Pengaruh Pola Asuh Orang Tua terhadap Perilaku Kesehatan Remaja pada Keluarga Batak Toba di Kecamatan Pangururan Kabupaten Samosir

(1)

PENGARUH POLA ASUH ORANG TUA TERHADAP PERILAKU KESEHATAN REMAJA PADA KELUARGA BATAK TOBA

DI KECAMATAN PANGURURAN KABUPATEN SAMOSIR

TESIS

OLEH

FLORA NAIBAHO 087033006/IKM

PROGRAM STUDI S2 ILMU KESEHATAN MASYARAKAT FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(2)

THE INFLUENCE OF PARENTS’ PARENTING PATTERN ON HEALTH IN PANGURURAN SUBDISRTICT

BEHAVIOR OF TEENAGER IN BATAK TOBA FAMILY

SAMOSIR DISTRICT

THESIS

BY

FLORA NAIBAHO 087033006/IKM

MAGISTER OF PUBLIC HEALTH SCIENCE PROGRAM STUDY FACULTY OF PUBLIC HEALTH UNIVERSTY OF

SUMATERA UTARA MEDAN


(3)

PENGARUH POLA ASUH ORANG TUA TERHADAP PERILAKU KESEHATAN REMAJA PADA KELUARGA BATAK TOBA

DI KECAMATAN PANGURURAN KABUPATEN SAMOSIR

TESIS

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat

untuk Memperoleh Gelar Magister Kesehatan (M.Kes) dalam Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat

Minat Studi Promosi Kesehatan dan Ilmu Perilaku pada Fakultas Kesehatan Masyarakat

Universitas Sumatera Utara

Oleh

FLORA NAIBAHO 087033006/IKM

PROGRAM STUDI S2 ILMU KESEHATAN MASYARAKAT FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(4)

Judul Tesis : PENGARUH POLA ASUH ORANG TUA TERHADAP PERILAKU KESEHATAN REMAJA PADA KELUARGA BATAK TOBA DI KECAMATAN PANGURURAN

KABUPATEN SAMOSIR

Nama Mahasiswa : Flora Naibaho Nomor Induk Mahasiswa : 087033006

Program Studi : S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat

Minat Studi : Promosi Kesehatan dan Ilmu Perilaku

Menyetujui Komisi Pembimbing:

(Dr. Fikarwin Zuska) (Dra. Sri Emiyati, M.Si Ketua Anggota

)

Ketua Program Studi Dekan

(Prof. Dr. Dra. Ida Yustina, M.Si) (Dr. Drs. Surya Utama, M.S)


(5)

Telah diuji

Pada tanggal: 27 Juli 2011

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Dr. Fikarwin Zuska Anggota : 1. Dra. Sri Emiyati, M.Si

2. Drs. Tukiman, M.K.M 3. Fery Novliadi, P.Si, M.Si


(6)

PERNYATAAN

PENGARUH POLA ASUH ORANG TUA TERHADAP PERILAKU KESEHATAN REMAJA PADA KELUARGA BATAK TOBA

DI KECAMATAN PANGURURAN KABUPATEN SAMOSIR

TESIS

Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam tesis ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi, dan sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka

Medan, Agustus 2011

087033006/IKM


(7)

ABSTRAK

Jumlah remaja di Indonesia pada tahun 2006 sekitar 19,61% dari jumlah penduduk Indonesia. Sebanyak 75% penyakit dan kematian pada masa remaja terjadi akibat faktor perilaku. Salah satu temuan di Kecamatan Pangururan Kabupaten Samosir tentang remaja perokok berasal dari rumah tangga yang tidak bahagia, orang tua tidak begitu memperhatikan anak-anaknya dan memberikan hukuman fisik yang keras.

Penelitian ini bertujuan menganalisis pengaruh pola asuh orang tua terhadap perilaku kesehatan remaja pada keluarga Batak Toba di Kecamatan Pangururan Kabupaten Samosir. Penelitian ini merupakan penelitian survey dengan rancangan

Cross-Sectional. Populasi sebanyak 3.868 orang remaja Batak Toba, dijadikan

sampel sebanyak 94 orang. Pengambilan sampel dengan proportionalsampling. Data

dikumpulkan dari data primer dengan memberikan kuesioner kepada responden. Data dianalisis secara multivariat (uji regresi linear).

Hasil penelitian menunjukkan ada pengaruh yang signifikan pola asuh orang tua demokratis terhadap perilaku kesehatan remaja, sementara pola asuh orang tua otoriter signifikan memengaruhi perilaku yang kurang baik terhadap kesehatan remaja. Pola permisif tidak berpengaruh terhadap perilaku kesehatan remaja pada keluarga Batak Toba di Kecamatan Pangururan Kabupaten Samosir.

Disarankan kepada Dinas Kesehatan Kabupaten Samosir untuk memfasilitasi kegiatan penyuluhan tentang pola asuh orang tua terhadap remaja melalui puskesmas, pihak sekolah, atau tempat perkumpulan remaja, dengan komunikasi yang sinergis antara orang tua.

Kata Kunci: Pola asuh, Perilaku kesehatan, Remaja


(8)

ABSTRACT

The number of teenagers in Indonesia was 19.61% of the total population of Indonesia. As many as 75% of the disease and death occurred during the youth have been caused by the factor of behavior. One of the findings found in Pangururan Subdistrict, Samosir Distric was about an adolescent smoker from a broken home whose parents did not pay so much attention to their children and even gave them a hard physical punishment.

The purpose of this survey with cross-sectional design was to analyze the influence of parenting pattern on the health behavior of teenagers in Batak Toba family in Pangururan Subdistrict, Samosir District. The population of this study were 3,868 Batak Toba teenagers and 94 of them were selected to be the samples for this study through proportional sampling technique. The data for this study were the primary data obtained through distributing questionnaires to the respondents. The data obtained were analyzed through multiple linear regression tests.

The result of this study showed that the democratic parenting pattern had significant influence on the health behavior of teenagers, while the authoritarian parenting patteern brought a poor influence on the health behavior of teenagers. The permissive parenting pattern did not have any influence on the health behavior of teenagers in Batak Toba family in Pangururan Subdistrict, Samosir District.

The management of Samosir District Health office is suggested to facilitate the activity of extension on parents’ parenting pattern to be applied to the teenagers through health centre, schools, youth clubs, with inter-parent synergic communication.


(9)

KATA PENGANTAR

Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Pengasih atas segala berkat dan

karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan Tesis ini dengan judul

“Pengaruh Pola Asuh Orang Tua terhadap Perilaku Kesehatan Remaja pada Keluarga Batak Toba di Kecamatan Pangururan Kabupaten Samosir”. Tesis ini disusun untuk memenuhi salah satu syarat dalam menyelesaikan pendidikan di

Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat Fakultas Kesehatan Masyarakat

Universitas Sumatera Utara.

Penulis menyadari bahwa banyak hambatan dan kesulitan yang dialami dalam

studi dan penyusunan Tesis ini. Keberhasilan penulis menyelesaikan sebuah Karya

Ilmiah ini tidaklah terwujud tanpa bantuan dari semua pihak yang memberikan

dukungan, bimbingan, baik dalam bentuk materi maupun moril. Karena itu penulis

mengucapkan terima kasih kepada:

1. Prof. Dr. dr. Syahril Pasaribu, DTM&H, M.Sc (CTM), Sp.A(K) selaku Rektor

Universitas Sumatera Utara.

2. Dr. Drs. Surya Utama, M.S selaku Dekan Fakultas Kesehatan Masyarakat

Universitas Sumatera Utara.

3. Prof. Dr. Dra. Ida Yustina, M.Si, selaku Ketua Program Studi S2 Ilmu Kesehatan

Masyarakat Universitas Sumatera Utara.

4. Dr. Ir. Evawany Aritonang, M.Si selaku Sekretaris Program Studi S2 Ilmu


(10)

5. Dr. Fikarwin Zuska selaku ketua komisi Pembimbing yang dengan penuh

kesabaran dan kebijaksanaan, ketelitian, dan perhatian telah membantu,

membimbing dan mengarahkan penulis dalam menyelesaikan Tesis ini.

6. Dra. Sri Emyati, M.Si, selaku anggota komisi pembimbing yang dengan penuh

kesabaran dan kebijaksanaan, ketelitian, perhatian membantu dan memberi

semangat, motivasi membimbing penulis dalam menyelesaikan Tesis ini.

7. Dosen penguji yang telah memberi saran dan kritik untuk membantu penulis

dalam menyelesaikan Tesis ini.

8. Manigor Simbolon S.K.M, sebagai Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Samosir

yang telah memberi izin tempat penelitian serta dukungan dalam penelitian ini.

9. J. Sipayung, Ediator Simbolon, Dormian Naibaho, yang telah memberikan

bantuan yang tak terhingga dalam pelaksanaan penelitian bagi penulis dalam

menyelesaikan Tesis ini.

10.Para dosen dan staf di lingkungan Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat

Minat Studi Promosi Kesehatan dan Ilmu Perilaku Fakultas Kesehatan

Masyarakat Universitas Sumatera Utara.

11.Seluruh rekan-rekan mahasiswa/i di lingkungan Program Studi S2 Ilmu

Kesehatan Masyarakat, serta seluruh pihak yang tidak dapat penulis sebutkan

satu persatu yang ikut berperan dalam proses penyelesaian Tesis ini.

12.Seluruh Staf Pendidikan STIKes St. Elisabet Medan terima kasih atas bantuan,


(11)

Teristimewa ucapan terima kasih kepada orang tua tercinta, J. Naibaho (Alm)

dan T. br.Tanggang, yang telah melahirkan, membesarkan, mendidik penulis sejak

kecil, serta Dewan Pimpinan Umum Kongregasi Fransiskanes Santa Elisabeth

Medan dan Persaudaraan Fransiskanes Santa Elisabeth, Komunitas Santo Mikael

Pasar VIII Medan, yang senantiasa memberikan dukungan doa, materi, moral

sehingga penulis dapat menyelesaikan pendidikan ini. Penulis menyadari sepenuhnya

atas ketidaksempurnaan dan keterbatasan kemampuan yang dimiliki penulis dalam

penyusunan tesis ini, baik dari segi penulisan maupun pembahasannya. Oleh karena

itu dengan segala kerendahan hati penulis akan menerima saran dan kritikan yang

membangun demi kebenaran dan kesempurnaan Tesis ini.

Semoga Tuhan Yang Maha Pengasih selalu menyertai dan memberkati kita

semua dan semoga tulisan ini bermanfaat bagi yang membutuhkannya.

Medan, Agustus 2011


(12)

RIWAYAT HIDUP

Flora Naibaho lahir di Huta Parik Kecamatan Pangururan, 2 Januari 1979,

merupakan anak ke 5 dari 9 bersaudara, dari keluarga Ayah Josep Naibaho (Alm)

dan Ibu Tianur br Sitanggang, saat ini bertempat tinggal di Biara Suster Fransiskanes

Santa Elisabeth Medan Jl. Bunga Terompet No.120 Kel Sempakata Kec Selayang II

Medan, Sumatera Utara.

Pendidikan formal penulis dimulai dari pendidikan SD Inpres Siogung-ogung

Kab. Samosir (1985-1991), Sekolah Menengah Pertama Negeri (SMPN 2)

Pangururan Kab.Samosir (1991-1994), Sekolah Menengah Umum Negeri (SMUN 1)

Pangururan Kab. Samosir (1994 -1997). D-III Kebidanan STIKes Santa Elisabeth

Medan (2002-2005). D-IV Bidan Pendidik Politeknik Kesehatan Medan

(2007-2008), dan S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat dengan Minat Studi Promosi Kesehatan

dan Ilmu Perilaku di Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara

(2008-2011).

Pada tahun 1997 setelah menyelesaikan pendidikan SMU, penulis masuk biara

Suster Fransiskanes Santa Elisabeth (FSE) dengan nama biara Sr.M.Lidwina

Naibaho FSE. Tahun 2006 setelah menyelesaikan D-III Kebidanan, penulis bekerja

di Rumah Sakit Santa Elisabeth Medan kurang lebih satu tahun. Tahun 2007 sampai

sekarang penulis bertugas di Pendidikan STIKes Santa Elisabeth Medan sebagai staf


(13)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK ... i

ABSTRACT ... ii

KATA PENGANTAR ... ... iii

RIWAYAT HIDUP ... vi

DAFTAR ISI ... vii

DAFTAR TABEL ... ix

DAFTAR GAMBAR ... xi

DAFTAR LAMPIRAN ... xii

BAB 1. PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Permasalahan ... 7

1.3 Tujuan Penelitian ... 7

1.4 Hipotesis ... 8

1.5 Manfaat Penelitian ... 8

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA ... 9

2.1 Pola Asuh Orang Tua ... 9

2.2 Perilaku Kesehatan Remaja ... 12

2.3 Keluarga Batak Toba ... 35

2.4 Landasan Teori ... 48

2.5 Kerangka Konsep ... 49

BAB 3. METODE PENELITIAN ... 50

3.1 Jenis Penelitian ... 50

3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian ... 50

3.3 Populasi dan Sampel ... 51

3.4 Metode Pengumpulan Data ... 53

3.5 Variabel dan Definisi Operasional . ... 56

3.6 Metode Pengukuran ... 58


(14)

BAB 4. HASIL PENELITIAN ... 61

4.1 Deskripsi Lokasi Penelitian ... 61

4.2 Karakteristik Responden ... 66

4.3 Deskripsi Pola Asuh Orang tua dan Perilaku Kesehatan Remaja . 68 4.4 Pengaruh Pola Asuh Orang Tua terhadap Perilaku Kesehatan Remaja ... 71

4.5 Analisis Regresi Pengaruh Pola Asuh Orang Tua terhadap Perilaku Kesehatan Remaja ... 76

BAB 5. PEMBAHASAN ... 78

5.1 Gambaran Pola Asuh Orang Tua Batak Toba ... 78

5.2 Perilaku Kesehatan Remaja pada Keluarga Batak Toba ... . 80

5.3 Hubungan Pola Asuh Orang tua dengan Perilaku Kesehatan Remaja Batak Toba ... 82

5.4 Pengaruh Pola Asuh Orang tua terhadap Perilaku Kesehatan Remaja Pada Keluarga Batak Toba ... 87

5.5 Kekuatan Pengaruh Pola Asuh Orang tua terhadap Perilaku Kesehatan Remaja Pada Keluarga Batak Toba ... ... 91

5.6 Keterbatasan Penelitian ... ... 95

BAB 6. KESIMPULAN DAN SARAN ... 97

6.1 Kesimpulan ... 97

6.2 Saran ... 98

DAFTAR PUSTAKA ... 99


(15)

DAFTAR TABEL

No Judul Halaman

3.1 Menentukan Jumlah Sampel ... 52

3.2 Hasil Uji Validitas dan Reliabilitas ... 54

3.3 Metode pengukuran Variabel Independen dan Dependen ... 58

4.1 Distribusi Penduduk Berdasarkan Kelompok Umur dan Jenis

Kelamin di Kecamatan Pangururan Tahun 2009 ... 64

4.2 Jumlah Sarana Kesehatan di Kecamatan Pangururan Kabupaten

Samosir Tahun 2009 ... 65

4.3 Jenis Penyakit dan Jumlah Penderita di Puskesmas Buhit Tahun 2009 . 65

4.4 Jenis dan Jumlah Tenaga Kesehatan di Puskesmas Buhit

Kecamatan Pangururan Kabupaten Samosir Tahun 2009 ... 66

4.5 Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Karakteristik (Jenis Kelamin, Umur, Pekerjaan dan Penghasilan Keluarga per bulan)

di Kabupaten Samosir Tahun 2010 ... 67

4.6 Distribusi Frekuensi Kriteria Pola Asuh Orang Tua terhadap Remaja

pada Keluarga Batak Toba ... 68

4.7 Distribusi Frekuensi Bentuk Pola Asuh Orang Tua terhadap Remaja

pada Keluarga Batak Toba ... 69

4..1 Distribusi Frekuensi Perilaku Kesehatan Remaja pada

Keluarga Batak Toba ... 71

4.9 Distribusi Frekuensi Variabel Perilaku Kesehatan Remaja di Kecamatan Pangururan Kabupaten Samosir ... 72

4.10 Tabel Silang antara Pola Asuh Orang Tua (otoriter, demokratis, permisif) Dengan Perilaku Kesehatan Remaja di Kecamatan


(16)

4.11 Tabel Silang antara Bentuk Pola Asuh Orang Tua (otoriter,demokratis, permisif) dan Perilaku Pemeliharaan Kesehatan Remaja di Kecamatan Pangururan Kabupaten Samosir ... 76

4.12 Model Regresi Linear Berganda Pola Asuh Orang Tua dengan Perilaku Pemeliharaan Kesehatan Remaja ... 77


(17)

DAFTAR GAMBAR

No Judul Halaman

2.1 Landasan Teori ... 48


(18)

DAFTAR LAMPIRAN

No. Judul Halaman

1. Kuesioner Penelitian ... 104

2. Uji Validitas dan Reliabilitas Kuesioner ... 108

3. Hasil Olah Data Output SPSS .. ... 112

4. Tabel data Pola Asuh orang tua dan perilaku Kesehatan Remaja Pada Keluarga Batak Toba di Kecamatan Pangururran Kabupaten Samosir ... 112

5. Jawaban Pernyataan Kuesioner Pola Asuh Orang Tua ... 124

6. Jawaban Pernyataan Kuesioner Perilaku Kesehatan Remaja ... 127

7. Master Data Karakteristik Responden ... 128

8. Surat Permohonan Izin Penelitian ... 129


(19)

ABSTRAK

Jumlah remaja di Indonesia pada tahun 2006 sekitar 19,61% dari jumlah penduduk Indonesia. Sebanyak 75% penyakit dan kematian pada masa remaja terjadi akibat faktor perilaku. Salah satu temuan di Kecamatan Pangururan Kabupaten Samosir tentang remaja perokok berasal dari rumah tangga yang tidak bahagia, orang tua tidak begitu memperhatikan anak-anaknya dan memberikan hukuman fisik yang keras.

Penelitian ini bertujuan menganalisis pengaruh pola asuh orang tua terhadap perilaku kesehatan remaja pada keluarga Batak Toba di Kecamatan Pangururan Kabupaten Samosir. Penelitian ini merupakan penelitian survey dengan rancangan

Cross-Sectional. Populasi sebanyak 3.868 orang remaja Batak Toba, dijadikan

sampel sebanyak 94 orang. Pengambilan sampel dengan proportionalsampling. Data

dikumpulkan dari data primer dengan memberikan kuesioner kepada responden. Data dianalisis secara multivariat (uji regresi linear).

Hasil penelitian menunjukkan ada pengaruh yang signifikan pola asuh orang tua demokratis terhadap perilaku kesehatan remaja, sementara pola asuh orang tua otoriter signifikan memengaruhi perilaku yang kurang baik terhadap kesehatan remaja. Pola permisif tidak berpengaruh terhadap perilaku kesehatan remaja pada keluarga Batak Toba di Kecamatan Pangururan Kabupaten Samosir.

Disarankan kepada Dinas Kesehatan Kabupaten Samosir untuk memfasilitasi kegiatan penyuluhan tentang pola asuh orang tua terhadap remaja melalui puskesmas, pihak sekolah, atau tempat perkumpulan remaja, dengan komunikasi yang sinergis antara orang tua.

Kata Kunci: Pola asuh, Perilaku kesehatan, Remaja


(20)

ABSTRACT

The number of teenagers in Indonesia was 19.61% of the total population of Indonesia. As many as 75% of the disease and death occurred during the youth have been caused by the factor of behavior. One of the findings found in Pangururan Subdistrict, Samosir Distric was about an adolescent smoker from a broken home whose parents did not pay so much attention to their children and even gave them a hard physical punishment.

The purpose of this survey with cross-sectional design was to analyze the influence of parenting pattern on the health behavior of teenagers in Batak Toba family in Pangururan Subdistrict, Samosir District. The population of this study were 3,868 Batak Toba teenagers and 94 of them were selected to be the samples for this study through proportional sampling technique. The data for this study were the primary data obtained through distributing questionnaires to the respondents. The data obtained were analyzed through multiple linear regression tests.

The result of this study showed that the democratic parenting pattern had significant influence on the health behavior of teenagers, while the authoritarian parenting patteern brought a poor influence on the health behavior of teenagers. The permissive parenting pattern did not have any influence on the health behavior of teenagers in Batak Toba family in Pangururan Subdistrict, Samosir District.

The management of Samosir District Health office is suggested to facilitate the activity of extension on parents’ parenting pattern to be applied to the teenagers through health centre, schools, youth clubs, with inter-parent synergic communication.


(21)

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Pembangunan kesehatan merupakan bagian terpadu dari pembangunan sumber

daya manusia dalam mewujudkan bangsa yang maju dan mandiri serta sejahtera lahir

dan batin. Salah satu ciri bangsa yang maju adalah bangsa yang mempunyai derajat

kesehatan yang tinggi. Pembangunan manusia seutuhnya harus mencakup aspek

jasmani dan kejiwaannya di samping spiritual, perilaku, dan kejuangan. Menurut

Sujudi (1997), pembangunan kesehatan ditujukan untuk mewujudkan manusia yang

sehat dan cerdas.

Remaja sebagai salah satu komponen generasi muda mempunyai peran yang

sangat besar dalam menentukan masa depan bangsa, atau lebih jelasnya dapat

dikatakan bahwa remaja merupakan aset bangsa yang sangat penting. Oleh sebab itu

remaja merupakan salah satu sasaran pembangunan kesehatan pada masa yang akan

datang (Singgih D. Gunarsa, 2003:6).

Masa remaja/adolesen merupakan masa peralihan dari masa kanak-kanak ke

masa dewasa muda. Masa remaja adalah suatu bagian dari proses tumbuh kembang

yang berkesinambungan sejak saat konsepsi sampai mencapai masa dewasa. Pada

masa ini terjadi perubahan-perubahan besar dan cepat dalam proses pertumbuhan


(22)

masa paling indah dan penuh kenangan yang tidak mungkin terlupakan, juga sering

disertai oleh gejolak permasalahan, baik masalah medis maupun psikologis (Titi S,

dkk, 2008).

Menurut data WHO sebanyak 29% penduduk dunia terdiri dari remaja, 80% di

antaranya tinggal di Negara yang sedang berkembang. Berdasarkan data Departemen

Kesehatan (Depkes) Republik Indonesia tahun 2006, remaja Indonesia (usia 10-19

tahun) berjumlah sekitar 43 juta jiwa atau 19,61% dari jumlah penduduk. Pada tahun

2008, jumlah remaja di Indonesia diperikirakan sudah mencapai 62 juta jiwa. Di

Propinsi Jawa Barat menurut Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2008 jumlah remaja

(usia 10-19 tahun) sebanyak 8.145.616 jiwa yang terdiri dari 51,8% laki-laki dan

48,2% perempuan (Ikatan Dokter Anak Indonesia 2009).

Masa remaja merupakan masa yang penuh resiko terhadap penyakit akibat

kelainanan perilaku. Seperti halnya pada remaja terjadi perubahan yang sangat

dramatis yang meliputi kematangan biopsikososial dan lingkungan. Masalah perilaku

remaja muncul akibat interaksi antara faktor-faktor tersebut.

Sebuah penelitian yang dilakukakan oleh Walter (2002) pada 60 orang remaja

diketahui bahwa penyebab utama ketegangan dan masalah kesehatan yang ada pada

remaja berasal dari hubungan dengan teman dan keluarga, tekanan dari diri mereka

sendiri dan orang lain, tekanan di sekolah oleh guru dan pekerjaan rumah, tekanan

emosi dan tragedi yang ada dalam kehidupan mereka misalnya kematian, perceraian


(23)

Menurut sebuah penelitian (Titi S dkk, 2008:176) 75% penyakit dan kematian

pada masa remaja terjadi akibat faktor perilaku. Penyakit-penyakit karena masalah

perilaku antara lain luka atau kecelakaan, kehamilan remaja, penyakit seksual yang

ditularkan, gangguan makan, penyalahgunaan obat dan alkohol, merokok, masalah

emosi dan sebagainya, yang akan mempengaruhi kehidupan pribadi, keluarga,

bangsa dan negara di masa yang akan datang. Secara umum penggunaan NAZA pada

remaja merupakan risiko untuk menggunakan substansi lain. Dimulai dengan

merokok atau alkohol kemudian disusul dengan pemakaian mariyuana, kemudian

obat-obatan lainnya termasuk heroin, kokain, sedatif stimulan, dan lain-lain.

Dari luas dan kompleksnya penyebab masalah kesehatan pada masa remaja

maka masalah yang ditimbulkannya juga tentu lebih kompleks lagi. Masalah yang

dihadapi tidak hanya sebatas pada perubahan kesehatan fisik dan kejiwaan yang

merupakan masalah pribadi, akan tetapi meningkat menjadi masalah keluarga sebab

ditemukan bahwa remaja sering tidak perduli kepada orang tuanya (Titi S.Soelaryo,

Suganda, Rini 2002:174).

Fuhrmann (1990:108) menyatakan, bahwa jika suatu faktor dapat dipisahkan

sebagai faktor tunggal yang berpengaruh dalam perkembangan kesehatan anak,

faktor itu jelas adalah keluarga atau orang tua. Unit keluarga meskipun berubah

secara drastis sebagai hasil inovasi teknologi dan sosiologis, tetap sebagai tempat

sosialisasi utama. Salah satu faktor dalam keluarga yang mempunyai peranan penting


(24)

Lingkungan keluarga adalah lingkungan pertama yang berpengaruh terhadap

perkembangan anak, kesehatan fisik, kesehatan mental, dan spiritual yang akan

diwujudkan dalam tingkah laku. Pola hidup keluarga, termasuk pola asuh orang tua

dapat dipakai sebagai faktor untuk memprediksi penyebab perilaku menyimpang

bagi kesehatan remaja (Hadi, 2008).

Selanjutnya, Surbakti (2009:30) mengemukakan bahwa setiap perilaku sehat

dan pendekatan yang digunakan orang tua, akan selalu dilihat, dinilai, dan ditiru

oleh anak. Semua itu secara sadar atau tak sadar diresapi anak hingga menjadi

kebiasaan. Sebuah pepatah mengungkapkan, “dari buahnya dikenal pohonnya,

sungguh tepat menggambarkan keberadaaan para remaja. Artinya jika remaja

memperoleh pola asuh yang baik, maka remaja akan memiliki perilaku yang sehat

dan baik. Sebaliknya, jika remaja mendapat pola asuh yang buruk, remaja juga akan

menjadi remaja yang memiliki perilaku menyimpang.

Gunawan (2005:1) menegaskan bahwa pola asuh orang tua memainkan peran

yang sangat besar dalam menentukan kepribadian untuk keberhasilan hidup

seseorang dan perilaku sehat. Pola asuh yang dilakukan oleh orang tua kepada

anaknya tentu saja berbeda pada masing-masing keluarga. Hal ini dapat disebabkan

oleh berbagai macam faktor di antaranya adalah latar belakang pendidikan orang tua,

informasi yang didapat oleh orang tua tentang kesehatan, cara mengasuh anak, kultur

budaya, kondisi lingkungan sosial, ekonomi dan lain-lain (Mutakim, 2008).

Daniel Napitupulu (2007) mengatakan tidak jarang ditemukan kaum muda


(25)

“tahan uji” menjalani masa remaja mengukir prestasi, sukses dalam studi, pergaulan

yang sehat, terutama dalam menemukan jati dirinya yang sebenarnya. Apa yang

diungkapkan ini berlaku pada kehidupan remaja pada umumnya, termasuk pada

remaja Batak Toba di Kecamatan Pangururan Kabupaten Samosir.

Kecamatan Pangururan Kabupaten Samosir merupakan tempat kediaman suku

Batak Toba yang melekat dengan budayanya. Kondisi alam dan tanahnya gersang

dan bebatuan membuat kehidupan menjadi berat, karena tanahnya sukar diolah

menjadi areal perkebunan maupun pertanian. Meskipun masyarakat Batak Toba

hidup di daerah yang tandus dan bebatuan tidaklah menyurutkan atau menurunkan

semangatnya dalam mengolah tanah untuk kehidupan. Orang Batak dipahami orang

di luar suku Batak adalah sebagai orang yang tidak mau kalah, bersuara keras,

terbuka, spontan agresif, pemberani, rentenir, preman, suka minum tuak, suka main

catur, pandai main gitar, inang-inang, dan perantau. Tapi mereka juga dikenal

sebagai seniman, pandai menyanyi, politikus yang piawai, menteri disetiap kabinet,

dan jenderal berbintang empat (Nainggolan, 2006).

Orang Batak Toba menurut Cavalli-Sforza dan Feldman pada tahun 1981

(Irmawati 2007) dalam hidupnya memiliki adanya pewarisan budaya dari satu

generasi ke generasi penerus. Standar kesempurnaan/prestasi seorang Batak Toba

adalah sebagaimana disebut dalam falsafahnya yang khas yaitu hamoraon

(kekayaan), hagabeon (banyak keturunan) dan hasangapon (kemuliaan). Dalam

perkembangan selanjutnya, khususnya ketika kekristenan yang sekaligus membawa


(26)

faktor utama untuk mencapai cita-cita kekayaan, dan hasangapon. Semakin tinggi

pendidikan dan kesehatan masyarakat, maka semakin terbuka kemungkinan untuk

memperoleh kekayaan dan hasangapon.

Tingginya semangat orang Batak mengecap pendidikan yang lebih tinggi,

tergambar dalam untaian syair lagu "Anakhon hi do hamoraon di ahu" Hu gogo pe

mansari, arian nang bodari, lao pasingkolahon gelleng hi, na ingkon do singkola na

sa timbo-timbona, sintap ni na tolap gogong hi" Dengan kata lain, segala upaya

ditempuh demi menyekolahkan anaknya mencapai pendidikan yang

setinggi-tingginya (Daniel Napitupulu, 2007).

Para orang tua sebaiknya berusaha memberikan bekal pendidikan yang

dipercayai sebagai bekal terbaik bagi anak yaitu pendidikan, seperti yang termuat

dalam Undang-Undang Sisdiknas RI no.20 (2003:8) menyatakan “Orang tua berhak

dan berperan serta memilih satuan pendidikan dan memperoleh informasi tentang

perkembangan pendidikan anaknya”. Keluarga (orang tua) mempunyai peranan yang

besar dalam pembentukan perilaku anak, dengan demikian anak memiliki perilaku

yang sehat. Hubungan akrab antara orang tua dan anak sangat penting untuk dibina

dalam keluarga.

Namun dalam kenyataannya di dalam keluarga tidak jarang ditemukan juga

banyak masalah dan perkelahian. Ada sikap yang negatif seperti teal elat,late dan

hosom atau kesombongan apabila keluargannya sudah merasa dipandang kaya atau

terhormat. Orang tua kurang memperhatikan lagi keadaan keluarga dan


(27)

tua yang konsumtif dan boros dalam pemakaian waktu. Dia menunjuk indikasi

misalnya berapa banyak uang yang dihabiskan untuk membeli rokok dan minum

tuak sambil menyanyi sampai larut malam. Salah satu temuan di Kecamatan

Pangururan Kabupaten Samosir tentang remaja perokok berasal dari rumah tangga

yang tidak bahagia, orang tua tidak begitu memperhatikan anak-anaknya dan

memberikan hukuman fisik yang keras (Situmorang 2008).

Mencermati kenyataan tersebut di atas, penulis terdorong untuk meneliti

tentang “Pengaruh Pola Asuh Orang Tua terhadap Perilaku Kesehatan Remaja pada

Keluarga Batak Toba di Kecamatan Pangururan Kabupaten Samosir ”.

1.2. Permasalahan

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan, maka rumusan masalah dalam

penelitian ini adalah:

1. Bagaimana bentuk pola asuh yang diterapkan orang tua terhadap remaja pada

keluarga Batak Toba di Kecamatan Pangururan Kabupaten Samosir?

2. Bagaimana perilaku kesehatan remaja pada keluarga Batak Toba di Kecamatan

Pangururan Kabupaten Samosir?

3. Adakah pengaruh pola asuh orang tua terhadap perilaku kesehatan remaja pada

Keluarga Batak Toba di Kecamatan Pangururan Kabupaten Samosir?

1.3. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah untuk


(28)

untuk mengetahui pengaruh pola asuh orang tua terhadap perilaku kesehatan remaja

pada keluarga Batak Toba di Kecamatan Pangururan Kabupaten Samosir.

1.4. Hipotesis

Ada pengaruh pola asuh orang tua terhadap perilaku kesehatan remaja pada

keluarga Batak Toba di Kecamatan Pangururan Kabupaten Samosir.

1.5. Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi beberapa manfaat sebagai

berikut :

1. Menambah wawasan dan ilmu pengetahuan yang berhubungan dengan promosi

kesehatan dan ilmu perilaku khususnya yang dapat dimanfaatkan sebagai kajian

bersama mengenai pengaruh pola asuh orang tua terhadap perilaku kesehatan

remaja pada keluarga sehingga dapat dijadikan sumber informasi yang

bermanfaat.

2. Dapat dipergunakan sebagai pemahaman dan gambaran realitas bagi orang tua

Batak Toba dalam menerapkan pola asuh di dalam meningkatkan perilaku

kesehatan remaja.

3. Memberikan masukan bagi Dinas Kesehatan dan Dinas Pendidikan Kabupaten

Samosir dalam merumuskan strategi memberdayakan orang tua dalam


(29)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Pola Asuh Orang Tua 2.1.1. Definisi

Pola berarti susunan, model, bentuk, tata cara, gaya dalam melakukan sesuatu.

Sedangkan mengasuh berarti, membina interaksi dan komunikasi secara penuh

perhatian sehingga anak tumbuh dan berkembang menjadi pribadi yang dewasa serta

mampu menciptakan suatu kondisi yang harmonis dalam lingkungan keluarga dan

masyarakat (Krisnawati dalam Ebin, 2005:8). Berdasarkan kedua pengertian ini

maka pola asuh dapat diartikan sebagai gambaran tentang sikap dan perilaku orang

tua dan anak dalam berinteraksi, berkomunikasi selama mengadakan kegiatan

pengasuhan.

Dalam kegiatan memberikan pengasuhan ini, orang tua akan memberikan

perhatian, peraturan, disiplin, hadiah dan hukuman, serta tanggapan terhadap

keinginan anaknya. Sikap, perilaku, dan kebiasaan orang tua selalu dilihat, dinilai,

dan ditiru oleh anaknya yang kemudian semua itu secara sadar atau tidak sadar akan

diresapi, kemudian menjadi kebiasaan pula bagi anak-anaknya (Godam, 2008:64).

Mengasuh anak orang tua tidak hanya mampu mengkomunikasikan fakta, gagasan,

dan pengetahuan saja, melainkan membantu menumbuhkembangkan kepribadian


(30)

2.1.2. Bentuk Pola Asuh

Bentuk-bentuk pola asuh orang tua sangat erat hubungannya dengan

kepribadian anak setelah menjadi dewasa. Hal ini dikarenakan ciri-ciri dan

unsur-unsur watak seorang individu dewasa sebenarnya sudah diletakkan benih-benihnya

ke dalam jiwa seorang individu sejak awal, yaitu pada masa ia masih kanak-kanak.

Watak juga ditentukan oleh cara-cara ia waktu kecil belajar makan, belajar

kebersihan, disiplin, belajar bermain dan bergaul dengan anak lain dan sebagainya

(Koentjaraningrat, 1997). Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa pola asuh yang

diterapkan oleh orang tua sangat dominan dalam membentuk kepribadian dan

perilaku kesehatan anak sejak dari kecil sampai anak menjadi dewasa. Apabila

pola-pola yang diterapkan orang tua keliru, maka yang akan terjadi bukannya perilaku

yang baik, bahkan akan mempertambah buruk perilaku anak.

Tarmizi (2009) dan Ira Pentrato (2006) menjelaskan pola asuh orang tua

adalah pola perilaku yang diterapkan pada anak dan bersifat relatip konsisten dari

waktu ke waktu. Pola perilaku ini dapat dirasakan oleh anak, dari segi negatif

maupun positif. Menurut Baumrind (1967) (Ira Pentrato 2006), terdapat 3 macam

pola asuh orang tua antara lain: demokratis, otoriter, permisif.

2.1.2.1. Pola Asuh Demokratis

Pola asuh demokratis yaitu pola asuh yang memprioritaskan kepentingan anak,

dan tidak ragu-ragu mengendalikan mereka. Orang tua dengan pola asuh ini bersikap


(31)

tua tipe ini juga bersikap realistis terhadap kemampuan anak, tidak berharap yang

berlebihan yang melampaui kemampuan anak. Orang tua tipe ini juga memberikan

kebebasan kepada anak untuk memilih dan melakukan suatu tindakan, dan

pendekatannya kepada anak bersifat hangat.

2.1.2.2. Pola Asuh Otoriter

Pola asuh otoriter sebaliknya cenderung menetapkan standar yang mutlak harus

dituruti, biasanya dibarengi dengan ancaman-ancaman. Misalnya, “kalau tidak mau

makan, maka tidak akan diajak bicara”. Orang tua tipe ini juga cenderung memaksa,

memerintah, menghukum. Apabila anak tidak mau melakukan apa yang dikatakan

oleh orang tua, maka orang tua tidak segan menghukum anak. Orang tua tipe ini juga

tidak mengenal kompromi, dan dalam komunikasi biasanya bersifat satu arah. Orang

tua tipe ini tidak memerlukan umpan balik dari anaknya untuk mengerti mengenai

anaknya.

2.1.2.3. Pola Asuh Permisif

Pola asuh permisif atau pemanja biasanya memberikan pengawasan yang

sangat longgar. Memberikan kesempatan pada anaknya untuk melakukan sesuatu

tanpa pengawasan yang cukup darinya. Mereka cenderung tidak menegur atau

memperingatkan anak apabila anak sedang dalam bahaya, dan sangat sedikit

bimbingan yang diberikan oleh mereka. Namun orang tua tipe ini biasanya bersifat


(32)

2.1.3. Dampak Pola Asuh

Ira Petranto (2006:4) menguraikan dampak pola asuh pada anak adalah dapat

dikarakteristikkan sebagai berikut:

1. Pola asuh demokratis akan menghasilkan karakteristik anak yang mandiri,

dapat mengontrol diri, mempunyai hubungan baik dengan teman, mampu

menghadapi stress, mempunyai minat terhadap hal-hal baru, dan koperatif

terhadap orang-orang lain.

2. Pola asuh otoriter akan menghasilkan karakteristik anak yang penakut,

pendiam, tertutup, tidak berinisiatif, gemar menentang, suka melanggar norma,

berkepribadian lemah, cemas dan menarik diri.

3. Pola asuh permisif akan menghasilkan karakteristik anak-anak yang impulsif,

agresif, tidak patuh, manja, kurang mandiri, mau menang sendiri, kurang

percaya diri, dan kurang matang secara sosial.

Dari karakteristik-karakteristik tersebut bisa kita lihat, bahwa harga diri anak

yang rendah terutama adalah karena pola asuh orang tua yang permisif.

2.2. Perilaku Kesehatan Remaja 2.2.1. Definisi Remaja

Perkataan remaja merupakan terjemahan dari bahasa Inggris, yaitu adolescence

dan berasal dari kata Latin, adolescere yang berarti tumbuh menjadi dewasa atau


(33)

Piaget (1969) mengatakan pengertian remaja mencakup kematangan mental,

emosional, sosial dan fisik.

Rice (1996) mendefinisikan remaja sebagai suatu periode antara masa

kanak-kanak menuju kedewasaan. Pandangan serupa dikemukakan Lerner dan Hultsch

(1983) bahwa perkembangan remaja adalah periode di antara rentang waktu di

mana saat dianggap masa anak-anak menuju ke masa dewasa. Di masa remaja terjadi

proses perubahan biologis, kognitif dan emosional (Santrock, 2001). Perubahan fisik

dan perkembangan seksual yang terjadi secara cepat juga disertai bertambahnya

tuntutan masyarakat (Conger, 1991).

2.2.1.1. Pembagian dan Batasan Usia Remaja

Berbagai batasan usia dan pembagian masa remaja yang telah dikemukakan

para ahli. Stone dan Church (1973) membagi masa remaja menjadi remaja awal,

remaja akhir dan dewasa muda. Remaja awal adalah suatu periode dari mulainya

masa pubertas hingga kurang lebih satu tahun sesudah pubertas yaitu pada saat pola

fisiologis berfungsi dengan stabil. Remaja akhir adalah periode sesudahnya dari

remaja awal hingga usia yang dibolehkan untuk ikut pemilu, menyetir kendaraan

atau saat mulai masuk kuliah. Dewasa muda adalah periode dari permulaan kuliah

hingga usia awal dua puluhan.

Menurut Hurlock (1980) secara umum masa remaja dibagi menjadi dua bagian

yaitu awal masa remaja dan akhir masa remaja. Awal masa remaja berlangsung


(34)

bermula dari usia 16 tahun atau 17 tahun hingga usia 18 tahun, yaitu usia matang

secara hukum. Santrock (2001) juga membagi masa remaja menjadi dua bagian,

yaitu masa remaja awal dan masa remaja akhir. Hanya saja Santrock (2001)

mengatakan usia remaja awal sekitar 10-13 tahun dan usia remaja akhir berkisar

antara 18-22 tahun.

Mönks, et.al (2001) beranggapan bahwa usia remaja berlangsung antara umur

12 tahun dan 21 tahun dan terbagi atas tiga bagian, yaitu masa remaja awal antara

12-15 tahun, masa remaja pertengahan antara 15-18 tahun dan masa remaja akhir

antara 18-21 tahun. Menurut Abu Ahmadi (2003) dilihat dari segi budaya atau

fungsional usia remaja 13-18 tahun-21 tahun. Di muka umum pengadilan manusia

berumur 18 tahun sudah dianggap dewasa. Untuk tugas-tugas negara 18 tahun sering

diambil sebagai batas dewasa tetapi dalam menuntut hak seperti hak pilih, ada yang

mengambil 18 tahun dan ada yang mengambil 21 tahun sebagai permulaan dewasa.

2.2.1.2. Karakteristik Masa Remaja

Masa remaja mempunyai ciri-ciri tertentu yang membedakannya dengan

periode sebelum dan sesudahnya. Hurlock (1980) menerangkan beberapa

karakteristik remaja adalah sebagai berikut:

1. Masa remaja sebagai periode yang penting

Ada periode yang penting karena akibat fisik dan ada lagi karena akibat

psikologis. Dikatakan Tanner (1971) bahwa sebagian besar anak muda, usia


(35)

menyangkut pertumbuhan dan perkembangan. Perkembangan fisik yang cepat

dan penting disertai dengan cepatnya perkembangan mental yang terjadi

terutama pada awal masa remaja. Semua perkembangan itu menimbulkan

perlunya penyesuaian mental dan perlunya membentuk sikap, nilai dan minat

baru (Hurlock, 1980).

2. Masa remaja sebagai periode transisi

Dalam setiap adanya transisi suatu perubahan, status individu menjadi tidak

jelas karena terdapat keraguan akan peran yang harus dilakukan. Pada masa

remaja, individu bukan lagi seorang anak-anak dan juga bukan orang dewasa. Di

sisi lain, status remaja yang tidak jelas ini memberikan keuntungan karena status

tersebut memberi ruang dan waktu kepada seorang remaja untuk mencoba gaya

hidup yang berbeda dan menentukan pola perilaku, nilai dan sifat yang paling

sesuai bagi dirinya (Gunter dan Moore, 1975).

3. Masa remaja sebagai periode perubahan

Perubahan fisik yang terjadi pada masa remaja akan seiring dengan perubahan

sikap dan perilaku. Ini berarti saat perubahan sifat berlangsung dengan cepat

maka akan terjadi juga perubahan sikap dan perilaku dengan cepat dan

sebaliknya. Hurlock (1980) menjelaskan ada beberapa perubahan yang pada

umumnya terjadi pada masa remaja, yaitu:

a. Peningkatan emosional


(36)

b. Perubahan fisiologis tubuh

Perubahan pada proses pematangan seksual membuat individu remaja

menjadi tidak percaya diri terhadap kemampuan dan minat mereka.

c. Perubahan minat dan peran

Perubahan yang diharapkan oleh lingkungan sosial dapat menimbulkan

masalah baru dan lebih banyak dibandingkan masa sebelumnya. Hal ini

akan terjadi terus hingga individu itu sendiri yang menyelesaikannya.

d. Perubahan terhadap nilai-nilai

Beberapa nilai-nilai yang dianggap penting pada masa sebelumnya menjadi

tidak penting lagi di masa remaja. Pada masa ini mulai dipahami bahwa

kualitas lebih penting dibandingkan kuantitas.

e. Ambivalen terhadap perubahan

Pada masa remaja, individu menginginkan dan menuntut kebebasan tetapi

sering takut bertanggungjawab akan akibat yang terjadi.

4. Masa remaja sebagai masa bermasalah

Berbagai masalah yang terjadi di masa remaja sering menjadi masalah yang sulit

diatasi. Ada dua alasan yang menyebabkan hal ini terjadi (Hurlock, 1980), yaitu:

(i) pada masa kanak-kanak segala masalah diselesaikan oleh orang tua ataupun

para guru sehingga remaja tidak mempunyai pengalaman terhadap masalah yang

terjadi; (ii) para remaja merasa telah mandiri sehingga menolak bantuan orang

tua ataupun para guru dengan alasan ingin mengatasi masalahnya sendiri.


(37)

akibat yang tragis. Kegagalan ini menurut Freud (1969) bukan karena

ketidakmampuan individu tetapi karena tuntutan yang diajukan pada remaja

terjadi dikala tenaganya telah dihabiskan untuk mengatasi masalah pokok yang

disebabkan oleh pertumbuhan dan perkembangan seksual yang normal.

5. Masa remaja sebagai masa mencari identitas

Identitas diri yang dicari remaja adalah usaha untuk menjelaskan siapa dirinya

dan apa peranannya dalam masyarakat (Erikson, 1964). Pada tahun-tahun awal

masa remaja, penyesuaian diri dengan kelompok menjadi penting. Tiap

penyimpangan dari standar kelompok dapat mengancam keanggotaannya dalam

kelompok (Boyd, 1975). Lambat laun, individu remaja mulai mendambakan

identitas diri dan tidak puas lagi dengan menjadi sama dengan teman-temannya

dalam segala hal. Salah satu cara memunculkan identitas diri adalah dengan

menggunakan simbol status yang mudah terlihat seperti model pakaian, gaya,

jenis kendaraan dan lain-lain. Cara ini dimaksudkan agar menarik perhatian dan

dipandang oleh orang lain. Pada saat yang sama individu juga tetap

mempertahankan identitas dirinya sebagai anggota dari suatu kelompok sebaya.

6. Masa remaja sebagai usia yang menimbulkan ketakutan

Ada anggapan bahwa masa remaja adalah masa yang sangat bernilai, tetapi

sangat disayangkan banyak yang menjadikannya menjadi sesuatu yang bernilai

negatif (Majeres, 1976). Stereotip yang mengatakan remaja adalah anak-anak

yang tidak rapi, yang tidak dapat dipercaya dan cenderung berperilaku merusak


(38)

tidak simpatik terhadap perilaku remaja walaupun dilakukan dengan normal

(Hurlock,1980). Stereotip yang telah dibangun masyarakat dalam

menggambarkan citra diri remaja, lambat laun dianggap sebagai gambaran asli

dan membuat para remaja membentuk perilakunya sesuai gambaran tersebut

(Anthony, 1969).

7. Masa remaja sebagai masa yang tidak realistik

Remaja melihat dirinya dan orang lain seperti yang diinginkannya dan bukan

sebagaimana adanya, terlebih lagi dalam hal cita-cita. Cita-cita yang tidak

realistik ini bukan hanya kepada dirinya semata tetapi juga terhadap

teman-teman dan keluarganya (Hurlock, 1980). Hal ini semakin menyebabkan

meningginya emosi terutama di awal masa remaja. Semakin cita-citanya tidak

realistis maka individu tersebut semakin menjadi pemarah. Remaja tersebut

akan sakit hati dan kecewa apabila ada orang lain yang mengecewakannya dan ia

tidak berhasil mencapai tujuan yang telah ditetapkannya (Russian, 1975).

8. Masa remaja sebagai ambang masa dewasa

Remaja akan menjadi gelisah untuk meninggalkan stereotip belasan tahun

dan untuk menciptakan kesan bahwa mereka akan beranjak dewasa. Gaya

berpakaian dan bertindak seperti dewasa dirasakan belum memadai. Oleh sebab

itu remaja mulai memusatkan pada perilaku yang dihubungkan pada status

dewasa, seperti merokok, minum-minuman keras, menggunakan obat-obatan

terlarang dan terlibat dalam perbuatan seks. Mereka beranggapan perilaku ini


(39)

2.2.1.3. Perkembangan Masa Remaja

Berbagai perkembangan pada masa remaja dapat dilihat dari berbagai aspek.

Aspek-aspek tersebut adalah sebagai berikut:

1. Perkembangan fisik

Perubahan fisik yang terjadi pada masa remaja merupakan gejala utama dari

perkembangan remaja karena ada hubungannya dengan aspek lain dari

perkembangan remaja. Hurlock (1980) membagi perubahan fisik atas dua

bagian, yaitu: (i) perubahan eksternal, yang meliputi perubahan tinggi badan,

berat badan, proporsi tubuh, perubahan organ seks dan ciri-ciri seks sekunder;

dan (ii) perubahan internal, yang meliputi perubahan system pencernaan, sistem

peredaran darah, sistem pernapasan, sistem endokrin dan jaringan tubuh. Turner

dan Helms (1995) menyebutkan remaja mengalami karakteristik yang primer

dan sekunder. Karakteristik seks primer adalah karakteristik dari organ

reproduksi sedangkan karakteristik seks sekunder adalah perkembangan secara

non-genital. Apabila karakteristik seks primer dan sekunder seorang individu

telah matang maka ia memiliki kemampuan bereproduksi atau yang disebut

dengan pubertas. Masa pubertas dimulai saat kelenjar di bawah otak mengirim

pesan pada kelenjar seks untuk meningkatkan pengeluaran hormon. Hal-hal

yang berhubungan dengan pubertas adalah gen, kesehatan dan lingkungan


(40)

2. Perkembangan kognitif

Piaget dalam Turner dan Helms (1995) menyebutkan perkembangan kognitif

remaja ke dalam tahap formal operasional yaitu saat pemikirannya menjadi

semakin rasional. Pada tahap ini remaja mulai mengembangkan pemikiran yang

bersifat abstrak, hipotesis serta mampu melihat berbagai kemungkinan dalam

pemecahan masalah yang dihadapi serta mulai memikirkan bagaimana

pandangan orang lain terhadap dirinya. Dikatakan Sulaeman (1995) bahwa

pada masa remaja, seorang individu mengalami kematangan secara intelektual

dan cara berpikirnya mengalami perubahan serta mampu membentuk

konsep-konsep. Pada masa ini terjadi pertambahan dalam kemampuan menggeneralisasi,

pertambahan kemampuan-kemampuan berpikir tentang masa depan, mampu

berpikir tentang hal-hal atau ide-ide yang lebih luas dan pertambahan

kemampuan untuk berpikir dan berkomunikasi secara logis.

3. Perkembangan kepribadian

Pada tahap ini terjadi suatu konflik yang disebut konflik antara identity vs role

confusion (Erikson, 1964; Morgan, et.al., 1986). Di masa ini remaja sedang

dalam proses pembentukan identitas diri yang merupakan masa di mana

individu berharap dapat mengatakan siapa dirinya saat ini dan apa yang

dikehendakinya di masa mendatang. Untuk membentuk identitas diri, remaja

harus mengetahui dan mengorganisasi kemampuan, keinginan, minat dan

hasrat mereka sehingga mereka mampu mengekspresikannya ke dalam konteks


(41)

remaja berada pada tahap genital dalam perkembangan kepribadiannya. Ciri-ciri

yang mencolok dari tahap ini adalah adanya sublimasi dari perasaan-perasaan

oedipal melalui ekspresi libido, yaitu dengan cara jatuh cinta dengan lawan

jenis.

4. Perkembangan emosi

Secara tradisional masa remaja dianggap sebagai periode “badai dan tekanan”,

yaitu suatu masa di mana ketegangan emosi meninggi sebagai akibat dari

perubahan fisik dan kelenjar (Hurlock, 1980). Pada masa perkembangan emosi

terjadi ketidakstabilan emosi di mana individu mengalami perasaan-perasaan

yang kontradiktif sifatnya (Pikunas, 1976), seperti sinis terhadap orang lain

maupun terhadap kejadian tertentu, benci, perasaan cinta, apatis, peduli dan

sebagainya (Rice, 1999). Meskipun emosi remaja seringkali sangat kuat, tidak

terkendali dan tampaknya irrasional tetapi pada umumnya terjadi perbaikan

perilaku emosional secara perlahan (Hurlock, 1980).

5. Perkembangan sosial

Salah satu tugas perkembangan masa remaja yang tersulit adalah yang

berhubungan dengan penyesuaian sosial (Hurlock, 1980). Diterangkan

Greenberger, et. al., (1975) bahwa upaya yang terpenting dan tersulit adalah

penyesuaian diri dengan meningkatnya pengaruh kelompok sebaya, perubahan

dalam perilaku sosial, pengelompokan sosial yang baru, nilai-nilai baru dalam

seleksi persahabatan ataupun dukungan dan penolakan sosial serta seleksi


(42)

teman-teman sebaya sebagai suatu kelompok, maka pengaruh teman-teman sebaya lebih

besar daripada pengaruh keluarga. Untuk itu apabila seorang remaja ingin serupa

dengan penampilan anggota kelompok yang populer, maka kesempatan untuk

diterima oleh kelompok menjadi lebih besar (Littrell dan Eicher 1973; Musa dan

Roach, 1973).

6. Perkembangan Moral

Pada masa ini remaja diharapkan mengganti konsep-konsep moral yang telah ada

pada masa kanak-kanak dengan prinsip moral yang berlaku umum dan

merumuskannya ke dalam kode moral yang akan berfungsi sebagai pedoman

bagi perilakunya (Hurlock, 1980). Dalam diri seorang yang mempunyai moral

yang matang selalu ada rasa bersalah dan malu. Hanya saja rasa bersalah

berperan lebih penting daripada rasa malu dalam mengendalikan perilaku apabila

pengendalian lahiriah tidak ada (Ausubel, et.al., 1977).

2.2.2. Perilaku Kesehatan 2.2.2.1. Definisi Perilaku

Perilaku manusia pada hakikatnya adalah tindakan atau aktivitas dari manusia itu

sendiri yang sangat mempunyai bentangan yang sangat luas antara lain: berjalan,

berbicara, menangis, tertawa, bekerja, kuliah, menulis, membaca, dan sebagainya.

Sehingga perilaku manusia adalah semua kegiatan atau aktivitas yang dapat diamati


(43)

Skiner (1938) seorang ahli psikologi, merumuskan bahwa perilaku merupakan

respons atau reaksi seseorang terhadap stimulus (rangsangan dari luar). Oleh karena

perilaku ini terjadi melalui proses adanya stimulus terhadap organisme, dan

kemudian organisme tersebut merespons, maka teori Skiner ini disebut teori “S-O-R”

atau Stimulus Organisme Respons. Skiner membedakan adanya dua respons yaitu:

(1.) Respondent respons atau reflexive, yakni respons yang ditimbulkan oleh

rangsangan-rangsangan (stimulus) tertentu. Stimulus semacam ini disebut eliciting

stimulation karena menimbulkan respons-respons yang relative tetap. Misalnya:

makanan yang sehat menimbulkan keinginan untuk makan, cahaya yang terang

menyebabkan mata tertutup, dan sebagainya. Respondent respons ini juga mencakup

perilaku emosional, misalnya mendengar berita musibah menjadi sedih atau

menangis, lulus ujian meluapkan kegembiraanya dengan mengadakan pesta, dan

sebagainya. (2.) Operant respons atau instrumental respons, yakni respons yang

timbul dan berkembang kemudian diikuti oleh stimulus atau perangsang tertentu.

Perangsang ini disebut reinforcing stimulation atau reinforcer, karena memperkuat

respons. Misalnya apabila seorang petugas kesehatan melaksanakan tugasnya dengan

baik (respons terhadap uraian tugasnya atau job skripsi) kemudian memperoleh

penghargaan dari atasannya (stimulus baru), maka petugas kesehatan tersebut akan

lebih baik lagi dalam melaksanakan tugasnya.

Dilihat dari bentuk respons terhadap stimulus tersebut, maka perilaku dapat


(44)

1. Perilaku tertutup (covert behaviour)

Respons seseorang terhadap stimulus dalam bentuk terselubung atau tertutup

(covert). Respons atau reaksi terhadap stimulus ini masih terbatas pada perhatian,

persepsi, pengetahuan/kesadaran, dan sikap yang terjadi pada orang yang menerima

stimulus tersebut, dan belum dapat diamati dengan jelas oleh orang lain. Oleh sebab

itu, disebut covert behaviour atau unobservable behaviour, misalnya: seorang ibu

hamil tahu pentingnya periksa kehamilan, seorang pemuda tahu bahwa HIV/AIDS

dapat menular melalui hubungan seks, dan sebagainya.

2. Perilaku terbuka (overt behaviour)

Respons seseorang terhadap stimulus dalam bentuk tindakan nyata dan terbuka.

Respons terhadap stimulus tersebut sudah jelas dalam bentuk tindakan atau praktik

(practice), yang dengan mudah dapat diamati atau dilihat oleh orang lain. Oleh

karena itu disebut overt behaviour, tindakan nyata atau praktik (practice) misalnya,

seorang ibu memeriksakan kehamilannya atau membawa anaknya ke Puskesmas

untuk diimunisasi, penderita TB paru minum obat secara teratur, dan sebagainya.

Seperti yang telah disebutkan di atas, sebagian besar perilaku manusia adalah

operant response. Oleh sebab itu, untuk membentuk jenis respons atau perilaku perlu

diciptakan adanya suatu kondisi tertentu yang disebut operant conditioning. Prosedur

pembentukan perilaku dalam operant conditioning menurut Skiner adalah sebagai

berikut:

a. Melakukan identifikasi tentang hal-hal yang merupakan penguat atau reinforcer


(45)

b. Melakukan analisis untuk mengidentifikasi komponen-komponen kecil yang

membentuk perilaku yang dikehendaki. Kemudian komponen-komponen tersebut

disusun dalam urutan yang tepat untuk menuju kepada terbentuknya perilaku

yang dimaksud.

c. Menggunakan secara urut komponen-komponen itu sebagai tujuan sementara,

mengidentifikasi reinforcer atau hadiah untuk masing-masing komponen

tersebut.

d. Melakukan pembentukan perilaku dengan menggunakan urutan komponen yang

telah tersusun.

Apabila komponen pertama telah dilakukan, maka hadiah diberikan. Hal ini

akan mengakibatkan komponen atau perilaku (tindakan) tersebut cenderung akan

sering dilakukan. Kalau ini sudah terbentuk maka dilakukan komponen (perilaku)

yang ke dua yang kemudian diberi hadiah (komponen pertama tidak perlu diberi

hadiah lagi). Demikian berulang-ulang sampai komponen ke dua terbentuk. Setelah

itu dilanjutkan dengan komponen ke tiga, ke empat, dan selanjutnya sampai seluruh

perilaku yang diharapkan terbentuk (Soekidjo, 2007).

2.2.2.2. Pembagian Perilaku

Berdasarkan batasan perilaku dari Skiner tersebut, maka perilaku kesehatan

adalah suatu respons seseorang (organisme) terhadap stimulus atau objek yang


(46)

minuman, serta lingkungan. Dari batasan ini, perilaku kesehatan dapat

diklarifikasikan menjadi 3 kelompok:

1. Perilaku pemeliharaan kesehatan (health maintanance) adalah perilaku atau

usaha-usaha seseorang untuk memelihara atau menjaga kesehatan agar tidak sakit

dan usaha untuk penyembuhan bilamana sakit. Oleh karena itu, perilaku

pemeliharaan kesehatan ini terdiri dari 3 aspek yaitu:

a. Perilaku pencegahan penyakit, dan penyembuhan penyakit bila sakit, serta

pemulihan kesehatan bilamana telah sembuh dari penyakit.

b. Perilaku peningkatan kesehatan, apabila seseorang dalam keadaan sehat.

Kesehatan itu sangat dinamis dan relatif, maka dari itu orang yang sehatpun

perlu diupayakan supaya mencapai tingkat kesehatan yang seoptimal

mungkin.

c. Perilaku gizi (makanan dan minuman), makan dan minuman dapat

memelihara serta meningkatkan kesehatan seseorang, tetapi sebaliknya

makanan dan minuman dapat menjadi penyebab menurunnya kesehatan

seseorang, bahkan dapat mendatangkan penyakit. Hal ini sangat tergantung

pada perilaku orang terhadap makanan dan minuman tersebut.

2. Perilaku pencarian dan penggunaan sistem atau fasilitas pelayanan kesehatan, atau

sering disebut perilaku pencarian pengobatan (health seeking behaviour).

Perilaku ini adalah menyangkut upaya dan tindakan seseorang saat menderita

penyakit dan atau kecelakaan. Tindakan dan perilaku ini dimulai dari mengobati


(47)

3. Perilaku kesehatan lingkungan

Perilaku kesehatan lingkungan adalah tentang bagaimana seseorang merespon

lingkungan, baik lingkungan fisik maupun sosial budaya, dan sebagainya,

sehingga lingkungan tersebut tidak mempengaruhi kesehatannya. Dengan

perkataan lain, bagaimana seseorang mengelola lingkungannya sehingga tidak

mengganggu kesehatannya sendiri, keluarga, atau masyarakatnya. Misalnya

bagaimana mengelola pembuangan tinja, air minum, dan sebagainya.

Seorang ahli lain (Becker, 1979) membuat klasifikasi lain tentang perilaku

kesehatan, yaitu:

a. Perilaku hidup sehat adalah perilaku-perilaku yang berkaitan dengan upaya atau

kegiatan seseorang untuk mempertahankan dan meningkatkan kesehatannya.

Perilaku ini mencakup antara lain:

1) Makan dengan menu seimbang (appropriate diet),

2) Olah raga yang teratur, juga mencakup kualitas (gerakan), dan kuantitas

dalam arti frekuensi dan waktu yang digunakan untuk olah raga.

3) Tidak merokok.

Merokok adalah kebiasaan buruk yang mengakibatkan berbagai macam

penyakit. Ironisnya kebiasaan merokok, khususnya di Indonesia, seolah-olah

sudah membudaya. Hampir 50% penduduk Indonesia usia dewasa merokok.

Bahkan dari hasil suatu penelitian, sekitar 15% remaja Indonesia telah


(48)

4) Tidak minum-minuman keras dan narkoba.

Kebiasaan minum miras dan mengkonsumsi narkoba (narkotik dan

bahan-bahan berbahaya lainya) juga cenderung meningkat. Sekitar 1% penduduk

Indonesia dewasa diperkirakan sudah mempunyai kebiasaan minum miras

ini.

5). Istirahat yang cukup.

Dengan meningkatnya kebutuhan hidup akibat tuntutan untuk menyesuaikan

dengan lingkungan modern, mengharuskan orang untuk bekerja keras dan

berlebihan, sehingga waktu istirahat berkurang. Hal ini dapat membahayakan

kesehatan.

6). Mengendalikan stress.

Stres akan terjadi pada siapa saja, dan akibatnya bermacam-macam bagi

kesehatan. Lebih-lebih sebagai akibat dari tuntutan hidup yang keras seperti

diuraikan di atas. Kecenderungan stres akan meningkat pada setiap orang.

Stres tidak dapat kita dihindari, yang penting dijaga agar stres tidak

menyebabkan gangguan kesehatan, kita harus dapat mengendalikan atau

mengelola stres dengan kegiatan-kegiatan yang positif.

7). Perilaku atau gaya hidup lain yang positif bagi kesehatan, misalnya: tidak

berganti-ganti pasangan dalam hubungan seks, penyesuaian diri kita dengan


(49)

b. Perilaku sakit (illness behaviour)

Perilaku sakit ini mencakup respons seseorang terhadap sakit dan penyakit,

persepsinya terhadap sakit, pengetahuannya tentang penyebab dan gejala sakit,

penguatan penyakit, dan sebagainya.

c. Perilaku peran sakit (the sick role behaviour)

Dari segi sosiologi, orang sakit (pasien) mempunyai peran yang mencakup

hak-hak orang sakit (obligation). Hak dan kewajiban harus diketahui oleh orang sakit

sendiri maupun orang lain (terutama keluarganya), yang selanjutnya disebut

perilaku peran orang sakit (the sick role).

Perilaku ini meliputi: 1) tindakan untuk memperoleh kesembuhan; 2) mengenal

mengetahui fasilitas atau sarana pelayanan/penyembuhan penyakit yang layak; 3)

mengetahui hak, (misalnya: hak memperoleh perawatan, memperoleh pelayanan

kesehatan, dan sebagainya) dan kewajiban orang sakit (memberitahu penyakitnya

kepada orang lain terutama kepada dokter/petugas kesehatan, tidak menularkan

penyakitnya kepada orang lain, dan sebagainya).

2.2.2.3. Domain Perilaku

Meskipun perilaku adalah bentuk respons atau reaksi terhadap stimulus atau

ransangan dari luar organisme (orang), namun dalam memberikan respons sangat

tergantung pada karakteristik atau faktor-faktor lain dari orang yang bersangkutan.

Faktor-faktor yang membedakan respons terhadap stimulus yang berbeda disebut


(50)

1. Determinan atau faktor internal, yakni karakteristik orang yang bersangkutan,

yang bersifat given atau bawaan, misalnya: tingkat kecerdasan, tingkat

emosional, jenis kelamin, dan sebagainya.

2. Determinan atau faktor eksternal, yakni lingkungan, baik lingkungan fisik, sosial

budaya, ekonomi, politik, dan sebagainya. Faktor lingkungan ini sering

merupakan faktor yang dominan yang mewarnai perilaku seseorang.

Benyamin Bloom (1908) seorang ahli psikologi pendidikan membagi perilaku

manusia itu ke dalam 3 (tiga) domain, ranah atau kawasan yakni: kognitif, afektif

dan psikomotor. Dalam perkembangannya, teori Bloom ini dimodifikasi untuk

pengukuran hasil pendidikan kesehatan, yakni:

1. Pengetahuan (knowledge)

Pengetahuan merupakan hasil dari tahu, dan ini terjadi setelah orang melakukan

pengindraan terhadap suatu objek tertentu. Pengindraan terjadi melalui pancaindra

manusia, yakni indra penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa, dan raba. Sebagian

besar pengetahuan manusia diperoleh melalui mata dan telinga. Pengetahuan atau

kognitif merupakan domain yang sangat penting dalam membentuk tindakan

seseorang (overt behaviour).

a. Proses Adopsi Perilaku

Dari pengalaman dan penelitian terbukti bahwa perilaku yang didasari oleh

pengetahuan akan lebih langgeng daripada perilaku yang tidak didasari oleh


(51)

mengadopsi perilaku baru (berperilaku baru), di dalam diri orang tersebut terjadi

proses yang berurutan, yaitu:

1. Awareness (kesadaran), yakni orang tersebut menyadari dalam arti mengetahui

stimulus (objek) terlebih dahulu,

2. Interest, yakni orang yang mulai tertarik kepada stimulus,

3. Evaluation (menimbang-nimbang baik dan tidaknya stimulus tersebut bagi

dirinya). Hal ini berarti sikap responden sudah lebih baik lagi.

4. Trial, orang telah mulai mencoba perilaku baru,

5. Adaption, subjek telah berperilaku baru sesuai dengan pengetahuan, kesadaran,

dan sikapnya terhadap stimulus.

Namun demikian, dari penelitian selanjutnya Rogers menyimpulkan bahwa

perubahan perilaku tidak selalu melewati tahap-tahap tersebut. Maka teori ini

dimodifikasi menjadi empat fase yaitu :

1. Knowledge yaitu memberikan pengetahuan-pengetahuan mengenai kesehatan,

menurut bidang yang akan dicapai oleh program tersebut. Dengan sendirinya

pengetahuan yang diberikan itu disesuaikan dengan tingkat perkembangan

masyarakat/individu yang dididik.

2. Persuassion yaitu : dalam tingkat ini masyarakat sudah mulai mengambil hati

terhadap pengetahuan yang diperoleh. Maka pendidikan kesehatan masyarakat

bertugas untuk lebih mendekati mereka; kalau perlu secara personal.

3. Decision : dalam fase ini masyarakat sudah memutuskan untuk mencoba tingkah


(52)

kesehatan dan juga penerangan-penerangan yang jelas, agar putusan mereka itu tidak

berdasarkan paksaan.

4. Comfirmasi: apabila masyarakat atau individu telah mau melaksanakan tingkah

laku yang baru sesuai dengan norma-norma kesehatan, kita tinggal menguatkan

tingkah laku mereka ini, supaya tidak terjadi drop out. Caranya dengan selalu

meneruskan usaha-usaha pelayanan yang telah ada.

b. Tingkat Pengetahuan di dalam Domain Kognitif

Pengetahuan yang tercakup dalam domain kognitif mempunyai 6 tingkatan,

yaitu:

1. Tahu (know)

Tahu diartikan sebagai mengingat suatu materi yang telah dipelajari sebelumnya.

Termasuk ke dalam pengetahuan tingkat ini adalah mengingat kembali (recall)

sesuatu yang spesifik di seluruh bahan yang dipelajari atau rangsangan yang telah

diterima.

2. Memahami (comprehention)

Memahami diartikan sebagai suatu kemampuan untuk menjelaskan secara benar

tentang objek yang diketahui, dan dapat menginterpretasikan materi tersebut

secara benar.

3. Aplikasi (aplication)

Aplikasi diartikan sebagai kemampuan untuk menggunakan materi yang telah


(53)

4. Analisis (analysis)

Analisis adalah kemampuan untuk menjabarkan materi atau suatu objek ke dalam

komponen-komponen, tetapi masih di dalam satu struktur organisasi, dan masih

ada kaitannya satu sama lain.

5. Sintesis (synthesis)

Sintesis menunjukkan kepada suatu kemampuan untuk meletakkan atau

menghubungkan bagian-bagian di dalam suatu bentuk yang baru. Dengan kata

lain sintesis adalah suatu kemampuan untuk menyusun formulasi baru dari

formulasi-formulasi yang ada. Misalnya, dapat menyusun, dapat merencanakan,

dapat meringkaskan, dapat menyesuaikan, dan sebagainya terhadap teori atau

rumusan-rumusan yang telah ada.

6. Evaluasi (evaluation)

Evaluasi berkaitan dengan kemampuan untuk melakukan justifikasi atau

penilaian terhadap suatu materi atau objek yang didasarkan pada suatu kriteria

yang ditentukan sendiri atau dengan kriteria yang telah ada.

2. Sikap (attitude)

Sikap merupakan reaksi atau respons yang masih tertutup dari seseorang

terhadap suatu stimulus atau objek. Manifestasi sikap tersebut tidak dapat langsung

dilihat, tetapi hanya dapat ditafsirkan terlebih dahulu dari perilaku yang tertutup.

Newcomb salah seorang ahli psikologis sosial, menyatakan bahwa sikap itu

merupakan kesiapan atau kesediaan untuk bertindak, bukan merupakan pelaksanaan


(54)

merupakan predisposisi tindakan suatu perilaku. Sikap itu masih merupakan kesiapan

untuk bereaksi terhadap objek di lingkungan tertentu sebagai suatu penghayatan

terhadap objek.

a. Komponen Pokok Sikap

Allport (1954) menjelaskan bahwa sikap itu mempunyai 3 komponen pokok,

yaitu: 1. kepercayaan (keyakinan), ide, dan konsep terhadap suatu objek; 2.

kehidupan emosional atau evaluasi terhadap suatu objek; 3. kecenderungan untuk

bertindak (tend to behave). Ketiga komponen tersebut secara bersama-sama

membentuk sikap yang utuh (total attitude). Dalam penentuan sikap yang utuh ini,

pengetahuan, pikiran, keyakinan, dan emosi memegang peranan penting.

b. Berbagai Tingkatan Sikap

Seperti halnya dengan pengetahuan, sikap ini terdiri dari berbagai tingkatan:

menerima (receiving), merespon (responding), menghargai (valuing), bertanggung

jawab (responsible)

3. Praktik atau tindakan (practice)

Suatu sikap yang belum otomatis terwujud dalam suatu tindakan (overt

behaviour). Untuk mewujudkan suatu sikap menjadi suatu perbuatan yang nyata

diperlukan faktor pendukung atau suatu kondisi yang memungkinkan, antara lain

adalah fasilitas. Di samping faktor fasilitas, juga diperlukan faktor dukungan

(support) dari pihak lain, misalnya dari orang terdekat. Praktik ini mempunyai


(55)

1. Persepsi (perseption), yaitu mengenal dan memilih berbagai objek sehubungan

dengan tindakan yang akan diambil.

2. Respons terpimpin (guided response), yaitu dapat melakukan sesuatu sesuai

dengan urutan yang benar dan sesuai dengan contoh.

3. Mekanisme (mecanisme), melakukan sesuatu secara benar dan otomatis sehingga

menjadi suatu kebiasaan.

4. Adopsi (adoption), yaitu suatu praktik atau tindakan yang sudah berkembang

dengan baik.

2.3. Keluarga Batak Toba 2.3.1. Definisi Keluarga

Keluarga merupakan lingkungan primer bagi hampir setiap individu, sejak

dilahirkan sampai datang masanya meninggalkan rumah untuk membentuk keluarga

sendiri. Sebagai lingkungan primer, hubungan antar manusia yang paling intensif dan

paling awal terjadi dalam keluarga. Sebelum seseorang mengenal lingkungan yang

lebih luas, terlebih dahulu mengenal lingkungan keluarganya. Karena itu sebelum

mengenal norma-norma dan nilai-nilai dari masyarakat umum, pertama kali ia

menyerap norma-norma dan nilai-nilai yang berlaku dalam keluarganya untuk

dijadikan bagian dari kepribadiannya (Sarwono, 2004).

Besar keluarga dapat menjadi tolok ukur keharmonisan dalam membina

interaksi sesama anggota keluarga. Menurut Gunarsa dan Gunarsa (2000), besar


(56)

Hal ini mengakibatkan munculnya berbagai reaksi seperti otoriter, acuh tak acuh,

sikap bersaing dan tersisih. Kondisi tersebut tentu dapat menimbulkan ketegangan

yang dapat berakibat lebih buruk pada perilaku antar anggota keluarga itu sendiri.

Dalam hal ini, Asrori dan Ali (2004) menekankan pentingnya pola interaksi di

dalam keluarga. Interaksi yang terjadi antar individu dalam lingkungan keluarga akan

tampil dalam kualitas yang berbeda-beda. Kualitas mengacu kepada derajat relatif

kebaikan atau keunggulan interaksi antar individu. Suatu interaksi dikatakan

berkualitas jika mampu memberikan kesempatan kepada individu untuk

mengembangkan diri dengan segala kemungkinan yang dimilikinya. Tingkat

pendidikan orang tua juga sangat menentukan keberhasilan pembentukan

kepribadian dan perilaku remaja.

Menurut Pulungan (1993) dalam Cahyaningsih (1999), orang tua yang

berpendidikan tinggi cenderung lebih mengembangkan diri dan pengetahuannya,

serta lebih terbuka untuk mengikuti perkembangan informasi dan masyarakat

dibandingkan dengan orang tua yang berpendidikan rendah. Hal inilah yang

mempengaruhi perlakuan mereka terhadap anak dalam keluarga. Dalam keluarga,

orang tua bertanggung jawab memberikan pendidikan kepada anak-anaknya dengan

pendidikan yang baik berdasarkan nilai-nilai akhlak dan spiritual yang luhur. Namun,

sayangnya tidak semua orang tua dapat melakukannya. Buktinya dalam kehidupan di

masyarakat masih sering ditemukan anak-anak nakal dengan sikap dan perilaku yang

tidak hanya terlibat dalam perkelahian, tetapi juga terlibat dalam pergaulan bebas,


(57)

Maksud bentukan keluarga dalam hal ini adalah kata-kata apakah yang sering

dikatakan oleh orang tuanya. Pujian apa yang sering didengar, hukuman apa yang

sering dialami berkaitan dengan satu perilaku di rumah. Motivasi apa serta contoh

apa yang diperlihatkan keluarganya. Semua itu akan membentuk perilaku seseorang.

Semua stimulus diperoleh sejak lahir baik dari kakak, ayah, ibu, teman, televisi dan

sebagainya. Semua akan mempengaruhi cara kita bersikap terhadap sesuatu, pada

saat itulah kepribadian terbentuk.

2.3.2. Kebiasaan Batak Toba

Suku Batak Toba meletakkan pendidikan dan kesehatan sebagai hal utama

dalam kehidupan mereka dilandasi oleh nilai-nilai filsafat hidup orang Batak Toba,

hagabeon ’anak’, hamoraon ’kekayaan’, dan hasangapon ’kehormatan’ (Panjaitan

1977). Semakin tinggi tingkat pendidikan dan kesehatan anak-anak suatu keluarga,

semakin terhormat atau sangap keluarga itu dalam masyarakatnya.

Mayoritas penduduk di daerah Batak Toba hanya bermata pencaharian sebagai

petani dengan kehidupan yang sederhana, namun orang tua menunjukkan aspirasi

yang tinggi terhadap pendidikan dan kesehatan anak. Bagi orang Batak Toba,

rangkaian tiga kata hagabeaon, hamoraon, hasangapon secara eksistensial saling

mendukung, yaitu nilai budaya yang menjadi tujuan dan pedoman hidup ideal orang

Batak Toba (Harahap& Siahaan, 1987).

Faktor-faktor lain yang berperan dalam keberhasilan suku Batak Toba adalah


(58)

khususnya peran ”ibu” yang bersedia berkorban demi keberhasilan anak-anaknya,

serta perasaan hosom (dendam), teal (sombong), elat (dengki) dan late (iri) yang

membuat orang Batak Toba ”tidak mau kalah”.

Masyarakat Batak Toba pada umumnya memandang tugas utama seorang

wanita adalah mengurus rumah tangga dan mengurus anak. Seandainya seorang

wanita melakukan pekerjaan di luar tugas rumah tangga, maka selalu diharapkan

oleh masyarakat Batak Toba, bahwa pekerjaan tersebut tidak menghambat tugas

rumah tangga.

Sebaliknya inang-inang, yang terdiri dari pedagang-pedagang wanita Batak

Toba, sebagian besar waktunya sehari-hari dipergunakan untuk berdagang.

Bagaimana mereka dapat menjalankan peranan sebagai ibu, sebagai isteri, sebagai

tenaga pendidik anak, sebagai anggota keluarga luas sebagai anggota masyarakat

Batak Toba, dan bagaimana pandangan warga masyarakat Batak Toba itu sendiri

terhadap inang-inang dan kegiatan dagangnya.

Meskipun inang-inang jarang berada di rumah, dan sebagian besar waktunya

dipergunakan untuk mencari nafkahnya, hal ini tidak berarti bahwa anak-anak tidak

merasa dekat dengan ibunya. Penelitian Panjaitan (1977) menunjukkan adanya gejala

hubungan yang lebih dekat di antara ibu dan anak, dibandingkan dengan hubungan di

antara ayah dan anak. Bagi inang-inang yang memiliki waktu di rumah, tersedia

waktu lebih banyak untuk mengurus rumah tangga dan anak-anak. Sedangkan

seorang inang-inang menceritakan bagaimana ia mengatur waktu antara urusan


(59)

disimpulkan bahwa anak-anak yang melihat perjuangan hidup ibunya akan menjadi

pelajaran bagi anak-anaknya untuk masa depannya.

Panjaitan (1977) mengatakan pola makan orang Batak Toba tetap

mempertahankan makanan seperti ikan asin, ikan Teri, sayur Singkong, ikan Mas,

daging Babi, sebagian dari menu sehari-hari. Tempe dan tahu hanya sekali-sekali

dihidangkan sehari-hari. Terutama oleh kaum tua Batak Toba di Jakarta sebagian

besar menganggap Tempe dan Tahu sebagai makanan ”murahan”, dan tidak pantas

dihidangkan dalam pesta-pesta adat Batak Toba.

Orang Batak Toba itu sebenarnya tidak miskin, tetapi kurang mampu mengolah

ekonomi dan kebutuhan keluarga, kalau sudah ada uang sudah cukup, tanpa

memperhatikan keadaan kesehatan keluarga, sedangkan apabila orang Batak Toba

sakit mereka enggan mengakuinya dan tidak mau berobat. Seperti dikemukakan

Togar Nainggolan seorang Antopolog, bahwa kemiskinan orang Batak Toba itu

terjadi karena pengaruh mental masyarakat. Dalam pengamatannya, dia melihat

bahwa orang Batak Toba yang disebut miskin jauh lebih komsumtif dan boros dalam

hal pemakaian waktu duduk sambil bernyayi larut malam. Dia menunjukkan indikasi

misalnya berapa banyak uang harus beli rokok dan minuman tuak (Situmorang,

2008). Secara tidak sadar Orang Batak Toba sudah menanamkan sikap tersebut


(60)

2.3.3. Nilai-Nilai Utama Budaya Batak Toba

Suku Batak Toba dalam menjalani hidupnya berpedoman pada sejumlah

nilai-nilai utama yang menjadi keyakinan, penghormatan, cita-cita hidupnya. Menurut

Harahap dan Siahaan (1987) ada sembilan nilai-nilai utama yaitu:

1. Sistem kekerabatan dalihan na tolu

Hubungan antara manusia dalam kehidupan orang Batak Toba diatur dalam sistem

kekerabatan dalihan na tolu. Dalihan na tolu sebagai jaringan kekerabatan yang

mengajarkan hak dan kewajiban yang setara di antara ketiga unsur dalihan na tolu,

dongan sabutuha “kelompok klen semarga”, hula-hula “ kelompok pemberi isteri”,

dan boru “kelompok klen yang menerima isteri. Yang mencakup hubungan

premordial suku, kasih sayang atas dasar hubungan darah, kerukunan unsur-unsur

dalihan na tolu (hula-hula, dongan tubu, boru), pisang raut (anak boru dari anak

boru), hatobangon (cendikiawan) dan segala yang berkaitan hubungan kekerabatan

karena pernikahan, solidaritas marga dan lain-lain.

2. Religi

Mencakup kehidupan keagamaan, baik agama tradisional maupun agama yang

datang kemudian yang mengatur hubungannya dengan Maha Pencipta serta

hubungannya dengan manusia dan lingkungan hidupnya. Religi yang memasuki

segala aspek kehidupan orang Batak Toba tetap terpelihara, sekalipun banyak

pengaruh memasuki kehidupan orang Batak Toba seperti agama Kristen dan

modernisasi. Semua pengaruh itu tidak pernah berhasil menghapus identitas orang


(61)

Menarik untuk memperhatikan, bahwa tugu-tugu peringatan nenek moyang yang

megah dibangun di kampung halaman orang-orang modern yang kaya dan

berpendidikan, bahkan pejabat dan berpangkat, yang migran di kota-kota di luar

wilayah budaya Batak Toba. Ini merupakan bukti bahwa religi dalam masyarakat

Batak Toba benar-benar berkadar tinggi.

3. Hagabeon

Hagabeon, banyak keturunan dan panjang umur. Satu ungkapan tradisional Batak

Toba yang terkenal disampaikan pada saat upacara pernikahan adalah ungkapan yang

mengharapkan agar kelak pengantin baru dikaruniakan putra 17 orang dan putri 16

orang. Dari ungkapan di atas kelihatan bahwa anak laki-laki memiliki keistimewaan

dalam pandangan orang tua, karena dalam perbandingan jumlah kelihatan harus lebih

banyak. Sumber daya manusia bagi orang Batak sangat penting. Kekuatan yang

tangguh hanya dapat dibangun dalam jumlah manusia yang banyak. Ini erat

hubungannya dengan sejarah suku bangsa Batak Toba yang ditakdirkan memiliki

budaya bersaing yang sangat tinggi. Konsep hagabeon berakar, dari budaya bersaing

pada jaman purba, bahkan tercatat dalam sejarah perkembangan, terwujud dalam

perang huta. Dalam perang tradisional ini kekuatan tertumpu pada jumlah personil

yang besar. Mengenai umur panjang dalam konsep hagabeon disebut saur matua

bulung (seperti daun, yang gugur setelah tua).

4. Hasangapon

Hasangapon merupakan hasil yang diperoleh setelah hagabeon dan hamoraon.


(1)

C. Tabel Analisis Bivariat Uji Chi-square Pengaruh Pola Asuh Orang tua

terhadap Perilaku Kesehatan Remaja

Pola asuh orang tua * Perilaku kesehatan remaja Crosstabulation

17 8 0 25

8.5 5.9 10.6 25.0

68.0% 32.0% .0% 100.0%

18.1% 8.5% .0% 26.6%

15 14 24 53

18.0 12.4 22.6 53.0

28.3% 26.4% 45.3% 100.0%

16.0% 14.9% 25.5% 56.4%

0 0 16 16

5.4 3.7 6.8 16.0

.0% .0% 100.0% 100.0%

.0% .0% 17.0% 17.0%

32 22 40 94

32.0 22.0 40.0 94.0

34.0% 23.4% 42.6% 100.0%

34.0% 23.4% 42.6% 100.0% Count

Expected Count % within Pola asuh orang tua % of Total Count

Expected Count % within Pola asuh orang tua % of Total Count

Expected Count % within Pola asuh orang tua % of Total Count

Expected Count % within Pola asuh orang tua % of Total Cukup baik

Baik

Sangat baik Pola asuh

orang tua

Total

Kurang baik Cukup baik Baik Perilaku kesehatan remaja

Total

Chi-Square Tes ts

42.30 7a 4 .000

56.70 3 4 .000

37.04 0 1 .000

94 Pearson Chi-Squa re

Likelihoo d Ratio Line ar-by-Linea r Associa tion

N of Valid Case s

Value df

Asymp. Sig. (2 -sid ed)


(2)

Pola asuh demokratis * Perilaku kesehatan remaja

Crosstab

32 12 0 44

15.0 10.3 18.7 44.0

72.7% 27.3% .0% 100.0%

34.0% 12.8% .0% 46.8%

0 10 8 18

6.1 4.2 7.7 18.0

.0% 55.6% 44.4% 100.0%

.0% 10.6% 8.5% 19.1%

0 0 32 32

10.9 7.5 13.6 32.0

.0% .0% 100.0% 100.0%

.0% .0% 34.0% 34.0%

32 22 40 94

32.0 22.0 40.0 94.0

34.0% 23.4% 42.6% 100.0%

34.0% 23.4% 42.6% 100.0% Count

Expected Count % within Pola asuh demokratis % of Total Count

Expected Count % within Pola asuh demokratis % of Total Count

Expected Count % within Pola asuh demokratis % of Total Count

Expected Count % within Pola asuh demokratis % of Total Kurang demokratis

Cukup demokratis

Sangat demokratis Pola asuh

demokratis

Total

Kurang baik Cukup baik Baik Perilaku kesehatan remaja

Total

Chi-Square Tes ts

95.64 0a 4 .000

124 .9 22 4 .000

74.03 2 1 .000

94 Pearson Chi-Squa re

Likelihoo d Ratio Line ar-by-Linea r Associa tion N of Valid Case s

Value df

Asymp. Sig. (2 -sid ed)

1 ce lls (11.1%) have expected coun t less th an 5. The minimum exp ected count is 4.21.


(3)

Pola asuh otoriter * Perilaku kesehatan remaja

Crosstab

25 19 0 44

15.0 10.3 18.7 44.0

56.8% 43.2% .0% 100.0%

26.6% 20.2% .0% 46.8%

7 3 7 17

5.8 4.0 7.2 17.0

41.2% 17.6% 41.2% 100.0%

7.4% 3.2% 7.4% 18.1%

0 0 33 33

11.2 7.7 14.0 33.0

.0% .0% 100.0% 100.0%

.0% .0% 35.1% 35.1%

32 22 40 94

32.0 22.0 40.0 94.0

34.0% 23.4% 42.6% 100.0%

34.0% 23.4% 42.6% 100.0% Count

Expected Count % within Pola asuh otoriter % of Total Count

Expected Count % within Pola asuh otoriter % of Total Count

Expected Count % within Pola asuh otoriter % of Total Count

Expected Count % within Pola asuh otoriter % of Total Cukup otoriter

Kurang otoriter

Tidak otoriter Pola asuh

otoriter

Total

Kurang baik Cukup baik Baik Perilaku kesehatan remaja

Total

Chi-Square Tes ts

77.83 4a 4 .000

105 .7 88 4 .000

59.82 3 1 .000

94 Pearson Chi-Squa re

Likelihoo d Ratio Line ar-by-Linea r Associa tion

N of Valid Case s

Value df

Asymp. Sig. (2 -sid ed)

1 ce lls (11.1%) have expected coun t less th an 5. The minimum exp ected count is 3.98.


(4)

Pola asuh permisif * Perilaku kesehatan remaja

Crosstab

17 10 20 47

16.0 11.0 20.0 47.0

36.2% 21.3% 42.6% 100.0%

18.1% 10.6% 21.3% 50.0%

13 0 0 13

4.4 3.0 5.5 13.0

100.0% .0% .0% 100.0%

13.8% .0% .0% 13.8%

2 12 20 34

11.6 8.0 14.5 34.0

5.9% 35.3% 58.8% 100.0%

2.1% 12.8% 21.3% 36.2%

32 22 40 94

32.0 22.0 40.0 94.0

34.0% 23.4% 42.6% 100.0%

34.0% 23.4% 42.6% 100.0%

Count

Expected Count % within Pola asuh permisif % of Total Count

Expected Count % within Pola asuh permisif % of Total Count

Expected Count % within Pola asuh permisif % of Total Count

Expected Count % within Pola asuh permisif % of Total Cukup permisif

Kurang permisif

tidak permisif Pola asuh

permisif

Total

Kurang baik Cukup baik Baik Perilaku kesehatan remaja

Total

Chi-Square Tests

37.430a 4 .000

43.960 4 .000

4.271 1 .039

94 Pearson Chi-Square

Likelihood Ratio Linear-by-Linear Association

N of Valid Cases

Value df

Asymp. Sig. (2-sided)

2 cells (22.2%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 3.04.


(5)

D. Tabel Regresi Pengaruh Pola Asuh Orang tua Terhadap Perilaku Kesehatan

Remaja Pada Keluarga Batak Toba di Kecamatan Pangururan Kabupaten

Samosir

Regression

Variables Entered/Removedb

Pola asuh permisif, Pola asuh otoriter, Pola asuh demokrati sa

. Enter Model

1

Variables Entered

Variables

Removed Method

All requested variables entered. a.

Dependent Variable: Perilaku kesehatan remaja b.

Model Summaryb

.901a .811 .805 .387 .586

Model 1

R R Square

Adjusted R Square

Std. Error of the Estimate

Durbin-Watson

Predictors: (Constant), Pola asuh permisif, Pola asuh otoriter, Pola asuh demokratis

a.

Dependent Variable: Perilaku kesehatan remaja b.

ANOVAb

57.841 3 19.280 128.748 .000a

13.478 90 .150

71.319 93

Regression Residual Total Model

1

Sum of

Squares df Mean Square F Sig.

Predictors: (Constant), Pola asuh permisif, Pola asuh otoriter, Pola asuh demokratis


(6)

Coefficientsa

-.651 .175 -3.729 .000

.705 .082 .720 8.629 .000 .301 3.319

.187 .081 .193 2.325 .022 .305 3.279

.060 .044 .063 1.355 .179 .970 1.031

(Constant)

Pola asuh demokratis Pola asuh otoriter Pola asuh permisif Model

1

B Std. Error Unstandardized

Coefficients

Beta Standardized

Coefficients

t Sig. Tolerance VIF

Collinearity Statistics

Dependent Variable: Perilaku kesehatan remaja a.