Implementasi Program Penanggulangan TB Paru di Puskesmas Batang Pane II Kabupaten Padang Lawas Utara Tahun 2016

1

BAB I
PENDAHULUAN

1.1

Latar Belakang
Penyakit menular masih menjadi masalah kesehatan masyarakat yang

menimbulkan kesakitan, kematian, dan kecacatan yang tinggi sehingga perlu
dilakukan

penyelenggaraan

penanggulangan

melalui

upaya


pencegahan,

pengendalian, dan pemberantasan yang efektif dan efisien (Permenkes RI N0. 82
Tahun 2014). Salah satu penyakit menular yang masih menjadi masalah kesehatan
masyarakat adalah tuberkulosis (TB).
Tuberkulosis (TB) merupakan masalah kesehatan global utama. TB
menyebabkan angka kesakitan yang tinggi setiap tahunnya dan koinfeksi dengan
Human Immunodeficiency Virus (HIV) merupakan penyebab utama kematian di
seluruh dunia. Menurut World Health Organization (WHO) pada tahun 2014,
diperkirakan terdapat 9,6 juta kasus TB di dunia dimana 12% diantaranya adalah
pasien TB dengan HIV-positif. Dari jumlah tersebut, 58% berada di daerah Asia
Tenggara dan Pasifik Barat. India, Indonesia dan China memiliki jumlah kasus
terbesar yaitu 23%, 10% dan 10% dari total jumlah pasien TB di dunia. Terdapat
1,5 juta orang meninggal akibat TB yang terdiri dari 890.000 laki-laki, 480.000
perempuan dan 140.000 anak-anak (WHO, 2015).
Pada tahun 2014, di Indonesia ditemukan jumlah kasus baru TB paru
sebanyak 176.677 kasus, menurun bila dibandingkan kasus baru TB paru yang
ditemukan tahun 2013 yang sebesar 196.310 kasus. Jumlah kasus tertinggi yang

1


Universitas Sumatera Utara

2

dilaporkan terdapat di provinsi dengan jumlah penduduk yang besar yaitu Jawa
Barat (31.469 kasus), Jawa Timur (22.244 kasus), dan Jawa Tengah (16.079).
Kasus baru TB paru di tiga provinsi tersebut sebesar 40% dari jumlah seluruh
kasus baru di Indonesia. Sumatera Utara menduduki urutan keempat dengan
jumlah kasus baru TB paru sebanyak 15.031 kasus (Kemenkes RI, 2015).
Berdasarkan jumlah penduduk Sumatera Utara tahun 2014 (13.766.851
jiwa), diperhitungkan sasaran penemuan kasus baru TB Paru BTA (+) di Provinsi
Sumatera Utara adalah sebesar 22.026 jiwa, dan hasil cakupan penemuan kasus
baru TB Paru BTA (+) yaitu 16.818 kasus atau 76,35%. Angka ini mengalami
kenaikan bila dibandingkan dengan tahun 2013 sebesar 72,29% namun lebih
rendah bila dibandingkan dengan tahun 2012 sebesar 82,57% dan tahun 2011
sebesar 76,57%. Pada tahun 2014, jumlah seluruh kasus TB paru di Sumatera
Utara sebesar 24.052 kasus (Dinkes Sumut, 2015).
Sekitar 75% pasien TB adalah kelompok usia yang paling produktif secara
ekonomis (15-50 tahun). Diperkirakan seorang pasien TB dewasa, akan

kehilangan rata-rata waktu kerjanya 3 sampai 4 bulan. Hal tersebut berakibat pada
kehilangan pendapatan tahunan rumah tangganya sekitar 20-30%. Selain
merugikan secara ekonomis, TB juga memberikan dampak buruk lainnya secara
sosial, seperti stigma bahkan dikucilkan oleh masyarakat (Kemenkes RI, 2014).
Dilihat dari kondisi tersebut, diperlukan adanya upaya program
penanggulangan penyakit TB. Sejak tahun 1995, program nasional pemberantasan
TB di Indonesia mulai menerapkan strategi DOTS (Directly Observed Treatment
Shortcourse) yang direkomendasikan oleh WHO dan dilaksanakan secara

Universitas Sumatera Utara

3

bertahap. Kemudian berkembang seiring dengan pembentukan Gerakan Terpadu
Nasional (GERDUNAS) TB yang dibentuk oleh pemerintah pada tanggal 24
maret 1999, maka pemberantasan penyakit TB telah berubah menjadi program
penanggulangan TB Paru. Strategi DOTS terdiri dari 5 komponen kunci, yaitu: (1)
Komitmen politis, dengan peningkatan dan kesinambungan pendanaan, (2)
Penemuan kasus melalui pemeriksaan dahak mikroskopis yang terjamin mutunya,
(3) Pengobatan yang standar, dengan supervisi dan dukungan bagi pasien, (4)

Sistem pengelolaan dan ketersediaan OAT (Obat Anti Tuberkulosis) yang efektif,
(5) Sistem monitoring, pencatatan dan pelaporan yang mampu memberikan
penilaian terhadap hasil pengobatan pasien dan kinerja program (Kemenkes RI,
2014).
GERDUNAS-TB merupakan wadah yang memperluas pelaksanaan
penanggulangan TB paru dengan keikutsertaan berbagai sektor yang terkait dalam
menanggulangi masalah TB paru. Dalam pelaksanaan program tersebut masih
mengalami kegagalan, hal ini disebabkan karena tidak memadainya komitmen
politik dan pendanaan, tidak memadainya organisasi pelayanan TB (kurang
terakses oleh masyarakat, penemuan kasus/diagnosis yang tidak standar, obat
tidak terjamin penyediaannya, tidak dilakukan pemantauan, pencatatan dan
pelaporan yang standar), dan tidak memadainya tatalaksana kasus (diagnosis dan
panduan obat yang tidak standar, gagal menyembuhkan kasus yang telah
didiagnosis) (Kemenkes RI, 2011).
Fokus utama DOTS adalah penemuan dan penyembuhan pasien, prioritas
diberikan kepada pasien TB tipe menular. Strategi ini akan memutuskan rantai

Universitas Sumatera Utara

4


penularan TB dan dengan demikian menurunkan insidens TB di masyarakat.
Menemukan dan menyembuhkan pasien merupakan cara terbaik dalam upaya
pencegahan penularan TB (Kemenkes RI, 2014).
Dalam menilai kemajuan atau keberhasilan program pengendalian TB
digunakan beberapa indikator. Indikator utama program pengendalian TB secara
nasional ada 2, yaitu: Angka Notifikasi Kasus TB (Case Notification Rate = CNR)
dan Angka Keberhasilan Pengobatan TB (Treatment Success Rate = TSR). Angka
keberhasilan pengobatan merupakan penjumlahan dari angka kesembuhan dan
angka pengobatan lengkap (Kemenkes RI, 2014).
Berdasarkan Profil Kesehatan Indonesia tahun 2014, angka keberhasilan
pengobatan Indonesia sebesar 81,3%. WHO menetapkan standar angka
keberhasilan pengobatan sebesar 85%. Sementara Kementerian Kesehatan
menetapkan target Renstra minimal 88% untuk angka keberhasilan pengobatan
pada tahun 2014. Dengan demikian pada tahun 2014, Indonesia tidak mencapai
standar tersebut.
Di Provinsi Sumatera Utara, angka keberhasilan pengobatan (success rate)
rata-rata ditingkat provinsi mencapai 97,61%, dengan perincian persentase angka
kesembuhan 89,69% dan persentase pengobatan lengkap 7,92%. Angka
keberhasilan pengobatan pada tahun 2014 telah mampu melampaui target nasional

(Dinkes Sumut, 2015).
Menurut Aditama (2002) sulitnya penyakit TB dibasmi disebabkan
beberapa hal, diantaranya adalah kenyataan bahwa obat yang diberikan harus
beberapa macam sekaligus serta pengobatannya makan waktu lama, setidaknya 6

Universitas Sumatera Utara

5

bulan. Hal ini menyebabkan penderita putus berobat. Tidak jarang pula setelah
memakan obat 2-3 bulan keluhan telah hilang sehingga pasien berhenti berobat.
Untuk itu maka harus diberikan penyuluhan secara baik. Satu hal lain yang
penting dicamkan adalah perlunya kesadaran para petugas kesehatan tentang
kewajiban menjelaskan secara amat rinci pada pasiennya tentang perlunya berobat
secara teratur dan tuntas. Ketidakpatuhan berobat bukan semata-mata kesalahan
pasien, tetapi juga merupakan gambaran kesalahan petugas kesehatan yang gagal
meyakinkan pasien untuk berobat dengan teratur sampai tuntas.
Untuk menjamin seseorang menyelesaikan pengobatannya maka perlu
ditunjuk seorang pengawas menelan obat (PMO) yang sebaiknya datang dari
masyarakat, bukan kalangan kesehatan yang jumlahnya terbatas (Aditama, 2002).

Peran seorang PMO adalah amat penting. Menurut penelitian Zubaidah (2013),
pasien yang kurang mendapatkan pengawasan dari pengawas menelan obat
(PMO) 1,83 kali berisiko untuk tidak sembuh dibanding dengan pasien yang
diawasi dengan baik oleh pengawas menelan obat (PMO).
Dalam implementasi suatu program, sumber daya merupakan faktor
penting. Jika terjadi kekurangan sumber daya yang diperlukan untuk implementasi
program, maka implementasi menjadi tidak efektif. Sumber daya bisa menjadi
suatu faktor kritis di dalam mengimplementasikan kebijakan publik (Tangkilisan,
2003). Dalam model implementasi kebijakan, Edwards III berpendapat bahwa
sumber daya merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi keberhasilan
implementasi kebijakan. Jika para pelaksana kebijakan yang bertanggung jawab
untuk melaksanakan kebijakan kurang mempunyai sumber-sumber daya untuk

Universitas Sumatera Utara

6

melaksanakan kebijakan secara efektif maka implementasi kebijakan tersebut
tidak akan efektif. Sumber daya ini mencakup sumber daya manusia, anggaran,
fasilitas/sarana dan prasarana (Widodo, 2011).

Hasil penelitian sebelumnya oleh Nasution (2015) menunjukkan bahwa
faktor penyebab kurang optimalnya pelaksanaan/implementasi penanggulangan
TB paru adalah kurangnya komitmen politis yang ditandai dengan minimnya
dukungan dana dari pemerintah Kota Padangsidimpuan untuk program TB paru,
tidak adanya kerjasama lintas sektor dalam penanggulangan TB paru, petugas TB
paru belum mendapatkan pelatihan, penemuan kasus kebanyakan hanya
menunggu dan tidak pernah dilakukan penjaringan suspek secara aktif dan
masyarakat tidak kooperatif karena masih banyak penderita tidak membawa
kembali pot dahak ke puskesmas untuk diperiksa.
Kabupaten Padang Lawas Utara merupakan salah satu kabupaten/kota di
Sumatera Utara yang masih memiliki masalah kesehatan TB Paru. Pada tahun
2014 dilaporkan bahwa terdapat 1.989 suspek TB Paru dengan 249 orang BTA
positif (12,52%). Dari 249 orang BTA positif diobati terdapat 190 orang yang
sembuh. Dengan demikian, angka keberhasilan pengobatan yang diperoleh
sebesar 76,31%. Dengan demikian pada tahun 2014, Kabupaten Padang Lawas
Utara tidak mencapai standar nasional angka keberhasilan pengobatan yang
sebesar 88% (Dinkes Kabupaten Paluta, 2015).
Berdasarkan Profil Kesehatan Kabupaten Padang Lawas Utara Tahun
2014, angka kesembuhan dan keberhasilan pengobatan TB Paru menurut


Universitas Sumatera Utara

7

puskesmas Kabupaten Padang Lawas Utara Tahun 2014 dapat dilihat pada tabel
1.1 berikut:
Tabel 1.1 Angka Kesembuhan dan Angka Keberhasilan Pengobatan TB Paru BTA
Positif Menurut Kecamatan dan Puskesmas Kabupaten Padang Lawas
Utara Tahun 2014
No.

1.

2.

3.
4.

5.
6.

7.

8.

Kecama
tan
Padang
bolak

Halongo
nan

Portibi
Padang
bolak
julu
Hulu
sihapas
Batang
onang

Simanga
mbat

Dolok

Suspek

BTA
Positif
yang
Diobati

Semb
uh

Sembuh
(%)

Gunung tua

263

55

43

78,18

Angka
Keberhasil
an
Pengobatan
(%)
78,18

Siunggam
Nagasaribu
Napagadung
Laut
Hutaimbaru

111
64
1

11
2
0

8
2
0

72,73
100,00
-

72,73
100,00
-

187

19

15

78,95

78,95

Pangirkiran
Batang pane
II
Portibi
Batu gana

160
50

16
6

11
1

68,75
16,67

68,75
16,67

76
147

19
15

15
9

78,95
60,00

78,95
60,00

Aek godang

79

11

8

72,73

72,73

Pasar
matanggor
Langkimat

77

10

7

70,00

70,00

342

30

25

83,33

83,33

Ulok tano
Kosik putih
Sipiongot
Sibio-bio
Simundol

18
2
256
0
158

3
0
27
0
23

3
0
23
0
18

100,00
85,19
78,26

100,00
85,19
78,26

Puskesmas

Dolok
sigompu
lon
Sumber: Profil Dinkes Kabupaten Padang Lawas Utara tahun 2014
9.

Berdasarkan tabel di atas, diketahui bahwa angka keberhasilan pengobatan
yang paling rendah terdapat pada Puskesmas Batang Pane II yaitu sebesar
16,67%. Jumlah BTA positif yang diobati di Puskesmas Batang Pane II sebanyak
6 orang dari 50 orang suspek.

Universitas Sumatera Utara

8

Berdasarkan survei pendahuluan yang dilakukan di Puskesmas Batang
Pane II diketahui bahwa program penanggulangan TB dilaksanakan dengan
strategi DOTS. Puskesmas Batang Pane II termasuk kategori puskesmas satelit,
artinya puskesmas tersebut tidak memiliki fasilitas laboratorium sendiri, dan
hanya membuat sediaan apus dahak dan fiksasi saja, kemudian sampel dahak di
kirim ke Puskesmas Hutaimbaru sebagai Puskesmas Rujukan Mikroskopis
(PRM). Puskesmas memiliki 1 orang petugas program TB Paru dan 1 orang
dokter umum. Petugas penanggung jawab program TB paru belum mendapat
pelatihan DOTS.
Pelaksanaan program penanggulangan TB paru di Puskesmas Batang Pane
II meliputi kegiatan penemuan penderita TB paru, pemeriksaan dahak (sputum),
pengobatan, pemantauan perkembangan penderita dan penyuluhan. Alur diagnosis
TB paru yaitu penderita suspek TB paru yang memiliki gejala batuk berdahak
selama kurang lebih satu bulan memeriksakan kesehatan ke puskesmas, kemudian
dilakukan pemeriksaan BTA (+) sebanyak tiga kali. Puskesmas Batang Pane II
hanya melakukan apusan dahak saja, kemudian petugas TB paru mengirim sampel
dahak ke Puskesmas Hutaimbaru. Jika dari ketiga hasil pemeriksaan sputum
terdapat dua BTA (+), maka suspek TB paru dapat dinyatakan sebagai penderita
TB paru. Penderita TB paru menjalani pengobatan selama 6 bulan. Seorang
penderita TB paru membutuhkan seorang PMO (pengawas menelan obat). PMO
berasal dari anggota keluarga penderita.
Dari survei pendahuluan yang dilakukan, diketahui bahwa pelaksanaan
program penanggulangan TB paru belum optimal. Petugas TB paru lebih banyak

Universitas Sumatera Utara

9

melakukan penemuan kasus secara pasif yaitu menunggu pasien (suspek TB paru)
datang ke puskesmas daripada penemuan kasus secara aktif. Puskesmas tidak
melaksanakan penemuan kasus secara aktif seperti melakukan penemuan kasus
pada kelompok yang rentan karena berada di lingkungan yang berisiko tinggi
terjadinya penularan TB, seperti pada keluarga penderita TB paru atau orang yang
kontak dengan penderita TB paru, lapas/rutan, daerah kumuh dan lain-lain.
Menurut petugas TB Paru Puskesmas Batang Pane II, rendahnya angka
keberhasilan pengobatan yang dicapai diakibatkan oleh rendahnya motivasi
berobat dari penderita TB paru dan masih kurangnya pengetahuan masyarakat
mengenai TB paru. Hal ini dapat dilihat dari pengobatan yang tidak tuntas karena
penderita TB paru merasa bosan, lelah, karena efek samping dari obat anti
tuberkulosis dan kurangnya pengawasan dalam meminum obat.
Berdasarkan uraian di atas, maka penulis tertarik untuk melakukan
penelitian mengenai implementasi program penanggulangan TB Paru di
Puskesmas Batang Pane II Kabupaten Padang Lawas Utara tahun 2016.
1.2

Rumusan Masalah
Aspek-aspek penilaian tingkat pelaksanaan program penanggulangan TB

paru meliputi sumber daya/input program (komitmen politis, tenaga kesehatan,
pendanaan,

sarana

dan

prasarana)

dan

pelaksanaan

kegiatan

program

penanggulangan TB Paru (penemuan kasus, pemeriksaan dahak, pengobatan,
pemantauan hasil pengobatan, dan penyuluhan). Analisis terhadap aspek-aspek
tersebut menggambarkan sejauh mana pelaksanaan program penanggulangan TB
paru dilaksanakan oleh Puskesmas Batang Pane II Kabupaten Padang Lawas

Universitas Sumatera Utara

10

Utara Tahun 2016. Adapun rumusan masalah dalam penelitian ini adalah
bagaimanakah keadaan sumber daya/masukan dan pelaksanaan kegiatan program
penanggulangan TB paru di Puskesmas Batang Pane II Kabupaten Padang Lawas
Utara tahun 2016?
1.3

Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis aspek-aspek penilaian tingkat

pelaksanaan program penanggulangan TB paru meliputi sumber daya/masukan
program (komitmen politis, tenaga kesehatan, pendanaan, sarana dan prasarana)
dan pelaksanaan kegiatan berupa penemuan kasus, pemeriksaan dahak,
pengobatan, pemantauan hasil pengobatan, dan penyuluhan yang dilaksanakan di
Puskesmas Batang Pane II Kabupaten Padang Lawas Utara Tahun 2016.
1.4

Manfaat Penelitian
Manfaat dari penelitian ini adalah:

1. Memberikan informasi kepada Dinas Kesehatan Kabupaten Padang Lawas
Utara tentang pelaksanaan program penanggulangan TB Paru di Puskesmas
Batang Pane II Kabupaten Padang Lawas Utara.
2. Sebagai bahan masukan bagi Puskesmas Batang Pane II dalam melaksanakan
program penanggulangan TB Paru dan meningkatkan kualitas pelayanan
kesehatan kepada penderita TB Paru.
3. Sebagai bahan informasi dan pengembangan wawasan keilmuan dan dapat
dijadikan sebagai acuan bagi penelitian berkelanjutan.

Universitas Sumatera Utara