Tinjauan Yuridis Ganti Kerugian Atas Hak Milik Dalam Pengadaan Tanah Untuk Kepentingan Umum di Kecamatan Medang Deras
DAFTAR PUSTAKA
A. Buku :Bakri,Muhammad, Hak Menguasai Tanah Oleh Negara (Paradigma Baru Untuk
Reformasi Agraria), Yogyakarta: Citra Media, 2007
Hasan,TholahahPertanahan dalam perspektif Agama Islam dan Budaya Muslim,
STPN , Yogyakarta, 1999.
Harsono,Boedi, Aspek-Aspek Yuridis Penyediaan Tanah Dalam Rangka
Pembangunan Nasional ( Makalah : 1990
Harsono, Boedi , Hukum Agraria Indonesia Sejarah Pembentukan
Undang-Undang Pokok Agraria, Isi Dan Pelaksanaanya, Djambatan, Jakarta, 1997. Kalo,SyafruddinReformasi Peraturan Dan Kebijakan Pengadaan Tanah Untuk
Kepentingan Umum, Perpustakaan Digital, Universitas Sumatera Utara, 2004.
Kalo,SyafruddinPengadaan Tanah bagi Pembangunan Untuk Kepentingan
Umum, Pustaka Bangsa Press Jakarta, 2004,
Kosnoe, Moh, Catatan-Catatan terhadap Hukum Adat Dewasa Ini, Airlangga
University Press, Surabaya, 1979.
Ibrahim,Sofyan, Pengadaan Tanah Untuk Pembangunan Dilihat Dari Aspek
Yuridis Sosiologis, Hukum, Volume 5 Nomor 1, Februari 2000-1-152
Limbong, Bernhard, Pengadaan Tanah untuk Pembangunan, (Jakarta :
Margaretha Pustaka, 2011)
Narbuko, Cholid dan Abu Achmadi. H, Metodologi Penelitian, Bumi Aksara,
(2)
Nasroen,M, Dasar Falsafah Adat Minangkabau, Pasaman , Jakarta,1957.
Parlindungan,A.P , Konvensi Hak-hak atas Tanah, Jakarta : Mandar Maju, 1990
Parlindungan , A.P, Pencabutan dan Pembebasan Hak atas Tanah Suatu Studi
Perbandingan, Mandar Maju, Bandung, 1993.
Roosadijo, Marmin M, Tinjauan Pencabutan Hak-Hak Atas Tanah dan
Benda-Benda Yang ada di Atasnya, Ghalia Indonesia , Jakarta , 1979. Salle, Aminuddin, dkk. Hukum Agraria, AS Publishing, Makassar, 2010
Salindeho,John, Masalah Tanah Dalam Pembangunan, Sinar Grafika, Jakarta,
1988., hal.126.
Santoso,Urip. Hukum Agraria & hak-hak atas Tanah, Kencana Prenada Media
Group, Jakarta, 2008.
Sitorus,Oloan dkk, Pelepasan atau Penyerahan Hak Sebagai Cara Pengadaan
Tanah , Dasa Media Utama, Jakarta, 1995.
Sitorus,Oloan dan Dayat Limbong, Pengadaan tanah untuk Kepentingan Umum,
Mitra Kebijakan Tanah Indonesia,Yogyakarta, 2004.
Soemardjono, Maria S.W, Kebijakan Pertanahan Antara Regulasi Dan
Implementasi, Kompas, Jakarta, 2001.
Suandra,I Wayan, Hukum Pertanahan Indonesia, Cetakan Kedua, PT. Rineka
Cipta, Jakarta, 1994.
Subekti,R, Hukum Perjanjian, PT. Intermasa, Jakarta, 1984.
Sugiyono, Memahami Penelitian Kualitatif, Alfabeta, Bandung, 2012
Sumarjono, Maria S.W, Tanah Dalam Prefektif Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya,
(3)
Sungguno,Bambang, Metodologi Penelitian Hukum. Raja Grafindo Persada,
Jakarta, 2007
Wignjosoebroto,Soetandyo,“Hukum, Paradigma Metode dan Dinamika
Masalahnya” , ELSAM dan HUMA , Jakarta, 2002
Wignjosoebroto, Soetandyo, “Pembebasan Tanah” , Suara Pembaharuan, Jakarta,
1991.
B. Undang-Undang :
Republik Indonesia, 1961.Undang-Undang No. 20 Tahun 1961 tentang
Pencabutan atas Hak-Hak atas Tanah dan Benda – Benda yang ada di
atasnya, Sekretariat Negara, Jakarta.
Republik Indonesia, 1992. Undang-Undang No. 24 Tahun 1992 tentang Penataan
Ruang, Sekretariat Negara, Jakarta.
Republik Indonesia, 1994.Peraturan Menteri Agraria/Kepala BPN No. 1 Tahun
1994, Sekretariat Negara, Jakarta.
Republik Indonesia, 1999.Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi
Manusia. Sekretariat Negara, Jakarta.
Republik Indonesia, 1993.Keputusan Presiden Nomor 55 Tahun 1993 tentang
Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan
(4)
BAB III
KEPENTINGAN UMUM SEBAGAI SYARAT DALAM PENGADAAN TANAH
A. Konsep Kepentingan Umum
Konsep yang muncul ketika mulai membicarakan tujuan hukum adalah
kepentingan umum.Dengan demikian kepentingan umum sebagai konsep harus
berjalan berdampingan dengan terwujudnya negara.Negara dibentuk demi
kepentingan umum dan hukum merupakan sarana utama untuk mewujudkan
kepentingan umum tersebut. Hukum tidak mempunyai pilihan lain kecuali
disamping menjamin kepentingan umum juga melindungi kepentingan
perorangan agar keadilan dapat terlaksana.
Berarti dapat dijelaskan bahwa hukum sendiri tidak dapat dipisahkan dari
norma keadilan, karena hukum adalah pengejawantahan dari prinsip-prinsip
keadilan. 41Reinach, sebagaimana pemikir lainnya, misalnya Notonegoro,
berpendapat bahwa kepentingan umum hendaknya seimbang dengan
kepentingan individu.42
Begitu pentingnya arti kepentingan umum dalam kehidupan bernegara
yang dalam praktiknya berbenturan dengan kepentingan individu maka perlu
didefinisikan dengan jelas. Satjipto Rahardjo berpendapat bahwa istilah
kepentingan umum agar jelas dan memenuhi rasa keadilan masyarakat tidaklah
41Tholahah Hasan, Pertanahan dalam perspektif Agama Islam dan Budaya
Muslim, STPN , Yogyakarta, 1999, hal 37. 42
Maria S.W. Soemardjono, Kebijakan Pertanahan Antara Regulasi Dan Implementasi, Kompas, Jakarta, 2001., hal.12.
(5)
cukup dipahami secara legalistik-formalistik, namun harus diintegrasikan
menurut metode penemuan hukumnya.43
John Salindeho memberikan pengertian kepentingan umum adalah :
“Termasuk kepentingan bangsa dan negara serta kepentingan bersama dari
rakyat, dengan memperhatikan segi-segi sosial, politik, psikologis, dan
Hamkamnas atas dasar asas-asas Pembangunan Nasional dengan
mengindahkan Ketahanan Nasional serta Wawasan Nusantara”. 44
I Wayan Suandra, “Kepentingan umum pada dasarnya adalah segala
kepentingan yang menyangkut kepentingan negara, kepentingan bangsa,
kepentingan masyarakat luas dan kepentingan-kepentingan pembangunan yang
sifatnya menurut pertimbangan Presiden perlu bagi kepentingan umum.”45
Mengenai pengertian kepentingan umum ini sesungguhnya secara tegas
tidak ada disebutkan dalam Peraturan Presiden No. 36 Tahun 2005.
Parlindungan memberikan catatan bahwa kepentingan umum adalah
kepentingan seluruh masyarakat, tentunya berdampak untuk kepentingan
masyarakat luas, dan tidak terbatas pada pemerintah saja, sedangkan dalam
kaitannya dengan pencabutan hak, diatur dalam Undang-Undang No. 20 Tahun
1961, maka yang dimaksud dengan kepentingan umum adalah termasuk Menurut Pasal 1 ayat (5) Peraturan Presiden No. 36 Tahun 2005 tentang
Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum,
kepentingan umum adalah kepentingan sebagian besar lapisan masyarakat.
43
Ibid, hal 32. 44
John Salindeho, Masalah Tanah Dalam Pembangunan, Sinar Grafika, Jakkarta, 1988., hal.126.
45
(6)
kepentingan bangsa dan negara, serta kepentingan bersama dari rakyat,
termasuk juga kepentingan pembangunan. 46
B. Kepentingan Umum dalam berbagai perspektif dan Kriterianya a. Kepentingan Umum menurut Pemerintah
Kegiatan pengadaan tanah dengan pencabutan, pembebasan dan
pelepasan/penyerahan hak-hak atas tanah, hanya dapat dilakukan untuk
kesejahteraan umum, dan setiap negara pada dasarnya memberi doktrin
atau pemahaman tersendiri tentang kepentingan umum .Doktrin ini sebagai
sarana untuk menegahi konflik antara hak milik atas tanah, dan
kepentingan umum, yang melekat atas tanah tersebut.
Doktrin kepentingan umum ini tidak dirumuskan secara konkrit
mengenai batas-batas pengertian dari kepentingan umum
tersebut.Pengadaan tanah bagi pelaksanaan kepentingan umum diatur
dalam Keppres No.55 Tahun 1993.Ketentuan ini hanya digunakan dalam
pemenuhan kebutuhan tanah bagi pelaksanaan pembangunan untuk
kepentingan umum dan hanya bisa diterapkan jikalau ada tuntutan
kepentingan umum dalam pengadaan tanah tersebut. Namun, pengertian
tentang kepentingan umum ini tidak dirumuskan dengan tegas sehingga
akan menimbulkan penafsiran yang berbeda-beda dalam masyarakat.
Kata kunci dari ketentuan di atas adalah kepentingan umum.Mengenai
kepentingan umum itu sendiri sesungguhnya secara tegas tidak ada
disebutkan dalam Keppres No. 55 Tahun 1993 tersebut.Parlindungan
memberikan catatan bahwa kepentingan umum adalah kepentingan seluruh
(7)
lapisan masyarakat, tentunya berdampak untuk kepentingan masyarakat
luas dan tidak terbatas pada pemerintah saja, sedangkan dalam kaitannya
dengan pemcabutan hak, diatur dalam Undang-Undang No. 20 Tahun
1961.47 Jika dikaitkan dengan pencabutan hak sebagaimana yang diatur
dalam Undang-Undang No. 20 Tahun 1961, maka kepentingan umum
yang dimaksud adalah termasuk kepentingan bangsa dan negara, serta
kepentingan bersama dari rakyat, demikian juga dengan kepentingan
pembangunan, maka dari Presiden dalam keadaan memaksa, setelah
mendengar Menteri Agraria, Menteri Kehakiman, dan Menteri yang
bersangkutan, dapat mencabut hak-hak atas tanah , dan benda-benda yang
ada diatasnya.48
Dalam Keppres No. 55 Tahun 1993 pengertian kepentingan umum
dirumuskan sebagai kepentingan seluruh laposan masyarakat.49
1) Kepentingan bangsa dan negara, dan/atau
Perumusan
yang demikian terlihat begitu sederhana sifatnya jika dibandingkan dengan
perumusan Instruksi Presiden No. 9 Tahun 1973, tentang Pedoman
Pelaksanaan Pencabutan Hak-Hak atas Tanah dan Benda-benda yang ada
di atasnya, yang menyatakan :
Suatu kegiatan dalam rangka pelaksanaan kepentingan umum apabila
kegiatan tersebut menyangkut :
2) Kepentingan masyarakat luas, dan/atau
3) Kepentingan rakyat banyak, dan/atau
47
Ibid., hal. 54. 48
Lihat, Pasal 1 Undang-Undang No. 20 Tahun 1961. 49
(8)
4) Kepentingan pembangunan. 50
Selanjutnya Keppres No. 55 Tahun 1993 juga menentukan
pembangunan untuk kepentingan umum ini dibatasi untuk pembangunan
yang dilakukan dan dimiliki oleh pemerintah serta tidak digunakan untuk
mencari keuntungan sendiri. Hal ini tertera dalam Pasal 5 Keppres No.
55 Tahun 1993, disebutkan :
Pembangunan untuk kepentingan umum berdasarkan Keputusan
Presiden ini dibatasi untuk :
1) Kegiatan pembangunan yang dilakukan dan selanjutnya dimiliki
pemerintah serta tidak digunakan untuk mencari keuntungan, dalam
bidang-bidang antara lain sebagai berikut :
a) Jalan umum, saluran pembuangan air ;
b) Waduk , bendungan dan bangunan pengairan lainnya termasuk
saluran irigasi
c) Rumah Sakit Umum dan pusat-pusat kesehatan masyarakat;
d) Pelabuhan atau bandar udara atau terminal ;
e) Peribadatan ;
f) Pendidikan dan sekolahan ;
g) Pasar umum dan pasar Inpres ;
h) Fasilitas pemakaman umum ;
i) Fasilitas keselamatan umum seperti antara lain tanggul
penanggulangan bahaya banjir, lahar dan lain-lain bencana;
50Lihat, Pasal 1 ayat (1) Instruksi Presiden No. 9 Tahun 1973, tentang Pedoman
Pelaksanaan Pencabutan Hak-Hak atas Tanah dan Benda-benda yang ada di atasnya.
(9)
− Pos dan telekomunikasi;
− Sarana olahraga;
− Stasiun penyiaran radio, televisi beserta sarana pendukungnya;
− Kantor pemerintah;
− Fasilitas Angkatan Bersenjata Republik Indonesia.
2) Kegiatan pembangunan untuk kepentingan umum selain yang
dimaksud dalam angka 1 yang ditetapkan dengan Keputusan
Presiden.
Rangkaian penyebutan di atas merupakan persyaratan yang menentukan
mengenai apakah suatu kegiatan pengadaan tanah tersebut merupakan
kegiatan yang ditujukan untuk kepentingan umum jika hal itu tertera
dalam angka 1 Pasal 5 Keppres No. 55 Tahun 1993 tersebut. Namun
demikian, apa yang disebut dengan pembangunan untuk kepentingan
umum bukan sama sekali bersifat limitatif. Pasal 5 angka 2 Keppres No.
55 Tahun 1993 menyatakan bahwa mungkin saja ada kegiatan
pembangunan untuk kepentingan umum selain yang sudah disebut dalam
Pasal 5 angka 1 Keppres No. 55 Tahun 1993 , dengan catatan hal itu
ditetapkan dengan Keputusan Presiden. 51
Kegiatan pembangunan yang mempunyai sifat kepentingan umum
sebagaimana disebutkan di atas, tentu saja tidak lengkap karena memang
tidak mungkin untuk merinci secara lengkap, apa saja yang termasuk
kepentingan umum itu. Penggunaan tanah untuk kepentingan
pertambangan misalnya tidak disebutkan di sana. Begitu juga yang sering
51
(10)
terjadi dalam masyarakat pemakai tanah untuk pembangunan jaringan
transmisi PLN yang walaupun hanya mengambil luas tanah yang terbatas
tetapi mengakibatkan rusaknya struktur luas pemilikan tanah seorang dan
adanya daerah yang walaupun tidak diambil tetapi berada dalam
lingkungan radiasi listrik yang cukup menakutkan orang yang bertempat
tinggal di bawahnya.52
Untuk mengantisipasikan berbagai kepentingan tersebut, maka
ditentukan bahwa kegiatan pembangunan untuk kepentingan umum, selain
yang dimaksud dalam rincian tersbut di atas ditetapkan dengan Keputusan
Presiden.53Pada faktanya satu pihak klausula ini mempunyai nilai positif
yaitu untuk dapat mengantisipasi berbagai kemungkinan hal-hal baru yang
timbul dan belum tercakup oleh pengertian kepentingan umum yang
dirumuskan sebelumnya. Akan tetapi juga dapat menimbulkan kesan
negatif, bahwa ruang lingkup dari apa yang disebut kepentingan umum itu
“dapat diatur” dan dapat “dipermainkan sedemikian rupa” sehingga
percuma saja ditentukan dalam satu daftar yang panjang seperti tersebut
diatas kalau pada akhirnya satu kepentingan dapat saja dijadikan sebagai
kepentingan umum.54
Mengenai rincian tersebut dapat dibandingkan dengan rincian yang
sama sebagimana disebutkan dalamrumusan kepentingan umum yang
dimaksud dalam Pasal 10 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 sebagai
berikut :
52Abdurahman, Op.Cit., Hal. 122.
53
Lihat, Pasal 5 ayat (2) Keppres 55 Tahun 1993 , dan Pasal 1 ayat (3) Instruksi Presiden No. 9 Tahun 1973.
54
(11)
a. pertahanan dan keamanan nasional;
b. jalan umum, jalan tol, terowongan, jalur kereta api, stasiun kereta
api, dan fasilitas operasi kereta api;
c. waduk, bendungan, bendung, irigasi, saluran air minum, saluran
pembuangan air dan sanitasi, dan bangunan pengairan lainnya;
d. pelabuhan, bandar udara, dan terminal;
e. infrastruktur minyak, gas, dan panas bumi;
f. pembangkit, transmisi, gardu, jaringan, dan distribusi tenaga listrik;
g. jaringan telekomunikasi dan informatika Pemerintah;
h. tempat pembuangan dan pengolahan sampah;
i. rumah sakit Pemerintah/Pemerintah Daerah;
j. fasilitas keselamatan umum;
k. tempat pemakaman umum Pemerintah/Pemerintah Daerah;
l. fasilitas sosial, fasilitas umum, dan ruang terbuka hijau publik;
m. cagar alam dan cagar budaya;
n. kantor Pemerintah/Pemerintah Daerah/desa;
o. penataan permukiman kumuh perkotaan dan/atau konsolidasi tanah,
serta perumahan untuk masyarakat berpenghasilan rendah dengan
status sewa;
p. prasarana pendidikan atau sekolah Pemerintah/Pemerintah Daerah;
q. prasarana olahraga Pemerintah/Pemerintah Daerah; dan
r. pasar umum dan lapangan parkir umum.
Dalam rumusan kepentingan umum yang terdapat dalam
(12)
mengenai apa yang menjadi bagian dalam kepentingan umum
dibandingkan dengan Keppres No. 55 Tahun 1993 dimana bisa dikatakan
bahwa Undang-Undnag Nomor 2 Tahun 2012 tersebut merupakan
penyempurnaan dari Keppres No. 55 Tahun 1993.
b. Kepentingan umum menurut versi masyarakat
Pengertian atau pemahaman mengenai kepentingan umum dalam
prakteknya sangatlah beragam dan salah satunya adalah kepentingan
bangsa atau seluruh bangsa.Pengertian ini pada hakekatnya adalah
pemahaman yang dimotivasi oleh tujuan-tujuan politik atau
kenegaraan.Oleh karena itu ditentukan pengupayaan secara
sungguh-sungguh dengan sasaran akhir yang penuh keberhasilan oleh pemerintah
dan aparatnya sebagai penyelenggara negara.
Tetapi pengertian ini mempunyai makna lain dimata masyarakat
awam, kepentingan umum diartikan sebagian besar sebagai kepentingan
orang banyak. Pengertian ini bersifat konkrit yaitu dengan melihat
manfaat atau kepentingan yang banyak dirasakan dalam jangka waktu
singkat. Kepentingan umum dalam arti kepentingan nasional lebih
bersifat abstrak, yang menunjuk pada kemanfaatan yang tak dapat
ditunjukkan secara eksplisit tentang siapa saja orang yang segera
merasakannya dan dan dalam bentuk apa wujudnya. Sedangkan
kepentingan umum dalam makna sebagai kepentingan orang banyak ,
secara moral akan segera diputuskan dan didefinisikan menurut pilihan
dan selera orang banyak tersebut, baik melalui suatu proses yang
(13)
spontan. Sementara kepentingan umum dalam maknanya sebagai
kepentingan nasional akan didefinisikan lewat suatu proses yang didasari
pada sifat yang normatif dan struktural serta terkendali secara sentral (
Top Down ) untuk memenuhi tuntutan rencana pembangunan. Manakala , dalam realisasi kepentingan umum sebagai kepentingan orang banyak
itu, merupajan proses sosio-kultural masyarakat awam, dalam realisasi
sebagai kepentingan nasional, proses yang berlangsung nyata sekalipun
lebih terkesan sebagai proses yang politiko-legal, ideologik, atau
mungkin juga ekonomik namun yang tergulasi atas dasar
pertimbangan-pertimbangan politik. 55
Dalam lingkungan kehidupan seperti komunitas di atas, tidak
menutup kemungkinan bahwa pelepasan hak atas tanah atau atas
objek-objek ekonomik lainnya, bisa saja berlangsung tanpa
kompensasi-kompensasi penggantian biaya atau ganti rugi lainnya. Jika dibandingkan
, dalam lingkungan kehidupan nasional yang bersifat lebih makro, yang
terabstraksi menghilangkan sifat lokal, maka kesediaan orang untuk
berkoran tanpa kejelasan untuk siapa seseorang itu berkorban akan Dalam kehidupan komunitas masyarakat tertentu, pada dasarnya
doktrin yang belaku adalah doktrin yang mewajibkan setiap warga
sebagai individu untuk selalu mengalah demi kesejahteraan orang banyak
di komunitas lokalnya.Artinya kepentingan umum, yang dalam arti
konkrit sebagai pengorbanan untuk banyak orang, sehingga mereka dapat
diterima dan diberi tempat di tengah kehidupan komunitasnya.
(14)
mudah berlangsung jika prosesnya akan berkembang sebagai suatu
proses yang lebih bersifat kontraktual atau dengan
kesepakatan-kesepakatan antara para pihak yang membutuhkan tanah dan pemilik
tanah.
Bilamana proses pembebasan hak atas tanah dilakukan oleh
pemerintah atau aparatnya atas dasar atau dengan dalih pembangunan
demi kepentingan nasional untuk kejayaan nusa bangsa, misalnya
pembangunan industrilisasi atau atas dasar alasan-alasan lain yang tanpa
acuan konkrit ( yang tak dapat dirasakan manfaatnya oleh rakyat secara
langsung), maka dapat diduga bahwa rakyat tidak mudah secara sukarela
melepaskan hak-hak atas tanah mereka, kecuali mereka mendapatkan
ganti rugi yang layak dan memenuhi rasa keadilan.
Disinilah, ketika masyarakat awam mengartikan pembebasan hak
atas tanah untuk kepentingan umum itu, sebagai suatu yang seharusnya
bersifat kontraktual, karena masyarakat menganggap pembebasan
hak-hak atas tanah mereka secara konkrit, lebih menguntungkan pihak-hak-pihak-hak
luar/pihak lain, sekalipun dari sudut pandang pemerintah diartikan
sebagai kepentingan nasional. Pemerintah sering memaksakan kehendak
, agar warga masyarakat bersedia untuk melakukan musyawarah melalui
suatu proses tawar menawar yang sehat , yang pada hakekatnya
merupakan suatu proses keperdataan guna memperoleh kesepakatan
kontraktual secara suka rela ( Voluntary ) melalui kesepakatan jual beli.
Namun di lain pihak dengan segenap aparatnya justru
(15)
dengan proses sebagaimana pembebasan hak atas tanah untuk
kepentingan umum. Dengan arti masyarakat itu wajib melepaskan hak
atas tanahnya (Compulsary) . Maka yang terjadi di sini hanyalah suatu
proses interaksional yang tidak berimbangnya, akibat tidak ada kesamaan
pengertian . Jika proses ini berkelanjutan dan pemerintah tidak lagi
memiliki kesabaran dan kurang pengertian, maka pemerintah melakukan
pendekatan kekuasaan yang bersifat publiek rechtelijk .Tindakan ini
sesungguhnya memperlakukan masyarakat secara tidak jujur dan tidak
adil.
1) Menurut Soetandyo, sesungguhnya ada dua kemungkinan yang
dapat ditempuh manakala pembangunan nasional yang banyak memerlukan tanah yang dapat dibebaskan, akan tetap dapat diharapkan bersifat kemanusiaan dan berdimensi kerakyatam yaitu :
2) Menggunakan pendekatan sosiologik antropologik yang
prosesnya harus ditunggui dengan penuh kesabaran . Mungkin pula dalam wujud kebijaksanaan untuk membuka peluang yang luas dan bebas kepada masyarakat awam agar secara bubbling up para warga ini dapat memutuskan sendiri secara bertanggung jawab kegunaan lahan-lahan mereka untuk kepentingan orang banyak.
3) Menggunakan pendekatan hukum namun dengan
memprioritaskan prosedur dan proses yang privaatrechtelijk yang dalam masa-masa transisi di kebanyakan negeri-negeri
(16)
yang tengah berkembang, umumnya terkesan masih amat berwarna kekuasaan ekstralegal.
Di dalam pelaksanaan pelepasan hak-hak atas tanah masyarakat
untuk kepentingan umum/pembangunan nasional ternyata, belum
dilakukan sebagaimana mestinya seperti apa yang dikemukakan oleh
Soetandyo tersebut. Berdasarkan hasil penelitian pemerintah/penguasa
cenderung melakukan pelepasan hak atas tanah masyaakat itu dengan
cara melakukan suatu perbuatan yang bersifat publiekrechtelijk yang
kadangkala mengenyampingkan hak-hak keperdataan masyarakat.
C. Asas‐asas Hukum Dalam Pengadaan Tanah Untuk Kepentingan
Umum
Pengadaan tanah untuk kepentingan pembangunan dengan cara
pencabutan, pembebasan hak‐hak atas tanah masyarakat haruslah diatur
dalam suatu undang‐undang, yang mencerminkan pengakuan dan
penghormatan terhadap hak asasi manusia khususnya hak‐hak keperdataan
dan hak‐hak ekonominya yang substansinya didasarkan atas asas‐asas
hukum, yang antara lain sebagai berikut:
1. Asas Kesepakatan/Konsensus
Seluruh kegiatan pencabutan hak dan segala aspek hukumnya,
seperti pemberian ganti rugi, permukiman kembali dan pemulihan
kembali kondisi sosial ekonomi, hukum harus dilakukan berdasarkan
(17)
atas tanah.Kesepakatan ini dilakukan atas dasar persetujuan kehendak
kedua belah pihak tanpa adanya unsur paksaan kesilapan dan
penipuan seta dilakukan dengan itikad baik.Apabila dalam
pelaksanaan kesepakatan itu dilaksanakan adanya unsur kesilapan,
paksaan dan penipuan maka kesepakatan itu dapat dibatalkan.56
56Syafruddin Kalo, Reformasi Peraturan Dan Kebijakan Pengadaan Tanah Untuk
Kepentingan Umum, Perpustakaan Digital, Universitas Sumatera Utara, 2004. Penipuan yang terjadi dalam pelaksanaan kesepakatan pencabutan
atau pembebasan hak‐hak atas tanah dapat terjadi misalnya semula
maksud pembebasan atas tanah tersebut diperuntukan membangun
sarana kepentingan umum yang non komersil.Tetapi dalam
pelaksanaannya tanah itu diperuntukan untuk membangun proyek
yang bertujuan komersil misalnya pembangunan plaza, rumah mewah,
jalan tol dan lain‐lain.
Unsur paksaan dalam pelaksanaan menempuh kesepakatan itu
kerap terjadi dalam praktek pencabutan atau pembebasan tanah untuk
kepentingan pembangunan yakni dilakukan di bawah ancaman secara
fisik, maupun non fisik kepada para warga pemilik tanah, pada waktu
musyawarah dilakukan, misalnya musyawarah tersebut selalu
diikutsertakan unsur‐unsur militer dan sebagainya. Sehingga warga
masyarakat terpaksa menyetujui pencabutan atau pun pembebasan
(18)
Kegiatan pelaksanaan fisik dari pencabutan hak tesebut baru
dapat dilakukan, apabila telah terjadi kesepakatan antara para pihak
mengenai bentuk dan besarnya ganti rugi telah disepakati, baik
mengenai jumlah uang yang akan diterima atau tempat dan lokasi
tanah pengganti dan tempat permukiman kembali telah disetujui
bersama, serta uang ganti rugi telah diterima dengan baik oleh warga
yang terkena pembebasan.
2. Asas Kemanfaatan
Pencabutan atau pembebasan tanah pada prinsifnya harus dapat
memberi manfaat bagi yang membutuhkan tanah dan pihak
masyarakat yag tanahnya dicabut atau dibebaskan. Pengadaan tanah
untuk kepentingan umum dapat terwujud, sehingga pembangunan
dapat dilaksanakan sesuai dengan rencana peruntukan berbagai
fasilitas kepentingan umum.Di samping itu pihak warga masyarakat
pemilik tanah dapat diberikan ganti rugi yang layak, atau dapat
diberikan tanah pengganti dan permukiman kembali sehingga tingkat
kehidupan sosial ekonominya dapat menjadi lebih baik atau
setidak‐tidaknya tidak menjadi lebih miskin dari sebelum tanah
dicabut atau dibebaskan.Pada akhirnya, kegiatan pengadaan tanah
untuk pembangunan dapat bermanfaat bagi masyarakat sekitarnya.
3. Asas Kepastian hukum
Pelaksanaan pengadaan tanah untuk kepentingan umum dapat
(19)
perundang‐undangan dapat berjalan sesuai dengan ketentuannya dan dipatuhi oleh masyarakat dan semua pihak yang terkait dapat dengan
pasti mengetahui hak‐hak dan kewajiban masing‐masing, agar
peraturan itu dapat bermakna sosial dalam arti dapat benar‐ benar
terwujud sebagai perilaku yang riil.
Kepastian hukum itu juga harus terdapat di dalam hukum itu
sendiri, dimana tiada satupun kalimat atau bahasa yang terdapat dalam
undang‐undang menimbulkan penafsiran yang berbeda. Di samping
itu juga karena hukum itu sendiri, akan menimbulkan kepastian
misalnya dengan adanya lembaga pencabutan hak, pembebasan hak
atas tanah dan pelepasan hak atas tanah akan menimbulkan kepastian
bagi masyarakat untuk mendapatkan ganti rugi yang layak atau tanah
pengganti dan permukiman yang baru. Sedangkan bagi penerima
ataupun yang memerlukan tanah harus dapat menikmati ataupun
mengusahakan tanah tersebut tanpa gangguan dari pihak manapun
juga.Hal ini berarti bahwa karena hukum warga masyarakat
melepaskan haknya dan karena hukum juga bagi mereka yang
membutuhkan tanah telah mendapatkan tanah dengan pemberian ganti
rugi yang layak.
4. Asas Keadilan
Keadilan berlaku dalam hukum, juga memberikan ukuran lahir
(20)
menganjurkan kejujuran, dan konsepsi ini sangat mempengaruhi
perkembangan hukum.
Keadilan adalah suatu cita yang didasarkan pada sifat moril
manusia. Konsepsi mengenai keadilan dapat berkembang dengan
berkembangnya pengertian manusia, tetapi keadilan tidak terbatas
pada apa yang terjadi dalam dunia kenyataan. Jelaslah bahwa keadilan
itu bukan merupakan suatu yang absolut, tetapi merupakan konsep
philosofis mengandung pengertian yang abstrak.57
1) Keadilan yang sifatnya merata (distributive justice) dikaitkan
terutama dengan alokasi hak‐hak, kewajiban dan beban
Asas keadilan formal yang diakui secara umum sebagaimana
yang dikatakan Lloyd, “bahwa suatu sistem perundangan‐undangan
yang tepat memerlukan tiga keistimewaan : eksistensi
peraturan‐peraturan yang berkaitan dengan perilaku sosial dan
penyelesaian perselisihan; penerapan umum dari peraturan‐peraturan
tersebut; penerapan yang tak berpihak atas peraturan‐peraturan
tersebut”.
Penempatan beberapa konsep modern mengenai fungsi keadilan
dalam kaitannya dengan kesamaan (equality and justice) ialah teori
Aristoteles tentang “distributive and corrective justice” yang
mengatakan bahwa:
(21)
(tanggung jawab) diantara para anggota komunitas agar dapat
dijamin keseimbangan. Dalam hal ini melibatkan perlakuan
yang sama atas kegiatan‐kegiatan tersebut yang sama sebelum
melalui hukum.
2) Keadilan yang sifatnya pembenahan atau perbaikan (corrective
or remedial justice) mengoreksi setiap ketidakseimbangan dalam komunitas dengan pemulihan kesamaan dalam hal
apapun yang ada sebelum kekeliruan berlangsung.
Asas keadilan diletakkan sebagai dasar penentuan bentuk dan
besarnya ganti rugi yang harus diberikan kepada pemilik tanah, dan
orang‐orang yang terkait dengan tanah yang dicabut atau dibebaskan
haknya untuk kepentingan umum.Begitu juga bagi orang yang
membutuhkan tanah tersebut.Asas ini juga harus dikonkritkan dalam
pelaksanaan ganti kerugian dalam arti dapat memulihkan kondisi
sosial ekonomi mereka minimal setara atau setidak‐tidaknya
masyarakat tidak menjadi lebih miskin dari sebelumnya. Di sisi lain
prinsip keadilan juga harus meliputi pihak yang membutuhkan tanah
agar dapat memperoleh tanah sesuai dengan rencana peruntukannya
dan memperoleh perlindungan hukum.
Penempatan asas keadilan dalam ketentuan perundang‐
undangan pengadaan tanah untuk kepentingan umum adalah dalam
(22)
memperoleh ganti kerugian yang dapat memulihkan kondisi sosial
ekonomi mereka minimal setara dengan keadaan sebelum pencabutan
atau pembebasan hak mereka, di sisi lain kepada pihak yang
membutuhkan tanah juga dapat memperoleh tanah sesuai rencana dan
peruntukannya serta memperoleh perlindungan hukum. Dengan
demikian terjadi keseimbangan dalam komunitas dengan pemulihan
kesamaan dalam hal apapun yang ada sebelum kekeliruan
berlangsung.
Dalam pelaksanaan penegakan hukum tentang pengadaan tanah
untuk kepentingan umum perlu diperhatikan, bahwa dalam sistem
hukum itu terdapat tiga elemen yang perlu diperhatikan yaitu
:Structure; Substance; dan Culture. Struktur dalam suatu sistem
hukum, misalnya mengenai kedudukan dari peradilan, eksekutif,
judikatif. Sedangkan substansi dari sistem hukum adalah, mengenai
norma, peraturan maupun undang‐undang, tetapi lebih manarik dari
ketiga elemen itu adalah mengenai budaya hukum yang berarti
pandangan, kebiasaan maupun perilaku dari masyarakat mengenai
pemikiran nilai‐nilai dan pengharapan dari sistem hukum yang
berlaku. Dengan perkataan lain, budaya hukum itu adalah iklim dari
pemikiran sosial tentang bagaimana hukum itu diaplikasikan,
dilanggar atau dilaksanakan oleh masyarakat. Tanpa budaya hukum
(23)
terkapar di keranjang, bukan seperti ikan hidup yang berenang di
lautnya”.
Berdasarkan konsep tersebut, maka pelaksanaan ganti rugi
dalam pencabutan, pembebasan dan pelepasan hak atas tanah tidak
sekedar hanya dilakukan sesuai dengan struktur dan substansi hukum
yang berlaku, tetapi harus memperhatikan budaya hukum masyarakat
dan nilai‐nilai serta pengharapan masyarakat terhadap sistem hukum
yang berlaku. Tentunya ini tidak berarti bahwa setiap masyarakat
dalam suatu komunitas memberikan pemikiran yang sama, karena
banyak sub budaya yang ada dalam masyarakat. Tetapi sub budaya
yang penting diperhatikan adalah budaya hukum hakim, dan
penasehat hukum yang bekerja di dalam sistem hukum itu sendiri,
karena merekalah yang akan berhadapan dalam penyelesaian konflik
antara masyarakat pemilik tanah dengan yang membutuhkan tanah.
Pengadilan sebagai lembaga yang khusus untuk mengakhiri konflik.
5. Asas Musyawarah
Istilah musyawarah adalah suatu istilah yang berasal dari bahasa
Arab. Dalam masyarakat adat, istilah ini mengandung suatu
pengertian yang isinya primer sebagai suatu tindakan seseorang
bersama orang‐orang lain untuk menyusun suatu pendapat bersama
yang bulat atas suatu permasalahan yang dihadapi oleh suatu
(24)
hidup masyarakat yang bersangkutan.58
Menurut Koesnoe, pengertian musyawarah harus dipisahkan
dengan pengertian dari mufakat. Musyawarah menunjuk kepada
pembentukan kehendak bersama dalam urusan mengenai kepentingan
hidup bersama, dalam masyarakat yang bersangkutan sebagai
keseluruhan, sedangkan mufakat menunjuk kepada pembentukan
kehendak bersama antara dua orang atau lebih, dimana masing‐masing
Unsur yang essensial dalam
musyawarah tersebut adalah adanya kesatuan pendapat yang
menagdopsi pendirian semua kehendak para warga di
dalamnya.Kehendak setiap warga merupakan bagian tidak terpisahkan
dari kesatuan pendapat tersebut.Hasil dari musyawarah adalah adanya
kesepakatan bersama.
Asas kesepakatan sebagai hasil musyawarah diaksudkan harus
meliputi seluruh kegiatan dalam pelepasan hak atas tanah atau
pengambilalihan tanah masyarakat termasuk juga kesepakatan dalam
menentukan bentuk dan besarnya ganti rugi yang akan diberikan
kepada masyarakat pemilik tanah. Asas kesepakatan ini, harus
pencerminan adanya persetujuan antara pemilik tanah dan orang yang
membutuhkan tanah yang telah dinyatakan secara tegas oleh yang
bersangkutan.Kemudian harus diikuti dengan akte pelepasan hak atas
tanah dengan ganti rugi yang disetujui oleh kedua belah
pihak.Kesepakatan itu juga tidak boleh terjadi karena adanya unsur
penipuan, paksaan dan kesesatan.
58Moh. Koesnoe, Catatan-Catatan terhadap Hukum Adat Dewasa Ini,Airlangga
(25)
berpangkal dari perhitungan untuk melindungi kepentingan
masing‐masing sejauh mungkin.59
Musyawarah harus dilakukan dengan sikap saling menerima
pendapat, pandangan, perasaan, atau penilaian pada suatu keadaan di
mana masing‐masing merasa pikiran dan perasaannya telah menjadi
bagian dari kehendak bersama. Untuk itu, masing‐masing pihak yang
melakukan musyawarah harus mempunyai posisi tawar (bargaining
position) yang sama. Apabila salah satu pihak berada dalam posisi Musyawarah yang telah melahirkan mufakat antara para pihak
sebagai hasil penyelesaian perbedaan‐perbedaan kepentingan pribadi
seseorang terhadap orang lain atas dasar perundingan antara yang
bersangkutan. Pada dasarnya perundingan itu diarahkan pada titik‐titik
yang berbeda antara kehendak atau pendirian masing‐masing
pihak.Dengan melalui tawar menawar (bargaining) diusahakan untuk
sampai pada persamaan pendirian atau kehendak mengenai pandangan
yang berbeda.Dengan demikian, dalam tawar menawar,
masing‐masing pihak harus bersikap saling menerima dan memberi
untuk sampai kepada suatu persetujuan sebagai hasil kesepakatan
bersama.
(26)
tawar yang lemah, maka terjadi ketidakseimbangan yang dapat
merugikan pihak yang lemah.Keadaan ini dapat menimbulkan
kesenjangan sehingga menimbulkan perdebatan yang panjang yang
pada akhirnya menimbulkan konflik.
Kata mufakat, ialah putusan berdasarkan persesuaian faham
dengan melalui permusyawaratan dan yang berdasarkan alur dan
patut.60Musyawarah untuk mencari kesepakatan atau mufakat dalam
menentukan bentuk dan besarnya ganti rugi, pada dasarnya kita dapat
merujuk pada ketentuan‐ketentuan hukum adat yang berlaku.Menurut
adat Minangkabau, musyawarah yang dapat melahirkan mufakat
haruslah didasarkan pada prinsip alur dan patut.61
Patut merupakan standar normatif untuk mengukur baik buruk
suatu kenyataan dan kepatutan adalah ukuran kenyataan untuk
meminimalisasi dampak negatif dari suatu keputusan dengan
memperhatikan nilai‐nilai yang dihargai dalam proses (susila,
kehormatan, harga diri, dll).62
60 M. Nasroen, Dasar Falsafah Adat Minangkabau, Pasaman , Jakarta,1957, hal.
60. 62
Koesnoe, Op.cit, hal. 50
Kata patut ini mengandung pengertian
yang penting dalam menghadapi suatu persoalan hukum, yang
menekankan perhatian pada cara menemukan jawaban tentang
bagaimana suatu perkara, kualitas dan status pihak‐pihak yang
(27)
merupakan suatu yang memuat nilai‐nilai susila dan juga sekaligus mengindahkan tuntutan akal yang sehat. Dalam hal ini musyawarah
untuk mencapai kesepakatan mengenai bentuk dan besarnya ganti rugi
dalam pelaksanaan pelepasan hak atas tanah, harus dilakukan menurut
alur yang patut, sehingga masing‐masing pihak tidak ada merasa
dirugikan atau tercapai kompromi yang memuaskan kedua belah
pihak (win‐win solution).
Berdasarkan pengertian musyawarah dan mufakat tersebut di
atas, jika dilaksanakan secara konsekuen,maka musyawarah untuk
mencari kesepakatan dalam hal pelaksanaan ganti rugi dalam
pencabutan, pembebasan, dan pelapasan hak‐hak atas tanah untuk
kepentingan umum dapat meminimalkan konflik antara pemilik tanah
dengan pemerintah yang membutuhkan tanah dan diharapkan
pelaksanaan musyawarah tersebut dapat memenuhi rasa keadilan
dalam masyarakat.
6. Asas Keterbukaan
Komunikasi hukum dan pengetahuan hukum adalah faktor yang
sangat penting yang dapat mempengaruhi perilaku hukum masyarakat.
Warga masyarakat yang terkena dampak pencabutan atau pembebasan
tanah akan mematuhi akan mematuhi atau tidak mematuhi aturan,
menggunakan aturan atau menghindari aturan tanpa mengetahui
(28)
dikomunikasikan kepada warga masyarakat dan masyarakat harus
memperoleh pengetahuan tentang isi aturan itu. Semua aturan yang
bersifat teknis, aturan administratif secara rinci harus disampaikan
kepada warga masyarakat, agar tidak terjadi kekeliruan yang
menimbulkan konflik.
Dalam proses pencabutan atau pembebasan tanah warga
masyarakat yang terkena dampak berhak mengetahui informasi
berkenaan dengan perencanaan, pelaksanaan dan pengawasan
perolehan tanah dan permukiman kembali. Informasi tentang proyek
dan dampaknya, kebijakan ganti kerugian dan jadwal pembangunan,
rencana permukiman kembali dan lokasi pengganti, lembaga yang
bertanggung jawab, jadwal kegiatan dan tata cara menyampaikan
keberatan, wajib disampaikan dan diketahui oleh masyarakat yang
terkena dampak. Penyebaran informasi dapat dilakukan melalui
penyuluhan hukum dan media yang dapat dijangkau oleh masyarakat
luas.
7. Asas Keikutsertaan
Peran serta semua pihak yang terkait secara aktif dalam proses
pencabutan dan atau pembebasan akan menimbulkan rasa ikut
memiliki dan dapat memperkecil kemungkinan timbulnya penolakan
terhadap kegiatan pencabutan dan atau pembebasan tanah. Masyarakat
yang terkena dampak, LSM dan masyarakat di lokasi pemindahan
dilibatkan dalam tahap pengumpulan data, perencanaan permukiman
(29)
pihak yang terkait dilakukan secara instensif dan berkesinambungan
untuk saling memberi masukan yang diperlukan.
8. Asas Kesetaraan
Asas ini dimaksudkan untuk menempatkan posisi pihak yang
memerlukan tanah dan pihak yang tanahnya dicabut atau dibebaskan
harus diletakkan secara sejajar dalam seluruh proses pengambilalihan
tanah.
9. Asas Minimalisasi Dampak dan Kelangsungan Kesejahteraan Ekonomi
Pencabutan atau pembebasan tanah dilakukan dengan upaya untuk
meminimalkan dampak negatif atau dampak penting yang mungkin
timbul dari kegiatan pembangunan, disertai dengan upaya untuk
memperbaiki taraf hidup masyarakat yang terkena dampak, sehingga
kesejahteraan sosial ekonomi menjadi lebih baik atau minimal setara
dengan keadaan sebelum pencabutan atau pelepasan.
D. TATA CARA PENGADAAN TANAH UNTUK KEPENTINGAN
UMUM.
1. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 15 Tahun 1975 Tentang Ketentuan-Ketentuan Mengenai Tata Cara Pengadaaan Tanah
Dalam Permendagri Nomor 15 tahun 1975 tidak dikenal adanya istilah
pengadaan tanah melainkan pembebasan tanah. Menurut Pasal 1 ayat (1)
yang dimaksud pembebasan tanah adalah melepaskan hubungan hukum
yang semula terdapat diantara pemegang hak atau penguasa atas tanahnya
(30)
pelaksanaan atau tata cara pembebasan tanah untuk kepentingan
pemerintah dan pembebasan tanah untuk kepentingan swasta.
Untuk pembebasan tanah bagi kepentingan pemerintah dibentuk
Panitia Pembebasan Tanah (selanjutnya disebut PPT) sebagaimana diatur
dalam Pasal 2 Permendagri Nomor 15 Tahun 1975, sedang untuk
kepentingan swasta tidak dibentuk panitia khusus, pemerintah hanya
mengawasi pelaksanaan pembebasan tanah tersebut antara para pihak yaitu
pihak yang membutuhkan tanah dengan pihak yang mempunyai tanah.
2. Keputusan Presiden Nomor 55 Tahun 1993 Tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum.
Dalam Pasal 2 ayat (2) dan (3) Keppres Nomor 55 tahun 1993
menyatakan bahwa cara pengadaan tanah ada 2 (dua) macam, yaitu
pertama pelepasan atau penyerahan hak atas tanah, dan kedua jual beli,
tukar menukar dan cara lain yang disepakati oleh para pihak yang
bersangkutan.
Kedua cara tersebut termasuk kategori pengadaan tanah secara
sukarela. Untuk cara yang pertama dilakukan untuk pengadaan tanah bagi
pelaksanaan pembangunan yang dilaksanakan untuk kepentingan umum
sebagaimana yang diatur dalam Keppres Nomor 55 tahun 1993, sedangkan
cara kedua dilakukan untuk pengadaan tanah yang dilaksanakan selain
untuk kepentingan umum. Menurut Pasal 6 ayat (1) Keppres Nomor 55
tahun 1993, menyatakan bahwa: “Pengadaan tanah untuk kepentingan
umum dilakukan dengan bantuan PPT yang dibentuk oleh Gubernur
(31)
Pengadaan Tanah” dibentuk disetiap Kabupaten atau Kotamadya Tingkat
II”.
Berdasarkan ketentuan Pasal 9 Keppres Nomor 55 Tahun1993
pengadaan tanah bagi pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan
umum dilaksanakan dengan musyawarah yang bertujuan untuk mencapai
kesepakatan mengenai penyerahan tanahnya dan bentuk serta besarnya
imbalan.
Apabila dalam musyawarah tersebut telah tercapai kesepakatan para
pihak, maka pemilik tanah diberikan ganti kerugian sesuai dengan yang
disepakati oleh para pihak sebagaimana diatur dalam Pasal 15 Keppres
Nomor 55 tahun 1993.
3. Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2005 Tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum
Dengan berlakunya Perpres Nomor 36 Tahun 2005, ada sedikit
perbedaan dalam tata cara pengadaan tanah untuk kepentingan umum,
meskipun pada dasarnya sama dengan Keppres Nomor 55 Tahun 1993.
Menurut Pasal 2 ayat (1) Perpres Nomor 36 Tahun 2005 menyatakan
bahwa:
“pengadaan tanah bagi pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum oleh pemerintah atau pemerintah daerah dilaksanakan dengan cara pelepasan atau penyerahan hak atas tanah, atau pencabutan hak atas tanah”.
(32)
“pengadaan tanah selain bagi pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum oleh pemerintah atau pemerintah daerah dilakukan dengan cara jual beli, tukar menukar, atau cara lain yang disepakati secara sukarela oleh pihak-pihak yang bersangkutan.”
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa menurut Perpres Nomor
36 Tahun 2005 bahwa khusus untuk pengadaan tanah bagi kepentingan
umum yang dilaksanakan oleh pemerintah ataupun pemerintah daerah
dilakukan dengan cara pelepasan atau penyerahan hak atas tanah, atau
pencabutan hak atas tanah. Sedangkan pengadaan tanah selain untuk
kepentingan umum yang dilaksanakan oleh pemerintah ataupun
pemerintah daerah, dalam hal ini dilaksanakan oleh pihak swasta maka
dilaksanakan dengan jual beli, tukar-menukar atau dengan cara lain yang
disepakati secara sukarela dengan pihak-pihak yang bersangkutan.
Hal ini berbeda dengan ketentuan yang sebelumnya yang tidak
membedakan secara tegas mengenai tata cara pengadaan tanah baik untuk
kepentingan umum, maupun bukan kepentingan umum yang dilaksanakan
oleh pemerintah ataupun pihak swasta sehingga dalam ketentuan ini
mempeerjelas aturan pelaksaan dalam pengadaan tanah untuk kepentingan
umum maupun swasta.
Setelah kurang lebih 1(satu) tahun berlakunya Perpres Nomor 36
Tahun 2005, Perpres tersebut digantikan dengan Perpres Nomor 65 Tahun
2006, yang berupaya untuk lebih meningkatkan prinsip penghormatan
(33)
pengadaan tanah bagi pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan
umum, sebagaimana diatur dalam Pasal 3 Perpres Nomor 65 Tahun 2006
dinyatakan bahwa “pelepasan atau penyerahan hak atas tanah bagi
pembangunan untuk kepentingan umum dilakukan berdasarkan prinsip
penghormatan terhadap hak atas tanah.
Prinsip penghormatan hak atas tanah diartikan bahwa pemilik hak atas
tanah yang diambil tanahnya, tingkat kehidupan ekonominya harus lebih
baik dibandingkan sebelum ia melepaskan hak atas tanahnya.Karena
pemilik hak atas tanah tersebut telah merelakan tanahnya untuk keperluan
pembangunan, sehingga harus diberikan suatu penghormatan atas jasa
pemilik hak atas tanah tersebut.
4. Undang-undang Nomor 2 Tahun 2012
Saat ini telah disahkan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012
Tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum
yang merupakan undang-undang yang ditunggu tunggu, peraturan
perundang-undangan sebelumnya dianggap belum memenuhi rasa
keadilan bagi pihak yang kehilangan tanahnya. Undang-undang ini
diharapakan pelaksanaannya dapat memenuhi rasa keadilan setiap orang
yang tanahnya direlakan atau wajib diserahkan bagi pembangunan.Bagi
pemerintah yang memerlukan tanah, peraturan perundang-undangan
sebelumnya dipandang masih menghambat atau kurang untuk memenuhi
(34)
Bunyi Ketentuan umum Pasal 1 angka 2 undang-undang ini:
“Pengadaan tanah adalah kegiatan menyediakan tanah dengan cara
memberi ganti kerugian yang layak dan adil kepada pihak yang berhak”.
Pasal 1 angka 10 menegaskan lagi “Ganti Kerugian adalah penggantian
layak dan adil kepada yang berhak dalam proses pengadaan tanah”.
Asas pengadaan tanah untuk kepentingan umum yang diatur Pasal 2
yang menyatakan bahwa pengadaan tanah untuk kepentingan umum
dilaksanakan berdasarkan asas kemanusiaan, keadilan, kemanfaatan,
kepastian, keterbukaan, kesepakatan, keikutsertaan, kesejahteraan,
keberlanjutan, dan keselarasan. Dari sekian banyak asas haruslah asas
keadilan diutamakan karena asas ini telah ditegaskan dua kali pada
Ketentuan Umum angka 2 dan angka 10 undang-undang ini. Kalimat:
“Ganti kerugian adalah penggantian layak dan adil” belum pernah muncul
pada peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang pengadaan
tanah sebelumnya.
Pasal 5 menegaskan pihak yang berhak wajib melepaskan tanahnya
pada saat pelaksanaan pengadaan tanah untuk kepentingan umum setelah
pemberian Ganti Kerugian atau berdasarkan putusan pengadilan yang telah
memperoleh kekuatan hukum tetap.Kata wajib ditegaskan pada undang-
undang ini.Seharusnya ada keseimbangan hukum yaitu bahwa wajib
setelah pemberian ganti kerugian dirasakan adil dan layak oleh pihak yang
berhak.
Sebagai lanjutan dari amanat Pasal 53 dan Pasal 59 UU No. 2 Tahun
(35)
Umum maka pemerintah mengeluarkan Perpres No. 71 Tahun 2012
tentang Penyelenggaraan Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk
Kepentingan Umum. Pada Perpres ini setiap instansi yang memerlukan
lahan untuk kepentingan umum diberi waktu untuk menyelesaikannya
(36)
BAB IV
PEMBERIAN GANTI KERUGIAN ATAS PENGADAAN TANAH UNTUK KEPENTINGAN UMUM
A. Tinjauan Umum Ganti Rugi
Ganti rugi dapat ditinjau dari 2 (dua) sudut, yaitu dari sudut Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata) dan dari sudut Undang-Undang-Undang-Undang Pokok
Agraria (UUPA) , yaitu :
Pertama, Menurut KUHPerdata tinjauan tentang ganti rugi meliputi
persoalan yang menyangkut, apa yang dimaksud dengan ganti rugi itu,
bilamana ganti rugi itu timbul dan apa yang ukuran dari ganti rugi itu serta
bagaimana peraturannya dalam undang-undang. Dalam Pasal 1243
KUHPerdata dirumuskan :
Penggantian biaya, kerugian dan bunga karena tidak dipenuhinya suatu
perikatan mulai diwajibkan bila debitur, walaupun telah dinyatakan
lalai, tetap lalai untuk memenuhi perikatan itu, atau jika sesuatu yang
harus diberikan atau dilakukannya hanya dapat diberikan atau
dilakukannya dalam waktu yang melampaui tenggang waktu yang telah
ditentukan.
Berdasarkan ketentuan tersebut, bahwa ganti kerugian itu adalah karena
tidak terpenuhinya suatu perikatan, barulah mulai diwajibkan apabila debitur
setelah dinyatakan lalai memenuhi perikatannya, tetap melalaikannya, atau
sesuatu yang harus diberikan atau dibuatnya, hanya dapat diberikan atau dibuat
(37)
adalah kerugian yang timbul karena debitur melakukan wanprestasi, kerugian
itu wajib diganti oleh debitur terhitung sejak ia dinyatakan lalai.
Selanjutnya KUHPerdata menegaskan bahwa ganti rugi itu terdiri dari tiga
unsur yaitu : biaya, rugi dan bunga, kecuali wanprestasi itu dapat dibuktikan
karenad adanya overmacht dan tidak ada itikad buruk dari debitur. Ganti rugi
yang dapat dituntut penggantiannya adalah atas rugi yang dideritanya dan
keuntungan yang sedianya harus dinikmatinya.63
Biaya, rugi, dan bunga dalam Bahasa Belanda disebut kosten, schaden en
intresten.Yang dimaksud dengan biaya adalah segala pengeluaran atau
perongkosan yang nyata-nyata sudah dikeluarkan oleh satu pihak.Rugi atau
kerugian adalah kerugian karena kerusakan barang-barang kepunyaan debitur
yang diakibatkan oleh kelalalian debitur atau wanprestasi.Sedangkan yang
dimaksudkan dengan bunga adalah rugi yang berupa kehilangan keuntungan
yang sudah dibayangkan atau dihitung oleh kreditur.64
Walaupun debitur telah melakukan wanprestasi (lalai) diharuskan
membayar ganti rugi kepada kreditur, namun undang-undang masih
memberikan pembatasan-pembatasan yaitu : dalam hal ganti rugi yang
bagaimana yang seharusnya dibayar oleh debitur atas tuntutan kreditur.
Pembatasan-pembatasan ini sifatnya sebagai perlindungan undang-undang
63Lihat, pasal 1244, debitur harus dihukum untuk mengganti biaya kerugian dan
bunga, bila ia tak dapat membuktikan bahwa tidak dilaksanakannya perikatan itu atau tidak tepatnya waktu dalam melaksanakan perikatan itu disebabkan suatu hal yang tak terduga , tak dapat dipertanggung jawabkan kepadanya, walaupun tidak ada itikad buruk padanya. Pasal 1245, tak ada penggantian biaya, kerugian dan bunga, bila karena keadaan memaksa atau karena hal yang terjadi secara kebetulan, debitur terhalang untuk memberikan atau berbuat sesuatu yang diwajibkan atau melakukan suatu perbuatan terlarang baginya.
(38)
terhadap debitur dari perbuatan sewenang-wenang pihak
kreditur.Pembatasan-pembatasan tersebut adalah debitur hanya diwajibkan
mengganti biaya, kerugian dan bunga yang diharapkan atau sedianya dapat
diduga pada waktu perikatan diadakan kecuali tidak dipenuhinya sedianya
dapat diduga pada waktu perikatan diadakan kecuali tidak dipenuhinya
perikatan itu disebabkan karena tipu daya yang dilakukannya.Bahkan jika
tidak dipenuhinya disebabkan tipu daya debitur maka penggantian biaya
kerugian dan bunga, yang menyebabkan kreditur menderita kerugian dan
kehilangan keuntungan, hanya mencakup hal-hal yang menjadi akibat
langsung dari tidak dilaksanakannya perikatan itu.65
65
Lihat, Pasal 1247 dan Pasal 1248 KUHPerdata
Kedua, dalam UUPA yang berkaitan dengan pencabutan hak atas tanah,
diatur dalam Pasal 18 yang berbunyi : Untuk kepentingan umum termasuk
kepentingan bangsa dan negara serta kepentingan bersama dan rakyat
hak-hak atas tanah dapat dicabut, dengan memberi ganti rugi yang layak dan
menurut cara yang diatur dengan undang-undang.
Pelepasan atau penyerahan hak atas tanah yang sebelumnya disebut
pembebasan tanah adalah kegiatan melepaskan hubungan hukum antara
pemegang hak atas tanah dengan tanah yang dikuasainya dengan memberikan
ganti rugi atas dasar musyawarah.Salah satu kunci yang kelihatannya juga
menentukan dalam perbuatan hukum di atas itu adalah yang berkenaan
dengan ganti rugi dalam pelepasan hak atau pembebasan tanah itu merupakan
imbalan sebagai pengganti nilai tanah yang diserahkan oleh pemilik atau
(39)
Pasal 1 butir 11 Perpress No. 36 Tahun 2005 merumuskan ganti rugi
adalah penggantian terhadap kerugian baik bersifat fisik dan/atau nonfisik
sebagai akibat pengadaan tanah kepada yang mempunyai tanah, bangunan,
tanaman, dan/atau benda-benda lain yang berkaitan dengan tanah yang dapat
memberikan kelangsungan hidup yang lebih baik dari tingkat kehidupan
sosial ekonomi sebelum terkena pengadaan tanah. Dan hal ini juga
merupakan asas universal sebagaimana telah dituangkan antara lain dalam
Peraturan Pemerintah No. 3 Tahun 1973, Keppres No 53 Tahun 1989, Inpres
No. 9 Tahun 1993, dan Keppres No. 55 Tahun 1993.
Berdasarkan ketentuan tersebut, dapat disimpulkan bahwa ganti rugi
adalah merupakan suatu imbalan suatu imbalan yang diterima oleh pemegang
hak atas tanah sebagai pengganti dari nilai tanah termasuk yang ada di
atasnya, terhadap tanah yang telah dilepas atau diserahkan. Dengan adanya
pemberian ganti rugi ini, maka pemegang hak atas tanah akan kehilangan hak
atas tanah dan bangunan yang ada di atasnya tersebut.
B. Bentuk dan Dasar Ganti Rugi dalam Pengadaan Tanah 1. Bentuk Ganti Rugi
Sebagaimana diatur dalam Peraturan Presiden Nomor 71 Tahun 2012
Penyelenggaraan Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk
Kepentingan Umum, Pasal 74 , bentuk ganti rugi dapat berupa;
a. uang;
b. tanahpengganti;
c. permukiman kembali;
(40)
e. bentuk lain yang disetujui oleh kedua belah pihak.
Dengan penetapan nilai ganti kerugian sesuai dengan Pasal 63 yaitu :
1) Penetapan besarnya nilai ganti kerugian dilakukan oleh Ketua
Pelaksana Pengadaan Tanah berdasarkan hasil penilaian jasa
penilai atau penilai publik.
2) Jasa Penilai atau Penilai Publik sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) diadakan dan ditetapkan oleh K etua Pelaksana Pengadaan
Tanah.
3) Pengadaan jasa Penilai sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang
-undangan dibidang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah.
4) Pelaksanaan pengadaan Penilai sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dilaksanakan paling lam a 30 (tiga puluh) hari kerja.
Sedangkan pengadaan tanah untuk kepentingan umum yang luasnya kurang
dari satu hektar menurut peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3
Tahun 2007 Pasal 59 ayat ;
(1) Bentuk dan/atau besarnya ganti rugi pengadaan tanah secara langsung
ditetapkan berdasarkan musyawarah antara instansi pemerintah yang memerlukan
tanah dengan pemilik.
(2) Musyawarah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berpedoman pada
NJOP atau nilai nyata/sebenarnya dengan memperhatikan NJOP tahun berjalan di
sekitar lokasi.
Dalam Pasal 15 ayat (1a) sebagaimana mana tersebut maka penuliskan
menguraikan pendapat John Salindeho mengenai pengertian harga dasar dan
harga umum setempat atas tanah yang terkena pembebasan hak atas tanah.66
(41)
Boleh dikata harga umum yaitu setempat atau harga pasaran adalah hasil
rata-rata harga penjualan pada suatu waktu tertentu, sedangkan tempat berarti
suatu wilayah/lokasi didalam suatu kabupaten/kota dapat saja bervariasi menurut
keadaan tanah, harga dasar yang tumbuh dari dan berakar pada harga umum
setempat, ditinjau harga umum tahun berjalan.
Sehubungan dengan hal tersebut, maka perlu kiranya dikemukakan
pendapat Boedi Harsono yaitu bahwa hak milik atas tanah yang diperlukan itu
dilepaskan oleh pemiliknya setelah ia menerima uang ganti kerugian dari pihak
yang mengadakan pembebasan, ganti rugi tersebut sudah barang tentu sama
dengan harga tanah sebenarnya. 67
• didasarkan pada produk hukum putusan yang bersifat mengatur.
Jadi jelas bahwa pengertian uang ganti itu
sama dengan harga tanah.
Dari uraian tersebut yang menjadi subtansi ganti rugi harus didasarkan
diantaranya;
• ganti rugi baru dapat dibayarkan setelah diperoleh hasil keputusanfinal
musyawarah.
• mencakup bidang tanah, bangunan serta tanaman yang dihitung
berdasarkan tolok- ukur yang telah disepakati.
• wujud ganti rugi: uang dan/atau tanah pengganti dan/atau pemukiman
kembali, gabungan atau bentuk lain yang disepakati para pihak.
(42)
C. Cara penetapan dan Yang Berhak Menerima Ganti Rugi
1. Cara Penetapan Ganti Rugi
Penentuan tentang besarnya ganti rugi jika ditinjau dari sudut
hukum perdata seperti yang telah diuraikan sebelumnya adalah, bahwa
ganti rugi dapat ditentukan berupa penggantian biaya, rugi, dan bunga
yang nyata-nyata telah atau sedianya dapat diduga sebelum perikatan
dilahirkan.Kerugian tersebut adalah merupakan akibat langsung dari
wanprestasi.68
Khusus mengenai perjanjian yang prestasinya berhubungan dengan
pembayaran dengan sejumlah uang, ganti rugi hanya dapat dituntut
semata-mata karena terlambatnya prestasi dilaksanakan.Kerugian hanya
terdiri dari bunga yang ditentukan oleh undang-undang.69
1) Di dalam mengadakan penafsiran/penetapan mengenai besarnya ganti rugi,
Panitia Pembebasan Tanah harus mengadakan musyawarah dengan para
pemilik/pemegang hak atas tanah dan/atau benda/tanaman yang ada di
atasnya berdasarkan harga umum setempat.
Ketentuan ganti rugi terhadap pelepasan atau penyerahan hak atas
tanah dapat dilihat antara lain dalam PMDN No.15 Tahun 1975 dan
Keppres no.55 Tahun 1993. Berdasarkan Pasal 6 PMDN No.15 Tahun
1975 ditentukan sebagai berikut :
2) Dalam menetapkan besarnya ganti rugi harus diperhatikan pula tentang :
a. Lokasi dan faktor-faktor strategis lainnya yang dapat mempengaruhi harga
tanah. Demikian pula dalam menetapkan ganti rugi atas bangunan dan
68
A.P. Parlindungan, Op.Cit.hal.34. 69
(43)
tanaman harus berpedoman pada ketentuan yang telah ditetapkan oleh
Dinas Pekerjaan Umum/Dinas Pertanian setempat;
b. Bentuk ganti rugi berupa uang, tanah dan atau fasilitas-fasilitas lain;
c. Yang berhak atas ganti rugi itu ialah mereka yang berhak atas
tanah/bangunan/tanaman yang ada di atasnya, dengan berpedoman kepada
hukum adat setempat, sepanjang tidak bertentangan dengan
ketentuan-ketentuan dalam Undang-Undang Pokok Agraria dan kebijaksanaan
pemerintah.
3) Panitia Pembebasan Tanah berusaha agar dalam menentukan besarnya
ganti rugi terdapat kata sepakat di antara para anggota panitia dengan
memperhatikan perbedaan tafsiran ganti rugi di antaranya para anggota
panitia itu, maka yang dipergunakan adalah harga rata-rata dari tafsiran
masing-masing anggota.
4) Pelaksanaan pembebasan tanah harus dapat diselesaikan dalam waktu
yang singkat.
5) Keputusan Panitia Pembebasan Tanah mengenai besar/bentuknya ganti
rugi tersebut disampaikan kepada instansi yang memerlukan tanah, para
pemegang hak atas tanah dan para anggota panitia yang turut mengambil
keputusan.
Berdasarkan ketentuan tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa dalam
menentukan besarnya ganti rugi harus dilakukan musyawarah melalui proses
atau kegiatan saling memperhatikan kehendak antara pemegang hak atas
tanah dan Panitia Pembebasan Tanah untuk memperoleh kesepakatan
(44)
penafsiran/penetapan besarnya ganti rugi panitia diharapkan benar-benar
mengusahakan tercapainya persetujuan kedua belah pihak berdasarkan
musyawarah serta dengan memperhatikan harga umum setempat dan
faktor-faktor lain yang mempengaruhi harga tanah.
Menurut Pasal 1 ayat (3) PMDN No.15 Tahun 1975 yang dikatakan
sebagai harga umum setempat adalah harga dasar yang ditetapkan secara
berkala oleh panitia.
Menurut Keppres No. 55 Tahun 1993, cara penentuan ganti rugi pelepasan
hak atas tanah berbeda dengan yang diatur dalam PMDN No. 15 Tahun 1975.
Pasal 15 Keppres No. 55 Tahun 1993, menegaskan bahwa dasar dan cara
perhitungan ganti rugi ditetapkan atas dasar :
a. Harga tanah yang didasarkan atas nilai nyata atau sebenrnya, dengan
memperhatikan nilai jual obyek Pajak Bumi dan Bangunan yang
terakhir untuk tanah yang bersangkutan;
b. Nilai jual bangunan yang ditaksir oleh Instansi Pemerintah Daerah yang
bertanggung jawab di bidang bangunan;
c. Nilai jual tanaman yang ditaksir oleh Instansi Pemerintah Daerah yang
bertanggung jawab di bidang pertanian.
Selanjutnya dalam Pasal 16 Peraturan Menteri Agraria/Kepala Badan
Pertanahan Nasional Nomor 1 Tahun 1994 ditentukan pula :
(1) Panitia memberikan penjelasan kepada kedua belah pihak sebagai
bahan musyawarah untuk mufakat, terutama mengenai ganti rugi
(45)
a. Nilai tanah berdasarkan nilai nyata atau sebenarnya dengan
memperhatikan Nilai Jual Obyek Pajak Bumi dan Bangunan
(NJOP) tahun terakhir untuk tanah yang bersangkutan;
b. Faktor-faktor yang mempengaruhi harga tanah;
1) Lokasi tanah
2) Jenis hak atas tanah
3) Status penguasaan tanah;
4) Peruntukan tanah;
5) Kesesuaian penggunaan tanah dengan rencana tata ruang
wilayah;
6) Prasarana yang tersedia;
7) Fasilitas dan utilitas;
8) Lingkungan;
9) Lain-lain yang mempengaruhi harga tanah
c. Nilai taksiran bangunan, tanaman, benda-benda lain yang berkaitan
dengan tanah;
(2) Pemegang hak atas tanah dan pemilik bangunan, tanaman dan/atau
benda-benda lain yang terkait dengan tanah yang bersangkutan atau
wakil yang ditunjuk menyampaikan keinginannya mengenai bentuk
dan besarnya ganti rugi;
(3) Instansi Pemerintah yang memerlukan tanah menyampaikan
tanggapan terhadap keinginan pemegang hak atas tanah sebagaimana
dimaksud dalam ayat (2) dengan mengacu kepada unsur-unsur
(46)
(4) Ganti rugi diupayakan dalam bentuk yang tidak menyebabkan
perubahan terhadap pola hidup masyarakat dengan
mempertimbangkan kemungkinan dilaksanakannya alih pemukiman
ke lokasi yang sesuai.
2. Kriteria Pemberian Ganti Rugi
Yang berhak menerima ganti rugi bukan hanya pemilik yang
melepaskan atau menyerahkan hak atas tanah melainkan juga pemilik
bangunan, tanaman, dan /atau benda-benda lain yang terkait dengan tanah
yang bersangkutan. Karena di dalam masyarakat bisa saja pemilik tanah
sekaligus sebagai pemilik bangunan dan tanaman dan bisa juga pemilik
tanah berbeda dengan pemilik bangunan maupun tanaman serta
benda-benda yang di atasnya.
Dalam upaya pengadaan tanah bagi pelaksanaan pembangunan
untuk kepentingan umum ada perbedaan antara pemberian ganti rugi
kepada pemegang hak atas tanah dengan mereka yang tidak mempunyai
hak atas tanah, tetapi menempati/memakai tanah yang akan dibebaskan.
Bagi mereka yang tidak mempunyai hak atas tanah akan diberikan
uang santunan/uang pesangon. Besarnya uang pesangon/santunan yang
diberikan kepada yang memakai tanah tanpa suatu hak ditetapkan oleh
panitia menurut pedoman yang di tetapkan oleh Bupati/Walikotamadya.70
Terhadap tanah yang digarap tanpa izin yang berhak atau kuasanya,
penyelesaian dilakukan berdasarkan Undang-undang no. 51 Prp Tahun
70Lihat, Pasal 20 (1) dan (2) Peraturan Menteri Agraria/Kepala badan Pertanahan
Nasional No. 1 Tahun 1994, tentang ketentuan Pelaksanaan Keputusan Presiden RI No. 55 Tahun 1993
(47)
1960, tentang Larangan Pemakaian Tanpa Izin Yang Berhak Atay
Kuasanya. 71
Jika kita mengacu pada Keputusan Presiden No. 55 Tahun 1993 jo.
Peraturan Menteri Agraria No.1 Tahun 1994, maka bagi mereka yang
tidak memiliki tanda bukti hak atas anah, apabila tanahnya diambil untuk
pembangunan kepentingan umum maka mereka tidak berhak atas ganti
rugi tersebut. Mereka ini hanya berhak atas uang santunan, yang besarnya
ditentukan oleh Bupati/Walikotamadya.Taksiran nilai tanah mmenurut
jenis hak untuk tanah hak milik yang belum bersertifikat dinilai 90%
(sembilan puluh persen).
Berdasarkan ketentuan ini, maka bagi mereka yang
menguasai tanah tanpa izin yang berhak atau kuasanya tidak diberikan
ganti rugi, namun harus diselesaikan secara musyawarah dan memberikan
uang pesangon/santunan kepada mereka.
72
Kebijakan yang memberikan wewenang pada
Bupati/Walikotamadya untuk menetapkan besarnua uamh santunan ini
perlu ditinjau kembali, hal ini dikarenakan dalam praktek banyak terjadi
besarnya uang santunan yang masih belum memenuhi rasa keadilan
masyarakat..Walaupun masyarakat ini tidak memiliki hak atas tanah, tapi
dalam pemberian uang santunan haruslah dipertimbangkan adanya hak
untuk hidup dan hak untuk tinggal. Mereka yang menempati tanah tanpa
71
Lihat, Pasal 22 Keppres No. 55 Tahun 1993 72
(48)
hak ini telah berlangsung bertahun-tahun dan tidak ada orang lain yang
mengklaim keberadaan mereka.73
Penggantian terhadap bidang tanah yang dikuasai dengan hak ulayat
diberikan dengan bentuk pembangunan fasilitias umum atau bentuk lain
yang bermandaat bagi masyarakat setempat.
Di samping itu, fakta juga menunjukkan bahwa keberadaan
orang-orang ini diakui oleh aparat pemeringtah setempat, yaitu dengan cara
mengeluarkan Kartu Tanda Penduduk bagi mereka. Keberadaan mereka
ini sudah sepatutnya mendapatkan apresiasi yang layak dan bukan
sebaliknya dinyatakan sebagai penyerobot tanah, dan kemudian
mengeleminir hak-hak yang seharusnya mereka peroleh. Pemberian uang
santunan nantinya akan dapat digunakan untuk membeli tanah dan
mengurus sertifikat atas tanah yang dimiliknya tersebut. Jika pemberian
uang santunan tidak memadai, maka otomatis pengadaan tanah bagi
pembangunan kepentingan umum menyebabkan mereka menjadi korban
pembangunan yang mengatasnamakan kepentingan umum.
74
Yang dimaksud dengan
ulayat adalah tanah masyarakat hukum adat yang tidak mengandung unsur
kepemilikan perseoragan. 75
73
Syafruddin Kalo, Pengadaan Tanah bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum, Pustaka Bangsa Press Jakarta, 2004, hal.102
74
Lihat, Pasal 14 Keppres No. 55 Tahun 1993. 75
Lihat, Pasal 1 butir f Peraturan Menteri Agraria/Kepala BPN No. 1 Tahun 1994 Begitu juga terhadap tanah wakaf ganti
kerugiannya diberikan dalam bentuk tanah, bangunan dan perlengkapan
yang diperlukan dan diberikan ganti rugi kepada nadzir sebagai pihak yang
(49)
jo. Perpres No. 65 Tahun 2006, bahwa ganti rugi diserahkan langsung
kepada :
1) Pemegang hak atas tanah atau yang berhak sesuai dengan peraturan
perundang-undangan
2) Nadzir bagi tanah wakaf
Sehubungan dengan sifat kekebalan dan keabadian dari wakaf, harta
benda wakaf terlembagakan untuk selamanya dan digunakan untuk
kepentingan peribadatan atau kepentingan umum yang akan membawa
kemaslahatan bagi masyarakat. Dengan dasar tersebut dalam hal harta
benda wakaf terkena proyek pengadaan tanah untuk kepentingan umum,
maka diberikan penukaran dengan harta benda pengganti sehingga akan
tetap melanjutkan tujuan dari harta benda wakaf itu untuk membawa
kemaslahatan dan kepentingan umum. Sejalan dengan hal tersebut adalah
ketentuan yang telah diatur dalam UU No. 41 Tahun 2004 tentang Wakaf
bahwa harta benda wakaf dilarang diubah statys dan dialihkan dalam
bentuk apapun kecuali dengan bentuk penukaran yang ditujukan untuk
kepentingan umum sesuai dengan rencana umum tata ruang (RUTR)
berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan
tidak bertentangan dengan syariah. Harta benda wakaf tersebut wajib
ditukar dengan harta benda yang manfaat dan nilai tukar
(50)
D. Pelaksanaan Pemberian Ganti Kerugian atas Hak Milik di Kecamatan Medang Deras Kabupaten Batubara
Dalam melaksanakan pembangunan nasional, maka setiap kegiatan
fisiknya memerlukan tanah yang cukup dan demikian juga dengan pengadaan
tanah demi kepentingan umum seperti pelebaran jalan rel yang dilaksanakan di
Kecamatan Medang Deras.Istilah dari “pengadaan” atau “penyediaan” tanah
dimaksudkan untuk kepentingan pemerintah maupun swasta dalam rangka
pembangunan proyek atau pembangunan sesuai dengan program yang telah
ditetapkan.76
Ganti rugi dibatasi sebagai penggantian terhadap kerugian baik bersifat
fisik dan/atau nonfisik sebagai akibat pengadaan tanah kepada yang
mempunyai tanah, bangunan, tanaman, dan/atau benda-benda lain yang
mempunyai tanah, bangunan, tanaman, dan/atau benda-benda lain yang
berkaitan dengan tanah yang dapat memberikan kelangsungan hidup yang lebih
baik dari tingkat kehidupan sosial ekonomi sebelum terkena pengadaan
tanah.77
76
John Salindeho, Op.Cit, hal. 2-6. 77
Republik Indonesia, Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2005 Tentang Pengadaan Tanah bagi Pelaksanaan Pembangunan untuk Kepentingan Umum, Pasal 1 angka 11.
Bentuk ganti kerugian yang ditawarkan seharusnya tidak hanya ganti
kerugian fisik yang hilang, tetapi juga harus menghitung ganti kerugian non
fisik seperti pemulihan kondisi sosial ekonomi masyarakat yang dipindahkan
kelokasi yang baru. Sepatutnya pemberian ganti kerugian tersebut harus tidak
membawa dampak kerugian kepada pemegang hak atas tanah yang kehilangan
(51)
lebih baik atau minimal sama pada waktu sebelum terjadinya kegiatan
pembangunan.78
Dalam proses pengadaan tanah, maka proses yang paling penting
adalah musyawarah yang dilakukan antara pihak yang berhak dengan
pihak/instansi pemerintah atau yang melakukan pengadaan tanah. Dengan kata
lain, tanpa adanya proses musyawarah antara para pihak maka bengadaan tanah
bagi pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum tidak akan pernah
terjadi atau terealisasi. Musyawarah pada dasarnya mengandung proses saling
mendengar, saling memberi dan saling menerima pendapat, serta keinginan
untuk mencapai kesepakatan menganai bentuk dan besarnya ganti rugi dan
masalah lainyangberkaitan dengan kegiatan pengadaan tanah atas dasar
kesetaraan dan kesukarelaan antara pihak yang mempunyai tanah, bangunan,
tanaman dan benda-benda lain yang berkaitan dengan tanah dengan pihak yang
memerlukan tanah. 79
78
Maria. S. W. Soemardjono, Op. Cit, hlm.200. 79
Perpres No. 36/2006 Pasal 1 ayat (10)
Dalam proses pelaksanaan pelebaran jalan rel di
Kecamatan Medang Deras ini didahului dengan sosialisasi program yang
dilakukan pada awal bulan Mei 2015 dan dilakukan musyawarah sebanyak
lima kali di Kantor Pertanahan Kecamatan Medang Deras yang dihadiri oleh
Panitia pengadaan Tanah dan para warga yang tanahnya akan dilakukan
pengadaan tanah. Dalam proses musyawarah tersebut, semuanya berlangsung
dengan baik dalam artian tidak adanya intimidasi atau paksaan dari pihak yang
(52)
dilakukan tawar-menawar harga antar pihak dan ditetapkan sebesar 2.000.000
rupiah sampai dengan 2.800.000 rupiah dimana patokan harga tersebut
tergantung dengan kelengkapan dan keabsahan surat, hak atas tanah dan lokasi
tanah tersebut. Mengenai hak atas tanah, maka yang memegang hak guna
usaha dan hak pakai mendapatkan ganti kerugian sebesar 2.400.000 rupiah jika
lokasi tanahnya berada di pinggiran jalan raya dan 2.000.000 untuk tanah yang
berada di bagian belakang.Untuk pemegang hak milik maka diberikan ganti
kerugian sebesar 2.800.000 rupiah jika lokasi tanahnya berada di pinggiran
jalan raya dan 2.400.000 untuk tanah yang berada di bagian belakang.
Keabsahan surat yang dimaksud adalah mengenai subjek hak milik
yang terdiri dari80
a) Hanya warga Negara Indonesia dapat mempunyai Hak Milik
:
b) Oleh Pemerintah ditetapkan badan-badan hukum yang dapat mempunyai
Hak Milik dan syarat-syaratnya.
c) Orang asing yang sesudah berlakunya Undang-Undang ini memperoleh
Hak Milik karena Pewarisan tanpa wasiat atau percampuran harta karena
perkawinan, demikian pula warga negara Indonesia yang mempunyai Hak
Milik setelah berlakunya Undang-Undang ini kehilangan
kewarganegaraannya wajib melepaskan hak itu dalam jangka waktu 1
(satu) tahun sejak diperolehnya hak tersebut atau hilangnya
kewarganegaraan tersebut. Jika sesudah jangka waktu itu lampau Hak
Milik tidak dilepaskan, maka hak itu hapus karena hukum dan tanahnya
(53)
jatuh kepada Negara, dengan ketentuan bahwa hak-hak pihak lain yang
membebaninya tetap berlangsung.
d) Selama seseorang di samping kewarganegaraan Indonesia juga
memperoleh kewarganegaran asing maka ia tidak dapat mempunyai tanah
dengan hak miik dan baginya berlaku ketentuan dalam ayat (3) Pasal ini.
Berdasarkan ketentuan di atas maka menurut pendataan dari panitia
pengadaan tanah, bahwa seluruh pemilik hak milik telah memenuhi
syarat-syarat yang terdapat dalam pasal tersebut sehingga tidak begitu sulit dalam
menentukan besaran ganti kerugian tersebut.
Dalam musyawarah tersebut tidak terjadi banyak ketidaksepahaman
dikarenakan menurut responden harga yang ditetapkan telah diatas harga pasar
atau harga standard tanah sehingga tidak membutuhkan waktu yang lama
untuk menyetujui besaran ganti rugi tersebut. Adapun yang menjadi beberapa
masalah dalam pemberian ganti kerugian dalam proyek Pelebaran Jalur Kereta
Api (PJKA) ini adalah sebagai berikut :
1. Adanya kesalahan tafsiran harga terhadap tanah yang dimiliki narasumber.
Kesalahan tafsiran harga ini dikarenakan kesalahan pengukuran oleh
panita pengadaan tanah sehingga pemberian ganti kerugian terhadap
narasumber belum terlaksanakan disaat beberapa masyarakat lain telah
menerima besaran ganti kerugian tersebut. Namun, PT.KAI telah
menjanjikan pemberian ganti kerugian yang akan diberikan setelah
pendataan ulang oleh panitia pengadaan tanah setempat.
2. Dana yang tidak langsung dikeluarkan kepada seluruh masyarakat
(54)
3. Pendataan yang memakan waktu lama dikarenakan ketidak lengkapan
surat-surat yang dimiliki masyarakat Kecamatan Medang Deras
Kabupaten Batu Bara.81
Sehingga dalam pelaksanaan pengadaan tanah untuk pembangunan demi
kepentingan umum di Kecamatan Medang Deras Kabupaten Batu Bara khususnya
dalam proses musyawarah dan pemberian ganti kerugiannya tidak terdapat banyak
masalah yang berarti dikarenakan besaran ganti kerugian yang sudah sesuai
dengan tarif harga dasar tanah tersebut hanya saja beberapa keterlambatan yang
masih bisa di tolerir oleh masyarakat dimana seluruh proses pemberian ganti
kerugian yang dilaksanakan telah sesuai dan sejalan dengan yang telah ditetapkan
oleh peraturan perundang-undangan.
Menurut keterangan narasumber, para pihak yang telah mendapatkan ganti
kerugian tersebut tidak diberikan berita acara, hanya berupa tanda terima bukti
penerimaan ganti kerugian yang diberikan oleh pihak Panitia Pengadaan
Tanah.Hal ini bertentangan dengan ketentuan pemberian ganti kerugian dalam
Perpres No. 71 Tahun 2012 dalam Pasal 83 bahwa pemberian ganti kerugian
harus dimuat dalam berita acara pemberian ganti kerugian yang memuat tentang
daftar Pihak yang Berhak penerima Ganti Kerugian, bentuk dan besarnya Ganti
Kerugian yang telah diberikan, daftar dan bukti pembayaran/kwitansi dan berita
acara Pelepasan hak atas tanah atau penyerahan tanah dimana dengan tidak
adanya berita acara tersebut maka akan menimbulkan masalah di kemudian hari
walaupun tidak ada dirasa permasalahan yang konkrit pada saat ini di tengah
masyarakat.
81Wawancara dengan M.Mujianto, tanggal 01 September 2016, di Kecamatan
(55)
Adapula lancarnya pelaksanaan pemberian ganti kerugian ini disebabkan
oleh peran aktif dari masyarakat yang bersedia hadir dalam sosialisasi baik secara
langsung atau diwakili kuasanya dan dalam berjalannya musyawarah tersebut
tidak ada yang memberikan tekanan sepihak sehingga semuanya berjalan dengan
tertib dan adanya kerja sama antar pihak.82
(56)
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan
1. Pengadaan tanah merupakan suatu kegiatan untuk mendapatkan tanah
dengan cara memberikan ganti rugi kepada yang melepaskan atau
menyerahkan tanah, bangunan, dan benda-benda yang berkaitan dengan
tanah dimana pengaturan hukum tentang pengadaan tanah untuk
kepentingan umum di Indonesia telah mengalami proses perkembangan
sejak unifikasi Undang-Undang Pokok Agraria Nomor 5 Tahun 1960 dan
dilakukan dengan cara yang diatur dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri
Nomor 15 Tahun 1975. Dalam pelaksanaannya maka dibentuk Panitia
Pengadaan Tanah yang tugas utamanya adalah mengadakan penelitian atas
tanah, bangunan, tanaman dan benda-benda lain yang ada di atas tanah, ,
mengadakan penelitian mengenai status hukum tanah dan menetapkan
besarnya ganti rugi atas tanah.
2. Frasa “kepentingan umum” tidak mempunyai pengertian atau batasan yang
jelas sehingga terdapat beberapa pandangan yang memberikan penjelasan
tentang itu dan salah satunya Parlindungan memberikan catatan bahwa
kepentingan umum adalah kepentingan seluruh lapisan masyarakat,
tentunya berdampak untuk kepentingan masyarakat luas dan tidak terbatas
pada pemerintah saja, sedangkan dalam kaitannya dengan pencabutan hak,
diatur dalam Undang-Undang No. 20 Tahun 1961.
3. Dalam Penetapan Ganti Kerugian dilakukan dengan cara musyawarah
(57)
masyarakat dengan Penetapan besarnya nilai ganti kerugian dilakukan oleh
Ketua Pelaksana Pengadaan Tanahberdasarkan hasil penilaian jasa penilai
atau penilai publik dan dalam prakteknya di Kecamatan Medang Deras
setelah dilakukan wawancara dengan salah satu masyarakat yang tinggal
disana telah dilaksanakan dengan baik dan sesuai dengan prosedur yang
ada dimana pemberian ganti kerugian dianggap layak walaupun terjadi
beberapa kesalahan yang dilakukan oleh pihak PT.KAI.
B. Saran
1. Perlunya peningkatan sosialisasi kepada masyarakat mengenai pengertian
dan pengaturan pengadaan tanah sehingga jika suatu saat tanahnya akan
dibebaskan atau dilakukan pengadaan tanah maka masyarakat tidak
kesulitan dalam menangani surat-surat hak atas tanah khususnya hak
milik.
2. Kepada pemerintah agar lebih tegas dalam menentukan kriteria atau
batasan-batasan kepentingan umum dalam peraturan perundang-undangan
sehingga tidak terjadi berbagai penafsiran mengenai kepentingan umum
yang pada masa-masa ini menjadi kabur sehingga sering disalahgunakan
oleh pihak-pihak yang mencari keuntungan.
3. Kepada pihak Panitia Pengadaan Tanah agar memberikan informasi dan
memberikan penyuluhan terhadap masyarakat yang masih belum mengerti
mengenai prosedur dalam pengadaan tanah khususnya dalam proses
(1)
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, yang telah memberikan rahmat sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan judul “Tinjauan Yuridis Ganti kerugian atas Hak Milik dalam Pengadaan tanah untuk Kepentingan Umum di Kecamatan Medang Deras”.Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk menempuh ujian tingkat sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih banyak kekurangan, baik itu disebabkan literatur maupun pengetahuan penulis sehingga skripsi ini jauh dari kata sempurna. Dengan lapang dada penulis selalu akan menerima kritik dan saran yang bersifat membangun dari segala pihak.
Selama menyelesaikan skripsi ini, tentunya tidak lepas dari bantuan, bimbingan dan arahan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, maka pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terimakasih kepada :
1. Bapak Prof. Dr. Runtung Sitepu, S.H., M. Humselaku Rektor Universitas
Sumatera Utara (USU) serta selaku Dosen Penasehat Akademik penulis dari awal semester hingga akhir semester yang selalu mendukung dan memberi nasihat.
2. Bapak Prof. Dr. Budiman Ginting, S.H., M.Hum selaku Dekan Fakultas
Hukum Universitas Sumatera Utara (USU).
3. Bapak Dr. O.K. Saidin, S.H., M.Hum selaku Pembantu Dekan I Fakultas
(2)
4. Ibu Puspa Melati Hasibuan, S.H., M.Hum selaku Pembantu Dekan II Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara (USU) .
5. Bapak Dr. Jelly Leviza, S.H., M.Hum selaku Pembantu Dekan III Fakultas
Hukum Universitas Sumatera Utara (USU).
6. Ibu Suria Ningsih, S.H., M.Hum selaku Ketua Departemen Hukum
Administrasi Negara Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara (USU).
7. Prof. Dr. Muhammad Yamin, S.H., M.S., C.N. selaku Ketua Program
Kekhususan Hukum Agraria serta Dosen Pembimbing II dimana dalam kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya karena beliau telah meluangkan banyak waktu dan perhatian dalam memberikan petunjuk serta bimbingan, memberi nasihat dan motivasi kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.
8. Bapak Affan Mukti, S.H., M.Hum.selaku Dosen Pembimbing I dan pada
kesempatan ini penulis juga ingin mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya karena beliau telah memberikan arahan dan bimbingan serta nasihat yang sangat membantu penulis dalam penulisan skripsi ini.
9. Ibu Zaidar, S.H., M.Humselaku sebagai Dosen Dalam Program
Kekhususan Hukum Agraria.
10. Ibu Mariati Zendrato, S.H., M.Hum selaku sebagai Dosen Dalam
Program Kekhususan Hukum Agraria.
11. Bapak/Ibu Dosen Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara
seluruhnya yang telah mendidik dan membimbing penulis selama tujuh semester dalam menempuh pendidikan perkuliahan di Fakultas Hukum
(3)
Universitas Sumatera Utara serta semua unsur staf administrasi di Fakultas Hukum Universitas Sumatera utara.
12. Terima kasih kepada Bapak selaku salah satu masyarakat yang dulunya bertempat tinggal di Kecamatan Medang Deras yang telah meluangkan waktunya untuk melakukan tanya-jawab dan telah memberikan informasi yang sangat membantu penulis dalam penulisan skripsi ini. Juga berterima kasih kepada Anggie Sihotang, S.H. selaku abang penulis yang telah memperkenalkan penulis dengan narasumber serta memberikan banyak masukan yang membangun selama penulisan skripsi ini.
13. Terima kasih yang sebesar-besarnya penulis ucapkan kepada Ayah penulis, Alexander yang selalu setia berdoa serta memberikan dukungan yang tanpa hentinya terhadap penulis dan semangat yang tiada batasnya. Juga kepada Ibu penulis, Suwarni yang juga selalu setia berdoa serta memberikan kasih sayang yang berlimpah serta dengan sabar selalu memberikan nasihat kepada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan penuh sukacita. Dan juga kepada tante penulis, Rina yang selalu memberikan semangat dan dorongan agar penulis dapat selalu tekun dalam mengerjakan skripsi ini.
14. Adik-adik penulis, Fernanda dan Friska yang sangat penulis sayang, yang selalu memberikan sukacita kepada penulis dalam proses menyelesaikan skripsi ini.
15. Teman-teman seperjuangan ( Adrina Siregar, Andreas Wijaya, Anjali Bestari, Alexander Leo, Beneditha, Briando Roy, Carin Felina, Cashin, Evi Veronika, Ferdinand, Haris Saputra, Liga Ginting, Jesseline,
(4)
Magdalena Sitompul, Melvin, Misael Tamaris, Nathasia Geovanni Saragih, Paula, Rissa Putri, Rudyanto Jo, Silvya, Sony Tambunan, Tamiarisa Rambe, Theovani, Valentina , Vanessa Wijaya dan Wilson Mandiri) serta rekan-rekan seperjuangan stambuk 2013 khususnya di Program Kekhususan Agraria yang tidak bisa penulis sebutkan satu persatu yang telah membantu dalam penulisan skripsi ini dan memberikan sukacita selama perkuliahan.
16. Teman-teman di luar kampus ( Elisa, Hani Syahida Harahap, Melvinemha dan Yosia Irene) yang selalu memberikan semangat serta kasih sayang kepada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi dan perkuliahan dengan sukacita.
Akhir kata, penulis ingin mengucapkan terima kasih terhadap semua pihak yang mungkin tidak dapat disebutkan satu persatu namun telah memberikan semangat kepada penulis dan penulis sadar bahwa penulis masih belum sempurna dalam menyelesaikan skripsi ini. Penulis juga ingin meminta maaf kepada Bapak/Ibu Dosen Pembimbing dan Dosen Penguji atas tindakan, perilaku ataupun ucapan yang kurang berkenan selama proses bimbingan dan penulisan skripsi ini. Selanjutnya tulisan ini dipersembahkan untuk pengembangan ilmu pengetahuan dan semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi semua pihak.
Medan, 17Desember 2016 Penulis,
(FLORENSHIA) 130200374
(5)
DAFTAR ISI
ABSTRAK ... i
KATA PENGANTAR ... ii
DAFTAR ISI ...vi
BAB I PENDAHULUAN ... 1
A. Latar Belakang... 1
B. Permasalahan ... 7
C. Tujuan Penulisan ... 7
D. Manfaat Penulisan ... 7
E. Tinjauan Pustaka ... 8
F. Metode Penelitian ... 18
G. Keaslian Penulisan ... 21
H. Sistematika Penulisan ... 21
BAB II. PERATURAN MENGENAI PENGADAAN TANAH DAN PERKEMBANGANNYA A. Pengertian dan Dasar Hukum Pengadaan Tanah ... 23
B. Tinjauan Hukum dan Terminologi dari Pencabutan,Pembebasan, Pelepasan dan Pengadaan Tanah ... 28
C. Panitia Pengadaan Tanah ... 40
BAB III. KEPENTINGAN UMUM SEBAGAI SYARAT DALAM PENGADAAN TANAH A. Konsep Kepentingan Umum ... 45
B. Kepentingan Umum dalam berbagai perspektif ... 47
C. Asas-Asas Pengadaan Tanah demi Kepentingan Umum ... 57
D. Pengaturan mengenai Tata Cara Pengadaan Tanah untuk Kepentingan Umum ... 70
(6)
BAB IV. PEMBERIAN GANTI KERUGIAN ATAS PENGADAAN TANAH UNTUK KEPENTINGAN UMUM
A. Tinjauan Umum Ganti Rugi ... 77
B. Bentuk dan Dasar Ganti Rugi dalam Pengadaan Tanah ... 80
C. Cara Penetapan Ganti Kerugian dan Pihak yang Berhak Mendapatkan .. ... 82
D. Pelaksanaan Pemberian Ganti Kerugian atas hak milik di Kecamatan Medang Deras Kabupaten Batubara ... 91
BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN ... 96
A. Kesimpulan ... 96
B. Saran ... 97