Aspek Hukum Dalam Proses Ganti Kerugian Atas Pengadaan Tanah Untuk Kepentingan Umum Yang Dilakukan Pemerintah

BAB II
SEJARAH PENGADAAN TANAH DI INDONESIA

A. Masa Pemerintahan Kolonial Belanda
Pengaturan masalah pengambilan tanah untuk kepentingan umum di
Indonesia sudah ada sejak zaman kolonial Belanda. Pada zaman ini dikenal adanya
prosedur pencabutan hak dan prosedur pembebasan hak atas tanah yang diatur dalam
dua peraturan. Peraturan pertama yang termuat dalam Gouvernements Blesluit
(Keputusan Gubernur/Pemerintah) tanggal 1 Juli 1927 Nomor 7 ( Bijblad Nomor
11372),

dan

yang

termuat

didalam

Gouvernements


Besluit

(Keputusan

Gubernur/Pemerintah) tanggal 8 Januari 1932 Nomor 23 (Bijblad 12746)
sedangkankan peraturan kedua adalah Onteigenings Ordonnantie yang termuat
didalam Staatsblad Nomor 574 Tahun 1920.
Peraturan perundang-undangan yang pertama, mengatur tentang pembebasan
tanah yakni mengatur tentang perolehan hak atas tanah secara dua pihak artinya
dilakukan pertemuan kehendak kedua belah pihak (musyawarah) yaitu pihak yang
menghendaki tanah dan pihak lain adalah pemilik tanah tersebut.apabila persetujuan
kedua belah pihak tidak menghasilkan kata sepakat atau karena adanya suatu
keberatan besar yang tidak dapat diatasi dalam persetujuan tersebut, maka digunakan
peraturan yang kedua, yaitu Onteigenings Ordonnantie (ordonansi Pencabutan Hak
Atas Tanah) yaitu pengambilan hak atas benda (tanah) secara ‘paksa’ oleh
pemerintah.

Universitas Sumatera Utara

Di dalam prakteknya ternyata Onteigenings Ordonnantie ini dapat diterapkan

secara langsung tanpa memerlukan peraturan lain sebagai pelaksananya. Tidak ada
satupun pasal atau ayat dalam peraturan tersebut yang menyatakan bahwa sesuatu hal
akan diatur lebih lanjut dalam peraturan yang lebih rendah. Berarti, Onteigenings
Ordonnantie ini tidak mengenal adanya delegasi undang-undang.

B. Masa Pendudukan Jepang
Sebagai konsekuensi dari menyerahnya Belanda kepada Jepang, 9 Maret
1942, maka segala kekuasaan pemerintah diatur dan dikendalikan oleh tentara
Jepang. Di dalam pelaksanan pemerintahannya di Jawa dan Madura, tentara Jepang
berpedoman kepada Gunserei melalui “Osamu Seirei”, yang mengatur segala sesuatu
yang diperlukan untuk menjalankan pemerintahannya.
Di dalam pasal 3 Osamu seirei disebutkan “Semua hukum dan undangundang, pemerintah dan kekuasaan dari pemerintahan yang terdahulu, selagi tidak
bertentangan dengan aturan Pemerintahan Tentara Jepang, untuk sementara waktu
tetap berlaku”. Ketentuan yang sama, juga dikeluarkan untuk dilaksanakan diluar
pulau Jawa dan Madura.
Politik agrarian yang dijalankan oleh tentara pendudukan Jepang tidak
berbeda tujuannya dengan politik agrarian yang dijalankan oleh pemerintah kolonial
Belanda. Segala sesuatu yg diterapkan dalam pemerintahan Jepang ini semata-mata
hanya untuk kepentingan mereka sahaja, meskipun berdalih demi untuk kemerdekaan
Indonesia dikemudian hari.


Universitas Sumatera Utara

Selama Jepang menjalankan pemerintahannya, telah terjadi pengambilan
tanah diberbagai tempat diseluruh wilayah Indonesia, dari penduduk Indonesia asli
maupn tanah-tanah yang dicatat dengan hak-hak baru oleh Pemerintah Tentara
Jepang. Pengambilan tanah ini sama sekali tidak disertai dengan ganti rugi kepada
pemiliknya. Pengambilan tanah-tanah inipun tidak disandarkan pada peraturan
perundang-undangan, tetapi didasarkan kepada kepentingan militer ataupun
kepentingan pemerintahan militer dan sebagai bentuk pengabdian dalam usahanya
membantu akan tercapainya kemenagan akhir dalam peperangan Asia Timur Raya.

C. Zaman Setelah Kemerdekaan
1. Undang-undang No. 5 tahun 1960
Undang-undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok
Agraria, Pasal 2 ayat (2) memberikan penertian lebih lanjut tentang hak menguasai
negara, yaitu memberikan kuasa kepada negara seperti berikut :
a. mengatur dan menyelengarakan peruntukan, penggunaan, persediaan dan
pemilharaan bumu, air dan ruang angkasa.
b. menentukan dan mengatur hubugan-hubungan hukum antara orang-orang

antara bumi, air dan ruang angkasa.
c. menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara manusia dan
perbuatan-perbuatan hukum mengenai bumi, air dan ruang angkasa.
Berdasarkan Pasal 2 dan juga berdasarkan Penjelasan Umum angka I UndangUndang Pokok Agraria (UUPA) memberikan kuasa yang sangat besar dan kehendak

Universitas Sumatera Utara

yang amat luas kepada negara untuk mengatur alokasi sumber-sumber agraria.
Sebagai konsekuensi daripada hak menguasai negara yang bertujuan untuk
dipergunakan bagi sebesar-besar kemakmuran rakyat, maka negara mempunyai hak
untuk membatalkan atau mengambil hak-hak atas tanah yang dimiliki atau dikuasai
oleh rakyat dengan memberi ganti rugi atau pampasan yang layak dan menurut
ketentuan yang diatur dalam undang-undang.
Kemudian didalam ketentuan Pasal 18 UUPA tersebut menyebutkan : “untuk
kepentingan umum, termasuk kepentingan bangsa dan negara serta kepentingan
bersama daripada rakyat, hak-hak atas tanah dapat ditarik dengan memberikan ganti
rugi yang layak dan menurut cara yang diatur oleh undang-undang”. Oleh itu,
pencabutan hak atas tanah itu dimungkinkan selagi memenuhi syarat-syarat yang
telah ditentukan; Harus ada ganti rugi atau pampasan yang layak atau penggantian
dengan tanah yang sesuai ditinjau dari pada aspek nilai, manfaat, kemampuan tanah

pengganti tersebut.

2. Undang-Undang No. 20 Tahun 1961
Berdasarkan ketentuan dalam Pasal 18 UUPA yang mengatakan bahwa
pencabutan hak atas tanah maka dikeluarkanlah Undang-Undang No.20 Tahun 1961
tentang Pencabutan Hak-Hak Atas Tanah dan Benda-Benda Yang Ada Di Atasnya.
Undang-Undang ini merupakan induk dari semua peraturan yang mengatur tentang
pencabutan atau pengambilan hak atas tanah yang berlaku hingga sekarang.

Universitas Sumatera Utara

Dalam Pasal 1 Undang-Undang No. 20 Tahun 1961 ini menyatakan bahwa
untuk kepentingan umum, termasuk kepentingan bangsa, negara, serta kepentingan
bersama rakyat dan kepentingan pembangunan setelah mendengar keputusan Menteri
Agraria, Menteri Kehakiman, dan Menteri yang berkaitan Presiden dalam keadaan
memaksa dapat mencabut hak-hak atas tanh dan benda-benda yang ada diatasnya.
Apabila dibandingkan ketentuan dalam pasal 18 UUPA dengan ketentuan
yang tercantum di dalam Pasal 1 UU no. 20 Tahun 1961 bahwa maksud peruntukan
pencabutan hak-hak atas tanah selain untuk kepentingan umum, termasuk juga
kepentingan bangsa dan negara serta kepentingan bersama dari rakyat terdapat

penambahan klausa untuk kepentingan pembangunan. Penambahan klausa ini tidak
mempunyai ukuran yang jelas terhadap apa yang dimaksudkan dengan kepentingan
pembangunan tersebut. Hanya di dalam penjelasannya dikemukakan adanya
pembangunan perumahan rakyat dan selebihnya dalam rangka pembangunan nasional
semesta berencana.
Perumusan norma yang tidak jelas itu akan menimbulakn banyak penafsiran,
malahan mungkin akan timbul salah pengertian atau tidak ada kepastian hukum. Di
samping itu, sangat disesali juga bahwa di dalam undang-undang tersebut tidak
terdapat rumusan secara jelas dan pasti mengenai apa sebenarnya yang dimaksudkan
dengan kepentingan umum.
Menurut Undang-Undang No. 20 Tahun 1961, ada dua acara dalam prosedur
pengambilan hak atas tanah, yaitu pertama dengan prosedur biasa dan kedua prosedur
luar biasa (mendesak).

Universitas Sumatera Utara

Dalam acara biasa maka prosedurnya adalah; pihak yang berkepentingan
(yaitu institusi yang memerlukan tanah tersebut) harus terlebih dahulu mengajukan
perantaraan Menteri Agraria atau Kelapa Badan Peratanahan Nasional (BPN),
melalui Kepala Inspeksi Agraria yang berkenaan untuk melakukan pencabutan hak

itu kepada Presiden. Diusahakan supaya permintaan itu dilengkapi dengan
partimbangan para Kepala daerah di mana tanah yang akan diambil berada dan
taksiran (appraisal) ganti ruginya. Taksiran itu dilakukan oleh suatu panitia penaksir
yang anggotanya diangkat sumpah.
Kemudian permintaan pencabutan hak atas tanah tersebut bersama dengan
pertimbangan Kepala Daerah dan taksiran (appraisal) ganti rugi tersebut dilanjutkan
oleh Kepala Inspeksi Agraria atau Kepala BPN Wilayah, Menteri Agraria atau
Kepala BPN Pusat. Seterusnya, Menteri Negara Agraria atau Kepala BPN Pusat
mengajukan permintaan tersebut kepada Presiden untuk mendapat keputusan, disertai
pertimbangan dari Menteri Kehakiman (dari aspek hukumnya) serta menteri yang
berkenaan mengenai fungsi usaha yang meminta dilakukan penarikan yang diminta
itu benar-benar diperlukan secara mutlak dan tidak dapat diperoleh ditempat lain.
Pengambilan tanah dan/atau benda yang berkenaan hanya dapat dilakukan
setelah ada keputusan dari presiden mengenai pencabutan hak atas tanah tersebut dan
setelah dilakukannya pembayaran ganti rugi sebagaimana ditetapkan dalam surat
keputusan presiden.
Apabila permintaan pencabutan hak atas tanah itu tidak diluluskan oleh
presiden, maka pemohon harus mengembalikan tanah atau benda-benda yang

Universitas Sumatera Utara


berkenaan dalam keadaan seperti sediakala dan/atau memberi ganti kerugian yang
layak kepada yang berhak. Jika presiden menyetujui penarikan itu dan ternyata para
pemilik tanah tidak mau menerima jumlah ganti rugi yang telah ditetapkan dalam
keputusan presiden tersebut, maka dalam tempo paling lambat satu bulan sejak
dikeluarkan keputusan itu, para pemilik tersebut dapat mengajukan banding (appeal)
ke Pengadilan Tinggi di wilayah hukum tempat tanah tersebut terletak, sebagaimana
diatur di dalam Pasal 8 UU No. 20 Tahun 1961. Keputusan Pengadilan Tinggi ini
merupakan keputusan tingkat pertama dan terakhir dalam arti keputusan bersifat
pasti. Lebih lanjut masalah penetapan ganti rugi oleh pengadilan ini diatur di dalam
Peraturan Pemerintah No. 39 Tahun 1973
Dalam Pasal 11 Undang-Undang No. 20 Tahun 1961 ini terdapat ketentuan
yang menyatakan bahwa apabila telah terjadi pencabutan hak atas tanah, tetapi
kemudian ternyata tanah dan/atau benda yang berkenaan tidak dipergunakan sesuai
dengan rencana kegunaannya dilakukan pencabutan hak tesebut, maka orang-orang
yang berhak atau pemilik diberikan prioritas untuk mendapatkan kembali tanah atau
benda tersebut.
Dalam sejarah pencabutan hak atas tanah, UU No. 20 Tahun 1961 pernah
digunakan yaitu dengan mencabut hak atas tanah atas daerah di kecamatan Taman
Sari yang terkenal dengan kompleks Yen Pin. Pencabutan dimaksud dilakukan

dengan Keppres No. 2 Tahun 1970 tanggal 6 januari 1970. Sebagai peraturan
pelaksana UU No. 20 Tahun 1961 tersebut diterbitkan Instruksi Presiden RI No. 9
Tahun 1973 tanggal 17-11-1973.

Universitas Sumatera Utara

3. Peraturan Pemerintah Nomor 39 Tahun 1973
Peraturan Pemerintah No. 39 Tahun 1973 ini mengatur tentang Acara
Penetapan Ganti Rugi oleh Pengadilan Tinggi sehubungan dengan Pencabutan HakHak atas Tanah dan Benda-Bendayang Ada di Atasnya. Peraturan ini merupakan
pengaturan lebih lanjut dari ketentuan Pasal 8 UU No. 20 Tahun 1961.
Dalam penjelasan umum peraturan pemerintah ini ditegaskan di samping
sebagai pengaturan pelaksana Pasal 8 UU No. 20 Tahun 1961 juga dimaksudkan
sebagai langkah untuk memberikan jaminan kepada para pemegang hak atas tanah
dari tindakan pencabutan tersebut. Di samping itu, dengan dilakukannya pencabutan
hak atas tanah dan benda-benda yang ada diatas tanah itu, bekas pemilik tanah tidak
mengalami kemunduran, baik di bidang sosial atau ekonominya. Untuk itulah para
pemegang hak atas tanah diberikan kesempatan untuk membuat banding ke
Pengadilan Tinggi, apabila ganti rugi yang diberikan kepada mereka dirasakan kurang
berpatutan.
Permohonan banding tersebut selambat-lambatnya dalam waktu satu bulan

sejak tanggal keputusan presiden tentang pencabutan itu dikeluarkan, banding ini
dapat disampaikan melalui surat atau secara lisan kepada panitera pengadilan tinggi.
Permohonan banding ini dikenakan biaya perkara kecuali pemohon tidak mampu.
Setelah permintaan rayuan/banding tersebut diterima oleh pengadilan tinggi,
maka selambat-lambatnya dalam waktu satu bulan perkara itu harus sudah diperiksa
oleh pengadilan tinggi. Pengadilan tinggi dalam waktu sesingkat-singkatnya harus
memutuskan perkara yang dimintakan rayuan/banding itu.

Universitas Sumatera Utara

Namun, peraturan pemerintah ini tidak mengatur bagaimana acara pencabutan
hak-hak atas tanah serta benda-benda yang ada di atasnya karena di dalam UndangUndang No. 20 Tahun 1961, tidak ada aturan yang mendelegasikan pengaturannya
dalam peraturan perundang-undangan lainnya. Ternaya sebagai petunjuk pelaksanaan
pencabutan hak atas tanah tersebut pemerintah mengeluarkan Instruksi Presiden
Nomor 9 Tahun 1973 tentang Pelaksanaan Pencabutan Hak-Hak Atas Tanah serta
Benda-Benda yang Ada di Atasnya.
4. Instruksi Presiden Nomor 9 Tahun1973
Instruksi Presiden No. 9 Tahun 1973 ini mengatur tentang Pelaksanaan
Pencabutan Hak-Hak Atas Tanah dan Benda-Benda yang ada di atasnya adalah
sebagai aturan pelaksanaan dari UU No. 20 Tahun 1961. Di dalam konsideran

Instruksi presiden ini disebutkan dua hal:
Pertama, pencabutan hak-hak atas tanah dan benda-benda di atasnya supaya
hanya dilaksanakan dengan hati-hati dan dengan cara-cara yang adil dan bijaksana,
segala sesuatu sesuai dengan ketentuan-ketentuan peraturan perundang-undangan
yang berlaku.
Kedua, dalam melaksanakan pencabutan hak-hak atas tanah dan benda-benda
yang ada di atasnya supaya menggunakan pedoman-pedoman sebagaimana tercantum
dalam lampiran instruksi presiden ini.
1. Di dalam Pasal 1 ayat (1) Instruksi Presiden ini disebutkan empat katagori
kegiatan yang mempunyai sifat untuk kepentingan umum, yaitu
Kepentingan bangsa dan negara, dan/atau

Universitas Sumatera Utara

2. Kepentingan masyarakat luas, dan/atau
3. Kepentingan rakyat banyak/ bersama, dan/atau
4. Kepentingan pembangunan.
Sementara itu jenis-jenis kegiatan pembangunan yang mempunyai sifat
kepentingan umum dijelaskan di dalam uraian Pasal 1 ayat (2) Inpres ini sebagai
berikut:
1. Pertahanan.
2. Pekerjaan Umum.
3. Perlengkapan Umum.
4. Jasa Umum.
5. Keagamaan.
6. Ilmu Pengetahuan dan Seni Budaya.
7. Kesehatan.
8. Olah Raga.
9. Keselamatan Umum Terhadap Bencana Alam.
10. Kesejahteraan Sosial.
11. Makam/ Kuburan.
12. Pariwisata dan Rekreasi.
13. Usaha-Usaha ekonomi yang Bermanfaat Bagi Kesejahteraan Umum.
Meskipun telah disebutkan secara eksplisit tiga belas macam kegiatan
pembangunan yang mempunyai sifat kepentingan umum, namun presiden dapat
menentukan bentuk-bentuk kegiatan yang mempunyai sifat kepentingan umum

Universitas Sumatera Utara

lainnya di luar ketiga belas hal di atas ( Pasal 1 ayat (3)). Hal ini menunjukkn betapa
besarnya kekuasaan presiden untuk melakukan pencabutan hak atas tanah yang di
punyai masyarakat.
Suatu kegiatan pembangunan bersifat kepentingan umum bila sebelumnya
sudah termasuk dalam rencana pembangunan dan telah dimasukkan kedalam rencana
Induk Pembangunan (RIP) yang telah disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah (DPRD) serta telah diketahui atau telah diberitahukan kepada masyarakat
dimana proyek pembangunan itu akan dilaksanakan.
Adapun subyek atau pemohon untuk melakukan permohonan untuk
mengajukan permohonan pencabutan hak atas tanah adalah instansi-instansi
pemerintah/ pertumbuhan pemerintah maupun usaha-usaha swasta menurut
kententuan yang berlaku. Bagi usaha-usaha swasta, rancangan proyeknya harus
disetujui oleh pemerintah pusat dan/atau pemeritah daerah/ negeri sesuai dengan
rencana pembangunan yang telah ada, hal ini menurut ketentuan Pasal 3 Lampiran
Instruksi Presiden ini.
Di dalam Pasal 6 UU No. 20 Tahun 1961, dijelaskan adanya pencabutan tanah
dengan alasan keadaan yang mendesak, di dalam Pasal 4 Lampiran Instruksi Presiden
ini lebih lanjut dijelaskan keadaan mendesak tersebut apabila dipenuhi 2 kriteria
sebagai berikut:
a. Penyediaan tanah tersebut diperlukan dalam keadaan sangat mendesak,
dimana penundaan pelaksanaannya dapat menimbulkan bencana alam yang
mengancam keselamatan umum.

Universitas Sumatera Utara

b. Penyediaan tanah tersebut sangat diperlukan dalam suatu kegiatan
pembangunan yang oleh pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah maupun
masyarakat luas pelaksanannya dianggap tidak dapat ditunda-tunda lagi.
Panitia Penaksir (appraiser) ganti rugi tanah sebagai dimaksud dalam Pasal 4
UU No. 20 Tahun 1961 di dalam menerapkan besarnya ganti rugi atas tanah/
bangunan/tanaman yang berada di atas tanah harus menaksir secara obyektif dengan
tidak merugikan kedua pihak dan dengan menggunakan norma-norma serta
memperhatikan harga-harga penjualan tanah/bangunan/tanaman di sekitarnya dalam
tahun yang sedang berjalan. Dalam mengunakan norma-norma ini, Panitia penaksir
harus tetap memperhatikan pedoman-pedoman yang ada dan yang lazim
dipergunakan dalam mengadakan Penaksiran (appraising) harga/ganti rugi atas
tanah/bangunan/tanaman yang berlaku dalam daerah yang bersangkutan.
Pelaksanaan Pembayaran ganti rugi kepada orang-orang yang hak atas
tanahnya dicabut, harus dilakukan secara tunai dan dibayarkan langsung kepada yang
berhak. Apabila ada rencana penampungan orang-orang yang hak atas tanahnya
dicabut, harus diusahakan sedemikian rupa agar mereka yang dipindahkan itu tetap
dapat menjalankan kegiatan usahanya/ mencari nafkah kehidupan yang layak seperti
waktu mereka belum dipindahkan.
Prosedur di atas tampaknya lebih menjamin tercapainya keseimbangan antara
hak dan kewajiban dan persamaan dalam pemenuhan hak dan kewajiban tersebut
secara berimbang. Di samping itu, perlindungan yang diberikan dapat terwujud dalam

Universitas Sumatera Utara

perlindungan terhadap maksud pengadaan tanah untuk kepentingan umum dan
utamanya perlindungan terhadap hak-hak warga negara.
Pada umumnya, pencabutan hak atas tanah dilakukan untuk kepentingan
pemerintah pusat ataupun pemerintah daerah, namun sebagaimana telah disebutkan
bahwa usaha-usaha swasta sebagai pengecualian dapat melakukan pencabutan hak.
Kondisi ini ironi sekali dengan ketentuan di dalam Pasal 3 Inpres No. 9 Tahun 1973
tersebut yang memberikan peluang kepada pihak swasta untuk melakukan pencabutan
karena hal ini bertentangan dengan ketentuan Pasal 28 UUPA dan Pasal 1 UU No. 20
Tahun 1961. Perlu dipersoalkan kembali apakah mungkin usaha-usaha swasta
tersebut memenuhi prinsip kepentingan umum karena walau bagaimanapun, usaha
swasta tersebut adalah usaha yang bersifat perseorangan/sendiri dan jelas-jelas
mencari keuntungan (profit).
Oleh karena itu, ketentuan ini di samping bertentangan dengan tujuan dari
UUPA, juga bertentangan dengan Pasal 33 ayat (3) UUD 1945. Dengan demikian,
perlu dilakukan peninjauan kembali atas Instruksi Presiden ini sehingga tidak terjadi
penyalahgunaan kekuasaan dan demi pembangunan untuk kepentingan umum sebagai
dalihnya.
Menurut A. Hamid S. Attamimi; dipandang dari aspek bentuknya, Instruksi
Presiden ini tidak tepat kalau dimasukkan sebagai bukan bagian dari tata peraturan
perundang-undangan. Penyebutan instruksi presiden (termasuk instruksi menteri)
disebut sebagai peraturan perundang-undangan, karena suatu instruksi itu bersifat
individual dan kontret serta harus ada hubungan atasan-bawahan (patron-client)

Universitas Sumatera Utara

secara organisasi. Dalam suatu instruksi, subyek norma ialah orang atau orang-orang
tertentu dan prilaku yang dirumuskan atau obyek norma bersifat sekali atau beberapa
kali (namun terbatas bilangannya). Sementara dalam peraturan perundang-undangan
subyek norma bersifat umum dan prilaku yang diatur atau obyek norma dapat
berulang-ulang.
5. Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) Nomor 15 Tahun 1975
Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) Nomor 15 Tahun 1975 ini
mengatur tentang ketentuan-ketentuan Mengenai Tata Cara Pembebasan Tanah.
Meskipun Permendagri ini telah dicabut oleh Keputusan Presiden (Keppres) Nomor
55 Tahun 1993 yang mengatur tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan
Pembangunan Untuk Kepentingan Umum, yang mulai berkuatkuasa pada 17 juni
1993, namun Permendagri ini akan tetap diuraikan untuk melihat sifat-sifat yang
dimilikinya.
Adapun penegrtian pembebasan tanah dijelaskan dalam Pasal 1 ayat (1) yaitu;
melepaskan hubungan hukum yang semula terdapat di antara pemegang hak/
penguasa atas tanahnya dengan cara memberikan gantu rugi. Guna keperluan untuk
menetapkan besarnya ganti rugi atas tanah yang dibebaskan, dibentuk Panitia
Pembebasan Tanah (PPT) oleh Gubernur/kelapa Daerah untuk masing-masing
Kabupaten/Kota dalam suatu wilayah Provinsi.
Tugas daripada Panitia Pembebasan Tanah ini disebutkan pada Pasal 3 yaitu:
a. mengadakan inventarisasi serta penelitian setempat terhadap keadaan
tanahnya, tanaman-tanaman dan bangunan-bangunan;

Universitas Sumatera Utara

b. mengadakan perundingan dengan para pemegang hak atas tanah dan
bangunan/tanaman;
c. menafsir besarnya ganti rugi yang akan dibayarkan kepada yang berhak;
d. membuat berita acara pembebasan tanah disertai fatwa/pertimbangannya;
e. menyaksikan pelaksanaan pembayaran ganti rugi kepada yang berhak atas
tanah/bangunan/tanaman tersebut.
Pasal 6 ayat (1) menjelaskan bahwa di dalam melakukan penafsiran/
pemetapan mengenai besar ganti rugi, Panitia Pembebasan Tanah harus musyawarah
dengan para pemilik/pemeganghak atas tanah dan/atau benda/tanaman yang ada di
atasnya berdasarkan harga umum setempat.
Dalam menetapkan besarnya ganti rugi harus diperhatikan beberapa hal yaitu:
a. Lokasi dan faktor stategis lainnya dapat mempengaruhi harga tanah.
Demikian pula dalam menetapkan ganti rugi atas bangunan dan tanaman
harus berpedoman kepada ketentuan yang telah ditetapkan oleh Dinas
Pekerjaan Umum/Dinas Pertanian setempat.
b. Bentuk ganti rugi dapat berupa uang, tanah dan atau fasilitas –fasilitas lain.
c. yang

berhak

atas

ganti

rugi

ialah

mereka

yang

berhak

atas

tanah/bangunan/tanaman yang ada diatasnya, dengan berpedoman kepada
hukum adat setempat, sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuanketentuan dalam UUPA dan kebijaksanaan Pemerintah.
Panitia Pembebasan tanah (P2T) ini berusaha agar dalam menentukan
besarnya jumlah ganti rugi terdapat kata sepakat di antara mereka dengan

Universitas Sumatera Utara

memperhatikan kemauan dari para pemegang hak atas tanah. Apabila terdapat
perbedaan harga taksiran (appraisal) ganti rugi di antara para anggota panitia, maka
yang dipergunakan adalah harga rata-rata dari taksiran (appraisal) masing-masing
anggota.
Akan tetapi jika terjadi penolakan ganti kerugian oleh yang akan dibebaskan
tanahnya, maka panitia setelah menerima dn mempertimbangkan alasan penolakan
tersebut, dapat mengambil sikap sebagai berikut:
a. Tetap pada putusan semula.
b. Meneruskan surat penolakan dimaksud dengan disertai pertimbang kepada
Gubernur/Kepala daerah yang bersangkutan untuk diputuskan.
Apabila telah tercapai kata sepakat mengenai besar/bentuk ganti rugi maka
dilakukan pembayaran ganti rugi sejumlah yang telah disetujui bersama. Bersama
dengan pembayaran ganti rugi itu dilakukan pula penyerahan/pelepasan hak atas
tanahnya dengan disaksikan oleh sekurang-kurangnya 4 orang anggota Panitia
Pembebasan Tanah antaranya Kepala Kecamatan dan Kepala Desa yang
bersangkutan. Pembayaran ganti rugi tersebut harus dilaksanakan secara langsung
oleh instansi yang bersangkutan kepada para pemegang hak tas tanah.
Dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 15 Tahun 1975 ini, penegasan
yang menyatakan bahwa adanya azas bagi pemerintah untuk dan dengan segala upaya
membantu penyediaan tanah yang diperlukan oleh swasta dalam membangun proyekproyek tanpa mengabaikan kewajiban memberikan perlindungan kepada pemilik
tanah sekaligus memberikan dorongan kepada swasta dengan berbagai fasilitas.

Universitas Sumatera Utara

Dengan rumusan penegasan semacam itu, berarti usaha swasta akan lebih mudah
memperoleh tanah guna kepentigannya dan tentu pemegang hak berada pada posisi
yang tidak menguntukan dalam arti tidak mendapat perlindungan atas tanah yang
akan dilepaskan setelah mendapat ganti rugi, hal ini jelas bertentangan dengan Pasal
33 ayat (3) UUD 1945 dan Pasal 18 UUPA.
Dengan demikian dilihat dari berbagai aspek baik dari aspek bentuk hukum
maupun aspek materi sebenarnya Permendagri Nomor 15 Tahun 1975 ini tergolong
cacat hukum.
6. Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 55 Tahun 1993
Pada 17 juni 1993 telah dikuatkuasakan Keputusan Presiden (Keppres)
Nomor 55 Tahun 1993 tentang Pengadaan Tanah bagi Pelaksanaan Pembangunan
untuk Kepentingan Umum. Tampaknya Keppres ini dibuat dengan maksud untuk
menampung aspirasi berbagai lapisan dalam masyarakat sebagai reaksi terhadap
ekses-ekses pembebasan tanah yang diatur dalam Permendagri, dalam hal ini dicabut
dengan berlakunya Keppres ini.
Keppres ini pada satu pihak ingin memberikan berbagai kemudahan bagi para
pelaksana pembangunan dalam menghadapi kesukaran pengadaan tanah untuk
berbagai proyek pembangunan sedangkan pada pihak lain untuk menampung
berbagai aspirasi yang berkembang sebelumnya bahwa peraturan yang mengatur
pembebasan tanah sebagaimana diatur dalam Permendagri Nomor 15 Tahun 1975
kurang memberikan jaminan perlindungan hukum kepada rakyat yang tanahnya
terkena pembebasan. Oleh karena itu keberadaan peraturan ini juga adalah bagaikan

Universitas Sumatera Utara

sebilah pedang yang bermata dua dan kedua-duanya penting sekali yaitu untuk
perlindungan hak rakyat dan pemenuhan tuntutan pembangunan.
Azas dikuatkuasakannya Keppres ini dapat dibaca pada konsiderannya, yaitu:
A. Berdaraskan pembangunan nasional, khususnya pembangunan berbagai fasilitas
untuk Kepentingan Umum, memerlukan bidang tanah yang cukup dan untuk itu
pengadaannya perlu dilakukan dengan sebaik-baiknya;
b. Bahwa pelaksanaan pengadaan tanah tersebut dilakukan dengan memperhatikan
peranan dalam kehidupan manusia dan prinsip penghormatan terhadap hak-hak
yang sah atas tanah;
c. Bahwa atas dasar pertimbangan tersebut, pengadaan tanah untuk Kepentingan
umum diusahakan dengan cara yang seimbang dan untuk tingkat pertama
ditempuh dengan cara musyawarah langsung dengan para pemegang hak atas
tanah.
Dengan berkuatkuasanya/berlakunya Keputusan Presiden Nomor 55 Tahun
1993, tidak dikenal lagi istilah “pembebasan tanah”, istilah ini telah diubah dengan
istilah “pelepasan” atau “penyerahan hak atas tanah” dan Keppres ini juga tidak
memberlakukan lagi Permendagri No.15 Tahun 1975. Keppres ini memberikan
pengertian pelepasan atau penyerahan hak atas tanah yaitu kegiatan melepaskan
hubungan hukum antara pemegang hak atas tanah dengan tanah yang dikuasainya
dengan memberikan ganti kerugian atas dasar musyawarah.
Salah satu yang sering menjadi masalah pada masa lalu, adalah definisi dari
kepentingan umum. Kepentingan umum sebagai sebuah konsep tidak sukar untuk

Universitas Sumatera Utara

dipahami namun secara definisi tidak mudah untuk dirumuskan. Dalam Keppres ini
kepentingan umum diartikan sebagai kepentingan seluruh lapisan masyarakat,
sedangkan dengan berkenaan dengan kegiatan pembangunan yang dilakukan dan
selanjutnya dimiliki oleh pemerintah, serta tidak digunakan untuk mencari
keuntungan.
Penyebutan secara limitatife macam-macam pembangunan untuk kepentingan
umum yang berjumlah 14, bukan berarti selain dari yang disebutkan tersebut tidak
boleh lagi melakukan pembangunan untuk kepentingan umum karena dalam Pasal 5
angka 2 menyebutkan kegiatan pembangunan untuk kepentingan umum selain yang
dimaksud pasal 5 angka 1 di atas dapat dilaksanakan dengan keputusan presiden. Hal
ini dapat membuka peluang terjadinya penafsiran yang beragam (multi-interprestasi)
atas istilah kepentingan umum tersebut.
Pengadaan tanah bagi kegiatan untuk kepentingan umum oleh pemerintah
dilaksanakan dengan cara yaitu dengan cara pelepasan hak atas tanah atau penyerahan
hak atas tanah. Di luar itu, pengadaan tanah selain untuk pelaksanaan pembangunan
untuk kepentingan umum dapat dilaksanakan dengan cara jual beli, tukar menukar
atau dengan cara lain yang disepakati secara sukarela oleh pihak-pihak yang
berkenaan.
Dalam Keppres ini, pengadaan tanah dilakukan atas dasar musyawarah.
Pengertian musyawarah ialah; proses atau kegiatan saling mendengar dengan sikap
saling menerima pendapat dan keinginan yang didasarkan atas kesukarelaan antara

Universitas Sumatera Utara

pihak pemegang hak atas tanah dan pihak yang memerlukan tanah, untuk
memperoleh kesepakatan mengenai bentuk dan besarnya ganti kerugian.
Keppres ini mebgisyaratkan agar musyawarah dilakukan secara langsung
antara pemegang hak atas tanah yang bersangkutan dan pejabat pemerintah yang
memerlukan tanah. Dalam hal ini, pengertian musyawarah adalah dalam arti
kualitatif, maksudnya dalam musyawarah ini yang dipentingkan adanya dialog
langsung (face to face).
Untuk membantu jalanya pengadaan tanah bagi kepentingan umum ini oleh
Gubernur sebagai kepala Provinsi dibentuk panitia Pengadaan Tanah (P2T). Dalam
setiap kegiatan pengambilan tanah untuk pembangunan demi kepentingan umum
akan selalu muncul rasa tidak puas hati, di samping tidak berdaya, di kalangan
masyarakat yang hak atas tanahnya terkena proyek tersebut.
Masalah ganti kerugian merupakan isu sentral yang paling rumit penangannya
dalam upaya pengadaan tanah untuk kepentingan umum yang dilakukan oleh
pemerintah, dengan memanfaatkan tanah-tanah yang sudah ada pemiliknya.
Keppre Nomor 55 Tahun 1993, memperluas macam dan bentuk ganti
kerugian atas tanah dalam rangka pengadaan tanah, bentuk ganti rugi tersebut bukan
hanya berupa uang tetapi dapat berupa tanah pengganti, pemukimann kembali,
kombinasi dari tiga bentuk konpensasi diatas atau bentuk lain yang disetujui oleh
pihak-pihak yang bersangkutan. Namun tidak ada keterangan atau pedoman lebih
lanjut perihal pemukiman kembali sebagai salah satu bentuk daripada ganti kerugian
tersebut.

Universitas Sumatera Utara

Dasar dan cara perhitungan ganti kerugian ditetapkan atas; harga tanah yang
ditetapkan atas nilai nyata atau sebenarnya, dengan memperhatikan nilai jual objek
pajak bumi dan bangunan (JNOP) yang terakhir untuk tanah berkaitan. Nilai jual
bangunan yang ditksir oleh instansi Pemerintah Daerah yang bertanggungjawab di
bidang bangunan, sedangkan nilai jual tanaman yang ditaksir oleh instansi
Pemerintah Daerah yang bertanggungjawab di bidang pertanian.
Merupakan langkah maju dan dapat diterima sebagai sesuatu yang adil apabila
untuk pengenaan pajak dan langkah awal penentuan besarnya gantu kerugian,
menggunakan standar yang sama, yaitu NJOP Bumi dan Bangunan tahun terakhir,
yang akurasi penetapanya merupakan faktor yang sangat menentukan.
Namun sejalan dengan perkembangan zaman yang semakin maju, ramai
masyarakat yang menuntut ganti kerugian dengan nilai nyata atau harga pasar (true
market value), bukan berdasarkan pada NJOP. Hal ini disebabkan pemberian ganti
kerugian yang berazaskan NJOP tidak memberikan kepuasan karena tidak
memberikan manfaat malah merugikan. Misalnya disatu kawasan terdapat dua lokasi
tanah yang sama-sama strategis dan memiliki prospek ekonomi yang baik, namun
memiliki NJOP yang berbeda, padahal menurut harga pasar, kedua-dua lokasi itu
hanya berbeda sedikit harga pasarnya.
Di bandingkan dengan ganti kerugian untuk bangunan dan tanaman, maka
ganti kerugian untuk tanah perhitungannya lebih rumit lagi, karena ada beberapa
faktor yang dapat mempengaruhi harga tanah, khususnya di Indonesia, ada beberapa
faktor lain yang dapat menjadi pertimbangan dalam menentukan ganti kerugian, di

Universitas Sumatera Utara

samping perhitungan berdasarkan NJOP Bumi dan Bangunan tersebut. Faktor-faktor
itu antara lain:
1. penentuan lokasi letak tanah, ini berkaitan dengan; apakah daerah tersebut
merupakan daerah yang strategik atau kurang strategik.
2. status penguasaan tanah, misalnya; apakah orang yang menguasai tanah
adalah pemegang hak yang sah atau hanya penggarap.
3. status hak atas tanah, misalnya apakah hak milik, hak guna bangunan, hak
pakai, dan lain-lain.
4. kelengkapan sarana prasarana, misalnya lokasi tersebut berdekatan dengan
bandara/kota, pusat perbelanjaan, jalan utama dan lain-lain.
5. keadaan fisik tanahnya, misalnya terpelihara atau terlantar.
6. kerugian sebagai akibat dipecahnya hak atas tanah tersebut.
7. biaya pindah tempat atau biaya pengerjaan.
8. kerugian terhadap turunnya penghasilan si pemegang hak, misalnya kedainya
yang banyak pelanggan menjadi berkurang karena pindah lokasi.
Berdasarkan uraian diatas dapat dikatakan bahwa Kepres Nomor 55 Tahun
1993 itu menempatkan posisi gubernur sebagai penentu proses pengadaan tanah
maupun penetapan ganti rugi.
Matlamat utama daripada pengadaan tanah bagi pelaksanaan pembangunan
adalah untuk memecahkan masalah perkenaan dengan tersedianya tanah untuk
berbagai kegiatan pembangunan dalam memperbaiki kemungkinan terjadinya konflik

Universitas Sumatera Utara

antara yang memerlukan tanah dengan para pemilik hak atas tanah pada wilayah yang
dijadikan lokasi pembangunan itu.
7. Pengadaan Tanah Dalam Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2005
Peraturan mengenai pengadaan tanah untuk pembangunan demi kepentingan
umum seperti yang diatur dalam Keppres Nomor 55 Tahun 1993 telah berlaku selama
lebih dari satu decade. Ini menandakan bahwa peraturan ini dapat berjalan dengan
baik dan dapat dikatakan lebih baik daripada peraturan sebelumnya. Namun, seiring
dengan kemajuan zaman keppres ini semakin dirasakan mengandung beberapa
kelemahan dan banyak menimbulkan permasalahan oleh karena itu pemerintah
beranggapan perlu untuk mengeluarkan peraturan yang baru.
Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2005 merupakan aturan pengganti
Keputusan Presiden Nomor 55 Tahun 1993. Latar belakang atau alasan berlakunya
perpres ini dapat dibaca pada pertimbangannya yaitu ;
1. bahwa dengan meningkatnya pembangunan untuk kepentingan umum yang
memerlukan tanah, maka pengadaannya perlu dilakukan secara cepat dengan
tetap memperhatikan prinsip pernghormatan terhadap hak-hak yang sah atas
tanah.
2. bahwa pengadaan tanah bagi pelaksanaan pembangunan utnuk kepentingan
umum seperti yang telah diatur dalam Keputusan Presiden Nomor 55 Tahun
1993 sudah tidak sesuai sebagai landasan hukum dalam rangka
melaksanakan pembangunan demi kepentingan umum.

Universitas Sumatera Utara

3. bahwa untuk lebih menignkatkan prinsip penghormatan hak-hak atas tanah
yang sah dan kepastian hukum dalam pengadaan tanah bagi pelaksanaan
pembangunan untuk kepentingan umum.
Dalam sejarahnya kemunculan perpres ini disambut gembira oleh para
pemimpin daerah dan kalangan pengusaha karena memberikan jaminan bagi proyek
pembangunan yang berhubungan dengan pengadaan tanah, namun disis lain ada
banyak penolakan keras hamper diseluruh wilayah Indonesia . penolakan tidak hanya
dilakukan masyarakat dan NGO, namun juga oleh komisi II DPR RI karena mereka
menganggap bahwa peraturan presiden ini bertentangan dengan hak asasi manusia dn
bersifat represif.
Berdasarkan Pasal 2 Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2005, peraturan ini
hanya dapat digunakan bagi pengadaan tanah dalam pelaksanaan pembangunan untuk
kepentingan umum. Hanya Pemerintah maupun Pemerintah Daerah yang dapat
menggunakan peraturan ini dalam rangka pegadaan tanah untuk kepentingan
pembangunan. Bagi subyek non pemerintah yang membutuhkan tanah secara tegas
disebut dapat melakukan pengadaan tanah melalui mekanisme jual beli, tukar
menukar atau cara lain yang disepakti secara sukarela oleh pihak-pihak yang
bersangkutan ( Pasal 2 ayat (2)). Ini berarti pihak swasta tidak dapat menggunakan
peraturan ini untuk memenuhi kebutuhan akan lahan untuk proyeknya. Pembatasan
subyek pengguna dalam Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2005 ini mengingat
sejarah pelaksanaan dari peraturan sebelumnya yang mengatur tentang pembebasan
tanah yang banyak digunakan untuk kepentingan swasta.

Universitas Sumatera Utara

Dalam Pasal 1 angka 5 Peraturan Presiden ini diberikan penafsiran tentang
kepentingan umum, yaitu kepentingan sebagian besar masyarakat. Dengan
dibatasinya secara limitative tentang kegiatan yang termasuk kepentingan umum
sebagaimana dituangkan dalam Pasal 5 tersebut diatas diharapkan akan memberikan
perlindungan dan kepastian hukum kepada masyarakat atau pemegang hak. Di dalam
peraturan presiden ini tidak ada lagi peluang bagi presiden untuk menetapkan suatu
proyek diluar ketentuan dalam Pasal 5 sebagai kepentingan umum.
Sama halnya dengan Keputusan Presiden Nomor 55 Tahun 1993, dalam
Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2005 ini pengadaan tanah untuk kepentingan
umum dibantu Panitia Pengadaan Tanah (P2T). Tugas Panitia Pengadaan Tanah
(P2T) yang diatur dalam peraturan presiden ini kurang lebih sama dengan diatur
dalam Permendagri Nomor 15 Tahun 1975, hanya mendapat penambahan mengenai
bentuk tugas untuk memberi penjelasan atau penyuluhan kepada pemegang hak atas
tanah mengenai rencana dan tujuan pengadaan tanah yaitu dalam bentuk konsultasi
publik baik melalui tatap muka, media cetak maupun media elektronik agar dapat
diketahui oleh seluruh lapisan masyarakat yang terkena rencana pembangunan
dan/atau pemegang hak atas tanah. Serta ditambahkan satu tugas lagi, yaitu
mengadministrasikan dan mendokumentasikan semua berkas pengadaan tanah dan
menyerahkan kepada pihak yang berkompeten.
Sedangkan bentuk ganti ruginya menglamai perubahan, yaitu berupa uang
dan/atau tanah pengganti dan/atau pemukiman kembali. Kemudian dalam hal
pemegang hak atas tanah tidak menghendaki bentuk ganti rugi seperti yang

Universitas Sumatera Utara

dimaksud, maka dapat diberikan kompensasi berupa penyertaan modal (saham)
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Dalam perhitungan besarnya ganti rugi dalam Pasal 15 Peraturan Presiden
Nomor 36 Tahun 2005 didasarkan atas :
1. nilai jual obyek pajak (NJOP) atau nilai nyata atau sebenarnya dengan
memperhatikan nilai jual obyek pajak tahun berjalan berdasarkan penetapan
lembaga atau tim penilai harga tanah yang ditunjuk oleh panitia.
2. nilai jual bangunan yang ditaksir oleh perangkat daerah yang bertanggung
jawab di bidang pembangunan.
3. nilai jual tanaman yang ditaksir oleh perangkat daerah yang bertanggung
jawab di bidang pertanian.
8. Pengadaan Tanah Dalam Peraturan Presiden Nomor 65 Tahun 2006
Karena banyak sekali protes dan kritikan dari masyarakat terhadap beberapa
pasal di dalam Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2005 maka pada 5 Juli 2006
pemerintah mengeluarkan peraturan baru yaitu Peraturan Presiden Republik
Indonesia Nomor 36 Tahun 2005 Tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan
Pembangunan Untuk Kepentingan Umum.
Dalam Peraturan Presiden Nomor 65 Tahun 2006 tentang perubahan atas
Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2005 tentang Pengadaan Tanah Bagi
Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum telah dicoba untuk melakukan
beberapa perbaikan atas peraturan sebelumnya, yaitu :

Universitas Sumatera Utara

1. membatasi pengertian dan ruang lingkup pembangunan untuk kepentingan
umum.
2. memberikan batasan yang jelas membedakan pengadaan tanah bagi
pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum dengan pengadaan
tanah selain bagi pelaksanaan pengadaan tanah untuk kepentingan umum.
Berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2006 pengadaan tanah
dilakukan dengan cara :
a. pelepasan atau penyerahan hak atas tanah, yaitu kegiatan melepaskan
hubungan hukum antara pemegang hak atas tanah dengan tanah yang
dikuasainya dengan memberikan ganti rugi atas dasar musyawarah,
berdasarkan prinsip penghormatan hak atas tanah, bagi pelaksanaan
pembangunan untuk kepentingan umum.
b. langsung, yaitu dengan cara jual beli, tukar menukar atau dengan cara lain
yang disepakati secara sukarela oleh pihak-pihak yang bersangkutan, dengan
diawasi oleh lembaga atau tim pengawas dan pengendalian pengadaan tanah
Kabupaten/Kotamadya, bagi pelaksanaan selain pembangunan untuk
kepentingan umum dan bagi pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan
umum yang luas tanahnya kurang dari 1 (satu) ha.
Dalam Peraturan Presiden ini yang dimaksud pengadaan tanah adalah setiap
kegiatan untuk mendapatkan tanah dengan cara memberikan ganti rugi kepada yang
melepaskan atau menyerahkan tanah, bangunan, tanaman dan benda-benda yang
berkaitan dengan tanah atau dengan pencabutan hak atas tanah. Cara pencabutan ini

Universitas Sumatera Utara

sangat ditentang oleh masyarakat dan terjadi protes dimana-mana agar Peraturan
Presiden Nomor 36 Tahun 2005 tersebut tidak dilaksanakan. Akhirnya pemerintah
merubah bunyi Pasal 1 angka 3 tersebut dengan ; pengadaan tanah adalah setiap
kegiatan untuk mendapatkan tanah dengan cara memberikan ganti rugi kepada yang
melepaskan atau menyerahkan tanah, bangunan, tanaman dan benda-benda yang
berkaitan dengan tanah. Dengan adanya perubahan ini, maka pengadaan tanah bagi
pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum oleh Pemerintah atau
Pemerintah Daerah dilaksanakan dengan satu cara yaitu dengan pelepasan atau
dengan penyerahan hak atas tanah.
Peraturan presiden ini juga memberikan definisi dari pelepasan atau
penyerahan hak atas tanah yaitu kegiatan melepaskan hubungan hukum antara
pemegang hak atas tanah dengan tanah yang dikuasainya dengan memberikan ganti
rugi atas dasar musyawarah.
Pengertian musyawarah yang diberikan oleh peraturan presiden ini adalah ;
kegiatan yang mengandung proses saling mendengar, saling memberi dan saling
menerima pendapat, serta keinginan untuk mencapai kesepakatan mengenai bentuk
dan jumlah ganti rugi dan masalah lain yang berkaitan dengan kegiatan pengadaan
tanah atas dasar kesukarelaan dan kesetaraan antara pihak yang mempunyai hak
tanah, bangunan, tanaman dan benda-benda lain yang berkitan dengan tanah dengan
pihak yang memerlukan tanah. Apabila jumlah pemegang hak atas tanah sangat ramai
dan tidak memungkinkan terselengaranya musywarah secara efektif, maka
musywarah dilaksanakan oleh Panitia Pengadaan Tanah (P2T) dan institusi

Universitas Sumatera Utara

pemerintah atau pemerintah daerah yang memerlukan tanah dengan wakil-wakil yang
dipilih diantara dan oleh para pemegang hak atas tanah, yang sekaligus bertindak
selaku kuasa mereka.
Pemilihan wakil atau kuasa dari para pemegang hak atas tanah harus
dilakukan secara tertulis, bermaterai cukup yang diketahui oleh Kepala Desa atau
Lurah atau surat penunjuknya atau kuasa yang dibuat dihadapan pejabat yang
berkuasa. Musyawarah ini dipimpin oleh ketua panitia pengadaan tanah.
Proyek pembangunan untuk kepentingan umum tidak dapat dialihkan atau
dipindahkan ke tempat atau lokasi lain, akan di musyawarahkan dalam jangka waktu
paling lama 120 (seratus dua puluh) hari dari kalender dihitung sejak tanggal
undangan pertama. Setelah diadakan musyawarah tetapi tidak tercapai kesepakatan,
P2T menetapkan jumlah ganti rugi dan menitipkan ganti rugi uang (konsinyasi)
kepada pengadilan negeri yang wilayah hukumnya meliputi kawasan tanah yang
berkenaan.
Peraturan presiden juga mengatur masalah ganti rugi atau pampasan.
Pengertian ganti rugi adalah penggantian terhadap kerugian baik bersifat fisik
dan/atau bukan fisik sebagai akibat pengadaan tanah, bangunan, tanaman dan/atau
benda-benda lain yang berkaitan dengan tanah yang dapat memberikan kelangsungan
hidup yang lebih baik daripada tingkat kehidupan sosial ekonomi sebelum terkena
pengadaan tanah.
Menurut Pasal 15 Peraturan Presiden Nomor 65 Tahun 2006, dasar
perhitungan jumlah ganti rugi didasarkan atas :

Universitas Sumatera Utara

a. nilai jual obyek pajak (NJOP) atau nilai nyata atau sebenarnya dengan
memperhatikan nilai jual onyek pajak tahun berjalan berdasarkan penilaian
Lembaga atau Penilai Harga Tanah yang dipilih leh panitia.
b. nilai jual bangunan yang ditaksir oleh perangkat daerah yang bertanggung
jawab dalam bidang pembangunan.
c. nilai jual tanaman yang ditaksir oleh perangkat daerah yang bertanggung
jawab dalam bidang pertanian.
Ganti rugi diserahkan langsung kepada pemegang hak atas tanah atau yang
berhak sesuai dengan peraturan perundang-undangan; atau kepada nazir bagi tanah
wakaf. Apabila tanah, bangunan, tanaman atau benda yang berkaitan dengan tanah
yang dimiliki bersama-sama oleh beberapa orang, sedangkan satu atau beberapa
orang pemegang hak atas tanah tidak dapat diketahui keberadaannya, maka ganti rugi
yang menjadi hak orang yang tidak dapat ditemukan tersebut dititipkan atau di
depositkan di pengadilan negeri wilayah hukumnya meliputi lokasi tanah yang
berkenaan.
Dalam uraian diatas ada beberapa pasal dari peraturan presiden ini
menyinggung masalah P2T. Dalam Pasal 1 angka 9 Peraturan Presiden Nomor 36
Tahun 2006 menjelaskan bahwa P2T adalah panitia yang dibentuk untuk membantu
pengadaan tanah bagi pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum. Tugas
P2T menurut Pasal 7 Peraturan Presiden Nomor 65 Tahun 2006 adalah :

Universitas Sumatera Utara

a. mengadakan penelitian dan inventarisasi atas tanah, bangunan, tanaman dan
benda-benda lain yang ada kaitannya dengan tanah yang haknya akan
dilepaskan atau diserahkan;
b. mengadakan penelitian mengenai status hukum tanah yang haknya akan
dilepaskan atau diserahkan dan dokumen yang mendukungnya;
c. menetapkan jumlah ganti rugi atas tanah yang haknya akan dilepaskan atau
diserahkan;
d. memberikan penjelasan atau penyuluhan kepada masyarakat yang terkena
rencana pembangunan dan/atau pemgang hak atas tanah mengenai rencana
dan tujuan pengadaan tanah tersebut dalam bentuk konsultasi umum baik
melalui wawancara, media cetak, maupun media elektronik agar dapat
diketahui oleh seluruh masyarakat yang terkena rencana pembangunan
dan/atau pemegang hak atas tanah.
e. mengadakan musyawarah dengan para pemegang hak atas tanah dan institusi
pemerintah dan/atau pemerintah daerah yang memerlukan tanah dalam
rangka menetapkan bentuk dan/atau jumlah ganti rugi;
f. menyaksikan pelaksanaan penyerahan ganti rugi kepada para pemegang hak
atas tanah, bangunan, tanaman dan benda-benda lain yang berada diatas
tanah;
g. membuat berita acara pelepasan atau penyerahan hak atas tanah;
h. mengadmistrasikan dan mendokumentasikan semua berkas pengadaan tanah
dan menyerahkan kepada pihak yang berkompetensi.

Universitas Sumatera Utara

9. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi
Pembangunan Untuk Kepentingan Umum
Pada tanggal 14 Januari 2012, disahkan undang-undang yang mengatur
tentang pengadaan tanah di Indonesia yaitu Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012
tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum.
Diundangkannya undang-undang tersebut maka pengaturan pengadaan tanah untuk
kepentingan umum mempunyai landasan yang kuat karena diatur dalam sebuah
undang-undang. Ada 3 (tiga) alasan bagi pemerintah mengeluarkan undang-undang
ini, yaitu : dalam rangka; mewujudkan masyarakat yang adil, makmur dan sejahtera
berdasarkan Pancasila dan UUD Republik Indonesia Tahun 1945, pemerintah perlu
melaksanakan pembangunan. Untuk menjamin terselenggaranya pembangunan untuk
kepentingan umum tersebut, diperlukan tanah yang pengadaannya dilaksanakan
dengan mengedepankan prinsip kemanusiaan, demokratis, dan adil oleh karena
pengaturan perundang-undangan di bidang pengadaan tanah bagi pembangunan untuk
kepentingan umum selama ini belum dapat menjamin perolehan tanah untuk
pelaksanaan pembangunan, maka pemerintah perlu membuat undang-undang yang
dapat mengakomodasi semua itu.
Dalam undang-undang ini yang dimaksud dengan pengadaan tanah adalah
kegiatan menyediakan tanah dengan cara memberi ganti kerugian yang layak dan adil
kepada pihak yang berhak. Sedangkan pengertian kepentingan umum adalah
kepentingan bangsa, negara dan masyarakat yang harus diwujudkan oleh pemerintah
dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat.

Universitas Sumatera Utara

Pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum dilakukan melalui
musyawarah. Hanya saja digunakan istilah lain yakni konsultasi publik. Konsultasi
publik adalah proses komunikasi dialogis atau musywarah antar pihak yang
berkepentingan guna mencapai kesepahaman dan kesepakatan dalam perencanaan
pengadaan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum.
Konsultasi Publik rencana pembangunan dilaksanakan untuk mendapat
kesepakatan lokasi rencana pembangunan dari pihak yang berhak. Kegiatan ini
dilakukan dengan melibatkan pihak yang berhak dan masyrakat yang terkan dampak
serta dilaksanakan di tempat rencana pembangunan kepentingan umum atau tempat
yang disepakati.
Apabila keberatan oleh pihak yang berhak tersebut mengenai besarnya ganti
kerugian, undang-undang ini memberi jalan penyelesaiannya. Pengadaan tanah untuk
kepentingan

umum

bertujuan

menyediakan

tanah

bagi

pelaksanaan

bagi

pembangunan guna meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran bangsa, negara dan
masyarakat dengan tetap menjamin kepentingan hukum yang berhak. 14

14

Mukmin Zakie, Kewenangan Negara Dalam Pengadaan Tanah Bagi Kepentingan Umum di
Indonesia dan Malaysia,Buku Litera Jogyakarta, Jogyakarta,2013, hal. 90

Universitas Sumatera Utara