Menghibahkan Harta Yang Telah Diwasiatkan (Studi Putusan Mahkamah Agung Nomor 443K AG 2010 )

22

BAB II
PANDANGAN FIQH ISLAM DAN KOMPILASI HUKUM ISLAM
MENGENAI HIBAH HARTA YANG SUDAH DIWASIATKAN

A. Pandangan Fiqh Islam dan Kompilasi Hukum Islam Mengenai Wasiat
1. Pengertian dan Dasar Hukum Wasiat
Kata wasiat berasal dari kata Arab yaitu al-washiyah yang secara harfiah antara
lain berarti pesan, perintah atau janji seseorang kepada orang lain untuk melakukan
suatu perbuatan baik ketika orang yang berwasiat masih hidup maupun setelah
wafat.28
Menurut Al Jaziri dikalangan mazhab Syafi’i, Hambali dan Maliki memberikan
defenisi wasiat secara rinci, wasiat adalah suatu transaksi yang mengharuskan orang
yang menerima wasiat berhak memiliki sepertiga harta peninggalan orang yang
menyatakan wasiat setelah ia meninggal dunia.29
Sayyid Sabiq mengemukakan pengertian ini sejalan dengan defenisi yang
dikemukakan oleh para ahli hukum Islam dikalangan mazhab Hanafi yang
menyatakan bahwa wasiat adalah tindakan seseorang yang memberikan haknya
kepada orang lain untuk memiliki sesuatu baik merupakan kebendaan maupun


28

Rachmadi Usman, Hukum Kewarisan Islam dalam Dimensi Kompilasi Hukum Islam,
(Bandung: Mandar Maju, 2009), hal.141
29
M.Fahmi Al Amruzi, Rekonstruksi Wasiat Wajibah dalam Kompilasi Hukum
Islam,(Jakarta: Aswaja Pressindo, 2012), hal. 50

22

23

manfaat secara sukarela tanpa imbalan yang pelaksanaannya ditangguhkan sampai
terjadi kematian orang yang menyatakan wasiat tersebut.
Mazhab Malikiyah mendefenisikan wasiat adalah

suatu perikatan yang

mengharuskan penerima wasiat menghaki sepertiga harta peninggalan si pewaris
sepeninggalnya atau mengharuskan penggantian hak sepertiga harta peninggalan si

pewasiat kepada si penerima wasiat sepeninggalnya pewasiat.30
Dalam Kompilasi Hukum Islam Pasal 171 huruf f menyebut wasiat adalah
pemberian suatu benda dari pewaris kepada orang lain atau lembaga yang akan
berlaku setelah pewaris meninggal dunia. Dengan demikian dalam wasiat penyerahan
dan peralihan harta benda yang diwasiatkan hanya akan berlaku bila orang yang
mewasiatkan sudah meninggal dunia. Objek wasiat ini dapat berupa materi atau harta
benda maupun manfaat dari materi itu sendiri.
Jika seseorang menyatakan menerima wasiat sebelum meninggalnya orang
yang berwasiat maka penerimaannya tersebut tidak sah misalnya seseorang
mewasiatkan rumahnya kepada orang lain lalu orang tersebut menyatakan menerima
rumah itu sejak ia mengetahui wasiat ini. Dalam hal ini penerimaan orang yang
diberi wasiat tersebut tidak sah dan kepemilikan rumah tersebut tidak berpindah
kepadanya

31

sebab wasiat tidak dapat dilaksanakan kecuali setelah meninggalnya

orang yang berwasiat tersebut. Selama orang yang berwasiat masih hidup maka baik


M. Idris Ramulyo, Hukum Kewarisan Islam Studi Kasus Perbandingan Ajaran Syafi’i,
Hazairin Dan Praktek Di Pengadilan , (Jakarta, IND-HILL.CO, 1987), hal. 303
31
Syaikh Muhammad bin Shalih al Utsaimin, Panduan Wakaf, Hibah Dan Wasiat Menurut
Al quran dan As Sunnah, (Jakarta : Pustaka Imam Asy Syafi’i, 2008 ), hal. 236
30

24

orang yang diberi wasiat menerima atau menolaknya hukumnya sama saja, sebab
penerimaan orang yang diberi wasiat baru dianggap sah setelah meninggalnya orang
yang memberi wasiat meskipun baru sesaat saja.
Apabila seseorang menerima wasiat akan tetapi ia menangguhkan penerimaan
wasiat tersebut, maka hal ini diperbolehkan, sebab yang menjadi ukuran penerimaan
adalah ketika meninggalnya yang memberi wasiat, meskipun dalam tenggang waktu
yang lama dan tidak disyaratkan adanya penerimaan wasiat oleh orang yang diberi
wasiat, karena pada dasarnya wasiat sebelum meninggalnya orang yang berwasiat
adalah akad yang diperbolehkan. 32
Beberapa dasar hukum wasiat dalam hukum Islam dijumpai dalam 33
1. Surat al Baqarah ayat 180 dan 181 yang artinya :

“Diwajibkan atas kamu apabila seseorang diantara kamu kedatangan
tanda-tanda maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak berwasiat untuk
ibu bapak dan karib kerabat secara makruf inilah kewajiban atas orangorang yang bertaqwa. Maka barang siapa yang mengubah wasiat itu setelah ia
mendengarnya maka sesungguhnya dosanya adalah bagi orang-orang yang
mengubahnya. Sesungguhnya Allah
Maha Mendengar
lagi Maha
Mengetahui.”
Menurut penjelasan Quraish Shihab dalam tafsir al Misbah, ayat ini
mewajibkan kepada orang-orang yang menyadari kedatangan tanda-tanda kematian
agar memberi wasiat kepada yang ditinggalkan berkaitan dengan hartanya apabila
hartanya banyak.34 Maka barang siapa yang mengubah wasiat itu dengan menambah,
mengurangi
32

atau

menyembunyikan

Ibid, hal. 236-237

Rachmadi Usman, Op.Cit, hal . 143
34
Thamrin, Op.Cit, hal. 60

33

wasiat

atau

kandungannya

setelah

ia

25

mendengarnya dan setelah jelas baginya maka sesungguhnya dosanya adalah bagi
orang-orang yang mengubahnya. 35 Oleh karena itu melaksanakan wasiat orang yang

meninggal wajib dilaksanakan dengan jujur.
2. Surat al Maidah ayat 106 yang artinya :
“ Hai orang-orang yang beriman apabila salah seorang kamu menghadapi
kematian sedang ia akan berwasiat maka hendaklah wasiat itu disaksikan
oleh dua orang yang adil diantara kamu atau dua orang yang berlainan
agama dengan kamu jika kamu dalam perjalanan dimuka bumi lalu kamu
ditimpa bahaya kematian.”
3. An Nisa ayat 11 yang artinya :
“ Jika yang meninggal itu mempunyai

saudara – saudara maka ibunya

mendapat seperenam. Pembagian - pembagian tersebut sesudah dipenuhinya
wasiat yang ia buat atau dan setelah dibayar hutangnya.” 36
An Nisa ayat 12 yang artinya :
“ Maka mereka bersekutu dalam sepertiga itu

sesudah dipenuhi wasiat

yang dibuat olehnya atau dan sesudah dibayar hutangnya dengan tidak

memberi mudarat kepada ahli warisnya.” 37
Ayat ini merupakan dalil dianjurkan kaum muslimin untuk berwasiat serta
anjuran untuk melaksanakannya walaupun dalam pelaksanaannya hutang dahulu
diselesaikan baru pelaksanaan wasiat. Penyebutan wasiat didahulukan atas
35

Quran Surat Al Baqarah ayat 181
Helmi Karim, Fiqh Muamalah, ( Jakarta, Raja Grafindo Persada, 1993 ), hal. 86
37
Ibid, hal. 86

36

26

penyebutan hutang bukan menunjukkan pelaksanaan wasiat didahulukan atas
pembayaran hutang, tetapi hanya menunjukkan pentingnya berwasiat dan untuk
mengingatkan para ahli waris agar memperhatikannya karena tidak mustahil mereka
mengabaikan wasiat atau menyembunyikannya.
Adanya perulangan penyebutan mendahulukan wasiat atas hutang supaya

ketika membagikan harta waris, kepunyaan orang lain tidak terlupakan dan jangan
sampai wasiat yang dibuat merugikan ahli waris yang benar-benar berhak.
4.

Hadist Rasul SAW 38:
diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim yang artinya :” Tiada hak (pantas)
seorang muslim yang mempunyai sesuatu yang wajar diwasiatkannya, lalu
ia

permalamkan

dua

malam

melainkan

wasiat

itu


telah

tertulis

disampingnya.
5.

Hadist riwayat Turmuzi dan Abu Daud yang artinya :
“ Sesungguhnya Rasul SAW bersabda seorang laki-laki beramal dan seorang
wanita senantiasa taat kepada Allah selama 60 tahun, kemudia datanglah
kepada mereka saat kematian keduanya merugikan ahli waris dalam soal
wasiat, maka keduanya pasti wajib di dalam neraka. Kemudian Abu Hurairah
membacakan ayat Al quran yakni surat An Nisa ayat 12, sesungguhnya
penyelesaian wasiat terhadapnya atau penyelesaian hutang tanpa
menimbulkan kerugian dalam wasiat.”
Hadist ini merupakan dasar hukum dalam penetapan hukum wasiat karena

didalamnya ada ancaman terhadap wasiat yang merugikan ahli waris.
6. Riwayat Ibnu Majah Rasul bersabda: “ Barang siapa yang meninggal dunia


38

Thamrin, Op.Cit, hal.63-65

27

ia telah berwasiat maka matinya berada dalam jalan Allah, meninggal pada
jalan taqwa dan persaksian dan juga meninggal dalam keadaan diampuni
(dosa-dosanya ).39
Hadist ini mengandung makna kebaikan orang yang berwasiat dalam
pandangan Allah sehingga disejajarkan dengan sabilillah dan matinya dinilai mati
orang yang taqwa.
7. Ijma’
Seluruh pakar hukum Islam (fuqaha ) telah sepakat atau ijma’ tentang
dianjurkan berwasiat, dan dalam pelaksanaannya telah disepakati pula bahwa wasiat
tidak dilaksanakan kecuali setelah dilunasi hutang dan bila masih ada kelebihan baru
wasiat dilaksanakan. Telah pula disepakati bahwa wasiat mulai dilaksanakan setelah
kematian orang yang berwasiat dan penerimaan orang yang mendapat wasiat.40 Kaum
muslimin sepakat bahwa tindakan wasiat merupakan syariat Allah dan RasulNya.

Ijma ’ yang demikian didasarkan pada ayat-ayat al Quran dan Sunah. 41

2.

Hukum Melakukan Wasiat
Para ulama sepakat bahwa lafaz kutiba dalam surat al Baqarah ayat 180 pada

dasarnya menyatakan wajib. Namun arti tersebut tidak dijadikan dasar karena ada
beberapa faktor yaitu :42

39

Ahmad Rofiq , Hukum Islam di Indonesia , ( Jakarta : Raja Grafindo Persada, 1997 ), hal.445
Thamrin, Op.Cit, hal.66
41
Ahmad Rofiq, Op.Cit, hal. 445
42
Andi Syamsu Alam dan M.Fauzan , Hukum Pengangkatan Anak Dalam Perspektif Islam,
(Jakarta:Kencana Prenada Media Grup, 2008 ), hal. 63
40

28

a. Ayat-ayat tentang kewarisan yang telah memberikan hak (saham) tertentu
kepada orang tua dan anggota kerabat.
b. Adanya hadist yang melarang berwasiat kepada ahli waris.
c. Kenyataan dalam sejarah bahwa

Rasul SAW tidak memberikan wasiat

kepada kaum kerabatnya.
Oleh karenanya hukum asal melakukan wasiat menurut ijma ’ ulama adalah
sunat muakkad. Namun jika dilihat dari sisi harta yang ada pada pemilik harta dan

orang yang akan berwasiat, ulama menetapkan hukum yang berbeda bagi para
individu yang akan berwasiat sesuai dengan objek wasiat tersebut.
Hukum melakukan wasiat bermacam-macam sesuai dengan kondisi dan illat
hukumnya. Untuk itu hukum melakukan wasiat terdiri atas : 43
1.

Wasiat yang dihukumkan wajib, yakni seseorang diwajibkan melakukan
wasiat sebelum ia meninggal dunia. Wasiat jenis ini bertujuan untuk
membayar hutang dan menunaikan kewajiban. Contohnya ialah wajib
berwasiat untuk mengembalikan pinjaman atau untuk membayar hutang.
Wasiat juga wajib dilakukan oleh orang yang masih terkait oleh suatu
tanggung

jawab,

seperti

wasiat

mengeluarkan

zakat

harta

yang

ditinggalkannya, supaya hajinya ditunaikan atau supaya diyat atau kifarat
yang belum dibayar agar dilunasi. Hal yang seperti ini disepakati oleh
para ulama.

43

Helmi Karim, Op.Cit , hal. 90-91

29

Golongan Syafi’iyyah mengatakan adalah disunahkan membuat wasiat
untuk membayar hak-hak yang berupa hutang, mengembalikan barang
titipan, pinjaman dan sejenisnya, pelaksanaan wasiat-wasiat lain jika ada
memperhatikan urusan-urusan anak dan orang yang baligh namun dalam
keadaan idiot, dan wasiat yang berkenaan dengan hak adami adalah wajib
seperti barang titipan. 44
2.

Wasiat yang hukumnya dianjurkan atau mustahabbah supaya dilakukan
oleh seseorang sebelum ia meninggal dunia. Contohnya ia berwasiat
untuk karib kerabat yang bukan termasuk ahli waris yang berhak
menerima harta pusaka, sehingga kaum kerabat tersebut ikut terbantu oleh
wasiat tersebut. Wasiat juga dianjurkan untuk tujuan kebaikan guna
membantu orang-orang yang memerlukan bantuan. Wasiat juga amat baik
dilakukan untuk menolong fakir miskin yang sangat memerlukan bantuan.

3. Wasiat yang sifat dan hukumnya boleh dilakukan oleh seseorang
sebelum ia wafat, seperti berwasiat untuk orang kaya baik ia termasuk
kaum keluarganya yang tidak menerima harta warisan ataupun orang
asing.
4. Wasiat yang karahah tahrim sebagaimana yang dikemukakan oleh
ulama mazhab Hanafi. Contohnya adalah berwasiat untuk ahl al fusuq dan
ahli maksiat. Para ulama sependapat bahwa berwasiat untuk ahli waris
hukumnya adalah makruh kecuali kalau ahli waris yang diberi wasiat itu
seorang miskin sedangkan ahli waris yang lain bersamanya tidak tergolong
miskin. Kalau berwasiat kepada ahli waris yang miskin sedangkan ahli
44

Wahbah Az Zuhaili, Fiqh Islam Wa Adillatuhu Jilid 10 , ( Jakarta,Gema Insani Darul Fikir,
2011 ), hal.159

30

waris lainnya tergolong kaya maka wasiat jenis ini

hukumnya adalah

mubah.
5.

Wasiat

yang

hukumnya

haram

yakni

wasiat

yang

tidak

boleh

dilakukan oleh seorang muslim, seperti berwasiat untuk maksiat.
Contohnya

adalah

berwasiat

supaya

uangnya

dipergunakan

pekerjaan yang menyesatkan. Berwasiat itu juga hukumnya

untuk

haram bila

wasiat itu akan menyebabkan mudorat kepada pihak lain, seperti
merugikan ahli waris. Wasiat yang menimbulkan kemudoratan termasuk
dalam kategori dosa besar. Ibnu Abbas berkata : “ Wasiat yang
menimbulkan kemudoratan merupakan dosa besar.
Menurut Hazairi mengenai hukum mubah, bila wasiat ditujukan kepada kerabat
atau ahli waris adalah boleh berwasiat kepada ahli waris dengan alasan yang
mendesak karena perlu biaya pengobatan yang besar, pendidikan anak-anak yang
masih kecil atau biaya pengobatan sedangkan ahli waris yang lain sudah cukup
mampu.45 Hadist Rasul SAW yang diriwayatkan Bukhari dan Muslim yang artinya :
“ Tidak ada hak seorang muslim yang mempunyai sesuatu yang pantas untuk
diwasiatkan sampai dua malam melainkan hendaklah wasiatnya tertulis disisi
kepalanya.” 46
Riwayat lain mengemukakan bahwa Rasul SAW memandang perbuatan wasiat
sebagai tindakan yang berfaedah yang akan menjamin masuk surga yang dalam
45

M. Idris Ramulyo, Op.Cit, hal.307
Idris Ramulyo, Perbandingan Hukum Kewarisan Islam Dengan Kewarisan Kitab UndangUndang Hukum Perdata, ( Jakarta : Sinar Grafika, ), hal.108
46

31

hadistnya “ Barang siapa mati dengan meninggalkan wasiat berarti ia mati di jalan
Allah dan sunah Nabi dan ia mati bertakwa, bersaksi akan keesaanNya dan ia mati
terampuni dosa-dosanya.” ( Ibnu Majah, Sunah,2:901(No.2701 ). 47
Rasul juga menunjukkan bahwa nilai perwujudan baik atau buruknya perilaku
seseorang seperti yang tercermin dalam wasiatnya, lebih penting daripada semua
perbuatan sepanjang hidupnya. Sebagai mana sabda rasul “ Orang yang mungkin
berbuat baik selama tujuh puluh tahun, tetapi ia berbuat tidak adil ketika membuat
wasiat, maka kejahatan dari perbuatannya ini akan ditutupkan diatasnya dan ia akan
masuk neraka. Jika di lain pihak orang yang berbuat jahat selama tujuh puluh tahun
tetapi ia berlaku adil dalam wasiatnya, maka kebajikan dari perbuatannya ini akan
ditutupkan diatasnya dan ia akan masuk surga.” (Ibnu Hanbal (Musnad), Ibnu Majah ,
Ibnu Daud (Sunan) ).48
3.

Rukun Dan Syarat Wasiat Menurut Fiqh Dan Kompilasi Hukum Islam
Secara garis besar syarat-syarat wasiat adalah mengikuti rukun-rukunnya.

Dalam hal ini, para ulama berbeda pendapat dalam memberikan uraian tentang rukun
dan syarat wasiat. Sayyid Sabiq menyebutkan bahwa rukun wasiat itu hanya
menyerahkan dari orang yang berwasiat saja, selebihnya tidak perlu

49

. Sedangkan

Ibnu Rusyd dan Al Juzairy mengemukakan pendapat ulama secara muqaranah
(komparitif) bahwa ada empat rukun wasiat yaitu :50

47

David S.Powers, Op.Cit, hal.184
Ibid , hal 184-185
49
Ahmad Rofiq, Op.Cit, hal.361
50
Ibid , hal. 361
48

32

1.

Al Mushii (orang yang berwasiat)

Para ulama sepakat bahwa orang yang berwasiat adalah mushii yang dapat
bertindak sebagai pelaku utama dan setiap orang yang memiliki barang manfaat
secara sah dan tidak ada paksaan. Mazhab Hanafi mensyaratkan orang yang berwasiat
harus orang yang cakap hukum untuk bertindak dalam pemilikan dan pengalihan hak
untuk itu harus memenuhi syarat dewasa, berakal sehat, tidak mempunyai hutang,
merdeka, atas kemauan sendiri, dan orang yang berwasiat itu tidak terkekang
mulutnya sebab kalau ia tidak bisa berkata-kata maka tidak sah wasiatnya kecuali ia
bisu dan terpaksa bicara secara isyarat maka sah wasiatnya. 51
Menurut Muhammad Jawaz Mughniyah bahwa semua ahli hukum Islam
sepakat bahwa wasiat orang gila yang dibuat dalam kondisi sedang gila dan
wasiat anak kecil yang belum mumayyiz adalah tidak sah. Mereka berselisih
pendapat tentang wasiat anak kecil tetapi sudah mumayyiz. Para ahli hukum
dikalangan mazhab Malik, Hambali dan Syafi’i membolehkan asalkan anak
tersebut sudah berumur 10 tahun penuh, sebab Khalifah Umar
memperbolehkan wasiat jika anak berumur 10 tahun penuh. Pakar hukum di
kalangan mazhab Hanafi menyatakan bahwa wasiat yang demikian itu tidak
boleh, kecuali jika wasiat itu menyangkut persiapan kematian dan
penguburannya, padahal seperti diketahui kedua hal ini tidak menemukan
wasiat. Dikalangan mazhab Imamiyah menganut prinsip bahwa wasiat anak
kecil yang belum mumayyiz diperbolehkan ( jaiz ) dalam masalah kebaktian
(al birr ) dan perbuatan baik (ihsan) dan tidak diperkenankan dalam masalah
lainnya. Hal ini didasarkan pada pendapat Imam Ash Shadiq yang
memperbolehkannya. 52

51

Abdul Manan, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia, (Jakarta:Kencana 2006)
hal. 156-157
52
Rachmadi Usman, Op.Cit, hal. 146-147

33

Menguatkan pendapat diatas Imam Abu Hanifah dan Daud Zahiri menyatakan tidak
sah jika orang yang berwasiat anak kecil, orang gila, orang safih ( orang yang
mempunyai IQ sangat rendah ) adalah tidak sah. 53
Kompilasi Hukum Islam di Indonesia dalam hal ini mirip dengan pendapat
mazhab Hanafi dan Syafi’i dalam satu pendapatnya yang dinyatakan dalam Pasal 194
bahwa orang yang berwasiat itu adalah orang yang telah berumur sekurangkurangnya 21 tahun, berakal sehat dan tanpa adanya paksaan mewasiatkan sebagian
hartanya kepada orang lain atau suatu lembaga.

54

Harta benda yang diwasiatkan itu

harus merupakan hak si pewasiat dan pelaksanaan wasiat setelah pewasiat meninggal
dunia. Dikemukakan pula bahwa batas minimal orang yang boleh berwasiat adalah
orang yang benar-benar telah dewasa secara undang-undang, berbeda dengan batasan
baliqh dalam kitab-kitab fiqh tradisional. 55
2.

Al Mushaa Lahu (orang yang menerima wasiat)

Para ulama sepakat bahwa wasiat tidak boleh diberikan kepada ahli waris
kecuali jika disetujui oleh para ahli waris lainnya. Larangan memberikan wasiat
kepada ahli waris didasarkan pada hadist Rasul SAW yang disampaikan pada kutbah
di tahun haji wada’ yang artinya : “ Sesungguhnya Allah SWT telah memberikan hak

53

Thamrin , Op.Cit , hal.72
Abdul Manan , Op.Cit, hal. 158
55
Ibid , hal. 158
54

34

kepada orang yang memiliki hartanya, maka tidak ada wasiat bagi ahli waris (hadist
Turmuzi dan Abu Daud).” 56
Pihak yang dapat bertindak sebagai penerima wasiat adalah subjek hukum baik
orang maupun badan hukum dan secara hukum dapat dipandang cakap untuk
memiliki sesuatu hak atau benda yang harus memenuhi persyaratan sebagai penerima
wasiat yaitu :57
1. Pihak penerima wasiat telah ada pada waktu pewasiatan terjadi.
2. Penerima wasiat adalah orang atau badan hukum.
3. Penerima wasiat bukan pembunuh pewasiat atau melakukan percobaan
pembunuhan ketika pemberi wasiat masih hidup.
4. Penerima wasiat bukan sesuatu badan yang mengelola kemaksiatan.
5. Penerima wasiat bukan ahli waris dari penerima wasiat.
3.

Al Mushaa Bihi (barang yang diwasiatkan)

Pada dasarnya benda yang menjadi objek wasiat adalah benda-benda atau
manfaat yang dapat digunakan bagi kepentingan manusia. Sesuatu yang diwasiatkan
itu harus memenuhi persyaratan yaitu: 58
a. Dapat berlaku sebagai harta warisan baik benda bergerak maupun benda tidak
bergerak atau dapat menjadi objek perjanjian.

56

Proyek Pembinaan Prasarana dan Sarana Perguruan Tinggi Agama Islam, Ilmu Fiqh 3
(Jakarta:Dirjen Pembinaan Kelembagaan Agama Islam, 1986), hal.193
57
Rachmadi Usman , Op.Cit , hal. 147
58
Idris Ramulyo, Perbandingan Hukum Kewarisan Islam Dengan Kewarisan Kitab UndangUndang Hukum Perdata, Op.Cit, hal. 109-110

35

b. Benda itu sudah ada wujud pada waktu diwasiatkan dan dapat pula dialihkan
kepemilikannya kepada penerima wasiat.
c. Hak milik itu benar-benar kepunyaan pewasiat, bukan harta yang
didalamnya belum dipisahkan hak orang lain.
d. Harta yang diwasiatkan tidak boleh melebihi sepertiga dari harta
peninggalan/warisan kecuali apabila semua ahli waris menyetujuinya.59
Menurut mazhab Hanafi, Ishak, Syarik, dan Ahmad dalam satu riwayat yaitu
ucapan Ali dan Ibnu Mas’ud memperbolehkan kepadanya untuk berwasiat lebih dari
sepertiga bila tidak mempunyai ahli waris dan karena wasiat yang ada di dalam ayat
adalah wasiat mutlak sehingga dibatasi oleh sunnah dengan mempunyai ahli waris. 60
Dengan demikian wasiat mutlak itu boleh bagi orang yang tidak mempunyai ahli
waris.
Mengenai wasiat yang berupa manfaat suatu benda sementara bendanya sendiri
tetap menjadi pemilikya atau keluarganya maka para fuqaha berbeda pendapat.
Fuqaha kalangan Amshar mengemukakan bahwa pewasiatan manfaat itu boleh saja
dilakukan, sedangkan Ibnu Abi Laila, Ibnu Syubrumah dan Ahli Zhahiri berpendapat
bahwa pewasiatan manfaat itu adalah batal karena manfaat adalah tidak sama dengan
harta. Sementara para ahli hukum yang lain beralasan bahwa manfaat itu akan
berpindah kepada hak milik ahli waris karena orang yang meninggal dunia tidak
mempunyai sesuatu yang terdapat pada milik orang lain.

59
60

Pasal 195 ayat 2 Kompilasi Hukum Islam
Mardani, Op.Cit hal.114

36

Sayyid Sabiq menegaskan bahwa wasiat segala benda atau manfaat seperti
buah dari pohon atau anak dari hewan adalah sah, yang penting benda atau manfaat
itu ada wujudnya dan dapat diserahkan kepada orang yang menerima wasiat pada saat
orang yang berwasiat meninggal dunia. Pendapat terakhir ini sejalan dengan pendapat
mayoritas ahli hukum Islam yang menyatakan bahwa manfaat dapat dikategorikan
sebagai benda oleh karena itu mewariskan manfaat saja hukumnya boleh.

61

Demikian pula menurut Sayyid Sabiq bahwa sah pula mewasiatkan piutang dan
manfaat seperti tempat tinggal serta kesenangan dan tidak sah mewasiatkan yang
bukan harta, seperti bangkai dan yang tidak bernilai bagi orang yang mengadakan
akad wasiat, seperti khamar bagi kaum muslimin. 62
Dalam Pasal 198 Kompilasi Hukum Islam disebutkan bahwa wasiat yang
berupa hasil dari suatu benda ataupun pemanfaatan suatu benda harus diberikan
jangka waktu tertentu. Pembatasan dimaksud untuk memudahkan tertib administrasi
karena substansi wasiat sesungguhnya adalah untuk jangka waktu selama-lamanya,
karena ia termasuk jenis sedekah jariyah.
Selanjutnya Pasal 200 Kompilasi Hukum Islam menjelaskan harta wasiat yang
berupa barang tidak bergerak bila karena suatu sebab yang sah mengalami
penyusutan atau kerusakan yang terjadi sebelum pewasiat meninggal dunia, maka
penerima wasiat hanya akan menerima harta yang tersisa. Wasiat dapat dilaksanakan
dilaksanakan maksimal sepertiga dari seluruh harta si pewasiat.

61
62

Abdul Manan , Op.Cit, hal. 160
Rachmadi Usman , Op.Cit , hal. 148

37

4. Sighat (redaksi wasiat)
Mengenai sighat ini sebagian ulama terutama dari kalangan mazhab Hanafi
ada yang keberatan untuk menetapkan sighat wasiat sebagai salah satu unsur atau
rukun wasiat. Menurut mereka dalam wasiat hanya diperlukan pernyataan pemberian
wasiat dari pemilik harta karena wasiat adalah akad yang hanya mengikat pihak yang
berwasiat, sedangkan bagi pihak yang menerima wasiat akad itu tidak mengikat.
Mereka menyamakan antara hak yang akan diterima melalui warisan dan yang
diterima melalui wasiat yaitu hanya berlaku setelah pemilik harta meninggal dunia.

63

Imam Asy Syafi’i juga cenderung pada tidak perlu adanya qabul dalam wasiat,
beliau mengqiyaskan wasiat dengan waris. Bahkan beliau menyatakan bahwa qabul
dari pihak penerima wasiat bukan merupakan syarat sahnya wasiat.64
Pada dasarnya sighat wasiat disyaratkan berupa suatu perkataan atau
pernyataan yang jelas menunjukkan pada pengertian pemberian wasiat untuk
seseorang atau lebih baik secara lisan maupun tulisan. Sighat wasiat terdiri dari ijab
dan qabul . Ijab adalah kata-kata atau pernyataan yang diucapkan atau dinyatakan
oleh orang yang berwasiat, sedangkan qabul adalah kata-kata atau pernyataan yang
diucapkan atau dinyatakan oleh orang yang menerima wasiat,.65
Wahbah al Zuhaili menegaskan bahwa mayoritas ulama sepakat bahwa wasiat
baru sah bila menggunakan ijab dan qabul dan boleh juga dengan menggunakan

63

Rachmadi Usman , Op.Cit , hal.145
Ibid , hal 146
65
Proyek Pembinaan Prasarana dan Sarana Perguruan Tinggi Agama Islam, Ilmu Fiqh 3
(Jakarta:Dirjen Pembinaan Kelembagaan Agama Islam, 1986) , hal. 189
64

38

bahasa isyarat dan tulisan. Ada beberapa ketentuan yang mesti dipenuhi dalam sighat
wasiat diantaranya : 66
a. Ulama fiqh menetapkan bahwa sighat ijab dan qabul yang digunakan dalam
wasiat harus jelas dan sejalan.
b. Ucapan qabul dari orang yang diberi wasiat ketika orang yang berwasiat
masih hidup tidak berlaku akan tetapi menurut ulama mazhab Hanafi qabul
boleh diucapkan sebelum atau sesudah orang yang berwasiat wafat. Ulama
juga sepakat bahwa apabila seseorang berwasiat kepada fulan lalu orang
tersebut wafat setelah al musi (orang yang berwasiat) wafat tetapi belum
menyatakan qabulnya maka ucapan qabul digantikan oleh ahli waris si fulan.
c. Qabul harus diungkapkan oleh orang yang telah baligh dan berakal. Apabila
penerima wasiat itu anak kecil atau orang gila maka qabul mesti diwakili oleh
walinya.
d. Ulama fiqh sepakat tidak mensyaratkan qabul apabila wasiat ditujukan
untuk kepentingan umum seperti masjid dan anak-anak yatim yang
identitasnya tidak dijelaskan dalam wasiat maka hukum wasiat bersifat
mengikat sekalipun tanpa qabul setelah orang yang berwasiat wafat.
e. Wasiat diperbolehkan melalui isyarat yang dipahami akan tetapi menurut
ulama mazhab Hanafi dan Hambali ketentuan ini hanya bisa diterima
apabila orang yang berwasiat bisu dan tidak bisa baca tulis. Apabila yang
berwasiat mampu baca tulis maka wasiat melalui isyarat tidak sah.
Sebaliknya ulama mazhab Maliki dan mazhab Syafi’i berpendapat bahwa
wasiat tetap sah melalui isyarat yang dapat dipahami sekalipun orang yang
berwasiat mampu untuk berbicara dan baca tulis.
f. Qabul menurut jumur ulama harus diungkapkan melalui lisan atau
tindakan hukum yang menunjukkan kerelaan penerima wasiat tersebut seperti
bertindak hukum pada barang yang diwasiatkan. Menurut mereka qabul
tidak cukup hanya dengan sikap tidak menolak wasiat tetapi harus jelas.
Ulama mazhab Hanafi mengatakan qabul bisa dengan ungkapan yang jelas
atau tindakan yang menunjukkan kerelaan menerima wasiat bahkan boleh
juga dengan sikap tidak menolak sama sekali wasiat (diam saja).

66

Andi Syamsu Alam dan M.Fauzan , Op.Cit, hal. 71-72

39

B. Pandangan Fiqh Islam dan Kompilasi Hukum Islam Mengenai Hibah
1. Pengertian Dan Dasar Hukum Hibah
Hibah secara bahasa berasal dari kata wahaba, secara terminologi syariat Islam
hibah adalah : akad yang menjadikan kepemilikan tanpa adanya pengganti ketika
masih hidup dan dilakukan secara sukarela.67
Menurut ulama Hanabilah hibah artinya : memberikan kepemilikan atas barang
yang dapat di tasharuf kan berupa harta yang jelas atau tidak jelas karena adanya uzur
untuk mengetahuinya berujud dapat diserahkan tanpa adanya kewajiban ketika masih
hidup tanpa adanya pengganti yang dapat dikategorikan sebagai hibah menurut adat
dengan lafazh hibah atau tamlik (menjadikan milik).68
Sayyid Sabiq mendefenisikan hibah sebagai akad yang pokok persoalannya
pemberian harta milik seseorang kepada orang lain diwaktu dia tanpa adanya
imbalan. Sulaiman Rasyid mendefenisikan hibah adalah memberikan zat dengan
tidak ada tukarnya dan tidak ada karenanya. 69
Menurut Kompilasi Hukum Islam, hibah adalah pemberian suatu benda secara
sukarela dan tanpa imbalan dari seseorang kepada orang lain yang masih hidup untuk
dimiliki. 70
Berdasarkan defenisi diatas maka kriteria hibah adalah : 71

67

Rachmat Syafei, Fiqh Muamalah , (Bandung : Pustaka Setia, 2001), hal. 242
Ibid, hal. 242
69
Chairuman Pasaribu dan Suhrawardi K.Lubis, Hukum Perjanjian Dalam Islam,
( Jakarta:Sinar Grafika ,1994), hal.113
70
Pasal 171 huruf g Kompilasi Hukum Islam
71
Mardani, Op cit , hal.125
68

40

1. Suatu pemberian.
2. Tanpa mengharapkan kontraprestasi atau secara cuma-cuma.
3. Dilakukan ketika pemberi hibah masih hidup.
4. Tidak dapat ditarik kembali.
5. Hibah merupakan perjanjian bersegi satu ( bukan timbal balik ) karena
hanya terdapat satu pihak yang berprestasi.
Hibah lebih luas cakupannya yaitu meliputi sedekah dan hadiah. Sedangkan
makna hibah secara umum meliputi hal-hal seperti yang dibawah ini :
1. Ibraa yang artinya menghibahkan hutang kepada orang lain yang berhutang.
2. Sedekah artinya menghibahkan sesuatu dengan mendapatkan pahala di
akhirat. Motivasinya hanya ingin mencari pahala dan keridhaan Allah

72

itulah letak perbedaan mendasar antara sedekah dan hibah. Para ulama
membagi sedekah itu kepada wajib dan sedekah sunat.
3. Hadiah ialah memberikan sesuatu zat dengan tidak ada tukarannya tetapi
dengan maksud memuliakan orang yang diberi dengan mengantarkannya
ketempat orang yang menerimanya. 73 Hadiah itu lebih lebih dimotivasi
oleh rasa terima kasih dan kekaguman seseorang.
Jadi hibah yaitu memberikan sesuatu kepada orang lain tanpa imbalan
(penggantian), sedekah yaitu memberikan sesuatu kepada orang lain karena
mengharapkan pahala di akhirat, sedangkan hadiah yaitu memberikan sesuatu kepada

72
73

Rachmadi Usman , Op cit , hal.149
T. Jafizham, Sari Kuliah Hukum Islam I, ( Medan : FH.USU, 1999 ), hal157

41

orang lain untuk memuliakan atau menghormati orang lain yang menerimanya. Oleh
karena itu setiap sedekah dan hadiah itu adalah hibah dan tidak sebaliknya. 74
Beberapa dasar hukum hibah dapat dikaji dari Al Quran 75 :
1. Surat Asy-Syu’ara ayat 21 yang artinya : “ Kemudian Tuhanku
memberikan kepadaku ilmu serta Dia menjadikanku salah seorang diantara
Rasul.”
2. Surat Al Baqarah ayat 177 yang artinya : “ Dan memberikan harta yang
dicintainya kepada kerabatnya anak-anak yatim orang-orang miskin
musafir yang memerlukan pertolongan dan orang-orang yang memintaminta dan memerdekakan hamba sahaya.”
3. Surat Al Maidah ayat 2 yang artinya: “ Dan tolong menolonglah kamu
dalam mengerjakan kebaikan dan takwa dan jangan tolong menolong
dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertakwalah kamu kepada Allah
sesungguhnya Allah amat berat siksaNya.”
4. Surat An Nisa ayat 4 yang artinya : “ Kemudian jika mereka menyerahkan
kepada kamu sebagian dari mas kawin itu dengan senang hati, maka makanlah
atau ambillah pemberian itu sebagai hadiah yang sedap lagi baik akibatnya.”
5. Hadist Rasul SAW riwayat Abu Hurairah :” saling memberi hadiahlah kamu
karena hadiah itu menghilangkan kebencian hati dan janganlah seorang

74

Mardani, Op cit , hal 126
M. Idris Ramulyo, Perbandingan Hukum Kewarisan Islam Dengan Kewarisan Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata ,(Jakarta:Sinar Grafika, 1994), hal.118-119
75

42

tetangga perempuan meremehkan hadiah dari tetangganya sekalipun hadiah
itu sepotong kaki kambing.” 76
6. Hadist Rasul riwayat Abu Hurairah : “ Seandainya saya diundang untuk
jamuan kaki kambing, pasti saya akan datang dan jika saya diberi hadiah kaki
kambing atau lengan tangan kambing pastilah saya akan menerimanya. “ 77
Hibah hukumnya mandub (dianjurkan) dalam hibah ada makna silaturahim,
sesuai dengan hadist yang diriwayatkan oleh Aisyah r.a. bahwasanya Nabi SAW
bersabda:” Saling memberi hadiahlah kalian niscaya kalian akan saling mencintai.” 78
Adapun yang disunahkan agar orang tua tidak membeda-bedakan sebagian anak
dengan sebagian anak lainnya.
2.

Rukun dan Syarat Hibah
Suatu hibah dikatakan sah bila memenuhi rukun dan syarat yang telah

ditentukan menurut syara’ :79
1. Adanya orang yang menghibahkan atau pemberi hibah (al wahib)
Disyaratkan bagi penghibah syarat-syarat sebagai berikut :
a. Penghibah memiliki apa yang dihibahkan
b. Penghibah bukan orang yang dibatasi haknya karena suatu alasan
c. Penghibah orang yang dewasa

76

Chairuman Pasaribu dan Suhrawardi K.Lubis, Op cit , hal. 114
Abdul Aziz Muhammad Azzam, Fiqh Muamalat Sistem Transaksi Dalam Fiqh Islam,
(Jakarta, Amzah, 2010), hal.440
78
Ibid, hal.438-439
79
Rachmadi Usman , Op cit , hal. 151-153
77

43

d. Penghibah tidak dipaksa sebab hibah itu akad yang mensyaratkan
kerelaan dalam keabsahannya.
Apabila seseorang menghibahkan hartanya, sedangkan dirinya menderita sakit
yang menyebabkan kematian maka hukum hibahnya itu sama seperti wasiatnya.

80

Apabila ada orang lain atau salah satu ahli waris mengakui bahwa ia telah menerima
hibah, maka hibahnya dipandang tidak sah sebab dikhawatirkan pemberi hibah
sewaktu menghibahkan hartanya itu tidak didasarkan atas sukarela atau setidaknya
pemberi hibah tidak lagi dapat membedakan pada saat itu mana yang baik dan mana
yang buruk. Tetapi sebaliknya bila ahli waris mengakui kebenaran dari hibah itu
maka hibah tersebut dipandang sah. 81
2. Adanya orang yang menerima hibah (al mauhublah).
Bahwa penerima hibah haruslah orang yang benar-benar ada pada waktu hibah
dilakukan. Adapun yang dimaksud dengan benar-benar ada ialah penerima hibah
sudah lahir dan tidak dipersoalkan apakah ia anak-anak, kurang akal dan dewasa
setiap orang dapat menerima hibah.82
3. Adanya objek hibah, sesuatu yang dihibahkan (al hibah) .
Berkaitan dengan benda yang dihibahkan disyaratkan sebagai berikut:
a. Benda-benda tersebut benar-benar ada.
b. Benda tersebut harta yang bernilai.

80

Chairuman Pasaribu dan Suhrawardi K.Lubis, Op cit, hal.117-118
Ibid, hal.118
82
Chairuman Pasaribu dan Suhrawardi K.Lubis, Op cit, hal. 116

81

44

c. Benda tersebut dapat dimiliki zatnya yakni yang dihibahkan itu apa yang
biasanya dimilikinya, diterima peredarannya dan pemilikannya dapat
berpindah tangan karenanya tidak sah menghibahkan sesuatu di sungai,
ikan di laut, burung di udara, mesjid-mesjid atau pesantren-pesantren.
d. Benda yang dihibahkan itu tidak berhubungan dengan tempat milik
penghibah seperti menghibahkan tanaman, pohon atau bangunan tanpa
tanahnya. Akan tetapi yang dihibahkan itu wajib dipisahkan dan diserahkan
kepada yang diberi hibah sehingga menjadi milik baginya.
e. Benda yang dihibahkan itu dikhususkan yakni yang dihibahkan itu bukan
untuk umum sebab pemegangan dengan tangan itu tidak sah, kecuali
ditentukan atau dikhususkan seperti halnya jaminan. Imam Malik , Asy
Syafi’i, Ahmad dan Abu Tsaur berpendapat tidak disyaratkan syarat ini,
mereka berpendapat bahwa hibah untuk umum yang tidak dibagi-bagi itu
sah. Bagi golongan Maliki boleh menghibahkan apa yang tidak sah dijual
seperti unta liar dan buah sebelum nampak hasilnya.
4. Adanya ijab qabul (shighat hibah)
Pada prinsipnya ijab qabul dilakukan berdasarkan atas kesepakatan bebas
diantara para pihak dan tanpa ada unsur paksaan, kekhilafan, maupun penipuan.
Pernyataan ijab qabul pelaksanaan hibah dimaksud dapat dilakukan secara lisan
maupun tulisan bahkan hendaknya disaksikan oleh dua orang saksi untuk itu. Sayyid
Sabiq mengatakan bahwa hibah itu sah melalui ijab qabul, bagaimanapun bentuk ijab
qabul yang ditunjukkan oleh pemberian harta tanpa imbalan. Orang-orang Imam

45

Hanafi berpendapat bahwa ijab itu saja sudah cukup dan itulah yang paling shahih.
Sementara orang-orang Imam Hambali berpendapat bahwa hibah itu sah dengan
pemberian yang menunjukkan kepadanya karena Rasul SAW memberikan hadiah.
Adapun orang yang bisu cukup dengan isyarat yang bisa dipahami saja. Hibah
dengan ucapan kiasan perlu kepada niat dari pemberi hibah dan yang termasuk hibah
dengan ucapan kiasan seperti seseorang berkata kepada orang lain saya pakaikan
kamu baju ini sebab ia bisa berarti pinjaman dan hibah jika ia berkata saya tidak
berniat hibah maka ia benar ucapannya sebab ungkapan itu bukan termasuk yang
jelas untuk hibah oleh sebab itu kembali kepada niatnya. Dalam pelaksanaan hibah
yang terpenting harus dilakukan ketika penghibah masih hidup adanya pernyataan
terutama dari pemberi hibah serta untuk kepentingan pembuktian jika di kemudian
hari terjadi sengketa maka dibutuhkan adanya saksi-saksi dan bahkan sebaiknya
dibuat secara tertulis dalam sebuah akta.
C. Menghibahkan Harta Yang Telah Diwasiatkan

Menurut

Fiqh

Islam

Dan Kompilasi Hukum Islam
Pada dasarnya setiap orang dapat menghibahkan harta miliknya kepada siapa
saja yang dikehendakinya ketika pemberi hibah dalam keadaan sehat walafiat. Hibah
dilakukan oleh penghibah tanpa mengharapkan imbalan dan jasa yang dilakukan
secara suka rela demi kepentingan seseorang atau demi kemaslahatan umat.
Menghibahkan tidak sama artinya dengan menjual atau menyewakan jika dikaitkan
dengan suatu perbuatan hukum maka hibah termasuk salah satu bentuk pemindahan
hak milik, dengan terjadinya akad hibah maka pihak penerima hibah dipandang telah

46

mempunyai hak penuh atas harta itu sebagai hak miliknya sendiri. Jadi transaksi
hibah bersifat tunai dan langsung serta tidak boleh dilakukan atau disyaratkan bahwa
perpindahan itu berlaku setelah pemberi hibah meninggal dunia, sebagaimana halnya
di dalam wasiat.
Sayyid Sabiq dan Chairuman Pasaribu menjelaskan bahwa apabila
seseorang menghibahkan hartanya sedangkan orang yang memberi hibah itu
dalam keadaan sakit yang menyebabkan kematiannya, maka hukum hibah itu
sama dengan wasiat. Oleh karena itu apabila ada orang lain yang atau salah satu
ahli waris mengaku bahwa ia telah menerima hibah maka hibahnya itu
dipandang tidak sah, sebab dikhawatirkan si pemberi hibah sewaktu
menghibahkan hartanya itu tidak didasarkan pada sukarela atau setidaknya ia
tidak lagi dapat membedakan mana yang baik dan buruk. Tetapi sebaliknya
apabila ahli waris mengakui kebenaran dari hibah itu maka hibah itu dipandang
sah. Jumhur fukaha berpendapat bahwa orang sakit dibenarkan menghibahkan
sepertiga hartanya karena hibah disini disamakan dengan wasiat. Ketentuan
terakhir ini dianut oleh Kompilasi Hukum Islam. 83
Dikaitkan dengan perbuatan hukum maka wasiat termasuk bentuk hibah dan
pada dasarnya juga bermakna transaksi pemberian sesuatu pada pihak lain. Pemberian
itu dapat berupa penghibahan harta ataupun pemberian manfaat dari milik pemberi
wasiat kepada yang menerima wasiat. Para ulama memberikan rumusan tentang
wasiat dengan redaksi yang bervariasi, akan tetapi intinya adalah wasiat merupakan
pesan dari seseorang berupa pernyataan baik lisan maupun tulisan yang berisi tentang
sesuatu apakah berupa pemberian barang atau hak kepada orang lain atau sesuatu
badan yang berlaku setelah yang memberi pesan atau orang yang membuat
pernyataan itu meninggal dunia dan ia bersifat tidak membatalkan wasiatnya itu. 84

83
84

Abdul Manan , Op.Cit, hal.134-135
Thamrin , Op.Cit , hal. 59

47

Pada dasarnya memberi wasiat merupakan tindakan iktiyariyah yakni suatu
tindakan yang dilakukan atas kemauan sendiri dan dalam keadaan bagaimanapun.
Wasiat itu bukan merupakan suatu keharusan yang harus dibuat dan dilaksanakan
seseorang untuk memberi wasiat kepada orang lain ataupun menerima wasiat, oleh
karena itu orang yang memberi wasiat boleh saja menarik kembali wasiat yang telah
dinyatakannya, baik itu wasiat yang berkenaan dengan harta, manfaat ataupun hal
yang berkenaan dengan kekuasaan atau wilayah.
Berdasarkan Kompilasi Hukum Islam dalam Pasal 171 huruf (f) mengandung
pengertian bahwa wasiat berlaku setelah pemberi wasiat meninggal dunia dan wasiat
itu merupakan pemberian yang dapat diberikan kepada penerima wasiat walaupun
tidak diketahui oleh penerima wasiat. Kompilasi Hukum Islam tidak mengatur secara
khusus mengenai siapa penerima wasiat. Berdasarkan pasal 171 huruf (f) dapat
diketahui bahwa penerima wasiat adalah orang dan lembaga dan Pasal 196 juga
menegaskan bahwa dalam wasiat baik secara tertulis maupun secara lisan harus
disebutkan dengan tegas siapa-siapa dan lembaga apa yang ditunjuk untuk menerima
harta benda yang diwasiatkan.
Wasiat tidak boleh dilakukan dengan menghibahkan atau menyerahkan seluruh
harta oleh pihak yang berwasiat sebagaimana ketentuan dalam hibah. Jika seseorang
menghibahkan dengan cara mewasiatkan seluruh hartanya maka wasiat itu berlaku
hanya sepertiga bagian dari seluruh harta peninggalan. Sebagaimana ketentuan hibah
dan wasiat dalam ketentuan hukum Islam, apabila seseorang telah mewasiatkan harta
miliknya kepada seseorang kemudian ia hendak menghibahkan kembali harta

48

miliknya itu kepada orang yang lainnya, maka ia harus membatalkan wasiat yang
telah diperbuat tersebut sehingga tidak terjadi silang sengketa diantara penerima
wasiat dan penerima hibah.
Berlainan dengan hibah, mayoritas ulama fiqh menyatakan bahwa apabila
wasiat telah memenuhi rukun dan syaratnya maka wasiat dianggap sah dan harus
dilaksanakan terhitung sejak wafatnya al mushii, namun mereka sepakat bahwa akad
wasiat bersifat tidak mengikat, al mushii boleh membatalkan wasiatnya selagi ia
masih hidup, kapan saja ia mau baik dibatalkan seluruh wasiat maupun sebagiannya
dan pembatalan itu dapat dilakukan dalam keadaan sehat ataupun sakit

85

yang berarti

bahwa wasiat yang diucapkan seseorang bisa batal dan dibatalkan oleh pemberi
wasiat secara sepihak.
Hal ini juga berdasarkan kepada ucapan Umar bin Khathab yang mengatakan
“seseorang boleh membatalkan atau mengubah wasiatnya”. Diperbolehkannya
membatalkan wasiat karena wasiat hanya sekedar pemberian atau hadiah yang baru
bisa dilaksanakan setelah orang yang berwasiat meninggal dunia. Oleh sebab itu al
mushii boleh saja membatalkan pemberiannya sebelum ia meninggal dunia. 86

Penerima wasiat tidak dianggap berhak atas sesuatu yang diwasiatkan untuknya
kecuali setelah wafatnya si pemberi wasiat dan setelah pelunasan semua hutangnya
dan seandainya hutang-hutang itu menghabiskan seluruh harta peninggalannya maka

85
86

Andi Syamsu Alam dan M.Fauzan , Op.Cit, hal. 76
Ibid hal. 76-77

49

si penerima wasiat tidak berhak lagi atas apapun. 87 Hal ini sesuai dengan firman
Allah dalam Al Quran surah An Nisa ayat 12 yang artinya sesudah dipenuhi wasiat
yang ia buat atau dan sesudah dibayar hutangnya dengan tidak memberi mudarat
kepada ahli waris.
Para ulama sepakat bahwa wasiat bisa batal apabila : 88
1. Wasiat itu dicabut atau dibatalkan sendiri oleh orang yang memberi wasiat
tanpa memerlukan persetujuan pihak yang akan menerima wasiat. Pembatalan
itu bisa berbentuk dijualnya harta yang menjadi objek wasiat itu oleh yang
berwasiat atau mengalihkan wasiat yang sudah disampaikan itu kepada pihak
lain atau ia berwasiat menambah, mengurangi atau menukar materi yang
sudah diwasiatkannya itu.
2. Wasiat itu bisa batal bila pihak yang berwasiat terkena penyakit gila dan
sampai meninggal dunia.
3. Wasiat bisa batal bila pihak yang akan menerima wasiat lebih dahulu wafat
dari orang yang berwasiat.
4. Wasiat juga bisa batal bila harta yang diwasiatkan itu musnah, hilang atau
habis sebelum pihak yang berwasiat meninggal.
5. Wasiat batal bila pihak yang akan menerima wasiat membunuh pihak yang
berwasiat secara tidak hak atau berencana untuk membunuh pihak yang
berwasiat namun rencana itu tidak terlaksana akibat sesuatu hal diluar
kemampuan pihak yang menerima wasiat.
Pembatalan wasiat menurut kesepakatan ulama fiqh boleh dilakukan dengan
ucapan yang jelas atau dengan tindakan. Contoh ucapan yang jelas dari al mushii
adalah, “ saya batalkan wasiat yang telah saya akadkan untuk si fulan “ atau al mushii
mengatakan “ harta ini untuk ahli warisku “ dengan menunjuk harta yang sebelumnya
diwasiatkan kepada si fulan atau al mushii menyembelih hewan yang telah
diwasiatkan atau menjual dan menghibahkannya kepada orang lain. Hanya saja ulama

87

Muhammad Bagir, Fiqih Praktis II, Menurut Al Quran, As Sunah Dan Pendapat Para
Ulama, ( Bandung : Karisma, 2008 ), hal. 260
88
Helmi Karim, Op.Cit , hal 97

50

mazhab Maliki berpendirian bahwa melakukan tindakan hukum terhadap harta yang
telah diwasiatkan harus bersifat menyeluruh seperti menjual harta itu keseluruhannya
atau menghibahkannya kepada orang lain. 89
Termasuk sebagai pembatalan wasiat menurut ulama mazhab Hanafi adalah
sikap mengingkari wasiat yang telah diakadkan misalnya al mushii mengingkari
wasiatnya kepada si fulan, padahal sebelumnya ia telah mengakadkan wasiat untuk si
fulan tersebut. Akan tetapi menurut ulama lainnya termasuk Muhammad bin Hasan
asy Syaibani (sahabat Imam Abu Hanifah) sikap seperti itu tidak termasuk
pembatalan wasiat, artinya sekalipun al mushii mengingkari wasiat yang telah ia
ikrarkan maka wasiat tetap sah.90
Setelah dilakukan pembatalan ataupun pencabutan wasiat tersebut, seseorang
dapat menghibahkan kembali hartanya kepada orang lain. Pemberian hibah ini dapat
dilakukan dengan dua cara yaitu dengan ucapan dan perbuatan, ucapan meliputi ijab
dan qabul sedangkan perbuatan dengan memberikan sesuatu yang menunjukkan

makna hibah. Kompilasi Hukum Islam tidak terlalu banyak memberikan pengaturan
mengenai hibah yakni Pasal 210 sampai dengan Pasal 214 dan dalam Pasal
sebelumnya yaitu Pasal 171 butir g dan mengenai wasiat diatur dalam Pasal 194
sampai dengan Pasal 209 mengenai orang yang berhak untuk wasiat atau subjek
wasiat, bentuk wasiat, jenis-jenis wasiat, pembatalan dan pencabutan wasiat dan hal
lain lain yang berkenaan dengan wasiat.

89
90

Andi Syamsu Alam dan M.Fauzan , Op.Cit, hal.77
Ibid, hal. 77