjian kredit.

1. Unsur-unsur Kredit Pemilikan Rumah

Pada dasarnya yang menjadi unsur KPR adalah sama dengan unsur-unsur kredit yang dikenal pada umumnya, yakni terdiri atas kepercayaan ; yang berarti bahwa suatu persetujuan kredit haruslah di landasi atas kepercayaan oleh pihak Kreditur (bank) atas prestasi yang diberikannya


(58)

kepada debitur (pemohon) dimana pelunasannya akan diberikan debitur sesuai dengan jangka waktu yang telah diperjanjikan. Waktu ; yang berarti adanya jangka waktu tertentu antara pemberian kredit yang dilakukan kreditur dengan pelunasannya dimasa akan datang. Jangka waktu ini terlebih dahulu disepakati oleh para pihak yang mengadakan perjanjian kredit. Prestasi; yakni adanya objek tertentu berupa prestasi dan juga kontra prestasi pada saat tercapainya kesepakatan para pihak pada perjanjian pemberian kredit yang diadakan. Risiko ; yakni risiko yang mungkin terjadi selama jangka waktu antara pemberian kredit dengan pelunasannya. Semakin lama jangka waktu kredit maka semakin besar pula tingkat risikonya. Untuk mengamankan pemberian kredit dan mencegah wanprestasi dari debitur maka diadakanlah pengikatan agunan.32

2. Prinsip –prinsip Pemberian Kredit Pemilikan Rumah

Dalam melakukan pemberian kredit pemilikan rumah (KPR), pihak kreditur juga memperhatikan prinsip-prinsip pemberian kredit. Hal ini karena setiap kredit yang diberikan oleh kreditur (bank) selalu mengandung resiko. Berdasarkan penjelasan Pasal 8 Undang-Undang perbankan Nomor 10 tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 (selanjutnya

32

Hermansyah, SH, M.Hum, Hukum Perbankan Nasional Indonesia, Kencana Prenada Media Grup, Jakarta, 2010, hal. 64


(59)

disebut Undang-Undang Perbankan) yang harus dinilai oleh bank sebelum memberikan kredit atau pembiayaan berdasarkan prinsip syariah adalah watak, kemampuan, ,modal, agunan dan prospek usaha dari nasabah debitur yang dikenal dengan sebutan “the five C of Credit Analysis” atau prinsip 5C’s.

Pada sasarannya konsep 5C’s ini dapat memberikan informasi mengenai itikad baik (willingness to pay) dan kemampuan membayar (ability to pay) nasabah untuk melunasi kembali pinjaman beserta bunganya. Konsep 5C’s ini terdiri atas :

a. Penilaian watak (caracter)

Penilaian watak atau keperibadian calon debitur dimaksudkan untuk mengetahui kejujuran dan itikad baik calon debitur untuk melunasi atau mengembalikan pinjamannya, sehingga tidak akan menyulitkan bank dikemudian hari. Hal ini dapat diperoleh terutama didasarkan kepada hubungan yang telah terjalin antara bank dan calon debitur atau informasi yang diperoleh dari pihak lain yang mengetahui moral, kepribadian dan perilaku calon debitor dalam kehidupan kesehariannya.

b. Penilaian kemampuan (capacity)

Bank harus meneliti tentang keahlian calon debitur dalam bidang usahanya dan kemampuan manajerialnya, sehingga bank yakin bahwa usaha yang dibiayainya dikelola oleh orang-orang yang tepat, sehingga


(60)

calon debiturnya dalam jangka waktu tertentu mampu melunasi atau mengembalikan pinjamannya.

c.Penilaian terhadap modal (capital)

Bank harus melakukan analisis terhadap kondisi keuangan secara menyeluruh mengenai masa lalu dan masa akan datang, sehingga dapat diketahui kemampuan permodalan calon debitur dalam menunjang pembiayaan proyek atau usaha calon debitur yang bersangkut.

d. Penilaian terhadap agunan (collateral)

Untuk menanggung pembayaran kredit macet, calon debitur umumnya wajib menyediakan jaminan berupa agunan yang berkualitas tinggi dan mudah di cairkan yang nilainya minimal sebesar jumlah kredit atau pembiayaan yang di berikan kepadanya. Untuk itu sudah seharusnya bank wajib meminta agunan tambahan dengan maksud jika calon debitur tidak dapat melunasi kreditnya, maka agunan tambahan tersebut dapat dicairkan guna menutupi pelunasan atau pengembalian kredit atau pembiayaan yang tersisa.


(61)

e. Penilaian terhadap prospek usaha nasabah debitur (condition of economy)

f. Bank harus menganalisis keadaan pasar di dalam dan diluar negeri baik masa lalu maupun yang akan datang, sehingga masa depan pemasaran hasil proyek atau usaha calon debitur yang dibiayai bank dapat diketahui.33

3.

Tujuan dan Fungsi Kredit Pemilikan Rumah

Tujuan dari kredit pemilikan Rumah dapat diketahui dari definisi

kredit pemilikan rumah itu sendiri, sebagaimana telah diuraikan

sebelumnya yaitu bertujuan untuk membeli rumah dan/atau berikut tanah

guna dimiliki dan dihuni atau dipergunakan sendiri oleh debitur. Dimana

hal ini terjadi dikarenakan pihak debitur (pemohon kredit) tidak mempunyai

kecukupan dana untuk memenuhi keinginan tersebut, sehingga bank

terlebih dahulu melunaskan biaya pembelian rumah tersebut kepada

pengembang (

developer

)

Adapun fungsi dari KPR ini secara langsung adalah membantu

pihak-pihak yang berkeinginan untuk membeli dan memiliki rumah

dan/atau berikut tanah pribadi tetapi tidak mempunyai cukup biaya untuk

membeli tunai.

33

Racmadi Usman, Aspek-aspek Hukum Perbankan Di Indonesia, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2001, hal. 246-248


(62)

Thomas Suyatno et.al dalam buku Muhammad Djumhana

mengatakan selain itu kredit pemilikan rumah ini juga meningkatkan daya

guna uang, meningkatkan peredaran dan lalu lintas uang, meningkatkan

daya guna dan peredaran barang, salah satu alat stabilitas ekonomi, dan juga

dapat meningkatkan kegairahan berusaha.

34

a) KPR bersubsidi : “merupakan KPR dengan suku bunga yang rendah (lebih kecil dari suku bunga komersial) yang di peruntukkan bagi masyarakat golongan bawah”

Kredit KPR ini terdiri dari 2 jenis yakni :

b) KPR umum/komersial ; “merupakan KPR dengan suku bunga komersial yang di peruntukkan bagi semua golongan masyarakat yang membutuhkan dan layak menurut penilaian bank”.

B. Syarat Sahnya Suatu Perjanjian Kredit Pemilikan Rumah

Dalam pemberian suatu kredit pemilikan rumah oleh bank kepada debitur, pertama-tama selalu dimulai dengan permohonan kredit oleh nasabah (debitur) yang bersangkutan. Terhadap permohonan tersebut terdapat 2 (dua) kemungkinan jawaban, yakni penerimaan atau penolakan permohonan tersebut ditolak maka tahapan permohonan pemberian KPR terhenti, namun bila permohonan tersebut diterima (layak untuk diberikan) maka untuk terlaksananya pemberian/pelepasan

34

Muhammad Djumhana, Hukum Perbankan Di Indonesia, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2000, hal.372


(63)

KPR tersebut terlebih dahulu haruslah diadakan suatu persetujuan atau kesepakatan dalam bentuk perjanjian KPR secara tertulis (biasa disebut akad kredit).

Salah satu yang mendasari harus dibuatnya perjanjian ini adalah bunyi Pasal 1 angka 11 Undang-Undang Perbankan dimana disebutkan bahwa kredit diberikan berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam meminjam antara bank dengan pihak lain. Adapun filosofi harus dibuatnya perjanjian KPR adalah berfungsinya perjannjian kredit itu sebagai alat bukti, dan sebagaimana diketahui bahwa surat-surat perjanjian yang ditanda-tangani adalah merupakan suatu akta.35 Di dalam Undang-Undang Perbankan tidak di tentukan bentuk dari perjanjian kredit bank, berarti pemberian kredit bank dapat di lakukan secara tertulis maupun lisan. Dalam praktek perbankan, guna mengamankan pemberian kredit atau pembiayaan, umumnya perjanjian kredit dituangkan dalam bentuk tertulis dan dalam perjanjian baku (standards contrac) dan juga dapat dibuat dibawah tangan ataupun notarial.36

Pada perjanjian KPR ini, perjanjian dibuat dengan akta autentik dan dalam bentuk perjanjian baku. Dimana yang berarti perjanjian ini dibuat oleh seorang notaris tetapi isi atau klausula-klausula perjanjian KPR ini diserahkan sepenuhnya kepada pihak bank (kreditur), namun tetap harus dipedomani bahwa rumusan

35

Hasanuddin Rahman, Aspek-Aspek Hukum Pemberian Kredit Perbankan Indonesia,

PT.Citra Aditya Bakti, Bandung, 1998, hal. 139-140

36


(64)

perjanjian tersebut tidak boleh tidak jelas (kabur) dan harus memperhatikan keabsahan dan persyaratan secara hukum. Hal ini berguna untuk mencegah terjadinya kebatalan dari perjanjian yang bersangkutan. Selain itu juga harus diperhatikan bahwa isinya tidak boleh merugikan salah satu pihak. Secara umum biasanya perjanjian KPR ini berisi definisi-definisi, jumlah kredit (pinjaman), besarnya bunga dan denda, jangka waktu, angsuran dan cara pembayaran agunan, wanprestasi, timbul dan berakhirnya hak dan kewajiban, serta hukum yang berlaku bagi perjanjian tersebut. Seperti telah diterangkan di atas bahwa perjanjian KPR ini harus tetap memperhatikan keabsahan dan persyaratan secara hukum, maka perjanjian KPR ini dibuat berdasarkan Pasal 1320 KUHPerdata yang mengatur mengenai syarat sahnya suatu perjanjian.

Pasal 1320 KUHPerdata :

1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya

2. Kecakapan untuk membuat suatu perjanjian

3. Suatu hal tertentu

4. Suatu sebab yang halal

Syarat pertama dan kedua adalah mengenai subjeknya atau pihak-pihak dalam perjanjian sehingga disebut syarat subjektif, sedangkan syarat ketiga dan syarat keempat mengenai objek dari suatu perjanjian sehingga disebut syarat


(65)

objektif. Mengenai hal ini harus dibedakan antara keduanya. Dalam hal syarat objektif tidak terpenuhi maka perjanjian itu batal demi hukum yang mana berarti perjanjian tersebut dianggap tidak pernah dibuat/tidak pernah ada. Maka tidak ada dasar untuk saling menuntut oleh para pihak di depan hakim. Perjanjian seperti ini disebut null and void. Dalam hal syarat subjektifnya yang tidak terpenuhi makam perjanjian itu bukanlah batal demi hukum, tetapi dapat dibatalkan. Pihak yang dapat memintakan pembatalan itu adalah pihak yang tidak cakap atau pihak yang yang memberikan sepakatnya secara bebas. Jadi perjanjian yang telah dibuat itu mengikat juga, selama tidak dibatalkan (oleh hakim) atas permintaan pihak yang berhak meminta pembatalan.37 Dengan demikian nasib suatu perjanjian seperti itu tidaklah pasti dan bergantung pada kesediaan suatu pihak untuk menaatinya. Perjanjian yang demikian dinamakan voidable atau

vernietigbaar. Surbekti dalam buku Hasanuddin Rahman berpendapat perjanjian seperti ini selalu berpendapat perjanjian seperti ini selalu diancam dengan bahaya pembatalan (canceling).38

C. Objek Perjanjian Kredit Pemilikan Rumah

Sebagaimana telah diterangkan sebelumnya, pada tiap-tiap perjanjian yang sah terdapat beberapa syarat yaitu Pasal 1320 KUHPerdata. Salah satu yang menjadi syarat tersebut yakni suatu hal tertentu. Maksud dari suatu hal tertentu

37

Hasnuddin Rahman, Op.Cit,, hal.136- 137

38


(66)

itu adalah prestasi yang harus dipenuhi dalam suatu perjanjian, merupakan objek perjanjian.39

1. KPR Bersubsidi ; merupakan KPR dengan suku bunga yang rendah (lebih kecil dari suku bunga komersial) yang diperuntukkan bagi masyarakat golongan bawah.

Prestasi itu harus tertentu dan sekurang-kurangnya dapat ditentukan, jadi harus jelas. Kejelasan objek ini berguna untuk mengetahui hak dan kewajiban para pihak. Jika hal ini kabur maka perjanjian tidak dapat dilaksanakan dan berkonsekuensi batal demi hukum sebagaimana yang telah diuraikan sebelumnya.

Pada perjanjian KPR ini yang menjadi objek perjanjian adalah uang pembayaran pembelian rumah. Rumah yang mana diminati debitur untuk memiliki dan syarat-syaratnya memenuhi kriteria dari bank pemberi KPR tersebut. Pada perjanjian KPR dan Bank untuk pembayaran pembelian rumah yang menjadi objek perjanjian seperti telah disinggung sebelumnya pada tujuan dan fungsi kredit pemilikan rumah, terdiri dari KPR Bersubsidi dan Non Subsidi (Komersial).

a) Rendahnya suku bunga karena mendapatkan subsidi dari pemerintah.

39


(1)

seperti pemalsuan slip gaji tempat si pembeli bekerja, telah melakukan kredit dan belum lunas, dan sebagainya. Apabila si pembeli sudah melakukan perjanjian dengan pihak developer, perjanjian tersebut tidak dapat di tarik kembali terkecuali di setujui oleh para pihak itu sendiri. Dan apabila terjadi pembatalan perjanjian maka uang muka yang telah diberikan oleh pihak pembeli sebesar 20% dari harga penjualan rmah akan di potong oleh pihak developer sekitar 5%.

3. Peranan Developer dalam perjanjian Jual-Beli rumah secara Kredit Pemilikan Rumah yaitu pihak pembeli harus melengkapi syarat administratif yang telah disebutkan di atas dan pihak developer harus melengkapi berkas administratif terlebih dahulu berupa:

a. Foto copy KTP suami dan istri

b. Pas foto suami dan istri

c. buku nikah

d. fotocopy sertifikat

e. fotocopy PBB sesuai dengan tahun yang berlaku

f. Foto Copy IMB (izin mendirikan bangunan) yang dilegalisir oleh instansi yang berwenang


(2)

Setelah berkas lengkap maka pihak developer mengajukan pada bank. Apabila kredit di kabulkan penyetujuan pemberian kredit maka akan diberitahukan kepada pihak penjual dan pihak pembeli untuk melakukan akad kredit dan si pembeli di wajibkan untuk membayar iuran bulan pertama, asuransi jiwa, asuransi kebakaran, biaya notaris, dan pajak negara yang terdiri dari BPHTB dan PPH. Setelah selesai melakukan akad kredit dan sudah di bayar semua urusan oleh pihak bank dan pihak penjual, maka di lakukan di hadapan notaris pembuatan akta jual beli antara pihak penjual dan pihak pembeli. Setelah itu bank akan memberikan bayaran kepada pihak penjual.

B. SARAN

Saran yang dapat dikemukakan dalam tulisan ini adalah sebagai berikut.

1. Calon pembeli disarankan untuk mencermati dan melihat apakah rumah yang akan dibeli sesuai dengan yang diiklankan ataupun rumah tersebut tidak ada cacat tersembunyi ataupun tidak tersembunyi sebelum memutuskan untuk membeli rumah tersebut. Dan bagi si developer agar lebih cermat melihat pembangunan rumah tersebut agar tidak terjadi permasalahan dikemudian hari.

2 Pembeli yang telah mengisi formulir administrasi haruslah melihat kembali apakah berkas ataupun dokumen sudah lengkap atau belum agar tidak terjadi kesalahpahaman oleh para pihak.


(3)

3. Baik pihak bank, pihak pembeli, dan pihak penjual disarankan agar melakukan itikad baik dalam melaukakn perjanjian kredit pemilkan rumah tersebut sehingga tidak terjadi kemacetan dalam perjanjian, harga yang tidak sesuai, rumah mengalami kerusakan dan lainnya.


(4)

DAFTAR PUSTAKA

A. Buku

Badrulzaman, Mariam Darus, 1996, KUHPerdata dan Buku III Hukum Perikatan Dengan Penjelasan, Penerbit Alumni, Bandung.

---, 2001, Kompilasi Hukum Perikatan, Citra Aditya Bakti, Bandung.

Badrulzaman, Mariam darus, Syahdeni ,Remi Sutan, Djamil, Fatturahman, Soenandar ,Taryana, 2001, Kompilasi Hukum Perikatan, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung.

Djumhana ,Muhammad, 2000, Hukum Perbankan di Indonesia, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung.

Hamzah ,Andi, Suandra, Wayan I, Manalu, B.A, 2000, Dasar-Dasar Hukum Perumahan, PT. Rajagrafindo Persada, Jakarta.

Hermansyah, 2010, Hukum Perbankan Nasional Indonesa, Kencana Prenada Media Grup, Jakarta.

Ikhsan, edy dan Siregar, Mahmul, Bahan Ajar Metode Penelitian dan Penulisan Hukum, Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Medan.

Muhammad ,Abdulkadir, 2000, Hukum Perikatan, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung.

Miru, Ahmadi, Pati ,Sakka, 2008, Hukum Perikatan Penjelasan Makna Pasal 1233 sampi 1456 BW, PT. Rajagrafindo Persada, Jakarta.

Patrik, Purwahid, 1994, Dasar-Dasar Hukum Perikatan (Perikatan yang Lahir Dari Perjanjian dan Dari Undang-Undang), Mandar Maju, Bandung. Raharjo ,Handri, 2009, Hukum Perjanjian di Indonesia, Pustaka Yustisia,

Yogyakarta.

Sembiring, sentosa, 2000, Hukum Perbankan, Mandar Maju, bandung.


(5)

Soekanto, Soerjono, Mahmudji, Sari, 2003, Penelitian Hukum Normatif, PT. Rajagrafindo Persada, Jakarta

Soeroso, R, 2002, Pengantar Ilmu Hukum, Sinar Grafika, Jakarta.

Sugono, Bambang, 2007, Metode Penelitian Hukum, PT. Rajagrafindo Persada, Jakarta.

Surbekti, 1995, Aneka Perjanjian, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung.

Raharjo, Handri, 2009, Hukum Perjanjian di Indonesia, Pustaka Yustisia, Yogyakarta.

Rahman, Hasanuddin, 1998, Aspek-Aspek Hukum Perbankan di Indonesia, PT. Citra Aditya, Bandung.

Widjaja, Gunawan, Muljadi, Kartini, 2003, Perikatan yang Lahir dari Undang-Undang, PT. Rajagrafindo Persada, Jakarta.

---, 2003, Perikatan yang Lahir dari Perjanjian, PT. Rajagrafindo Persada, Jakarta.

---, 2003, Hapusnya Perjanjian, PT. Rajagrafindo Persada, Jakarta.

B. Undang-Undang

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

Undang-Undang Nomor 16 Tahun 1985 tentang Rumah Susun

Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1992 tentang Penyelenggaraan Perumahan dan Kawasan Pemukiman


(6)

Peraturan Menteri Negara Perumahan Rakyat Nomor 7/PERMEN/M/2007 tentang Pengadaan Perumahan dan Pemukiman Dengan Dukungan Fasilitas Subsidi Perumahan Melalui KPR Sarusun Bersubsidi.

Keputusan Menteri Negara Perumahan Rakyat Nomor 09/KPTS/M/1995 tentang Pedoman Pengikatan Jual Beli Rumah.

C. Internet

Developer Dengan Pihak Bank pada tanggal 15 Juni 2012, pukul 20.08 WIB

developer diunduh pada tanggal 18 juli 2012 pukul 21.05