Implementasi Program Penanggulangan TB Paru di Puskesmas Batang Pane II Kabupaten Padang Lawas Utara Tahun 2016

11

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1

Tuberkulosis

2.1.1

Pengertian Tuberkulosis
Tuberkulosis adalah penyakit menular yang disebabkan oleh basil

Mycobacterium tuberculosis. Sebagian besar kuman TB menyerang paru tetapi

dapat juga mengenai organ tubuh lainnya. Penyakit ini menyebar dan ditularkan
melalui udara ketika orang yang terinfeksi TB paru batuk, bersin, berbicara atau
meludah (WHO, 2015).
Kuman penyebab tuberkulosis adalah kuman aerob yang dapat hidup
terutama di paru atau di berbagai organ tubuh yang lainnya yang mempunyai

tekanan parsial oksigen yang tinggi. Kuman ini juga mempunyai kandungan
lemak yang tinggi pada membran selnya sehingga menyebabkan bakteri ini
menjadi tahan terhadap asam dan pertumbuhan dari kumannya berlangsung
dengan lambat (Rab, 2010).
2.1.2

Penyebab Tuberkulosis
Tuberkulosis adalah suatu penyakit menular yang disebabkan oleh kuman

dari kelompok Mycobacterium yaitu Mycobacterium tuberculosis. Terdapat
beberapa spesies Mycobacterium tuberculosis, antara lain: M. africanum, M.
bovis, M. leprae dsb. yang juga dikenal sebagai Bakteri Tahan Asam (BTA).

Kelompok bakteri Mycobacterium selain Mycobacterium tuberculosis yang bisa
menimbulkan

gangguan

pada


saluran

nafas

dikenal

sebagai

MOTT

11
Universitas Sumatera Utara

12

(Mycobacterium Other Than Tuberculosis) yang terkadang bisa mengganggu
penegakan diagnosis dan pengobatan TB. Untuk itu pemeriksaan bakteriologis
yang mampu melakukan identifikasi terhadap Mycobacterium tuberculosis
menjadi sarana diagnosis ideal untuk TB (Kemenkes RI, 2014).
Secara umum sifat kuman TB (Mycobacterium tuberculosis) antara lain

adalah sebagai berikut (Kemenkes RI, 2014):
1. Berbentuk batang dengan panjang 1-10 mikron, lebar 0,2-0,6 mikron.
2. Bersifat tahan asam dalam pewarnaan dengan metode Ziehl Neelsen.
3. Memerlukan media khusus untuk biakan, antara lain Lowenstein Jensen,
Ogawa.
4. Kuman nampak berbentuk batang berwarna merah dalam pemeriksaan di
bawah mikroskop.
5. Tahan terhadap suhu rendah sehingga dapat bertahan hidup dalam jangka
waktu lama pada suhu antara 4

sampai minus 70

6. Kuman sangat peka terhadap panas, sinar matahari dan sinar ultraviolet.
7. Paparan langsung terhadap sinar ultraviolet, sebagian besar kuman akan mati
dalam waktu beberapa menit.
8. Dalam dahak pada suhu antara 30- 37

akan mati dalam waktu lebih kurang

1 minggu.

9. Kuman dapat bersifat dormant (“tidur”/tidak berkembang)
2.1.3

Penularan Tuberkulosis
Sumber penularan adalah pasien TB BTA positif melalui percik renik

dahak yang dikeluarkannya. Namun, bukan berarti bahwa pasien TB dengan hasil

Universitas Sumatera Utara

13

pemeriksaan BTA negatif tidak mengandung kuman dalam dahaknya. Hal
tersebut bisa saja terjadi oleh karena jumlah kuman yang terkandung dalam
contoh uji ≤ dari 5 000 kuman/cc dahak sehingga sulit dideteksi melalui
pemeriksaan mikroskopis langsung. Pasien TB dengan BTA negatif juga masih
memiliki kemungkinan menularkan penyakit TB. Tingkat penularan pasien TB
BTA positif adalah 65%, pasien TB BTA negatif dengan hasil kultur positif
adalah 26% sedangkan pasien TB dengan hasil kultur negatif dan foto toraks
positif adalah 17% (Kemenkes RI, 2014).

Infeksi akan terjadi apabila orang lain menghirup udara yang mengandung
percik renik dahak yang infeksius tersebut. Pada waktu batuk atau bersin, pasien
menyebarkan kuman ke udara dalam bentuk percikan dahak (droplet nuclei/percik
renik). Sekali batuk dapat menghasilkan sekitar 3000 percikan dahak (Kemenkes
RI, 2014).
2.1.4

Manifestasi Klinis
Gejala utama pasien TB paru adalah batuk berdahak selama 2 minggu atau

lebih. Batuk dapat diikuti dengan gejala tambahan yaitu dahak bercampur darah,
batuk darah, sesak nafas, badan lemas, nafsu makan menurun, berat badan
menurun, malaise, berkeringat malam hari tanpa kegiatan fisik, demam meriang
lebih dari satu bulan (Kemenkes RI, 2014).
Gejala klinis yang tampak tergantung dari tipe infeksinya. Pada tipe
infeksi yang primer dapat tanpa gejala dan sembuh sendiri atau dapat berupa
gejala neumonia, yakni batuk dan panas ringan. Tipe infeksi primer dapat sembuh

Universitas Sumatera Utara


14

sendiri tanpa pengobatan, hanya saja tingkat kesembuhannya berkisar sekitar 50%
(Rab, 2010).
Pada tuberkulosis post primer terdapat gejala penurunan berat badan,
keringat dingin pada malam hari, temperature subfebris, batuk berdahak lebih dari
dua minggu, sesak napas, hemoptisis akibat dari terlukanya pembuluh darah di
sekitar bronkus, sehingga menyebabkan bercak-bercak darah pada sputum, sampai
ke batuk darah yang masif. Tuberkulosis post primer dapat menyebar ke berbagai
organ sehingga menimbulkan gejala-gejala seperti meningitis, tuberkulosis milier,
peritonitis dengan fenomena papan catur, tuberkulosis ginjal, sendi, dan
tuberkulosis pada kelenjar limfe di leher, yakni berupa skrofuloderma (Rab,
2010).
2.1.5

Klasifikasi dan Tipe Pasien TB

Klasifikasi pasien TB dibedakan berdasarkan:
1. Lokasi anatomi dari penyakit
2. Riwayat pengobatan sebelumnya

3. Hasil pemeriksaan uji kepekaan obat
4. Status HIV
Maksud dan tujuan menentukan klasifikasi dan tipe pasien TB adalah:
1. Pencatatan dan pelaporan pasien yang tepat
2. Penetapan paduan pengobatan yang tepat
3. Standarisasi proses pengumpulan data untuk pengendalian TB
4. Evaluasi proporsi kasus sesuai lokasi penyakit, hasil pemeriksaan
bakteriologis dan riwayat pengobatan

Universitas Sumatera Utara

15

5. Analisis kohort hasil pengobatan
6. Pemantauan kemajuan dan evaluasi efektivitas program TB secara tepat
baik dalam maupun antar kabupaten/kota, provinsi, nasional dan global.
A. Klasifikasi berdasarkan Lokasi anatomi dari penyakit
1. TB Paru adalah TB yang terjadi pada parenkim (jaringan) paru. Milier TB
dianggap sebagai TB Paru karena adanya lesi pada jaringan paru.
2. TB Ekstra paru adalah TB yang terjadi pada organ selain paru, misalnya:

pleura, kelenjar limfe, abdomen, saluran kencing, kulit, sendi, selaput otak
dan tulang.
B. Klasifikasi berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya
1. Pasien baru TB adalah pasien yang belum pernah mendapatkan
pengobatan TB sebelumnya atau sudah pernah menelan OAT namun
kurang dari 1 bulan (< dari 28 dosis).
2. Pasien yang pernah diobati TB adalah pasien yang sebelumnya pernah
menelan OAT selama 1 bulan atau lebih (≥ dari 28 dosis) Pasien ini
selanjutnya diklasifikasikan berdasarkan hasil pengobatan TB terakhir,
yaitu:
a. Pasien kambuh adalah pasien TB yang pernah dinyatakan sembuh atau
pengobatan lengkap dan saat ini didiagnosis TB berdasarkan hasil
pemeriksaan bakteriologis atau klinis (baik karena benar-benar
kambuh atau karena reinfeksi)
b. Pasien yang diobati kembali setelah gagal adalah pasien TB yang
pernah diobati dan dinyatakan gagal pada pengobatan terakhir.

Universitas Sumatera Utara

16


c. Pasien yang diobati kembali setelah putus berobat ( lost to follow-up)
adalah pasien yang pernah diobati dan dinyatakan lost to follow-up
(klasifikasi ini sebelumnya dikenal sebagai pengobatan pasien setelah
putus berobat/default).
d. Lain-lain adalah pasien TB yang pernah diobati namun hasil akhir
pengobatan sebelumnya tidak diketahui.
3. Pasien yang riwayat pengobatan sebelumnya tidak diketahui
C. Klasifikasi berdasarkan hasil pemeriksaan uji kepekaan obat
Pengelompokan pasien disini berdasarkan hasil uji kepekaan contoh uji
dari Mycobacterium tuberculosis terhadap OAT dan dapat berupa:
1. Mono resisten (TB MR) yaitu resisten terhadap salah satu jenis OAT lini
pertama saja
2. Poli resisten (TB PR) yaitu resisten terhadap lebih dari satu jenis OAT lini
pertama selain Isoniazid (H) dan Rifampisin (R) secara bersamaan.
3. Multi drug resisten (TB MDR) yaitu resisten terhadap Isoniazid (H) dan
Rifampisin (R) secara bersamaan.
4. Extensive drug resisten (TB XDR) adalah TB MDR yang sekaligus juga
resisten terhadap salah satu OAT golongan fluorokuinolon dan minimal
salah satu dari OAT lini kedua jenis suntikan (Kanamisisn, Kapreomisin

dan Amikasin).
5. Resisten Rifampisin (TB RR) yaitu resisten terhadap Rifampisin dengan
atau tanpa resisten terhadap OAT lain yang terdeteksi menggunakan
metode genotip (tes cepat) atau metode fenotip (konvensional).

Universitas Sumatera Utara

17

D. Klasifikasi berdasarkan status HIV
1. Pasien TB dengan HIV positif (pasien ko-infeksi TB/HIV) adalah pasien
TB dengan:
a. Hasil tes HIV positif sebelumnya atau sedang mendapatkan ART ( Anti
Retroviral Therapy), atau

b. Hasil tes HIV positif pada saat diagnosis TB.
2. Pasien TB dengan HIV negatif adalah pasien TB dengan:
a. Hasil tes HIV negatif sebelumnya, atau
b. Hasil tes HIV negatif pada saat diagnosis TB.
3. Pasien TB dengan status HIV tidak diketahui adalah pasien TB tanpa ada

bukti pendukung hasil tes HIV saat diagnosis TB ditetapkan (Kemenkes
RI, 2014).
2.1.6

Pencegahan dan Pengendalian Infeksi Tuberkulosis
Semua tempat pelayanan kesehatan perlu menerapkan upaya pencegahan

dan pengendalian infeksi (PPI) TB untuk memastikan berlangsungnya deteksi
segera, tindakan pencegahan dan pengobatan seseorang yang dicurigai atau
dipastikan menderita TB. Upaya tersebut berupa pengendalian infeksi dengan 4
pilar yaitu ; pengendalian manajerial, pengendalian administratif, pengendalian
lingkungan dan pengendalian dengan alat pelindung diri.
PPI TB pada kondisi/situasi khusus adalah pelaksanaan pengendalian
infeksi pada rutan/lapas, rumah penampungan sementara, barak-barak militer,
tempat-tempat pengungsi, asrama dan sebagainya. Misalnya di rutan/lapas
skrining TB harus dilakukan ada saat WBP baru, dan kontak sekamar.

Universitas Sumatera Utara

18

1. Pengendalian Manajerial.
Pihak manajerial adalah pimpinan fasilitas pelayanan kesehatan, kepala
dinas kesehatan propinsi dan kabupaten/kota dan/atau atasan dari institusi terkait.
Komitmen, kepemimpinan dan dukungan manajemen yang efektif berupa
penguatan dari upaya manajerial bagi program PPI TB yang meliputi:
a. Membuat kebijakan pelaksanaan PPI TB
b. Membuat SPO (Standar Prosedur Operasional) mengenai alur pasien untuk
semua pasien batuk, alur pelaporan dan surveilans
c. Membuat perencanaan program PPI TB secara komprehensif
d. Memastikan desain dan persyaratan bangunan serta pemeliharaannya
sesuai PPI TB
e. Menyediakan sumber daya untuk terlaksananya program PPI TB (tenaga,
anggaran, sarana dan prasarana) yang dibutuhkan
f. Monitoring dan evaluasi
g. Melakukan kajian di unit terkait penularan TB
h. Melaksanakan promosi pelibatan masyarakat dan organisasi masyarakat
terkait PPI TB
2. Pengendalian administratif
Adalah upaya yang dilakukan untuk mencegah/mengurangi pajanan
kuman M. tuberculosis kepada petugas kesehatan, pasien, pengunjung dan
lingkungan dengan menyediakan, mendiseminasikan dan memantau pelaksanaan
standar prosedur dan alur pelayanan.

Universitas Sumatera Utara

19

Upaya ini mencakup:
a. Strategi TEMPO (TEMukan pasien secepatnya, Pisahkan secara aman, Obati
secara tepat)
b. Penyuluhan pasien mengenai etika batuk
c. Penyediaan tisu dan masker, tempat pembuangan tisu serta pembuangan dahak
yang benar
d. Pemasangan poster, spanduk dan bahan untuk komunikasi, informasi dan
edukasi (KIE)
e. Skrining bagi petugas yang merawat pasien TB
Pengendalian administratif lebih mengutamakan strategi TEMPO yaitu
penjaringan, diagnosis dan pengobatan TB dengan cepat dan tepat sehingga dapat
mengurangi penularan TB secara efektif. Penerapannya mudah dan tidak
membutuhkan biaya besar, dan ideal untuk diterapkan. Dengan menggunakan
strategi TEMPO akan mengurangi risiko penularan kasus TB dan TB resisten obat
yang belum terindentifikasi. Untuk mencegah adanya kasus TB dan TB Resisten
obat yang tidak terdiagnosis, dilaksanakan strategi TEMPO dengan skrining bagi
semua pasien dengan gejala batuk.
3. Pengendalian lingkungan
Adalah upaya peningkatan dan pengaturan aliran udara/ventilasi dengan
menggunakan teknologi untuk mencegah penyebaran dan mengurangi atau
menurunkan kadar percik renik di udara. Upaya pengendalian dilakukan dengan
menyalurkan percik renik ke arah tertentu (directional airflow) dan atau ditambah
dengan radiasi ultraviolet sebagai germisida.

Universitas Sumatera Utara

20

4. Pengendalian dengan alat pelindung diri
Penggunaan alat pelindung diri pernapasan oleh petugas kesehatan di
tempat pelayanan sangat penting untuk menurunkan risiko terpajan, sebab kadar
percik renik tidak dapat dihilangkan dengan upaya administratif dan lingkungan.
Petugas kesehatan menggunakan respirator dan pasien menggunakan masker
bedah. Petugas kesehatan dan pengunjung perlu mengenakan respirator jika
berada bersama pasien TB di ruangan tertutup. Pasien atau tersangka TB tidak
perlu menggunakan respirator tetapi cukup menggunakan masker bedah untuk
melindungi lingkungan sekitarnya dari droplet (Kemenkes RI, 2014).
2.2

Pusat Kesehatan Masyarakat (Puskesmas)

2.2.1

Pengertian Puskesmas
Pusat Kesehatan Masyarakat yang selanjutnya disebut Puskesmas adalah

fasilitas

pelayanan

kesehatan

yang

menyelenggarakan

upaya

kesehatan

masyarakat dan upaya kesehatan perseorangan tingkat pertama, dengan lebih
mengutamakan upaya promotif dan preventif, untuk mencapai derajat kesehatan
masyarakat yang setinggi-tingginya di wilayah kerjanya (Permenkes RI No. 75
tahun 2014).
2.2.2

Upaya Kesehatan Masyarakat dan Upaya Kesehatan Perseorangan
Upaya Kesehatan Masyarakat yang selanjutnya disingkat UKM adalah

setiap kegiatan untuk memelihara dan meningkatkan kesehatan serta mencegah
dan menanggulangi timbulnya masalah kesehatan dengan sasaran keluarga,
kelompok, dan masyarakat. Upaya Kesehatan Perseorangan yang selanjutnya
disingkat UKP adalah suatu kegiatan dan/atau serangkaian kegiatan pelayanan

Universitas Sumatera Utara

21

kesehatan yang ditujukan untuk peningkatan, pencegahan, penyembuhan
penyakit, pengurangan penderitaan akibat penyakit dan memulihkan kesehatan
perseorangan.
Upaya kesehatan masyarakat meliputi upaya kesehatan masyarakat
esensial dan upaya kesehatan masyarakat pengembangan. Upaya kesehatan
masyarakat esensial meliputi:
a. Pelayanan promosi kesehatan
b. Pelayanan kesehatan lingkungan
c. Pelayanan kesehatan ibu, anak, dan keluarga berencana
d. Pelayanan gigi, dan
e. Pelayanan pencegahan dan pengandalian penyakit.
Sedangkan upaya kesehatan masyarakat pengembangan merupakan upaya
kesehatan masyarakat yang kegiatannya memerlukan upaya yang sifatnya inovatif
dan/atau bersifat ekstensifikasi dan intensifikasi pelayanan, disesuaikan dengan
prioritas masalah kesehatan, kekhususan wilayah kerja dan potensi sumber daya
yang tersedia di masing-masing puskesmas.
Upaya kesehatan perseorangan tingkat pertama dilaksanakan dalam
bentuk:
a. Rawat jalan
b. Pelayanan gawat darurat
c. Pelayanan satu hari (one day care )
d. Home care dan/atau

Universitas Sumatera Utara

22

e. Rawat inap berdasarkan pertimbangan kebutuhan pelayanan kesehatan
(Permenkes RI No. 75 tahun 2014).
2.2.3

Prinsip Penyelenggaraan Puskesmas

Prinsip penyelenggaraan puskesmas meliputi:
a. Paradigma sehat
Puskesmas mendorong seluruh pemangku kepentingan untuk berkomitmen
dalam upaya mencegah dan mengurangi resiko kesehatan yang dihadapi
individu, keluarga, kelompok dan masyarakat.
b. Pertanggungjawaban wilayah
Puskesmas menggerakkan dan bertanggung jawab terhadap pembangunan
kesehatan di wilayah kerjanya.
c. Kemandirian masyarakat
Puskesmas mendorong kemandirian hidup sehat bagi individu, keluarga,
kelompok dan masyarakat.
d. Pemerataan
Puskesmas menyelenggarakan pelayanan kesehatan yang dapat diakses dan
terjangkau oleh seluruh masyarakat di wilayah kerjanya secara adil tanpa
membedakan status sosial, ekonomi, agama, budaya dan kepercayaan.
e. Teknologi tepat guna,
Puskesmas menyelenggarakan pelayanan kesehatan dengan memanfaatkan
teknologi tepat guna yang sesuai dengan kebutuhan pelayanan, mudah
dimanfaatkan dan tidak berdampak buruk bagi lingkungan.

Universitas Sumatera Utara

23

f. Keterpaduan dan kesinambungan
Puskesmas mengintegrasikan dan mengoordinasikan penyelenggaraan UKM
dan UKP lintas program dan lintas sektor serta melaksanakan sistem rujukan
yang didukung dengan manajemen puskesmas (Permenkes RI No. 75 tahun
2014).
2.2.4

Tugas, Fungsi dan Wewenang Puskesmas
Puskesmas mempunyai tugas melaksanakan kebijakan kesehatan untuk

mencapai tujuan pembangunan kesehatan di wilayah kerjanya dalam rangka
mendukung terwujudnya kecamatan sehat. Dalam melaksanakan tugas, puskesmas
menyelenggarakan fungsi penyelenggaraan UKM tingkat pertama di wilayah
kerjanya dan penyelenggaraan UKP tingkat pertama di wilayah kerjanya.
Dalam menyelenggarakan fungsi penyelenggaraan UKM, puskesmas
berwenang untuk:
a. Melaksanakan

perencanaan

berdasarkan

analisis

masalah

kesehatan

masyarakat dan analisis kebutuhan pelayanan yang diperlukan
b. Melaksanakan advokasi dan sosialisasi kebijakan kesehatan
c. Melaksanakan komunikasi, informasi, edukasi, dan pemberdayaan masyarakat
dalam bidang kesehatan
d. Menggerakkan masyarakat untuk mengidentifikasi dan menyelesaikan
masalah kesehatan pada setiap tingkat perkembangan masyarakat yang
bekerjasama dengan sektor lain terkait
e. Melaksanakan pembinaan teknis terhadap jaringan pelayanan dan upaya
kesehatan berbasis masyarakat

Universitas Sumatera Utara

24

f. Melaksanakan peningkatan kompetensi sumber daya manusia puskesmas
g. Memantau pelaksanaan pembangunan agar berwawasan kesehatan
h. Melaksanakan pencatatan, pelaporan, dan evaluasi terhadap akses, mutu, dan
cakupan pelayanan kesehatan, dan
i. Memberikan rekomendasi terkait masalah kesehatan masyarakat, termasuk
dukungan terhadap sistem kewaspadaan dini dan respon penanggulangan
penyakit.
Dalam menyelenggarakan fungsi penyelenggaraan UKP, puskesmas
berwenang untuk:
a. Menyelenggarakan

pelayanan

kesehatan

dasar

secara

komprehensif,

berkesinambungan dan bermutu
b. Menyelenggarakan pelayanan kesehatan yang mengutamakan upaya promotif
dan preventif
c. Menyelenggarakan pelayanan kesehatan yang berorientasi pada individu,
keluarga, kelompok dan masyarakat
d. Menyelenggarakan pelayanan kesehatan yang mengutamakan keamanan dan
keselamatan pasien, petugas dan pengunjung
e. Menyelenggarakan pelayanan kesehatan dengan prinsip koordinatif dan kerja
sama inter dan antar profesi
f. Melaksanakan rekam medis
g. Melaksanakan pencatatan, pelaporan, dan evaluasi terhadap mutu dan akses
pelayanan kesehatan
h. Melaksanakan peningkatan kompetensi tenaga kesehatan

Universitas Sumatera Utara

25

i. Mengoordinasikan

dan

melaksanakan

pembinaan

fasilitas

pelayanan

kesehatan tingkat pertama di wilayah kerjanya, dan
j. Melaksanakan penapisan rujukan sesuai dengan indikasi medis dan sistem
rujukan (Permenkes RI No. 75 tahun 2014).
2.2.5

Puskesmas dalam Program Penanggulangan TB Paru
Dalam upaya penanggulangan tuberkulosis KPP (kelompok puskesmas

pelaksana) terdiri dari:
a. Puskesmas Satelit (PS)
Puskesmas Satelit adalah puskesmas yang tidak memiliki laboratorium sendiri.
Fungsi puskesmas ini adalah melakukan pengambilan dahak, pembuatan
sediaan sampai fiksasi sediaan dahak. Kemudian sediaan dahak tersebut
dikirim ke Puskesmas Rujukan Mikroskopis (PRM) untuk dibaca hasilnya
(Kemenkes RI, 2014).
b. Puskesmas Rujukan Mikroskopis (PRM)
Puskesmas rujukan mikroskopis adalah puskesmas yang sudah memiliki
laboratorium sendiri. Puskesmas rujukan mikroskopis biasanya dikelilingi oleh
5 puskesmas satelit. Fungsi dari PRM adalah sebagai puskesmas rujukan dalam
pemeriksaan slide sediaan dahak dan pelaksana pemeriksaan dahak untuk
tuberkulosis (Kemenkes RI, 2014).
c. Puskesmas Pelaksana Mandiri (PPM)
Pada geografis yang sulit, dibentuk puskesmas pelaksana mandiri. Puskesmas
pelaksana mandiri ini berfungsi seperti puskesmas rujukan mikroskopis, hanya

Universitas Sumatera Utara

26

saja pada puskesmas ini tidak bekerja sama dengan puskesmas satelit
(Kemenkes RI, 2014).
2.3

Program Penanggulangan Tuberkulosis
Sejalan dengan meningkatnya kasus TB, pada awal tahun 1990-an WHO

dan

IUATLD

(International

Union

Against

TB

and

Lung

Diseases )

mengembangkan strategi pengendalian TB yang dikenal sebagai strategi DOTS
(Directly Observed Treatment Short-course). Strategi DOTS terdiri dari 5

komponen kunci, yaitu:
1) Komitmen politis, dengan peningkatan dan kesinambungan pendanaan.
2) Penemuan kasus melalui pemeriksaan dahak mikroskopis yang terjamin
mutunya.
3) Pengobatan yang standar, dengan supervisi dan dukungan bagi pasien.
4) Sistem pengelolaan dan ketersediaan OAT yang efektif.
5) Sistem monitoring, pencatatan dan pelaporan yang mampu memberikan
penilaian terhadap hasil pengobatan pasien dan kinerja program.
WHO telah merekomendasikan strategi DOTS sebagai strategi dalam
pengendalian TB sejak tahun 1995. Bank Dunia menyatakan strategi DOTS
sebagai salah satu intervensi kesehatan yang secara ekonomis sangat efektif (costeffective). Integrasi ke dalam pelayanan kesehatan dasar sangat dianjurkan demi

efisiensi dan efektifitasnya. Satu studi cost benefit yang dilakukan di Indonesia
menggambarkan bahwa dengan menggunakan strategi DOTS, setiap dolar yang
digunakan untuk membiayai program pengendalian TB, akan menghemat sebesar
US$ 55 selama 20 tahun (Kemenkes RI, 2014).

Universitas Sumatera Utara

27

Fokus utama DOTS adalah penemuan dan penyembuhan pasien, prioritas
diberikan kepada pasien TB tipe menular. Strategi ini akan memutuskan rantai
penularan TB dan dengan demikian menurunkan insidens TB di masyarakat.
Menemukan dan menyembuhkan pasien merupakan cara terbaik dalam upaya
pencegahan penularan TB (Kemenkes RI, 2014).
Dengan semakin berkembangnya tantangan yang dihadapi program
dibanyak negara, pada tahun 2005 strategi DOTS di atas oleh Global stop TB
partnership strategi DOTS tersebut diperluas menjadi “Strategi Stop TB”, yaitu:
1. Mencapai, mengoptimalkan dan mempertahankan mutu DOTS
2. Merespon masalah TB-HIV, MDR-TB dan tantangan lainnya
3. Berkontribusi dalam penguatan sistem kesehatan
4. Melibatkan semua pemberi pelayanan kesehatan baik pemerintah maupun
swasta.
5. Memberdayakan pasien dan masyarakat
6. Melaksanakan dan mengembangkan penelitian
Pada tahun 2013 muncul usulan dari beberapa negara anggota WHO yang
mengusulkan adanya strategi baru untuk mengendalikan TB yang mampu
menahan laju infeksi baru, mencegah kematian akibat TB, mengurangi dampak
ekonomi akibat TB dan mampu meletakkan landasan ke arah eliminasi TB
(Kemenkes RI, 2014).
Eliminasi TB akan tercapai bila angka insidensi TB berhasil diturunkan
mencapai 1 kasus TB per 1 juta penduduk, sedangkan kondisi yang
memungkinkan pencapaian eliminasi TB (pra eliminasi) adalah bila angka

Universitas Sumatera Utara

28

insidensi mampu dikurangi menjadi 10 per 100.000 penduduk. Dengan angka
insidensi global tahun 2012 mencapai 122 per 100.000 penduduk dan penurunan
angka insidensi sebesar 1-2% setahun maka TB akan memasuki kondisi pra
eliminasi pada tahun 2160. Untuk itu perlu ditetapkan strategi baru yang lebih
komprehensif bagi pengendalian TB secara global (Kemenkes RI, 2014).
2.3.1

Tujuan Program Penanggulangan TB Paru
Tujuan program penanggulangan TB adalah menurunkan angka kesakitan

dan kematian akibat TB dalam rangka pencapaian tujuan pembangunan kesehatan
untuk meningkatkan derajat kesehatan masyarakat (Kemenkes RI, 2014). Dalam
jangka panjang, tujuan program pemberantasan TB di Indonesia adalah
memutuskan mata rantai penularan TB sampai pada prevalensi yang tidak menjadi
masalah kesehatan masyarakat. Dalam jangka pendek, program TB bertujuan
untuk memperluas sarana kesehatan (Aditama, 2002).
2.3.2

Strategi Program Penanggulangan TB Paru
Strategi adalah suatu kebijakan mencakup wawasan yang luas,

menjangkau jangka waktu yang panjang, mengandung resiko yang besar dan
melibatkan banyak pihak (Abidin, 2004). Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia,
strategi adalah rencana yang cermat mengenai kegiatan untuk mencapai sasaran
khusus.
Dalam RPJMN (Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional)
2015-2019 maka diharapkan penurunan jumlah kasus TB per 100.000 penduduk
dari 297 menjadi 245, Persentase kasus baru TB paru BTA (+) yang ditemukan
dari 73% menjadi 90% dan Persentase kasus baru TB paru BTA (+) yang

Universitas Sumatera Utara

29

disembuhkan dari 85% menjadi 88%. Target utama pengendalian TB pada tahun
2015-2019 adalah penurunan insidensi TB yang lebih cepat dari hanya sekitar 12% per tahun menjadi 3-4% per tahun dan penurunan angka mortalitas > 4-5%
pertahun. Diharapkan pada tahun 2020 Indonesia bisa mencapai target penurunan
insidens sebesar 20% dan angka mortalitas sebesar 25% dari angka insidens tahun
2015 (Kemenkes RI, 2014).
Pada sidang WHA (World Health Assembly) ke 67 tahun 2014 ditetapkan
resolusi mengenai strategi pengendalian TB global pasca 2015 yang bertujuan
untuk menghentikan epidemi global TB pada tahun 2035 yang ditandai dengan
penurunan angka kematian akibat TB sebesar 95% dari angka tahun 2015 dan
penurunan angka insidensi TB sebesar 90% (menjadi 10/100.000 penduduk)
(Kemenkes RI, 2014).
Strategi tersebut dituangkan dalam 3 pilar strategi utama dan komponenkomponenya yaitu:
1. Integrasi layanan TB berpusat pada pasien dan upaya pencegahan TB
a. Diagnosis TB sedini mungkin, termasuk uji kepekaan OAT bagi semua dan
penapisan TB secara sistematis bagi kontak dan kelompok populasi beresiko
tinggi.
b. Pengobatan untuk semua pasien TB, termasuk untuk penderita resistan obat
dengan disertai dukungan yang berpusat pada kebutuhan pasien (patientcentred support).

c. Kegiatan kolaborasi TB/HIV dan tata laksana komorbid TB yang lain.

Universitas Sumatera Utara

30

d. Upaya pemberian pengobatan pencegahan pada kelompok rentan dan
beresiko tinggi serta pemberian vaksinasi untuk mencegah TB.
2. Kebijakan dan sistem pendukung yang berani dan jelas.
a. Komitmen politis yang diwujudkan dalam pemenuhan kebutuhan layanan
dan pencegahan TB.
b. Keterlibatan aktif masyarakat, organisasi sosial kemasyarakatan dan pemberi
layanan kesehatan baik pemerintah maupun swasta.
c. Penerapan layanan kesehatan semesta (universal health coverage) dan
kerangka kebijakan lain yang mendukung pengendalian TB seperti wajib
lapor, registrasi vital, tata kelola dan penggunaan obat rasional serta
pengendalian infeksi.
d. Jaminan sosial, pengentasan kemiskinan dan kegiatan lain untuk mengurangi
dampak determinan sosial terhadap TB.
3. Intensifikasi riset dan inovasi
a. Penemuan, pengembangan dan penerapan secara cepat alat, metode
intervensi dan strategi baru pengendalian TB.
b. Pengembangan

riset

untuk

optimalisasi

pelaksanaan

kegiatan

dan

merangsang inovasi-inovasi baru untuk mempercepat pengembangan
program pengendalian TB (Kemenkes RI, 2014).
2.3.3

Kebijakan Pengendalian TB Paru
Kebijakan diartikan sebagai keputusan pemerintah yang relatif bersifat

umum dan ditujukan kepada masyarakat umum. Menurut Lasswell dan Kaplan

Universitas Sumatera Utara

31

dalam Abidin (2004) kebijakan adalah sebagai program yang diproyeksikan
berkenaan dengan tujuan, nilai dan praktek (Abidin, 2004).
Kebijakan penanggulangan TB Paru mencakup:
1. Pengendalian TB di Indonesia dilaksanakan sesuai dengan azas desentralisasi
dalam kerangka otonomi dengan kabupaten/kota sebagai titik berat
manajemen program, yang meliputi: perencanaan, pelaksanaan, monitoring
dan evaluasi serta menjamin ketersediaan sumber daya (dana, tenaga, sarana
dan prasarana).
2. Pengendalian TB dilaksanakan dengan menggunakan strategi DOTS sebagai
kerangka dasar dan memperhatikan strategi global untuk mengendalikan TB
(Global Stop TB Strategy).

3. Penguatan kebijakan ditujukan untuk meningkatkan komitmen daerah
terhadap program pengendalian TB.
4. Penguatan pengendalian TB dan pengembangannya ditujukan terhadap
peningkatan mutu pelayanan, kemudahan akses untuk penemuan dan
pengobatan sehingga mampu memutuskan rantai penularan dan mencegah
terjadinya TB resistan obat.
5. Penemuan dan pengobatan dalam rangka pengendalian TB dilaksanakan oleh
seluruh Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama (FKTP) dan Fasilitas Kesehatan
Rujukan Tingkat Lanjut (FKRTL), meliputi: Puskesmas, Rumah Sakit
Pemerintah dan Swasta, Rumah Sakit Paru (RSP), Balai Besar/Balai
Kesehatan Paru Masyarakat (B/BKPM), Klinik Pengobatan serta Dokter
Praktek Mandiri (DPM).

Universitas Sumatera Utara

32

6. Pengobatan untuk TB tanpa penyulit dilaksanakan di FKTP. Pengobatan TB
dengan tingkat kesulitan yang tidak dapat ditatalaksana di FKTP akan
dilakukan di FKRTL dengan mekanisme rujuk balik apabila faktor penyulit
telah dapat ditangani.
7. Pengendalian TB dilaksanakan melalui penggalangan kerja sama dan
kemitraan diantara sektor pemerintah, non pemerintah, swasta dan masyarakat
dalam wujud Gerakan Terpadu Nasional Pengendalian TB (Gerdunas TB).
8. Peningkatan kemampuan laboratorium diberbagai tingkat pelayanan ditujukan
untuk peningkatan mutu dan akses layanan.
9. Obat Anti Tuberkulosis (OAT) untuk pengendalian TB diberikan secara cumacuma dan dikelola dengan manajemen logistik yang efektif demi menjamin
ketersediaannya.
10. Ketersediaan tenaga yang kompeten dalam jumlah yang memadai untuk
meningkatkan dan mempertahankan kinerja program.
11. Pengendalian TB lebih diprioritaskan kepada kelompok miskin dan kelompok
rentan lainnya terhadap TB.
12. Pasien TB tidak dijauhkan dari keluarga, masyarakat dan pekerjaannya.
13. Memperhatikan komitmen terhadap pencapaian target strategi global
pengendalian TB (Kemenkes RI, 2014).
2.3.4

Peran Sumber Daya Manusia dalam Program Pengendalian TB
Perencanaan ketenagaan dalam Program Pengendalian TB ditujukan untuk

memastikan kebutuhan tenaga demi terselenggaranya kegiatan Program TB di

Universitas Sumatera Utara

33

suatu unit pelaksana. Dalam perencanaan ketenagaan ini berpedoman pada standar
kebutuhan minimal baik dalam jumlah dan jenis tenaga yang diperlukan.
1. Standar Ketenagaan di Fasilitas Pelayanan Kesehatan (Puskesmas)
a. Puskesmas Rujukan Mikroskopis dan Puskesmas Pelaksana Mandiri:
kebutuhan minimal tenaga pelaksana terlatih terdiri dari 1 dokter, 1
perawat/petugas TB, dan 1 tenaga laboratorium.
b. Puskesmas satelit: kebutuhan minimal tenaga pelaksana terlatih terdiri dari
1 dokter dan 1 perawat/petugas TB.
2. Standar Ketenagaan di Tingkat Kabupaten/Kota
Pengelola Program TB (Wasor) terlatih pada Dinas Kesehatan membawahi
10-20 fasilitas pelayanan kesehatan (fasyankes) di daerah yang aksesnya mudah
dan 10 fasyankes untuk daerah lain. Bagi wilayah yang memiliki lebih dari 20
fasyankes dapat memiliki lebih dari seorang supervisor.
Ketersediaan tenaga lain yang merupakan komponen Tim TB adalah:
a. Seorang tenaga pengelola logistik P2TB,
b. Seorang tenaga pengelola laboratorium (Labkesda),
c. Tim Promosi Kesehatan TB yang terdiri dari bagian promosi kesehatan dan
program TB dinas kesehatan setempat dan unsur lainnya yang terkait.
Pelayanan kesehatan di tingkat kabupaten/kota adalah tulang punggung
pelaksanaan Program Pengendalian TB. Setiap kabupaten/kota didukung oleh
fasilitas kesehatan primer yaitu Puskesmas Rujukan Mikroskopis, Puskesmas
Satelit, dan Puskesmas Pelaksana Mandiri. Kepala Dinas kabupaten/kota
bertanggung jawab melaksanakan Program

Pengendalian TB, termasuk

Universitas Sumatera Utara

34

perencanaan, penganggaran dan monitoring P2TB. Di bawah Seksi Pengendalian
Penyakit Menular di tingkat kabupaten/kota, seorang wasor TB bertanggung
jawab atas monitoring, supervisi, pencatatan pengobatan dan ketersediaan obat.
Beberapa lapas, rutan, dan tempat kerja telah menjadi bagian jejaring program
pengendalian TB di kabupaten/kota dan puskesmas. Puskesmas bertanggung
jawab untuk mendiagnosa, mengobati dan memonitor pengobatan yang didukung
oleh anggota keluarga sebagai Pengawas Minum Obat (Kemenkes RI, 2014).
2.3.5

Tugas Pokok dan Fungsi Petugas Program TB paru di Puskesmas
Dalam program penanggulangan TB paru di puskesmas, petugas TB

puskesmas memiliki uraian tugas yang paling lengkap bila dibandingkan dengan
petugas lainnya, dan uraian tugas tersebut menurut Depkes (2002) adalah sebagai
berikut:
1. Memberikan penyuluhan tentang TBC kepada masyarakat umum
2. Menjaring suspek (penderita tersangka) TBC
3. Mengumpul dahak dan mengisi buku daftar suspek Form TB 06
4. Membuat sediaan hapus dahak
5. Mengirim sediaan hapus dahak ke laboratorium dengan form TB 05
6. Menegakkan diagnosis TB sesuai protap
7. Membuat klasifikasi penderita
8. Mengisi kartu penderita (TB 01) dan kartu identitas penderita (TB 02)
9. Memeriksa kontak terutama kontak dengan penderita TB BTA (+)
10. Memantau jumlah suspek yang diperiksa dan jumlah penderita TBC
yang ditemukan.

Universitas Sumatera Utara

35

11. Menetapkan jenis paduan obat
12. Memberi obat tahap intensif dan tahap lanjutan
13. Mencatat pemberian obat tersebut dalam kartu penderita (form TB.01)
14. Menentukan PMO (bersama penderita)
15. Memberi KIE (penyuluhan) kepada penderita, keluarga dan PMO
16. Memantau keteraturan berobat
17. Melakukan pemeriksaan dahak ulang untuk follow-up pengobatan
18. Mengenal efek samping obat, komplikasi lainnya serta cara penanganannya
19. Menjamin ketersediaan OAT di puskesmas
20. Menjamin tersedianya bahan pelengkap lainnya (formolir, reagens, dll)
21. Menentukan hasil pengobatan dan mencatatnya di kartu penderita
2.4

Kegiatan Program Penanggulangan TB Paru
Untuk mencapai tujuan program penanggulangan TB paru terdapat

beberapa kegiatan-kegiatan yang harus dilakukan. Kegiatan yang dilaksanakan
dalam menanggulangi penyakit TB paru meliputi kegiatan pokok dan kegiatan
pendukung. Kegiatan pokok terdiri dari komponen diagnosis dan komponen
pengobatan. Komponen diagnosis terdiri dari deteksi penderita di poliklinik dan
penegakan diagnosis secara laboratorium, sedangkan komponen pengobatan
merupakan pengobatan yang cukup dan tepat. Salah satu kegiatan pendukung
dalam program penanggulangan TB paru adalah penyuluhan kepada penderita TB
paru dan masyarakat (Notoatmodjo, 2011).

Universitas Sumatera Utara

36

2.4.1

Penemuan Penderita TB Paru
Penemuan pasien bertujuan untuk mendapatkan pasien TB melalui

serangkaian kegiatan mulai dari penjaringan terhadap terduga pasien TB,
pemeriksaan fisik dan laboratris, menentukan diagnosis, menentukan klasifikasi
penyakit serta tipe pasien TB, sehingga dapat dilakukan pengobatan agar sembuh
sehingga tidak menularkan penyakitnya kepada orang lain (Kemenkes RI, 2014).
Strategi dalam menemukan penderita TB paru menurut Kemenkes RI
(2014), antara lain :
a. Penemuan pasien TB dilakukan secara intensif pada kelompok populasi
terdampak TB dan populasi rentan (keluarga penderita TB paru atau orang
yang kontak dengan penderita TB paru, lapas/rutan, tempat penampungan
pengungsi, daerah kumuh dan lain-lain.).
b. Upaya penemuan secara intensif harus didukung dengan kegiatan promosi
yang aktif,
c. Penjaringan terduga pasien TB dilakukan di fasilitas kesehatan dengan
dukungan promosi secara aktif oleh petugas kesehatan bersama masyarakat.
d. Melibatkan semua fasilitas kesehatan untuk mempercepat penemuan dan
mengurangi keterlambatan pengobatan.
e. Penemuan secara aktif dapat dilakukan terhadap:
1. Kelompok khusus yang rentan atau berisiko tinggi sakit TB seperti pada
pasien dengan HIV, DM dan malnutrisi

Universitas Sumatera Utara

37

2. Kelompok yang rentan karena berada di lingkungan yang berisiko tinggi
terjadinya penularan TB, seperti lapas/rutan, tempat penampungan
pengungsi, daerah kumuh dan lain-lain
3. Anak dibawah umur lima tahun yang kontak dengan pasien TB
4. Kontak erat dengan pasien TB dan pasien TB resisten obat
f. Penerapan manajemen tatalaksana terpadu bagi pasien dengan dan gejala yang
sama dengan gejala TB.
g. Tahap awal penemuan dilakukan dengan menjaring orang yang memiliki
gejala batuk berdahak selama 2 minggu atau lebih, batuk yang diikuti dengan
gejala tambahan yaitu dahak bercampur darah, batuk darah, sesak nafas, badan
lemas, nafsu makan menurun, berat badan menurun, malaise, berkeringat
malam hari tanpa kegiatan fisik, demam meriang lebih dari satu bulan
(Kemenkes RI, 2014).
2.4.2

Pemeriksaan Dahak (Sputum)

a. Pemeriksaan Dahak Mikroskopis Langsung
Pemeriksaan dahak berfungsi untuk menegakkan diagnosis, menilai
keberhasilan pengobatan dan menentukan potensi penularan. Pemeriksaan dahak
untuk penegakan diagnosis dilakukan dengan mengumpulkan 3 contoh uji dahak
yang dikumpulkan dalam dua hari kunjungan yang berurutan berupa dahak
Sewaktu - Pagi - Sewaktu (SPS):
- S (sewaktu): dahak ditampung pada saat terduga pasien TB datang berkunjung
pertama kali ke fasilitas pelayanan kesehatan. Pada saat pulang, terduga pasien
membawa sebuah pot dahak untuk menampung dahak pagi pada hari kedua.

Universitas Sumatera Utara

38

- P (Pagi): dahak ditampung di rumah pada pagi hari kedua, segera setelah bangun
tidur. Pot dibawa dan diserahkan sendiri kepada petugas di fasilitas pelayanan
kesehatan.
- S (sewaktu): dahak ditampung di fasilitas pelayanan kesehatan pada hari kedua,
saat menyerahkan dahak pagi.
b. Pemeriksaan Biakan
Pemeriksaan biakan untuk identifikasi Mycobacterium tuberkulosis
dimaksudkan untuk menegakkan diagnosis pasti TB pada pasien tertentu, misal :
pasien TB ekstra paru, pasien TB anak dan pasien TB dengan hasil pemeriksaan
dahak mikroskopis langsung BTA negatif.
Pemeriksaan tersebut dilakukan disarana laboratorium yang terpantau
mutunya. Apabila dimungkinkan pemeriksaan dengan menggunakan tes cepat
yang direkomendasikan WHO maka untuk memastikan diagnosis dianjurkan
untuk memanfaatkan tes cepat tersebut (Kemenkes RI, 2014).
2.4.3

Diagnosis TB Paru

1. Diagnosis TB paru:
Dalam upaya pengendalian TB secara nasional, maka diagnosis TB paru
pada orang dewasa harus ditegakkan terlebih dahulu dengan pemeriksaan
bakteriologis. Pemeriksaan bakteriologis yang dimaksud adalah pemeriksaan
mikroskopis langsung, biakan dan tes cepat. Apabila pemeriksaan secara
bakteriologis hasilnya negatif, maka penegakan diagnosis TB dapat dilakukan
secara klinis menggunakan hasil pemeriksaan klinis dan penunjang (setidak-

Universitas Sumatera Utara

39

tidaknya pemeriksaan foto toraks) yang sesuai dan ditetapkan oleh dokter yang
telah terlatih TB (Kemenkes RI, 2014).
Pada sarana terbatas, penegakan diagnosis secara klinis dilakukan setelah
pemberian terapi antibiotika spektrum luas (Non OAT dan Non kuinolon) yang
tidak memberikan perbaikan klinis.


Pemeriksaan dahak mikroskopis langsung

Untuk kepentingan diagnosis dengan cara pemeriksaan dahak secara mikroskopis
langsung, terduga pasien TB diperiksa contoh uji dahak SPS (Sewaktu - Pagi Sewaktu). Ditetapkan sebagai pasien TB apabila minimal 1 (satu) dari
pemeriksaan contoh uji dahak SPS hasilnya BTA positif (Kemenkes RI, 2014).
2. Diagnosis TB ekstra paru
Gejala dan keluhan tergantung pada organ yang terkena, misalnya kaku
kuduk pada meningitis TB, nyeri dada pada pleura (pleuritis), pembesaran
kelenjar limfe superfisialis pada limfadenitis TB serta deformitas tulang belakang
(gibbus) pada spondilitis TB dan lain-lainnya. Diagnosis pasti pada pasien TB
ekstra paru ditegakkan dengan pemeriksaan klinis, bakteriologis dan atau
histopatologis dari contoh uji yang diambil dari organ tubuh yang terkena
(Kemenkes RI, 2014).

Universitas Sumatera Utara

40

Batuk berdahak ≥ 2 minggu
Pemeriksaan klinis , SPS

(+++)
(-++)
(--+)

Rujuk ke Faskes Rujukan Tingkat Lanjut

Foto toraks mendukung TB,
pertimbangan dokter

(---)

Foto toraks tidak
mendukung TB,
pertimbangan dokter

Tidak bisa
dirujuk

BUKAN TB
Terapi AB
Non OAT

Tidak ada
perbaikan

Perbaikan

Pemeriksaan klinis
ulang, SPS
Pemeriksaan Tes
cepat/biakan

M.tb (+) Rif.
Sensitif

M.tb (+) Rif.
Resisten
Rujuk ke Faskes
Rujukan TBMDR

(---)

(+++)
(-++)
(-+-)

M.tb (-)

Observasi

TB

Pengobatan TB sesuai
pedoman nasional
KOLABORASI
KEGIATAN TB HIV

TIPK

HIV (+)

BUKAN TB

Gambar 2.1 Alur Diagnosis dan tindak lanjut TB Paru pada pasien dewasa
Sumber : Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis (2014)

Universitas Sumatera Utara

41

2.4.4

Pengobatan TB Paru
Pengobatan TB adalah salah satu upaya paling efisien untuk mencegah

penyebaran lebih lanjut dari kuman TB. Tujuan pengobatan TB adalah untuk
menyembuhkan pasien dan memperbaiki produktivitas serta kualitas hidup,
mencegah terjadinya kematian oleh karena TB atau dampak buruk selanjutnya,
mencegah terjadinya kekambuhan TB, menurunkan penularan TB, dan mencegah
terjadinya dan penularan TB resisten obat. Pengobatan TB terdiri dari tahap awal
dan tahap lanjutan (Kemenkes RI, 2014).
Pada tahap awal, pengobatan diberikan setiap hari. Paduan pengobatan
pada tahap ini dimaksudkan untuk secara efektif menurunkan jumlah kuman yang
ada dalam tubuh pasien dan meminimalisir pengaruh dari sebagian kecil kuman
yang mungkin sudah resisten sejak sebelum pasien mendapatkan pengobatan.
Pengobatan tahap awal pada semua pasien baru, harus diberikan selama 2 bulan.
Pada umumnya dengan pengobatan secara teratur dan tanpa adanya penyulit, daya
penularan sudah sangat menurun setelah pengobatan selama 2 minggu. Sedangkan
pengobatan pada tahap lanjutan merupakan tahap yang penting untuk membunuh
sisa-sisa kuman yang masih ada dalam tubuh khususnya kuman persister sehingga
pasien dapat sembuh dan mencegah terjadinya kekambuhan (Kemenkes RI, 2014).
2.4.4.1 Pengawasan Menelan Obat (PMO)
Untuk mencegah munculnya kuman resisten obat, maka sangat penting
dipastikan bahwa pasien menelan seluruh obat yang diberikan sesuai anjuran
dengan cara pengawasan langsung oleh seorang PMO (Pengawas Menelan Obat)
agar mencegah terjadinya resistensi obat. Pilihan tempat pemberian pengobatan

Universitas Sumatera Utara

42

sebaiknya disepakati bersama pasien agar dapat memberikan kenyamanan.
Sebaiknya PMO adalah petugas kesehatan, misalnya bidan di desa, perawat,
pekarya, sanitarian, juru imunisasi, dan lain lain. Bila tidak ada petugas kesehatan
yang memungkinkan, PMO dapat berasal dari kader kesehatan, guru, anggota
PPTI (Perhimpunan Pemberantasan Tuberkulosis Indonesia), PKK (Pembinaan
Kesejahteraan Keluarga), atau tokoh masyarakat lainnya atau anggota keluarga
(Kemenkes RI, 2014).
Persyaratan PMO menurut Kemenkes RI (2014) adalah:
1. Seseorang yang dikenal, dipercaya dan disetujui, baik oleh petugas kesehatan
maupun pasien, selain itu harus disegani dan dihormati oleh pasien.
2. Seseorang yang tinggal dekat dengan pasien.
3. Bersedia membantu pasien dengan sukarela.
4. Bersedia dilatih dan atau mendapat penyuluhan-sama dengan pasien.
Tugas seorang PMO menurut Kemenkes RI (2014) adalah:
1. Mengawasi pasien TB agar menelan obat secara teratur sampai selesai
pengobatan.
2. Memberi dorongan kepada pasien agar mau berobat teratur.
3. Mengingatkan pasien untuk periksa ulang dahak pada waktu yang telah
ditentukan.
4. Memberi penyuluhan pada anggota keluarga pasien TB yang mempunyai
gejala-gejala mencurigakan TB untuk segera memeriksakan diri ke unit
pelayanan kesehatan.

Universitas Sumatera Utara

43

2.4.5

Pemantauan dan Hasil Pengobatan TB Paru

a. Pemantauan kemajuan pengobatan TB
Pemantauan kemajuan dan hasil pengobatan pada orang dewasa
dilaksanakan dengan pemeriksaan ulang dahak secara mikroskopis. Pemeriksaan
dahak secara mikroskopis lebih baik dibandingkan dengan pemeriksaan radiologis
dalam memantau kemajuan pengobatan (Kemenkes RI, 2014).
Untuk memantau kemajuan pengobatan dilakukan pemeriksaan dua contoh
uji dahak (sewaktu dan pagi). Hasil pemeriksaan dinyatakan negatif bila ke 2
contoh uji dahak tersebut negatif. Bila salah satu contoh uji positif atau keduanya
positif, hasil pemeriksaan ulang dahak tersebut dinyatakan positif (Kemenkes RI,
2014).
Hasil dari pemeriksaan mikroskopis semua pasien sebelum memulai
pengobatan harus dicatat. Pemeriksaan ulang dahak pasien TB BTA positif
merupakan suatu cara terpenting untuk menilai hasil kemajuan pengobatan.
Setelah pengobatan tahap awal, tanpa memperhatikan hasil pemeriksaan ulang
dahak apakah masih tetap BTA positif atau sudah menjadi BTA negatif, pasien
harus memulai pengobatan tahap lanjutan (tanpa pemberian OAT sisipan apabila
tidak mengalami konversi). Pada semua pasien TB BTA positif, pemeriksaan
ulang dahak selanjutnya dilakukan pada bulan ke 5. Apabila hasilnya negatif,
pengobatan dilanjutkan hingga seluruh dosis pengobatan selesai dan dilakukan
pemeriksaan ulang dahak kembali pada akhir pengobatan (Kemenkes RI, 2014).

Universitas Sumatera Utara

44

b. Hasil Pengobatan Pasien TB
Menurut Kemenkes RI (2014), dalam hasil pengobatan pasien TB dibagi 6
kriteria, antara lain :
1. Sembuh, yaitu pasien TB paru dengan hasil pemeriksaan bakteriologis positif
pada awal pengobatan yang hasil pemeriksaan bakteriologis pada akhir
pengobatan menjadi negatif dan pada salah satu pemeriksaan sebelumnya.
2. Pengobatan lengkap, yaitu pasien TB yang telah menyelesaikan pengobatan
secara lengkap dimana pada salah satu pemeriksaan sebelum akhir pengobatan
hasilnya negatif namun tanpa ada bukti hasil pemeriksaan bakteriologis pada
akhir pengobatan.
3. Gagal, yaitu pasien yang hasil pemeriksaan dahaknya tetap positif atau kembali
menjadi positif pada bulan kelima atau lebih selama pengobatan atau kapan
saja apabila selama dalam pengobatan diperoleh hasil laboratorium yang
menunjukkan adanya resistensi OAT.
4. Meninggal, yaitu pasien TB yang meninggal oleh sebab apapun sebelum
memulai atau sedang dalam pengobatan.
5. Putus berobat (loss to follow-up), yaitu pasien TB yang tidak memulai
pengobatannya atau yang pengobatannya terputus selama 2 bulan terus
menerus atau lebih.
6. Tidak dievakuasi, yaitu pasien TB yang tidak diketahui hasil akhir
pengobatannya Termasuk dalam kriteria ini adalah ”pasien pindah (transfer
out)” ke kabupaten/kota lain dimana hasil akhir pengobatannya tidak diketahui

oleh kabupaten/kota yang ditinggalkan.

Universitas Sumatera Utara

45

2.4.6

Penyuluhan TB Paru
Penyuluhan TB paru perlu dilakukan karena masalah TB paru banyak

berkaitan dengan masalah pengetahuan dan perilaku masyarakat. Tujuan
penyuluhan adalah meningkatkan kesadaran, kemauan dan peran serta masyarakat
dalam penanggulangan TB paru (Depkes RI, 2002).
Penyuluhan TB paru dapat dilaksanakan dengan menyampaikan pesan
penting secara langsung ataupun menggunakan media. Penyuluhan langsung bisa
dilakukan perorangan dan masyarakat. Sementara penyuluhan tidak langsung
dengan menggunakan media, dalam bentuk bahan cetak (leaflet, poster, atau
spanduk) dan media massa (media cetak dan media elektronik) (Depkes RI, 2002).
2.5

Pelatihan Program Pengendalian TB
Pelatihan merupakan salah satu upaya peningkatan pengetahuan, sikap dan

keterampilan petugas dalam rangka meningkatkan kompetensi dan kinerja
petugas. Kegiatan pelatihan ini dapat dilakukan secara konvensional dengan
klasikal dan pelatihan jarak jauh (LJJ)/distance learning. Pelatihan Program TB di
Indonesia dilaksanakan secara berjenjang yaitu dimulai sejak pembentukan
MasterTrainer/Pelatih Utama TB, kegiatan Training of Trainers (TOT) sampai

pelatihan untuk petugas kesehatan dan manajer yang terlibat dalam pengendalian
TB (Kemenkes RI, 2014).
2.6

Monitoring dan Evaluasi Program TB
Monitoring dan evaluasi program TB merupakan salah satu fungsi

manajemen untuk menilai keberhasilan pelaksanaan program TB. Monitoring
dilakukan secara berkala sebagai deteksi awal masalah dalam pelaksanaan

Universitas Sumatera Utara

46

kegiatan program sehingga dapat segera dilakukan tindakan perbaikan. Evaluasi
dilakukan untuk menilai sejauh mana pencapaian tujuan, indikator, dan target
yang telah ditetapkan. Evaluasi dilakukan dalam rentang waktu lebih lama,
biasanya setiap 6 bulan sampai dengan 1 tahun (Kemenkes RI, 2014).
Pelaksanaan monitoring dan evaluasi merupakan tanggung jawab masingmasing tingkat pelaksana program, mulai dari fasilitas kesehatan, kabupaten/kota,
provinsi hingga pusat. Seluruh kegiatan program harus dimonitor dan dievaluasi
dari aspek masukan (input), proses, maupun keluaran (output) dengan cara
menelaah laporan, pengamatan langsung dan wawancara ke petugas kesehatan
maupun masyarakat sasaran (Kemenkes RI, 2014).
2.7

Strategi DOTS (Directly Observed Treatments Shortcourse)
WHO telah merekomendasikan strategi DOTS sebagai strategi dalam

pengendalian TB sejak tahun 1995. Bank Dunia menyatakan strategi DOTS
sebagai salah satu intervensi kesehatan yang secara ekonomis sangat efektif (costeffective). Integrasi ke dalam pelayanan kesehatan dasar sangat dianjurkan demi

efisiensi dan efektifitasnya (Kemenkes RI, 2014).
Fokus utama DOTS adalah penemuan dan penyembuhan pasien, prioritas
diberikan kepada pasien TB tipe menular. Strategi ini akan memutuskan rantai
penularan TB dan dengan demikian menurunkan insidens TB di masyarakat.
Menemukan dan menyembuhkan pasien merupakan cara terbaik dalam upaya
pencegahan penularan TB (Kemenkes, 2014). Strategi DOTS mempunyai lima
komponen:

Universitas Sumatera Utara

47

1. Komitmen politis dari pemerintah untuk menjalankan program TB
Secara umum komitmen pemerintah dibangun atas kesadaran tentang
besarnya masalah TB dan pengetahuan tentang adanya program penanggulangan
TB yang telah terbukti ampuh. Komitmen ini seyogyanya dimulai dengan
keputusan pemerintah untuk menjadikan TB sebagai prioritas penting/utama
dalam program kesehatannya (Aditama, 2002).
Pemerintah tentu artinya menyeluruh sifatnya. Untuk Indonesia, ini bukan
hanya Departemen Kesehatan semata, tetapi berbagai instansi pemerintah terkait,
baik dalam hubungannya dengan pendanaan, pelaksanaan di daerah serta hal
terkait lainnya. Komitmen politik pemerintah untuk memberi prioritas dalam
penanggulangan TB merupakan kunci utama keberhasilan program ini (Aditama,
2002).
2. Penemuan kasus dengan pemeriksaan mikroskopik
Kegiatan ini terutama dilakukan pada mereka yang datang ke fasilitas
kesehatan karena keluhan paru dan pernapasan. Pendekatan ini disebut sebagai
passive case finding. Dalam hal ini, pada keadaan tertentu dapat dilakukan

pemeriksaan radiografi, dengan kriteria-kriteria yang jelas yang dapat diterapkan
di masyarakat (Aditama, 2002).
3. Pemberian obat yang diawasi secara langsung/DOT (Directly Observed
Therapy)

Pasien diawasi secara langsung ketika menelan obatnya, obat yang
diberikan harus sesuai dengan standar dan diberikan secara gratis pada seluruh
pasien tuberkulosis yang menular dan yang kambuh. Pengobatan