Pelaksanaan Program Penanggulangan TB Paru di Puskesmas Aek Kanopan Labuhanbatu Utara

(1)

PELAKSANAAN PROGRAM PENANGGULANGAN TB PARU

DI PUSKESMAS AEK KANOPAN LABUHANBATU UTARA

SKRIPSI

Oleh Nurainun 081121026

FAKULTAS KEPERAWATAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


(2)

Lembar Persetujuan Skripsi

Judul : Pelaksanaan Program Penanggulangan TB Paru di Puskesmas Aek Kanopan Labuhanbatu Utara

Nama Mahasiswa : Nurainun

NIM : 081121026

Jurusan : Sarjana Keperawatan (S.Kep)

Tahun : 2009

Tanggal Lulus : 30 Desember 2009

Pembimbing Penguji I

Anna Kasfi, SKep, Ns Siti Zahara Nasution, SKp, MNS NIP.19710305 200112 2 001

Penguji II

Ismayadi, SKep, Ns

NIP. 19750629 200212 1 002

Fakultas Keperawatan Universitas Sumatera Utara telah Menyetujui Skripsi ini sebagai bagian dari persyaratan kelulusan Sarjana Keperawatan (S.Kep).

Medan, 30 Desember 2009 Pembantu Dekan I,

Erniyati, S.Kp, MNS.


(3)

PRAKATA

Puji dan syukur Penulis ucapkan Kehadirat Allah SWT atas segala berkah dan rahmatNya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan judul Pelaksanaan Program Penanggulangan TB Paru di Puskesmas Aek Kanopan

Labuhanbatu Utara.

Penulis menyadari sepenuhnya dalam penulisan skripsi ini masih terdapat kekurangan-kekurangan di dalamnya, baik dalam materi maupun dalam penulisan. Namun besar harapan penulis kiranya skripsi ini dapat bermanfaat bagi para pembaca. Penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Ibu Anna Kasfi, SKep, Ns selaku dosen pembimbing yang telah meluangkan waktunya untuk memberikan pengarahan dan bimbingan kepada saya dengan penuh kesabaran dalam penyelesaian skripsi ini.

Pada Kesempatan ini, penulis juga mengucapkan terima kasih kepada dr. Dedi Ardinata, MKes selaku Dekan Fakultas Keperawatan Universitas Sumatera Utara dan Ibu Erniyati, SKp, MNS selaku Pembantu Dekan I Fakultas Keperawatan Universitas Sumatera Utara yang telah memberikan izin penelitian ini. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada seluruh Staf Pengajar di Fakultas Keperawatan Universitas Sumatera Utara yang telah memberikan ilmunya kepada penulis.

Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Dr. Hj. T. Mestika Mayang selaku Kepala Puskesmas Aek Kanopan yang telah memberikan izin penelitian pada penulis. Ucapan terima kasih kepada Pegawai/Tenaga Kesehatan


(4)

di Puskesmas Aek Kanopan khususnya pegawai di bagian program penanggulangan TB Paru yang telah banyak membantu penulis dalam penelitian ini.

Secara khusus penulis sampaikan ucapan terima kasih kepada kedua orang tua yang telah banyak memberikan dukungan bagi penulis, kakak-kakak tercinta, dan seluruh keluarga.

Buat sahabat-sahabat penulis Ibu Masita, Kak Silvi, Kak Rina, Bang Adillah, Rispa, Lisa dan Eni terima kasih atas dukungannya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Selanjutnya buat teman-teman angkatan 2008 yang tak dapat saya sebutkan satu-persatu terima kasih banyak atas bantuan dan semangat serta dukungannya pada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

Penulis menyadari bahwa penelitian ini jauh dari sempurna, untuk itu diharapkan kritik dan saran yang membangun untuk penyempurnaan skripsi ini.

Penulis,


(5)

DAFTAR ISI

Halaman Judul ... i

Halaman Pengesahan ... ii

Prakata ... iii

Daftar Isi ... v

Daftar Tabel ... vii

Daftar Skema ... viii

Abstrak ... ix

BAB 1. PENDAHULUAN ... 1

1. Latar Belakang ... 1

2. Tujuan Penelitian ... 6

2.1. Tujuan Umum Penelitian ... 6

2.2. Tujuan Khusus Penelitian ... 6

3. Pertanyaan Penelitian ... 7

4. Manfaat Penelitian ... 7

4.1. Untuk Puskesmas Aek Kanopan Labuhanbatu Utara ... 7

4.2. Untuk Praktek Keperawatan ... 7

4.3. Untuk Pendidikan Keperawatan... 8

4.4. Untuk Penelitian Keperawatan ... 8

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA ... 9

1. Tuberkulosis ... 10

1.1. Definisi ... 10

1.2. Etiologi ... 10

1.3. Diagnostik TB Paru ... 11

1.4. Cara Penularan dan Resiko Penularan TB Paru ... 12

1.5. Infeksi TB Paru ... 13

1.6. Penemuan Penderita TB Paru ... 14

1.7. Pengobatan ... 15

2. Program Penanggulangan TB Paru... 21

2.1. Tujuan Penanggulangan TB Paru ... 21

2.2. Strategi DOTS ... 22

2.3. Penyuluhan TB Paru ... 25

BAB 3. KERANGKA PENELITIAN ... 29

1. Kerangka Konseptual ... 29

2. Definisi Operasional ... 32

BAB 4. METODE PENELITIAN ... 33

1. Desain Penelitian ... 33

2. Populasi dan Sampel ... 33

2.1. Populasi ... 33


(6)

3. Lokasi dan Waktu Penelitian ... 34

4. Pertimbangan Etik ... 34

5. Instrumen Penelitian ... 35

6. Uji Validitas dan Reliabilitas Instrumen ... 37

7. Pengumpulan Data ... 38

8. Analisa Data ... 39

BAB 5. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 40

1. Hasil Penelitian ... 40

2. Pembahasan ... 52

BAB 6. KESIMPULAN DAN SARAN ... 63

1. Kesimpulan ... 63

2. Saran ... 64

DAFTAR PUSTAKA……….. 66

LAMPIRAN

1. Lembar Informed Consent 2. Instrumen Penelitian

3. Hasil Uji Reliabilitas Instrumen Penelitian 4. Daftar Riwayat Hidup

5. Surat Pernyataan Ijin Penelitian dari Fakultas Keperawatan USU

6. Surat Balasan dari Puskesmas Aek Kanopan Labuhanbatu Utara tentang Penelitian


(7)

DAFTAR TABEL

Tabel 2.1. Paduan OAT Kategori I, II, dan III ... 16 Tabel 2.2. Hasil Pengobatan TB Paru dan Tindak Lanjutnya ... 17 Tabel 5.1. Distribusi Frekuensi dan Persentase Karakteristik Responden ... 41 Tabel 5.2. Distribusi Frekuensi dan Persentase Pelaksanaan Program

Penanggulangan TB Paru dengan Strategi DOTS dan Penyuluhan Kesehatan Tentang TB Paru ... 43 Tabel 5.3. Kategori Pelaksanaan Program Penanggulangan TB Paru dengan Strategi DOTS dan PenyuluhanKesehatan Tentang TB Paru di

Puskesmas Aek Kanopan ... 44 Tabel 5.4. Distribusi Frekuensi dan Persentase Komitmen Politik dari Para

Pengambil Keputusan Termasuk Dukungan Dana ... 46 Tabel 5.5. Distribusi Frekuensi dan Persentase Penemuan Penderita dengan

Pemeriksaan Dahak Secara Mikroskopis ... 46 Tabel 5.6. Distribusi Frekuensi dan Persentase Pengobatan dengan Paduan

Obat Anti Tuberkulosis (OAT) Jangka Pendek dengan Pengawasan Langsung oleh Pengawas Menelan Obat (PMO) ... 48 Tabel 5.7. Distribusi Frekuensi dan Persentase Jaminan Tersedianya OAT

secara Teratur, Menyeluruh dan Tepat Waktu dengan Mutu Terjamin ... 49 Tabel 5.8. Distribusi Frekuensi dan Persentase Sistem Pencatatan dan

Pelaporan secara Baku untuk Memudahkan Pemantauan dan Evaluasi Program Penanggulangan TB Paru ... 50 Tabel 5.9. Distribusi Frekuensi dan Persentase Penyuluhan TB Paru ... 51


(8)

DAFTAR SKEMA

Skema 1. Kerangka konsep pelaksanaan program Penanggulangan TB Paru di Puskesmas Aek Kanopan Labuhanbatu... 31


(9)

Judul : Pelaksanaan Program Penanggulangan TB Paru di Puskesmas Aek Kanopan Labuhanbatu Utara

Nama : Nurainun

Jurusan : Fakultas Keperawatan Tahun Akademik : 2008/2009

Abstrak

TB Paru atau Tuberkulosis Paru merupakan penyakit infeksi yang menyebabkan kematian sekitar 3 juta orang per tahun di dunia (WHO, 2002). Penderita TB Paru diperkirakan 95% berada di negara-negara berkembang termasuk di Indonesia. Untuk mengatasi TB Paru sejak tahun 1995 di Indonesia diberlakukan strategi DOTS yang direkomendasikan oleh WHO, dan didukung dengan penyuluhan tentang TB Paru. Puskesmas Aek Kanopan Labuhanbatu Utara juga telah melaksanakan program penanggulangan TB Paru melalui pelaksanaan kedua strategi tersebut. Tahun 2006 Puskesmas Aek Kanopan telah berhasil melakukan pengobatan dengan persentase keberhasilan adalah 93,45%, tahun 2007 adalah 100%, namun tahun 2008 persentase keberhasilannya yaitu 75%.

Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi pelaksanaan program penanggulangan TB Paru di Puskesmas Aek Kanopan Labuhanbatu Utara. Penelitian ini menggunakan desain deskriptif eksploratif dengan metode pengambilan sampel secara total sampling. Populasi dan sampel dalam penelitian ini adalah 30 orang penderita TB Paru yang sedang dalam pengobatan di Puskesmas Aek Kanopan. Pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan kuesioner yang terdiri dari data demografi responden, pelaksanaan strategi DOTS dan penyuluhan tentang TB Paru di Puskesmas Aek Kanopan.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa pelaksanaan program penanggulangan TB Paru di Puskesmas Aek Kanopan Labuhanbatu Utara adalah optimal. Kemudian dari keseluruhan strategi DOTS dan penyuluhan tentang TB Paru yang optimal terlihat adalah penemuan penderita dengan pemeriksaan dahak secara mikroskopis (81,65%), pengobatan dengan paduan Obat Anti Tuberkulosis (OAT) jangka pendek dengan pengawasan langsung oleh Pengawas Menelan Obat (PMO) (74,645), jaminan tersedianya OAT secara teratur, menyeluruh dan tepat waktu dengan mutu terjamin (82,2%), sistem pencatatan dan pelaporan secara baku untuk memudahkan pemantauan dan evaluasi program penanggulangan TB Paru (75,8%). Sedangkan yang kurang optimal adalah komitmen politik dari para pengambil keputusan termasuk dukungan dana (59,965), dan penyuluhan tentang TB Paru (64,96%).

Kata Kunci: Program Penanggulangan TB Paru, Puskesmas Aek Kanopan Labuhanbatu Utara


(10)

Judul : Pelaksanaan Program Penanggulangan TB Paru di Puskesmas Aek Kanopan Labuhanbatu Utara

Nama : Nurainun

Jurusan : Fakultas Keperawatan Tahun Akademik : 2008/2009

Abstrak

TB Paru atau Tuberkulosis Paru merupakan penyakit infeksi yang menyebabkan kematian sekitar 3 juta orang per tahun di dunia (WHO, 2002). Penderita TB Paru diperkirakan 95% berada di negara-negara berkembang termasuk di Indonesia. Untuk mengatasi TB Paru sejak tahun 1995 di Indonesia diberlakukan strategi DOTS yang direkomendasikan oleh WHO, dan didukung dengan penyuluhan tentang TB Paru. Puskesmas Aek Kanopan Labuhanbatu Utara juga telah melaksanakan program penanggulangan TB Paru melalui pelaksanaan kedua strategi tersebut. Tahun 2006 Puskesmas Aek Kanopan telah berhasil melakukan pengobatan dengan persentase keberhasilan adalah 93,45%, tahun 2007 adalah 100%, namun tahun 2008 persentase keberhasilannya yaitu 75%.

Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi pelaksanaan program penanggulangan TB Paru di Puskesmas Aek Kanopan Labuhanbatu Utara. Penelitian ini menggunakan desain deskriptif eksploratif dengan metode pengambilan sampel secara total sampling. Populasi dan sampel dalam penelitian ini adalah 30 orang penderita TB Paru yang sedang dalam pengobatan di Puskesmas Aek Kanopan. Pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan kuesioner yang terdiri dari data demografi responden, pelaksanaan strategi DOTS dan penyuluhan tentang TB Paru di Puskesmas Aek Kanopan.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa pelaksanaan program penanggulangan TB Paru di Puskesmas Aek Kanopan Labuhanbatu Utara adalah optimal. Kemudian dari keseluruhan strategi DOTS dan penyuluhan tentang TB Paru yang optimal terlihat adalah penemuan penderita dengan pemeriksaan dahak secara mikroskopis (81,65%), pengobatan dengan paduan Obat Anti Tuberkulosis (OAT) jangka pendek dengan pengawasan langsung oleh Pengawas Menelan Obat (PMO) (74,645), jaminan tersedianya OAT secara teratur, menyeluruh dan tepat waktu dengan mutu terjamin (82,2%), sistem pencatatan dan pelaporan secara baku untuk memudahkan pemantauan dan evaluasi program penanggulangan TB Paru (75,8%). Sedangkan yang kurang optimal adalah komitmen politik dari para pengambil keputusan termasuk dukungan dana (59,965), dan penyuluhan tentang TB Paru (64,96%).

Kata Kunci: Program Penanggulangan TB Paru, Puskesmas Aek Kanopan Labuhanbatu Utara


(11)

BAB 1 PENDAHULUAN

1. Latar Belakang

Tuberkulosis Paru (TB Paru) yang dulu disingkat menjadi TBC karena berasal dari kata Tuberculosis, adalah suatu penyakit infeksi yang dapat mengenai paru-paru manusia. TB Paru yang disebabkan oleh Micobacterium Tuberculosis merupakan penyakit kronis (menahun) yang telah lama dikenal oleh masyarakat luas dan ditakuti karena menular. Penyakit ini menjadi tidak terkendali pada sebagian besar dunia, dan salah satu penyebab utama kematian di Indonesia serta negara-negara berkembang lainnya (Depkes RI, 2002; Aditama, 2002).

Menurut WHO sekitar 1,9 milyar (sepertiga) penduduk dunia diserang TB Paru dengan kematian 3 juta orang per tahun (Depkes RI, 2009). Di negara-negara berkembang kematian akibat TB Paru mencapai 25% dari seluruh kematian yang sebenarnya dapat diadakan pencegahan. Penderita TB Paru diperkirakan 95% berada di negara-negara berkembang, bersamaan dengan munculnya epidemi HIV/AIDS di dunia. Oleh karena itu, pada tahun 1993 WHO mencanangkan keadaan darurat Global untuk penyakit TB Paru (Depkes RI, 2002; Crofton dkk, 2002).

Di Indonesia, berdasarkan hasil Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) tahun 1992 TB Paru merupakan penyebab kematian nomor dua setelah penyakit kardiovaskuler (Aditama, 2002). Tahun 1999 dari hasil evaluasi bersama Indonesia – WHO, disimpulkan bahwa setiap tahun terjadi 583.000 kasus TB


(12)

Paru dengan kematian sekitar 140.000 – 175.000 penderita per tahun (Depkes RI, 2002; Aditama, 2002). Menurut Menkes RI, pada tahun 2008 diperkirakan sebanyak 220.000 penderita TB Paru per tahun atau 500 penderita TB Paru per hari, membuat Indonesia berada pada urutan ketiga dalam jumlah penderita TB Paru di dunia setelah India dan Cina, sedangkan kematian penderita akibat TB Paru adalah sebesar 88.000 per tahun atau 240 penderita per hari (Depkes RI, 2009). Secara kasar diperkirakan dari setiap 100.000 penduduk Indonesia terdapat 130 penderita TB Paru BTA positif. Kasus baru penderita TB Paru diperkirakan sepertiganya terdapat di puskesmas, sepertiganya lagi ditemukan di pelayanan rumah sakit atau klinik pemerintah dan swasta, sedangkan sisanya belum terjangkau unit pelayanan kesehatan (Depkes, 2002).

Di Sumatera Utara pada tahun 2007 ditemukan sebanyak 13.219 orang penderita TB Paru dan 264 orang diantaranya meninggal dunia. Sebagian besar penderita TB Paru tersebut berusia 17 – 54 tahun (kelompok usia produktif) dengan persentase jumlah mencapai 70%. Seorang penderita dengan BTA positif dapat menularkan kepada 10 – 15 orang setiap tahunnya. Kondisi ini menyebabkan penderita TB Paru di Sumatera Utara mencapai 160/100.000 penduduk (Sukarni, 2008).

Untuk menanggulangi kasus TB Paru di Indonesia bertepatan dengan peringatan hari TB Paru sedunia, Menteri Kesehatan Indonesia pada tanggal 24 Maret 1999 mencanangkan dimulainya Gerakan Terpadu Nasional Penanggulangan TB (Gerdunas TB) sebagai wahana untuk pemberantasan TB Paru. Penanggulangan TB Paru dilaksanakan dengan strategi Directly Observed


(13)

Treatment Shortcourse (DOTS) atau pengawasan langsung menelan obat, yang

dilaksanakan di puskesmas juga melibatkan rumah sakit (Depkes RI, 2002; Crofton dkk, 2002). Di Indonesia pada tahun 1969 – 1994 sebelum strategi DOTS diberlakukan angka kesembuhan yang dapat dicapai hanya 40 – 60%. Sedangkan sejak diberlakukannya strategi DOTS pada tahun 1995 – 1998 angka kesembuhan mencapai 85% (Depkes RI, 2002). Tahun 2004 – 2005 keberhasilan pengobatan yang telah dicapai 85% dari target global 85,7% (Depkes RI, 2005).

Strategi DOTS sebagai strategi yang direkomendasikan WHO untuk menanggulangi TB Paru, mempunyai lima hal yang diutamakan yaitu: komitmen politik dari para pengambil keputusan termasuk dukungan dana, penemuan penderita dengan pemeriksaan dahak secara mikroskopis, pengobatan dengan paduan Obat Anti Tuberkulosis (OAT) jangka pendek dengan pengawasan langsung oleh Pengawas Menelan Obat (PMO), jaminan tersedianya OAT jangka pendek secara teratur, menyeluruh dan tepat waktu dengan mutu terjamin, serta sistem pencatatan dan pelaporan secara baku untuk memudahkan pemantauan dan evaluasi program penanggulangan TB Paru.

Puskesmas Aek Kanopan adalah salah satu Puskesmas di Labuhanbatu Utara yang melaksanakan program penanggulangan TB Paru. Program penanggulangan TB Paru yang telah dilaksanakan adalah melalui strategi DOTS dan penyuluhan kesehatan. Penyuluhan kesehatan sebagai bagian dari promosi kesehatan, merupakan rangkaian kegiatan yang berlandaskan prinsip-prinsip belajar untuk mencapai suatu keadaan dimana individu, kelompok, atau


(14)

masyarakat secara keseluruhan dapat hidup sehat dengan cara memelihara, melindungi dan meningkatkan kesehatannya.

Penyuluhan TB Paru perlu dilakukan karena masalah TB Paru banyak berkaitan dengan masalah pengetahuan dan perilaku masyarakat. Tujuan penyuluhan adalah untuk meningkatkan kesadaran, kemauan dan peran serta masyarakat dalam penanggulangan TB Paru. Penyuluhan TB Paru dapat dilaksanakan dengan menyampaikan pesan penting secara langsung ataupun menggunakan media. Penyuluhan langsung dapat dilakukan dengan perorangan atau kelompok. Penyuluhan tidak langsung dengan menggunakan media seperti: bahan cetak seperti leaflet, poster atau spanduk, sedangkan bentuk media massa dapat berupa koran, majalah, radio dan televisi (Depkes RI, 2002).

Berdasarkan data Puskesmas Aek Kanopan tahun 2006 penduduk wilayah kerja Puskesmas Aek Kanopan berjumlah 29.305 orang. Jumlah penderita yang terjaring di puskesmas berjumlah 66 orang dengan hasil kultur BTA positif. Setelah dilakukan pengobatan dengan strategi DOTS tingkat kesembuhannya mencapai 93,45% (63 orang). Tahun 2007, dengan jumlah penduduk yang sama seperti tahun 2006, jumlah penderita yang terjaring di Puskesmas 59 orang dengan hasil pemeriksaan BTA positif. Setelah dilakukan pengobatan dengan strategi DOTS tingkat kesembuhannya mencapai 100% (59 orang). Sedangkan pada tahun 2008 terdapat 44 orang penderita, 2 orang diantaranya meninggal dan penderita yang dinyatakan sembuh sebanyak 75% (33 orang), sedangkan yang lainnya masih melanjutkan pengobatan dengan strategi DOTS.


(15)

Berdasarkan pemaparan di atas terlihat bahwa persentase penderita TB Paru baik di dunia, di Indonesia maupun di Sumatera Utara sendiri masih menunjukkan persentase yang tinggi. Demikian pula di wilayah kerja Puskesmas Aek Kanopan Labuhanbatu Utara masih terdapat penderita TB Paru setiap tahunnya, walaupun pada tahun 2007 angka kesembuhan penderita TB Paru berhasil mencapai angka yang optimal (seluruh penderita sembuh), namun pada tahun 2008 terdapat penurunan angka kesembuhan dengan pengobatan yang sama menggunakan strategi DOTS.

Berdasarkan beberapa penelitian sebelumnya tentang penyakit TB Paru, seperti yang dilakukan oleh Novita (2005) tentang persepsi pasien TB Paru terhadap kinerja PMO di daerah kerja Puskesmas Tanjung Morawa Kabupaten Deli Serdang, menunjukkan bahwa 84,9% responden memiliki persepsi positif terhadap kinerja PMO dalam mendukung pengobatan penderita. Kemudian penelitian Kariani (2006) tentang persepsi penderita TB Paru terhadap pengobatan dengan strategi DOTS di Puskesmas Kesatria Pematang Siantar, menunjukkan bahwa 100% responden memiliki persepsi yang positif terhadap pengobatan TB Paru dengan strategi DOTS. Sedangkan penelitian Efdelina (2008) tentang keberhasilan penderita TB paru mengikuti program DOTS berdasarkan PMO di wilayah kerja Puskemas Medan Denai menunjukkan bahwa penderita TB Paru cukup berhasil dalam mengikuti program DOTS dengan persentase 44,6% dan berhasil dengan persentase 42,9%. Berdasarkan hal tersebut di atas maka peneliti tertarik untuk melaksanakan penelitian tentang bagaimana pelaksanaan program penanggulangan TB Paru di wilayah kerja Puskesmas Aek Kanopan Labuhanbatu


(16)

Utara sebagai puskesmas persiapan untuk Rumah Sakit Aek Kanopan, yang dilihat dari sudut pandang penderita TB Paru sebagai klien yang merasakan langsung dampak dari pelaksanaan program penanggulangan TB Paru tersebut.

2. Tujuan Penelitian 2.1. Tujuan Umum

Tujuan umum penelitian ini yaitu untuk mengidentifikasi pelaksanaan program penanggulangan TB Paru di Puskesmas Aek Kanopan Labuhanbatu Utara.

2.2. Tujuan Khusus

Tujuan khusus penelitian ini adalah:

1. Mengidentifikasi pelaksanaan komitmen politik dari para pengambil keputusan termasuk dukungan dana di Puskesmas Aek Kanopan Labuhanbatu Utara

2. Mengidentifikasi pelaksanaan penemuan penderita dengan pemeriksaan dahak secara mikroskopis di Puskesmas Aek Kanopan Labuhanbatu Utara 3. Mengidentifikasi pelaksanaan pengobatan dengan paduan Obat Anti

Tuberkulosis (OAT) jangka pendek dengan pengawasan langsung oleh Pengawas Menelan Obat (PMO) di Puskesmas Aek Kanopan Labuhanbatu Utara

4. Mengidentifikasi pelaksanaan jaminan tersedianya OAT secara teratur, menyeluruh dan tepat waktu dengan mutu terjamin di Puskesmas Aek Kanopan Labuhanbatu Utara


(17)

5. Mengidentifikasi pelaksanaan sistem pencatatan dan pelaporan secara baku untuk memudahkan pemantauan dan evaluasi program penanggulangan TB Paru di Puskesmas Aek Kanopan Labuhanbatu Utara 6. Mengidentifikasi pelaksanaan penyuluhan TB Paru di Puskesmas Aek

Kanopan Labuhanbatu Utara

3. Pertanyaan Penelitian

Bagaimana pelaksanaan program penanggulangan TB Paru di wilayah kerja Puskesmas Aek Kanopan Labuhanbatu Utara.

4. Manfaat Penelitian

4.1.Untuk Puskesmas Aek Kanopan Labuhanbatu Utara:

Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai masukan bagi petugas perawat puskesmas untuk memantau dan mengevaluasi pelaksanaan program penanggulangan TB Paru di wilayah kerja Puskesmas Aek Kanopan Labuhanbatu Utara.

4.2.Untuk Praktek Keperawatan:

Hasil penelitian ini dapat memberikan informasi tentang pelaksanaan program penanggulangan TB Paru, sehingga dapat meningkatkan kualitas pemberian asuhan keperawatan kepada penderita TB Paru.


(18)

4.3.Untuk Pendidikan keperawatan:

Hasil penelitian ini merupakan fakta di masyarakat tentang program penanggulangan TB Paru di wilayah kerja Puskesmas Aek Kanopan Labuhanbatu Utara yang dapat dijadikan sebagai masukan atau pedoman pembelajaran mengenai program TB Paru dalam pendidikan keperawatan.

4.4.Untuk Penelitian keperawatan:

Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai masukan atau referensi untuk penelitian selanjutnya, dalam tatanan ruang lingkup yang sama.


(19)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

Di dalam bab ini akan dibahas tentang teori, konsep dan variabel dalam penelitian yang akan dilakukan yaitu : TB Paru dan Program Penanggulangan TB Paru, sebagai berikut:

1. Tuberkulosis

1.1. Defenisi TB Paru 1.2. Etiologi TB Paru 1.3. Diagnostik TB Paru

1.4. Cara Penularan dan Resiko Penularan TB Paru 1.5. Infeksi TB Paru

1.6. Penemuan Penderita TB Paru 1.7. Pengobatan TB Paru

2. Program Penanggulangan TB Paru 2.1. Tujuan penanggulangan TB Paru 2.2. Strategi DOTS


(20)

1. Tuberkulosis 1.1. Defenisi

Tuberkulosis adalah penyakit menular langsung yang disebabkan oleh kuman TBC (Mycobacterium Tuberculosis), sebagaian besar kuman TBC menyerang paru, tetapi dapat juga mengenai organ tubuh lainnya (Depkes RI, 2002).

TB Paru merupakan penyakit yang disebabkan oleh Mycobacterium Tuberculosis paru menular sangat sistemik, yakni sejenis tuberculosis bakteri

tahan asam aerobic. Kuman TB Paru menyebar melalui transmisi udara, dan menyerang jaringan yang memiliki konsentrasi oksigen yang tinggi seperti paru-paru dan ginjal (Reeves, dkk, 2001)

Penularan kuman ini melalui udara dan bisa bertahan di udara sampai beberapa menit sampai jam setelah dikeluarkan oleh penderita TB Paru sewaktu batuk, bersin, berbicara, dan orang yang terpapar akan terinfeksi (Alsagaff dan Mukty, 2006).

1.2. Etiologi

Mycobacterium Tuberkulosis merupakan penyebab dari TB Paru, kuman ini bersifat aerob sehingga sebagian besar kuman menyerang jaringan yang memiliki konsentrasi tinggi seperti paru-paru. Tetapi dapat juga mengenai organ tubuh lainnya seperti: usus, kelenjar getah bening (limfe), tulang, kulit, otak, ginjal dan lainnya serta dapat menyebar ke seluruh tubuh (Aditama, 1994; Reeves, dkk, 2001).


(21)

Kuman Mycobacterium Tuberkulosis berbentuk batang, mempunyai sifat khusus yaitu tahan terhadap asam pada pewarnaan, oleh karena itu disebut sebagai Basil Tahan Asam (BTA). Kuman ini cepat mati dengan sinar matahari langsung, tetapi dapat bertahan hidup sampai beberapa jam di tempat yang gelap dan lembab. Dalam jaringan tubuh kuman ini dapat dorman (tertidur lama) selama beberapa tahun (Depkes RI, 2002).

1.3. Diagnostik TB Paru

Infeksi penyakit TB Paru dapat didiagnostik dari gejala utama yaitu: batuk terus menerus dan berdahak selama 3 (tiga) minggu atau lebih. Di samping itu dapat diidentifikasi dari gejala tambahan berupa dahak berubah menjadi mukopurulen/ kuning atau kuning hijau, batuk darah, sesak napas dan nyeri dada, nafsu makan berkurang, berat badan menurun, malaise, berkeringat malam walau tanpa kegiatan, demam meriang lebih dari sebulan (Alsagaff dan Mukty, 2006).

Diagnosis tuberkulosis paru dapat ditegakkan dengan ditemukannya BTA pada pemeriksaan dahak secara mikroskopis. Hasil pemeriksaan dinyatakan positif apabila sedikitnya dua dari tiga specimen Sewaktu Pagi Sewaktu (SPS) BTA hasilnya positif. Bila hanya satu specimen yang positif perlu diadakan pemeriksaan lebih lanjut yaitu foto rontgen dada atau pemeriksaan specimen SPS diulang. Kalau hasil rontgen mendukung TB Paru, maka penderita didiagnosis sebagai penderita TB Paru BTA positif. Kalau hasil rontgen tidak mendukung TB Paru, apabila fasilitas memungkinkan maka dapat dilakukan pemeriksaan lain misalnya biakan. Bila tiga specimen dahak negatif, diberikan antibiotik spektrum


(22)

luas (misalnya Kotrimoksasol atau Amoksillin) selama 1 – 2 minggu. Bila tidak ada perubahan namun gejala klinis tetap mencurigakan TB Paru, ulangi pemeriksaan dahak SPS. Kalau hasil positif SPS, didiagnosis sebagai penderita TB Paru BTA positif. Kalau hasil SPS tetap negatif, lakukan pemeriksaan foto rontgen dada untuk mendukung diagnosis TB Paru. Bila hasil rontgen mendukung TB Paru, diagnosis sebagai penderita TB Paru BTA negatif rontgen positif. Bila hasil rontgen tidak mendukung TB Paru, penderita tersebut bukan TB Paru (Depkes RI, 2002).

1.4. Cara Penularan dan Resiko Penularan TB Paru

Sumber penularan adalah penderita TB Paru BTA positif. Pada waktu batuk atau bersin, penderita menyebarkan kuman ke udara dalam bentuk Droplet (percikan dahak). Droplet yang mengandung kuman dapat bertahan di udara pada suhu kamar selama beberapa jam. Orang dapat terinfeksi kalau droplet tersebut terhirup ke dalam saluran pernapasan. Setelah kuman Tuberkulosis masuk ke dalam tubuh manusia melalui pernapasan, kuman Tuberkulosis tersebut dapat menyebar dari paru kebagian tubuh lainnya, melalui sistem peredaran darah, sistem saluran napas, atau penyebaran langsung ke bagian tubuh lainnya.

Daya penularan dari seorang penderita ditentukan oleh banyaknya kuman yang dikeluarkan dari parunya. Makin tinggi derajat positif hasil pemeriksaan dahak, makin menular penderita tersebut. Bila hasil pemeriksaan dahak negatif (tidak terlihat kuman), maka penderita tersebut dianggap tidak menular.


(23)

Kemungkinan seseorang terinfeksi TB Paru ditentukan oleh konsentrasi droplet dalam udara dan lamanya menghirup udara tersebut.

Resiko penularan setiap tahun (Annual Risk of Tuberculosis Infection = ARTI) di Indonesia dianggap cukup tinggi dan bervariasi antara 1 – 2%. Pada

daerah dengan ARTI sebesar 1%, berarti setiap tahun diantara 1000 penduduk, 10 (sepuluh) orang akan terinfeksi. Sebagian besar dari orang yang terinfeksi tidak akan menjadi penderita TB Paru, hanya 10% dari yang terinfeksi yang akan menjadi penderita TB Paru. Dari keterangan tersebut, dapat diperkirakan bahwa daerah dengan ARTI 1%, maka diantara 100.000 penduduk rata-rata terjadi 100 (seratus) penderita tuberkulosis setiap tahun, dimana 50% penderita BTA positif. Faktor yang mempengaruhi kemungkinan seseorang menjadi penderita TB Paru adalah daya tahan tubuh yang rendah, diantaranya karena gizi buruk atau HIV/AIDS (Depkes RI, 2002).

1.5. Infeksi TB Paru

Infeksi tuberkulosis dapat terjadi secara primer dan paska primer. Infeksi primer terjadi saat seseorang terpapar pertama kali dengan kuman Tuberkulosis. Droplet yang terhirup sangat kecil ukurannya, sehingga dapat melewati sistem pertahanan mukosilier bronkus, dan terus berjalan sehingga sampai di alveolus dan menetap di sana. Infeksi dimulai saat kuman Tuberkulosis berhasil berkembangbiak dengan cara pembelahan diri di paru, yang mengakibatkan peradangan di dalam paru, saluran limfe akan membawa kuman Tuberkulosis ke kelenjar limfe di sekitar hilus paru, dan ini disebut sebagai kompleks primer.


(24)

Waktu antara terjadinya infeksi sampai pembentukan kompleks primer adalah 4 – 6 minggu. Adanya infeksi dapat dibuktikan dengan terjadinya perubahan reaksi tuberkulin dari negatif menjadi positif. Kelanjutan setelah infeksi primer tergantung kuman yang masuk dan besarnya respon daya tahan tubuh (imunitas seluler). Pada umumnya reaksi daya tahan tubuh tersebut dapat menghentikan perkembangan kuman Tuberkulosis. Meskipun demikian, ada beberapa kuman akan menetap sebagai kuman persisten atau dormant (tidur). Kadang-kadang daya tahan tubuh tidak mampu menghentikan perkembangan kuman, akibatnya dalam beberapa bulan, yang bersangkutan akan menjadi penderita Tuberkulosis. Masa inkubasi, yaitu waktu yang diperlukan mulai terinfeksi sampai menjadi sakit, diperkirakan sekitar 6 bulan.

Infeksi Tuberkulosis paska primer biasanya terjadi setelah beberapa bulan atau tahun sesudah infeksi primer, misalnya karena daya tahan tubuh menurun akibat terinfeksi HIV atau status gizi yang buruk. Ciri khas dari Tuberkulosis paskaprimer adalah kerusakan paru yang luas dengan terjadinya kavitas atau efusi fleura (Depkes RI, 2002; Crofton, dkk, 2002).

1.6. Penemuan Penderita TB Paru

Penemuan penderita tuberkulosis dilakukan secara pasif, artinya penjaringan tersangka penderita dilaksanakan pada mereka yang datang berkunjung ke unit pelayanan kesehatan. Penemuan secara pasif tersebut didukung dengan penyuluhan secara aktif, baik oleh petugas kesehatan maupun masyarakat, untuk meningkatkan cakupan penemuan tersangka penderita. Cara ini


(25)

biasa dikenal dengan sebutan Passive Promotive Case Finding. Selain itu, semua kontak penderita TB Paru BTA positif dengan gejala sama, harus diperiksa dahaknya. Seorang petugas kesehatan diharapkan manemukan tersangka penderita sedini mungkin, mengingat tuberkulosis paru adalah penyakit menular yang dapat mengakibatkan kematian. Semua tersangka penderita harus diperiksa 3 spesimen dahak dalam waktu 2 hari berturut-turut, yaitu sewaktu pagi sewaktu (SPS) (Depkes RI, 2002).

1.7. Pengobatan TB Paru

Riwayat pengobatan TB Paru telah dimulai sebelum Robert Koch menemukan basil Tuberkulosis pada tahun 1882 dengan didirikan sanatorium-sanatorium di berbagai tempat, masa ini dikenal sebagai battle against symptom. Sanatorium-sanatorium tersebut didirikan untuk tempat merawat pasien yang diduga menderita TB Paru agar tidak menularkan kuman TB Paru pada orang disekitarnya. Setelah itu berkembang pula upaya pembedahan yang dikenal dengan masa battle against cavity. Pada tahun 1990-an barulah ditemukan Streptomisin, Isoniasid (INH), Pyrazinamid, Etambutol dan Rifampisin, yang dikenal dengan era battle against TB bacily (Aditama, 2002).

Dasar pengobatannya terdiri dari dua fase, yaitu fase awal (intensif) dan fase lanjutan. Pada fase intensif obat diminum setiap hari dengan pengawasan langsung, sedangkan fase lanjutan obat diminum seminggu tiga kali, kecuali untuk anak, OAT diminum setiap hari. Prinsip pengobatannya, yaitu dengan


(26)

menggunakan kombinasi beberapa jenis obat dalam jumlah cukup dan dosis yang tepat selama enam – delapan bulan.

Paduan OAT ini disediakan dalam bentuk paket kombipak, dengan tujuan untuk memudahkan pemberian obat dan menjamin kelangsungan (kontinuitas) pengobatan sampai selesai. Satu paket untuk satu penderita dalam satu masa pengobatan. Paket kombipak terdiri dari Isoniasid (H), Rifampisin (R), Pirazinamid (Z), Etambutol (E) dan Streptomisin (S). Satu paket kombipak kategori I berisi 114 blister harian yang terdiri dari 60 blister HRZE untuk tahap intensif, 54 blister HR untuk tahap lanjutan, masing-masing dikemas dalam dos kecil dan disatukan dalam satu dos besar. Satu paket kombipak kategori II berisi 156 blister harian yang terdiri dari 90 blister HRZE untuk tahap intensif , dan 66 blister HRE untuk tahap lanjutan, masing-masing dikemas dalam dos kecil dan disatukan dalam satu dos besar. Sedangkan satu paket kombipak kategori III berisi 114 blister harian yang terdiri dari 60 blister HRZ untuk tahap intensif, dan 54 blister HR untuk tahap lanjutan, masing-masing dikemas dalam dos kecil dan disatukan dalam dos besar (Depkes RI, 2002).


(27)

Paduan Obat Anti Tuberkulosis (OAT)

Obat yang dipakai dalam program pemberantasan TB Paru sesuai dengan rekomendasi WHO berupa paduan obat jangka pendek yang terdiri dari tiga kategori, setiap kategori terdiri dari dua fase pemberian yaitu fase awal (intensif) dan fase lanjutan. Obat yang biasa digunakan yaitu dengan dosis Kombipak, yang tersedia untuk penderita dengan berat badan 33 – 50 kg. Untuk penderita dengan berat badan selain 33 – 50 kg, dosisnya supaya disesuaikan. Paduan OAT tersebut dapat dilihat pada tabel berikut:

Tabel 2.1. Paduan OAT Kategori I, II, dan III

Kategori Rumus Indikasi Tahap Intensif Tahap Lanjutan

I 2HRZE/ H3R3

-Penderita baru BTA positif -Penderita baru

TB Paru BTA negatif roentgen positif yang “sakit berat” -Penderita TB Paru ekstra berat.

Waktu 2 bulan, frekuensi 1 kali menelan obat, jumlah 60 kali menelan obat.

Waktu 4 bulan, frekuensi 3 kali seminggu, jumlah 54 kali menelan obat.

II 2HRZES/ HRZE/ 5H3R3 -Penderita kambuh (relaps) -Penderita gagal penderita denagan pengobatan setelah lalai.

-Selama 2 bulan pertama

frekuensi 1 kali sehari, jumlah 60 kali menelan obat.

-Satu bulan berikutnya

selama 1 bulan, 1 kali sehari, jumlah 30 kali menelan obat.

Selama 5 bulan, 3kali seminggu, jumlah total 66 kali menelan obat.


(28)

Lanjutan Tabel 2.1. Paduan OAT Kategori I, II, dan III III 2HRZ/

4H3R3 -Penderita baru BTA negatif dan roentgen positif sakit ringan. -Penderita ekstra paru ringan yaitu: TB kelenjar limfe (limfadenitis), Pleuritis eksudatif unilateral, TB kulit, TB tulang, sendi dan kelenjar adrenal

Waktu 2 bulan, frekuensi 1 kali sehari menelan obat, jumlah 60 kali menelan obat.

Waktu 4 bulan seminggu 3 kali menelan obat, jumlah 54 kali menelan obat.

Panduan Sisipan (HRZE)

Bila pada akhir tahap intensif pengobatan penderita baru BTA positif dengan kategori 1 atau penderita BTA positif pengobatan ulang dengan kategori 2, hasil pemeriksaan dahak masih BTA positif, diberikan obat sisipan (HRZE) setiap hari selama 1 bulan (Depkes RI, 2002).

Hasil Pengobatan dan Tindak Lanjut

Hasil pengobatan seorang penderita dapat dikategorikan sebagai: sembuh, pengobatan lengkap, meninggal, pindah (Transfer Out), default (lalai)/ Drop Out dan gagal, dapat dilihat pada tabel berikut:


(29)

Tabel 2.2. Hasil Pengobatan TB Paru dan Tindak Lanjutnya

Kondisi Uraian Tindak Lanjut

Sembuh Bila penderita menyelesaikan

pengobatan secara lengkap, minimal pemeriksaan ulang dahak 2 kali berturut-turut negatif (pada akhir pengobatan (AP) dan/atau sebulan sebelum AP dan, pada 1 pemeriksaan follow up sebelumnya).

Diharapkan datang bila gejala muncul kembali.

Pengobatan lengkap

Penderita yang telah menyelesakan pengobatannya secara lengkap tapi tidak ada pemeriksaan ulang dahak 2 kali berturut-turut.

Diharap datang bila gejala muncul kembali

Meninggal Penderita yang dalam masa pengobatan diketahui meninggal karena sebab apapun

Pindah Penderita yang berobat ke

kabupaten/kota lain.

Penderita yang berobat ke kabupaten/kota lain.

Default/ Drop Out

Penderita yang tidak mengambil obat 2 bulan berturut-turut atau lebih sebelum masa pengobatannya selesai.

Dilacak, periksa ulang dahak:

-BTA (+) → ganti kategori 2.

-BTA (-) → lanjutkan sisa kategori 1.


(30)

Lanjutan Tabel 2.2. Hasil Pengobatan TB Paru dan Tindak Lanjutnya Gagal Pada pengobatan dengan kategori 1:

hasil BTA tetap positif atau kembali menjadi positif pada satu bulan sebelum AP atau pada AP

Kategori 1 ganti menjadi kategori 2.

Pada pengobatan dengan kategori 1: hasil BTA tetap positif atau kembali menjadi positif pada satu bulan sebelum AP atau pada AP

Kategori 1 ganti menjadi kategori 2.

Pada pengobatan dengan kategori 3: hasil pemeriksaan dahaknya pada akhir bulan ke 2 menjadi positif.

Kategori 3 ganti menjadi kategori 2.

Tatalaksana Penderita yang Berobat Tidak Teratur

Seorang penderita kadang-kadang berhenti minum obat sebelum masa pengobatan selesai. Hal ini terjadi karena penderita belum memahami bahwa obat harus ditelan seluruhnya dalam waktu yang telah ditetapkan. Petugas kesehatan harus mengusahakan agar penderita yang putus berobat tersebut kembali ke unit pelayanan kesehatan (UPK). Pengobatan yang diberikan tergantung pada tipe penderita, lamanya pengobatan sebelumnya, lamanya putus berobat dan bagaimana hasil pemeriksaan dahak sewaktu dia kembali berobat (Depkes RI, 2002).


(31)

2. Program Penanggulangan TB Paru

Usaha untuk menanggulangi TB Paru di Indonesia sudah dimulai sejak awal abad 20, tepatnya pada tahun 1908 dengan dibentuknya Centrale Vereninging Voor Tuberculosis Bestrijding (CTV), sebelum perang dunia II telah

didirikan 15 sonatorium dan 20 Consultatie Bureaux untuk penyuluhan dan pengobatan sekedarnya bagi masyarakat. Setelah Indonesia merdeka, didirikan lembaga pemberantasan penyakit paru-paru (LP-4), di Yogyakarta yang dikenal dengan balai pemberantasan penyakit paru-paru (BP-4), selain itu juga diadakan pemberian vaksinasi BCG (Aditama, 2002).

2.1. Tujuan Penanggulangan TB Paru

Tujuan jangka panjang penanggulangan TB Paru adalah menurunkan angka kesakitan, kematian dan penularan penyakit TB Paru dengan cara memutuskan rantai penularan, sehingga penyakit TB Paru tidak lagi merupakan masalah kesehatan masyarakat Indonesia. Sedangkan tujuan jangka pendek penanggulangan TB Paru di tahun-tahun mendatang sedikitnya 70% kasus TB Paru dapat didiagnosis dan diobati dengan angka kesembuhan dari semua penderita TB Paru yang ditemukan minimal 85% (Depkes RI, 2002).

Indikator pelaksanaan program penanggulangan TB Paru hasilnya optimal jika penderita TB Paru melaksanakan pengobatan sesuai dengan strategi DOTS yaitu melakukan pemeriksaan dahak dan melaksanakan pengobatan secara teratur dan lengkap selama enam bulan hingga dinyatakan sembuh, dan angka kesembuhan dari semua penderita TB Paru harus mencapai 85%. Sedangkan jika


(32)

penderita TB paru tidak melaksanakan pengobatan dengan teratur dan lengkap selama 6 bulan, dan angka kesembuhan dari semua penderita TB Paru kurang dari 85% maka hasil pelaksanaan program penanggulangan TB Paru masih di bawah optimal (Depkes RI, 2004).

2.2. Strategi DOTS

Strategi DOTS adalah strategi pengobatan dalam penanggulangan TB nasional yang direkomendasikan oleh WHO. Sejak tahun 1995 telah diperkenalkan dan dikembangkan strategi global pemberantasan TB Paru yang terbukti cukup efektif dalam menyembuhkan penderita TB Paru di beberapa negara berkembang, termasuk Indonesia. Dua elemen pokok dari strategi baru yang menjamin kesembuhan adalah paduan obat yang efektif dan konsep DOTS (Depkes RI, 2002).

Pengertian DOTS dapat dimulai dengan keharusan setiap pengelola program TB Paru untuk memberi Direct Attention dalam usaha menemukan penderita. Dapat juga diartikan menjadi deteksi kasus dengan pemeriksaan mikroskopis, dan pengertiannya dapat juga diperluas dengan keharusan untuk mendeteksi kasus secara baik dan akurat. Setiap penderita TB Paru harus di observasi dalam memakan obatnya, setiap obat yang ditelan penderita TB Paru harus di depan seorang pengawas. Selain itu, penderita TB Paru harus menerima pengobatan yang setara dalam sistem pengelolaan, distribusi dan penyediaan obat secara baik. Penderita TB Paru juga mendapat obat yang baik, artinya pengobatan short course standar yang telah terbukti ampuh secara klinik. Untuk itu harus ada


(33)

dukungan dari pemerintah yang membuat program penanggulangan TB mendapat prioritas yang tinggi dalam pelayanan kesehatan (Aditama, 2002).

Di dalam strategi DOTS terdapat lima komponen: komponen pertama yaitu komitmen politik dari para pengambil keputusan termasuk dukungan dana. Komitmen ini dimulai dengan keputusan pemerintah untuk menjadikan tuberkulosis sebagai prioritas utama dalam program kesehatan dan adanya dukungan dana dari jajaran pemerintahan atau pengambil keputusan terhadap penanggulangan TB Paru atau dukungan dana operasional. Satu hal penting lain adalah penempatan program penanggulangan TB Paru dalam reformasi sektor kesehatan secara umum, setidaknya meliputi dua hal penting, yaitu memperkuat dan memberdayakan kegiatan dan kemampuan pengambilan keputusan di tingkat kabupaten serta peningkatan cost effectiveness dan efisiensi dalam pemberian pelayanan kesehatan. Program penanggulangan TB Paru harus merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari reformasi sektor kesehatan.

Komponen kedua yaitu penemuan penderita dengan pemeriksaan dahak secara mikroskopis. Utamanya dilakukan pada mereka yang datang ke fasilitas kesehatan karena keluhan paru dan pernapasan. Pendekatan ini disebut sebagai passive case finding. Hal ini dipilih mengingat secara umum pemeriksaan

mikroskopis merupakan cara yang paling cost effective dalam menemukan kasus TB Paru. Dalam hal ini, pada keadaan tertentu dapat dilakukan pemeriksaan radiografi, seperti roentgen dan kultur dapat dilaksanakan pada unit pelayanan kesehatan yang memilikinya.


(34)

Komponen ketiga yaitu pengobatan dengan paduan Obat Anti Tuberkulosis (OAT) jangka pendek dengan pengawasan langsung oleh Pengawas Menelan Obat (PMO). Penderita diawasi secara langsung ketika menelan obatnya, obat yang diberikan harus sesuai standar dan diberikan seyogiyanya secara gratis pada seluruh penderita tuberkulosis yang menular dan yang kambuh. Pengobatan tuberkulosis memakan waktu 6 bulan. Setelah makan obat dua atau tiga bulan tidak jarang keluhan pasien menghilang, ia merasa dirinya telah sehat, dan menghentikan pengobatannya. Karena itu harus ada suatu sistem yang menjamin pasien mau menyelesaikan seluruh masa pengobatannya sampai selesai. Harus ada yang melihat penderita TB Paru menelan obatnya, ini dapat dilakukan oleh petugas kesehatan, oleh pemuka masyarakat setempat, oleh tetangga penderita atau keluarganya sendiri.

Komponen keempat yaitu jaminan tersedianya OAT jangka pendek secara teratur, menyeluruh dan tepat waktu dengan mutu terjamin. Masalah utama dalam hal ini adalah perencanaan dan pemeliharaan stok obat pada berbagai tingkat daerah. Untuk ini diperlukan pencatatan dan pelaporan penggunaan obat yang baik, seperti misalnya jumlah kasus pada setiap kategori pengobatan, kasus yang ditangani dalam waktu yang lalu (untuk forecasting), data akurat stok dimasing-masing gudang yang ada.

Komponen kelima yaitu sistem pencatatan dan pelaporan secara baku untuk memudahkan pemantauan dan evaluasi program penanggulangan TB Paru. Setiap penderita TB Paru yang diobati harus mempunyai satu kartu identitas penderita yang kemudian tercatat di catatan TB Paru yang ada di kabupaten.


(35)

Kemanapun penderita ini pergi dia harus menggunakan kartu yang sama sehingga dapat melanjutkan pengobatan dan tidak sampai tercatat dua kali.

Prinsip DOTS adalah mendekatkan pelayanan pengobatan terhadap penderita agar secara langsung dapat mengawasi keteraturan menelan obat dan melakukan pelacakan bila penderita tidak datang mengambil obat sesuai dengan yang ditetapkan, yaitu dua hari berturut-turut pada fase intensif atau seminggu pada fase lanjutan (Depkes RI, 2002; Aditama, 2002).

2.3. Penyuluhan TB Paru

Penyuluhan kesehatan adalah kegiatan pendidikan yang dilakukan dengan cara menyebarkan pesan, menanamkan keyakinan sehingga masyarakat tidak saja sadar, tahu dan mengerti, tetapi juga mau dan melakukan suatu anjuran yang ada hubungannya dengan kesehatan. Penyuluhan kesehatan adalah gabungan dari beberapa kegiatan dan kesempatan yang berlandaskan prinsip-prinsip belajar untuk mencapai suatu keadaan, dimana individu, keluarga, kelompok, atau masyarakat secara keseluruhan ingin hidup sehat, tahu bagaimana caranya dan melakukan apa yang bisa dilakukan, secara perseorangan maupun secara kelompok dan meminta pertolongan (Effendy, 1998).

Tujuan penyuluhan kesehatan: pertama, tercapainya perubahan prilaku individu, keluarga dan masyarakat dalam membina dan memelihara perilaku hidup sehat, dan lingkungan sehat, serta berperan aktif dalam upaya mewujudkan derajat kesehatan yang optimal. Kedua, terbentuknya kesehatan individu, keluarga, kelompok dan masyarakat yang sesuai dengan konsep hidup sehat baik


(36)

fisik, mental dan sosial sehingga dapat menurunkan angka kesakitan dan kematian.

Faktor-faktor yang perlu diperhatikan terhadap sasaran dalam keberhasilan penyuluhan kesehatan adalah tingkat pendidikan, tingkat sosial ekonomi, adat istiadat, kepercayaan masyarakat, ketersediaan waktu di masyarakat, metode yang digunakan dalam penyuluhan seperti: ceramah, diskusi kelompok, demonstrasi, seminar dan sebagainya.

Dalam melakukan penyuluhan kesehatan, maka penyuluh yang baik harus melakukan penyuluhan sesuai dengan langkah-langkah dalam penyuluhan kesehatan sebagai berikut: mengkaji kebutuhan kesehatan masyarakat, menetapkan masalah kesehatan mayarakat, memprioritaskan masalah yang terlebih dahulu ditangani melalui penyuluhan kesehatan, menyusun perencanaan penyuluhan, menetapkan tujuan, penentuan sasaran, menyusun materi atau isi penyuluhan, memilih metode yang tepat, menentukan jenis alat peraga yang akan digunakan, penentuan kriteria evaluasi, pelaksanaan penyuluhan, penilaian hasil penyuluhan dan tindak lanjut dari penyuluhan (Effendy, 1998).

Penyuluhan kesehatan merupakan bagian dari promosi kesehatan adalah rangkaian kegiatan yang berlandaskan prinsip-prinsip belajar untuk mencapai suatu keadaan dimana individu, kelompok, atau masyarakat secara keseluruhan dapat hidup sehat dengan cara memelihara, melindungi dan meningkatkan kesehatannya.

Penyuluhan TB Paru perlu dilakukan karena masalah TB Paru banyak berkaitan dengan masalah pengetahuan dan perilaku masyarakat. Tujuan


(37)

penyuluhan adalah untuk meningkatkan kesadaran, kemauan dan peran serta masyarakat dalam penanggulangan TB Paru.

Penyuluhan TB Paru dapat dilaksanakan dengan menyampaikan pesan penting secara langsung ataupun menggunakan media. Penyuluhan langsung dapat dilakukan dengan perorangan atau kelompok. Penyuluhan tidak langsung dengan menggunakan media seperti: bahan cetak seperti leaflet, poster atau spanduk, sedangkan bentuk media massa dapat berupa koran, majalah, radio dan televisi (Depkes RI, 2002).

Dalam program penanggulangan TB Paru, penyuluhan langsung perorangan sangat penting artinya untuk menentukan keberhasilan pengobatan penderita. Penyuluhan langsung perorangan dapat dilaksanakan oleh tenaga kesehatan, para kader dan PMO. Pada kunjungan pertama ada beberapa informasi penting tentang TB Paru yang dapat disampaikan pada penderita, antara lain: pengertian atau arti TB Paru, penyebab TB Paru, cara penularan TB Paru dan resiko penularan TB Paru, riwayat pengobatan sebelumnya, cara pengobatan TB Paru, pentingnya pengawasan menelan obat. Sedangkan pada kunjungan berikutnya informasi yang dapat disampaikan adalah cara menelan obat, jumlah obat dan frekuensi menelan obat, efek samping dari OAT, pentingnya jadwal pemeriksaan ulang dahak, apa yang dapat terjadi bila pengobatan tidak teratur atau tidak lengkap. Penyuluhan ini selain ditujukan kepada penderita, tetapi juga disampaikan kepada keluarganya. Tujuannya supaya penderita menjalani pengobatan secara teratur sampai sembuh dan bagi anggota keluarga yang sehat dapat menjaga, melindungi dan meningkatkan kesehatannya, sehingga terhindar


(38)

dari penularan TB Paru. Penyuluhan dengan menggunakan bahan cetak dan media massa dilakukan untuk dapat menjangkau masyarakat yang lebih luas, untuk mengubah persepsi masyarakat tentang TB Paru sebagai suatu penyakit yang tidak dapat disembuhkan dan memalukan, menjadi suatu penyakit yang berbahaya tapi dapat disembuhkan. Bila penyuluhan ini berhasil, akan meningkatkan penemuan penderita secara pasif (Depkes RI, 2002).


(39)

BAB 3

KERANGKA PENELITIAN

1. Kerangka Konseptual

Kerangka konseptual penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi bagaimana pelaksanaan program penanggulangan TB Paru di wilayah kerja Puskesmas Aek Kanopan Labuhanbatu Utara.

Tuberkulosis merupakan penyakit infeksi yang dapat mengenai paru-paru manusia yang disebabkan oleh Micobacterium Tuberkulosis. TB Paru merupakan penyakit kronis (menahun) yang telah lama dikenal oleh masyarakat luas dan ditakuti karena menular, salah satu penyebab utama kematian di Indonesia dan negara-negara berkembang lainnya. Untuk menanggulangi kasus TB Paru tersebut maka dilaksanakan program penanggulangan TB Paru, diantaranya yaitu strategi DOTS dan penyuluhan kesehatan tentang TB Paru (Depkes RI, 2002).

Strategi DOTS merupakan strategi pengobatan dalam penanggulangan Tuberkulosis nasional yang telah direkomendasikan oleh WHO, mempunyai lima komponen yang diutamakan yaitu: komitmen politisi, penemuan penderita dengan pemeriksaan dahak secara mikroskopis, pengobatan dengan paduan OAT dengan pengawasan langsung oleh PMO, jaminan tersedianya OAT secara teratur, menyeluruh dan tepat waktu dengan mutu terjamin serta sistem pencatatan dan pelaporan secara baku untuk memudahkan pemantauan dan evaluasi program penanggulangan TB paru (Depkes RI, 2002; Aditama, 2002).


(40)

Penyuluhan kesehatan merupakan bagian dari promosi kesehatan adalah rangkaian kegiatan yang berlandaskan prinsip-prinsip belajar untuk mencapai suatu keadaan dimana individu, kelompok atau masyarakat secara keseluruhan dapat hidup sehat dengan cara memelihara, melindungi dan meningkatkan kesehatan. Penyuluhan TB Paru perlu dilakukan karena masalah TB Paru banyak berkaitan dengan masalah pengetahuan dan perilaku masyarakat. Penyuluhan dapat dilaksanakan dengan menyampaikan pesan penting secara langsung ataupun tidak langsung dengan menggunakan media. Tujuan penyuluhan yaitu untuk meningkatkan kesadaran, kemauan dan peran serta masyarakat dalam penanggulangan TB Paru (Depkes RI, 2002).


(41)

Berdasarkan beberapa penjelasan di atas maka kerangka konseptual dalam penelitian ini akan dijabarkan dengan menggunakan skema berikut ini:

Skema 1. Kerangka konsep pelaksanaan program Penanggulangan TB Paru di Puskesmas Aek Kanopan Labuhanbatu

Penderita TB Paru

Pelaksanaan Program Penanggulangan TB Paru

- Strategi DOTS: 1. Komitmen politik 2. Penemuan penderita dengan pemeriksaan dahak secara mikroskopis 3. Pengobatan dengan OAT

dengan pengawasan oleh PMO

4. Jaminan tersedianya OAT secara teratur,

menyeluruh dan tepat waktu

5. Sistem pelaporan dan pencatatan yang baku - Penyuluhan Kesehatan

1. Secara langsung 2. Tidak langsung

Kategori

- Optimal

- Kurang optimal - Belum optimal


(42)

2. Defenisi Operasional

Pelaksanaan program penanggulangan TB Paru

Tindakan atau usaha-usaha yang dilakukan kepada penderita TB Paru untuk mengatasi penyakit TB Paru di wilayah kerja Puskesmas Aek Kanopan Labuhanbatu Utara, melalui strategi DOTS dan penyuluhan tentang TB Paru secara langsung dan penyuluhan secara tidak langsung kepada penderita TB Paru, yang diukur dengan menggunakan instrumen kuesioner, dan hasilnya dikategorikan dengan pelaksanaan program penanggulangan TB Paru yang optimal, kurang optimal dan belum optimal.


(43)

BAB 4

METODE PENELITIAN

1. Desain Penelitian

Desain yang digunakan dalam penelitian ini adalah desain deskriptif eksploratif, yang dilakukan dengan tujuan utama untuk membuat gambaran mengenai pelaksanaan program penanggulangan TB Paru di wilayah kerja puskesmas Aek Kanopan Labuhanbatu Utara.

2. Populasi dan Sampel Penelitian 2.1.Populasi

Populasi pada penelitian ini adalah penderita TB Paru yang sedang dalam pengobatan di Puskesmas Aek Kanopan Kabupaten Labuhanbatu Utara tahun 2009.

2.2.Sampel

Dari data Puskesmas Aek Kanopan Labuhanbatu Utara mulai bulan Juni - Desember 2009 jumlah penderita TB Paru yang berobat adalah sebanyak 30 orang. Menurut Arikunto (2006), apabila dalam penelitian jumlah subjek kurang dari 100 maka lebih baik diambil semua. Dalam hal ini penelitian merupakan penelitian populasi dimana semua populasi menjadi subjek penelitian (total sampling). Adapun kriteria sampel yang digunakan adalah: penderita TB Paru

baik yang baru atau yang sedang menjalani pengobatan pada triwulan I maupun triwulan II, berusia di atas 17 tahun dan bersedia berpartisipasi dalam penelitian.


(44)

3. Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Puskesmas Aek Kanopan Labuhanbatu Utara, dengan pertimbangan masih terdapat kasus TB Paru di Puskesmas tersebut setiap tahunnya. Dari 30 orang penderita TB Paru mulai bulan Juni – Desember 2009, yang menjalani pengobatan pada triwulan pertama adalah 26 orang, sedangkan sisanya (4 penderita) masuk pada pengobatan triwulan kedua dan diperkirakan masih ada penderita yang belum terjaring secara keseluruhan untuk tahun 2009 ini. Selain itu, di Puskesmas Aek Kanopan belum pernah dilakukan penelitian yang sama, sehingga peneliti memilih untuk melakukan penelitian di Puskesmas tersebut. Penelitian dilakukan selama 5 minggu yaitu mulai Oktober 2009.

4. Pertimbangan Etik

Penelitian ini dilakukan setelah peneliti mendapatkan izin dari bagian pendidikan Fakultas Keperawatan USU dan mengajukan surat permohonan izin penelitian kepada Kepala Puskesmas Aek Kanopan agar penelitian dapat dilaksanakan.

Pada pelaksanaan penelitian, kepada calon responden diberikan penjelasan tentang informasi penting dari penelitian yang akan dilakukun, antara lain tujuan, manfaat, kegiatan dalam penelitian, serta hak-hak responden di dalam penelitian ini. Penelitian ini memperhatikan, menghormati, dan memberikan sepenuhnya hak-hak perlindungan diri bagi responden, yaitu hak atas privacy diri, kerahasiaan identitas diri, dengan perlakuan yang sama dalam penelitian.


(45)

Responden berhak untuk menentukan sendiri kesediaan berpartisipasi sampai akhir penelitian ini selesai atau menarik diri dari penelitian walaupun penelitian masih berlangsung dan belum selesai. Hal tersebut tercantum dengan jelas dalam informed consent yang berupa pernyataan persetujuan partisipasi secara lisan atau yang ditandatangani oleh responden sebelum penelitian dilaksanakan.

Sebelum menandatangani informed consent tersebut, responden diberi waktu hingga benar-benar paham sepenuhnya atas apa yang akan dijalaninya dalam penelitian.

5. Instrumen Penelitian

Untuk memperoleh informasi dari responden, peneliti menggunakan alat pengumpul data berupa kuesioner yang dibuat sendiri oleh peneliti dengan berpedoman kepada kerangka konsep dan tinjauan pustaka.

Instrumen Penelitian ini dibagi dua yaitu: data pertama tentang data demografi yang berisi: usia responden, jenis kelamin, agama, suku, pendidikan, pekerjaan, status perkawinan, penghasilan dan status pengobatan. Sedangkan data kedua berisikan pernyataan yang dapat digunakan untuk mengetahui pelaksanaan program penanggulangan TB Paru dengan strategi DOTS dan penyuluhan kesehatan. Pelaksanaan strategi DOTS dinilai dari lima aspek yaitu: komitmen politik dari para pengambil keputusan termasuk dukungan dana (pernyataan nomor 1 – 3), penemuan penderita dengan pemeriksaan dahak secara mikroskopis (pernyataan nomor 4 – 7), pengobatan dengan paduan Obat Anti Tuberkulosis


(46)

(OAT) jangka pendek dengan pengawasan langsung oleh Pengawas Menelan Obat (PMO) (pernyataan nomor 8 – 12), jaminan tersedianya OAT secara teratur, menyeluruh dan tepat waktu dengan mutu terjamin (pernyataan nomor 13 – 15), sistem pencatatan dan pelaporan secara baku untuk memudahkan pemantauan dan evaluasi program penanggulanagan TB Paru (pernyataan nomor 16 – 19).

Sedangkan pelaksanaan penyuluhan kesehatan dinilai dari pengetahuan penderita tentang TB Paru serta adanya kesadaran, kemauan dan peran serta penderita dalam penanggulangan TB Paru (pernyataan nomor 20 – 25). Dalam penelitian ini peneliti menilai jawaban responden pada kuesioner dengan menggunakan skala Likert dimana responden diminta untuk memberikan tanda checklist (√) pada salah satu jawaban yang dianggap paling sesuai.

Dalam penelitian ini menggunakan pernyataan positif, untuk pernyataan: Sangat Tidak Setuju (STS) = 1, Tidak Setuju (TS) = 2, Setuju (S) = 3, dan Sangat Setuju (SS) = 4. Dibagi ke dalam 3 kategori kelas untuk pelaksanaan strategi DOTS dan penyuluhan kesehatan tentang TB Paru yaitu: optimal, kurang optimal dan tidak optimal (Arikunto, 2005), hasilnya disajikan dalam bentuk persentase dengan cara membagikan skor tertinggi dibagi dengan banyaknya kelas maka diperoleh kategori sebagai berikut:

- Total skor 68% – 100% : Optimal

- Total skor 34% – 67% : Kurang optimal - Total skor 0% – 33% : Tidak optimal


(47)

6. Uji Validitas dan Reliabilitas Instrumen

Uji validitas instrumen bertujuan untuk mengetahui suatu ukuran yang menunjukkan tingkat-tingkat kevalidan atau kesahihan sesuatu instrumen. Suatu instrumen yang valid atau sahih mempunyai validitas yang tinggi. Sebaliknya, instrumen yang kurang valid berarti memiliki validitas yang rendah (Arikunto, 2006).

Pada penelitian ini untuk menguji validitas instrumen yaitu dengan melakukan uji kuesioner kepada ahli dari departemen keperawatan komunitas Fakultas Keperawatan USU.

Uji reliabilitas instrumen dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui sejauh mana alat pengukur dapat dipercaya atau diandalkan untuk digunakan sebagai alat pengumpul data. Alat ukur yang baik adalah alat ukur yang memberikan hasil yang sama bila digunakan beberapa kali pada sekelompok sampel. Dalam penelitian ini menggunakan uji reliabilitas internal yang diperoleh dengan cara menganalisis data dari satu kali hasil pengetesan (Arikunto, 2006). Uji reliabilitas dilakukan dengan menggunakan Cronbach Alpa. Hasil analisa reliabilitas untuk kuesioner ini bahwa kuesioner ini reliabel dengan hasil 0,78. Uji reliabilitas ini diujikan kepada 10 responden penderita TB paru yang berobat di Puskesmas Londut, yaitu sebuah puskesmas yang terletak sekitar 10 km dari Puskesmas Aek Kanopan di kabupaten yang sama.


(48)

7. Pengumpulan Data

Pengumpulan data dilakukan secara langsung oleh peneliti dan dibantu juga oleh tiga orang petugas kesehatan yang bertugas menangani penderita TB Paru di Puskesmas Aek Kanopan. Pengumpulan data dimulai setelah peneliti menerima surat izin pelaksanaan penelitian dari institusi pendidikan yaitu Fakultas Keperawatan dan surat izin dari kepala Puskesmas Aek Kanopan.

Peneliti memberikan penjelasan tentang cara pengisian kuesioner kepada petugas puskesmas yang ditunjuk untuk membantu peneliti dalam pengumpulan data agar petugas dapat membantu responden saat pengisian kuesioner. Pada saat pengumpulan data peneliti terlebih dahulu memperkenalkan diri dan menjelaskan kepada responden tujuan, manfaat dan prosedur penelitian.

Setelah mendapatkan persetujuan responden, peneliti membagikan kuesioner, mendampingi responden saat mengisi kuesioner tersebut dan memberi kesempatan kepada responden untuk bertanya mengenai kuesioner. Pengumpulan data dilakukan peneliti di Pukesmas Aek Kanopan pada saat pasien datang untuk mengambil obat pada jadwal pengambilan obat. Dalam pengumpulan data ada beberapa orang penderita yang tidak datang untuk mengambil obat tetapi diwakilkan oleh PMO, maka peneliti dan petugas kesehatan yang membantu peneliti datang langsung mengunjungi penderita ke rumah (home visite), sehingga dibutuhkan waktu yang lebih lama.


(49)

8. Analisa Data

Setelah semua data terkumpul maka analisa data dilakukan dengan memeriksa kembali semua kuesioner satu per satu yaitu identitas dan data responden serta memastikan semua jawaban sudah diisi sesuai dengan petunjuk. Kemudian memberi kode terhadap setiap pernyataan yang telah diajukan guna mempermudah peneliti ketika melakukan tabulasi, data diolah menggunakan sistem komputerisasi. Selanjutnya data disajikan dalam bentuk distribusi frekuensi dan persentase.


(50)

BAB 5

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

1. Hasil Penelitian

Pada bab ini diuraikan tentang hasil penelitian setelah pengumpulan data yang dilakukan sejak 1 Oktober sampai dengan 7 November 2009 di Puskesmas Aek Kanopan Kabupaten Labuhanbatu Utara. Hasil penelitian ini menggambarkan tentang karakteristik responden dan pelaksanaan program penanggulangan TB Paru di Puskesmas Aek Kanopan Labuhanbatu Utara.

1.1. Karakteristik Responden

Deskripsi data demografi responden mencakup umur, jenis kelamin, agama, suku, pendidikan terakhir, pekerjaan, status perkawinan, penghasilan per bulan, status pengobatan (tabel 5.1).

Hasil penelitian menunjukkan bahwa setengah dari responden berumur 18 – 40 tahun (50%), lebih dari setengah responden berjenis kelamin laki-laki (66,7%), beragama Islam (56,7%) dan Kristen (40%), suku batak (53,3%). Hampir setengah dari responden berpendidikan SMU (43,3%) dan SLTP (33,3%), bekerja sebagai buruh/tani (43,3%) dan mayoritas responden sudah menikah (93,3%). Lebih dari setengah responden berpenghasilan kurang dari Rp.850.000,- per bulan (56,7%) dan mayoritas sudah mengikuti pengobatan selama 1 – 2 bulan (83,3%).


(51)

Tabel 5.1. Distribusi Frekuensi dan Persentase Karakteristik Responden

(N=30)

Karakteristik Frekuensi Persentase

Umur

- 18 thn s/d 40 thn 15 50,0

- 41 thn s/d 55 thn 9 30,0

- > 55 thn 6 20,0

Jenis Kelamin

- Laki-laki 20 66,7

- Perempuan 10 33,3

Agama

- Islam 17 56,7

- Kristen 12 40,0

- Katolik 1 3,3

- Hindu 0 0

- Budha 0 0

Suku

- Batak 16 53,3

- Melayu 5 16,7

- Jawa 9 30,0

- Minang 0 0

- Lain-lain 0 0

Pendidikan

- SD 7 23,3

- SLTP 10 33,3


(52)

Lanjutan tabel 5.1. Distribusi Frekuensi dan Persentase Karakteristi

Responden

(N=30)

Karakteristik Frekuensi Persentase

Pekerjaan

- Wiraswasta 9 30,0

- Pegawai 1 3,3

- Buruh/Tani 13 43,3

- Tidak bekerja 7 23,3

Status Perkawinan

- Belum Menikah 2 6,7

- Menikah 28 93,3

Penghasilan Per bulan

- < Rp.850.000,- 17 56,7

- Rp.850.000.-- Rp.1.500.000,- 12 40,0

- > Rp.1.500.000,- 1 3,3

Status Pengobatan

- Triwulan I (1 – 3 bulan) 25 83,3

- Triwulan II (4 – 6 bulan) 3 10,0


(53)

1.2. Pelaksanaan Program Penanggulangan TB Paru dengan Strategi DOTS dan Penyuluhan Tentang TB Paru

Dari keseluruhan responden yang menjadi sampel dalam penelitian ini (30 responden), menunjukkan bahwa secara keseluruhan pelaksanaan program penanggulangan TB Paru dengan strategi DOTS dan penyuluhan kesehatan tentang TB Paru di Puskesmas Aek Kanopan Labuhanbatu Utara telah optimal (skor 78,57%), yang diperoleh melalui penemuan penderita dengan pemeriksaan dahak secara mikroskopis (81,65%), pengobatan dengan paduan Obat Anti Tuberkulosis (OAT) jangka pendek dengan pengawasan langsung oleh Pengawas Menelan Obat (PMO) (74,64%), jaminan tersedianya OAT secara teratur, menyeluruh dan tepat waktu dengan mutu terjamin (82,2%), sistem pencatatan dan pelaporan secara baku untuk memudahkan pemantauan dan evaluasi program penanggulangan TB Paru (75,8%) (Tabel 5.2).

Tabel 5.2. Distribusi Frekuensi dan Persentase Pelaksanaan Program Penanggulangan TB Paru Dengan Strategi DOTS dan Penyuluhan Kesehatan Tentang TB Paru (N=30)

Pelaksanaan Program Penanggulangan TB Paru Dengan Strategi DOTS dan Penyuluhan Kesehatan

Tentang TB Paru

Persentase (%)

1. Optimal 78,57

2. Kurang Optimal 21,43


(54)

Kemudian pada pelaksanaan program penanggulangan TB Paru di Puskesmas Aek Kanopan Labuhanbatu Utara dilihat dari setiap komponen strategi DOTS dan penyuluhan tentang TB Paru didapatkan bahwa strategi yang dikategorikan optimal adalah penemuan penderita dengan pemeriksaan dahak secara mikroskopis, pengobatan dengan paduan Obat Anti Tuberkulosis (OAT) jangka pendek dengan pengawasan langsung oleh Pengawas Menelan Obat (PMO), jaminan tersedianya OAT secara teratur, menyeluruh dan tepat waktu dengan mutu terjamin, sistem pencatatan dan pelaporan secara baku untuk memudahkan pemantauan dan evaluasi program penanggulangan TB Paru. Sedangkan kategori yang kurang optimal adalah komitmen politik dari para pengambil keputusan termasuk dukungan dana, dan penyuluhan tentang TB Paru (Tabel 5.3).

Tabel 5.3. Kategori Pelaksanaan Program Penanggulangan TB Paru Dengan Strategi DOTS dan Penyuluhan Kesehatan Tentang TB Paru di Puskesmas Aek Kanopan

Strategi DOTS dan Penyuluhan TB Paru

Pelaksanaan di Puskesmas Aek Kanopan

Persentase Total (%)

Kategori 1.Komitmen politik dari para

pengambil keputusan termasuk dukungan dana

59,96 Kurang Optimal

2.Penemuan penderita dengan pemeriksaan dahak secara mikroskopis

81,65% Optimal

3.Pengobatan dengan paduan Obat Anti Tuberkulosis (OAT) jangka pendek dengan pengawasan langsung oleh Pengawas Menelan Obat (PMO)

74,64% Optimal


(55)

Paru Dengan Strategi DOTS dan Penyuluhan Kesehatan Tentang TB Paru di Puskesmas Aek Kanopan

Strategi DOTS dan Penyuluhan TB Paru

Pelaksanaan di Puskesmas Aek Kanopan

Persentase Total (%) Kategori 4.Jaminan tersedianya OAT secara

teratur, menyeluruh dan tepat waktu dengan mutu terjamin

82,2 Optimal

5.Sistem pencatatan dan pelaporan secara baku untuk memudahkan pemantauan dan evaluasi program penanggulangan TB Paru

75,8 Optimal

6.Penyuluhan tentang TB Paru 65,52 Kurang Optimal

Pada pelaksanaan program penanggulangan TB Paru di Puskesmas Aek Kanopan dengan strategi DOTS khususnya tentang komitmen politik dari para pengambil keputusan termasuk dukungan dana, hasil penelitian menunjukkan bahwa 53,3% responden sangat setuju bahwa petugas puskesmas memberitahu mereka tentang adanya program penanggulangan TB Paru, 60% responden sangat setuju bahwa mereka memeriksakan dahaknya secara gratis di Puskesmas ini, 66,6% responden setuju mendapatkan obat TB Paru secara gratis di Puskesmas (Tabel 5.4).


(56)

Tabel 5.4. Distribusi Frekuensi dan Persentase Komitmen Politik dari Para Pengambil Keputusan Termasuk Dukungan Dana (N=30)

Pernyataan STS TS S SS

N (% )

N (% )

N (%) N (%)

1.Saya diberitahu petugas puskesmas bahwa di puskesmas ini ada program

penanggulangan TB Paru

0 (0) 0 (0) 14 (46,6) 16 (53,3)

2.Dahak saya diperiksa secara gratis di puskesmas ini.

0 (0) 0 (0) 12 (40) 18 (60)

3.Saya mendapatkan obat TB Paru secara gratis di Puskesmas.

0 (0) 0 (0) 20 (66,6) 10 (33,3)

Hasil penelitian menunjukkan bahwa 80% responden setuju memeriksakan dahak ke puskesmas, 90% responden setuju bahwa mereka mengambil dahaknya sebanyak tiga kali untuk diperiksa, 73,3% responden setuju bahwa petugas kesehatan di Puskesmas yang memeriksa dahak mereka, 83% responden setuju bahwa mereka memeriksakan dahaknya untuk mengetahui apakah mereka menderita TB Paru (Tabel 5.5).

Tabel 5.5. Distribusi Frekuensi dan Persentase Penemuan Penderita Dengan Pemeriksaan Dahak Secara Mikroskopis (N=30)

Pernyataan STS TS S SS

N (%) N (%) N (%) N (%) 1. Saya memeriksakan

dahak ke puskesmas.

0 (0) 0 (0) 24 (80) 6 (20) 2. Dahak saya diambil

sebanyak tiga kali untuk diperiksa.


(57)

Lanjutan Tabel 5.5. Distribusi Frekuensi dan Persentase Penemuan Penderita Dengan Pemeriksaan Dahak Secara Mikroskopis (N=30)

Pernyataan STS TS S SS

N (%) N (%) N (%) N (%) 3. Dahak saya diperiksa oleh

petugas kesehatan di Puskesmas. Dahak saya diambil sebanyak tiga kali untuk diperiksa.

0 (0) 0 (0) 22 (73,3) 8 (26,6)

4. Dahak saya diperiksa untuk mengetahui apakah saya menderita TB Paru

0 (0) 0 (0) 25 (83,3) 5 (16,6)

Dari hasil penelitian terlihat bahwa 63,3% responden setuju bahwa Pengawas Menelan Obat (PMO) langsung mengawasi responden ketika menelan obat, 80% responden setuju bahwa orang yang menjadi PMO bisa saja adalah keluarga, tetangga, petugas puskesmas, dan pemuka masyarakat yang sudah ditunjuk, 73,3% responden setuju bahwa harus makan obat TB Paru selama enam bulan dengan pengawasan PMO, 73,3% responden setuju bahwa PMO selalu mengingatkan mereka agar teratur makan obat setiap hari, 83,3% responden setuju bahwa jika tidak dapat mengambil sendiri obatnya ke Puskesmas maka PMO akan membantu mengambilkan obatnya ke Puskesmas (Tabel 5.6).


(58)

Tabel 5.6. Distribusi Frekuensi dan Persentase Pengobatan dengan paduan Obat Anti Tuberkulosis (OAT) Jangka Pendek Dengan Pengawasan Langsung oleh Pengawas Menelan Obat (PMO) (N=30)

Pernyataan STS TS S SS

n (%) N (%) N (%) n (%) 1.PMO (Pengawas Menelan

Obat) langsung mengawasi saya ketika menelan obat.

0 (0) 2 (6,6) 19 (63,3) 9 (30)

2.Orang yang menjadi PMO bisa saja adalah keluarga, tetangga, petugas

puskesmas, dan pemuka masyarakat yang sudah ditunjuk

0 (0) 0 (0) 24 (80) 6 (20)

3.Saya harus makan obat TB Paru selama enam bulan dengan pengawasan PMO.

0 (0) 0 (0) 22 (73,3) 8 (26,6)

4.Saya selalu diingatkan oleh PMO agar teratur makan obat setiap hari.

0 (0) 0 (0) 22 (73,3) 8 (26,6)

5.Jika saya tidak dapat

mengambil sendiri obat saya ke puskesmas, maka PMO akan membantu mengambil-kan obat saya ke Puskesmas.

0 (0) 0 (0) 25 (83,3) 5 (16,6)

Dari hasil penelitian terlihat bahwa 93,3% responden setuju bahwa petugas puskesmas mewajibkan mereka untuk mengambil obat secara teratur di puskesmas setiap 10 hari sekali, 70% responden setuju bahwa di puskesmas ini selalu tersedia obat TB Paru jika responden datang untuk mengambil obat lanjutan, 83,3% responden sangat setuju bahwa petugas kesehatan memberikan obat TB Paru dengan lengkap dan tidak rusak (Tabel 5.7).


(59)

Tabel 5.7. Distribusi Frekuensi dan Persentase Jaminan Tersedianya OAT Secara Teratur, Menyeluruh dan Tepat Waktu Dengan Mutu Terjamin (N=30)

Pernyataan STS TS S SS

N (%) N 28 N (%) N (%) 1.Saya diwajibkan oleh

petugas puskesmas untuk mengambil obat secara teratur setiap 10 hari sekali

0 (0) 0 (0) 28 (93,3) 2 (6,6)

2.Di puskesmas ini selalu tersedia obat TB Paru jika saya datang untuk mengambil obat lanjutan.

0 (0) 0 (0) 21 (70) 9 (30)

3.Petugas kesehatan memberikan obat TB Paru dengan lengkap dan tidak rusak

0 (0) 0 (0) 5 (16,6) 25 (83,3)

Dari hasil penelitian terlihat bahwa 90% responden setuju bahwa petugas kesehatan memberikan kartu tanda berobat TB Paru yang berwarna kuning kepada responden untuk mencatat pengobatan, 86,6% responden setuju bahwa petugas kesehatan selalu mengingatkan responden agar selalu membawa kartu berobat ketika datang untuk mengambil obat lanjutan agar pencatatan sesuai dengan jadwal, 53,3% responden tidak setuju bahwa harus selalu membawa kartu berobat jika responden pergi agar dapat mengambil obat di puskesmas lain jika obatnya habis, 73,3% responden setuju bahwa petugas puskesmas selalu memantau kondisinya dan selalu membuat catatan tentang perkembangan kondisinya (Tabel 5.8).


(60)

Tabel 5.8. Distribusi Frekuensi dan Persentase Sistem Pencatatan dan Pelaporan Secara Baku untuk Memudahkan Pemantauan dan Evaluasi Program Penanggulangan TB Paru (N=30)

Pertanyaan STS TS S SS

N (%) N (%) N (%) N (%) 1.Petugas kesehatan memberikan

kartu tanda berobat TB Paru yang berwarna kuning kepada saya untuk mencatat pengobatan

0 (0) 0 (0) 27 (90) 3 (10)

2.Petugas kesehatan selalu mengingatkan saya agar selalu membawa kartu berobat ketika datang untuk mengambil obat lanjutan agar pencatatan sesuai dengan jadwal

0 (0) 0 (0) 26 (86,6) 4 (13,3)

3.Saya harus selalu membawa kartu berobat jika saya pergi agar dapat mengambil obat di puskesmas lain jika obat saya habis

0 (0) 16 (53,3) 10 (33,3) 4 (13,3)

4.Petugas puskesmas selalu memantau kondisi saya dan selalu membuat catatan tentang perkembangan kondisi saya

0 (0) 1 (3,33) 22 (73,3) 7 (23,3)

Hasil penelitian menunjukkan bahwa 63,3% responden setuju bahwa puskesmas ini melaksanakan penyuluhan TB Paru, 66,6% responden setuju bahwa petugas kesehatan di puskesmas biasanya memberikan penyuluhan secara

langsung pada penderita TB Paru, 60% responden setuju bahwa penyuluhan juga dilaksanakan secara tidak langsung dalam bentuk bahan cetak seperti leaflet, poster atau spanduk, 66,6% responden setuju bahwa petugas kesehatan di puskesmas memberi responden penyuluhan yang lengkap tentang TB Paru, 70% responden setuju bahwa setelah mendapatkan penyuluhan tentang TB Paru responden menjadi lebih mengerti dan paham tentang penyakit TB Paru, 66,6% responden setuju bahwa adanya penyuluhan tentang TB Paru dari petugas


(61)

kesehatan membuatnya ingin cepat sembuh dengan makan Obat Anti

Tuberkulosis secara teratur dan selalu memeriksakan kondisi saya sesuai jadwal berobat ke puskesmas (Tabel 5.9).

Tabel 5.9. Distribusi Frekuensi dan Persentase Penyuluhan TB Paru (N=30)

Pernyataan STS TS S SS

N (%) N (%) N (%) N (%)

1. Di puskesmas ini

dilaksanakan penyuluhan TB Paru.

0 (0) 5 (16,6) 19 (63,3) 6 (20)

2.Petugas kesehatan di puskesmas biasanya memberikan penyuluhan secara langsung pada penderita TB Paru

0 (0) 3 (10) 20 (66,6) 5 (16,6)

3.Penyuluhan juga

dilaksanakan secara tidak langsung, dalam bentuk bahan cetak seperti leaflet, poster atau spanduk

0 (0) 2 (6,6) 18 (60) 10 (33,3)

4. Petugas kesehatan di puskesmas memberi saya penyuluhan yang lengkap tentang TB Paru

0 (0) 0 (0) 20 (66,6) 10 (33,3)

5. Setelah mendapatkan penyuluhan tentang TB Paru, saya menjadi lebih mengerti dan paham tentang penyakit TB Paru

6. Adanya penyuluhan tentang TB Paru dari petugas kesehatan, membuat saya ingin cepat sembuh dengan makan Obat Anti

Tuberkulosis secara teratur dan selalu memeriksakan kondisi saya sesuai jadwal berobat ke Puskesmas

0 0 (0) (0) 0 0 (0) (0) 21 20 (70) (66,6) 9 10 (30) (33,3)


(62)

2. Pembahasan

Dalam penelitian ini, membahas tentang pelaksanaan program penanggulangan TB paru dengan strategi DOTS dan penyuluhan kesehatan di Puskesmas Aek Kanopan Labuhanbatu Utara, yang dapat dilihat dari beberapa aspek seperti komitmen politik dari para pengambil keputusan termasuk dukungan dana, penemuan penderita dengan pemeriksaan dahak secara mikroskopis, pengobatan dengan paduan Obat Anti Tuberkulosis (OAT) jangka pendek dengan pengawasan langsung oleh Pengawas Menelan Obat (PMO), jaminan tersedianya OAT secara teratur, menyeluruh dan tepat waktu dengan mutu terjamin, sistem pencatatan dan pelaporan secara baku untuk memudahkan pemantauan dan evaluasi program penanggulangan TB Paru, dan penyuluhan TB Paru. Selain itu di dalam penelitian ini juga digambarkan beberapa karakteristik responden yang menjadi sampel dalam penelitian ini.

2.1. Karakteristik Responden

Hasil penelitian menunjukkan bahwa setengah dari responden berusia 18 – 40 tahun (50%) dan usia 41 – 55 tahun (30%), menurut WHO (2008) bahwa TB Paru merupakan penyebab kematian pada usia produktif sehingga menyebabkan kemiskinan. Kemiskinan terjadi karena pada usia produktif tersebut penderita TB Paru tidak mampu lagi bekerja secara optimal untuk menghasilkan barang atau jasa atau bahkan sama sekali tidak dapat bekerja untuk memenuhi kebutuhan hidupnya dan keluarga, sehingga dengan keterbatasan tersebut menyebab kemiskinan bagi keluarga. Kemudian lebih dari setengah responden berjenis


(63)

kelamin laki-laki (66,7%), ini terjadi karena perbedaan gaya hidup antara laki-laki dan perempuan, dimana laki-laki punya kebiasaan hidup yang buruk seperti merokok, minum alkohol dan begadang yang mengakibatkan daya tahan tubuh menjadi lemah (Aditama, 2002). Kurang dari setengah responden berpendidikan SMU (43,3%) dan SLTP (33,3%), dengan relatif tingginya pendidikan responden kesadaran untuk menjalani pengobatan TB Paru secara teratur dan lengkap juga relatif tinggi sesuai dengan penelitian (Gitawati, et all, 2002).

Kurang dari setengah responden bekerja sebagai buruh/tani (43,3%) dan lebih dari setengah responden berpenghasilan kurang dari Rp.850.000,- per bulan (56,7%). Pada umumnya TB paru menyerang kelompok masyarakat dengan sosial ekonomi rendah, penyakit ini menular dengan cepat pada orang yang rentan dan daya tahan tubuh lemah (Aditama, 2002). Mayoritas responden telah menjalani pengobatan selama 1 – 2 bulan atau pasien baru (83,3%), namun ada dua orang responden (6,7%) yang sudah menjalani pengobatan lebih dari 6 bulan karena setelah makan obat selama 6 bulan dan diperiksa dahaknya kembali, hasilnya masih positif TB Paru atau belum sembuh sehingga harus makan obat lanjutan.

2.2. Pelaksanaan Program Penanggulangan TB Paru dengan Strategi DOTS dan Penyuluhan Tentang TB Paru

Pelaksanaan program penanggulangan TB Paru dengan strategi DOTS dan penyuluhan kesehatan tentang TB Paru di Puskesmas Aek Kanopan Labuhanbatu Utara hasilnya optimal (Skor 78,57%), pelaksanaan program penanggulangan TB Paru tersebut hasilnya optimal karena menggunakan strategi Directly Observed


(64)

Treatment Shortcourse (DOTS) yang merupakan strategi pengobatan dalam penanggulangan TB Paru nasional yang direkomendasikan oleh WHO sejak tahun 1995 dan terbukti cukup efektif dalam menyembuhkan penderita TB Paru. DOTS merupakan strategi pengobatan TB Paru jangka pendek dengan pengawasan ketat oleh petugas kesehatan dan PMO. Dengan menggunakan strategi DOTS maka proses penyembuhan TB Paru dapat secara cepat, DOTS menekankan pentingnya pengawasan terhadap penderita TB Paru agar menelan obatnya secara teratur sesuai kebutuhan sampai dinyatakan sembuh (Depkes RI, 2002). Penyuluhan kesehatan tentang TB Paru juga mempunyai peranan penting dalam pelaksanaan program penanggulangan TB Paru dan sebagai pendukung pelaksanaan strategi DOTS. Penyuluhan TB Paru memberikan informasi yang penting kepada penderita tentang penyakit TB Paru. Penyuluhan dapat merubah perilaku khususnya penderita dan keluarga dalam membina dan memelihara perilaku hidup sehat serta berperan aktif dalam mewujudkan derajat kesehatan yang optimal (Effendy, 1998).

2.2.1. Komitmen Politik dari Para Pengambil Keputusan Termasuk Dukungan Dana

Hasil penelitian tentang komitmen politik dari para pengambil keputusan termasuk dukungan dana menunjukkan hasil yang kurang optimal. Hal ini karena kurangnya pengetahuan khususnya penderita sendiri dan masyarakat akan program yang dilaksanakan oleh pemerintah di puskesmas untuk memberantas TB Paru. Adanya faktor-faktor penghambat yang


(65)

menyebabkan pelaksanaan program penanggulangan TB Paru tidak berjalan dengan baik mencakup pendidikan yang rendah atau tidak adanya pengetahuan yang cukup terhadap penyakit dan penyebab penyakit TB Paru tersebut, sikap acuh penderita terhadap penyakit yang dideritanya, masalah sosial budaya yang meliputi lingkungan tinggal yang layak dan sehat, masalah kemiskinan atau faktor ekonomi dan masalah yang bersumber dari petugas kesehatan sendiri (Yunus dkk, 1992). Faktor-faktor penghambat yang tersebut diatas yang menjadikan penderita TB Paru enggan untuk datang ke puskesmas, sehingga penderita kurang mengetahui informasi tentang adanya program penanggulangan TB Paru melalui strategi DOTS khususnya komitmen politik dari para pengambil keputusan termasuk dukungan dana berupa pengobatan TB Paru secara gratis di puskesmas yang terdiri dari pemberian OAT dan pemeriksaan dahak secara gratis di puskesmas. Hal ini dapat dilihat dari hasil penelitian yaitu masih kurang optimalnya persentase responden menjawab setuju bahwa petugas puskesmas memberitahu mereka di puskesmas ini ada program penanggulangan TB Paru (53,3%), responden setuju memeriksakan dahaknya secara gratis di puskesmas ini (60%), responden setuju mendapatkan obat TB Paru secara gratis di puskesmas (66,6%) (Depkes RI, 2002).

2.2.2. Penemuan Penderita dengan Pemeriksaan Dahak secara Mikroskopis


(66)

Pada penelitian ini terlihat bahwa penemuan penderita dengan pemeriksaan dahak secara mikroskopis menunjukkan hasil yang optimal. Dalam program penanggulangan TB Paru diagnosis ditegakkan melalui pemeriksaan dahak secara mikroskopis langsung. Diagnosis pasti TB Paru dapat dilakukan dengan pemeriksaan tiga spesimen (SPS) dahak, pemeriksaan dahak secara mikroskopis merupakan pemeriksaan yang paling efisien, mudah dan murah, dan hampir semua unit laboratorium dapat melaksanakan. Pemeriksaan dahak secara mikroskopis bersifat spesifik dan cukup sensitif. Oleh karena itu mayoritas responden setuju dengan pemeriksaan dahak secara mikroskopis yang dilakukan petugas kesehatan yang ada di puskesmas untuk menjaring penderita TB Paru. Berdasarkan penelitian, penderita TB Paru kooperatif saat petugas puskesmas meminta mereka untuk menampung dahaknya sebanyak tiga kali (SPS) dalam waktu dua hari berturut-turut dan membawa dahaknya untuk diperiksa di puskesmas. Dengan demikian mereka dapat mengetahui apakah terinfeksi TB Paru atau tidak. Hasil tersebut dapat dilihat dari persentase responden setuju memeriksakan dahaknya ke puskesmas (80%), responden setuju bahwa dahaknya diambil sebanyak tiga kali untuk diperiksa (90%), responden setuju bahwa dahaknya diperiksa oleh petugas kesehatan di puskesmas (73,3%) (Depkes RI, 2002).

2.2.3. Pengobatan dengan Paduan Obat Anti Tuberkulosis (OAT) Jangka Pendek dengan Pengawasan Langsung oleh Pengawas Menelan Obat (PMO)


(1)

Paru dengan Strategi DOTS dan Penyuluhan Tentang TB Paru Petunjuk Pengisian

Keterangan Kuesioner : STS = Sangat Tidak Setuju

: Berilah tanda checklist (√) pada pernyataan yang menurut anda benar pada kolom : STS, TS, S, SS.

TS = Tidak Setuju S = Setuju

SS = Sangat Setuju

NO PERNYATAAN STS TS S SS

I Komitmen politik dari para pengambil keputusan termasuk dukungan dana:

Pernyataan:

1. Saya diberitahu petugas puskesmas bahwa di puskesmas ini ada program penanggulangan TB Paru.

2. Dahak saya diperiksa secara gratis di Puskesmas ini.

3. Saya mendapatkan obat TB Paru secara gratis di Puskesmas.

II Penemuan penderita dengan pemeriksaan dahak secara mikroskopis:

Pernyataan:

4. Saya memeriksakan dahak ke puskesmas. 5. Dahak saya diambil sebanyak tiga kali untuk

diperiksa.

6. Dahak saya diperiksa oleh petugas kesehatan di Puskesmas. Dahak saya diambil sebanyak tiga kali untuk diperiksa.


(2)

NO PERNYATAAN STS TS S SS 7. Dahak saya diperiksa untuk mengetahui

apakah saya menderita TB Paru III Pengobatan dengan paduan Obat Anti

Tuberkulosis (OAT) jangka pendek dengan pengawasan langsung oleh Pengawas Menelan Obat (PMO):

Pernyataan:

8. PMO (Pengawas Menelan Obat) langsung mengawasi saya ketika menelan obat. 9. Orang yang menjadi PMO bisa saja adalah

keluarga, tetangga, petugas puskesmas, dan pemuka masyarakat yang sudah ditunjuk. 10. Saya harus makan obat TB Paru selama enam

bulan dengan pengawasan PMO.

11. Saya selalu diingatkan oleh PMO agar teratur makan obat setiap hari.

12. Jika saya tidak dapat mengambil sendiri obat saya ke Puskesmas, maka PMO akan

membantu mengambilkan obat saya ke Puskesmas.

IV Jaminan tersedianya OAT secara teratur, menyeluruh dan tepat waktu dengan mutu terjamin:

Pernyataan:

13. Saya diwajibkan oleh petugas puskesmas untuk mengambil obat secara teratur setiap 10 hari sekali.

14. Di Puskesmas ini selalu tersedia obat TB Paru jika saya datang untuk mengambil obat lanjutan.

15. Petugas kesehatan memberikan obat TB Paru dengan lengkap dan tidak rusak


(3)

V Sistem pencatatan dan pelaporan secara baku untuk memudahkan pemantauan dan evaluasi program penanggulangan TB Paru:

Pernyataan:

16. Petugas kesehatan memberikan kartu tanda berobat TB Paru yang berwarna kuning kepada saya untuk mencatat pengobatan. 17. Petugas kesehatan selalu mengingatkan saya

agar selalu membawa kartu berobat ketika datang untuk mengambil obat lanjutan agar pencatatan sesuai dengan jadwal.

18. Saya harus selalu membawa kartu berobat jika saya pergi agar dapat mengambil obat di puskesmas lain jika obat saya habis.

19. Petugas puskesmas selalu memantau kondisi saya dan selalu membuat catatan tentang perkembangan kondisi saya.

VI Penyuluhan TB Paru: Pernyataan:

20. Di Puskesmas ini dilaksanakan penyuluhan TB Paru.

21. Petugas kesehatan di Puskesmas biasanya memberikan penyuluhan secara langsung pada penderita TB Paru.

22. Penyuluhan juga dilaksanakan secara tidak langsung, dalam bentuk bahan cetak seperti leaflet, poster atau spanduk.

23. Petugas kesehatan di Puskemas memberi saya penyuluhan yang lengkap tentang


(4)

NO PERNYATAAN STS TS S SS 24. Setelah mendapatkan penyuluhan

tentang TB Paru, saya menjadi lebih mengerti dan paham tentang penyakit TB Paru

25. Adanya penyuluhan tentang TB Paru dari petugas kesehatan, membuat saya ingin cepat sembuh dengan makan Obat Anti

Tuberkulosis secara teratur dan selalu memeriksakan kondisi saya sesuai jadwal berobat ke Puskesmas.


(5)

Nama : Nurainun

Tempat Tanggal Lahir : Sukajadi 4 April 1983

Agama : Islam

Alamat : Jalan Garuda Gang Senopati No. 16 Sei Sikambing B Medan

Riwayat Pendidikan :

1. Tahun 1991 – 1996 : SD Negeri 115463 Aek Kanopan 2. Tahun 1996 – 1999 : SLTP Negeri 6 Aek Kanopan 3. Tahun 1999 – 2002 : SMU Swasta Kartika I-2 Medan 4. Tahun 2003 – 2006 : D III Keperawatan USU


(6)

RELIABILITY

/VARIABLES= Q1 Q2 Q3 Q4 Q5 Q6 Q7 Q8 Q9 Q10 Q11 Q12 Q13 Q14 Q15 Q16 Q17 Q18 Q19 Q20 Q21 Q22 Q23 Q24 Q25

/SCALE('ALL VARIABLES') ALL/MODEL=ALPHA. Case Processing Summary

N %

Case s

Valid

10 100.0 Excluded(a) 0 .0

Total 10 100.0

a Listwise deletion based on all variables in the procedure. Reliability Statistics

Cronbach's

Alpha N of Items .788 25