Menghibahkan Harta Yang Telah Diwasiatkan (Studi Putusan Mahkamah Agung Nomor 443K AG 2010 )

6

ABSTRAK
Wasiat merupakan pesan dari seseorang berupa pernyataan baik dibuat secara
lisan maupun tulisan yang berisi tentang sesuatu apakah berupa pemberian barang
atau hak kepada orang lain atau sesuatu badan yang berlaku setelah yang memberi
pesan atau orang yang membuat pernyataan itu meninggal dunia. Apabila dilihat dari
pandangan ilmu hukum, wasiat merupakan perbuatan hukum sepihak atau merupakan
pernyataan sepihak dengan kata lain tidak ada kontrak prestasi dari pihak penerima
yang juga bisa dilakukan tanpa dihadiri oleh penerima wasiat dan dapat dilakukan
dalam bentuk tertulis dan agar sah pesan terakhir itu sebaiknya disusun dan ditulis
dihadapan dua orang saksi yang adil. Bertitik tolak dari latar belakang diatas, maka
yang menjadi permasalahan adalah bagaimana pandangan dan pelaksanaan fiqh Islam
dan Kompilasi Hukum Islam mengenai hibah harta yang sudah diwasiatkan, serta
pertimbangan hukum hakim dalam perkara putusan Mahkamah Agung Nomor 443
K/AG/2010.
Penelitian ini menggunakan metode pendekatan yuridis normatif yang bersifat
deskriptif analitis dan data yang digunakan merupakan data sekunder yang terdiri dari
bahan hukum primer, sekunder dan tertier. Teori yang digunakan dalam penelitian ini
adalah teori keadilan atau al ‘Adl dan Maqashid Al Syariah menurut hukum Islam.
Pertimbangan hukum hakim dalam putusan Mahkamah Agung No.443/K/AG/

2010 tentang menghibahkan harta yang telah diwasiatkan adalah bahwa Mahkamah
Agung sependapat dengan putusan Pengadilan Tinggi Agama Semarang bahwa
wasiat itu sah dan mengikat, walaupun wasiat merupakan perbuatan hukum sepihak,
akan tetapi dalam pelaksanaannya apabila seseorang yang telah mewasiatkan harta
miliknya kepada seseorang, kemudian ia hendak menghibahkan kembali harta
miliknya itu kepada orang yang lainnya, maka hendaknya pencabutan ataupun
pembatalan wasiat harus dinyatakan secara tegas dan terang.
Kata kunci hibah, wasiat, harta

i

7

ABSTRACT

A will is a message from someone in the form of statement orally or n written
form with an object or rights to another person or an institution which is valid after
the giver who makes the statements dies. From the judicial viewpoint, a will is onesided legal action or one-sided statement. In other words, there is no achievement
contract from the receiver side which can be done without the presence of receiver
and it can be done in oral or written form in front of two fair witnesses. Although the

testator can revoke his will as long as he is still alive, the revocation and
accomplishment should be based on the prevailing regulations. The problems are
how about the views of Islamic fiqh and the Compilation of Islamic Law on hibah
which has been given, the judge’s legal consideration in the case of the R uling of the
Supreme Court No. 443 K/AG/2010, and how about the complaint about the
revocation of the will in a secret manner. .
The research uses judicial normative and descriptive analytic approaches.
The data are secondary data which consist of primary, secondary, and tertia ry legal
materials. The theory used is justice theory or al’Adl and Maqashid Al Syariah based
on the Islamic law.
The judge’s legal consideration in the Ruling of the Supreme Court No. 443
K/AG/2010 on the property which has been given is that the Supreme Court agrees
with the Ruling of the Religious High Court, Semarang, that the will is valid and
binding. Although a will is one-sided legal action, in the accomplishment when
someone has given his property to someone, and he wants to give it back to another
person, the revocation of the will should be firmly and clearly stated.
Keywords: Hibah, Will, Property

ii