Pengaruh Fungsi Keluarga (Fungsi Reproduksi , Fungsi Ekonomi) Dan Pola Asuh Orang Tua Terhadap Pernikahan Dini Di Kelurahan Bagan Deli Kecamatan Medan Belawan Tahun 2014

12

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Keluarga
Depkes RI (1988) mengemukakan bahwa keluarga adalah unit terkecil dari
masyarakat yang terdiri dari kepala keluarga dan beberapa orang yang berkumpul dan
tinggal di suatu tempat di bawah satu atap dalam keadaan saling ketergantungan.
Sedangkam menurut Friedman (1998) menyatakan keluarga adalah dua orang atau
lebih yang bergabung karena ikatan tertentu untuk berbagi pengalaman dan
pendekatan emosional serta mengidentifikasi diri mereka sebagai bagian dari
keluarga (Zoelkifly, 2013).

2.2 Fungsi Keluarga
Keluarga dengan berbagai fungsi yang dijalankan adalah sebagai wahana
dimana seorang individu mengalami proses sosialisasi yang pertama kali, sangat
penting artinya dalam mengarahkan terbentuknya individu menjadi seorang yang
berpribadi. Sebagai bagian yang tak terpisahkan dengan masyarakat, keluarga
mempunyai korelasi fungsional dengan masyarakat tertentu, oleh karena itu dalam
proses pengembangan individu menjadi seorang yang berpribadi hendaknya

diarahkan sesuai dengan struktur masyarakat yang ada, sehingga seorang individu
menjadi seorang yang dewasa dalam arti mampu mengendalikan diri dan melakukan
hubungan – hubungan sosial di dalam masyarakat yang cukup majemuk.

12

13

Dalam kehidupan keluarga sering kita jumpai adanya pekerjaan-pekerjaan
yang harus dilaksanakan didalam atau diluar keluarga. Suatu pekerjaan atau tugas
yang harus dilakukan di dalam atau di luar keluarga disebut fungsi. Fungsi keluarga
merupakan upaya yang sangat strategis dalam membangun keluarga sejahtera dan
menciptakan manusia

yang berkualitas, berarti keluarga telah diberdayakan dari

banyak sisi dalam kelangsungan hidupnya, sehingga terukur sosok keluarga yang
ideal dan harmonis. Munculnya krisis dalam rumah tangga dapat mengakibatkan
tidak terlaksananya fungsi keluarga (BKKBN, 2000).
Ke- 8 (delapan) fungsi keluarga menurut BKKBN (Zaidin, 2006) adalah:

1.

Fungsi Keagamaan
Keluarga sebagai wahana persemaian nilai-nilai agama dan nilai-nilai luhur
budaya bangsa untuk menjadi insan yang penuh iman dan taqwa kepada Tuhan
Yang Maha Esa.

2.

Fungsi Sosial Budaya
Keluarga memberikan kesempatan kepada keluarga dan seluruh anggotanya
untuk mengembangkan kekayaan budaya bangsa yang beraneka ragam dalam
satu kesatuan.

3.

Fungsi Cinta Kasih
Keluarga memberikan landasan yang kokoh terhadap hubungan anak dengan
anak, suami dengan istri, orang tua dengan anaknya, serta hubungan kekerabatan
antar generasi sehingga keluarga menjadi wadah utama bersemainya kehidupan

yang penuh cinta kasih lahir dan batin.

14

4.

Fungsi Perlindungan
Untuk memberikan rasa aman secara lahir dan batin kepada setiap anggota
keluarga

5.

Fungsi Reproduksi
Keluarga menjadi pengatur reproduksi keturunan secara sehat dan berencana,
sehingga anak – anak yang dilahirkan menjadi generasi penerus yang berkualitas.

6.

Fungsi Pendidikan
Keluarga merupakan tempat pendidikan utama dan pertama dari anggota

keluarga yang berfungsi untuk meningkatkan fisik, mental, sosial dan spiritual
secara serasi, selaras dan seimbang agar bisa melakukan penyesuaian dengan
alam kehidupan di masa depan.

7.

Fungsi Ekonomi
Keluarga meningkatkan keterampilan dalam usaha ekonomis produktif agar
pendapatan keluarga meningkat dan tercapai kesejahteraan keluarga.

8.

Fungsi Pembinaan Lingkungan
Keluarga meningkatkan diri dalam lingkungan sosial budaya dan lingkungan
alam sehingga tercipta lingkungan yang serasi, selaras dan seimbang.
Kedelapan fungsi keluarga ini merupakan salah satu cara yang dapat

dilakukan orang tua dalam membantu pembentukan karakter anak sehingga memiliki
kepribadian yang matang.
Menurut Levy (Yustina, 2007), bahwa tanpa ada pembagian tugas yang jelas

pada masing-masing anggota keluarga dengan status sosialnya maka fungsi keluarga

15

akan terganggu/tidak terlaksana yang selanjutnya akan mempengaruhi pelaksanaan
fungsi keluarga. Aspek fungsional sulit dipisahkan dengan aspek struktural karena
saling berkaitan. Seseorang dalam status sosial tertentu akan tidak lepas dari perannya
yang diharapkan karena status sosialnya, yang semuanya ini berfungsi untuk
kelangsungan hidup atau pencapaian keseimbangan dalam suatu keluarga.
Untuk dapat menjalankan fungsi tersebut secara maksimal, sehingga orang tua
harus memiliki kualitas diri yang memadai, sehingga anak-anak akan berkembang
sesuai dengan harapan. Artinya orang tua harus memahami hakikat dan peran mereka
sebagai orang tua dalam membesarkan anak, membekali diri dengan ilmu tentang
pola pengasuhan yang tepat, pengetahuan tentang pendidikan yang dijalani anak, dan
ilmu tentang perkembangan anak.
Pendampingan orang tua dalam pendidikan anak diwujudkan dalam suatu
cara-cara orang tua mendidik anak. Cara orang tua mendidik anak inilah yang disebut
sebagai pola asuh. Setiap orang tua berusaha menggunakan cara yang paling baik
menurut mereka dalam mendidik anak. Untuk mencari pola yang terbaik maka
hendaklah orang tua mempersiapkan diri dengan beragam pengetahuan untuk

menemukan pola asuh yang tepat dalam mendidik anak (Idrus, 2002).
2.2.1

Fungsi Reproduksi
Menurut Zaidin (2006), bahwa fungsi reproduksi memberikan keturunan yang

berkualitas melalui pengaturan dan perencanaan yang sehat dan menjadi insan
pembangunan yang handal.

16

Dalam fungsi reproduksi diharapkan keluarga dapat menyelenggarakan
persiapan-persiapan terjadi proses kelangsungan keturunan. Dengan persiapan yang
cukup matang dapat mewujudkan suatu bentuk kehidupan rumah tangga yang baik
dan harmonis yang dapat membawa pengaruh yang baik pula bagi kehidupan anakanaknya (Wicaksono, 2013).
Fungsi reproduksi (BKKBN, 2000) meliputi :
a.

Keluarga secara tegas bertanggung jawab memberi penyadaran agar anak tidak
menyalahkan fungsi reproduksinya


b.

Keluarga membimbing anak menjaga kebersihan organ reproduksinya.

c.

Keluarga memperkuat iman dan takwa dalam menjaga kesehatan reproduksi

d.

Keluarga dapat diskusi tentang perilaku pranikah.

e.

Keluarga berani katakan “tidak“ untuk penyimpangan dalam kesehatan
reproduksi

f.


Keluarga pertahankan diri untuk tidak lakukan hubungan sexual hindari
pelecehan sexual

g.

Keluarga berikan informasi akibat hubungan sex yang menyimpang

h.

Keluarga hindari pergaulan bebas

i.

Keluarga ajarkan berbusana sopan
Fungsi ini dipengaruhi (Taufan, 2010) oleh faktor :
a. Faktor sosial-ekonomi dan demografi, terutama kemiskinan, tingkat
pendidikan yang rendah dan ketidaktahuan tentang perkembangan seksual dan
proses reproduksi, serta lokasi tempat tinggal.

17


b. Faktor budaya dan lingkungan, misalnya praktek tradisional yang berdampak
buruk pada kesehatan reproduksi, kepercayaan banyak anak banyak rezeki,
informasi tentang fungsi reproduksi yang membingungkan anak dan remaja
karena saling berlawanan satu dengan yang lain, dsb.
c. Faktor psikologis, dampak pada keretakan orang tua dan remaja, depresi
karena ketidak seimbangan hormonal, rasa tidak berharga wanita terhadap
pria yang memberi kebebasan secara materi.
d. Faktor biologis, yaitu cacat sejak lahir pada saluran reproduksi, pasca
penyakit menular seksual.
2.2.2

Fungsi Ekonomi
Menurut Friedman (1998), fungsi ekonomi adalah fungsi untuk memenuhi

kebutuhan keluarga, seperti makanan, pakaian, perumahan, dan lain-lain (Zaidin,
2006).
Pengelolaan fungsi ekonomi keluarga dengan baik sehingga terjadi keserasian,
keselamatan dan keseimbangan antara pemasukan dan pengeluaran keluarga,
mengatur waktu sehingga kegiatan orang tua diluar rumah dan perhatiaanya terhadap

anggota rumah tangga bejalan serasi, selaras, dan seimbang, membina kegiatan dan
hasil ekonomi keluarga sebagai modal untuk mewujudkan keluarga kecil bahagia dan
sejahtera (BKKBN, 2012).
Fungsi ekonomi (BKKBN, 2000) meliputi :
a.

Keluarga berhemat intuk sisihkan uang untuk ditabung

b.

Keluarga berikan sesuatu atas kebutuhan bukan atas keinginan

18

c.

Keluarga mencanakan pengeluaran harian/bulanan bersama anak

d.


Keluarga teliti dalam membimbing anak melihat kembali tugas sekolah / rumah

e.

Keluarga disiplin dalam penggunaan anggaran ssuai kesepakatan (mis : uang
saku).

f.

Keluarga peduli dalam memberi bantuan uang kepada orang yang memerlukan

g.

Keluarga tak kenal menyerah / putus asa (ulet dalam bekerja)

h.

Keluarga dapat berbesar hati bila menghadapi kegagalan.
Fungsi ini dipengaruhi oleh :

a.

Tingkat Pendidikan
Semakin tinggi pendidikan seseorang, maka pengetahuannya akan lebih baik
(Depdikbud, 1996). Tingkat pendidikan seseorang akan berpengaruh dalam
memberi respon terhadap sesuatu yang datang dari luar. Orang yang
berpendidikan tinggi akan memberi respon yang lebih rasional terhadap
informasi yang datang, akan berpikir sejauh mana keuntungan yang mungkin
akan mereka peroleh dari gagasan tersebut (Notoatmodjo, 2007).

b.

Pekerjaan
Pasangan yang menikah dini umumnya belum cukup memiliki pengetahuan dan
ketrampilan serta minimnya pendidikan, sehingga semakin sulit memperoleh
pekerjaan dengan penghasilan yang memadai dan hal ini dapat berpengaruh
pada pendapatan keluarga (Dyna, 2006). Faktor pekerjaan juga mempangaruhi
pengetahuan. Seseorang yang bekerja pengetahuannya akan lebih luas dari pada

19

seseorang yang tidak bekerja, karena dengan bekerja seseorang akan banyak
mempunyai informasi.
c.

Pendapatan
Pendapatan keluarga merupakan faktor yang paling menentukan kuantitas dan
kualitas keluarga dalam pelaksanaan fungsi keluarga.Terkait dengan batasan
umur pernikahan, bahwa umur seseorang mempunyai peranan dalam pernikahan.
Umur seseorang berhubungan dengan aspek fisiologis, psikologis dan sosial
ekonomi, dan jika dikaitkan dengan social ekonomi biasanya anak dibawah isia
20 tahun belum mempunyai sumber penghasilan atau penghidupan sendiri.
Pernikahan yang baik dan penuh tanggung jawab biasanya berkembang bila usia
pria diatas 25 tahun dan kaum wanita diatas 22 tahun (Basri, 2008).

2.3 Kesehatan Reproduksi
Menurut konferensi Internasional Kependudukan dan Pembangunan (1994),
kesehatan reproduksi adalah keadaan sejahtera fisik, mental dan sosial yang utuh
dalam segala hal yang berkaitan dengan fungsi, peran & sistem reproduksi (BKKBN,
2010).
Menurut Depkes RI, kesehatan reproduksi adalah suatu keadaan sehat,secara
menyeluruh mencakup fisik, mental dan kedudukan sosial yangberkaitan dengan alat,
fungsi serta proses reproduksi, dan pemikiran kesehatan reproduksi bukan hanya
kondisi yang bebas dari penyakit, melainkan juga bagaimana seseorang dapat

20

memiliki seksual yang aman dan memuaskan sebelum dan sudah menikah
(Widyastuti, dkk, 2009).
2.3.1

Tujuan Kesehatan Reproduksi
Tujuan kesehatan reproduksi (Taufan, 2010), adalah :

a. Meningkatnya kemandirian wanita dalam memutuskan peran dan fungsi
reproduksinya

termasuk

kehidupan

seksualitasnya,

sehingga

hak

-hak

reproduksinya dapat terpenuhi yang pada akhirnya menuju peningkatan kualitas
hidup.
b. Meningkatnya hak dan tanggung jawab sosial wanita dalam menentukan kapan
hamil, jumlah dan jarak kehamilan.
c. Meningkatnya peran dan tanggung jawab sosial pria terhadap akibat dari perilaku
seksual dan fertilitasnya kepada kesehatan dan kesejahteraan pasangan dan anakanaknya.
d. Dukungan yang menunjang wanita untuk membuat keputusan yang berkaitan
dengan proses reproduksi, berupa pengadaan informasi dan pelayanan yang dapat
memenuhi kebutuhan untuk mencapai kesehatan reproduksi secara optimal.
2.3.2 Hak-hak Reproduksi
Guna mencapai kesejahteraan yang berhubungan dengan fungsi dan proses
sistem reproduksi, maka setiap orang (khususnya remaja) perlu mengenal dan
memahami tentang hak-hak reproduksi (Depkes, 2010) berikut ini :
1)

Hak untuk hidup

2)

Hak mendapatkan kebebasan dan keamanan

21

3)

Hak atas kesetaraan dan terbebas dari segala bentuk diskriminasi

4)

Hak privasi

5)

Hak kebebasan berpikir

6)

Hak atas informasi dan edukasi

7)

Hak memilih untuk menikah atau tidak, serta untuk membentuk dan
merencanakan sebuah keluarga

8)

Hak untuk memutuskan apakah ingin dan kapan mempunyai anak

9)

Hak atas pelayanan dan proteksi kesehatan

10) Hak untuk menikmati kemajuan ilmu pengetahuan
11) Hak atas kebebasan berserikat dan berpartisipasi dalam arena politik
12) Hak untuk terbebas dari kesakitan dan kesalahan pengobatan
2.3.3 Reproduksi Sehat
Reproduksi sehat yaitu umur 20-35 tahun karena berkaitan dengan kesehatan
reproduksi wanita. Secara biologis organ reproduksi lebih matang apabila terjadi
proses reproduksi, secara psikososial kisaran umur tersebut wanita mempunyai
kematangan mental yang cukup memadai, secara sosial demografi wanita telah
menyelesaikan proses pendidikan. Pernikahan yang sehat memenuhi kaidah kesiapan
pasangan

suami

istri

dalam

aspek

biopsikososial

ekonomi

dan

spiritual

(Wahyuningsih dkk, 2009).
Agar dapat melaksanakan fungsi reproduksi secara sehat, dalam pengertian
fisik, dan mental, diperlukan beberapa syarat, diantaranya (Anwar, 2013) :

22

a. Tidak ada kelainan anatomis dan fisiologis baik pada perempuan maupun lakilaki. Antara lain seorang perempuan harus memiliki rongga pinggul yang cukup
besar untuk mempermudah kelahiran bayinya kelak. Ia juga harus memiliki
kelenjar-kelenjar penghasil yang mampu memproduksi hormon yang diperlukan
untuk memfasilitasi pertumbuhan fisik dan fungsi organ reproduksinya.
Perkembangan-perkembangan tersebut sudah berlangsung sejak usia yang sangat
muda. Tulang pinggul berkembang sejak anak belum menginjak remaja dan
berhenti ketika anak itu mencapai usia 20 tahun. Agar semua pertumbuhan itu
berlangsung dengan baik, ia memerlukan makanan dengan mutu gizi yang baik
dan seimbang. Hal ini juga berlaku bagi laki-laki. Seorang laki laki memerlukan
gizi yang baik agar dapat berkembang menjadi laki-laki dewasa yang sehat.
b. Baik laki-laki maupun perempuan memerlukan landasan psikis yang memadai
agar perkembangan emosinya berlangsung dengan baik. Hal ini harus dimulai
sejak anak-anak, bahkan sejak bayi. Sentuhan pada kulitnya melalui rabaan dan
usapan yang hangat, terutama sewaktu menyusu ibunya, akan memberikan rasa
terima kasih, tenang, aman dan kepuasan yang tidak akan ia lupakan sampai ia
besar kelak. Perasaan semacam itu akan menjadi dasar kematangan emosinya
dimasa yang akan datang.
c. Setiap orang hendaknya terbebas dari kelainan atau penyakit, baik langsung
maupun tidak langsung mengenai organ reproduksinya. Setiap lelainan atau
penyakit pada organ reproduksi, akan dapat pula menggangu kemampuan
seseorang dalam menjalankan tugas reproduksinya. Termasuk disini adalah

23

penyakit yang ditularkan melalui hubungan seksual-misalnya AIDS dan Hepatitis
B, infeksi lain pada organ reproduksi, infeksi lain yang mempengaruhi
perkembangan janin, dampak pencemaran lingkungan, tumor atau kanker pada
organ reproduksi, dan ganguan hormonal terutama hormon seksual.
d. Seorang perempuan hamil memerlukan jaminan bahwa ia akan dapat melewati
masa tersebut dengan aman. Kehamilan bukanlah penyakit atau kelainan.
Kehamilan adalah sebuah proses fisiologis. Meskipun demikian, kehamilan dapat
pula mencelakai atau mengganggu kesehatan perempuan yang mengalaminya.
Kehamilan dapat menimbulkan kenaikan tekanan darah tinggi, pendarahan, dan
bahkan kematian. Meskipun ia menginginkan datangnya kehamilan tersebut, tetap
saja pikirannya penuh dengan kecemasan apakah kehamilan itu akan mengubah
penampilan tubuhnya dan dapat menimbulkan perasaan bahwa dirinya tidak
menarik lagi bagi suaminya. Ia juga merasa cemas akan menghadapi rasa sakit
ketika melahirkan, dan cemas tentang apa yang terjadi pada bayinya. Adakah
bayinya akan lahir cacat, atau lahir dengan selamat atau hidup. Perawatan
kehamilan yang baik seharusnya dilengkapi dengan konseling yang dapat
menjawab berbagai kecemasan tersebut.
2.3.4

Faktor-faktor yang Memengaruhi Kesehatan Reproduksi
Secara garis besar dapat dikelompokkan empat faktor yang mempengaruhi

kesehatan reproduksi (Taufan, 2010) yaitu:

24

a. Faktor sosial-ekonomi dan demografi, terutama kemiskinan, tingkat pendidikan
yang rendah dan ketidaktahuan tentang perkembangan seksual dan proses
reproduksi, serta lokasi tempat tinggal.
b. Faktor budaya dan lingkungan, misalnya praktek tradisional yang berdampak
buruk pada kesehatan reproduksi, kepercayaan banyak anak banyak rezeki,
informasi tentang fungsi reproduksi yang membingungkan anak dan remaja
karena saling berlawanan satu dengan yang lain,dsb.
c. Faktor psikologis, dampak pada keretakan orang tua dan remaja, depresi karena
ketidak seimbangan hormonal, rasa tidak berharga wanita terhadap pria yang
memberi kebebasan secara materi.
d. Faktor biologis, yaitu cacat sejak lahir pada saluran reproduksi , pasca penyakit
menular seksual.

2.4 Pola Asuh Orang Tua
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, pola berarti corak, model, sistem,
bentuk (struktur) yang tetap, sedangkan asuh berarti menjaga (merawat dan
mendidik), membimbing (mengepalai dan menyelenggarakan) (Depdikbud,1998).
Menurut Singgih D.Gunarsa (2002), pola asuh orang tua merupakan perlakuan
orang tua dalam interaksi yang meliputi orang tua menunjukkan kekuasaan dan cara
orang tua memperhatikan keinginan anak, yang cenderung mengarah pada pola asuh
yang ditetapkan.

25

Pola asuh orang tua adalah pola perilaku yang diterapkan pada anak yang
bersifat relatif, konsisten dari waktu ke waktu, yang dirasakan oleh anak dari segi
negative maupun positif, yang berbeda tiap keluarga tergantung pandangan tiap orang
tua (Pentranto, 2006).
Pola asuh orang tua adalah pola interaksi antara orang tua dan anak selama
mengadakan kegiatan pengasuhan, mendidik, membimbing, dan mendisiplinkan serta
melindungi anak untuk mencapai kedewasaan sesuai dengan norma-norma yang
berlaku sehingga memberikan corak pembentukan diri, sikap, dan bagaimana anak
bertingkah laku dalam masyarakat (Theresia, 2009).
2.4.1

Faktor-faktor yang Memengaruhi Pola Asuh
Menurut Hurlock (1997), terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi pola

asuh orang tua, yaitu:
a. Tingkat sosial ekonomi
Orang tua yang berasal dari tingkat sosial ekonomi menengah lebih bersikap
hangat dibandingkan orang tua yang berasal dari sosial ekonomi yang rendah.
b. Tingkat Pendidikan
Latar belakang pendidikan orang tua yang lebih tinggi dalam praktek
asuhannya terlihat lebih sering membaca artikel ataupun mengikuti perkembangan
pengetahuan mengenai perkembangan anak. Dalam mengasuh anaknya mereka
menjadi lebih siap karena memiliki pemahaman yang lebih luas, sedangkan orang tua
yang memiliki latar belakang pendidikan terbatas, memiliki pengetahuan dan
pengertian yang terbatas mengenai kebutuhan dan perkembangan anak sehingga

26

kurang menunjukan pengertian dan cenderung akan memperlakukan anaknya denga
ketat dan otoriter.
c. Kepribadian.
Kepribadian orang tua dapat mempengaruhi penggunaan pola asuh. Orang tua
yang konservatif cenderung akan memperlakukan anaknya dengan ketat dan otoriter.
d. Jumlah anak
Orang tua yang memiliki anak hanya 2-3 orang (keluarga kecil) cenderung
lebih intensif pengasuhannya, dimana interaksi antara orang tua dan anak lebih
menekankan pada perkembangan pribadi dan kerja sama antar anggota keluarga
lebih dperhatikan. Sedangkan orang tua yang memiliki anak berjumlah lebih dari lima
orang (keluarga besar) sangat kurang memperoleh kesempatan untuk mengadakan
kontrol secara intensif antara orang tua dan anak, karena orang tua secara otomatis
berkurang perhatiannya pada setiap anak.
2.4.2

Bentuk Pola Asuh Orang Tua
Setiap orang tua, penerapan pola asuhnya berbeda-beda. Menurut Baumrind

(dalam Berstein, 2002) dalam kehidupan sehari-hari jarang sekali orang tua
menggunakan satu jenis pola asuh. Kebanyakan orang tua menggunakan kombinasi
dari kesemua pola asuh yang ada, akan tetapi satu jenis pola asuh akan terlihat lebih
dominan daripada pola asuh lainnya.
Menurut Baumrind, 1978 (dalam Berstein, 2002) menjelaskan 3 bentuk
pola asuh orang tua, yaitu authoritarian parenting style, authoritative parenting style
dan permisive parenting style.

27

a.

Othoritarian Parenting Style (Pola Asuh Otoriter)
Orang tua menetapkan aturan-aturan tertentu dan mengharapkan agar anak-

anaknya mengikuti dan mematuhinya tanpa disertai dengan diskusi ataupun
penjelasan. Orang tua hanya mengenal hukuman dan pujian dalam interaksi orang
tua-anak. Pujian diberikan bila anak melakukan sesuai keinginan orang tua,
sebaliknya hukuman fisik atau verbal diberikan bila anak melakukan tidak sesuai
dengan keinginan orang tua (tertib tanpa kebebasan). Orang tua memberikan batasanbatasan tertentu dan aturan yang tegas terhadap anaknya, sehingga memiliki
komunikasi verbal yang rendah, membatasi ruang gerak anak, dan berorientasi pada
hukuman fisik maupun verbal agar anak patuh dan taat. Ada ketakutan yang tinggi
dalam diri orang tua terhadap anaknya karena adanya pertentangan dalam kemauan
dan keinginan. Jadi anak sering sekali tidak bahagia, ketakutan dan cemas, suka
murung dibandingkan dengan anak lain, gagal memulai suatu kegiatan, menarik diri
karena tidak puas diri dan memiliki ketrampilan komunikasi yang lemah serta anak
rentan terhadap stress.
Menurut Gunarsa (1999), pola asuh orangtua cenderung otoriter, orang tua
dalam menerapkan disiplin dengan cara menentukan aturan–aturan dan batasanbatasan mutlak yang harus ditaati oleh anak. Anak harus patuh dan tunduk dan tidak
ada pilihan lain yang sesuai dengan kemauan atau pendapatnya sendiri. Jika anak tak
memenuhi tuntutan orang tua, akan diancam dan dihukum. Orang tua memerintah
dan memaksa tanpa kompromi. Orang tua menentukan tanpa memperhitungkan
keadaan anak, tanpa menyelami keinginan dan sifat-sifat khusus anak yang berbeda

28

antara anak yang satu dengan yang lainnya. Anak harus patuh dan menurut saja
semua peraturan dan kebijaksanaan orang tua. Sikap keras dianggap sebagai sikap
yang harus dilakukan karena hanya dengan sikap demikian anak menjadi penurut.
b.

Permisive Parenting Style (Pola Asuh Permisif)
Orang tua menekankan ekspresi diri dan self regulation anak (bebas tanpa

ketertiban) serta cenderung menerima semua tingkah laku anak. Orang tua bersikap
terlalu lunak, tidak berdaya, memberi kebebasan terhadap anak tanpa adanya normanorma yang harus diikuti mungkin karena orang tua sangat sayang (over affection)
terhadap anak atau orang tua kurang dalam pengetahuan.
Pola asuh ini ditandai dengan nurturance yang tinggi, namun rendah dalam
tuntutan kedewasaan, kontrol dan komunikasi, cenderung membebaskan anak tanpa
batas, tidak mengendalikan anak, lemah dalam keteraturan hidup, dan tidak
memberikan hukuman apabila anak melakukan kesalahan, dan tidak memiliki
standart bagi perilaku anak, serta hanya memberikan sedikit perhatian dalam
membina kemandirian dan kepercayaan diri anak. Meskipun pola asuh

ini

menghasilkan hubungan orang tua dan anak yang penuh kasih sayang tetapi
cenderung akan menciptakan anak–anak yang berperilaku impulsif dan agresif.
c.

Authoritative Parenting Style ( Pola Asuh Demokratis)
Dimana orang tua mendorong anak untuk bebas tetapi tetap memberikan

batasan dan mengendalikan tindakan-tindakan anak (tertib dengan kebebasan).
Adanya sikap orang tua yang hangat dan bersifat membesarkan hati anak, dan
komunikasi dua arah yang bebas membuat anak semakin sadar dan bertanggung

29

jawab secara sosial. Pola asuh ini merupakan gabungan dari kedua pola asuh yaitu
pola asuh otoriter dan permisif.
Anak diberi kebebasan namun dituntut untuk mampu mengatur dan
mengendalikan diri serta menyesuaikan diri dan keinginannya dengan tuntutan
lingkungan. Oleh karena itu sebelum anak mampu mengatur dan mengendalikan
dirinya sendiri, maka dalam dirinya perlu ditumbuhkan perangkat aturan sebagai alat
kontrol yang dapat mengatur dan mengendalikan dirinya sesuai dengan aturan yang
berlaku di lingkungannya. Dengan demikian anak akan memiliki otonomi untuk
melakukan pilihan dan keputusan yang bernilai bagi dirinya sendiri dan bagi
lingkungannya. Baumrind menekankan bahwa pengasuhan yang demokratis
mengandung prinsip kebebasan dan pengendalian yang saling mengisi, dan bukan
sebagai suatu pertentangan, hubungan orang tua dengan anak memiliki fungsi bagi
orang tua dan anak dan adanya kontrol yang diimbangi dengan pemberian dukungan
dan semangat serta

adanya tujuan yang ingin dicapai yaitu kemandirian, sikap

bertanggung jawab terhadap diri sendiri dan tanggung jawab terhadap lingkungan
masyarakat.
Menurut Hurlock (1999), pada pola asuh demokratis memandang sama
kewajiban dan hak antara orang tua dan anak. Secara bertahap orang tua memberikan
tanggung jawab bagi anak-anaknya terhadap segala sesuatu yang diperbuatnya
sampai mereka menjadi dewasa. Mereka selalu berdialog dengan anaknya, saling
memberi dan menerima, selalu mendengarkan keluhan – keluhan dan pendapat
anaknya.

30

Masing-masing orang tua tentu saja memiliki pola asuh tersendiri dalam
mengarahkan perilaku anak. Hal ini sangat dipengaruh oleh latar belakang pendidikan
orang tua, mata pencaharian hidup, keadaan sosial ekonomi, adat istiadat, dan
sebagainya. Pola asuh orang tua berpendidikan rendah berbeda dengan pola asuh
orang tua yang berpendidikan tinggi. Bermacam-macam pola asuh yang diterapkan
orang tua ini sangat bergantung pada bentuk-bentuk penyimpangan perilaku anak.
Akan tetapi, apabila anak telah menunjukkan tanda yang mengarah ke hal negatif
akan membuat cemas orang tua. Orang tua dapat saja menerapkan berbagai pola asuh
yang dapat diterapkan dalam kehidupan keluarga (Hurlock, 1999).
Dalam mengasuh anak, orangtua hendaknya bersikap arif dan bijaksana, tidak
ekstrim terhadap salah satu pola asuh yang ada, dalam arti mampu memberi
pengasuhan sesuai dengan apa yang sedang dilakukan anak dan apa harapan
orangtua. Jadi orangtua dapat menerapkan ketiga pola asuh tersebut sesuai dengan
situasi dan kondisi. Dengan demikian pengasuhan yang diberikan oleh orangtua lebih
mengutamakan kasih sayang, kebersamaan, musyawarah, saling pengertian dan
penuh keterbukaan keterbukaan. Jika anak-anak dibesarkan dan diasuh dengan pola
asuh yang demokratis, niscaya dapat tumbuh dan berkembang dengan baik. Seluruh
potensi yang dimiliki anak dapat dikembangkan secara optimal. Dengan demikian
pada gilirannya nanti anak-anak yang sehat, cerdas, ceria dan berakhlak mulia dapat
terwujud. Dampak positif yang akan muncul adalah terwujudnya suatu tatanan
masyarakat yang baik, saling menghargai, saling menghormati, saling menyayangi,

31

saling mengasihi, masyarakat yang terbuka, berpikiran positif, jujur, dan.mempunyai
toleransi yang baik (Hidayatullah, 2010).

2.5 Pernikahan Dini
Pernikahan

dini (early married) adalah pernikahan yang dilakukan oleh

pasangan atau salah satu pasangan masih dikategorikan anak-anak atau remaja yang
berusia dibawah usia 19 tahun (WHO, 2006).
Hal ini sesuai dengan Undang Undang Perlindungan Anak No. 23 tahun
2002 menyatakan pernikahan di usia 18 tahun ke bawah termasuk pernikahan dini
(Lubis, 2008).
Dalam Undang-undang Perlindungan Anak (UU PA) bab 1 pasal 1 ayat 1
dinyatakan bahwa yang dimaksud dengan usia dini adalah seseorang yang belum
berusia 18 (delapan belas) tahun, batasan tersebut diatas jalan menegaskan bahwa
anak usia dini adalah bagian dari usia remaja.
Definisi remaja yang digunakan oleh Departemen Kesehatan (Depkes) adalah
mereka yang berusia 10-19 tahun dan belum menikah, sedangkan menurut Badan
Koordinasi Keluarga Berencana (BKKBN) batasan usia remaja adalah 10 sampai 21
tahun (Sarwono, 2000).
Menurut Monks (1998) batasan usia remaja berlangsung antara umur 12 dan
21 tahun dengan pembagian 12-15 tahun masa muda awal, 15-18 tahun masa muda
pertengahan, 18-21 tahun masa muda akhir (Agustina, 2010).

32

2.5.1

Faktor-faktor yang Memicu Terjadinya Pernikahan Dini
Faktor-faktor yang memicu terjadinya pernikahan dini, antara lain :

1. Faktor Individu
a. Faktor perkembangan fisik, mental dan sosial yang dialami oleh seseorang.
Makin

cepat

perkembangan

tersebut

dialami,

makin

cepat

pula

berlangsungnya pernikahan, sehingga mendorong terjadinya pernikahan dini.
b. Tingkat pendidikan yang dimiliki oleh remaja. Makin rendah tingkat
pendidikan, makin mendorong cepat berlangsungya pernikahan dini. Sesuai
menurut Romauli (2009), makin rendah tingkat pendidikan seseorang maka
makin mendorong seseorang untuk menikah di usia dini.
c. Sikap dan hubungan dengan orang tua. Pernikahan dini dapat berlangsung
karena adanya sikap patuh dan menentang dari remaja terhadap perintah orang
tua. Hubungan dengan orang tua juga menentukan terjadinya pernikahan dini.
Dalam kehidupan sehari-hari sering ditemukan pernikahan dini karena remaja
ingin melepaskan diri dari pengaruh atau lingkungan orang tua.
d. Sebagai jalan keluar untuk lari dari berbagai kesulitan yang dihadapi termasuk
kesulitan ekonomi. Tidak jarang ditemukan pernikahan yang berlangsung
dalam usia yang muda sekali, yang antara lain disebabkan karena remaja
tersebut menginginkan status ekonomi yang lebih tinggi.

33

2. Faktor Keluarga
a. Sosial ekonomi keluarga
Sebagai akibat dari beban ekonomi yang dialami, maka para orang tua
mempunyai keinginan untuk menikahkan anaknya. Dengan pernikahan
tersebut akan diperoleh dua keuntungan. Pertama tanggung jawab terhadap
anak gadisnya tidak lagi berada ditangan keluarga tersebut, melainkan di
tangan suami dan keluarga suami. Kedua, dengan berlangsungnya pernikahan,
akan diperoleh tambahan tenaga kerja, yakni menantu yang dengan sukarela
selalu bersedia membantu keluarga isteri.
Masalah ekonomi pada kehamilan usia remaja merupakan penyebab utama
remaja putri berhenti sekolah lebih awal. Berhenti sekolah berhubungan
dengan pengangguran dan kemiskinan. Akibatnya, orang tua remaja ini sering
gagal menyelesaikan pendidikan Dasar mereka, memiliki sedikit kesempatan
untuk bekerja dan meningkatkan karier, dan berpotensi memiliki penghasilan
yang terbatas (Andarmoyo, 2012).
b. Tingkat pendidikan keluarga
Tingkat pendidikan keluarga juga mempengaruhi terjadinya pernikahan dini.
Makin rendah tingkat pendidikan keluarga, makin sering ditemukan
pernikahan dini. Peranan tingkat pendidikan disini berhubungan erat dengan
pemahaman keluarga tentang kehidupan berkeluarga, yang dalam banyak hal
masih bersifat sederhana sekali.

34

c. Kepercayaan dan keyakinan yang berlaku dalam keluarga
Kepercayaan dan keyakinan yang berlaku dalam keluarga juga menentukan
terjadinya pernikahan dini. Sering ditemukan para orang tua yang menikahkan
anak mereka dalam usia yang muda sekali, antara lain karena keinginan untuk
meningkatkan status sosial keluarga, mempererat hubungan antar keluarga
dan untuk menjaga garis keturunan keluarga.
d. Kemampuan yang dimiliki keluarga dalam menghadapi permasalahan para
remaja
Apabila suatu keluarga kurang memiliki alternatif lain dalam menghadapi
atau mengatasi masalah remaja, misalnya anak gadisnya terperosok ke dalam
perbuatan maksiat adalah lebih baik dinikahkan saja, atau sebagai jalan keluar
untuk menghadapi rasa malu atau rasa bersalah karena anaknya tidak perawan
lagi atau telah hamil diluar nikah.
3. Faktor Lingkungan Masyarakat
a. Adat istiadat
1. Di beberapa daerah di Indonesia ada anggapan jika anak gadis yang telah
dewasa belum berkeluarga dipandang merupakan aib keluarga, para orang
tua berupaya secepat mungkin menikahkan anaknya dalam usia dini.
Sesuai menurut Romauli (2009), adanya anggapan jika anak gadis belum
menikah dianggap sebagai aib keluarga dan kedewasaan seseorang dinilai
dari status pernikahan, status janda lebih baik dari perawan tua.

35

2. Tingkat sosial ekonomi masyarakat
Tingkat

sosial

ekonomi

masyarakat

secara

keseluruhan

juga

mempengaruhi terjadinya pernikahan dini. Masyarakat yang tingkat
ekonominya kurang memuaskan, sering memilih pernikahan sebagai jalan
keluar untuk mengatasi kesulitan ekonomi tersebut.
3. Tingkat kesehatan masyarakat
Jika di suatu daerah tingkat kesehatannya belum memuaskan yang dapat
dilihat dengan masih tingginya angka kematian, maka sering ditemukan
pernikahan dini.
4. Perubahan nilai
Pada daerah perkotaan, sebagai akibat dari pengaruh modernisasi telah
terjadi perubahan nilai berupa makin longgarnya hubungan antara pria dan
wanita. Hubungan yang longgar ini dapat menjadi penyebab terjadinya
hubungan kelamin diluar pernikahan, yang pada akhirnya karena pengaruh
keluarga ataupun masyarakat sekitarnya, yang antara lain untuk mencegah
rasa malu atau menutup aib keluarga, mendorong terjadinya pernikahan
dini (Maemunah, 2008).
2.5.2 Pendewasaan Usia Pernikahan
Pernikahan bagi manusia merupakan hal yang penting, karena dengan sebuah
pernikahan seseorang akan memperoleh keseimbangan hidup baik secara sosial
biologis, psikologis maupun secara sosial. Secara mental atau rohani mereka yang
telah menikah lebih bisa mengendalikan emosinya dan mengendalikan nafsu seksnya.

36

Kematangan emosi merupakan aspek yang sangat penting untuk menjaga
kelangsungan pernikahan. Dengan dilangsungkannya pernikahan

maka status

sosialnya dalam kehidupan bermasyarakat diakui sebagai pasangan suami-istri, dan
sah secara hukum.
Batas usia dalam melangsungkan perkawinan adalah penting atau dapat
dikatakan sangat penting, karena di dalam perkawinan menghendaki kematangan
psikologis. Usia perkawinan yang terlalu muda dapat mengakibatkan meningkatnya
kasus perceraian karena kurangnya kesadaran untuk bertanggung jawab dalam
kehidupan berumah tangga dalam membentuk dan membina keluarga bahagia. Untuk
itu diperlukan perencanaan yang matang dalam mempersiapkan segala sesuatunya
meliputi aspek fisik, mental, dan sosial ekonomi dan pernikahan yang ideal untuk
perempuan adalah 21-25 tahun sementara laki-laki 25-28 tahun, karena di usia seperti
ini secara fisik maupun mental sudah mampu atau sudah ada kesiapan memikul
tanggung jawab sebagai suami isteri dalam rumah tangga (Handayani, 2005).
Menurut BKKBN (2012), Pendewasaan Usia Perkawinan (PUP) adalah upaya
untuk meningkatkan usia pada perkawinan pertama, sehingga mencapai usia minimal
pada saat perkawinan yaitu 20 tahun bagi wanita dan 25 tahun bagi pria. PUP bukan
sekedar menunda sampai usia tertentu saja tetapi mengusahakan agar kehamilan
pertamapun terjadi pada usia yang cukup dewasa. Bahkan harus diusahakan apabila
seseorang gagal mendewasakan usia perkawinannya, maka penundaan kelahiran anak
pertama harus dilakukan. Dalam istilah KIE disebut sebagai anjuran untuk mengubah
bulan madu menjadi tahun madu. Pendewasaan usia perkawinan merupakan bagian

37

dari program Keluarga Berencana Nasional. Program PUP memberikan dampak pada
peningkatan umur kawin pertama yang pada gilirannya akan menurunkan Total
Fertility Rate (TFR) (Adzlan, 2013).
Tujuan program pendewasaan usia perkawinan adalah Memberikan
pengertian dan kesadaran kepada remaja agar didalam merencanakan keluarga,
mereka dapat mempertimbangkan berbagai aspek berkaitan dengan kehidupan
berkeluarga, kesiapan fisik, mental, emosional, pendidikan, sosial, ekonomi serta
menentukan jumlah dan jarak kelahiran. Tujuan PUP seperti ini berimplikasi pada
perlunya peningkatan usia kawin yang lebih dewasa. Program Pendewasaan Usia
kawin dan Perencanaan Keluarga merupakan kerangka dari program pendewasaan
usia perkawinan. Kerangka ini terdiri dari tiga masa reproduksi, yaitu: 1) Masa
menunda perkawinan dan kehamilan, 2) Masa menjarangkan kehamilan dan 3) Masa
mencegah kehamilan.
2.5.3 Dampak Pernikahan Dini
1. Secara Fisiologis
Perempuan yang menikah dibawah umur 20 tahun mempunyai resiko terhadap
alat reproduksinya karena pada masa remaja ini, alat reproduksinya belum matang
untuk melakukan fungsinya. Rahim (uterus) baru siap melakukan fungsinya
setelah umur diatas 20 tahun sampai dengan usia 35 tahun, karena pada masa ini
fungsi hormonal melewati masa yang maksimal. Pada usia 14-18 tahun,
perkembangan otot-otot rahim belum cukup baik kekuatan dan kontraksinya
sehingga jika terjadi kehamilan rahim dapat rupture (robek). Pada usia 14-19

38

tahun, sistem hormonal belum stabil, kehamilan menjadi tak stabil mudah terjadi
pendarahan dan terjadilah abortus atau kematian janin. Usia kehamilan terlalu dini
dari persalinan memperpanjang rentang usia reproduksi aktif (Anonim, 2010).
Pernikahan dini akan menimbulkan masalah – masalah (Romauli, 2009) :
a. Kurangnya perawatan selama hamil dan sebelum melahirkan
Pernikahan dini jika tidak mendapatkan dukungan keluarga sangat berisiko
mengalami kekurangan dalam

perawatan selama hamil dan sebelum

melahirkan,

kondisi

untuk

memantau

medis

ibu

dan

bayi

serta

pertumbuhannya terutama pada awal kehamilan, sehingga jika ada komplikasi
bisa ditangani dengan cepat.
b. Resiko Hipertensi (Pregnancy Induced Hypertension)
Resiko hipertensi lebih tinggi dibandingkan dengan

perempuan yang hamil

diusia matang, memicu terjadinya pre-eklamsi, yaitu kondisi medis yang
berbahaya yang mengabungkan hipertensi dengan kelebihan protein dalam
urine pembengkakan tangan dan wajah ibu serta kerusakan organ.
c. Kelahiran premature atau BBLR
Jika ibu yang hamil tidak mendapatkan perawatan yang cukup atau tidak
mendapatkan gizi yang cukup selama hamil. Bisa memicu, kelahiran prematur. Hal ini menimbulkan berbagai komplikasi yang dapat membahayakan
bayi. Setara dengan menurut Widati (2010), bagi wanita yang melangsungkan
pernikahan di bawah usia 20 tahun, bila hamil akan mengalami gangguan
pada kandungannya dan juga kelainan bawaan.

39

d. Kanker Leher Rahim
Pernikahan dini merupakan salah satu faktor yang menyebabkan keganasan
pada mulut rahim. Kanker serviks adalah kanker yang menyerang bagian
ujung bawah rahim yang menonjol ke vagina. Kanker serviks merupakan
kanker yang berasal dari leher rahim ataupun mulut rahim yang tumbuh dan
berkembang dari serviks, dapat menembus keluar serviks sehingga tumbuh
diluar serviks bahkan terus tumbuh sampai dinding panggul. Pada usia remaja,
sel-sel leher rahim belum matang, bila terpapar human papiloma virus (HPV)
pertumbuhan sel akan menyimpang menjadi kanker. Sekitar 70%-80% dari
pengidap kanker serviks disebabkan oleh virus HPV

sebagai penyebab

utamanya. Infeksi HPV paling sering terjadi pada kalangan dewasa muda
yaitu usia 18-25tahun. Pada usia lebih tua, di atas 20 tahun, sel-sel sudah
matang, sehingga resiko makin kecil.
Menurut WHO, kanker leher rahim setidaknya sudah merenggut jiwa wanita
hingga 5 juta, sedangkan di Indonesia belum jelas berapa angka pastinya
namun diperkirakan 90-100 jiwa dari 100ribu penduduk mengindap kanker
leher rahim. Hal ini menjadikan kanker leher rahim pembunuh wanita nomer
dua setelah kanker payudara.
Tipe HPV yang berisiko rendah hampir tidak berisiko dapat menimbulkan
genital warts (penyakit kutil kelamin). Walaupun sebagian besar infeksi HPV
akan sembuh dengan sendirinya dalam 1-2 tahun karena adanya sistem

40

kekebalan tubuh alami, namun infeksi yang menetap yang disebabkan oleh
HPV tipe tinggi dapat mengarah pada kanker serviks.
Kutil kelamin adalah benjolan-benjolan yang tumbuh pada alat kelamin
manusia dalam berbagai variasi bentuk. Pada wanita, kutil kelamin tumbuh
pada vulva dan serviks. Sedangkan pada pria, kutil kelamin akan cenderung
muncul pada penis atau skrotum dan pada beberapa kasus tertentu kutil
kelamin tumbuh pada area selangkangan.
Bagi pria yang terkena kutil kelamin, keluhan yang akan dirasakan yaitu rasa
gatal dan panas, pendarahan dan rasa sakit pada penis, strotum dan daerah
anal. Pada wanita, keluhan yang akan dirasakan hampir sama dengan pria,
yakni rasa gatal dan panas. Terutama pada wanita yang sedang mengandung,
kutil kelamin yang diderita bisa menjangkiti janin dalam kandungannya pada
saat lahir.
Kutil kelamin bisa menembus dan bertransmisi pada bayi, sehingga akan
menyebabkan timbulnya kutil pada leher bayi dan membuat bayi kesulitan
bernafas, yang mengarah pada pertumbuhan kanker leher rahim. Leher rahim
ada dua lapis epitel, epitel skuamosa dan epitel kolumner. Pada sambungan
kedua epitel terjadi pertumbuhan yang aktif, terutama pada usia muda. Epitel
kolumner akan berubah menjadi epitel skuamosa. Perubahannya disebut
metaplasia. Kalau ada HPV menempel, perubahan menyimpang menjadi
displasia yang merupakan awal dari kanker.

41

e. Resiko Tinggi Ibu Hamil
Dilihat dari segi kesehatan, pasangan usia muda dapat berpengaruh pada
tingginya angka kematian ibu yang melahirkan, kematian bayi serta
berpengaruh pada rendahnya derajat kesehatan ibu dan anak. Menurut ilmu
kesehatan, bahwa usia yang kecil resikonya dalam melahirkan adalah antara
usia 20-35 tahun, artinya melahirkan pada usia kurang dari 20 tahun dan lebih
dari 35 tahun mengandung resiko tinggi. Ibu hamil usia 20 tahun ke bawah
sering mengalami prematuritas (lahir sebelum waktunya) besar kemungkinan
cacat bawaan, fisik maupun mental, kebutaan dan ketulian. Remaja tahap awal
beresiko paling besar untuk menghadapi masalah dalam masa hamil dan
melahirkan anak, BBLR, kematian bayi dan abortus, remaja tahap awal
cenderung memulai perawatan prenatal lebih lambat daripada remaja berusia
lebih tua dan wanita dewasa, mereka memiliki resiko tinggi.
f. Resiko tertular Penyakit Menular Seksual (PMS) dan HIV/AIDS
Melakukan hubungan seks bebas memiliki resiko tertular penyakit seksual
seperti Chlamydia dan HIV. PMS bisa menyebabkan gangguan pada serviks
(mulut rahim) atau menginfeksi rahim dan janin yang sedang dikandung.
g. Depresi pasca melahirkan.
Kehamilan yang terjadi saat remaja beresiko tinggi mengalami depresi pasca
melahirkan, akan cenderung memiliki rasa takut, merasa sendiri atau merasa
down dan sedih setelah melahirkan bayinya. Kondisi akan mempengaruhi
perkembangan jiwanya dan janin yang ada dalam kandungannya. Karena itu

42

perlu

memberikan

dukungan

emosional

agar

dapat

sehat

selama

kehamilannya.
2.

Secara Psikologis
Umumnya para pasangan muda keadaan psikologisnya masih belum matang,
sehingga masih lebih dalam menghadapi masalah yang timbul dalam pernikahan,
seperti: perceraian, karena kawin cerai biasanya terjadi pada pasangan yang
umurnya pada waktu menikah relatif masih muda.
Menurut Deyn (2012), remaja yang menikah dini umumnya belum memiliki
kematangan jiwa dalam arti kemantapan berpikir dan berbuat, mau menang
sendiri (egois) mudah putus asa, tidak bertanggung jawab, belum memiliki
pandangan dan pengetahuan yang cukup peran seorang istri atau bapak yang
dapat mempengaruhi keharmonisan dan kelestarian pernikahan, karena
kematangan jiwa sangat diperlukan agar pernikahan dapat mewujudkan
kebahagian dan kesejahteraan bagi keluarga. Setara dengan yang dikemukakan
Rahma (2012) bahwa pernikahan pada usia remaja secara mental belum siap
menghadapi perubahan yang terjadi saat kehamilan, belum siap menjalankan
peran sebagai ibu dan belum siap menghadapi masalah berumah tangga karena
masih dalam proses penyesuaian.

3.

Secara Sosial-Ekonomi
Makin bertambahnya umur seseorang, kemungkinan untuk kematangan dalam
bidang sosial-ekonomi akan makin nyata dan akan makin kuat dorongan mencari
nafkah sebagai penopang.

43

2.5.4

Upaya Penanggulangan Terjadinya Pernikahan Dini
Upaya yang dapat dilakukan untuk menaggulangi masalah pernikahan dini

(Romauli, 2009) antara lain :
a. Menetapkan usia pernikahan yang baik diatas 20 tahun dan melarang pernikahan
dibawah umur 20 tahun agar wanita terhindar dari resiko tingginya angka
kesakitan dan kematian saat hamil dan melahirkan.
b. Meningkatkan pendidikan formal, diharapkan anak dapat lebih berkreasi dan
berkarya dalam kehidupannya agar kelak mapan dalam pendidikan.
c. Tidak terlalu memaksakan kehendak kepada anak. Orang tua diharapkan dapat
menjadi panutan yang baik bagi anaknya. Oleh karena itu, orang tua diharapkan
tidak memaksakan kehendak pada anaknya, dimana akibat pemaksaan kehendak
dapat memperburuk kehidupan anaknya dimasa yang akan datang.
d. Memberi penyuluhan tentang resiko pernikahan dini. Penyuluhan harus diberikan
petugas kesehatan kepada remaja baik di sekolah-sekolah maupun di rumah
merupakan tanggung jawab semua pihak.

2.6 Landasan Teori
Keluarga sebagai sebuah sistem sosial mempunyai tugas atau fungsi
agar sistem tersebut berjalan. Tugas tersebut berkaitan dengan pencapaian tujuan,
integrasi dan solidaritas, serta pola kesinambungan atau pemeliharaan keluarga
Menurut Winton (1995), fungsi merupakan konsekuensi dari perilaku atau aksi
seseorang. Berfungsinya fungsi keluarga ini apabila

perilaku atau aksi

44

menguntungkan bagi keluarga, sedangkan bila mendatangkan kerugian bagi keluarga
disebut disfungsional. Fungsi utama keluarga adalah

sebagai wahana untuk

mendidik, mengasuh dan sosialisasi anak, mengembangkan kemampuan seluruh
anggotanya agar dapat menjalankan fungsinya di masyarakat dengan baik, serta
memberikan kepuasan dan lingkungan sosial yang sehat guna tercapainya keluarga
sejahtera .Agar fungsi keluarga berada pada kondisi optimal, perlu peningkatan
fungsionalisasi dan struktur yang jelas, yaitu suatu rangkaian peran dimana sistem
sosial dibangun ( dalam Megawangi, 1999).
Fungsi reproduksi

keluarga

merupakan

fungsi

untuk meneruskan

keturunan, agar tebentuk generasi penerus yang bisa mempertahankan nilai-nilai
budaya yang ada dalam keluarga. Setiap keluarga dapat menerapkan cara hidup sehat,
mengerti tentang kesehatan reproduksinya.. Pada pernikahan dini

tidak bisa

memenuhi atau tidak mengetahui hak dan kewajibannya sebagai suami istri ,
dikarenakan belum matangnya fisik maupun mental mereka yang cenderung
keduanya memiliki sifat keegoisan yang tinggi. Pernikahan dini akan menimbulkan
berbagai masalah dalam rumah-tangga seperti pertengkaran, kekerasan dan
perceraian.Juga

akan mengalami gangguan pada reproduksinya

yang dapat

membahayakan kesehatan ibu janinnya nantinya .
Fungsi ekonomi keluarga adalah fungsi keluarga untuk memenuhi kebutuhan
seluruh anggota keluarganya yaitu: sandang, pangan dan papan. Keluarga
memberikan finansial untuk anggota keluarganya dan kepentingan di masyarakat.
Sejauh mana keluarga memenuhi kebutuhan sandang, pangan dan papan dan sejauh

45

mana keluarga memanfaatkan sumber yang ada di keluarga dalam upaya peningkatan
status ekonomi keluarga. Ayah sebagai kepala keluarga wajib untuk bekerja mencari
nafkah untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan rumah tangga serta perencanaan
anggaran pengeluaran biaya keluarga. Hal ini mengisayaratkan betapa keluarga itu
merupakan bagian dalam kehidupan bermasyarakat.Namun, di zaman emansipasi
wanita sekarang ini tidak jarang kita lihat ada ibu-ibu yang turut membantu
memenuhi kebutuhan keluarga dengan bekerja sebagai wanita karier. Menurut
Hanggara, salah satu faktor yang memengaruhi terjadinya pernikahan dini adalah
faktor fungsi ekonomi keluarga . Faktor yang yang memengaruhi pernikahan dini
yaitu faktor fungsi ekonomi keluarga ( Adhim ,2010 ). Keberhasilan pendidikan anak
dalam keluarga ketika anak berada dalam usia dini, akan sangat berpengaruh pada
keberhasilan pendidikan pada periode berikutnya.
Jadi betapa pentingnya pendidikan yang dilaksanakan dalam keluarga.
Perhatian mengenai pendidikan keluarga tidak hanya ditujukan oleh anggota-angota
keluarga yang bersangkutan, melainkan oleh segenap lapisan masyarakat. Hal ini
mengisayaratkan keluarga merupakan bagian dalam kehidupan bermasyarakat.
Pola asuh orang tua adalah interaksi antara orangtua dan anak. Pendidikan
orang tua turut mempengaruhi pola asuh orang tua . Bagaimana sikap atau perilaku
orang tua dalam menerapkan aturan,mengajarkan nilai/norma, memberikan perhatian
dan kasih sayang serta menunjukkan sikap dan perilaku yang baik sehingga dijadikan
contoh /model bagi anaknya. Anak secara kontinu berkembang baik secara fisik
maupun secara psikis untuk memenuhi kebutuhannya. Kebutuhan anak dapat

46

terpenuhi apabila orang tua dalam memberi pengasuhan dapat mengerti, memahami,
menerima dan memperlakukan anak sesuai dengan tingkat perkembangan psikis
anak, disamping menyediakan fasilitas bagipertumbuhan fisiknya. Hubungan orang
tua dengan anak ditentukan oleh sikap,perasaan dan keinginan terhadap anaknya yang
diwujudkan dalam pola asuh orang tua di dalam keluarga. ( Hidayatullah , 2010 ).
Pernikahan bagi manusia mempunyai hal yang sangat penting , karena dengan
sebuah pernikahan seseorang akan memperoleh keseimbangan hidup baik secara
sosial , biologi , psikologis maupun secara sosial .Karena itu dalam suatu pernikahan
perlu batasan usia , untuk perempuan adalah 21 – 25 tahun sedangkan bagi laki –laki
25-28 tahun

kerena diusia tersebut secara fisik dan psikologis dianggap sudah

matang (BKKBN,2010). Faktor ketidakberfungsinya pemenuhan fungsi reproduksi
dan fungsi ekonomi

di keluarga serta pola asuh orang tua yang tidak semestinya

maka banyak remaja di keluarga melakukan pernikahan dini . Pemenuhan fungsi
keluarga dan pola asuh orang tua ini adalah dua faktor

sangat penting bagi

pemenuhan kebutuha di keluarga keluarga agar berfungsi dengan baik dan lancar,
karena merupakan aspek utama yang membentuk dasar keluarga lembaga sosial. Jika
peran dan fungsi-fungsi ini berfungsi dengan baik dan lancar di keluarga, akan
terbentuk keluarga yang harmonis dan sejahtera. Dengan terbentuknya keluarga yang
harmonis maka akan timbul kebahagiaan, sedangkan keluarga yang tidak harmonis
akan menimbulkan banyak masalah-masalah. Oleh karena itu, ciptakan keharmonisan
di dalam lingkugan keluarga agar kehidupan ini dipenuhi kebahagiaan.

47

Penelitian ini dilakukan untuk melihat pengaruh fungsi keluarga ( fungsi
reproduksi , fungsi ekonomi ) dan pola asuh orang tua terhadap pernikahan dini.

2.7 Kerangka Konsep
Berdasarkan latar belakang, rumusan masalah dan tinjauan pustaka , maka
hubungan variable dalam penelitian ini dapat digambarkan sebagai berikut:
Variabel Dependen

Variabel Independen

Fungsi Keluarga
1. Fungsi Reproduksi
2. Fungsi Ekonomi
Pernikahan Dini

Pola Asuh Orang tua

Gambar 2.1 Kerangka Konsep Penelitian

Dokumen yang terkait

Hubungan Pola Asuh Orang Tua dengan Perkembangan Sosialisasi Remaja di SMA Negeri 15 Medan

5 49 115

Pengaruh Pola Asuh Orang Tua terhadap Perilaku Kesehatan Remaja pada Keluarga Batak Toba di Kecamatan Pangururan Kabupaten Samosir

10 52 142

Hubungan Pola Asuh Orang Tua terhadap Perilaku Seksual Remaja di Kelurahan Simalingkar B Kecamatan Medan Tuntungan

22 131 71

Hubungan Pola Asuh Orang Tua dengan Sikap Remaja Putri tentang Kesehatan Reproduksi di SMA Negeri 18 Medan Tahun 2011

6 95 88

Pengaruh Fungsi Keluarga (Fungsi Reproduksi , Fungsi Ekonomi) Dan Pola Asuh Orang Tua Terhadap Pernikahan Dini Di Kelurahan Bagan Deli Kecamatan Medan Belawan Tahun 2014

0 0 18

Pengaruh Fungsi Keluarga (Fungsi Reproduksi , Fungsi Ekonomi) Dan Pola Asuh Orang Tua Terhadap Pernikahan Dini Di Kelurahan Bagan Deli Kecamatan Medan Belawan Tahun 2014

0 0 2

Pengaruh Fungsi Keluarga (Fungsi Reproduksi , Fungsi Ekonomi) Dan Pola Asuh Orang Tua Terhadap Pernikahan Dini Di Kelurahan Bagan Deli Kecamatan Medan Belawan Tahun 2014

0 0 11

Pengaruh Fungsi Keluarga (Fungsi Reproduksi , Fungsi Ekonomi) Dan Pola Asuh Orang Tua Terhadap Pernikahan Dini Di Kelurahan Bagan Deli Kecamatan Medan Belawan Tahun 2014

0 0 7

Pengaruh Fungsi Keluarga (Fungsi Reproduksi , Fungsi Ekonomi) Dan Pola Asuh Orang Tua Terhadap Pernikahan Dini Di Kelurahan Bagan Deli Kecamatan Medan Belawan Tahun 2014

0 0 34

Pemberdayaan Keluarga Yang Memiliki Balita Gizi Kurang Dan Gizi Buruk Di Kelurahan Bagan Deli Kecamatan Medan Belawan Tahun 2014

0 0 19